POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA KAJIAN UU NO.33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.

(1)

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA

(Kajian UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal)

TESIS

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Magister (S2) Program Studi Hukum Tata Negara ( Siya>sah)

Oleh

Endah Dwi Rohayati NIM. F0.2.2.130.09

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL ( Kajian UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal)

Oleh: Endah Dwi Rohayati F 022 13 009

I

Kebutuhan terhadap kehalalan produk pangan, merupakan hal yang niscaya bagi umat Islam karena mengonsumsi yang halal merupakan hak dasar setiap muslim dan implikasi kewajiban syariat. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, bergizi, bervariasi sesuai dengan daya beli masyarakat serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya maupun keyakinan adalah hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945) dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Hal ini juga merupakan bentuk upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negara sebagaimana telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat yakni Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Namun ironisnya, permasalahan ketidakjelasan status kehalalan produk pangan masih menjadi persoalan serius di Indonesia saat ini. Disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) menjadi harapan dan tantangan baru bagi umat Islam terkait sistem jaminan produk halal di Indonesia. Hadirnya UU JPH diharapkan mampu menjadi acuan bagi pemerintah dan produsen untuk memberikan jaminan terhadap kehalalan produk dan menjadi payung hukum yang menjamin konsumen sesuai asas perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi serta profesionalitas. Meskipun demikian, perkembangan legislasi jaminan produk halal ini masih menemui banyak persoalan baik ditingkat yuridis, sosiologis maupun politis.Bagaimana aspek sosiologis, yuridis, filosofis dibentuknya UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, bagaimana politik hukum Islam berperan dalam proses pembentukan regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia dan bagaimana aspek nilai hukum Islam berperan dalam esensi UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta kaidah hukum Islam yang dipakai dalam UU tersebut, perlu diuraikan.

Berdasarkan teori politik hukum, produk hukum yang dihasilkan oleh para legislator merupakan hasil produk politik, karena hukum lah yang terpengaruh oleh politik dalam proses pembentukannya. Sidang parlemen dalam pembentukan undang-undang sebagai


(6)

produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstelasi politik agar kepentingan dan aspirasi terakomodir dalam bentuk sebuah keputusan politik dan menjadi undang-undang. Undang–undang tersebut lahir sebagai bentuk keputusan bersama dan dipandang sebagai produk dan adegan konstelasi politik itu.

Awal abad XX yang merupakan masa berakhirnya dominasi kolonialisme, politik hukum Islam mulai intens diwacanakan dan menjadi polemik, bersamaan dengan proses pembentukan negara-negara muslim. Mereka mengalami kesulitan mengembangkan hubungan antara hukum Islam dan negara, tidak terkecuali di Indonesia. Fenomena yang terjadi di Indonesia, hukum Islam mulai dikenal oleh penduduk nusantara sejak agama Islam disebarkan di Indonesia dan mulai diikuti dan dilaksanakan oleh pemeluknya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-empiris yakni penelitian tentang identifikasi hukum. Penelitian ini termasuk socio-legal research yakni penelitian dengan studi empiris untuk menemukan teori mengenai terjadinya hukum di dalam masyarakat dan bekerjanya hukum tersebut. Obyek dari penelitian ini adalah Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan berbagai elemen masyarakat ( masyarakat umum, komunitas halal, media dan LPPOM MUI) yang menjadi subjek proses politik hukum diberlakukannya regulasi jaminan halal untuk produk -produk industri di Indonesia. Setelah data primer dan sekunder diperoleh dan terkumpul, maka data diidentifikasi dan klasifikasi berdasarkan pokok-pokok masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah

interpretatif understanding.

II

Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD, berpendapat bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Abdul Hakim Garuda Nusantara memaknai politik hukum sebagai legal policy dengan lebih mengedepankan kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dalam hal bagaimana hukum itu


(7)

dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan cita-cita awal suatu negara.

Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita. Pada dasarnya politik hukum merupakan suatu kajian yang tidak hanya berbicara pada tataran proses dari hukum-hukum yang akan dan sedang diberlakukan tetapi juga mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku. Politik hukum ini mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU, tetapi juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara pelaksana putusan pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita hukum, cita-cita dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi.

Politik hukum nasional merupakan alat dan sarana yang digunakan oleh pemerintah untuk membentuk sistem hukum nasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahfud MD bahwa politik hukum merupakan legal policy untuk pemberlakuan hukum sehingga dapat mencapai tujuan negara. Sistem hukum nasional inilah yang akan dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang tertera di dalam landasan ideologi negara yaitu pancasila dan UUD 1945.

Wilayah telaah politik hukum mencakup proses penggalian aspirasi yang ada dari masyarakat oleh para penyelenggara negara yang berwenang, kemudian aspirasi tersebut menjadi bahan dan wacana yang akan diperdebatkan dan dikontestasikan oleh para penyelenggara negara yang berwenang dalam rumusan rancangan peraturan perundang-undangan.Dalam penentuan rumusan rancangan perundang-undangan hingga berhasil ditetapkan menjadi undang-undang atau hukum positif, banyak faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi proses politik hukum baik pada saat akan dirumuskan, maupun setelah ditetapkan dan dilaksanakan.


(8)

III

Islam adalah agama yang komprehensif. Hal ini karena ajaran Islam meliputi berbagai cakupan yakni hukum yang berkaitan dengan akidah, ibadah, hukum sosial kemasyarakatan, hukum perekonomian, hukum pemerintahan, hukum pendidikan, sistem sanksi dan hukum akhlaq. Dalam kaitannya dengan politik, Islam tidak memisahkan antara urusan agama dan politik. Politik Islam merupakan pengaturan dan pemeliharaan urusan umat yang didasarkan pada hukum Islam. Politik hukum Islam secara khusus bisa diartikan sebagai proses arah hukum Islam yang akan dipakai negara untuk mewujudkan tujuan negara, baik berupa hukum baru atau penggantian hukum lama. Prosesnya menjadi spesifik dibandingkan hukum lain yang tidak berbasis agama, karena sumber kebenaran teks hukum Islam berbeda. Perbedaan yang terjadi adalah pada interpretasi hukum dari sumber teks yang sama baik dari Al-Quran, Al-Hadis, Ijmak maupun qiyas.

Terkait dengan dinamika politik hukum Islam di Indonesia, kita tidak dapat melepaskannya dari pluralitas masyarakat yang menjadikan hukum senantiasa hidup dan berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, secara sosio-kultural maupun politik. Munculnya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama menjadi pemicu lahirnya produk-produk hukum Islam dalam regulasi di Indonesia. Hingga saat ini lahirnya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal menjadi bukti terus bergulirnya perjuangan umat Islam dalam ranah politik hukum di Indonesia.

