Kajian Jenis Cacing Tanah sebagai Bioindikator di Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo

(1)

KAJIAN JENIS CACING TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR

DI HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI KOPI

DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN NAMAN TERAN

KABUPATEN KARO

TESIS

AINI QOMARIAH MANURUNG

Oleh

117030030/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

KAJIAN JENIS CACING TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR

DI HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI KOPI

DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN NAMAN TERAN

KABUPATEN KARO

TESIS

Oleh

AINI QOMARIAH MANURUNG

117030030/BIO

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister pada

Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : Kajian Jenis Cacing Tanah sebagai

Bioindikator di Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo

Nama Mahasiswa : Aini Qomariah Manurung

Nomor Induk Mahasiswa : 117030030

Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

NIP . 19700102 199702 2 002 NIP . 19630123 199003 2 001 Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

NIP. 19660209 199203 1 003 NIP. 19631026 199103 1 001 Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KAJIAN JENIS CACING TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR

DI HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI KOPI

DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN NAMAN TERAN

KABUPATEN KARO

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah di jelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, Agustus 2013

AINI QOMARIAH MANURUNG NIM. 117030030


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Aini Qomariah Manurung

NIM : 117030030

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyutujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Kajian Jenis Cacing Tanah Sebagai Bioindikator di Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo

Beserta Perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih data, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, Agustus 2013


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

Anggota : 1. Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc

2. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S

3. Dr. Salomo Hutahaean, M.Si


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Aini Qomariah Manurung

Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 14 November 1987

Alamat Rumah : Jl. Datuk Ahmad Gg. Taqwa III No: 05 Simpang Tiga Pekanbaru Riau

Telepon : 085276710602

e-mail

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 020 Simpang Tiga Pekanbaru Tamat : 1999

SMP : MTS PPMI Assalaam Surakarta Kartasura Tamat : 2002 SMA : MA KMI Diniyyah Puteri Padang Panjang Tamat : 2005 Strata-1 : Biologi FMIPA UR Tamat : 2010


(8)

KAJIAN JENIS CACING TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR DI HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI KOPI DESA KUTAGUGUNG

KECAMATAN NAMAN TERAN KABUPATEN KARO

ABSTRAK

Penelitian mengenai cacing tanah sebagai bioindikator, populasi cacing tanah, respon pertumbuhan cacing tanah dan peranannya dalam merubah unsur hara tanah telah dilakukan di hutan sekunder dan agroforestri kopi. Penentuan lokasi menggunakan metode purposive random sampling dengan plot kuadrat 25 x 25 cm, 15 plot pada tiap lokasi. Sampel tanah dan cacing tanah dari tiap plot diuji sebagai berikut: P1 = kontrol tanpa perlakuan, P2 = Pontoscolex corethrurus, P3 = Pheretima sp. pada hutan sekunder dan K1 = kontrol tanpa perlakuan, K2 = Pontoscolex corethrurus pada agroforestri kopi. Amynthas sp., Pheretima sp. dan Pontoscolex corethrurus ditemukan pada tiap lokasi, sedangkan Peryonix sp. hanya ditemukan di agroforestri kopi. Kepadatan populasi tertinggi terdapat di agroforestri kopi (283,73 ind/m2). Jenis cacing tanah bioindikator di hutan sekunder, yaitu Pontoscolex corethrurus dengan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran 60,81 %, 60 %, secara berurutan dan Pheretima sp. dengan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran 36,49 %, 53 %, secara berurutan. Pontoscolex corethrurus juga merupakan jenis cacing tanah bioindikator di agroforestri kopi dengan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran 91,73 %, 100 %, secara berurutan. Respon pertumbuhan, produksi kokon dan juvenil tertinggi terdapat pada P2. Pengaruh berat terhadap panjang tubuh tertinggi diperoleh pada K2. Nilai unsur hara tanah terbaik pada P2, P3 dan K2.


(9)

STUDY OF EARTHWORM AS A BIOINDICATOR IN SECONDARY FORESTS AND COFFEE AGROFORESTRY IN KUTAGUGUNG

VILLAGE DISTRICT NAMAN TERAN KARO

ABSTRACT

An experiment has been conducted to determine the types of earthworm as a bioindicator, the population of earthworm, the growth response of earthworm and its role in changing soil nutrient on either secondary forest or coffee agroforestry. The study site was settled through purposive random sampling where square plots 25 x 25 cm were located with 15 replications for each. From all plots, earthworm

and soil then sampled and treated as follow: P1 = untreated controlled, P2 = Pontoscolex corethrurus, P3 = Pheretima sp. on secondary forest and K1 = untreated controlled, K2 = Pontoscolex corethrurus on coffee agroforestry. Of all species, Amynthas sp., Pheretima sp. and Pontoscolex corethrurus were present in both locations, while Peryonix sp. was only found in coffee agroforestry. The result indicated that the highest population density was found in coffee agroforestry (283,73 ind/m2). In secondary forest and coffee agroforestry, Pontoscolex corethrurus was determined as a bioindicator earthworm with relative density and occurrent frequency 60,81 %, 60 %, respectively and Pheretima sp. with relative density and occurrent frequency 36,49 %, 53 %, respectively. In coffee agroforestry Pontoscolex corethrurus also determined as a bioindicator earthworm with relative density and occurrent frequency 91,73 %, 100 %, respectively. Growth response that produced cocoon and juvenile was highest on P2. The effect of body weight on length was highest on K2. The best soil nutrient of all media was indicated on P2, P3 and K2.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Kajian Jenis Cacing Tanah Sebagai Bioindikator di Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo”.

Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan, motivasi dan doa dari orang- orang sekeliling penulis. Setulus hati penulis mengucapkan rasa terima kasih yang dalam kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ramli Manurung dan Ibunda Suharti yang dengan sabar membesarkan, menyayangi, mendidik, dan memberikan yang terbaik bagi penulis dari penulis lahir hingga sekarang ini. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan saran, masukan, arahan, motivasi dan perhatian penuh selama penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S dan Bapak Dr. Salomo Hutahaean, M.Si yang telah memberikan masukan dan kritikan untuk kesempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada:

1. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Bapak Dr. Sutarman, M.Sc.

2. Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana Biologi USU Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si yang telah memberikan saran dan nasehat selama penulis menyelesaikan studi di Biologi.

3. Dinas Pertanian Kabupaten Karo atas izin, fasilitas dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama mengadakan penelitian

4. Kepala Laboratorium sistematika Hewan FMIPA USU Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si yang telah memberikan izin atas penggunaan fasilitas Laboratorium selama penelitian.

5. Bapak Rudi Analis Laboratorium Riset dan Teknologi FP USU yang telah memberi bantuan dalam analisis faktor kimia tanah.

6. Seluruh staff dosen Biologi yang telah memberikan ilmu, wawasan dan pengajarannya kepada penulis selama menjalani studi. Staff administrasi, Bapak Ewin dan Ibu Ros yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi kuliah.

7. Adik-adik tersayang Yunita, Maulina, Dian Fitria, Sahala, Zainul Arifin dan Dori Bintang. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada sanak saudara atas motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

8. Rekan penelitian, Sri Jayanti yang telah banyak memberi masukan kepada penulis serta selalu setia berbagi dalam suka dan duka. Sahabat tersayang Rivo Hasper, Elvida, Mahya Ihsan dan Zulfan Arico terimakasih atas dukungan yang kalian berikan.


(11)

9. Teman-teman seperjuangan di Biologi 2011 dan adik-adik S1 biologi, Zulfan Aris, Popo, Fika, Jubir dan Afni yang telah terlibat membantu penulis selama penelitian di lapangan dan di laboratorium.

10.Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya bagi orang yang membutuhkan.

Medan, Agustus 2013


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan 3

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Tanah 5

2.1.1 Ekologi cacing Tanah 6

2.2 Hutan dan Agroforestri 8

2.3 Parameter Fisik dan Kimia Tanah 11

2.4 Peranan Cacing Tanah 13

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 15

3.2 Deskripsi Lokasi 15

3.3 Metode Penelitian 16

3.3.1 Populasi Cacing Tanah 16

3.3.2 Peranan Jenis Cacing Tanah Bioindikator 16

3.4 Prosedur Penelitian 17

3.5 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 19

3.6 Analisis Data 19

3.6.1 Populasi Cacing Tanah 19

3.6.2 Peranan Jenis Cacing Tanah Bioindikator 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Cacing Tanah yang Ditemukan 21

4.2 Populasi Cacing Tanah 25

4.3 Kelompok Ekologi Cacing Tanah 27

4.4 Jenis Cacing Tanah Bioindikator 28

4.5 Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan


(13)

4.5 Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan

Agroforestri Kopi 29

4.6 Hubungan Cacing Tanah dan Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi 31 4.7 Respon Pertumbuhan Cacing Tanah pada Media

Percobaan 32

4.7.1 Berat dan Panjang Tubuh Cacing Tanah 32 4.7.2 Produksi Kokon dan Juvenil Cacing Tanah 35

4.8 Faktor Fisik Kimia Media Percobaan 36

4.8.1 Suhu 36

4.8.2 Kelembaban 37

4.8.3 pH 38

4.9 Analisis Unsur Hara Tanah Media Percobaan 39 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 42

5.2 Saran 42


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Perlakuan peranan jenis cacing tanah bioindikator pada tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi

17

2 Parameter sifat fisik kimia tanah 19

3 Jumlah individu genus dan spesies cacing tanah pada dua lokasi penelitian

25 4 Cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian 25 5 Kepadatan spesies (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi

kehadiran (FK) cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian

27

6 Kepadatan spesies (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK) kelompok ekologi cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian

28

7 Kepadatan relatif (KR), frekuensi kehadiran (FK) dan jenis bioindikator cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian

29

8 Faktor fisik kimia tanah pada dua lokasi penelitian 29 9 Korelasi Pearson antara jumlah individu cacing tanah dengan

faktor fisik kimia lapangan

31 10 Suhu (°C) pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60 37 11 Kelembaban (%) pada berbagai media percobaan sampai hari ke

60

38 12 pH pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60 39 13 Kandungan unsur hara tanah pada berbagai media percobaan 40


