Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo

(1)

KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI

KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN

NAMANTERAN KABUPATEN KARO

SKRIPSI

ERNI FAUZIAH

090805003

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI

KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN

NAMANTERAN KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ERNI FAUZIAH

090805003

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Komposisi Komunitas Collembola

Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo

Kategori : Skripsi

Nama : Erni Fauziah

Nomor Induk Mahasiswa : 090805003

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, April 2014

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Drs. Nursal, M.Si Drs. Arlen H. J, M.Si. .

NIP. 196190319903199031002 NIP. 195810181990031001

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu. M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI

KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN

NAMANTERAN KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, April 2014

Erni Fauziah 090805003


(5)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul

“Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan Namanateran, Kabupaten Karo”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H. J, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak bimbingan, masukan, motivasi dengan penuh kesabaran dari awal hingga akhir skiripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Erni Jumilawaty S.Si, M.Si selaku dosen penguji I dan Bapak Drs. M. Zaidun Sofyan, M.Si selaku dosen penguji II yang telah memberikan banyak saran dan arahan demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti M.S selaku Penasehat Akademik. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu. M.Sc. selaku Ketua Departemen Biologi dan Ibu Dr. Saleha Hanum M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi dan juga para dosen Departemen Biologi. Terimakasih juga kepada Ibu Roslina Ginting dan Abang Erwin selaku Pegawai Administrasi Departemen Biologi.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Alm. Ayahanda dan Ibunda tercinta (Mahran Nasution dan Nur Aini Nasution) yang telah melahirkan, membesarkan dan memberikan doa, perhatian serta cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, serta kepada Abang, Kakak dan Adikku tercinta (Mahdi Syukur, Mahdaleni, S.Pd, Ikhsan Habibi) dan juga kepada Abangda Martua Muda Daulay, S.H, S.Hi sert seluruh keluarga besar atas do’a dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

Ucapan terima kasih juga kepada teman seperjuangan : Zulfan, Afni, Riris, Rita, Fika, Rachmi, Fivin, Arfah, Zubeir, Siska, Zuwana, Hema, Anderson, Sepwin, Agustina, Febrin, Nora, Nuri, Opi, Novi, Ichip yang telah banyak membantu membantu penulis. Terima kasih juga kepada teman-teman stambuk 2009 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, adik-adik stambuk 2010 (Inggin, Siti, Fitri, Aulia, Karina, Tari), 2011 (Nasir, Giordani, Juned, Nana, Siska, Tia), Terima kasih penulis ucapkan kepada Bang Z. Arico, Bang Mahya, Kak Iin, Kak Yanti, Kak Rivo yang telah membantu penulis di lapangan.

Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal Alamin

Medan, April 2014


(6)

KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI

KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN

NAMANTERAN KABUPATEN KARO

ABSTRAK

Penelitian tentang “ Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan

Namanteran Kabupaten Karo” dilakukan pada bulan Mei-September 2013. Pengambilan sampel dilakukan pada 2 lokasi yaitu hutan sekunder dan groforestri kopi. Penempatan plot sampling dengan metode Purposive Random Sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Pitfall Trap.. Dari hasil penelitian didapatkan 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies. Nilai kepadatan total tertinggi pada hutan sekunder sebesar 121,417 individu/m2 sedangkan pada agroforestri kopi sebesar 109, 475 individu/m2. Nilai frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu antara Aksidental dan Assesori. Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.1., Lepidosira sp. dan Ptenorhix sp. Pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. Komposisi spesies nilai tertinggi pada hutan sekunder adalah Lepidosira sp., dan pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp.


(7)

Collembola Community Composition Ground on the Secondary

Forest and Coffee Agroforestry in the Village Kutagugung,

Namanteran Districts, Counties Karo

ABSTRACT

The research about “Collembola community composition ground on the secondary forest and coffee agroforestry in the village Kutagugung, Namanteran districts, counties Karo” has been done at Mei-September 2013. The taking of sample is done in two location they are secunder forest, coffee agroforestry. The technique sampling that is used is Purposive Random Sampling. The taking of sample is done by using Pitfall Trap method. The result of the research is found that the re are 2 ordo, 5 family and 12 species. The hignest total dense in secunder forest gained 121,417 individual/m2 while coffee groforestry gained 109, 475 individual/m2. The value of present frequency both location are between Accidental and Accesory. Collembola of the land surface which has value of KR >10 % and FK > 25 % in secunder forest are Entomobrya sp.1, Lepidosira sp. and Ptenothrix sp. in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. The compotition of highest value species in secunder forest is Lepidosira sp. and in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, and Pseudosinella sp.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Komposisi Komunitas 5

2.2 Karakteristik Collembola 5

2.3 Klasifikasi Collembola

2.4 Peranan Collembola 8

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Collembola 9

2.6 Habitat Collembola 10

2.7 Hutan 10

2.8 Agroforestri 11

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 13

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 13

3.2 Deskripsi Area 13

3.3 Alat dan Bahan 13

3.4 Metode Penelitian 14

3.5 Cara Kerja 14

3.5.1 Pengambilan Sampel Collembola 15 3.5.1.1 Metode PitfallTrap 16 3.5.2 Identifikasi Spesies Collembola Tanah 17 3.6 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 17 3.6.1 pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah 18

3.6.2 Kadar Air Tanah 18


(9)

3.7 Analisis Data

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

4.1 Jenis Collembola Permukaan Tanah yang Ditemukan pada Lokasi Penelitian

19 4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Collembola

Permukaan Tanah

24 4.3 Frekuensi Kehadiran (Konstanta) Collembola

Permukaan Tanah

25 4.4 Collembola Permukaan Tanah yang Memiliki Nilai

KR(%) >10% dan FK(%) >25%

29 4.5 Komposisi Spesies Collembola Permukaan Tanah

pada Lokasi Penelitian

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 34

5.1 Kesimpulan 34

5.2 Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1 Alat yang Digunakan untuk Mengukur pH, Kelembaban

Tanah dan Suhu Tanah 6

3.2 Metode Pengukuran Kadar N, P, K dan C-organik 17 4.1 Collembol Permukaan Tanah yang Ditemukan pada Dua

Lokasi Penelitian 19

4.2 Nilai Kepadatan (ind/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Collembola Permukaan Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian

23

4.3 Nilai Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstanta Collembola Permukaan Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian

4.4 Nilai KR (%) > 10% dan FK (%) > 25% Collembola Permukaan Tanah yang Didapatkan pada Setiap Lokasi Penenlitian

24

4.5 Urutan Komposisi Masing-masing Collembola Permukaan Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Morfologi Collembola 7

3.1 Lokasi Hutan Sekunder 7


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Peta Lokasi 39

2 Foto Kerja 40

3 Penempatan Plot pada Lokasi penelitian 41 4 Data Faktor Fisik-Kimia Tanah pada Lokasi Penelitian 42 5 Klasifikasi dan Deskripsi Spesies Collembola

Permukaan Tanah

52

6 Data Jenis dan Jumlah Collembola Permukaan Tanah 53


(13)

KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI

KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN

NAMANTERAN KABUPATEN KARO

ABSTRAK

Penelitian tentang “ Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan

Namanteran Kabupaten Karo” dilakukan pada bulan Mei-September 2013. Pengambilan sampel dilakukan pada 2 lokasi yaitu hutan sekunder dan groforestri kopi. Penempatan plot sampling dengan metode Purposive Random Sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Pitfall Trap.. Dari hasil penelitian didapatkan 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies. Nilai kepadatan total tertinggi pada hutan sekunder sebesar 121,417 individu/m2 sedangkan pada agroforestri kopi sebesar 109, 475 individu/m2. Nilai frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu antara Aksidental dan Assesori. Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.1., Lepidosira sp. dan Ptenorhix sp. Pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. Komposisi spesies nilai tertinggi pada hutan sekunder adalah Lepidosira sp., dan pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp.


(14)

Collembola Community Composition Ground on the Secondary

Forest and Coffee Agroforestry in the Village Kutagugung,

Namanteran Districts, Counties Karo

ABSTRACT

The research about “Collembola community composition ground on the secondary forest and coffee agroforestry in the village Kutagugung, Namanteran districts, counties Karo” has been done at Mei-September 2013. The taking of sample is done in two location they are secunder forest, coffee agroforestry. The technique sampling that is used is Purposive Random Sampling. The taking of sample is done by using Pitfall Trap method. The result of the research is found that the re are 2 ordo, 5 family and 12 species. The hignest total dense in secunder forest gained 121,417 individual/m2 while coffee groforestry gained 109, 475 individual/m2. The value of present frequency both location are between Accidental and Accesory. Collembola of the land surface which has value of KR >10 % and FK > 25 % in secunder forest are Entomobrya sp.1, Lepidosira sp. and Ptenothrix sp. in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. The compotition of highest value species in secunder forest is Lepidosira sp. and in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, and Pseudosinella sp.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Kabupaten Karo secara geografis berada diantara 2050’-3019’ LU dan 970 –98038’ BT dengan luas 2.127,25 Km2 atau 2,97 persen dari luas Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi. Wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian 120-1.420 m di atas permukaan laut (BPS Karo, 2012). Selanjutnya Ginting (2008) menjelaskan bahwa Kabupaten Karo dikenal sebagai daerah penghasil berbagai sayur-sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan. Disamping itu Kabupaten Karo memiliki hutan yang cukup luas, yaitu mencapai 129.749 ha atau 60,99 persen dari luas Kabupaten Karo.