Hukum Islam dan lembaganya sebagai bagian dari institusi sosial dalam masyarakat juga tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan sosial dan politik yang melingkupinya. Sehingga dalam konteks transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, atau upaya agar hukum Islam dapat menjadi undang-undang negara, tetap harus melalui kontestasi dan pertarungan sosial politik dan juga melalui proses politik dalam lembaga legislatif.

Orde reformasi di Indonesia memperlihatkan situasi yang lebih kondusif bagi eksistensi perjuangan politik hukum Islam. Substansi dari produk hukum dalam UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 18 Tahun 2001 tentang OTSUS NAD, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU Perbankan Syariah Tahun 2008 telah sejalan dengan


(9)

hukum Islam. Sedangkan kebijakan-kebijakan di bidang hukum pidana umum mulai memasukkan nilai nilai hukum Islam yang bersifat universal dan dapat berlaku bagi semua kalangan baik muslim maupun non muslim.

IV

Jaminan produk halal ( JPH) dapat dinyatakan sebagai kepastian hukum terhadap kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikasi halal. Sertifikat halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia ( MUI) pusat maupun propinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang diproduksi oleh perusahaan setelah melalui proses penelitian dan dinyatakan halal. Sistem Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen terintegrasi yang dibuat dan dilaksanakan oleh perusahaan pemegang sertifikat halal dalam menjamin kesinambungan proses produksi halal sesuai persyaratan LPPOM MUI, dengan cara mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia dan prosedurnya.

Jaminan Produk halal berangkat dari aspek filosofis yang menjadi landasannya, yaitu Al-Quran, sunnah, Ijmak dan qiyas yang diijtihadkan oleh Ulama dalam hal ini kita merujuk kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah sebuah lembaga yang didalamnya berkumpul para ulama, zu ‘ama dan cendekiawan muslim dari berbagai golongan dan organisasi umat Islam di Indonesia. Dalam menentukan status hukum halal dan haram pada makanan dan minuman, para fuqaha menggunakan berbagai prinsip penetapan hukum.Selain prinsip halal dan tayib sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis, dikenal pula teori istihla>k dan istih{al>a>h, kaidah-kaidah fikih (qawa>id fiqhiyyah) serta konsep maslahat dan mafsadat. Teori istihla>k dan istiha>lah telah banyak diperbincangkan oleh para ulama terdahulu. Keduanya merupakan cara penyucian makanan dan minuman dari bahan asalnya yang bersifat najis menjadi halal dan suci. Teori istihla>k telah dipakai oleh para ulama dalam menentukan status hukum makanan, namun yang menjadi perselisihan adalah sejauh mana teori istihla>k ini diaplikasikan dalam berbagai bidang yang berbeda.

Para fuqaha mendefinisikan istih{a>lah sebagai perubahan dan pertukaran suatu bahan kepada bahan lain yang meliputi perubahan zat dan sifat. Para fuqaha berselisih pendapat mengenai aspek aplikasi teori istihalah. Ulama madzab Al-Shafi’i tidak meluaskan pengaplikasian istih{a>lah pada persoalan-persoalan baru. Sementara ulama madzab H{anafi, mazdab Zahiri, Imam Ma>lik, Ibn Qayyim, Ibn Hazm, Ibn Taimiyyah meluaskan skup


(10)

penggunaan teori Istih{a>lah. Penentuan hukum halal haram makanan berdasarkan teori istihla>k dan istih{a>lah sekalipun dapat digunakan namun tidak mudah diaplikasikan hanya berdasarkan aspek perubahan fisik zat semata namun menyangkut perubahan struktur kimia maupun fisik bahan tersebut. Maka harus dipastikan terlebih dahulu agar tidak terjerumus kepada mengonsumsi yang haram secara tidak sengaja. Kebanyakan hukum terkait dengan makanan dan minuman tidak hadir dalam bentuk yang sudah terperinci.Namun sebaliknya, justru dituangkan berupa prinsip-prinsip umum dalam bentuk qawai>d fiqhiyyah.

Terkait dengan konsep maslahat dan mafsadat, Imam Al-Gaza>li> menjelaskan konsep maslah}ah yang menjadi al-maqa>s}id al-shari> ‘ah yaitu: menjaga kesucian dan ketinggian agama ( hifz} al –di>n); menjaga keselamatan diri ( hifz} al-nafs), menjaga kebaikan dan kecerdasan akal fikiran ( hifz} al-‘aql), menjaga kebaikan keturuanan ( hifz} al-nasal) dan menjaga kesucian dan keselamatan harta benda ( hifz} al-ma>l). Penjagaan atas kelima hal di atas dianggap maslah}ah dan setiap hal yang merusak lima perkara tersebut dianggap mafsadah dan pencegahan/penolakannya dianggap maslahat.

Landasan yuridis jaminan produk halal terdapat dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2). UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan ,PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permenkes RI No. 280/ Menkes/Per/ XI/ 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan yang berasal babi. Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan Makanan, Keputusan Menkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada label makanan, dan perubahannya berupa keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/SK/VII/1996 beserta peraturan pelaksanaanya berupa keputusan Dirjen POM No. HK.00.06.3.00568 tentang Tata Cara Pencantuman Tulisan Halal pada label makanan, dan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No.

427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada

label makanan.

V

Proses pembentukan dan implementasi hukum juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni sistem ideologi negara, sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya serta sistem hukum itu sendiri. Demikian pula dalam proses implementasi hukum Islam dalam ranah perundang-undangan negara. Pro kontra tidak terelakkan dalam masyarakat dan


(11)

meliputi berbagai aspek. Proses legislasi jaminan produk halal, berhadapan dengan berbagai perbedaan pendapat di lapang terkait interpretasi fikih halal-haram. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat para fuqaha yang diikuti oleh masyarakat dalam memahami konsep halal-haram.

Ada empat tahap dalam proses pembentukan undang-undang dalam era reformasi ini, yaitu Pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang ( RUU), Tahap Persetujuan Bersama Rancangan Undang-Undang (RUU), Pengesahan RUU JPH menjadi UU JPH, dan tahap pengundangan. Setelah fase pengundangan UU JPH, Pro dan Kontra di masyarakat masih terus bergulir hingga taraf implementasinya. Menurut pendapat penulis, Pro dan kontra terhadap UU JPH disebabkan, pertama perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam dari aspek interpretasi pemahaman fikih halal-haram, karena memang hukum terkait halal haram sifatnya global. Terjadi perbedaan penggunaan qawa>id fiqhiyyah dalam menentukan status halal produk. Kedua, secara sosiologis, pluralitas masyarakat Indonesia baik dari sudut pandang agama, budaya, ekonomi maupun pendidikan, menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi regulasi JPH ini. Menurut pandangan penulis, disinilah perlunya sosialisasi dan eduukasi halal yang lebih masif kepada masyarakat. Peran ulama, pemerintah dan para pegiat halal sangat penting, di samping adanya sikap toleransi yang baik di kalangan umat yang beragam. Ketiga, dari sisi substansi UU JPH memang masih ditemui adanya materi UU JPH yang dilematis jika diimplementasikanm sehingga dimungkinkan adanya peluang uji materi (

judicial review) terhadap UU JPH ini.