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1 Morfologi cacing tanah 5

2 Gambaran lokasi penelitian: hutan sekunder (a), agroforestri

kopi (b) 16

3 Peletakan plot pengambilan sampel cacing tanah 17 4 Cacing Amynthas sp.: morfologi tubuh (a), prostomium tipe

epilobus (b), klitelum berbentuk annular (c) 21 5 Cacing Peryonix sp.: morfologi tubuh (a), prostomium tipe

epilobus (b), klitelum berbentuk sadel (c) 22

6 Cacing Pheretima sp.: morfologi tubuh (a), prostomium tipe

epilobus (b), klitelum berbentuk annular (c) 23 7 Cacing P. corethrurus: morfologi tubuh (a), prostomium tipe

prolobus (b), klitelum berbentuk sadel (c) 24

8 Berat tubuh cacing tanah (mg/ind) pada media tanah hutan sekunder dengan P. corethrurus (P2), Pheretima sp. (P3) dan tanah agroforestri kopi dengan P. corethrurus (K2) selama

60 hari 32

9 Panjang tubuh cacing tanah (mm/ind) pada media tanah hutan sekunder dengan P. corethrurus (P2), Pheretima sp (P3) dan tanah agroforestri kopi dengan P. corethrurus (K2) selama

60 hari 33

10 Regresi linier antara berat (mg/ind) dan panjang tubuh cacing

tanah (mm/ind), yaitu P2 (a), P3 (b) dan K2 (c) 34 11 Produksi kokon cacing tanah P. corethrurus pada media tanah

hutan sekunder (P2) dan tanah agroforestri kopi (K2) 35 12 Produksi juvenil cacing tanah P. corethrurus pada media


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Diagram alur penelitian 49

2 Peta lokasi penelitian 50

3 Foto kerja 51

4 Analisis unsur hara tanah di lapangan 53

5 Analisis korelasi Pearson cacing tanah dan faktor fisik kimia

tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi 54

6 Berat dan panjang tubuh cacing tanah 55

7 Analisis regresi linier berat dengan panjang tubuh cacing

tanah 56

8 Rata-rata produksi kokon dan juvenil cacing tanah 57 9 Analisi unsur hara tanah media percobaan di laboratorium 58


(17)

KAJIAN JENIS CACING TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR DI HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI KOPI DESA KUTAGUGUNG

KECAMATAN NAMAN TERAN KABUPATEN KARO

ABSTRAK

Penelitian mengenai cacing tanah sebagai bioindikator, populasi cacing tanah, respon pertumbuhan cacing tanah dan peranannya dalam merubah unsur hara tanah telah dilakukan di hutan sekunder dan agroforestri kopi. Penentuan lokasi menggunakan metode purposive random sampling dengan plot kuadrat 25 x 25 cm, 15 plot pada tiap lokasi. Sampel tanah dan cacing tanah dari tiap plot diuji sebagai berikut: P1 = kontrol tanpa perlakuan, P2 = Pontoscolex corethrurus, P3 = Pheretima sp. pada hutan sekunder dan K1 = kontrol tanpa perlakuan, K2 = Pontoscolex corethrurus pada agroforestri kopi. Amynthas sp., Pheretima sp. dan Pontoscolex corethrurus ditemukan pada tiap lokasi, sedangkan Peryonix sp. hanya ditemukan di agroforestri kopi. Kepadatan populasi tertinggi terdapat di agroforestri kopi (283,73 ind/m2). Jenis cacing tanah bioindikator di hutan sekunder, yaitu Pontoscolex corethrurus dengan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran 60,81 %, 60 %, secara berurutan dan Pheretima sp. dengan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran 36,49 %, 53 %, secara berurutan. Pontoscolex corethrurus juga merupakan jenis cacing tanah bioindikator di agroforestri kopi dengan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran 91,73 %, 100 %, secara berurutan. Respon pertumbuhan, produksi kokon dan juvenil tertinggi terdapat pada P2. Pengaruh berat terhadap panjang tubuh tertinggi diperoleh pada K2. Nilai unsur hara tanah terbaik pada P2, P3 dan K2.


(18)

STUDY OF EARTHWORM AS A BIOINDICATOR IN SECONDARY FORESTS AND COFFEE AGROFORESTRY IN KUTAGUGUNG

VILLAGE DISTRICT NAMAN TERAN KARO

ABSTRACT

An experiment has been conducted to determine the types of earthworm as a bioindicator, the population of earthworm, the growth response of earthworm and its role in changing soil nutrient on either secondary forest or coffee agroforestry. The study site was settled through purposive random sampling where square plots 25 x 25 cm were located with 15 replications for each. From all plots, earthworm

and soil then sampled and treated as follow: P1 = untreated controlled, P2 = Pontoscolex corethrurus, P3 = Pheretima sp. on secondary forest and K1 = untreated controlled, K2 = Pontoscolex corethrurus on coffee agroforestry. Of all species, Amynthas sp., Pheretima sp. and Pontoscolex corethrurus were present in both locations, while Peryonix sp. was only found in coffee agroforestry. The result indicated that the highest population density was found in coffee agroforestry (283,73 ind/m2). In secondary forest and coffee agroforestry, Pontoscolex corethrurus was determined as a bioindicator earthworm with relative density and occurrent frequency 60,81 %, 60 %, respectively and Pheretima sp. with relative density and occurrent frequency 36,49 %, 53 %, respectively. In coffee agroforestry Pontoscolex corethrurus also determined as a bioindicator earthworm with relative density and occurrent frequency 91,73 %, 100 %, respectively. Growth response that produced cocoon and juvenile was highest on P2. The effect of body weight on length was highest on K2. The best soil nutrient of all media was indicated on P2, P3 and K2.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang hvc

Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 menyatakan hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan yang terletak pada suatu kawasan. Tumbuhan di hutan memiliki hubungan timbal balik satu sama lain dengan lingkungannya sehingga membentuk kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief 1994). Sumberdaya hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia dan alam sekitar. Hutan berfungsi sebagai habitat berbagai organisme, pengatur iklim dan tata air, melindungi dan memperkaya tanah serta tempat wisata (Indriyanto 2008).

Peran hutan sebagai tempat penyimpanan karbon merupakan masalah yang menjadi topik utama di dunia, sehingga hutan disebut sebagai paru-paru dunia. Kerusakan hutan akan mengakibatkan berkurangnya pasokan air dan oksigen, hilangnya sumber penyerap karbon, bahkan penurunan kualitas tanah yang mengakibatkan hilangnya humus utama dan unsur mineral bagi tumbuhan dan organisme tanah (Indriyanto 2008). Oleh karena itu, pemanfaatan lahan hutan yang tidak tepat dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem hutan dan mengubah kesuburan tanah (Dewi 2007).

Hutan sangat penting untuk dilindungi dan dipertahankan kelestariannya. Luas keseluruhan kawasan hutan di Kabupaten Karo tahun 2010 sampai 2012 mengalami penurunan dari 128.820 Ha menjadi 125.536,5 Ha. Hutan produksi terbatas berkurang dari 14.919 Ha menjadi 11.293 Ha, sedangkan hutan produksi mengalami peningkatan dari 14.552 Ha menjadi 15.592 Ha. Kondisi hutan ini sudah sangat memprihatinkan karena hasil produksi hutan seperti damar, rotan, kayu dan lainnya semakin menurun (Kabupaten Karo 2010, BPS Kab Karo 2012a). Luas hutan di wilayah Kabupaten Karo mengalami penurunan karena


(20)

berubah fungsi menjadi lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Masalah ini semakin bertambah berat sejalan dengan meningkatnya luas lahan hutan yang berubah fungsi menjadi lahan usaha lain.

Perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, pertanian dan pemukiman penduduk mengakibatkan terjadinya penyusutan jumlah dan jenis vegetasi tumbuhan. Vegetasi tumbuhan merupakan faktor penting sebagai penentu jenis tanah, sifat dan karakter tanah (Giller et al. 1997), serta keanekaragaman, komposisi, komunitas dan aktivitas organisme tanah, termasuk cacing tanah (Lavelle et al. 1997).

Cacing tanah merupakan salah satu makrofauna tanah yang dapat meningkatkan proses dekomposisi dan ketersediaan hara. Cacing tanah berperan dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan yang mati, pengangkutan materi organik dari permukaan ke dalam tanah (FAO 2012), perbaikan struktur tanah dan proses pembentukan tanah (Hanafiah et al. 2005). Aktifitas cacing tanah di hutan sangat berperan dalam mempertahankan pori-pori tanah. Pori-pori pada tanah dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan sehingga erosi tanah menjadi berkurang, oleh sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin pertumbuhan tanaman (Lubis 1989). Cacing tanah berperan aktif untuk menjaga kesuburan tanah, sehingga cacing tanah dapat dijadikan sebagai bioindikator tanah pada berbagai penggunaan lahan (Paoletti 1999).

Salah satu sistem pengelolaan lahan yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya perubahan fungsi lahan hutan adalah dengan sistem agroforestri. Agroforestri adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis dan berbasis ekologi dengan memadukan berbagai jenis pohon pada tingkat lahan pertanian maupun pada suatu bentang lahan yang bertujuan untuk mempertahankan jumlah dan keragaman produksi (Hairiah et al. 2004a).

Pemanfaatan lahan dengan sistem agroforesri dinilai tepat karena penanaman pohon pada lahan pertanian mampu meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi intensitas tekanan pada hutan (Djogo et al. 2003). Tanaman pada sistem agroforestri berupa karet, cokelat, kopi dan sebagainya. Agroforestri kopi merupakan tanaman yang paling diminati oleh petani di Kecamatan Naman Teran,


(21)

hal ini terlihat dari besarnya nilai produktivitas kopi dibanding tanaman lainnya (BPS Kab Karo 2012b). Agroforestri tanaman kopi umumnya ditanam pada sistem campuran mulai dari sistem campuran sederhana hingga yang kompleks (multistrata) menyerupai hutan (Hairiah & Rahayu 2010). Berdasarkan hasil penelitian di Sumberjaya (Lampung Barat), sistem agroforestri kopi kompleks berperan penting sebagai daerah untuk mempertahankan biodiversitas bawah tanah seperti rayap dan cacing tanah (Dewi 2007).