Hutan Gunung Sinabung merupakan hutan gunung dengan puncak tertinggi di Sumatera Utara yaitu 2.370 m dpl. Gunung ini terletak di Kabupaten Karo. Masyarakat sekitar memanfaatkan keindahan Gunung Sinabung sebagai tempat wisata dan lahan di kaki gunung banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan lain sebagainya. Lahan yang digunakan merupakan lahan hutan sekunder yang terdapat di hutan Gunung Sinabung tersebut.

Hutan yang terdapat di Kabupaten Karo diantaranya adalah berupa hutan lindung seluas ± 98.644,5 ha, hutan suaka alam seluas ± 7 ha, hutan produksi terbatas ± 15.592 ha dan hutan produksi ± 15.592 ha (BPS Karo, 2012). Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan sekunder yang terdapat di Kabupaten Karo dikembangkan untuk Agroforestri, diantaranya dengan menanami tanaman kopi, jeruk, cabe, tomat, bawang dan sebagainya. Dimana yang paling banyak di tanam adalah tanaman kopi karena tanaman kopi merupakan tanaman yang mudah di rawat atau tanpa perlu perawatan yang khusus, misalnya pemberian pupuk dan pestisida.

Sistem agroforestri kompleks singkatnya agroforestri adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan


(16)

atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip ekosistem hutan alam primer maupun sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami, melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan. Kebun-kebun agroforestri dibangun pada lahan-lahan yang sebelumnya dibabati kemudian ditanami dan diperkaya (Foresta et al., 2000).

Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan pertanian, perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri mengakibatkan terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan bersangkutan. Widianto et al., (2003) menjelaskan bahwa hal ini membawa berbagai konsekuensi terhadap aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Konversi hutan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya akan menurunkan populasi flora dan fauna tanah yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati atau biodiversitas berkurang, diantaranya adalah Collembola tanah.

Collembola umumnya dikenal sebagai organisme yang hidup di tanah dan memiliki peran penting sebagai perombak bahan organik tanah. Dalam ekosistem pertanian Collembola terdapat dalam jumlah yang melimpah. Collembola pada ekosistem pertanian merupakan pakan alternatif bagi berbagai jenis predator (Greenslade et al., 2000). Selain mendekomposisi bahan organik, fauna tanah tersebut meningkatkan kesuburan dan memperbaiki sifat fisik kimia tanah (Simanungkalit et al., 2006; Indriyati & Wibowo, 2008).

Penelitian mengenai Collembola dan peranannya belum banyak dilakukan di Indonesia. Faktor penyebab kurang populernya Collembola di Indonesia antara lain ukuran tubuh kecil, habitat berada dalam tanah dan peranan yang tidak langsung dirasakan manusia. Akibatnya Collembola menjadi kurang dikenal keragaman spesies, habitat, daerah sebaran dan sifat biologinya. Daerah yang pernah dikoleksi Collembolanya di Indonesia adalah beberapa tempat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Barat (Suhardjono, 2006).

Mengingat jumlah Collembola yang banyak dan perannya sebagai bioindikator dan monitoring suatu ekosistem, maka dilakukan penelitian mengenai


(17)

Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo”.

1.2. Permasalahan

Adanya alih-fungsi lahan hutan yang banyak digunakan sebagai lahan pertanian serta perkembangan pertanian dengan konsep agroforestri yang dikembangkan di Kabupaten Karo, akan memberikan pengaruh terhadap Collembola permukaan tanah. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah Komposisi dan Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforesti di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo.

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah dan Collembola sebagai bioindikator pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo.

1.4.Hipotesis

Terdapat perbedaan Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah antara lahan Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo.

1.5.Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Komposisi dan Komunitas Collembola pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Tanah Karo, dan dapat digunakan sebagai informasi dan referensi bagi peneliti selanjutnya.

BAB 2


(18)

2.1. Komposisi Komunitas

Komunitas adalah sistem kehidupan bersama dari sekelompok populasi organisme yang saling berhubungan karena ada saling pengaruh satu dengan yang lainnya dan berkaitan pula dengan lingkungan-lingkungan hidupnya. Dalam komunitas organisme hidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional. Komposisi organisme penyusun komunitas yang menempati suatu daerah dapat ditulis berupa nama jenis penyusunnya, dan biasanya disusun dalam bentuk tabel. Tabel komposisi organisme pada suatu lokasi biasanya disusun atas kelompokan organisme itu berdasarkan taksonomi. Semua jenis organisme yang ditemukan pada lokasi penelitian dilaporkan termasuk jenis yang jarang. Dalam meneliti komposisi organisme penyusun komunitas, organisme yang jarang kepadatannya bisa digunakan sebagai indikator dalam lokasi penelitian (Suin, 2002).

2.2. Karakteristik Collembola

Collembola berasal dari bahasa Yunani, yaitu colle (=lem) dan embolon (=piston). Penamaan ini berdasarkan adanya tabung ventral (kolofor) pada sisi ventral ruas abdomen pertama yang menghasilkan perekat (Hopkin, 1997). Collembola juga dikenal dengan istilah Springtails (ekorpegas) karena mempunyai struktur (furka) pada bagian ventral ruas abdomen keempat (Gambar 2.1). Saat istirahat furka terlipat ke depan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum atau tenakulum merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian ventral abdomen ketiga. Ketika otot berkontraksi, furka kembali ke posisi tidak lentur kemudian akan memukul substrat sehingga mendorong Collembola ke udara (Greenslade, 1996).


(19)

Gambar 2.1 Morfologi Collembola (Sumber : http://web.ipb.ac.id)

Collembola mempunyai ciri bentuk serangga muda dan dewasanya sama dan biasanya dianggap sebagai serangga yang primitif, karena srtruktur anggota tubuhnya relatif sederhana. Antena mempunyai 4-6 ruas, dapat lebih pendek dari kepala atau lebih panjang dari seluruh tubuh dan memiliki saraf internal yang mampu menggerakkan tiap segmen. Dibelakang antena terdapat sepasang mata majemuk dan organ yang menyerupai cincin atau roset yang dikenal sebagai sensor penciuman (Amir, 2008).

Collembola atau ekorpegas ini pada umumnya berukuran kecil, panjang berkisar 0,1-9 mm. Sesuai dengan ukurannya maka ada yang mikroskopis tetapi ada juga yang kasat mata, mudah dilihat dengan mata telanjang. Bentuk tubuh Collembola bervariasi, ada yang gilik, oval, bundar atau pipih dorso-ventral. Selain bentuk, warna tubuh juga bervariasi, yaitu dari putih, hitam dan bahkan ada yang tidak berwarna. Beberapa kelompok ada yang polos, tetapi banyak pula yang bercorak seperti bintik atau noda, garis atau mozaik tidak beraturan bentuk coraknya. Warna dan letak corak bervariasi, pada bagian tubuh tertentu tergantung kelompok taksonnya. Karena bervariasi, kadang-kadang ditemui spesies yang sama memiliki corak pola corak warna berbeda, maka warna dan bentuk corak tidak dapat dijadikan sebagai penciri pemiliknya, tetapi pada kelompok tertentu dapat membantu. Permukaan tubuh Collembola bervariasi, ada yang licin, granulat, atau tidak rata dan ada yang mulus (Suhardjono et al., 2012).


(20)

2.3 Klasifikasi Collembola

Pada awalnya Collembola digolongkan di dalam takson Hexapoda dengan status sebagai salah satu ordo dari kelas Insecta. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan penelitian, maka terjadi revisi kedudukan beberapa takson. Ada takson yang berkembang sehingga naik jenjang, seperti Collembola yang semula berstatus ordo berkembang dan terpisah dari Insecta dan menjadi kelas tersendiri. Perubahan klasifikasi Hexapoda juga berpengaruh terhadap klasifikasi Collembola. Dengan semakin banyaknya jenis yang dideskripsi, Collembola menunjukkan keanekaragaman yang tinggi. Klasifikasi yang dikemukakan oleh Gisin (1960) dan Chritiansen & Bellinger (1980-1981) merupakan tatanan yang sederhana. Namun kesederhanaan tersebut akan menimbulkan dampak terjadinya kompleks takson di bawah ordo karena di dalam satu ordo akan mencakup kelompok famili, genus atau spesies yang cukup besar (Suhardjono et al., 2012).

Klasifikasi yang telah ada dipertegas oleh Deharveng (2004) dan diperkuat oleh Soto-Adames (2006). Dalam klasifikasi yang dibuat untuk membedakan takson Deharveng (2004) memadukan banyak karakter taksonomi baru yang semuanya berdasarkan ketoksasi bagian-bagian tubuh antena, tungkai, tergit, pola S-seta pada tergit, bagian mulut, labrum, serta labium. Dari defenisi klas yang diungkapkan Soto- Adames (2006) memperjelas bahwa Collembola memang berbeda nyata dari anggota Arthropoda lainnya. Dengan klasifikasi yang baru ini, maka kedudukan Collembola adalah klas yang mempunyai empat ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha, Symphypleona dan Neelipleona.

2.4. Peranan Collembola

Sebagai komponen ekosistem, Collembola mempunyai peran yang beranekaragam bergantung pada jenis atau kelompoknya. Peran tersebut dapat sebagai perombak bahan organik, penunjuk (indikator), perubahan keadaan tanah, penyeimbang fauna tanah, pemangsa, hama dan/ atau penyerbuk. Pada umumnya Collembola dikenal sebagai hewan tanah. Oleh karena itu, peran Collembola yang paling menonjol adalah sebagai perombak bahan organik dalam tanah. Peran perombak ini dapat ditunjukkan dengan adanya fraksi-fraksi bahan organik tanah berupa


(21)

miselium, spora, bagian bangkai hewan, mayat atau kotoran dan bahan lain yang sudah terfermentasi di dalam saluran pencernaannya (Suhardjono, 1992).