Ini adalah tantangan politik hukum Islam selanjutnya dalam tataran implementasi dan efektivitas hukum dalam UU JPH. Namun esensi utama UU JPH ialah memberi keamanan dan kenyamanan, sehingga berbagai kekhawatiran yang ada terkait produk tanpa sertifikasi halal dan pro-kontranya dapat selesai dengan diberikannya keamanan dalam implementasi UU ini.

VI

Suatu produk hukum memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi oleh aspek sosiologis, yuridis maupun filosofis tempat hukum tersebut dihasilkan. UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal terbentuk karena memiliki akar sosiologis yang kuat dimana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri tidak terelakkan dikarenakan dari sumber teks hukum Islam sendiri memungkinkan adanya perbedaan interpretasi terhadap hukum halal haram ini. Selain itu


(12)

perbedaan tingkat pemahaman masyarakat terhadap halal juga mewarnai pro dan kontra yang terjadi.

Substansi UU JPH masih memerlukan adanya pembenahan melalui peraturan pemerintah yang ada di bawahnya agar dapat diimplementasikan secara baik. Peluang adanya uji materi terhadap UU JPH tetap ada dalam rangka menyesuaikan substansinya. Sistem Ideologi negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan unsur religiusitas negara yang menjadi pilar sistem hukum nasional sehingga perjuangan politik hukum Islam dalam regulasi jaminan Produk Halal memiliki payung konstitusional yang mantap. Nilai –nilai hukum Islam sangat berperan dalam menentukan esensi UU JPH dengan mengedepankan prinsip al-Maqaashid as-Syariah.


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... v

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1. Tujuan Penelitian ... 4

2. Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoretik ... 5

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 9

F. Metodologi Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II POLITIK HUKUM NASIONAL DI INDONESIA A. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Hukum ... 19

B. Politik Hukum Nasional ... 23


(14)

iii

BAB III POLITIK HUKUM ISLAM

A. Politik Hukum Islam di Indonesia ... 31

B. Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional ... 38

BAB IV JAMINAN PRODUK HALAL A. Epistemologi ... 44

1. Jaminan Produk Halal ... 44

2. Sertifikat Halal ... 45

3. Sistem Jaminan Halal ... 47

B. Aspek Filosofis Jaminan Produk Halal ... 49

C. Prinsip Penetapan Hukum Halal Haram ... 59

D. Aspek Yuridis Legislasi Jaminan Produk Halal ... 67

1. Jaminan Produk Halal dalam UUD 1945 ... 68

2. Jaminan Produk Halal dalam Undang-Undang ... 69

3. Jaminan Produk Halal dalam Peraturan Pemerintah ... 71

4. Jaminan Produk Halal dalam Peraturan Menteri Kesehatan ... 73

5. Jaminan Produk Halal dalam Surat Keputusan Menteri ... 74

BAB IV POLITIK HUKUM ISLAM JAMINAN PRODUK HALAL A. Politik Hukum Islam Jaminan Produk Halal ... 76

B. Mekanisme pembentukan Regulasi Jaminan Produk Halal... 82

C. Sikap terhadap Legislasi Jaminan Produk halal ... 90

D. Analisa Politik Hukum Islam Jaminan Produk Halal... 96


(15)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 106 B. Saran... 107


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Kebutuhan terhadap kehalalan produk pangan1, merupakan hal yang niscaya bagi umat Islam karena mengonsumsi yang halal merupakan hak dasar setiap muslim dan implikasi kewajiban syariat.2 Ketersediaan pangan yang cukup, aman, bergizi, bervariasi sesuai dengan daya beli masyarakat serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya maupun keyakinan adalah hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945) dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.3 Hal ini juga merupakan bentuk upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negara sebagaimana telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat yakni Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

1 Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan).

2 Anton Apriyantono, “LPPOM MUI Harus Diperkuat”, Jurnal Halal, No.99, Th. XVI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2013), 30.

3Amirsyah Tambunan, “Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999” Jurnal Halal, No. 101, Th. XVI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2013),6.


(17)

2

Namun ironisnya, permasalahan ketidakjelasan status kehalalan produk pangan masih menjadi persoalan serius di Indonesia saat ini. Kasus bakso daging babi tahun 19844 , kasus vaksin meningitis jemaah haji yang ditengarai mengandung unsur enzim babi pada tahun 2009, hingga kasus bakso babi berlabel halal5 pada tahun 2012, merupakan contoh permasalahan yang merugikan produsen, konsumen, dan dunia usaha. Tingginya prosentase produk pangan instan yang belum bersertifikat halal6, dan maraknya kasus pemalsuan label halal, semuanya menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap konsumen muslim di Indonesia.

Disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) menjadi harapan dan tantangan baru bagi umat Islam terkait sistem jaminan produk halal di Indonesia. UU JPH ini juga merupakan representasi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi dan memberikan rasa aman bagi konsumen, khususnya konsumen muslim dalam mengonsumsi produk sesuai dengan syari’at Islam yaitu halal dan tayib. Hadirnya UU JPH diharapkan mampu menjadi acuan bagi pemerintah dan produsen untuk memberikan jaminan

4Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih Besar”, Jurnal Halal, No. 103, Th.XVI, ( Jakarta: LPPOM MUI,2013), 20.

5 “Bakso Babi Berlabel Halal, PAN: MUI Kebobolan”, dalam http://www.jaringnews.com (21 Agustus 2013).