1.2Perumusan Masalah

Hutan Kabupaten Karo mendapat tekanan akibat peningkatan aktivitas pembukaan lahan menjadi lahan agroforestri kopi. Tekanan terhadap lahan yang berlangsung terus menerus mengakibatkan penyusutan vegetasi lahan yang mengubah komposisi komunitas dan aktifitas cacing tanah. Perubahan lahan hutan sekunder menjadi agroforestri kopi akan mengurangi jumlah masukan serasah, sehingga menurunkan tingkat penutupan tanah, mengurangi jumlah makanan bagi cacing tanah dan kandungan bahan organik tanah (Hairiah et al. 2004b). Cacing tanah dapat menjadi indikator terhadap kualitas tanah, sehingga jenis cacing tanah karakteristik dari suatu ekosistem perlu diketahui (Hanafiah et al. 2005). Hingga saat ini, belum ada kajian yang dilakukan mengenai populasi cacing tanah dan peranan cacing tanah bioindikator di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo (Lampiran 1).

1.3Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui populasi cacing tanah di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

b. Mengetahui jenis cacing tanah bioindikator di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

c. Mengetahui respon pertumbuhan cacing tanah bioindikator pada percobaan dengan tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.


(22)

d. Mengetahui peranan cacing tanah bioindikator terhadap perubahan unsur hara tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

1.4Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

a. Terdapat perbedaan populasi cacing tanah di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

b. Terdapat perbedaan jenis cacing tanah bioindikator di hutan sekunder dan agroforestri kopi.

c. Terdapat perbedaan respon pertumbuhan jenis cacing tanah bioindikator pada percobaan dengan tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

d. Terdapat perbedaan kandungan unsur hara tanah akibat percobaan jenis cacing tanah bioindikator di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

1.5Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Sebagai informasi tentang kondisi tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

b. Sebagai acuan untuk menentukan pilihan yang dapat dilakukan dalam proses restorasi dan keberlanjutan hutan sekunder dan agroforestri kopi di Kabupaten Karo.

c. Sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya terutama bagi yang ingin melakukan kajian yang lebih mendalam tentang peranan cacing tanah terhadap kondisi tanah


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan organisme heterotrof, bersifat hermaprodit-biparental, termasuk kelompok filum Annelida, kelas Clitellata dan ordo Oligochaeta. Tubuh cacing tanah tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang setae, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior, pada bagian anteriornya terdapat mulut,

prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelum (Edwards & Lofty 1977) (Gambar 1).

Gambar 1. Morfologi cacing tanah (UNM 2002)

Cacing tanah dewasa memiliki klitelum yang terletak di bagian anterior tubuh. Klitelum merupakan bagian kelenjar epidermis segmen tubuh yang mengalami perkembangan, terdiri atas kelenjar epidermis yang menebal, terutama di bagian dorsal dan lateral tubuh. Pada umumnya klitelum berwarna lebih cerah dari segmen lainnya (Edwards & Lofty 1977). Secara sistematik, tubuh cacing tanah tersusun atas segmen-segmen fraksi luar, badan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh epidermis (kulit) berupa kutikula


(24)

(kulit kaku) berpigmen tipis dan setae (lapisan daging semu di bawah kulit) kecuali pada dua segmen pertama yaitu di bagian mulut (Hanafiah et al. 2005).

Warna cacing tanah tergantung pada ada tidaknya dan jenis pigmen yang dimiliki. Sel atau butiran pigmen berada dalam lapisan otot di bawah kulit. Warna pada bagian dada dan perut umumnya lebih muda dari bagian lainnya, kecuali pada Megascolidae yang berpigmen gelap, berwarna sama. Cacing tanah yang berpigmen sedikit ataupun tanpa pigmen biasanya terlihat berwarna merah atau pink. Apabila kutikulanya sangat irridescent, seperti pada Lumbricus dan Dendrobaena maka akan terlihat biru (Hanafiah et al. 2005). Penciri dari jenis cacing tanah adalah letak segmen klitelum, jumlah segmen tubuh, tampilan bentuk, ukuran dan warna tubuh serta jumlah seta pada tiap segmen (Hieronymus 2010).

Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua. Lama siklus hidup tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan dan jenis cacing tanah. Berdasarkan hasil dari berbagai jenis penelitian, diperoleh siklus hidup cacing tanah hingga mati mencapai 1-5 tahun. Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14-21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda akan hidup dan dapat mencapai kelamin dewasa dalam waktu 2,5-3 bulan (Rukmana 1999). Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung selama 6-10 hari dan masa produktifnya berlangsung selama 4-10 bulan (Palungkun 1999).

2.1.1 Ekologi Cacing Tanah

Berdasarkan fungsi pada ekosistem, strategi mencari makan dan membuat liang, cacing tanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu epigeik, endogeik dan anesik (Hanafiah et al. 2005). Selain tiga kelompok tersebut, terdapat kelompok Arboricolous dan Coprophagic (Hieronymus 2010). Cacing epigeik hidup di lapisan serasah yang letaknya di atas permukaan tanah, memiliki ukuran yang lebih kecil dan berpigmen, disebut sebagai cacing penghancur serasah (Hairiah et al. 2004a). Cacing epigeik memakan sampah organik yang kasar, serta sejumlah sampah yang belum terurai. Memiliki laju metabolisme dan reproduksi


(25)

yang tinggi. Hal tersebut menggambarkan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan pada permukaan tanah. Lumbricus rubellus dan Lumbricus castaneus termasuk kelompok cacing epigeik (Lee 1985).

Cacing endogeik disebut cacing penggali tanah (Hairiah et al. 2004a). Cacing endogeik hidup di dalam tanah yang lebih dalam dan memakan tanah serta kumpulan bahan-bahan organik. Cacing tanah jenis ini tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang horizontal yang bercabang ke dalam tanah (Coleman et al. 2004). Kelompok cacing ini berperan penting dalam mencampur serasah di atas tanah dengan tanah lapisan bawah (Subowo 2008) dan meninggalkan liang dalam tanah. Hasil kotoran dari cacing ini lebih kaya karbon dan hara dari pada tanah di sekitarnya (Hairiah et al. 2004a). Cacing endogeik merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan lingkungan yang buruk, sehingga kelompok cacing ini merupakan jenis bioindikator kesuburan tanah. Pengaruh cacing ini terlihat lebih cepat terhadap produktivitas tanaman tahunan yang berakar dalam. Allolobophora chlorotica, A. caliginosa, dan A. rosea termasuk kelompok cacing endogeik (Hanafiah et al. 2005).

Cacing anesik hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih permanen, dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah. Cacing jenis ini dapat ditemukan pada liang yang dangkal atau dalam tergantung pada kondisi tanah yang baik sebagai habitatnya (Lee 1985). Cacing jenis ini mengeluarkan sisa pencernaannya (kasting) pada permukaan tanah, sehingga berperan penting dalam meningkatkan kadar biomass dan kesuburan tanah lapisan atas. Pengaruh cacing ini terlihat lebih cepat terhadap produktivitas tanaman semusim yang berakar dangkal (Hanafiah et al. 2005). Laju reproduksi cacing jenis ini tergolong lambat, hal ini dapat dilihat dari produksi kokonnya, cacing yang termasuk kelompok ini adalah Eophila tellinii, Lumbricus terrestris dan Allolobophora longa (Lee 1985).

Selain tiga kelompok cacing tersebut, terdapat kelompok cacing arboricolous dan coprophagic. Cacing arboricolous hidup di pohon-pohon hutan atau hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, contohnya Androrrhinus sp dan cacing coprophagic hidup pada kotoran ternak atau pupuk kandang dengan contoh Eisenia foetida, Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae (Hieronymus 2010).


(26)

Berdasarkan jenis makanannya cacing tanah dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) litter feeder (pemakan bahan organik sampah, kompos, pupuk hijau), (2) limifagus (pemakan tanah subur/mud atau tanah basah), dan (3) geofagus (pemakan tanah) (Lee 1985). Kelompok geofagus akan memakan masa tanah dan litter feeder/limifagus biasanya dengan mendesak masa tanah. Hal ini berhubungan dengan kegiatan membuat lubang yang berbeda pada tiap jenis cacing tanah. Ada yang dilakukan dengan mendesak tanah dan ada juga yang dilakukan dengan memakan tanah (Minnich 1977).

Populasi cacing tanah memiliki hubungan yang erat dengan keadaan lingkungan dimana cacing tersebut berada, yaitu kondisi fisika, kimia, biotik dan makanannya. Keberadaan cacing tanah di alam sangat dibatasi oleh kadar air tanah, karakteristik tanah, curah hujan, tipe penggunaan lahan, penambahan

bahan kimia pada tanah dan temperatur tanah (Pashanasi et al. 1996, Hairiah et al. 2004a). Keberadaan cacing tanah dapat digunakan sebagai indikator

biologis kesuburan tanah karena cacing tanah merupakan salah satu biota tanah yang bersifat saprofagus maupun geofagus yang memegang peranan penting dalam siklus hara didalam tanah (Tim Sintesis Kebijakan 2008).

2.2 Hutan dan Agroforestri

Hutan merupakan lahan yang di dalamnya terdiri dari berbagai tumbuhan yang membentuk kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief 1994). Berdasarkan pengertian hutan tersebut, maka hutan memiliki kaitan yang erat dengan proses alam yang saling berhubungan. Arief (1994) dan Indriyanto (2008) menyatakan bahwa proses alam yang dimaksudkan adalah:

a. Proses siklus air dan pengendalian tanah, hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat penyerapan air hujan yang akan mengalirkan air ke sungai-sungai di tengah hutan. Pada proses ini komunitas tumbuhan hutan berperan melindungi tanah dari kekuatan erosi, serta melestarikan siklus unsur hara di dalamnya.

b. Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap eksistensi hutan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang mampu


(27)

mengendalikan iklim, namun sebaliknya iklim adalah komponen alam yang mempengaruhi kehidupan.

c. Proses kesuburan tanah. Tanah hutan merupakan tempat pembentukan humus yang utama dan tempat penyimpanan unsur-unsur mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan, sehingga akan mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan yang terbentuk.

d. Sumber keanekaragaman hayati karena hutan merupakan sumber plasma nutfah dari berbagai jenis tumbuhan dan binatang. Kerusakan hutan akan mengakibatkan erosi plasma nutfah, sehingga dapat mengakibatkan kepunahan berbagai kehidupan yang ada di hutan, yang pada akhirnya akan menurunkan keanekaragaman hayati.

e. Kekayaan sumber daya alam hutan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup.

f. Objek wisata alam karena hutan memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi, sarana mengenal dan mengagumi ciptaan Tuhan dan sebagai tempat rekreasi.