Sebagai pemakan jamur ternyata Collembola juga dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian akibat serangan jamur. Keberadaannya di lahan pertanian dapat menekan serangan patogen tersebut (Sabatini & Innocetti 2000). Selanjutnya Suhardjono et al., (2012) menjelaskan bahwa Collembola telah dikenal dapat dimanfaatkan sebagai indikator hayati tingkat kesuburan atau keadaan tanah. Peran ini sudah banyak dibahas dimanfaatkan di kawasan Eropa dan Amerika, tetapi belum banyak diketahui di Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena beberapa jenis Collembola tertentu peka terhadap unsur atau senyawa kimia tertentu di dalam tanah.

Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator adanya ion-ion racun dan logam berat. Ion racun dan logam berat yang terperangkap tidak berpengaruh terhadap Collembola sendiri, karena akan hilang bersama dengan proses pergantian kulit. Oleh karena itu, Collembola tanah diharapkan jasanya sebagai penunjuk adanya pencemaran tanah oleh racun atau logam berat yang terdapat di dalam tubuh Collembola. Pemeriksaan kandungan logam berat dan ion racun ini pernah dilakukan di Belanda dan Amerika. Pemanfaatan jasa Collembola sebagai bioindikator ini sangat dimungkinkan di Indonesia (Suhardjono, 1992).

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Collembola

Kehidupan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor lingkungan biotik adalah adanya organisme lain yang berada di habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan fauna lainnya (Suin, 2006).

Faktor abiotik dapat berupa faktor fisik dan kimia seperti pH, suhu, kelembaban, keberadaan zat pencemar di dalam tanah, kedalaman tanah, serta iklim atau musim. Suhu dan penguapan dapat mempengaruhi komunitas Collembola. Selain faktor fisik dan kimia, faktor biotik juga berpengaruh terhadap keberadaan Collembola. Vegetasi penutup merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan karena dapat mempengaruhi sifat keadaan tanah. Keanekaragaman vegetasi mempengaruhi keanekaragaman Collembola (Rahmadi et al., 2004).


(22)

Curah hujan dapat berpengaruh tidak langsung terhadap sintasan Collembola. Tingkat kematian akan lebih tinggi pada musim kering, karena mereka tidak tahan terhadap kekeringan. Mereka peka terhadap perubahan kelembaban tanah baik yang terjadi di atas permukaan maupun di dalam tanah sendiri. Perubahan kelembaban sangat berkaitan dengan perubahan suhu di lingkungan tanah dan sekitarnya. Manakala terjadi perubahan suhu dan atau kelembaban di sekitar tempat hidupnya, mereka berusaha mempertahankan diri dengan berpindah tempat ke lapisan tanah lebih dalam untuk mencapai perlindungan. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok yang hidup di tajuk atau di sela-sela lumut pohon, mereka mencari tempat persembunyian yang lebih terlindung dari perubahan suhu dan kelembaban (Suhardjono et al., 2012).

2.6. Habitat Collembola

Berdasarkan habitatnya, fauna tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon, hemiedafon dan euedafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan euedafon hidup pada tanah lapisan mineral (Suin, 2006).

Collembola dapat ditemukan di berbagai macam habitat dari tepi laut atau pantai sampai pegunungan tinggi yang bersalju sekalipun. Setiap macam habitat mempunyai komposisi keanekaragaman Collembola yang berbeda. Namun, sebagian besar mereka hidup pada habitat yang berkaitan dengan tanah, seperti di dalam tanah, permukaan tanah, serasah yang membusuk, kotoran binatang, sarang binatang dan liang-liang. Habitat yang lain adalah vegetasi di atas permukaan tanah terutama yang lembab dan hangat. Dalam hal ini Collembola dapat dijumpai di antara lembar-lembar lumut, dedaunan, atau ranting-ranting perdu dan serasah yang tertampung pada rumpun paku-pakuan yang menempel di batang pohon (Suhardjono et al., 2012).

2.7. Hutan

Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 menjelaskan bahwa hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, satu dengan


(23)

lainnya tidak dapat dipisahkan yang terletak pada suatu kawasan. Kehutanan merupakan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Pengurusan hutn bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan lestari untuk kemakmuran rakyat.

Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan (Ewuise, 1990).

Hutan bukan semata-mata kumpulan pohon-pohon yang hanya dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan dan alam lingkungannya (Arief, 2001).

Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa hutan alam adalah hutan yang terjadi melalui proses suksesi secara alam. Hutan alam ini dibagi atas dua jenis sebagai berikut:

a. Hutan alam primer merupakan hutan alam asli yang belum pernah dilakukan penebangan oleh manusia. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon tinggi berumur ratusan tahun yang tumbuh dari biji. Hutan alam primer mencakup hutan perawan, hutan alam primer tua, dan hutan alam primer muda.

b. Hutan alam sekunder merupakan hutan asli yang pernah mengalami kerusakan oleh kegiatan alam. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon yang lebih rendah dan kecil apabila dibandingkan dengan pohon-pohon pada hutan alam primer. Akan tetapi, apabila umur pohon sudah mencapai ratusan tahun, hutan itu akan sulit dibedakan dengan hutan alam primer, kecuali diketahui sejarah proses suksesi yang terjadi. Hutan alam sekunder mencakup hutan vulkanogen, hutan kebakaran alam, dan hutan penggembalaan alam.

Hutan sekunder merupakan hutan yang fase pertumbuhan dari keadaan tapak gundul, karena alam atau antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.


(24)

Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lainnya, karakteristik-karaktristik dan perkembanan hutan-hutan sekunder juga tergantung pada kondisi-kondisi spesifik pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak hanya perkembangan dari pertumbuhan riap atau volume tegakan saja, melainkan juga struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi regional, serta oleh karakteristik dan perkembangan hutan tersbut (Irwanto, 2006).

Zain (1992) menjelaskan bahwa hutan memiliki manfaat bagi kehidupan manusia yaitu: berupa manfaat langsung dirasakan maupun yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin ekstensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabia pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional bekelanjutan, yaitu pembangunan yang tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi.

Hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (6) manfaat penting lainnya seperti nilai estesis, rekreasi, kondisi alam asli dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengelolaan hutan (Daniel et al., 1992).

2.8. Agroforestri

Agroforestri merupakan suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman hutan dan atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai budaya masyarakat setempat (Rauf, 2011).

Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka


(25)

agrofrestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat dengan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi (Widianto et al., 2003).

Hairiah & Sitompul (2000) menjelaskan bahwa pada umumnya alih-guna lahan hutan menjadi lahan Agroforestri baik monokultur maupun polikultur akan menurunkan keanekaragaman biota tanah dan kualitas air. Pada lahan pertanian, rendahnya jumlah dan diversitas dalam suatu luasan menyebabkan rendahnya keragaman kualitas masukan bahan organik dan tingkat penutupan permukaan tanah oleh lapisan serasah. Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah berhubungan erat dengan laju dekomposisinya.

Alih-guna lahan dari hutan menjadi pertanian mengakibatkan timbulnya aneka dampak. Sebagai salah satu sistem penggunaan lahan alternatif, agroforestri memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi pemulihan fungsi hutan yang hilang setelah dialihgunakan. Namun perlu dipahami bahwa tidak semua fungsi yang hilang itu dapat dipulihkan melalui penerapan agroforestri. Demikian pula tidak semua sistem agroforestri dapat menghasilkan fungsi yang sama (baik macam ataupun kualitasnya) (Widianto et al., 2003).


(26)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2013 pada hutan sekunder dan agroforestri kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pelaksanaan determinasi dan identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2. Deskripsi Area

Secara administratif lahan hutan sekunder dan agroforestri kopi terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara (peta lokasi pada Lampiran 1). Jarak antar kedua lokasi ± 50 m.

a. Lokasi I

Merupakan areal Hutan Sekunder yang terletak di hutan gunung Sinabung di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara dan berada pada ketinggian 1400-1500 mdpl. Dengan vegetasi tanaman Lauraceae (Neocinnamommum sp. dan Litsea sp.), Fagaceae (Castanopsis sp. dan Lithocarpus sp.), Myrtaceae (Eugenia sp.), Euphorbiaceae (Macarangatanaria sp. Anacardiaceae (Buchanania sp.), Clusiaceae (Garcinia sp), Moraceae (Ficus sp.) dan Rubiaceae (Urophyllum sp.). Lokasi ini terletak pada 030 11’ 29,8” LU 0980 23’ 16,4” BT (Gambar 3.1). Sebelah Utara berbatasan dengan Ekosistem Leuser & Kabupaten Langkat, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Munte, sebelah Barat berbatasan dengan Ekosistem Leuser & Kecamatan Payung, sebelah Timur berbatasan dengan Simpang Empat & Kabanjahe.


(27)

Gambar 3.1 Lokasi Hutan Sekunder

b. Lokasi II

Merupakan areal Agroforestri Kopi yang memiliki luas ± 1 ha. Lokasi ini terletak pada titik koordinat 030 11’ 39,5”, LU 0980 23’ 25,6” BT, dengan luas 100x100m2. Lokasi agroforestri kopi berada pada ketinggian 1300-1400 mdpl. Pada agroforestri ini jenis kopi yang ditanam adalah Coffea Arabica, jenis tanaman lainnya yang terdapat pada lokasi ini adalah Capsicum annum, Capsicum frutescens, Solanum lycopersicum, Musa Paradisiaca (Gambar 3.2). Sebelah Timur, sebelah Selatan, sebelah Utara berbatasan dengan Agroforestri yang lain sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan jalan.


