MENJADI PEMAIN POLITIK

MENJADI PEMAIN POLITIK
H Daliso Rudianto, SH
Makin dekat saat Pemilu 2004 maka ‘hawa politik’ makin meningkat
tajam hangatnya. Bahkan nanti akan terasa makin panas. Kalau tidak hatihati menangani, dapat menyala betulan.
Di tengah-tengah makin menghangatnya ‘hawa politik’ ini ada yang
berani masuk dan menghirup ‘hawa politik’ itu dengan penuh semangat, ada
yang ragu-ragu, dan ada pula yang menjauh atau malahan lari dari politik.
Yang berani masuk ke politik adalah para aktivis, baik aktivis rutin maupun
kambuhan. Yang ragu-ragu adalah penagamat atau mereka yang berlagak
menjadi pengamat sedang yang menjauh atau lari dari politk biasanya adalah
mereka yang pernah terluka akibat pertarungan politik, atau mereka yang
sejak semula memang tidak percaya pada politik sebagai solusi.
Dalam kenyataan, politik memang dapat menjadi solusi, tetapi dapat
juga malahan menjadi sumber masalah. Hanya saja penulis berpendapat
kalau potensi politik sebagai solusi jauh lebh besar ketimbang sebagai
sumber masalah. Dan yang penting, mau tidak mau kita musti akan
berhadapan dengan politik dalam banyak kesempatan, kejadian dan dalam
banyak kasus.
Salah satu potensi solusi dari politik adalah, dalam banyak hal,
ternyata politik itu dapat menjadi alat untuk memperbaiki kehidupan,
termasuk kehidupan bersama kita semua. Dalam bahasa populer di kampus,

politik dapat menjadi tangga atau jalur bagi mereka yang ingin melakukan
mobilitas sosial. Kita melihat dalam berbagai kasus di dunia, ada ibu rumah
tangga dapat ,menjadi presiden karena mau berpolitik, ada dosen menjadi
presiden juga karena berpolitik, ada tukang parkir menjadi walikota, ada
guru menjadi bupati dan pedagang menjadi walikota atau gubernur juga
karena berpolitik.
Di masa lalu banyak orang yang percaya bahwa salah satu jalur atau
tangga yang dapat diperguakan untuk melakukan mobilitas sosial adalah
pendidikan. Salah satu tokoh yang percaya dengan hal ini adalah Prof Dr
Kuntowijoyo. Dalam salah satu pidatonya yang memukai banyak orang,
Prof Kuntowijoyo mengatakan yang dapat mengubah diri dan keluarganya
adalah karena pendidikan. Kalau tidak ada pendidikan barangkali dirinya
sekarang masih angon kebo.
Lalu ada yang berpendapat kalau ekonomi dapat menjadi jalur untuk
melakukan moblitas sosial. Ini juga betul. Banyak orang yang semula
dikenal sebagai orang yang melarat, tetapi karena mau bekerja keras ia

kemudian sukses. Salah satu orang yang pernah memimpin maskapai
penerbangan Garuda semula hanya pegawai biasa, ada seorang penjual
rokok yang kemudian menjadi pemilik toko buku terkenal, dan di Yogya ada

tukang becak yang sekarang menjadi juragan becak dan hidupnya makmur.
Karena ekonomi dapat menjadi lantaran atau jalur untuk melakukan
mobilitas sosial inilah maka dulu Prof Mubyarto pernah menelurkan konsep
bagaimana mengangkat Desa Tertinggal dengan proyek IDT yang terkenal
itu. dan seorang profesor yang lain malahan membuktikan bagaimana
koperasi desa dapat mengubah petani menjadi lebih makmur.
Nah, yang tersedia di depan mata kita sekarang adalah jalur politik.
Sebagai jalur untuk memperbaiki kehidupan sudah jelas tidak dapat
diragukan lagi. Untuk ini penulis sepakat dengan Prof Nakamura yang
mengatakan bahwa Muhammadiyah dalam Pemilu 2004 nanti hendaknya
mau menjadi wasit. Itu bagus (SM,24/88/2003). Sebagai lembaga maka
Muhammadiyah sudah pas kalau berada pada posisi wasit. Meski demikian
agar warga Muhammadiyah mahir dan memiliki pengalaman sebagai
pemain politik maka tidak salah juga kalau Muhammadiyah menganjurkan
agar warga dan kadernya mau terjun dan ikut bermain dalam politik, tentu
saja dengan tetap menjunjung tinggi fair play dan patuh aturan. Sebab
dengan makin banyaknya kader persyarkatan yang terjun di politik, lewat
berbagai partai atau lewat pencalonan perorangan maka di legislatif nanti
Muhammadiyah akan okeh kancane atau banyak temannya.
Dan sebagai negara dan bangsa yang menganut demokrasi di mana

parlemen menduduki posisi penting, dan eksekutif yang dipilih langsung
juga penting maka banyaknya kader yang hadir dan eksis di dua lembaga itu
akan sangat menguntungkan. Sebab kalau kita ingin mempengaruhi
keputasan tentang kebijakan publik maka suara dari kita dapat lebih banyak.
Demikian jka akan bertindak sebagai pengambil kebijakan secara langsung.
Kalau kita ingn meneruskan langkah reformasi, maka kebutuhan akan suara
yang banyak juga amat dibutuhkan, sehingga dapat mengimbangi atau
mengalahkan mereka yang ingin memacetkan reformasi.
Dalam kaitan inilah maka para pemain yang aktif di tengah lapangan
politik akan sama mulianya dengan para wasit yang tidak memihak. Sebab
pemain tanpa wasit dapat amburadul, tetapi wasit tanpa pemain aktif di
lapangan juga tidak lucu. Upaya untuk memperbaiki lapangan pun akan
lebih mudah dilakukan oleh para pemain itu sendiri.
Dengan demikian, politik jangan dijauhi, tetapi harus dihadapi. Para
pemimpin kita di masa silam pun selalu berusaha menghadapi politk, bukan
lari tunggang langgang darinya.

*) Praktisi hukum, mantan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda
Muhammadiyah DIY dan menjadi muballigh keliling di Yogyakarta.
Sumber:

Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2004

s