Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Padi Sawah dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat)

(1)

2.1 Tinjauan Pustaka

Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa

(Kustiawan (1997) dalam Puspasari (2012)).

Konversi lahan atau alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (Furi, 2007).

Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.


(2)

Winoto (2005) mengungkapkan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh:

1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi,

2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan,

3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering,

4. Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar.

Konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh manusia, bukan suatu proses alami. Kita ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah sistem produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif (Anwar, 1993).

Menurut Yanis (2014), pada umumnya laju konversi lahan sawah yang tertinggi terjadi pada hamparan sawah di sekitar perkotaan. Oleh karena berbagai aturan dan perundang-undangan yang ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan sawah tidak efektif, maka konversi lahan sawah terkesan tidak pandang bulu;


(3)

menimpa lahan-lahan sawah produktif dengan fasilitas irigasi yang baik. Mengingat bahwa dimasa mendatang peluang untuk memperluas areal panen semakin terbatas, maka konversi lahan sawah untuk jangka panjang sangat berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung hal itu bersumber dari degradasi luas panen, secara tidak langsung disebabkan menurunnya produktivitas hamparan lahan sawah disekitarnya.

Ditinjau menurut prosesnya, konversi lahan sawah dapat pula terjadi: (1) secara gradual; (2) seketika (instan). Alih fungsi secara gradual lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Alih fungsi secara instan pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri (Sumaryanto dkk, 1995).

Pola konversi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua, yaitu sistematis dan sporadis. Konversi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, kompleks perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola konversi yang sistematis. Lahan sawah yang dikonversi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Konversi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis, luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses konversi lahan sawah bersifat progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam


(4)

waktu yang relatif pendek cenderung berkonversi pula dengan luas yang cenderung meningkat. Secara empiris progresifitas konversi lahan dengan pola sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis

(Direktorat Pangan dan Pertanian, 2006).

Sumaryanto dan Tahlim (2005) dalam Puspasari (2012) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem sawah, serta adanya perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya kriminalitas.

Kini ancaman penurunan produksi padi di Indonesia semakin serius karena petani mulai meninggalkan tanaman kebutuhan pokok itu. Mereka beralih ke tanaman perkebunan, kelapa, dan kelapa sawit. Keinginan petani mengkonversi lahannya dari sawah menjadi lahan perkebunan, khususnya kelapa dan kelapa sawit, sulit dibendung karena lebih menjanjikan pendapatan yang lebih tinggi (Hadi, 2004).

2.2 Landasan Teori Alih Fungsi Lahan

Manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic va lues atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan


(5)

sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini

(Sumaryanto dan Tahlim (2005) dalam Puspasari (2012)).

Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan lahan (Puspasari, 2012).

Banyaknya sawah yang dikonversi menjadi pabrik atau perumahan dan prasarana jalan menyebabkan kesempatan kerja di sawah berkurang. Ditambah lagi dengan digunakannya alat-alat pertanian yang efektif menyebabkan pengangguran di desa meningkat. Fenomena tersebut telah menciptakan pengurangan kebutuhan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. Apalagi menyusutnya luas baku sawah telah berdampak menurunnya kebutuhan tenaga kerja di sawah. Akan tetapi, dengan mengecilnya satuan luas usaha tani, para petani justru mengurangi produktivitas kerja mereka (Adiratma, 2004).

Adiratma (2004) menambahkan aspek sosial lainnya yang diakibatkan pleh tingginya konversi lahan sawah adalah beralihnya kepemilikan sawah. Meskipun sebagian masih tetap berfungsi sebagai sawah, kepemilikannya beralih dari petani


(6)

di desa ke orang-orang kaya di kota. Akibat lainnya terhadap petani adalah beralihnya status. Bila tetap ingin menjadi petani, mereka beralih status dari petani pemilik penggarap menjadi petani penyakap. Luas garapannya pun menyusut.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah

Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor-faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi (Pakpahan (1993) dalam (Puspasari (2012)).