(28)

3.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Position System), kamera digital, soil tester, soil thermometer, cangkul, parang, pacak, ember plastik (diameter permukaan ± 16 cm), botol film, karet gelang, terpal, kantong plastik, kertas grafik dilaminating, meteran, pensil, buku catatan, karung goni, pinset. Sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70 % dan detergen.

3.4. Metode Penelitian

Penentuan lokasi plot sampling dilakukan dengan menggunakan metoda Purposive Random Smpling pada dua lahan yang berbeda yaitu lahan Hutan Sekunder dan Lahan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo. Selanjutnya pengambilan sampel Collembola dilakukan dengan metode Pit Fall Trap (Suin, 2002).

3.5.Cara Kerja

3.5.1. Pengambilan Sampel Collembola

3.5.1.1. Metode Pit Fall Trap

Pengambilan sampel Collembola diambil pada dua lokasi yaitu hutan sekunder dan agroforesti kopi dengan menggunakan metode Pit Fall Trap, yaitu pada masing-masing titik sampling ditentukan, ditempatkan dan ditanam perangkap. Perangkap yang digunakan berupa ember plastik diameter permukaan ± 16 cm, dasar 4,5 cm dan tinggi 15 cm sebanyak 25 ember, pada areal hutan sekunder dan areal agroforestri kopi. Kemudian perangkap diisi alkohol 70% sebanyak ± 400 ml dan ditambahkan detergen. Perangkap dipasang di permukaan tanah yang telah dilubangi sesuai ukuran ember plastik tersebut. Permukaan tanah yang berada di dekat bibir ember plastik tersebut diratakan. Di atas perangkap dipasang atap atau terpal plastik dengan tinggi kira-kira 25 sampai dengan 30 cm agar air hujan tidak masuk ke dalam ember plastik tersebut. Jarak antara Pit Fall Trap yang satu dengan yang lain paling dekat 10 m. Kemudian Pit Fall Trap dibiarkan selama 48 jam, yaitu dipasang pada pukul 08.00 WIB, dan diambil dua hari berikutnya pada pukul 08.00 WIB. Hewan yang terperangkap dipindahkan ke dalam botol sampel dengan alkoholnya. Selanjutnya botol sampel tersebut dibawa ke laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi FMIPA untuk diidentifikasi lebih lanjut.


(29)

3.5.2. Identifikasi Spesies CollembolaTanah

Sampel Collembola permukaan tanah dibawa dari lapangan dikelompokkan sesuai dengan kesamaan ciri-ciri morfologinya kemudian diawetkan dalam alkohol 70%. Selanjutnya proses determinasi dan identifikasi dilakukan dengan memperhatikan bentuk luar tubuhnya (morfologi) dengan bantuan Loup dan Mikroskop Stereo serta menggunakan beberapa buku acuan sebagai berikut: Stepenson (1923), Dindal (1990), Borror (1992), Gibb & Oseto (2006), Suin (2006), Nardi (2007), Fayle & Hashimoto (2011), Suhardjono et al. (2012).

3.6. Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 3.6.1. pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah

Pengukuran pH, kelembaban tanah dan suhu tanah dilakukan dilapangan dengan menggunakan alat seperti yang terlihat pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1. Alat Yang Digunakan Untuk Mengukur pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah

Parameter Satuan Alat yang digunakan

- pH - Soil Tester

- Kelembaban Tanah % Soil Tester

- Suhu Tanah °C Soil Thermometer

3.6.2.Kadar Air Tanah

Pengukuran kadar air tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar dan Umum (LIDA) USU. Tanah diambil dari lapangan mewakili tiap titik lalu dikompositkan serta dibersihkan dari sisa tumbuhan dan fauna yang masih ada lalu kemudian diaduk-aduk sampai rata dan diambil 20 gram untuk dianalisis. Selanjutnya sampel tanah ini dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 2 jam sehingga beratnya konstan dan ditentukan kadar air tanahnya dengan rumus berdasarkan Standard Nasional Indonesia (SNI) sebagai berikut:

( A – B )

Kadar air tanah (%) = x 100% A

Keterangan: A= Berat contoh semula (gram) B= Berat contoh kering oven (gram)


(30)

3.6.3. Kadar N, P, K dan C-organik

Pengukuran kadar N, P, K, dan C-organik dilakukan di Laboratorium Riset & Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Tanah yang telah dikompositkan lalu dibersihkan dari tumbuhan dan fauna yang masih ada. Kemudian diambil sebagian untuk dianalisis dengan metode berikut:

Tabel 3.2. Metode Pengukuran Kadar N, P, K dan C-Organik

Parameter Satuan Metode

- N total - P- tersedia - K - C-Organik % Ppm me/100 g % Kjeldhal Bray II

Ekstraksi NH4OAC pH 7

Walkley & Balck

3.7 Analisis Data

Jenis Collembola tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan dihitung nilai: Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK) untuk mengetahui keanekaragaman Collembola tanahnya dengan menggunakan rumus menurut Suin (2002) sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi (K)

Jumlah individu suatu jenis K =

(Jumlah plot x Luas Plot)

b. Kepadatan Relatif (KR)

Kepadatan suatu jenis

KR = X 100 %

Jumlah kepadatan semua jenis

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis

FK = X 100 %

Jumlah total plot

Suin (2002), menerangkan nilai FK berdasarkan konstansinya sebagai berikut:

Nilai FK: 0-25% = Konstansinya Aksidental (sangat jarang) Nilai FK: 25-50% = Konstansinya Assesori (jarang)

Nilai FK: 50-75% = Konstansinya Konstan (sering) Nilai FK: >75% = Konstansinya Absolut (sangat sering)


(31)

d. Indikator Biotik

Indikator biotik ditentukan terhadap Collembola tanah yang memiliki nilai KR>10% dan FK >25% yang menunjukkan bahwa Collembola tanah ini karakteristik di dapat di areal tersebut, karena dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik (Suin, 2002).

e. Komposisi Komunitas

Komposisi komunitas ditentukan dengan cara mengurutkan nilai kepadatan relatif tertinggi hingga yang terendah.


(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis Collembola Permukaan Tanah Yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada Hutan Sekunder dan lahan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo, ditemukan barbagai spesies Collembola permukaan tanah seperti yang tercantum pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Collembola Permukaan Tanah yang ditemukan pada Dua Lokasi Penelitian

Kelas Ordo Famili Spesies Lokasi

I II

Collembola Entomobryomorpha Entomobryidae Ascocyrtus sp. + -

Entomobrya sp. 1 + +

Entomobrya sp. 2 + +

Entomobrya sp. 3 + -

Entomobrya sp. 4 - +

Homidia sp. + +

Lepidosira sp. + -

Pseudosinella sp. - + Tomoceridae Tomocerus sp. + - Symphypleona Paronellidae Lepidonella sp. + + Dicyrtomidae Ptenothrix sp. + - Sminthuridae Sphyrotheca sp. + + 10 8

Keterangan : Lokasi I: Hutan Sekunder, Lokasi II: Agroforestri, (+): Ditemukan, (-): Tidak ditemukan

Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa Collembola permukaan tanah yang ditemukan pada kedua lokasi terdiri dari 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies. Collembola permukaan tanah yang paling banyak ditemukan adalah pada hutan sekunder yaitu 10 spesies dan 5 spesies tidak ditemukan pada agroforestri kopi yaitu Ascocyrtus sp., Entomobrya sp.3, Lepidosira sp., Tomocerus sp., Ptenothrix sp. Sedangkan pada agroforestri kopi ditemukan sebanyak 8 spesies dan 2 spesies tidak ditemukan pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.4 dan Pseudosinella sp. Lebih sedikitnya spesies yang ditemukan pada agroforestri kopi disebabkan pada lokasi ini sudah ada campur tangan manusia berupa alih guna lahan hutan


(33)

menjadi agroforestri, sehingga dapat menurunkan keragaman vegetasi dan bahan organik tanah lainnya, selain itu masukan makanan bagi fauna tanah khususnya Collembola permukaan tanah juga akan menurun. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Prijono & Wahyudi (2009) bahwa pada umumnya lahan agroforestri memiliki jumlah dan keragaman vegetasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan hutan sehingga menyebabkan perbedaan serasah gugur, baik ditinjau dari jumlah dan kualitas. Selanjutnya Munawar (2011) menambahkan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah penambahan dan kehilangan Bahan Organik Tanah (BOT). Faktor-faktor tersebut antara lain; pengelolaan tanah, tekstur tanah, iklim, posisi lanskap dan juga tipe vegetasi.

Faktor lain yang mempengaruhi Collembola permukaan tanah lebih sedikit pada agroforestri kopi adalah keadaan lokasi ini lebih terbuka daripada hutan sekunder sehingga berpengaruh terhadap kenaikan suhu (Lampiran 4). Tingginya suhu pada agroforestri menyebabkan kelembabannya rendah, sedangkan Collembola lebih menyukai habitat yang lembab. Suin (2006) menjelaskan bahwa naik dan turunnya suhu tanah sekecil apapun memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan keberadaan dan kepadatan Collembola permukaan tanah pada suatu areal. Selanjutnya Odum (1996) manambahkan kehidupan Collembola permukaan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu tanah yang ekstrim dapat mematikan Collembola permukaan tanah. Selain itu suhu tanah juga mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi serta metabolisme Collembola permukaan tanah. Tiap spesies Collembola permukaan tanah memiliki kisaran suhu optimum.