Hutan memberikan manfaat bagi organisme yang tinggal di dalamnya dan bagi manusia. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia, berupa manfaat kehutanan (kayu-bakar, kayu pertukangan, hasil hutan nonkayu, turisme), manfaat pertanian (sistem perladangan, peternakan, budidaya tanaman pertanian) dan fungsi perlindungan (perlindungan air, tanah, dan iklim, termasuk penyerapan CO2 dan konservasi biodiversitas) (Emrich et al. 2000). Praktek pemanfaatan

lahan hutan yang menyebabkan terjadinya proses perubahan fungsi lahan, antara lain adalah perluasan lahan pertanian dan penggembalaan ternak, permintaan pasar dan nilai ekonomi kayu yang menyebabkan lahan menjadi terbuka, penebangan untuk membangun pemukiman, tempat penampungan air dan penggalian bahan tambang (Widianto et al. 2003).

Istilah baru dari praktek pemanfaatan lahan yang disebut dengan sistem agroforestri, memiliki sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan ternak atau hewan dengan waktu yang bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu serta adanya interaksi ekologi, sosial dan ekonomi (Hairiah et al. 2003). Agroforestri


(28)

dikenal dengan istilah wanatani, yaitu menanam pepohonan di lahan pertanian (Widianto et al. 2003).

Agroforestri dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks (De Foresta & Michon 1997). Sistem agroforestri sederhana adalah menanam pepohonan secara tumpang-sari dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan. Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam seperti hutan primer maupun hutan sekunder (Hairiah et al. 2003).

Agroforestri berfungsi penting dalam mempertahankan pendapatan petani dan konservasi tanah dan air, juga berperan penting dalam mempertahankan kesuburan tanah (Hanafiah et al. 2005). Penanaman beragam spesies dalam sistem agroforestri memberikan berbagai keuntungan bagi petani berupa produktivitas yang selalu terjaga, stabilitas dan pemeliharaan lahan meningkat. Tujuan akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan (Aini et al. 2010).

Perubahan fungsi lahan hutan menjadi agroforestri dapat merubah kondisi kesuburan tanah, namun agroforestri dianggap mampu mempertahankan biodiversitas makrofauna tanah (Dewi 2007). Pada umumnya lahan agroforestri memiliki jumlah dan keragaman vegetasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan hutan sehingga menyebabkan perbedaan serasah gugur, baik ditinjau dari jumlah, kualitas dan masukan tiap tahun. Hal ini akan berpengaruh terhadap populasi cacing tanah karena ketebalan serasah di atas tanah mempengaruhi suhu, kelembaban, kadar air tanah dan bahan organik tanah (Prijono & Wahyudi 2009). Agroforestri yang sudah stabil memiliki penutupan tajuk yang rapat dan bertingkat dengan vegetasi bawah yang menutup permukaan tanah, sehingga iklim mikro dan masukan serasah diharapkan dapat mendekati kondisi di hutan (Aini et al. 2010). Penelitian mengenai cacing tanah lahan agroforestri di Sumberjaya (Lampung Barat) yang dilaporkan oleh Hairiah et al. (2004b) dan


(29)

Dewi (2007), diperoleh bahwa meningkatnya intensitas penggunaan lahan akan menurunkan ukuran tubuh cacing penggali tanah Ponthoscolex corenthrurus.

Peningkatan intensitas pengelolaan lahan menyebabkan biodiversitas makrofauna tanah semakin menurun (Sugiyarto 2009), namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2007) di Sumber Jaya, diperoleh diversitas dan kerapatan populasi cacing tanah di agroforestri berbasis kopi lebih banyak dari pada yang dijumpai di hutan, tetapi ukuran biomasanya lebih kecil dari yang dijumpai di hutan. Biodiversitas cacing di lahan agroforestri kopi meningkat karena adanya beberapa spesies eksotis seperti P. corethrurus yang mungkin masuk terbawa selama kegiatan, misalnya melalui bibit, pemupukan organik dan sebagainya. Beberapa spesies native hutan seperti Metaphire javanica yang berukuran besar menghilang.

2.3 Parameter Fisik dan Kimia Tanah

Kualitas tanah dapat dimonitor secara fisika (suhu dan kelembaban), kimia (pH dan bahan organik) dan biologi (USDA 1996). Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi dan mengatur aliran air (Maftu’ah et al. 2005).

a. Suhu

Suhu tanah dipengaruhi oleh curah hujan, kondisi iklim dan tutupan vegetasi yang ada pada tanah tersebut. Tutupan vegetasi yang rapat akan menghalangi cahaya matahari secara langsung menembus tanah yang pada akhirnya akan mempengaruhi suhu tanah (Hairiah et al. 2004b). Suhu tanah mempengaruhi distribusi cacing di dalam profil tanah (Hanafiah et al. 2005).

Suhu sangat mempengaruhi aktifitas pertumbuhan, metabolisme, respirasi dan reproduksi cacing tanah. Setiap jenis cacing tanah memiliki temperatur yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya. Periode pertumbuhan mulai dari

penetasan sampai pada dewasa juga tergantung pada temperatur tanah (Edward & Lofty 1977). Kisaran suhu optimum cacing L.rubellus 15-18 °C,


(30)

di permukaan tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 °C (Wallwork 1970).

b. Kelembaban

Kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan (Lubis 1989). Cacing tanah mengandung air 75 – 90 % dari berat tubuhnya (Minnich 1977, Lubis 1989), sehingga kelembaban adalah faktor pembatas utama bagi pertumbuhan cacing tanah (Handayanto & Hairiah 2007). Cacing tanah selalu hidup dekat dengan sumber makanannya pada kondisi yang lembab (Hairiah et al. 2004a). Laju pertumbuhan cacing tanah tertinggi terdapat pada kelembaban 75% (Gunadi et al. 2003).

Kebutuhan cacing tanah terhadap kelembaban tanah berbeda pada tiap spesies. Kelembaban tanah yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan mengakibatkan kematian bagi cacing tanah. Pada kelembaban terlalu tinggi, cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati, sedangkan pada kelembaban terlalu rendah, cacing tanah akan masuk kedalam tanah dan berhenti makan yang kemudian mati (Lubis 1989).

c. pH

pH menyatakan banyaknya konsentrasi ion H+ dan ion OH+ di dalam tanah. Kebanyakan tanah di Indonesia bersifat asam dengan pH 4,0 - 5,5, sehingga tanah dengan pH 6,0 - 6,5 sering dikatakan bersifat netral (Handayanto & Hairiah 2007). Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, sehingga keasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah. pH merupakan faktor pembatas dalam penyebaran cacing tanah dan setiap jenis cacing tanah memiliki tingkat preferensi yang berbeda terhadap pH tanah (Edward & Lofty 1977). Menurut Hanafiah et al. (2005), cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 6,0 - 7,2, sedangkan Fender & Fender (1990) menyatakan bahwa umumnya cacing tanah hidup pada pH 4,5 – 6,6, namun dengan bahan organik tanah yang tinggi, cacing tanah mampu berkembang pada pH 3.

d. Bahan Organik

Kandungan bahan organik pada tanah membedakan antara tanah organik dan tanah mineral (Hardjowigeno 1993). Bahan organik tanah sangat besar


(31)

pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya (Lee 1985). Kotoran hewan dan pelapukan daun-daunan merupakan sumber bahan organik yang biasanya baik untuk pembiakan cacing tanah (Edward & Lofty 1977).

Kadar organik tanah akan mempengaruhi cacing tanah, terkait dengan sumber nutrisinya. Pada tanah yang miskin bahan organik hanya sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai, namun jika cacing tanah sedikit sedangkan bahan organik segar banyak, pelapukannya akan terhambat kemudian dilakukan introduksi cacing tanah agar akumulasi tidak terjadi lagi (Hanafiah et al. 2005). Sebagian besar bahan mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran (kasting) yang lebih tersedia bagi tanaman. Kasting memiliki kandungan Ca, Mg, dan K (Edwards & Lofty 1977).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto (2010) diperoleh bahwa bahan organik sisa tanaman dapat meningkatkan populasi cacing tanah (Ponthoscolex corenthrurus) sedangkan menurut Tim Sintesis Kebijakan (2008), bahwa pemberian inokulan cacing tanah dapat meningkatkan P tersedia tanah dan jumlah kation, menurunkan C/N, mengeliminir Al dalam tanah, meningkatkan ruang pori total, menurunkan bulk density, serta meningkatkan pori drainase dan permeabilitas tanah

2.4 Peranan Cacing Tanah

Peran cacing tanah sebagai bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah et al. 2005). Cacing tanah juga berperan dalam meningkatkan infiltrasi air dan drainase tanah (Hieronymus 2010).

Menurut Hieronymus (2010), peranan cacing tanah akibat dari aktifitasnya dibedakan secara biologi, kimia dan fisika. Secara biologi cacing tanah mengubah bahan organik menjadi humus untuk memperbaiki kesuburan tanah, yaitu dengan


(32)

membawa bahan organik ke bagian bawah tanah untuk makanan dan memperkuat liangnya dan menghasilkan kotoran (kasting) yang mengandung 40% humus dibanding tanah tempat cacing tersebut hidup. Secara kimia, bahan organik mati dicerna cacing yang kemudian disekresikan dalam bentuk kasting di atas permukaan tanah. Secara fisik, cacing menjaga liang-liangnya sehingga memungkinkan berlangsungnya proses aerasi dan drainase.

Pembentukan pori-pori tanah dilakukan oleh cacing tanah melalui kegiatan penggalian terowongan. Pori-pori pada tanah dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan dan erosi tanah menjadi berkurang, oleh sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin pertumbuhan tanaman (Lubis 1989). Pori-pori dari galian cacing tanah akan memperbaiki aerasi tanah sehingga aktivitas respirasi akar tanaman maupun organisme aerob dapat berlangsung dengan baik (Subowo 2002). Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan daun-daun tumbuhan lebih baik. Apabila daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi humus sehingga secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan dan menjaga persedian air pada musim kering (Hairiah et al. 2004b).

Tanah dengan kepadatan populasi cacing tanah yang tinggi akan menjadi subur karena cacing tanah mencampur dan menghancurkan partikel-partikel mineral menjadi unit-unit yang lebih kecil dan membantu percampuran antara tanah lapisan atas dan bawah. Hal tersebut mengakibatkan distribusi dan siklus C-organik lebih lama berada di tanah (Subowo 2002). Cacing tanah menghasilkan kotoran (kasting) yang memiliki kandungan hara dan C yang tinggi dibanding tanah karena mengandung suatu campuran mineral tanah dan bahan-bahan organik yang terdekomposisi (Hieronymus 2010). Menurut Lubis (1989), kasting cacing dan tanah yang banyak cacing tanah memiliki pertukaran basa lebih tinggi, Ca, Mg, K dan P tersedia lebih banyak dari pada tanah tanpa cacing tanah.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel cacing tanah untuk populasi cacing tanah dilakukan pada bulan Januari 2013. Tempat pengambilan sampel cacing tanah dan tanah di lahan hutan sekunder dan agroforestri kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo (Lampiran 2).

