MAJELIS HIKMAH DAN SIMULASI POLITIK

MAJELIS HIKMAH DAN SIMULASI POLITIK
H Daliso Rudianto, SH
Keputusan persyarikatan secara resmi dan all out untuk mendukung pasangan
Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo sebagai Capres dan Cawapres merupakan
bagian dari pendidikan politik yang layak dicermati. Tentu dengan harapan Capres
dan Cawapres itu dapat lolos pada Pemilihan Presiden pada putaran pertama, dan
menang pada putaran kedua. Dengan demikian harapan bahwa Indonesia dimpimpin
oleh Muslim modernis sebagaimana ditulis oleh saudara Hajriyanto Y Tohari dalam
SM No.12 lalu akan menjadi kenyataan.
Penulis memandang keputusan itu juga sebagai bagian dari eksperimen politik
yang dilakukan persyarikatan, terutama menanggapi perkembangan yang begitu cepat,
ketika bangsa Indonesia memulai eksperimen politiknya berupa pemilihan Presiden
secara langsung, setelah sebelumnya ada pemilihan anggota DPD juga secara
langsung. Dalam bahasa gaul sekarang, apa yang dilakukan ini sungguh merupakan
uji nyali, uji coba dan uji popularitas diri.
Kalau sekiranya paradigma mobilitas vertikal kader Muhammadiyah dari
kader persyarikatan, kader umat dan kader bangsa dapat diterapkan dan berlangsung
secara linier sampai ke tingkat optimal (menjadikan kader Muhammadiyah sebagai
Presiden) maka uji nyali, uji coba dan uji popularitas diri itu sungguh berhasil.
Artinya persyarikatan mampu membuktikan bahwa dari rahim masyarakat sipil
Indonesia mampu tampil para pemimpin bangsa yang berkualitas. Sementara itu dari

rahim negara sudah lama secara sistematik memproduksi para pemimpin, yaitu dari
jalur militer (para jenderal) dan dari jalur birokrasi (para birokrat dan teknokrat).
Selama Orde Baru sepertinya yang sah menjadi pemimpin adalah hanya
mereka yang mengalami proses mobilitas yang dilakukan secara resmi oleh negara.
Para pemimpin bangsa yang lahir dari rahim masyarakat pada masa itu cenderung
dijegal dan dihambat pertumbuhannya.
Inilah yang menandai perbedaan antara era Orde Baru dengan Era Reformasi.
Sekarang masyarakat diperbolehkan memproduksi para pemimpin sebagai bagian dari
mobilitas sosial dan mobilitas politik yang sah. Munculnya Amien Rais sungguh
membuktikan bahwa masyarakat sipil Indonesia masih memiliki kemampuan untuk
melakukan regenerasi kepemimpinan bangsa. Tentu saja tugas Amien Rais bersama
Siswono dan tim suksesnya menjadi sangat berat karena harus bersaing dengan para
pemimpin lain yang menjadi produk negara, yaitu para jenderal.
Kita tidak tahu pasti, apakah dalam Pemilihan Presiden secara langsung ini
akan dimenangkan oleh calon yang menjadi produk masyarakat, atau dari calon yang
menjadi produk negara. Untuk ini ada baiknya Majelis Hikmah atau Lembaga
Hikmah Muhammadiyah jauh-jauh hari sudah melakukan kajian-kajian strategis agar
apa pun yang terjadi pada Pemilihan Presiden itu, persyarikatan tetap dapat
melenggang melakukan tugas-tugas sejarahnya.
Salah satu bentuk kajian itu adalah dengan memprediksi berbagai simulasi

politik. Misalnya, dalam putaran pertama, seandainya yang masuk final adalah
pasangan Pak Amien Rais-Siswono dengan pasangan no.4. Atau Pak Amien Rais
bersama pasangan No. 2, atau dengan pasangan No. 1, atau No, 5. Lantas apa yang
sebaiknya diperbuat oleh persyarikatan beserta para pimpinan, anggota dan
simpatisannya?
Seandainya lagi yang menang masuk final adalah pasangan No.1 dengan No.2
apa yang dilakukan? Kalau yang menang adalah No. 1 dan No.3, atau pasangan No. 1
dengan No.4, atau No. 1 dengan nomor No. 5? Lantas bagaimana kalau yang

menang justru pasangan No. 2 dengan No. 4, No. 2 dengan pasangan No.5?
Demikian juga sekiranya yang menang dalam putaran pertama adalah pasangan No.4
dan No.5.
Kita memang perlu berhati-hati, cerdas, bervisi ke depan, dan menggali
kearifan-kearifan kelas tinggi untuk mengahadapi kemungkinan-kemungkinan itu.
Lantas kalau dalam Pemilihan Presiden putara kedua yang menang adalah
pasangan Pak Amien Rais-Siswono, atau pasangan No.3, apa yang harus pertamatama dilakukan? Kalau yang ternyata menang adalah pasangan No.1, atau No.2, atau
No. 4, atau No.5, juga apa yang akan dilakukan?
Sebagai pecinta dan pelaku demokrasi (yang telah mempraktikkan demokrasi
internal sejak sebelum Republik ini lahir) tentu saja pimpinan, anggota dan simpatisan
persyarikatan Muhammadiyah relatif akan lebih dewasa dalam menghadapi realitas

politik apa pun. Artinya kita akan bersikap rasional, bukan emosional. Lebih-lebih
kalau kemenangan Capres dan Cawapres itu berlangsung jujur, adil tanpa
kecurangan.
Dalam kaitan ini, di masa depan Majelis Hikmah atau Lembaga Hikmah akan
makin strategis dan makin mendapat beban tugas yang berat. Sebab diharapkan dapat
menjelaskan kenapa Pemilihan Presiden hasilnya menjadi seperti itu? Demikian juga
konstruksi sosial-politik pendukung Muhammadiyah perlu dirumuskan kembali.
Berdasar konstruksi social-politik yang baru itu maka langkah-langlah penuh hikmah
pun dapat diayunkan, seiring dengan langkah dakwah yang selama ini sudah
dilakukan.
*) Mantan Sekretaris Majelis Hikmah PWM DIY.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002