Namun perbedaan jumlah Collembola permukaan tanah yang ditemukan pada kedua lokasi terlihat tidak jauh berbeda. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa alih guna lahan hutan menjadi agroforestri tidak begitu mengubah atau merusak ekosistem. Dewi (2007) menjelaskan bahwa agroforestri dianggap mampu mempertahankan biodiversitas fauna tanah termasuk diantaranya Collembola. Selanjutnya Hairiah et al., (2000) menjelaskan bahwa agroforestri merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan hutan dengan tujuan untuk mengurangi kegiatan perusakan hutan dan perambahan hutan, dimana kelangsungan hidup dan keanekaragaman fauna tanah tidak terganggu.


(34)

Data pada Tabel 4.1 juga memperlihatkan bahwa Collembola permukaan tanah yang paling banyak ditemukan pada kedua lokasi adalah dari famili Entomobryidae yang terdiri dari 9 spesies. Lebih banyaknya Collembola permukaan tanah dari famili ini disebabkan karena Entomobryidae merupakan kelompok Collembola permukaan tanah yang memiliki jumlah spesies yang paling banyak dengan penyebaran yang sangat luas. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Kanal (2004) dan Hadley (2007) bahwa Entomobryidae dikenal sebagai jenis Collembola yang banyak ditemukan pada permukaan tanah, maupun pada lapisan serasah dengan populasi yang tinggi sehingga berperan sebagai dekomposer yang efektif.

4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Collembola Permukaan Tanah

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, didapatkan Kepadatan dan Kepadatan Relatif Collembola permukaan tanah seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan (Individu/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Collembola Permukaan Tanah Pada Setiap Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi I Lokasi II

K (Ind/m2) KR (%) K (Ind/m2) KR (%)

1. Ascocyrtus sp. 13,933 11,475 - - 2. Entomobrya sp. 1 13,933 11,475 13,933 12,727 3. Entomobrya sp. 2 9,952 8,197 17,914 16,364 4. Entomobrya sp. 3 11,943 9,836 - - 5. Entomobrya sp. 4 - - 15,924 14,545 6. Homidia sp. 9,952 8,197 15,924 14,545 7 Lepidosira sp. 13,933 11,475 - - 8. Lepidonella sp. 9,952 8,197 15,924 14,545 9. Pseudosinella sp. - - 17,914 16,364 10. Ptenothrix sp. 13,933 11,475 - - 11. Sphyrotheca sp. 11,943 9,836 11,943 10,909 12. Tomocerus sp. 11,943 9,836 - -

Jumlah 121,417 100,000 109,475 100,000

Keterangan: Lokasi I= Hutan Sekunder, Lokasi II= Agroforestri, K= Kepadatan, KR=Kepadatan Relatif.

Pada Tabel 4.2 memperlihatkan nilai kepadatan total tertinggi didapatkan pada hutan sekunder dengan nilai 121,417 individu/m2, dan kepadatan total terendah pada agroforestri kopi, yaitu 109,475 individu/m2. Tingginya nilai kepadatan total Collembola permukaan tanah yang terdapat pada hutan sekunder dan jumlah


(35)

spesies yang ditemukan juga tinggi ini berkaitan dengan faktor fisik-kimia tanah pada hutan sekunder yang mendukung bagi kelangsungan hidup Collembola permukan tanah, diantaranya adalah kelembaban tanah (50,20%), kadar air tanah (34%), C/N (8,59%), P-tersedia (23,04 ppm) dan C-organik (4,81%) (Lampiran 4). Kadar air tanah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi Collembola permukaan tanah karena kadar air ini juga menentukan kelembaban dan suhu tanah. Air sangat besar peranannya dalam hubungannya dengan kation-kation dalam tanah, dekomposisi bahan organik dan kehidupan organisme tanah diantaranya Collembola permukaan tanah (Suin 2006). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada tanah yang kadar airnya rendah, kepadatan makrofauna tanahnya juga rendah begitu juga sebaliknya.

Kadar C-organik tanah juga memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap keberadaan dan kehadiran fauna tanah yang termasuk di dalamnya adalah Collembola. Faktor makanan merupakan faktor yang penting dalam menentukan bertambah atau berkurangnya jumlah individu makrofauna tanah. Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, khususnya makrofauna tanah (Suin 1997). Sehingga jenis komposisi bahan organik tanaman menentukan kepadatannya (Hakim at al. 1986). Selanjutnya Sugiyarto et al. 2007 juga menjelaskan semakin banyak bahan organik yang tersedia maka jumlah individu Collembola permukaan tanah juga akan semakin bertambah.

Nilai kepadatan (K) dan Kepadatan Relatif (KR) masing-masing spesies Collembola permukaan tanah yang didapatkan juga menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada tiap lokasi. Nilai Kepadatan spesies tertinggi pada hutan sekunder didapatkan pada Ascocyrtus sp., Entomobrya sp.1 dan Lepidosira sp. dengan nilai K (13,933 individu/ m2) dan nilai KR tertinggi adalah Ascocyrtus sp., Entomobrya sp.2, Lepidosira sp. dan Ptenothrix sp. dengan nilai KR (11,475 %). Sedangkan pada agroforestri kopi nilai K spesies tertinggi adalah Entomobrya sp.2, Pseudosinella sp. dengan nilai K (17,914 individu/ m2) dan nilai KR tertinggi yaitu Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp. dengan nilai KR (16,364 %). Nilai Kepadatan spesies terendah pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.2, Homidia sp. dan Lepidonella sp. dengan nilai K (9,952 individu/m2) dan nilai KR


(36)

(8,197 %). Sedangkan pada agroforestri kopi nilai K terendah adalah Sphyrotheca sp. dengan nilai K (11,943 individu/m2) dan nilai KR (10,909 %).

Hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai Kepadatan total dan Kepadatan Relatif pada kedua lokasi ini disebabkan karena Collembola permukaan tanah yang ditemukan memiliki kisaran toleransi dan daya dukung yang berbeda-beda terhadap berbagai faktor fisik-kimia lingkungan sehingga terdapat beberapa spesies yang ditemukan pada hutan sekunder tetapi tidak ditemukan pada agroforestri kopi begitu juga sebaliknya. Sukarsono (2009) menyatakan bahwa jenis-jenis fauna tanah yang kisaran toleransinya bersifat luas terhadap banyak faktor lingkungan tertentu misalnya suhu, kelembaban dan habitat maka akan memiliki sebaran yang luas dan jumlah yang banyak dibandingkan dengan fauna tanah yang kisaran toleransinya bersifat sempit atau toleran terhadap beberapa faktor lingkungan saja.

Pasokan makanan sebagai sumber energi juga turut mempengaruhi keberadaan dan kepadatan fauna tanah. Pada kedua lokasi ini diduga pasokan makanan yang tersedia terdapat perbedaan sehingga kepadatan fauna tanah yang didapatkan juga berbeda. Suin (2006) menyatakan bahwa semua fauna tanah bergantung pada material organik tanah sebagai penyedia energi bagi kehidupannya. Handayanto & Hairiyah (2009) menambahkan masing-masing fauna tanah memiliki ketergantungan yang berbeda terhadap lingkungan tanah dalam hal pasokan energi dan nutrisi untuk pertumbuhannya. Sebagian besar fauna tanah mendapatkan energi dan nutrisi langsung dari tanah, baik dari bahan mineral, bahan organik atau dari biomassa hidup dalam tanah.

4.3. Frekuensi Kehadiran (Konstanta) Collembola Permukaan Tanah

Frekuensi kehadiran sering pula dinyatakan sebagai konstansi. Dari frekuensi kehadiran atau konstansi itu, fauna tanah dapat dikelompokkan menjadi empat golongan. Golongan aksidental (sangat jarang) bila konstansinya 0 – 25%, golongan assesori (jarang) bila konstansinya 25 – 50%, golongan konstan (sering) bila konstansinya 50 – 75%, dan golongan absolut (sangat sering) bila konstansinya lebih dari 75% (Suin, 2006). Hasil analisis data mengenai frekuensi


(37)

kehadiran dan konstansinya untuk masing-masing Collembola permukaan tanah yang ditemukan pada tiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Nilai Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstansi Makrofauna Tanah Pada Setiap Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi I Lokasi II

FK (%) Konstanta FK(%) Konstanta

1. Ascocyrtus sp. 24 Aksidental - - 2. Entomobrya sp. 1 28 Assesori 24 Aksidental 3. Entomobrya sp. 2 20 Aksidental 32 Assesori 4. Entomobrya sp. 3 24 Aksidental - - 5. Entomobrya sp. 4 - - 24 Aksidental 6. Homidia sp. 20 Aksidental 28 Assesori 7 Lepidosira sp. 28 Assesori - - 8. Lepidonella sp. 16 Aksidental 28 Assesori 9. Pseudosinella sp. - - 28 Assesori 10. Ptenothrix sp. 28 Assesori - - 11. Sphyrothecasp. 20 Aksidental 20 Aksidental 12. Tomocerus sp. 20 Aksidental - -

Keterangan: Lokasi I= Hutan Sekunder, Lokasi II= Agroforestri Kopi, FK= Frekuensi Kehadiran

Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa pada hutan sekunder ditemukan 7 spesies yang bersifat Aksidental dan 3 spesies bersifat Assesori. Pada agroforestri kopi ditemukan 3 spesies yang bersifat Aksidental dan 4 bersifat Assesori. Frekuensi kehadiran yang bersifat Konstan dan Absolut tidak ditemukan. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa tidak ada Collembola permukaan tanah yang mendominasi pada kedua lokasi. Dengan perkataan lain, pada hutan sekunder dan agroforestri kopi frekuensi kehadiran Collembola permukaan tanah relatif sama.