Analisis sampel cacing tanah dan aplikasi peranan jenis cacing tanah bioindikator terhadap kesuburan tanah dilakukan pada bulan Februari – Mei 2013 di Laboratorium Sistematika Hewan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

3.2Deskripsi Lokasi

Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo berada di sekitar 98°25’ Bujur Timur dan 03°12’ Lintang Utara. Luas wilayah kecamatan Naman Teran adalah 87,82 Km2 atau 4,13% dari total luas Kabupaten Karo. Kecamatan Merdeka terletak di sebelah Timur dan Kecamatan Tiganderket di sebelah Barat. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, sedangkan

sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat dan Payung (BPS Kabupaten Karo 2012b).

a. Hutan sekunder

Hutan sekunder berada pada koordinat N 03°11’29,8’’ dan E 098°23’16,4” (Gambar 2). Hutan sekunder terletak di kaki Gunung Sinabung pada ketinggian 1400 - 1500 mdpl. Terdapat beberapa tumbuhan pohon di lokasi hutan sekunder ini, yaitu anggota famili Lauraceae (Neocinnamomum sp. dan Litsea sp.), Fagaceae (Castanopsis sp. dan Lithocarpus sp.), Myrtaceae (Eugenia sp.), Euphorbiaceae (Macaranga tanaria), Anacardiaceae (Buchanania sp.), Clusiaceae


(34)

(Garcinia sp.), Moraceae (Ficus sp.) dan Rubiaceae (Urophyllum sp.). Tanah agak kasar, berwarna hitam pekat dan agak lembab.

b. Agroforestri kopi

Agroforestri kopi berada pada koordinat N 03°11’39,5” dan E 098°23’25,6”, dengan luas lahan 100x100 m2 (Gambar 2). Lokasi agroforestri terletak di bawah hutan sekunder pada ketinggian 1300 - 1400 mdpl. Agroforestri ini ditanam pohon kopi jenis Coffea arabica berumur 10 tahun. Lapisan serasah hanya terdapat di bawah naungan pohon kopi. Tanah berupa tanah kasar, berwarna coklat kehitaman dan agak kering.

(a) (b)

Gambar 2. Gambaran lokasi penelitian: hutan sekunder (a), agroforestri kopi (b)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Populasi Cacing Tanah

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara Purposive Random Sampling pada hutan sekunder dan agroforestri kopi. Plot dibuat secara acak menggunakan metode kuadrat dan pengambilan sampel cacing tanah dilakukan dengan Metode Sortir Tangan (Hand Sorting) (Bignell et al. 2008).

3.3.2 Peranan Jenis Cacing Tanah Bioindikator

Kajian mengenai peranan jenis cacing tanah bioindikator di lahan hutan sekunder dan agroforestri kopi dilakukan menggunakan jenis cacing tanah yang termasuk kelompok bioindikator, yaitu yang mendapatkan spesies/jenis nilai KR > 10 % dan FK > 25 % (Suin 1997) dengan 3 perlakuan menggunakan tanah hutan


(35)

sekunder dan 2 perlakuan menggunakan tanah agroforetstri kopi. Masing-masing perlakuan dengan 5 kali ulangan (Tabel 1 ).

Tabel 1. Perlakuan peranan jenis cacing tanah bioindikator pada tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi

Hutan Sekunder Agroforestri Kopi

P1 = Tanah + serasah (Kontrol) K1 = Tanah + serasah (Kontrol)

P2 = Tanah + serasah + cacing tanah A K2 = Tanah + serasah + cacing tanah A P3 = Tanah + serasah + cacing tanah B

Cacing tanah A = Pontoscolex corethrurus, cacing tanah B = Pheretima sp.

3.4 Prosedur Penelitian

a. Pengambilan Sampel Cacing Tanah

Pengambilan sampel cacing tanah dilakukan pada pukul 06.00 - 09.00 WIB. Pada masing-masing areal dibuat sebanyak 15 plot menggunakan bingkai besi

berukuran 25 x 25 cm, dengan jarak antara setiap kuadrat 10 m (Huising et al. 2008) (Gambar 3). Tanah dari tiap kuadrat diambil menggunakan

cangkul hingga kedalaman 20 cm dan dimasukkan ke dalam goni. Selanjutnya tanah langsung disortir untuk mendapatkan cacing tanah. Cacing tanah yang didapat, dikumpulkan dan dibersihkan dengan air serta dihitung jumlahnya, kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan dengan alkohol 70%, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi, dihitung jumlah individu dari masing-masing jenis yang didapat (Lampiran 3).

Gambar 3.Peletakan plot pengambilan sampel cacing tanah

b. Identifikasi Spesies Cacing Tanah

Sampel cacing tanah yang telah diawetkan kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, selanjutnya dideterminasi dan diidentifikasi dengan melihat morfologi menggunakan mikroskop stereo. Identifikasi dilakukan menggunakan


(36)

beberapa buku acuan seperti; Stephenson (1923), Edwards & Lofty (1977), Fender & Fender (1990), James (1990), Suin (1997).

c. Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah diambil dari lahan hutan sekunder dan agroforestri kopi secara zig-zag hingga kedalaman 20 cm, kemudian dimasukkan ke dalam goni. Setelah itu tanah di kompositkan dan dicampurkan merata untuk dibawa ke laboratorium.

d. Sampel Cacing Tanah pada Media Percobaan

Cacing tanah yang digunakan adalah cacing tanah dewasa (klitelum terlihat jelas) dengan berat 800 – 1000 mg yang merupakan jenis bioindikator pada hutan sekunder dan agroforestri kopi.

e. Aplikasi Peranan Cacing Tanah Jenis Bioindikator

Tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi yang telah dikompositkan, dimasukkan ke dalam setiap ember sebanyak 900 gram kemudian ditambahkan serasah yang telah dicacah seberat 50 gram setiap 10 hari sekali sebagai sumber makanan bagi cacing tanah. Setiap ember yang telah berisi media perlakuan diisi dengan 5 ekor cacing tanah bioindikator, kemudian ditutup dengan kain kassa warna hitam agar cacing tanah tidak keluar dan tetap aktif dalam memanfaatkan media. Penyiraman dilakukan setiap tiga hari sekali untuk menjaga kelembaban media. Kondisi sifat fisik dan kimia media, seperti kelembaban, suhu dan pH media diperiksa setiap tiga hari antara pukul 09.00-11.00 WIB.

Pengamatan berat, panjang dan produktivitas cacing tanah dilakukan dengan menimbang, mengukur dan menghitung jumlah kokon dan juvenil cacing tanah yang dikeluarkan dari tiap media perlakuan setiap sepuluh hari (Lampiran 3). Pengamatan peranan cacing tanah bioindikator dalam mengubah unsur hara tanah dilakukan dengan mengambil tanah dari setiap media perlakuan untuk analisis unsur hara tanah di laboratorium. Pengamatan berat dan produktivitas cacing tanah pada setiap media dan peranan cacing tanah bioindikator dalam meningkatkan kesuburan tanah dilakukan selama dua bulan (± 60 hari). Unsur hara tanah pada tiap media yang diukur adalah C-organik, N-total, C/N, P2O5 dan K2O.


(37)

3.5 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Tanah pada masing-masing kuadrat diukur suhu, kelembaban, pH, N-total, C-organik, C/N, P-bray dan K. Pengukuran suhu, kelembaban, dan pH tanah dilakukan sebelum tanah diambil dari kuadrat tersebut. Kelembaban dan pH diukur dengan menggunakan Soil Tester dan suhu tanah diukur pada bagian permukaan dengan kedalaman 10 cm menggunakan Soil Thermometer (Lampiran 3).

Pengukuran C-organik, N-total, C/N, P-bray dan K dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian USU. Tanah yang di dapat dibersihkan dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan tanah lainnya, kemudian dicampur sampai rata dan diambil sebagian untuk dianalisis (Tabel 2).

Tabel 2. Parameter sifat fisik kimia tanah

Parameter Satuan Metode

Fisik: Suhu Kelembaban °C % Soil Thermometer Soil tester Kimia: pH C-organik N-total C/N P-bray K % % % % Me/100g Soil tester Walkey&Black Kjeldhal Rasio C:N Bray II

Ekstraksi NH4OAC pH 7

3.6 Analisis Data

3.6.1 Populasi Cacing Tanah

Jenis cacing tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang di dapatkan, dihitung kepadatan populasi, kepadatan relatif masing-masing jenis dan frekuensi kehadiran (Suin 1997).

a. Kepadatan populasi (K)

K =

b. Kepadatan Relatif (KR)


(38)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = Keterangan :

0 - 25% = konstansinya sangat jarang 25 - 50% = konstansinya jarang

50 - 75% = konstansinya sering > 75% = konstansinya sangat sering

f. Bioindikator

Spesies jenis indikator didapatkan dengan memperoleh spesies yang memiliki nilai KR > 10% dan FK > 25 %.

Hubungan antara jumlah individu cacing tanah dengan faktor fisik kimia lingkungan (suhu, pH dan kelembaban) dianalisis dengan korelasi Pearson menggunakan SPSS ver 20.

3.6.2 Peranan Jenis Cacing Tanah Bioindikator

Analisis data terhadap peranan jenis cacing tanah bioindikator, meliputi respon pertumbuhan cacing tanah (perubahan berat tubuh, panjang tubuh dan produksi kokon dan juvenil) dan hasil analisis unsur hara (C-organik, N-total, C/N, P2O5

dan K2O). Produksi kokon dan juvenil serta hasil analisis unsur hara dianalisis

secara deskriptif, sedangkan hubungan antara berat dan panjang tubuh cacing tanah dianalisis dengan Regresi menggunakan SPSS ver 20.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Cacing Tanah yang Ditemukan

Cacing tanah yang ditemukan di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo adalah 4 spesies, yaitu Amynthas sp., Peryonix sp., Pheretima sp., dan Pontoscolex corethrurus.

a. Amynthas sp.