6 “Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), jumlah produk yang beredar di masyarakat sebanyak 194.776. Namun, hanya setengahnya yang telah memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam masa berlaku tahun 2013 – 2015. Jumlah produk bersertifikat halal tersebut ada sebanyak 98.543 atau memiliki prosentase sebesar 50,6 persen” Hardiat Dani Satria,


(18)

3

terhadap kehalalan produk dan menjadi payung hukum yang menjamin konsumen sesuai asas perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi serta profesionalitas.7

Meskipun demikian, perkembangan legislasi jaminan produk halal ini masih menemui banyak persoalan baik ditingkat yuridis, sosiologis maupun politis. Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua Komite Syariah World Halal Food Council (WHFC), menjelaskan bahwa meski sudah diundangkan, masih saja muncul upaya pemandulan UU JPH untuk tidak segera direalisasikan.8 Politik hukum Islam dalam legislasi jaminan produk halal memiliki urgensitas yang bernilai tinggi baik dalam bentuk undang-undang maupun infrastruktur yang kondusif agar persoalan umat Islam terkait sistem jaminan halal dapat terselesaikan, dan selanjutnya Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim dapat memposisikan diri sebagai pusat halal dunia dalam globalisasi sertifikasi halal.

Dengan demikian berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini mengambil judul: POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA. Judul ini menitikberatkan pada urgensitas politik hukum Islam dalam regulasi halal di Indonesia.

7 Lihat Undang Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


(19)

4

B. Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang penelitian tentang “ Politik Hukum Islam dalam Regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia ” maka dalam

penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimana aspek sosiologis, yuridis, filosofis dibentuknya UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal?

2. Bagaimana politik hukum Islam berperan dalam proses pembentukan regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia?

3. Bagaimana aspek nilai hukum Islam berperan dalam esensi UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta kaidah hukum Islam yang dipakai dalam UU tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah target yang ingin dicapai dalam penelitian, baik sebagai solusi atas masalah yang dihadapi (disebut sebagai tujuan obyektif) maupun sebagai pemenuhan atas sesuatu yang diharapkan (tujuan subyektif). Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(20)

5

a. Tujuan obyektif dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi dibentuknya UU No 33 Tahun 2014 baik secara sosiologis, yuridis maupun filosofis.

2. Untuk mengetahui politik hukum Islam dalam proses pembentukan dan pengesahan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

3. Untuk mengetahui apa saja aspek nilai hukum Islam yang berperan dalam esensi UU no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

b. Sedangkan tujuan subyektif adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapatkan dari suatu penelitian:

a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan bagaimana politik hukum Islam dapat menjadi mekanisme penyelesaian persoalan umat Islam dalam menjalankan kewajibannya sebagai umat beragama tanpa menimbulkan gesekan diantara kemajemukan masyarakat yang ada di Indonesia, khususnya dalam masalah jaminan produk halal sebagaimana tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2014.

b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan sumbangan pemikiran bagi umat Islam dalam


(21)

6

menjadikan politik hukum Islam sebagai mekanisme menciptakan kemaslahatan umum dalam masyarakat Indonesia tanpa meninggalkan aspek kebhinnekaan serta hukum Islam yang menjadi pedoman hidup Umat Islam.

D. Kerangka Teoretik

Penelitian tesis ini mengenai politik hukum Islam dalam regulasi jaminan produk halal di Indonesia dengan objek studi Undang – Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berdasarkan hal tersebut maka kerangka teori yang akan digunakan pada penyusunan tesis ini adalah:

Pertama, teori politik hukum, yaitu produk hukum yang dihasilkan oleh para legislator merupakan hasil produk politik, karena hukum lah yang

terpengaruh oleh politik dalam proses pembentukannya. Dengan

mengasumsikan bahwa hukum adalah produk politik, maka hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik dipandang sebagai independent variable ( variable berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung, atas`politik itu mudah dipahami dengan melihat realitas hukum sebagai peraturan abstrak yang merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang saling bersaing dan berinteraksi. Sidang parlemen dalam pembentukan undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstelasi politik agar kepentingan dan aspirasi terakomodir


(22)

7

dalam bentuk sebuah keputusan politik dan menjadi undang-undang. Undang– undang tersebut lahir sebagai bentuk keputusan bersama dan dipandang sebagai produk dan adegan konstelasi politik itu.9

Kedua, selanjutnya penelitian ini akan membahas aspek politik hukum Islam. Secara umum di dunia Islam, awal abad XX yang merupakan masa berakhirnya dominasi kolonialisme, politik hukum Islam mulai intens diwacanakan dan menjadi polemik, bersamaan dengan proses pembentukan negara-negara muslim seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, Sudan, Turki, Al Jazair bahkan perdebatan ini merambah hingga ke negara-negara sekuler.10 Mereka mengalami kesulitan mengembangkan hubungan antara hukum Islam dan negara, tidak terkecuali di Indonesia.

Fenomena yang terjadi di Indonesia, hukum Islam mulai dikenal oleh penduduk nusantara sejak agama Islam disebarkan di Indonesia dan mulai diikuti dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Hal ini dapat diketahui dari beberapa bukti sejarah berupa hasil karya para pujangga yang hidup pada masa itu misalnya kitab Sabi>l al-Muhtadi>n, Kutaragama, Sajinatu al- Hukum serta

9 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta: LP3ES, 1998), 10.

10 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, ( Jakarta: Kencana, 2004), 19.


(23)

8

beberapa kitab yang ditulis oleh orang asing seperti Mugharrar karya Al-Rafi’i, Niha>yah karya Al-Ramli dan kitab hukum madzab Al-Sha>fi’i> lainnya.11

Perkembangan Islam mulai dikendalikan setelah penjajah Belanda masuk ke Indonesia dan setelah tahun 1927, Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje (penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam di negeri jajahan Belanda) dengan teori receptie mendapat landasan peraturan perundang-undangan Indische Staatsregeling (IS 1925). Menurut pandangan teori ini, hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum apabila telah diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Teori ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi sebagai rakyat jajahan tidak memegang ajaran Islam dengan kuat, sebab pada umumnya orang–orang yang kuat memegang ajaran Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat. Oleh karena itu eksistensi teori ini dikukuhkan dalam pasal 134 IS dengan redaksional: “adatsrecht ialah

undang-undang agama, lembaga kebudayaan bangsa dan kebiasaan”, artinya bagi orang pribumi jika menghendaki penerapan hukum Islam, akan diberlakukan selama tidak bertentangan dengan hukum adat.12

Ketiga, selanjutnya penelitian ini akan menggunakan teori pembentukan undang-undang sebagai landasan hukum yang menjadi dasar pelaksana dari

11 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),127.

12 Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No 3 tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 47.


(24)

9

seluruh kebijakan yang akan dibuat pemerintah.13 Dalam pembentukan sebuah undang yang baik, harus sesuai dengan asas-asas pembentukan undang-undang dan materi muatan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga undang-undang tersebut bisa berlaku secara berkesinambungan.