Keadaan ini diduga karena pada kedua lokasi tersebut merupakan areal yang sudah terdapat kegiatan manusia. Dengan kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalamnya menyebabkan aktivitas Collembola permukaan tanah terganggu dan frekuensi kehadirannya secara umum rendah. Yulipriyanto (2010) menjelaskan berbagai kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan gangguan biota tanah diantaranya pembakaran (api), pemanenan, pengolahan, pemadatan, pengambilan rumput, penyakit atau penggunaan pestisida. Frekuensi, banyaknya dan waktu gangguan menentukan efeknya pada aktivitas organisme tanah.

Banyaknya Collembola permukaan tanah yang terdapat pada masing-masing lokasi yang bersifat aksidental menunjukkan ataupun menggambarkan ekosistem tersebut baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan


(38)

agroforestri ini tidak begitu banyak menimbulkan dampak yang negatif bagi ekosistem. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Hanafiah et al., (2005) agroforestri berfungsi penting dalam mempertahankan konservasi tanah dan air, juga berperan penting dalam mempertahankan kesuburan tanah dan pendapatan petani. Selanjutnya Widianto et al. (2003) menambahkan bahwa agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian.

4.4 Kepadatan Relatif (KR%) >10% dan Frekuensi Kehadiran (FK%)>25% yang Didapatkan pada Setiap Lokasi Penelitian

Dari hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan spesies Collembola permukaan tanah yang cukup bervariasi memiliki nilai KR(%) >10% dan FK(%) >25% pada setiap lokasi penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Nilai KR(%) >10% dan FK(%) > 25% Collembola permukaan tanah yang Didapatkan pada Setiap Lokasi Penelitian

No Spesies

Lokasi I Lokasi

II

KR (%) FK(%) KR (%) FK(%)

1. Entomobrya sp. 1 11,475 28 - -

2. Lepidosira sp. 11,475 28 - -

3. Ptenothrix sp. 11,475 28 - -

4. Entomobrya sp. 2 - - 16,364 32

5. Homidia sp. - - 14,545 28

6. Lepidonella sp. - - 14,545 28

7. Pseudosinella sp. - - 16,364 28

Keterangan: Lokasi I = Hutan Sekunder, Lokasi II = Agroforestri Kopi, KR = Kepadatan Relatif, FK = Frekuensi Kehadiran

Dari Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR(%) > 10% dan FK (%) >25 % pada hutan sekunder didapatkan sebanyak 3 spesies yaitu Entomobrya sp. 1, Lepidosira sp., Ptenothrix sp. Sedangkan pada agroforestri kopi didapatkan sebanyak 4 spesies, yaitu Entomobrya sp. 2 dan Pseudosinella sp., Homidia sp. dan Lepidonella sp. Keadaan ini menunjukkan bahwa Collembola permukaan tanah tersebut merupakan Collembola yang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada masing-masing lokasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suin (2002) bahwa hewan tanah yang memiliki nilai KR(%) >10% dan FK(%) >25%


(39)

menunjukkan bahwa hewan tanah tersebut merupakan jenis karakteristik di habitat tersebut, dan dapat hidup serta berkembang biak dengan baik.

Banyaknya spesies Collembola permukaan tanah yang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada agroforestri kopi disebabkan karena pasokan makanan sebagai sumber energi lebih tersedia atau memadai dibandingkan hutan sekunder, dimana pada agroforestri kopi sedikit banyaknya sudah ada penambahan pupuk sehingga sumber makanan pada lokasi tersebut bertambah. Selain itu, faktor fisik-kimia terutama nilai kadar N-total pada agroforestri kopi lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder (Lampiran 3). Tingginya kadar N-total dapat memberikan pengaruh terhadap Collembola permukaan tanah yang berada di lokasi tersebut dan ketersediaan makanan atau nutrisi sebagai sumber energi bagi Collembola permukaan tanah. Lee (1985) menjelaskan bahwa N-total merupakan unsur pembentuk jaringan tubuh hewan. Selanjutnya Adianto (1993) menambahkan bahwa kemampuan fauna tanah diantaranya Collembola permukaan tanah untuk hidup dan berkembang dengan baik pada suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi fisika, kimia dan biologi tanahnya serta tersedianya bahan makanan yang dibutuhkannya.

Michael (1995) menyatakan bahwa secara alamiah penyebaran hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan diatur oleh jumlah dan keragaman bahan yang dibutuhkan oleh organisme tersebut serta faktor fisik dan batas toleransi organisme terhadap komponen-komponen ini di lingkungan. Dalam hal ini terjadi interaksi antara spesies tersebut dengan segala faktor lingkungan abiotik maupun biotik. Dari lingkungannya spesies tersebut mendapat energi (sumber makanan) untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak. Keadaan faktor lingkungan itulah yang menentukan kelimpahan spesies tersebut di lingkungan.

4.5 Komposisi Spesies Collembola Permukaan Tanah Lokasi Penelitian Komposisi spesies Collembola permukaan tanah pada masing-masing lokasi penelitian diperoleh berdasarkan pengurutan nilai kepadatan relatif dari nilai tertinggi sampai yang terendah didapatkan komposisi spesies yang bervariasi. Komposisi Collembola permukaan tanah pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini:


(40)

Tabel 4.5 UrutanKomposisi Masing-masing Collembola Permukaan Tanah pada Setiap LokasiPenelitian

No Spesies KR Lokasi I KR Lokasi II

1. Ascocyrtus sp. 11,475 % 2 - - 2. Entomobrya sp. 1 11,475 % 2 12,727 % 3 3. Entomobrya sp. 2 8,197 % 4 16,364 % 1 4. Entomobrya sp. 3 9,836 % 3 - - 5. Entomobrya sp. 4 - - 14,545 % 2 6. Homidia sp. 8,197 % 4 14,545 % 2 7 Lepidosira sp. 13,933 % 1 - - 8. Lepidonella sp. 8,197 % 4 14,545 % 2 9. Pseudosinella sp. - - 16,364 % 1 10. Ptenothrix sp. 11,475 % 2 - - 11. Sphyrothecasp. 9,836 % 3 10,909 % 4 12. Tomocerus sp. 8,197 % 4 - -

Keterangan:Lokasi I= Hutan Sekunder, Lokasi II= Agroforestri Kopi, KR= Kepadatan Relatif

Dari Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa pada hutan sekunder urutan komposisi Collembola permukaan tanah yang pertama dengan nilai KR 13,933 % adalah Lepidosira sp. Sedangkan pada agroforestri kopi urutan pertama dengan nilai KR 16,364 % adalah Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp. Dari hasil ini juga dapat terlihat adanya perbedaan komposisi spesies antar lokasi penelitian, perbedaan ini sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan kimia lingkungan yang berbeda pada kedua lokasi (Lampiran 3). Adianto (1993) menjelaskan fauna tanah sebagai hewan invertebrata dan bersifat poikiloterm pada umumnya memiliki kisaran toleransi yang sempit (eury) terhadap kondisi fisik-kimia lingkungannya, sehingga daerah yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda juga komposisi fauna tanahnya akan berbeda pula.


(41)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan terhadap “Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kuta

Gugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo” dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

a. Ditemukan Collembola permukaan tanah pada lokasi penelitian yang terdiri dari 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies. Pada hutan sekunder ditemukan 1 ordo, 2 famili dan 10 spesies. Pada agroforestri kopi ditemukan 1 ordo, 3 famili dan 8 spesies.

b. Nilai kepadatan total tertinggi hutan sekunder sebesar 121,417 individu/m2 sedangkan kepadatan terendah pada agroforestri kopi sebesar 109,475 individu/m2.

c. Nilai frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu antara Aksidental dan Assesori.

d. Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% pada hutan sekunder terdapat 3 spesies. Sedangkan pada agroforestri kopi terdapat 4 spesies.

e. Komposisi spesies tertinggi pada hutan sekunder adalah Lepidosira sp. dengan nilai KR 13,933 % dan pada agroforestri kopi komposisi tertinggi adalah Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp. dengan nilai KR 16,364%.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi komunitas Collembola dimana Collembola ini merupakan hewan tanah yang mempunyai peranan penting dalam perombakan bahan-bahan organik dalam tanah. Terutama setelah Gunung Sinabung meletus penelitian ini sebaiknya dapat dilakukan untuk membandingkan data sebelum dan sesudah meletusnya Gunung Sinabung.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Adianto.1993. Biologi Pertanian (Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati, DanInsektisida). Edisi ke-2.Alumni anggota IKAP. Bandung.

Amir, A. M. 2008. Peranan Serangga Ekor Pegas (Collembola) dalam Rangka Meningkatkan Kesuburan Tanah.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.Warta, Volume 14, Nomor 1 April 2008:16-17ISSN-0853-8204.

Arief, A. 2001.Hutan dan Kehutanan.Kanisius.Yogyakarta. BPS Karo. 2012. Karo Dalam Angka 2012.

http://karokab.bps.go.id/publikasi/kda/2012/1 katalog_2012.pdf. Diakses pada 03 Januari 2013.

Christiansen, K & Bellinger, P. F. 1980-1981. The Collembola of North America. Grinell College, Grinell, lowa 50112.

Daniel, T. W., J. A. Helms, F. S. Baker. 1992. Prinsip-prinsip Silvinatural. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada.

Deharveng, L. 2004. Recent Advances in Collembola systematic. Pedobiologia 48:415-433.