Panjang tubuh 6 - 16,8 cm, diameter 3,5 - 4,2 mm, jumlah segmen 71 – 130, warna merahtua; Tipe prostomium epilobus; Klitelum di segmen 14 – 16 berbentuk annular berwarna keputih-putihan; Seta tipe perisetin; Lubang kelamin jantan di segmen 18, lubang kelamin betina di segmen 14 (Gambar 4).

(a) (a)

(b) (b)

(c) (c)

Gambar 4. Cacing Amynthas sp.: morfologi tubuh (a), prostomium tipe epilobus (b), klitelum berbentuk annular (c).


(40)

b. Peryonix sp.

Panjang tubuh 6 - 13,2 cm, diameter 3 - 5 mm, jumlah segmen 75 – 165, warna cokelat kehitaman; Tipe prostomium epilobus; Klitelum di segmen 13 dan 17 berbentuk sadel menebal; Seta tipe perisetin (Gambar 5).

(a) (a)

(b) (b)

(c) (c)

Gambar 5. Cacing Peryonix sp.: morfologi tubuh (a), prostomium tipe epilobus (b), klitelum berbentuk sadel (c).


(41)

c. Pheretima sp.

Panjang tubuh 8,6 - 15,5 cm, diameter 3 - 5 mm, jumlah segmen 93 - 125, warna coklat keunguan; Prostomium tipe prolobus; Klitelum di segmen 13 dan 14 berbentuk annular; Seta tipe perisitin; Lubang kelamin jantan di segmen 18, lubang kelamin betina di segmen 14 (Gambar 6).

(a) (a)

(b) (b)

(c) (c)

Gambar 6. Cacing Pheretima sp.: morfologi tubuh (a), prostomium tipe epilobus (b), klitelum berbentuk annular (c).


(42)

d. Pontoscolex corethrurus

Panjang tubuh 5,2 - 14,4 cm, diameter 2,5 - 3,5 mm, jumlah segmen 102 - 220, warna keputih-putihan dengan sedikit kecoklatan; Tipe prostomium prolobus; Klitelum 7 segmen (13 - 20, 14 - 21 dan 15 – 22) berbentuk sadel menebal berwarna kekuningan; Seta (8 tiap segmen) tipe lumbrisin di bagian dorsal; Lubang kelamin jantan di segmen 23 (Gambar 7).

(a) (a)

(b) (b)

(c) (c)

Gambar 7. Cacing P. corethrurus: morfologi tubuh (a), prostomium tipe prolobus (b), klitelum berbentuk sadel (c).


(43)

4.2. Populasi Cacing Tanah

Total individu cacing tanah yang dikoleksi adalah 340 individu. Total individu tertinggi terdapat di agroforestri kopi 266 individu dan di hutan sekunder 74 individu. Jumlah genus dan spesies tertinggi terdapat di agroforestri kopi adalah 4 dan di hutan sekunder 3 (Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah individu genus dan spesies cacing tanah pada dua lokasi penelitian

Individu/Genus/Spesies Lokasi

Hutan sekunder Agroforestri kopi

Jumlah total individu 74 266

Jumlah genus 3 4

Jumlah spesies 3 4

Cacing tanah Amynthas sp., Pheretima sp. dan Pontoscolex corethrurus ditemukan di kedua lokasi, sedangkan Peryonix sp. hanya ditemukan di agroforestri kopi (Tabel 4). Jenis spesies yang ditemukan di agroforestri kopi lebih banyak dari jenis spesies di hutan sekunder. Hal ini diduga terjadi karena masuknya spesies eksotis (Peryonix sp.) akibat adanya aktifitas penggunaan lahan yang lebih tinggi di agroforestri kopi seperti saat pemeliharaan lahan dan pemberian pupuk. Selden et al. (2005) menyatakan bahwa Peryonix sp. merupakan cacing pemakan sampah organik di permukaan tanah, tersebar di pegunungan Himalaya sampai Asia Tenggara. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2007) di Sumberjaya Lampung Barat mengenai alih guna lahan hutan menjadi pertanian dan peran sistem agroforestri kopi dalam mempertahankan diversitas cacing tanah, diperoleh bahwa jenis cacing tanah di agroforestri kopi lebih tinggi daripada hutan, namun hasil ini tidak sesuai dengan pernyataan Lavelle et al. (1997) yang menyatakan bahwa perubahan fungsi lahan hutan menjadi pertanian akan menurunkan keanekaragaman jenis cacing tanah. Tabel 4. Cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian

Famili Spesies Lokasi

HS AK

Glossoscolecidae Megascolecidae

Pontoscolex corethrurus Amynthas sp.

Peryonix sp. Pheretima sp.

+ + - + + + + +

Jumlah Spesies 3 4


(44)

Hasil analisis menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi terdapat di agroforestri kopi (283,73 ind/m2) (Tabel 5). Hal ini diduga karena terjadinya perubahan bahan organik akibat pengolahan pada tanah sebagai makanan cacing tanah. Hasil yang didapat ini sesuai dengan penelitian Hairiah et al. (2006) dan Dewi (2007) di Sumberjaya Lampung Barat bahwa kepadatan cacing tanah di agroforestri kopi lebih tinggi dibanding hutan. Hasil berbeda ditemukan pada penelitian Chan (2001) bahwa nilai kepadatan akan menurun seiring dengan meningkatnya aktifitas gangguan lahan karena menurut Ayuke et al. (2011) cacing tanah sensitif terhadap gangguan lahan.

P. corethrurus memiliki nilai kepadatan (K) dan kepadatan relatif (KR) tertinggi di agroforestri kopi (K = 260,27 ind/m2, KR = 91,73 %) dan di hutan sekunder (K = 48,00 ind/m2, KR = 60,81 %), sedangkan Amynthas sp.

memiliki nilai kepadatan dan kepadatan relatif terendah di agroforestri kopi (K = 3,20 ind/m2, KR = 1,13 %) dan di hutan sekunder (K = 2,13 ind/m2,

KR = 2,70 %) (Tabel 5). Kepadatan dan kepadatan relatif P. corethrurus di hutan sekunder dan agroforestri kopi lebih tinggi dari spesies lainnya diduga karena kondisi lingkungan masih mendukung bagi kehidupannya. Menurut Buch et al. (2011) cacing P. corethrurus memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan.

Cacing P. corethrurus di Indonesia, banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, dan tidak ditemukan pada hutan yang lebat (Suin 1997). Cacing ini merupakan jenis cacing yang banyak ditemukan di lahan yang mengalami gangguan, namun tidak ditemukan pada lahan alami, ditemukan di Sumatera Utara pada areal perkebunan kelapa sawit, coklat dan karet serta areal pertanian tanaman pangan (John 1998).

Hasil analisis frekuensi kehadiran (FK) spesies di hutan sekunder diperoleh 2 jenis spesies yang sering ditemukan, yaitu P. corethrurus (60,00 %) dan Pheretima sp. (53,33 %) dan 1 jenis yang sangat jarang ditemukan, yaitu Amynthas sp. (13,33 %). Pada agroforestri kopi diperoleh 1 jenis spesies yang sangat sering ditemukan, yaitu P. corethrurus (100%), 2 jenis yang jarang ditemukan, yaitu Pheretima sp. (46,67 %) dan Peryonix sp. (26,67 %) dan 1 jenis yang sangat jarang ditemukan, yaitu Amynthas sp. (13,33%) (Tabel 5).


(45)

Tabel 5. Kepadatan spesies (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK) cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian

Spesies

Lokasi

Hutan sekunder Agroforestri kopi

K KR FK K KR FK

Amynthas sp. 2,13 2,70 13,33 3,20 1,13 13,33

Peryonix sp. 0 0 0 5,33 1,88 26,67

Pheretima sp. 28,80 36,49 53,33 14,93 5,26 46,67

Pontoscolex corethrurus 48,00 60,81 60,00 260,27 91,73 100,00

Jumlah 78,93 100 283,73 100

K= kepadatan (ind/m2), KR= kepadatan relatif (%), FK= frekuensi kehadiran (%)

4.3. Kelompok Ekologi Cacing Tanah

Masing-masing spesies cacing tanah memiliki kelompok ekologis yang sesuai dengan perannya. Terdapat kelompok anesik (Amynthas sp. dan Pheretima sp.) dan endogeik (P. corethrurus) di hutan sekunder, sedangkan di agroforestri kopi

diperoleh kelompok anesik (Amynthas sp. dan Pheretima sp.), endogeik (P. corethrurus) dan epigeik (Peryonix sp.). Paoletti (1999) menyatakan bahwa

kelompok anesik merupakan cacing tanah berukuran besar yang mampu membuat terowongan yang dalam, kelompok epigeik merupakan cacing berukuran kecil yang aktif di permukaan tanah dan umumnya tidak menghasilkan terowongan dan kelompok endogeik adalah cacing yang hidup dekat permukaan tanah dan membentuk terowongan horizontal.

Hasil analisis kepadatan dan kepadatan relatif cacing tanah berdasarkan kelompok ekologi menunjukkan bahwa kelompok endogeik memiliki nilai tertinggi di hutan sekunder (K = 48,00 ind/m2, KR = 60,81 %) dan agroforestri kopi (K = 260,27 ind/m2, KR = 91,73 %) (Tabel 6). Cacing endogeik merupakan kelompok jenis bioindikator kesuburan tanah (Hanafiah et al. 2005) karena kelompok cacing ini berperan penting dalam mencampur serasah di bagian atas dengan tanah lapisan bawah (Subowo 2008). Kelompok cacing endogeik berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah pada tanah kering dengan kandungan hara dan pH rendah (ultisol) (Anwar 2006), selanjutnya Lagerlof et al. (2002) melaporkan kelompok endogeik dapat masuk kedalam tanah lebih dalam di musim kering untuk mendapatkan makanan, sehingga dapat bertahan pada kondisi


(46)

yang tidak menguntungkan. Kelompok endogeik melakukan diapause pada musim kering dan aktif kembali dalam beberapa hari.

Hasil analisis frekuensi kehadiran cacing tanah di hutan sekunder diperoleh kelompok anesik (53,33 %) dan endogeik (60,00 %) yang sering ditemukan. Pada lokasi agroforestri kopi diperoleh kelompok anesik (53,33 %) yang sering ditemukan, kelompok endogeik (100,00 %) yang sangat sering ditemukan dan kelompok epigeik (26,67 %) yang jarang ditemukan (Tabel 6). Tabel 6. Kepadatan spesies (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran

(FK) kelompok ekologi cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian

Spesies Kelompok

ekologi

Lokasi

Hutan sekunder Agroforestri kopi

K KR FK K KR FK

Amynthas sp.