Keempat, penelitian ini akan mengkaji tentang efektivitas hukum yang berarti daya kerja hukum dalam mengatur/memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hal ini berarti kaidah hukum yang ditetapkan haruslah memenuhi syarat yakni berlaku secara yuridis, sosiologis maupun filosofis. Hukum merupakan suatu sistem yang meliputi tiga komponen, yakni legal

substance atau substansi hukum yang berisi aturan-aturan atau norma-norma;

legal structure, yaitu institusi penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan

pengacara dan yang ketiga adalah legal culture yakni budaya hukum termasuk didalamnya agama dan kepercayaan, sikap, ide, pandangan tentang hukum.14

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Pembahasan dan penelitian tentang regulasi jaminan produk halal sudah banyak dilakukan orang sebelumnya, namun pembahasan yang dilakukan kebanyakan terkait sertifikasi halal yang ditekankan pada urgensi regulasi dan edukasi halal untuk konsumen, kepastian hukum tentang sertifikasi halal dan

13 Yuliandri, AsasAsas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 1.

14 Lawrence M Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective , (New York: Rusel Sage Foundation, 1975), 15.


(25)

10

konsep sistem jaminan halal dengan pendekatan studi kasus, aspek hukum perlindungan konsumen pada sistem jaminan halal, Penelitian yang secara khusus membahas tentang regulasi jaminan halal dari aspek politik hukum terkait perspektif konflik dan bagaimana munculnya perbedaan pendapat dalam tafsir regulasi ini belum ada. Untuk memperoleh rujukan awal tentang permasalahan di atas, penulis akan menyampaikan sejumlah buku, jurnal dan disertasi yang relevan, diantaranya:

1. Politik Hukum di Indonesia karya Mahfudz MD, menjelaskan tentang

legal policy yaitu pengaruh politik terhadap hukum yang akan diberlakukan

baik mengenai pembuatan hukum baru maupun penggantian hukum lama untuk mencapai tujuan negara. Buku ini juga menjelaskan tentang konfigurasi politik demokrasi dan otoriter.

2. Membangun Teori Politik Hukum di Indonesia karya Abdul Halim yang

menjelaskan tentang transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak memiliki hubungan dengan perjuangan menuju negara Islam atau Islam sebagai dasar negara. Legislasi hukum Islam menjadi perundang-undangan memiliki kontribusi positif terhadap penguatan komitmen umat Islam dalam kehidupan berbangsa. Studi ini membantah pendapat yang menyatakan bahwa akomodasi hukum Islam oleh peraturan perundang-undangan merupakan agenda menuju negara Islam karena proses akomodasi hukum Islam didorong oleh kekuatan Islam kultural. Selain itu


(26)

11

hukum Islam berada pada tataran sumber hukum sehingga akomodasinya ke dalam perundang-undangan diawali dengan pengujian agar selalu sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.15

3. Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk Halal bagi Konsumen, karya Rahmah Maulidia, menjelaskan urgensi regulasi produk halal bagi umat Islam di Indonesia. Kurangnya edukasi dan sosialisasi produk halal memberikan dampak yang signifikan terhadap pengabaian masyarakat akan produk halal. Namun demikian, masyarakat juga menyadari bahwa pemerintah seharusnya memberikan jaminan keamanan pangan meskipun dalam studi kasusnya dijelaskan perbedaan pendapat dalam strategi sertifikasi halal di Indonesia.16

4. Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan, karya KN. Sofyan Hasan. Tulisan ini menjelaskan bahwa sertifikat halal bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi konsumen, namun regulasi yang ada masih terkesan sektoral, parsial dan inkonsistensi serta tidak sistemik. Selain itu penulis juga menjelaskan bahwa sertifikat halal yang masih bersifat sukarela (voluntary) tidak dapat menciptakan jaminan kepastian hukum kehalalan produk pangan. Untuk itu agar tercapai

15Abdul Halim,”Membangun Teori Politik Hukum Islam”, Ahkam, Vol. XIII, No. 2 (Juli, 2013), 259. 16Rahmah Maulidia, “Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk halal bagi Konsumen”, Justitia Islamica, Vol. 10, No. 2 (Juli-Desember, 2013), 359.


(27)

12

kepastian hukum, RUU JPH segera diubah menjadi UU JPH dengan memberikan otoritas kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melakukan sertifikasi halal melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) dan komisi fatwa. Pemerintah berfungsi sebagai regulator dan pengawas dalam implementasi ketentuan Undang-Undang yang ditetapkan tersebut.17

5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen, karya Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini. Penelitian ini mengupas tentang masalah labelisasi halal produk makanan, yang harus mengikuti prosedur dan tahapan tertentu, sanksi –sanksi pidana, perdata maupun administratif bagi pelaku usaha yang melakukan pemalsuan label halal tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Pangan dan peraturan pemerintah tentang label dan iklan pangan.18

17 KN. Sofyan Hasan, “Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, ( Mei, 2014), 227.

18Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini, “ Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Pemberian

Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen” Jurnal Penelitian UNRAM, vol.18, No. 1, ( Februari, 2014),80.


(28)

13

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian tentang Politik Hukum Islam dalam Regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia ini digunakan jenis penelitian hukum kualitatif-empiris yakni penelitian tentang identifikasi hukum. Penelitian ini termasuk socio-legal research yakni penelitian dengan studi empiris untuk menemukan teori mengenai terjadinya hukum di dalam masyarakat dan bekerjanya hukum tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan jenis studi yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.19 Metode ini juga bisa digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui serta dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.20 Metode kualitatif juga sering tidak berfikir dalam hal seperti variabel bebas dan mandiri , tetapi permasalahan dinyatakan dalam bentuk dan cara yang lengkap dan problematik. Penelitian ini dilakukan melalui penggalian informasi sebanyak-banyaknya dari subjek penelitian.

19 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, Terj. Muhammad Sodiq dan Imam Muttaqin ( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 4.


(29)

14

2. Obyek Penelitian

Obyek dari penelitian ini adalah Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan berbagai elemen masyarakat ( masyarakat umum, komunitas halal, media dan LPPOM MUI) yang menjadi subjek proses politik hukum diberlakukannya regulasi jaminan halal untuk produk -produk industri di Indonesia.