Selanjutnya Pakpahan (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yakni:

1. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. 2. Secara langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana

transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.

Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan di pinggiran kota.


(7)

Sumaryanto dan Tahlim (2005) dalam Puspasari (2012) mengungkapkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek:

1. Alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3: (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti pembangunan rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini terjadi disembarang tempat, kecil-kecil, dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan dengan pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama.

2. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonpertanian atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.

Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara (Utomo (1992) dalam Puspasari (2012)).


(8)

Faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu (1) Faktor eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepaskan kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah

(Kustiawan (1997) dalam Puspasari (2012)).

Menurut Widjanarko (2006) dalam Puspasari (2012) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian: 1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan

presiden Nomor 53 Tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.

2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Akibat penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.

3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, pemukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.


(9)

Pendapatan

Penerimaan adalah hasil penjualan dari sejumlah barang tertentu yang diterima atas penyerahan sejumlah barang kepada pihak lain. Jumlah penerimaan di defenisikan sebagai penerimaan dari penjualan barang tertentu yang diperoleh dari jumlah barang yang terjual dikalikan dengan harga penjualan setiap satuan (Soedarsono, 1995).

Menurut Soekartawi dkk (1994), pendapatan keluarga mencerminkan tingkat kekayaan dan besarnya modal yang dimiliki petani. Pendapatan yang besar mencerminkan dana yang besar dalam usahatani, sedangkan pendapatan yang rendah dapat menyebabkan menurunnya infestasi dan upaya pemupukan modal, pendapatan bersih petani adalah hasil kotor dari produksi yang dinilai dengan uang kemudian hasil kotor tersebut dikurangi dengan biaya produksi dan biaya pemasaran.

Rendahnya pendapatan petani disebabkan sempitnya luas lahan yang dimiliki dan diolah. Di Provinsi sumatera Utara terdapat 58% adalah petani gurem yakni petani yang memiliki luas lahan < 0,5 ha dan 66% petani mengerjakan lahannya sendiri (Tafbu dkk, 2009).

Mardikanto (1990) menyatakan, bahwa rendahnya pendapatan petani selain disebabkan oleh (1) sempitnya luas lahan usahatani yang dimiliki, (2) rendahnya produktivitas usahatani karena keterbatasan peralatan dan teknologi yang diterapkan serta keterbatasan petani kecil untuk menggunakan input-input modern (seperti: benih, pupuk buatan dan pestisida), (3) sistem pemasaran yang seringkali tidak menguntungkan petani kecil dan (4) keterbatasan penghasilan dari sektor


(10)

lain (di luar usahataninya) karena rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berjudul ”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani Padi Sawah Melakukan Alih Fungsi Lahan ke Komoditi Perkebunan (Studi Kasus: Daerah Irigasi Namu Sira-Sira, Kabupaten Langkat)” oleh Matondang (2011) memilih 4 (empat) desa yaitu Desa Namu Ukur Utara, Desa Psr II Purwobinganun, Desa Psr. VI Kwala Mencirim, Desa Emplasmen Kwala Mencirim, dengan pertimbangan Daerah Irigasi Namu Sira-Sira merupakan daerah irigasi akan tetapi di daerah ini mengalami alih fungsi lahan ke komoditi perkebunan. Sampel petani dipilih dengan metode Simple Random Sampling yang selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan faktor yang paling mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan adalah perbedaan penerimaan usaha tani (padi, kakao dan sawit) dan kecenderungan perkembangan harga padi sawah, kakao, dan sawit. Di samping itu kecukupan air serta luas lahan yang dimiliki petani juga ikut mempengaruhi keputusan petani untuk alih fungsi lahan.