Anesik 30,93 39,19 53,33 18,13 6,39 53,33

Pheretima sp.

Pontoscolex corethrurus Endogeik 48,00 60,81 60,00 260,27 91,73 100,00

Peryonix sp. Epigeik - - - 5,33 1,88 26,67

K = kepadatan (ind/m2), KR = kepadatan relatif (%), FK = frekuensi kehadiran (%)

Populasi cacing tanah merupakan gabungan dari semua kelompok ekologi cacing tanah, yaitu epigeik, endogeik dan anesik. Pengaruh cacing tanah terhadap tanah merupakan pengaruh dan interaksi dari ketiga kelompok tersebut. Kelompok cacing yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda dalam percampuran bahan organik maupun stabilitas tanah.

4.4. Jenis Cacing Tanah Bioindikator

Cacing tanah merupakan organisme yang dapat dijadikan sebagai bioindikator tanah untuk menggambarkan kondisi kualitas tanah serta tingkat gangguan lahan akibat aktifitas manusia (Gonzales et al. 2012). Cacing tanah jenis bioindikator adalah cacing dengan nilai kepadatan relatif (KR) > 10 % dan frekuensi kehadiran (FK) > 25 % (Suin 1997).

Hasil analisis kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran menunjukkan bahwa Pontoscolex corethrurus di hutan sekunder memperoleh nilai KR sebesar 60,81 % dan FK sebesar 60,00 %, pada Pheretima sp. diperoleh nilai KR sebesar 36,49 % dan FK sebesar 53 %, sedangkan di agroforestri kopi P. corethrurus


(47)

dengan nilai KR sebesar 91,73 % dan FK sebesar 100,00 %. Hal ini menunjukkan bahwa P. corethrurus dan Pheretima sp. adalah jenis bioindikator di hutan sekunder, sedangkan di agroforestri kopi hanya P. corethrurus (Tabel 7).

Tabel 7. Kepadatan relatif (KR), frekuensi kehadiran (FK) dan jenis bioindikator cacing tanah yang ditemukan pada dua lokasi penelitian

Spesies

Lokasi

Hutan sekunder Agroforestri kopi KR FK Bioindikator KR FK Bioindikator

Amynthas sp. 2,70 13,33 - 1,13 13,33 -

Peryonix sp. 0 0 - 1,88 26,67 -

Pheretima sp. 36,49 53,33 + 5,26 46,67 -

Pontoscolex corethrurus 60,81 60,00 + 91,73 100,00 +

KR= kepadatan relatif (%), FK= frekuensi kehadiran (%), + = bioindikator, - = tidak bioindikator

4.5 Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi

Hasil pengukuran faktor fisik kimia tanah di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo menunjukkan bahwa nilai faktor fisik kimia yang diperoleh masih mendukung bagi kehidupan cacing tanah (Tabel 8; Lampiran 4).

Tabel 8. Faktor fisik kimia tanah pada dua lokasi penelitian

Parameter Satuan Lokasi

Hutan sekunder Agroforestri kopi Fisik:

Suhu °C 14,50 16,07

Kelembaban % 50,20 41,67

Kimia:

pH 6.29 6.77

C-organik % 4,81 0,65

N-total % 0,56 0,67

C/N % 8,59 0,97

P-bray Ppm 23,04 18,12

K-tukar me/100 0,42 0,25

Suhu dan kelembaban tanah agroforestri kopi (16,08 °C, 41,67 %) lebih tinggi dari hutan sekunder (14,6 °C, 50,22 %) karena lahan agroforestri kopi

lebih terbuka sehingga panas matahari langsung menuju tanah, sedangkan hutan sekunder memiliki tutupan vegetasi yang lebih rapat sehingga panas


(48)

matahari terhalangi oleh vegetasi tersebut. Lokasi agroforestri kopi berada di

ketinggian yang lebih rendah (1300 - 1400 mdpl) dibanding hutan sekunder (1400 - 1500 mdpl). Hal ini mengakibatkan perbedaan suhu karena nilai suhu

akan mengalami penurunan pada peningkatan ketinggian tempat.

Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap perkembangan dan reproduksi cacing tanah. Setiap jenis cacing tanah memiliki suhu yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya, namun menurut Palungkun (1999) pada umumnya suhu optimum untuk pertumbuhan cacing tanah antara 15 – 25 °C. Bila suhu terlalu tinggi dan terlalu rendah, maka proses fisiologis akan terganggu. Selanjutnya menurut Rukmana (1999) kelembaban yang ideal untuk cacing tanah antara 15 – 50 %, namun kelembaban optimum adalah 42 – 60 %, sehingga nilai kelembaban pada dua lokasi ini masih mendukung bagi kelangsungan hidup cacing tanah.

Nilai pH tanah pada hutan sekunder (6,29) dan agroforestri kopi (6,78) bersifat netral karena menurut Handayanto & Hairiah (2007) kebanyakan tanah di Indonesia bersifat asam (4,0 - 5,5), sehingga tanah dengan pH 6,0 - 6,5 dikatakan bersifat netral. Kondisi pH tanah yang netral merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan cacing tanah. Hanafiah et al. (2005) menyatakan bahwa cacing tanah akan tumbuh baik pada pH sekitar 6,0 - 7,2, sedangkan menurut Fender & Fender (1990) umumnya cacing tanah hidup pada pH 4,5 - 6,6.

Nilai kandungan unsur C-organik (4,81 %), P-bray (23,04 ppm) dan K-tukar (0,42 me/100) di hutan sekunder lebih tinggi dari agroforestri kopi (C-organik = 0,65 %, P-bray = 18,12 ppm, K-tukar = 0,25 me/100) karena terjadinya proses mineralisasi yang besar pada tanah hutan sekunder. Nilai N-total lebih tinggi di agroforestri kopi (0,67 %) dibanding hutan sekunder (0,56 %), sehingga diperoleh jumlah cacing yang lebih banyak di agroforestri kopi dibanding di hutan sekunder karena menurut Lee (1985) N-total merupakan unsur pembentuk jaringan tubuh cacing tanah. Oktavia (2012) melaporkan bahwa N-total secara signifikan berkorelasi positif terhadap jumlah cacing tanah karena secara tidak langsung cacing tanah juga berperan meningkatkan N-total melalui aktifitas bakteri tanah, kandungan pada mukus dan kascing.


(49)

Nilai C-organik di hutan sekunder (4,81 %) lebih tinggi dari agroforestri kopi (0,65 %) karena perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian akan menurunkan nilai C-organik. Hal ini diakibatkan oleh penurunan diversitas vegetasi akan mengurangi jumlah timbunan serasah di atas permukaan tanah. Nilai C-organik yang rendah juga terjadi karena aktifitas dekomposisi karbon organik yang tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Simanjuntak (2005) di Malang bahwa C-organik di hutan (3,75 %) lebih tinggi dari kopi campuran (2,84 %) dan memperkirakan bahwa penanaman tanah hutan tropik dapat mengurangi kandungan C-organik sebesar 40 %. Nilai C/N di agroforestri kopi (0,97) lebih rendah dari hutan sekunder (8,59) karena kandungan C-organik di agroforestri kopi lebih rendah dari nilai N-total.

4.6 Hubungan Cacing Tanah dan Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi

Hasil analisis korelasi Pearson antara jumlah individu cacing tanah dengan faktor fisik kimia tanah (suhu, pH dan kelembaban) menunjukkan bahwa jumlah individu cacing tanah berkorelasi positif secara signifikan terhadap pH tanah

hutan sekunder (P = 0,544, α = 0,05) (Tabel 9; Lampiran 5). Menurut Edwards & Lofty (1977) pH tanah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap populasi cacing tanah, cacing tanah hidup baik pada pH netral (6 - 7) walaupun terdapat spesies tertentu yang mampu hidup pada pH asam atau basa. Tabel 9. Korelasi Pearson antara jumlah individu cacing tanah dengan faktor fisik

kimia lapangan

Faktor Fisik Kimia Korelasi Pearson

Hutan sekunder Agroforestri kopi

Suhu 0,041 -0,155

pH 0,544* -0,075

Kelembaban -0,292 -0,093

* = Signifikan

Spesies cacing tanah memiliki kisaran toleransi suhu yang berbeda. Pada umumnya suhu berpengaruh terhadap perkembangan dan reproduksi cacing tanah. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75 - 90 % dari berat tubuhnya.


(50)

Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau berdiam (Edwards & Lofty 1977).

4.7 Respon Pertumbuhan Cacing Tanah Pada Media Percobaan 4.7.1 Berat dan Panjang Tubuh Cacing Tanah

Hasil pengamatan mengenai perubahan berat tubuh cacing tanah pada perlakuan media tanah hutan diperoleh bahwa Pontoscolex corethrurus (P2) mengalami fluktuasi dari berat terendah pada hari ke 10 (796 mg/ind) hingga tertinggi pada hari ke 40 (844 mg/ind) (Gambar 8; Lampiran 6). Peningkatan berat cacing tanah

terjadi pada P. corethrurus, hal ini diduga karena sistem pencernaan P. corethrurus lebih baik dalam menyerap nutrisi bagi tubuhnya. Menurut

Gaddie & Douglas (1977) proses pencernaan tiap spesies cacing berbeda, tergantung kandungan enzim yang dimiliki cacing tanah tersebut, kondisi bahan organik, mikroba serta protozoa yang bersimbiosis dengannya. Peningkatan berat P. corethrurus tidak begitu berarti karena menurut Bhattacharjee & Chaudhari (2002) sebagian besar energi cacing dewasa digunakan untuk memproduksi kokon, namun ketika kokon tidak diproduksi, energi cacing tanah dimanfaatkan untuk pertumbuhan jaringan tubuh.

Gambar 8. Berat tubuh cacing tanah (mg/ind) pada media tanah hutan sekunder dengan P. corethrurus (P2), Pheretima sp. (P3) dan tanah agroforestri kopi dengan P. corethrurus (K2) selama 60 hari.