3. Sumber data a. Data primer.

Penelitian ini adalah penelitian hukum kualitatif-empiris dengan metode penelusuran lapang (field research) yang menggunakan instrumen dokumen, wawancara dan observasi. Observasi di arahkan ke berbagai elemen ormas/tokoh dan badan LPPOM MUI sebagai penyelenggara sertifikasi jaminan halal, pressure group dan media sebagai infrastruktur politik tercapainya jaminan produk halal di Indonesia.

b. Data sekunder

Data sekunder diambil dari library research ( studi kepustakaan) terhadap literatur-literatur hukum maupun perundang-undangan yang membahas seputar halal dan regulasi jaminan Halal. Menurut Bogdan


(30)

15

dan Biken dalam Nawawi, secara ringkas bahwa analisis data dalam studi kualitatif terdapat beberapa model diantaranya model studi yang bersifat bibliografis ( library research) dan model studi lapangan ( field research).21

Bahan Hukum Primer adalah bahan pustaka berisi pengetahuan ilmiah yang baru/mutakhir ataupun pengertian baru tentang politik baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan atau ide. Bahan Hukum Primer mencakup (a) buku; (b) kertas kerja konferensi, lokakarya, seminar, simposium dan seterusnya; (c) laporan penelitian; (d) laporan teknis; (e) majalah; (f) disertasi atau tesis; dan (g) paten.22 Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan yakni UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka berisikan informasi tentang bahan primer yang antara lain mencakup : (a) abstrak; (b) indeks; (c) bibliografi; (d) penerbitan pemerintah; dan (e) bahan acuan lainnya.23 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, rancangan peraturan

21 Ismail Nawawi, Penelitian Kualitatif ( Jakarta: Refka Cita media, 2012)

22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UU Press,1986), 29. 23 Ibid.,


(31)

16

perundang-undangan, hasil penelitian, makalah, yang terkait dengan regulasi halal.

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang pada dasarnya mencakup: (a) bahan – bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya; dan (b) bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik,filsafat dan sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitiannya.24

4. Analisis Data

Setelah data primer dan sekunder diperoleh dan terkumpul, maka data diidentifikasi dan klasifikasi berdasarkan pokok-pokok masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah interpretatif understanding, yaitu penafsiran atau pemaknaan data dengan masalah yang ada atau terhadap data yang saling berhubungan untuk mendapatkan kesimpulan sementara yang


(32)

17

dipakai sebagai landasan mengumpulkan data selanjutnya.25 Interpretasi terhadap bahan hukum dilakukan secara otentik, historis, tekstual dan kontekstual ( historis).

Hasil analisis data tersebut kemudian dideskripsikan secara kualitatif dan disusun secara sistematis dalam bab-bab, dan sub-sub bab dalam bentuk laporan penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menyajikan penulisan ini, penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut:

Pada bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang, identifikasi permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, metodeologi penelitian dan sistematika penulisan.

Adapun bab kedua adalah diskursus tentang politik hukum nasional di Indonesia. Pada bab ini diuraikan secara singkat tentang definisi dn ruang lingkup politik hukum, politik hukum nasional, dan konfigurasi politik.

Pada bab ketiga penulis membahas mengenai politik hukum Islam Pada bab ini diuraikan tentang politik hukum Islam di Indonesia, dan proses transformasi hukum Islam dalam hukum nasional.

25 Nurul Azizah, Artikulasi Politik Santri dari Kyai Menjadi Bupati, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 27.


(33)

18

Pada bab keempat, penulis akan membahas tentang sistem jaminan halal. Bagaimana halal dalam perspektif Islam, aspek filosofis atau sumber hukum penetapan halal haram dan aspek yuridis ( dasar hukum) legislasi jaminan produk halal.

Pada bab kelima, akan dibahas mengenai politik hukum Islam jaminan produk halal. Bab ini menguraikan tentang aspek politik hukum Islam dalam regulasi jaminan produk halal, mekanisme pembentukan regulasi jaminan produk halal , perspektif hukum Islam dan analisa.

Sedangkan bab keenam adalah penutup. Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan penulis dan rekomendasi penulis berbasis pada hasil penelitian yang penulis lakukan.


(34)

19

BAB II

POLITIK HUKUM NASIONAL DI INDONESIA A. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Hukum

Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD, menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau berpendapat bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.1

Pengertian politik hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD tersebut sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang juga bermakna legal policy.2 Perbedaannya, Abdul Hakim lebih mengedepankan kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dalam hal bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan,

1 M. Mahfud MD , Politik Hukum di Indonesia, ( Jakarta: LP3ES,1998), 8.


(35)

20

diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan cita-cita awal suatu negara.3

Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.4 Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.5 Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita.6

Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa politik hukum tidak terlepas dari realitas sosial dan tradisional yang ada dalam negara kita, di sisi lain sebagai anggota masyarakat internasional, politik hukum Indonesia juga terkait dengan realita dan politik hukum internasional.7 Faktor-faktor yang menentukan politik hukum bukan hanya ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, para teoretisi maupun praktisi hukum saja, namun juga tergantung pada kenyataan dan perkembangan hukum internasional. Menurut

3 Ibid., 27.

4 Padmo Wahjono, dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta: Rajawali,2010),1. 5 Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, menegakkan Konstitusi, ( Jakarta: Rajawali Press,2011),15.

6 Soedarto dalam Mahfud MD, Ibid., 14.

7 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni,1991),1


(36)

21

perspektif F. Sugeng Istanto, politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu politik hukum sebagai terjemahan dari Rechts Politik, politik hukum bukan terjemahan dari Rechts politik dan politik hukum yang membahas tentang public policy.8

Politik hukum memerlukan sebuah mekanisme yang melibatkan banyak faktor. Kita mengenal mekanisme ini sebagai sebuah proses politik hukum. Dari pengertian ini, politik hukum mempunyai dua ruang lingkup yang saling terkait, yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Sebagai dimensi filosofis-teoritis, politik hukum merupakan parameter nilai bagi implementasi pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Sebagai dimensi normatif-operasional, politik hukum lebih terfokus pada pencerminan kehendak penguasa terhadap tatanan masyarakat yang diinginkan.9

Pada tataran empiris, Mahfud MD berusaha menjelaskan hakekat politik hukum dengan langsung menggunakan pendekatan politik hukum dalam penelitiannya. Mahfud melihat hukum dari sisi yuridis-sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Menurut Mahfud, hukum tidak bisa dijelaskan melalui pendekatan hukum semata, tetapi juga harus memakai pendekatan politis.10

8 F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali , Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),6. 9 Marzuki Wahid, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999), 104-105.


(37)

22

Indonesia merupakan negara yang menganut faham Rechtstaat ( negara berdasarkan hukum), mempunyai agenda utama dalam mengarahkan kebijakan hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945. Namun demikian, menurut Abdul Hakim, dalam proses pembangunan di Indonesia yakni pada masa orde baru, teryata banyak birokrat dan militer yang mendominasi, sedangkan organisasi-organisasi sosial di luar itu terpinggirkan dan kebijakan hukum terkesan hanya mewakili kelompok-kelompok yang berkuasa. Oleh karena itu keadilan sosial dan demokrasi yang dicita-citakan tidak terwujud. Maka perlu adanya pembangunan hukum yang menyertakan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat agar kepentingan mereka dapat terakomodasi.11

Dari pengertian politik hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya politik hukum merupakan suatu kajian yang tidak hanya berbicara pada tataran proses dari hukum-hukum yang akan dan sedang diberlakukan tetapi juga mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku. Politik hukum ini mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU, tetapi juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara pelaksana putusan pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita hukum, cita-cita dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi.