Dewi, W. S. 2007. Dampak Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Pertanian: Perubahan Diversitas Cacing Tanah dan Fungsinya dalam Mempertahankan Porimakro Tanah. Disertasi. Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.

Ewuise, J. Y. 1990. Ekologi Tropika. Bandung: Penerbit ITB.

Foresta, A. H, Djatmoko, W. Michon, G. Kusworo. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan Agroforest Khas Indonesia. Grafika Desa Putera. Jakarta.

Ginting, M. 2008. Bagi Hasil Tanah Pertanian pada Masyarakat Karo.Pustaka bangsa press. Medan. hlm 66.

Gisin, H.1960. Collembolan Fauna Eropas. Museum d’Histoire Naturelle. Geneve: 318pp.

Greenslade. P. J. 1996. Collembola Di dalam: Naumann ID, ed The Insect of Autralia: A Textbook for Students and Research Workers vol 1 2nd ed. CSIRO. Melbourne: Melbourne Univ Pr.

Greenslade, P., L. Deharveng, A. Bedos, & Y.R. Suhardjono, 2000. Handbook to Collembola of Indonesia.Advisor Willem N. Ellis.Museum Zoologicurn Bogoriense. Bogor.


(43)

Hadley, D. 2007. Order Collembola. http://www.insect.about.com/od/springtails. Diakses 20 September 2013.

Hanafiah KA, Napoleon A dan Nuni G. 2005. Biologi tanah ekologi dan makrobiologi tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hairiah, K., S. R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, S. M. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana, R. Mulia, M. Van Noordwijk and G. Cadish. 2000. Agroforestry on Acid Soils in Humid Tropics Managing Tree-Soil-Crop Interadictions. ICRAF. Bogor.

Hairiah, K. dan S.M. Sitompul. 2000. Assesment And Simulation Of Aboveground And Belowground Carbon Dynamics. APN/IC-SEA, Bogor. Handayanto & Hairiah. 2009. Biologi Tanah, Landasan Pengelolaan Tanah Sehat.

Pustaka Adipura. Yogyakarta.

Hakim, N., M. Yusuf N., AM. Lubis, dan Sutopo G.N. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hopkin S. P. 1997. Biology of The Springtails (Insecta: Collembola). Oxford University Press. Oxford.

Indriyati & L. Wibowo. 2008. Keragaman dan Kelimpahan Collembola serta Arthropoda Tanah di Lahan Sawah Organik dan Konvensional pada Masa Bera. J.HPTTropika. 8(2):110-116.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Bumi aksara. Jakarta. Irwanto. 2006. Dinamika dan Pertumbuhan Hutan Sekunder.

UGM.Yogyakarta.hlm 2.

Kanal, A. 2004.Effects of fertilisation and edaphic properties on soil-assosiated Collembola in crop rotation.Agronomy Research 2(2):153-168.

Lee, K. E. 1985. Earthworm, Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use.Academic Press.Australia.

Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.Diterjemahkan oleh Koestoer, Y. R. UI-Press. Jakarta. Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press. Bogor.

Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Prijono, S. Wahyudi, H. A. 2009. Peran Agroforestry dalam Mempertahankan Makroporositas Tanah (Studi Pengaruh Peningkatan Serasah terhadap


(44)

Peningkatan Biomassa Cacing Penggali Tanah P. Corethrurus dan Makroporositas Tanah). PRIMORDIA. 5 (3): 203-212.

Rauf, A. 2011.Sistem Agroforestry. Universitas Sumatera Utara: Medan.

Rahmadi C, Suhardjono YR, Andayani I. 2004. Collembola Lantai Hutan di Kawasan Hulu Sungai Tabalong Kalimantan Selatan.Biota IX:179-185.

Sabatini, M. A. & Innocetti, G. 2000.Functional relationship between Collembola and plant pathogenic fungi of agricultural soil.Pedobiolagia 44 (3-4): 467-475.

Simanungkalit, D. A. Suriadirkata, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor.

Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta

---2002. Metoda Ekologi. Padang: Penerbit Universitas Andalas Padang.

--- 2006. Ekologi Hewan Tanah. Edisi Ke-3. Bumi Aksara. Jakarta. Sugiyarto., Efendi, M., Mahajoeno, E., Sugito, Y., Handayanto, E dan Agustina,

L. 2007. Preferensi berbagai jenis makrofauna tanah terhadap sisa bahan organik tanaman pada intensitas cahaya berbeda. Biodiversitas.7(4): 96 – 100.

Sukarsono. 2009. Ekologi Hewan. UMM Press. Malang.

Suhardjono, Y. R. 1992. Fauna Collembola Tanah di Pulau Bali dan Pulau Lombok. (Disertasi S3). Jakarta: Universitas Indonesia. Program Pasca Sarjana.

Suhardjono, Y. R. 2006. Status taksonomi fauna di Indonesia dengan tinjauan khusus pada Collembola.Zoo Indonesia 15:67-86.

Suhardjono, Y. R., Deharveng. L., Bedos. A. 2012. Biologi Ekologi Klasifikasi Collembola (Ekorpegas). Vegamedia. Bogor. Hlm 21:59-60.

SNI 13-6793-2002 (Pd M 12-1998-03). 2005. Metode Pengujian Kadar Air, Kadar Abu dan Bahan Organik Dari Tanah Gambut dan Tanah Organik Lainnya.http://www.pu.go.id/satminkal/balitbang/sni/pdf/SNI%2003-6793-2002.pdf. [09 Maret 2013].

Widianto., Kurniatun, H., Dikik, S dan Mustofa, A. S. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. ICFAFC World Agroforestry Centre. Bogor.


(45)

Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaanya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Zain, A. S. 1992. Aspek Pembinaan Wawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rine Kartika. Jakarta.


(46)

(47)

Lampiran 2. Foto Kerja

Metode Pitfall Trap

Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Proses Determinasi dan Identifikasi Tanah Di Lapangan


(48)

Lampiran 3. Penempatan Plot pada Lokasi Penelitian

a. Hutan Sekunder


(49)

Lampiran 4. Data Faktor Fisik-Kimia Tanah di Lokasi Penelitian

No Parameter Satuan Lokasi I Lokasi II

1 Suhu oC 14,50 16,07

2 Kelembaban % 50,20 41,67

3 Ph - 6,29 6,77

4 Kadar Air % 34 32,5

5 C- Organik % 4,81 0,65

6 N- total % 0,56 0,67

7 P- tersedia Ppm 23,04 18,12

8 K- tukar Me/100 0,42 0,25

9 C/N % 8,59 0,97


(50)

Lampiran 5. Klasifikasi dan Deskripsi Spesies Collembola Tanah yang Ditemukan pada Penelitian

No Gambar Spesies Klasifikasi Deskripsi

1. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Ascocyrtus Sp : Ascocyrtus sp.

Panjang dapat mencapai > 2,5 mm, warna dasar coklat dan putih, furkula berwarna pucat, ventral tubuh juga berwarna pucat, bagian dorsal tubuh bersisik, mata berwarna hitam, terdapat bercak hitam di tubuh, mempunyai 4 ruas antena, tubuh bersisik hialin, bulat dan bergaris-garis tipis.

2. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Entomobrya Sp : Entomobrya sp.1

Panjang tubuh dapat mencapai 1,5 mm, warna tubuh kecoklat-coklatan, furkula berwarna pucat, terdapat bercak hitam di tubuh, ruas-ruas tubuh normal, tidak bersisik, abdomen jelas dapat dibedakan dari toraks tubuh, mempunyai 4 ruas antena.

3. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Entomobrya Sp : Entomobrya sp.2

Panjang tubuh 1,5-2 mm, warna tubuh coklat, furkula berwarna putih kecoklatan, terdapat bercak hitam ditubuh, memiliki antena panjang dan biasanya lebih panjang dari lebar kepala, mempunyai 4 ruas antena, tubuh berseta dan beberapa setanya bersilia multilateral.


(51)

4. K : Animalia Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Entomobrya Sp : Entomobrya sp.3

Panjang tubuh 2 mm, warna tubuh putih kecoklatan, furkula normal dan berwarna putih kecoklatan, terdapat bercak hitam di tubuh, bercak mata gelap dan bersisik, sisik pada tubuh hialin, mempunyai 4 ruas antena.

5. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Entomobrya Sp : Entomobrya sp.4

Panjang tubuh dapat mencapai 1,3 mm, warna tubuh kecoklat-coklatan, furkula berwarna coklat kehitaman, tubuh berseta, tubuh bersisik, mempunyai 4 ruas antena, banyak ditemukan di permukaan tanah tetapi ada juga yang di tajuk pohon atau belukar.

6. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Homidia Sp : Homidia sp.

Panjang tubuh 1-2,5 mm, warna tubuh putih kecoklatan, furkula normal dan berwarna pucat, terdapat bercak atau lorek hitam di tubuh, ruas-ruas tubuh normal, tubuh tidak bersisik, mempunyai 4 ruas antena,.

7. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Paronellide

G : Lepidonella Sp : Lepidonella sp.

Panjang tubuh 1-1,5 mm, warna tubuh putih pucat, furkula berwarna putih dan furkula normal, terdapat bercak hitam di tubuh, tubuh bersisik dengan guratan sangat tipis, mempunyai 4 ruas antena.


(52)

8. K : Animalia Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Lepidosira Sp : Lepidosira sp.

ukuran tubuh cukup besar sekitar 2-3 mm, warna putih sampai kecoklatan dengan hiasan atau tambahan kombinasi garis-garis biru gelap, warna furkula coklat, warna antena pada umumnya gelap dan lebih gelap di daerah ujung pada setiap

ruasnya, dan

mempunyai 4 ruas antena.

9. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Pseudosinella Sp : Pseudosinella sp.

panjang tubuh 0,6 mm atau < 1 mm, warna tubuh putih pucat, furkula berwarna putih, terdapat bercak hitam di tubuh, tubuh bersisik berbentuk hialin, bulat dan bergaris-garis tipis, mempunyai 4 ruas antena dan biasanya berwarna kecoklatan dan di bagian ujungnya hitam.

10. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola

O : Entomobryomorpha F : Entomobryidae G : Tomocerus Sp : Tomocerus sp.

Panjang tubuh 3-4 mm, warna tubuh bervariasi ada yang coklat tetapi ada juga yang putih, furkula berwarna pucat, terdapat sisik di tubuh, tubuh tertutup seta-seta panjang, mempunyai 4 ruas antena.


(53)

11. K : Animalia Ph : Arthropoda C : Collembola O : Symphypleona F : Dicyrtomidae G : Ptenothrix Sp : Ptenothrix sp.

Panjang tubuh 1,5-2 mm, warna tubuh coklat, furkula berwarna coklat kehitaman, terdapat bercak hitam di tubuh, mempunyai antena panjang dan antenanya mempunyai 4 ruas, ruas-ruas toraks biasanya tidak jelas,

12. K : Animalia

Ph : Arthropoda C : Collembola O : Symphypleona F : Sminthuridae G : Spyhrotheca Sp : Sphyrotheca sp.

Panjang tubuh 0,6 mm, warna kelabu tua kecoklatan dengan noda putih pada bagian dorsal, furkula berwarna putih, tubuh bulat, ruas antena relatif pendek, dorsal abdomen besar, mata di sisi kepala dan terletak dalam bercak hitam, mempunyai 4 ruas antena.


(1)

Ditemukan pada Penelitian

No Gambar Spesies Klasifikasi Deskripsi

1. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Ascocyrtus

Sp : Ascocyrtus sp.

Panjang dapat mencapai > 2,5 mm, warna dasar coklat dan putih, furkula berwarna pucat, ventral tubuh juga berwarna pucat, bagian dorsal

tubuh bersisik, mata

berwarna hitam,

terdapat bercak hitam di tubuh, mempunyai 4

ruas antena, tubuh

bersisik hialin, bulat dan bergaris-garis tipis.

2. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Entomobrya

Sp : Entomobrya sp.1

Panjang tubuh dapat

mencapai 1,5 mm,

warna tubuh

kecoklat-coklatan, furkula

berwarna pucat, terdapat bercak hitam di tubuh, ruas-ruas tubuh normal, tidak bersisik, abdomen jelas dapat dibedakan

dari toraks tubuh,

mempunyai 4 ruas

antena.

3. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Entomobrya

Sp : Entomobrya sp.2

Panjang tubuh 1,5-2

mm, warna tubuh

coklat, furkula berwarna

putih kecoklatan,

terdapat bercak hitam

ditubuh, memiliki

antena panjang dan

biasanya lebih panjang

dari lebar kepala,

mempunyai 4 ruas

antena, tubuh berseta dan beberapa setanya bersilia multilateral.


(2)

4. K : Animalia Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Entomobrya

Sp : Entomobrya sp.3

Panjang tubuh 2 mm,

warna tubuh putih

kecoklatan, furkula normal dan berwarna putih kecoklatan, terdapat bercak hitam di tubuh, bercak mata gelap dan bersisik, sisik pada tubuh hialin, mempunyai 4 ruas antena.

5. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Entomobrya

Sp : Entomobrya sp.4

Panjang tubuh dapat

mencapai 1,3 mm,

warna tubuh

kecoklat-coklatan, furkula

berwarna coklat

kehitaman, tubuh

berseta, tubuh bersisik,

mempunyai 4 ruas

antena, banyak

ditemukan di permukaan tanah tetapi ada juga yang di tajuk pohon atau belukar.

6. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Homidia

Sp : Homidia sp.

Panjang tubuh 1-2,5

mm, warna tubuh putih

kecoklatan, furkula

normal dan berwarna pucat, terdapat bercak atau lorek hitam di tubuh, ruas-ruas tubuh

normal, tubuh tidak

bersisik, mempunyai 4 ruas antena,.

7. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Paronellide

G : Lepidonella

Sp : Lepidonella sp.

Panjang tubuh 1-1,5

mm, warna tubuh putih pucat, furkula berwarna

putih dan furkula

normal, terdapat bercak hitam di tubuh, tubuh bersisik dengan guratan sangat tipis, mempunyai


(3)

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Lepidosira

Sp : Lepidosira sp.

besar sekitar 2-3 mm,

warna putih sampai

kecoklatan dengan

hiasan atau tambahan

kombinasi garis-garis

biru gelap, warna

furkula coklat, warna antena pada umumnya gelap dan lebih gelap di daerah ujung pada setiap

ruasnya, dan

mempunyai 4 ruas

antena.

9. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Pseudosinella

Sp : Pseudosinella sp.

panjang tubuh 0,6 mm atau < 1 mm, warna

tubuh putih pucat,

furkula berwarna putih, terdapat bercak hitam di tubuh, tubuh bersisik berbentuk hialin, bulat dan bergaris-garis tipis,

mempunyai 4 ruas

antena dan biasanya

berwarna kecoklatan

dan di bagian ujungnya hitam.

10. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Entomobryomorpha

F : Entomobryidae

G : Tomocerus

Sp : Tomocerus sp.

Panjang tubuh 3-4 mm, warna tubuh bervariasi ada yang coklat tetapi ada juga yang putih, furkula berwarna pucat, terdapat sisik di tubuh, tubuh tertutup seta-seta panjang, mempunyai 4 ruas antena.


(4)

11. K : Animalia Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Symphypleona

F : Dicyrtomidae

G : Ptenothrix

Sp : Ptenothrix sp.

Panjang tubuh 1,5-2

mm, warna tubuh

coklat, furkula berwarna

coklat kehitaman,

terdapat bercak hitam di

tubuh, mempunyai

antena panjang dan

antenanya mempunyai 4 ruas, ruas-ruas toraks biasanya tidak jelas,

12. K : Animalia

Ph : Arthropoda

C : Collembola

O : Symphypleona

F : Sminthuridae

G : Spyhrotheca

Sp : Sphyrotheca sp.

Panjang tubuh 0,6 mm,

warna kelabu tua

kecoklatan dengan noda

putih pada bagian

dorsal, furkula berwarna putih, tubuh bulat, ruas antena relatif pendek, dorsal abdomen besar, mata di sisi kepala dan terletak dalam bercak hitam, mempunyai 4 ruas antena.


(5)

A. Lokasi I (Hutan Sekunder)

No Jenis Plot Sampling Jumlah Plot yang

ditempati 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

1. Ascocyrtus sp. - - 2 - - - - 1 - - - - 1 - 1 - - 1 - 1 - - - - 7 6

2. Homidia sp. 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 - 1 5 5

3. Lepidosira sp. - 1 - - - - 1 - - 1 - 1 - - - 1 - - 1 - 1 - - - - 7 7

4. Lepidonella sp. 2 - - - - 1 - - - 1 - - 1 - - - 5 4

5. Ptenotrhix sp. - 1 - 1 - - - 1 - - 1 - - - 1 - - - - 1 - - 1 7 7

6. Sphyrotheca sp. 1 - - - 2 - 1 - - - 1 - - - 1 - 6 5

7. Tomocerus sp. 1 - - 1 - - - - 1 - - 1 - - 1 - - - - 1 - - - 6 5

8. Entomobrya sp. 1 - - 1 - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - 1 6 6

9. Entomobrya sp. 2 - - - 1 - - - 1 - - 1 - - 1 - - - 1 - - 5 5

10. Entomobrya sp. 3 1 - - - 1 - - - - 1 - 1 - 1 - - 1 - - - 1 - - - - 7 7

B. Lokasi II (Agroforestri Kopi)

No Jenis Plot Sampling Jumlah Plot yang

ditempati 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

1. Homidia sp. 1 - - 1 - - 2 - - 1 - - - 1 - - 1 - - - 1 8 7

2. Pseudosinella sp. - 1 - - 2 - - - 2 - - - 1 - - 1 - 1 - - - 1 9 7

3. Lepidonella sp. 2 - 1 - - - - 1 - - 1 - - - 1 - - 1 - - - - 1 - 8 7

4. Sphyrotheca sp. 2 - - - 1 - - - 1 - - 1 - - - 3 - - 8 5

5. Entomobrya sp. 4 - 1 - 2 - - - 1 - - 2 - - - - 1 - - 1 - - 1 - - - 9 7


(6)

Lampiran 7. Contoh Perhitungan Metode Pitfall Trap

Luas ember = .(r2)

= 3,14 x 82 = 3,14 x 64

= 200,96 cm2 (1 plot sampling)

Di konversi menjadi 100 m2 = 10.000 cm2 10.000 cm2/ 200,96 cm2 = 49,76

- Menghitung K spesies = Jumlah Individu suatu Jenis / Jumlah Plot x Luas Areal

7

K Ascocyrtus sp= x 49,76 = 13,933 individu/m2

25

- Menghitung KR = Kepadatan suatu Jenis / Jlh total K. spesies x 100%

13,933

KR Ascocyrtus sp= × 100 = 11,475 % 121,417

- Menghitung FK = Jlh Plot yang ditempati / Jumlah Total Plot x 100 %

7

FK Ascocyrtus sp= × 100 = 24 % 25