Barokah et al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Konversi Lahan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Karanganyar” menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan fungsi lahan sawah 0,120 hektar per rumah tangga petani dari tahun 1998-2010, proporsi pendapatan usahatani berkurang (8,30%) dari 42% menjadi 33,7% dan proporsi pendapatan luar usahatani meningkat (10,30%) dari 54% menjadi 64,30%. Berdasarkan hasil


(11)

analisis uji t dengan α 5% menunjukkan pendapatan rumah tangga petani sebelum konversi tidak sama dengan sesudah konversi lahan pertanian (pendapatan bertambah Rp 1.482.000 per tahun). Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan pendapatan digunakan uji beda rata-rata.

Penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan

Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani” oleh Puspasari (2010), alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Karawang pada tahun 2001-2010 dipengaruhi faktor ditingkat wilayah dan faktor ditingkat petani. Faktor-faktor ditingkat wilayah yang diduga mempengaruhi penurunan lahan sawah di Kabupaten Karanganyar adalah laju pertumbuhan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas padi sawah, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah, dan kebijakan tata ruang wilayah. Variabel yang berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf 10% adalah jumlah industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor ditingkat petani yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan adalah tingkat usia, lama pendidikan, luas lahan, proporsi pendapatan sektor pertanian, tanggungan keluarga, pengalaman bertani, dan produktivitas. Faktor yang berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf 5% adalah luas lahan, pada taraf 15% adalah tingkat usia, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Pengaruh alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani tidak berpengaruh secara signifikan pada taraf 5%. Namun tetap terjadi penurunan total pendapatan (usahatani dan non usahatani) dari Rp 1.421.514,03 (sebelum melakukan alih fungsi lahan) menjadi Rp 1.299.796,30 (setelah melakukan alih fungsi lahan).


(12)

2.4 Kerangka Pemikiran

Lahan merupakan input penting dalam proses produksi pertanian, khususnya pertanian padi sawah. Semakin luas lahan, produksi yang dihasilkan juga akan meningkat. Tidak hanya sebatas sektor pertanian, lahan juga merupakan modal yang harus dimiliki untuk sektor lainnya. Misalnya sektor industri yang membutuhkan lahan untuk membangun pabrik dan bangunan lainnya yang diperlukan untuk kegiatan industri. Namun alangkah sayangnya jika lahan yang digunakan adalah lahan yang dahulunya merupakan lahan sawah. Hal ini kemungkinan dikarenakan terbatasnya lahan kosong, serta lokasi dan harga dari lahan sawah yang dialihfungsikan tadi.

Adanya alih fungsi lahan sawah dapat mengubah pendapatan petani dikarenakan adanya perubahan penggunaan lahan yang semula sawah menjadi lahan pertanian lainnya maupun lahan pembangunan. Misalnya pendapatan seorang petani yang awalnya memiliki lahan sawah seluas 2 ha akan berbeda dengan pendapatan petani yang kemudian mengalihfungsikan 1 ha sawahnya menjadi lahan perkebunan. Begitu pula dengan petani yang kemudian juga menggarap sawah lain seluas 1 ha akan mengubah pendapatan dan status kepemilikannya.

Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor tingkat wilayah yang secara tidak langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah dan faktor tingkat petani yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah.

Skema faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah dan pengaruhnya terhadap pendapatan petani sawah dapat dilihat pada Gambar 1.


(13)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran menyatakan pengaruh

Lahan Sawah

menyatakan hubungan Faktor Tingkat Wilayah

1. Luas Sawah Irigasi (X1) 2. Luas Sawah Non Irigasi (X2) 3. Jumlah Sarana Pendidikan (X3)

Alih Fungsi Lahan

Faktor Tingkat Petani 1. Luas Sawah (X1)

2. Usia Kepala Keluarga (X2) 3. Jumlah Tanggungan (X3)


(14)

2.5 Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan teori dan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Laju alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat meningkat setiap tahunnya,

2. Faktor tingkat wilayah (luas sawah irigasi, luas sawah non irigasi, jumlah sarana pendidikan) dan faktor tingkat petani (luas sawah, usia kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga) berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan di Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat,

3. Terjadi perbedaan pendapatan petani padi sawah di Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat akibat alih fungsi padi sawah yang terjadi.