(51)

Cacing Pheretima sp. pada media tanah hutan sekunder (P3) dan P. corethrurus pada media agroforestri kopi (K2) mengalami penurunan hingga hari ke 60 karena kondisi media yang kurang mendukung bagi kehidupannya (Gambar 8; Lampiran 6). Menurut Paoletti (1999) Pheretima sp. memiliki kisaran toleransi yang lebih sempit dibanding P. corethrurus dan merupakan cacing kelompok anesik yang memiliki kebiasaan membuat terowongan yang dalam, sehingga kebiasaan tersebut tidak didukung oleh tebalnya media percobaan.

Perubahan panjang tubuh cacing tanah pada berbagai media perlakuan mengalami fluktuasi. P. corethrurus pada media tanah hutan sekunder (P1)

mengalami fluktuasi hingga panjang tubuh tertinggi pada hari ke 60 (83,24 mm/ind), Pheretima sp. (P3) memperoleh panjang tubuh tertinggi pada

hari ke 40 (78,92 mm/ind) sedangkan panjang tertinggi P. Corethrurus pada media tanah agroforestri kopi (K2) pada hari ke 20 (65,16 mm/ind) (Gambar 9; Lampiran 6).

Gambar 9. Panjang tubuh cacing tanah (mm/ind) pada media tanah hutan sekunder dengan P. corethrurus (P2), Pheretima sp. (P3) dan tanah agroforestri kopi dengan P. corethrurus (K2) selama 60 hari.

Berat dan panjang P. corethrurus pada media tanah agroforestri kopi (K2) lebih rendah dari perlakuan media tanah hutan dengan P. corethrurus (P2) dan Pheretima sp. (P3) (Gambar 8 dan 9; Lampiran 6). Hal ini diduga karena media tanah hutan sekunder memiliki nutrisi yang lebih baik bagi pertumbuhan cacing tanah dibanding tanah agroforestri kopi. Menurut Edward & Lofty (1977)

K2 P3


(52)

perbedaan jenis media dan spesies cacing tanah mempengaruhi ukuran dan laju pertumbuhan cacing tanah. Selanjutnya Dominguez et al. (2000) menyatakan bahwa energi yang digunakan cacing tanah untuk reproduksi tergantung pada kualitas pakannya.

Hasil analisis regresi linier antara berat dan panjang tubuh cacing tanah diperoleh nilai tertinggi pada P. corethrurus pada media K2 (R2 = 0,589, α = 0,05) diikuti P2 (R2 = 0,453, α = 0,05) dan terendah pada cacing Pheretima sp. pada media P3 (R2 = 0,311) (Gambar 10; Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh berat terhadap panjang tubuh cacing tanah tertinggi terdapat pada P. corethrurus pada media K2 sebesar 58,9 % dan P2 sebesar 45,3 %, sedangkan cacing Pheretima sp. pada media P3 sebesar 31,1%.

(a) (b)

(c)

Gambar 10. Regresi linier antara berat (mg/ind) dan panjang tubuh cacing tanah (mm/ind), yaitu P2 (a), P3 (b) dan K2 (c).


(53)

4.7.2 Produksi Kokon dan Juvenil Cacing Tanah

Produksi kokon dan juvenil cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan tanah dan jenis cacing tanah. Pontoscolex corethrurus memproduksi kokon tertinggi pada media tanah hutan (P2) di hari ke 50 (25,80 butir), sedangkan Pheretima sp. (P3) tidak memproduksi kokon sama sekali (Gambar 11; Lampiran 8). Hal ini diduga karena Pheretima sp. mengalami penurunan berat tubuh di setiap harinya, selanjutnya Lee (1985) menyatakan bahwa Pheretima sp. termasuk kelompok anesik yang memiliki laju reproduksi tergolong lambat.

Gambar 11. Produksi kokon cacing tanah P. corethrurus pada media tanah hutan sekunder (P2) dan tanah agroforestri kopi (K2).

Kondisi media yang mendukung bagi pertumbuhan berat tubuh cacing akan mendukung bagi reproduksi cacing tersebut (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002), perbedaan jenis media serta perbedaan spesies cacing tanah mempengaruhi produksi kokon (Edward & Lofty 1977) dan energi yang digunakan cacing tanah untuk reproduksi tergantung pada kualitas pakannya (Dominguez et al. 2000). Menurut Bhattacharjee & Chaudari (2002), dibutuhkan energi bagi cacing tanah untuk memproduksi kokon, namun ketika kokon tidak diproduksi lagi maka energi digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh.

Rata-rata produksi juvenil P. corethrurus pada media tanah hutan (P2) dan agroforestri kopi (K2) diperoleh pada hari 40 dengan nilai tertinggi pada media tanah hutan (2,40 ind) (Gambar 12; Lampiran 8). Hal ini karena media tanah


(54)

hutan memiliki kandungan organik yang lebih baik dibanding media tanah agroforestri kopi, sehingga mendukung untuk reproduksi cacing tersebut. Jumlah juvenil yang dihasilkan pada setiap media ditentukan oleh jumlah kokon yang mampu menetas dan kondisi media yang mendukung bagi kehidupan cacing tanah tersebut. Menurut Bhattacharjee & Chaudari (2002) masa inkubasi kokon cacing tanah berbeda berdasar tipe ekologinya, cacing tanah epigeik mempunyai masa inkubasi 13 - 14 hari, cacing tanah endogeik 15 hari dan cacing tanah anesik memiliki masa yang panjang, yaitu 110 hari.

Gambar 12. Produksi juvenil cacing tanah P. corethrurus pada media tanah hutan sekunder (P2) dan tanah agroforestri kopi (K2).

Kokon dan juvenil yang dihasilkan P. corethrurus mengindikasikan bahwa kondisi media sesuai bagi pertumbuhannya. Penelitian yang dilakukan oleh Nath (2012) di perkebunan karet Tripura India mengenai pertumbuhan dan reproduksi P. corethrurus pada berbagai media campuran pasir dan tanah dengan bahan organik berupa daun karet, daun bambu dan kotoran sapi memperoleh kokon dan juvenil di hari ke 45.

4.8 Faktor Fisik Kimia Media Percobaan 4.8.1 Suhu

Suhu harian media pada penelitian ini rata-rata 29,17 °C (dengan kisaran harian antara 28,00 °C sampai 30,10 °C). Pada seluruh media percobaan, suhu tanah


(1)

Lampiran 5. Analisis Korelasi Pearson Cacing Tanah dan Faktor Fisik

Kimia Tanah Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi.

(a) Hutan sekunder

Korelasi

Jumlah Suhu pH Kelembaban

Jumlah

Korelasi Pearson 1 0,041 0,544* -0,292

Sig. 0,884 0,036 0,290

N 15 15 15 15

Suhu

Korelasi Pearson 0,041 1 0,485 0,164

Sig. 0,884 0,067 0,559

N 15 15 15 15

pH

Korelasi Pearson 0,544* 0,485 1 0,215

Sig. 0,036 0,067 0,443

N 15 15 15 15

Kelembaban

Korelasi Pearson -0,292 0,164 0,215 1

Sig. 0,290 0,559 0,443

N 15 15 15 15

*. Korelasi berbeda nyata pada 0,05.

(b) Agroforestri kopi

Korelasi

Individu Suhu pH Kelembaban

Individu

Korelasi Pearson 1 -0,155 -0,075 -0,093

Sig. 0,581 0,791 0,742

N 15 15 15 15

Suhu

Korelasi Pearson -0,155 1 0,603* -0,319

Sig. 0,581 0,017 0,247

N 15 15 15 15

pH

Korelasi Pearson -0,075 0,603* 1 -0,066

Sig. 0,791 0,017 0,814

N 15 15 15 15

Kelembaban

Korelasi Pearson -0,093 -0,319 -0,066 1

Sig. 0,742 0,247 0,814

N 15 15 15 15

*. Korelasi berbeda nyata pada 0,05.


(2)

Lampiran 6. Berat dan Panjang Tubuh Cacing Tanah pada Setiap Media

Percobaan

a.

Berat cacing tanah (mg/ind)

Hari

Media

P2

P3

K2

0

812

984

808

10

796

964

764

20

812

880

652

30

800

828

640

40

844

820

644

50

828

784

636

60

836

572

540

P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus, P3 = media tanah hutan cacing Pheretima sp., K2 = media tanah agroforestri cacing P. corethrurus.

b.

Panjang cacing tanah (mm/ind)

Hari

Media

P2

P3

K2

0

65,36

69,24

63,92

10

72,24

71,52

63,84

20

64,88

65,48

65,16

30

72,72

73,24

56,52

40

81,48

78,92

59,04

50

75,52

68,48

53,12

60

83,24

68,20

53,92

P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus, P3 = media tanah hutan cacing Pheretima sp., K2 = media tanah agroforestri cacing P. corethrurus.


(3)

Lampiran 7. Analisis Regresi Linier Berat dengan Panjang Tubuh Cacing

Tanah

(a)Media P2

Model R R Kuadrat Adjusted R

Kuadrat

PerkiraanStandar

Error Durbin-Watson

1 0,673a 0,453 0,436 6,98409 1,008

a. Predictors: (Konstan), Berat b. Variabel bebas: Panjang

(b) Media P3

Model R R Kuadrat Adjusted R

Kuadrat

PerkiraanStandar

Error Durbin-Watson

1 0,557a 0,311 0,290 8,36041 1,591

a. Predictors: (Konstan), Berat b. Variabel bebas: Panjang

(c) Media K2

Model R R Kuadrat Adjusted R

Kuadrat

PerkiraanStandar

Error Durbin-Watson

1 0,767a 0,589 0,576 6,14942 1,688

a. Predictors: (Konstan), Berat b. Variabel bebas: Panjang


(4)

Lampiran 8. Rata-rata Produksi Kokon dan Juvenil Cacing Tanah

Hari

Media

Kokon (butir)

Juvenil

(ind)

10

P2

3,80

0,00

P3

0,00

0,00

K2

0,20

0,00

20

P2

8,20

0,00

P3

0,00

0,00

K2

0,40

0,00

30

P2

13,60

0,00

P3

0,00

0,00

K2

0,60

0,00

40

P2

17,80

2,40

P3

0,00

0,00

K2

1,00

0,20

50

P2

25,80

10,60

P3

0,00

0,00

K2

0,60

0,20

60

P2

25,40

13,40

P3

0,00

0,00

K2

0,80

0,40

P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus, P3 = media tanah hutan cacing Pheretima sp., K2 = media tanah agroforestri cacing P. corethrurus.


(5)

Lampiran 9. Analisi Unsur Hara Tanah Media Percobaan di Laboratorium

-

-

-

-

P1 P2 P3 K1 K2


(6)