(1)

Pendapatan

Penerimaan adalah hasil penjualan dari sejumlah barang tertentu yang diterima atas penyerahan sejumlah barang kepada pihak lain. Jumlah penerimaan di defenisikan sebagai penerimaan dari penjualan barang tertentu yang diperoleh dari jumlah barang yang terjual dikalikan dengan harga penjualan setiap satuan (Soedarsono, 1995).

Menurut Soekartawi dkk (1994), pendapatan keluarga mencerminkan tingkat kekayaan dan besarnya modal yang dimiliki petani. Pendapatan yang besar mencerminkan dana yang besar dalam usahatani, sedangkan pendapatan yang rendah dapat menyebabkan menurunnya infestasi dan upaya pemupukan modal, pendapatan bersih petani adalah hasil kotor dari produksi yang dinilai dengan uang kemudian hasil kotor tersebut dikurangi dengan biaya produksi dan biaya pemasaran.

Rendahnya pendapatan petani disebabkan sempitnya luas lahan yang dimiliki dan diolah. Di Provinsi sumatera Utara terdapat 58% adalah petani gurem yakni petani yang memiliki luas lahan < 0,5 ha dan 66% petani mengerjakan lahannya sendiri (Tafbu dkk, 2009).

Mardikanto (1990) menyatakan, bahwa rendahnya pendapatan petani selain disebabkan oleh (1) sempitnya luas lahan usahatani yang dimiliki, (2) rendahnya produktivitas usahatani karena keterbatasan peralatan dan teknologi yang diterapkan serta keterbatasan petani kecil untuk menggunakan input-input modern (seperti: benih, pupuk buatan dan pestisida), (3) sistem pemasaran yang seringkali tidak menguntungkan petani kecil dan (4) keterbatasan penghasilan dari sektor


(2)

lain (di luar usahataninya) karena rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berjudul ”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani Padi Sawah Melakukan Alih Fungsi Lahan ke Komoditi Perkebunan (Studi Kasus: Daerah Irigasi Namu Sira-Sira, Kabupaten Langkat)” oleh Matondang (2011) memilih 4 (empat) desa yaitu Desa Namu Ukur Utara, Desa Psr II Purwobinganun, Desa Psr. VI Kwala Mencirim, Desa Emplasmen Kwala Mencirim, dengan pertimbangan Daerah Irigasi Namu Sira-Sira merupakan daerah irigasi akan tetapi di daerah ini mengalami alih fungsi lahan ke komoditi perkebunan. Sampel petani dipilih dengan metode Simple Random Sampling yang selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan faktor yang paling mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan adalah perbedaan penerimaan usaha tani (padi, kakao dan sawit) dan kecenderungan perkembangan harga padi sawah, kakao, dan sawit. Di samping itu kecukupan air serta luas lahan yang dimiliki petani juga ikut mempengaruhi keputusan petani untuk alih fungsi lahan.

Barokah et al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Konversi Lahan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Karanganyar” menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan fungsi lahan sawah 0,120 hektar per rumah tangga petani dari tahun 1998-2010, proporsi pendapatan usahatani berkurang (8,30%) dari 42% menjadi 33,7% dan proporsi pendapatan luar usahatani meningkat (10,30%) dari 54% menjadi 64,30%. Berdasarkan hasil


(3)

analisis uji t dengan α 5% menunjukkan pendapatan rumah tangga petani sebelum konversi tidak sama dengan sesudah konversi lahan pertanian (pendapatan bertambah Rp 1.482.000 per tahun). Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan pendapatan digunakan uji beda rata-rata.

Penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani” oleh Puspasari (2010), alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Karawang pada tahun 2001-2010 dipengaruhi faktor ditingkat wilayah dan faktor ditingkat petani. Faktor-faktor ditingkat wilayah yang diduga mempengaruhi penurunan lahan sawah di Kabupaten Karanganyar adalah laju pertumbuhan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas padi sawah, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah, dan kebijakan tata ruang wilayah. Variabel yang berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf 10% adalah jumlah industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor ditingkat petani yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan adalah tingkat usia, lama pendidikan, luas lahan, proporsi pendapatan sektor pertanian, tanggungan keluarga, pengalaman bertani, dan produktivitas. Faktor yang berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf 5% adalah luas lahan, pada taraf 15% adalah tingkat usia, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Pengaruh alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani tidak berpengaruh secara signifikan pada taraf 5%. Namun tetap terjadi penurunan total pendapatan (usahatani dan non usahatani) dari Rp 1.421.514,03 (sebelum melakukan alih fungsi lahan) menjadi Rp 1.299.796,30 (setelah melakukan alih fungsi lahan).


(4)

2.4 Kerangka Pemikiran

Lahan merupakan input penting dalam proses produksi pertanian, khususnya pertanian padi sawah. Semakin luas lahan, produksi yang dihasilkan juga akan meningkat. Tidak hanya sebatas sektor pertanian, lahan juga merupakan modal yang harus dimiliki untuk sektor lainnya. Misalnya sektor industri yang membutuhkan lahan untuk membangun pabrik dan bangunan lainnya yang diperlukan untuk kegiatan industri. Namun alangkah sayangnya jika lahan yang digunakan adalah lahan yang dahulunya merupakan lahan sawah. Hal ini kemungkinan dikarenakan terbatasnya lahan kosong, serta lokasi dan harga dari lahan sawah yang dialihfungsikan tadi.

Adanya alih fungsi lahan sawah dapat mengubah pendapatan petani dikarenakan adanya perubahan penggunaan lahan yang semula sawah menjadi lahan pertanian lainnya maupun lahan pembangunan. Misalnya pendapatan seorang petani yang awalnya memiliki lahan sawah seluas 2 ha akan berbeda dengan pendapatan petani yang kemudian mengalihfungsikan 1 ha sawahnya menjadi lahan perkebunan. Begitu pula dengan petani yang kemudian juga menggarap sawah lain seluas 1 ha akan mengubah pendapatan dan status kepemilikannya.

Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor tingkat wilayah yang secara tidak langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah dan faktor tingkat petani yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah.

Skema faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah dan pengaruhnya terhadap pendapatan petani sawah dapat dilihat pada Gambar 1.


(5)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran menyatakan pengaruh

Lahan Sawah

menyatakan hubungan Faktor Tingkat Wilayah

1. Luas Sawah Irigasi (X1)

2. Luas Sawah Non Irigasi (X2)

3. Jumlah Sarana Pendidikan (X3)

Alih Fungsi Lahan

Faktor Tingkat Petani 1. Luas Sawah (X1)

2. Usia Kepala Keluarga (X2)

3. Jumlah Tanggungan (X3)


(6)

2.5 Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan teori dan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Laju alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat meningkat setiap tahunnya,

2. Faktor tingkat wilayah (luas sawah irigasi, luas sawah non irigasi, jumlah sarana pendidikan) dan faktor tingkat petani (luas sawah, usia kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga) berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan di Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat,

3. Terjadi perbedaan pendapatan petani padi sawah di Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat akibat alih fungsi padi sawah yang terjadi.


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Petani Padi Sawah Melakukan Alih Fungsi Lahan Ke Komoditi Perkebunan (Studi Kasus : Daerah Irigasi Namusira-Sira, Kabupaten Langkat)

27 186 69

Analisis Dampak Pengalihan Lahan Konservasi Hutan Bakau Menjadi Lahan Pertambakan Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara (Studi Kasus Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura)

0 22 101

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Padi Sawah Terhadap Pendapatan Petani...

1 25 3

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Padi Sawah dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat)

11 151 100

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSILAHAN SAWAH Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Seluruh Kecamatan Di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009-2015.

0 2 14

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Padi Sawah dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat)

0 0 11

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Padi Sawah dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat)

0 0 1

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Padi Sawah dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat)

0 0 7

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Padi Sawah dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat)

0 0 3

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Padi Sawah dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat)

0 0 21