(38)

23

B. Politik Hukum Nasional

Setiap negara memiliki corak politik hukum yang berbeda dengan politik hukum yang diterapkan oleh negara lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar belakang historis, sosio-kultural maupun political will pemerintah masing-masing negara. Namun demikian, realitas politik hukum internasional juga mewarnai corak politik hukum satu negara. Perbedaan politik hukum masing-masing negara ini menghasilkan politik hukum nasional. Tak terkecuali Indonesia, yang juga menganut politik hukum nasional, yakni ruang lingkup penerapannya terbatas pada wilayah teritorial negara Indonesia. Politik hukum nasional di Indonesia merupakan suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh para pemimpin bangsa sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Politik hukum nasional pertama kali resmi dibuat oleh para pendiri bangsa Indonesia yaitu pancasila yang merupakan cermin keanekaragaman budaya dan adat istiadat bangsa dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan asas yang menjadi pedoman dan pemandu dalam pembentukan UUD1945, undang-undang dan peraturan lainnya. Pancasila merupakan norma fundamental yang membangun norma-norma hukum dibawahnya secara berjenjang, sehingga norma hukum yang ada dibawahnya tidak bertentangan


(39)

24

dengan norma hukum yang lebih tinggi. Pancasila juga menjadi cita hukum

(rechtsidee) dalam kehidupan bangsa Indonesia.12

Politik hukum nasional merupakan alat dan sarana yang digunakan oleh pemerintah untuk membentuk sistem hukum nasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahfud MD bahwa politik hukum merupakan legal policy untuk pemberlakuan hukum sehingga dapat mencapai tujuan negara.13 Sistem hukum nasional inilah yang akan dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang tertera di dalam landasan ideologi negara yaitu pancasila dan UUD 1945.

Ada beberapa komponen yang menjadi ruang lingkup politik hukum nasional diantaranya lembaga negara yang menjadi penyusun politik hukum, letak politik hukum dan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi pembentukan sistem hukum. Dalam ranah aplikasi, politik hukum akan mencakup lembaga peradilan yang menetapkan dan menjadi pelaksana putusan hukum di pengadilan.14 Politik Hukum juga mencakup aspek evaluasi yang dapat mengkritisi setiap produk hukum yang dibuat dan diundangkan oleh pemerintah.

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa wilayah telaah politik hukum mencakup proses penggalian aspirasi yang ada dari masyarakat oleh para penyelenggara negara yang berwenang, kemudian aspirasi tersebut menjadi bahan

12 “Cita hukum adat, cita hukum Islam, dan cita hukum eks barat berlaku di Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka, ketiga cita hukum tersebut, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan cita hukum nasional di Indonesia yang biasa disebut cita hukum pancasila.” Zainuddin Ali mengasumsikan secara yuridis normatif. A. Hamid At-Tamimi, Pancasila: Cita Hukum dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, Makalah disampaikan pada BP7 Pusat, Jakarta, 1993,77.

13 M Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2


(40)

25

dan wacana yang akan diperdebatkan dan dikontestasikan oleh para penyelenggara negara yang berwenang dalam rumusan rancangan peraturan perundang-undangan.Dalam penentuan rumusan rancangan perundang-undangan hingga berhasil ditetapkan menjadi undang-undang atau hukum positif, banyak faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi proses politik hukum baik pada saat akan dirumuskan, maupun setelah ditetapkan dan dilaksanakan.

Proses penggalian aspirasi masyarakat seringkali bersifat dinamis artinya dipengaruhi oleh jenis/corak masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yakni disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial seperti identitas keagamaan, identitas etnis, identitas profesi, dan berbagai kelompok sosial yang unik dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting yang muncul sebagai kon-sekuensi adanya keragaman ini adalah persoalan stabilitas, harmoni sosial maupun persaingan identitas dalam arena-arena sosial.15

Dalam konteks ini kita perlu mengkaji politik hukum dari sisi apakah aspirasi yang tergali dari masyarakat tersebut sudah terakomodasi dalam perumusan hukum oleh penyelenggara negara atau sebaliknya. Karena suatu aturan perundang-undangan dapat dikatakan baik dan diakui eksistensinya oleh masyarakat apabila mempunyai keabsahan secara sosiologis, filosofis dan yuridis. Keabsahan sosiologis (seziologisce geltung) diartikan sebagai penerimaan hukum oleh masyarakat artinya bukan hanya ditentukan oleh paksaan negara. Keabsahan

15 Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia,( Yogyakarta: KoPi, 2012),4.


(41)

26

filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum tersebut mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat dan menjadi rechtsidee. Sedangkan keabsahan secara yuridis (juritische geltung) dijelaskan sebagai kesesuaian bentuk peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur oleh peraturan yang lebih tinggi. 16

Apabila hukum yang dihasilkan tidak memenuhi syarat tersebut, maka dapat dipastikan resistensi masyarakat terhadap produk hukum tersebut menjadi sangat kuat. Disinilah salah satu letak pentingnya kajian politik hukum. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga yang berwenang untuk menggali dan merumuskan suatu produk hukum pun tidak bersih dari berbagai kepentingan. Sehingga perlu dikaji pula tarik menarik antara aspirasi kelompok kepentingan dengan kepentingan masyarakat. Maka bisa disimpulkan bahwa, masalah kontestasi dan perdebatan dalam politik hukum merupakan konsekuensi logis masyarakat majemuk Indonesia dalam merumuskan kebijakan publik dalam wadah regulasi. Jika konsep tersebut sah dilegalkan oleh pemangku kebijakan maka ia menjadi hukum yang akan merealisasikan tujuan negara.

Keabsahan yuridis dalam suatu produk hukum dapat dijelaskan sebagai kesesuaian materi hukum dengan hukum yang ada di atasnya. Urgensi memahami hierarki hukum sangat besar agar tidak terjadi pertentangan antar peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu perlu dikaji pula hierarki peraturan

16 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Gunung Agung, 2002), 114-115


(42)

27

perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen menyebutkan bahwa hukum yang lebih rendah haruslah berdasar, bersumber dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan pada hukum yang lebih rendah ini mengakibatkan batalnya daya laku hukum tersebut.17

Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, menjelaskan tentang hierarki hukum di Indonesia, yaitu (1) UUD 1945; (2) Undang-Undang ( UU); (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang (Perpu); (4) Peraturan Pemerintah ( PP); (5) Peraturan Presiden ( Perpres); (6) Peraturan Daerah (Perda).18 Peraturan yang berada pada urutan pertama merupakan peraturan dengan hierarki tertinggi sehingga peraturan yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan tersebut. Dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004 ini maka Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tidak berlaku lagi. Dengan demikian pasca amandemen UUD 1945, kekuasaan MPR dalam bidang perundang-undangan terbatas pada mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945.

Posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah bersama presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di lembaga eksekutif menjadi lembaga pembentuk undang-undang. Sebagaimana termaktub dalam pasal 20 UUD 1945 presiden dan DPR bekerja sama dalam mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) menjadi

17 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 81-82

18 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-undangan dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2004 No.53 dalam http://www.parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004 pdf.


(43)

28

undang-undang.19 UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal telah disetujui dan disahkan oleh presiden bersama DPR menjadi undang-undang.

C. Konfigurasi Politik Hukum

Hukum merupakan hasil tarik-menarik pelbagai kekuatan politik yang terealisasi dalam suatu produk hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hukum merupakan instrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehingga pembentukan peraturan perundang-undangan disarati oleh berbagai kepentingan. Oleh karena itu pembuatan undang-undang menjadi medan pertarungan dan perbenturan berbagai kepentingan badan pembuat undang-undang yang menerminkan suatu konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang terdapat dalam masyarakat.20

Konfigurasi bermakna bentuk wujud ( untuk menggambarkan orang atau benda),21 sedangkan Moh. Mahfud MD memberikan pengertian terhadap konfigurasi dengan susunan konstelasi politik.22 Kata konstelasi politik, terdiri dari dua kata, yaitu konstelasi dan politik. Kata konstelasi bermakna gambaran atau keadaan yang dibayangkan. Dalam negara demokratis, pemerintah sedapat mungkin merupakan cerminan dari kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Oleh

19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , ( Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2008),67

20 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002),126.

21 Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 723


(44)

29

karena itu, konstelasi politik adalah rangkuman dari kehendak-kehendak politik masyarakat. Menurut Mahfud MD politik hukum juga berkaitan dengan pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.23 Konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum yang sesuai dengan konfigurasi yang digunakan.

Konfigurasi kekuatan dan kepentingan pemerintah sebagai badan pembuat undang-undang menjadi penting karena proses pembuatan undang-undang modern bukan sekedar perumusan materi hukum secara baku sesuai rambu-rambu yuridis saja, melainkan pembuatan suatu keputusan politik. Intervensi-intervensi dari eksternal maupun internal pemerintah, bahkan kepentingan politik global secara tidak langsung turut mewarnai proses pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut terutama dilakukan oleh kelompok yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan baik secara politik, sosial maupun ekonomi.24

Mahfud MD menggambarkan dua konsep politik hukum yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi berperannya potensi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas asas mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam

23 Ibid., 1-2.


(45)

30

suasana terjadinya kebebasan politik di negara demokrasi. Konfigurasi politik demokratis melahirkan produk hukum responsif.

Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi ini dicirikan oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijakan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal. Konfigurasi politik otoriter menghasilkan produk hukum yang berkarakter ortodoks.25

Bintan Ragen Saragih26 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai suatu kekuatan-kekuatan politik yang riel dan eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi ini biasanya muncul dalam wujud partai-partai politik. Jika partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam pengambilan kebijakan hukum maupun kebijakan lainnya, maka konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Sedangkan apabila berlaku sebaliknya maka konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik otoriter. Kekuatan politik juga nampak dalam organisasi-organisasi kepentingan, tokoh berpengaruh dan sebagainya.

25 Satya arinanto, Kumpulan Materi Presentasi Hukum ( dikumpulkan dari berbagai referensi), (Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), 77.


(46)

106

BAB VI

PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan dalam bab-bab sebelumnya, ada dua kesimpulan yang dapat penting sebagai berikut:

a. Suatu produk hukum memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi oleh aspek sosiologis, yuridis maupun filosofis tempat hukum tersebut dihasilkan. UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal terbentuk karena memiliki akar sosiologis yang kuat dimana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri tidak terelakkan dikarenakan dari sumber teks hukum Islam sendiri memungkinkan adanya perbedaan interpretasi terhadap hukum halal haram ini. Selain itu perbedaan tingkat pemahaman masyarakat terhadap halal juga mewarnai pro dan kontra yang terjadi.

b. Disamping itu politik hukum Islam bergulir sejalan dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat untuk menerapkan syariah Islam dalam ranah positivisasi hukum yang tercermin dalam aspek yuridis terbentuknya regulasi jaminan produk halal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa


(47)

107

substansi UU JPH masih memerlukan adanya pembenahan melalui

peraturan pemerintah yang ada di bawahnya agar dapat

diimplementasikan secara baik. Peluang adanya uji materi terhadap UU JPH tetap ada dalam rangka menyesuaikan substansinya. Sistem Ideologi negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan unsur religiusitas negara yang menjadi pilar sistem hukum nasional sehingga perjuangan politik hukum Islam dalam regulasi jaminan Produk Halal memiliki payung konstitusional yang mantap.

c. Nilai –nilai hukum Islam sangat berperan dalam menentukan esensi UU JPH dengan mengedepankan prinsip al-Maqaashid as-Syariah.

B. Saran

1. Nilai-nilai Islam yang digali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya.Hal ini menuntut umat islam untuk dapat memaknai ajaran Islam secara lebih komprehensif dan memperjuangkannya sebagai Islam rahmatan lil’alamiin.

2. Politik hukum Islam dalam regulasi jaminan produk halal hendaknya dapat dijadikan model dalam upaya membumikan syariat Islam dalam bingkai negara Indonesia. Oleh karena itu edukasi dan sosialisasi sangat diperlukan untuk


(48)

108

menciptakan iklim yang kondusif bagi terlaksananya ajaran Islam sebagai implikasi kewajiban syariat.


(49)

109

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Kari>m

Abdurrahman, Hafidz Islam: Politik dan Spiritual, Singapore: Lisan Ul-Haq, 1998 Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No 3 tahun 2006 dan

Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2006

Afroniyati, Lies “Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Jaminan Produk Halal oleh Majelis Ulama Indonesia, Tesis--Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2011 Ali, Achmad MenguakTabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta:

Gunung Agung, 2002.

Ali, H.Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1991

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Amin, Ma’ruf, Prospek Cerah Perbankan Syariah, Jakarta: Lekas, 2007.

Amin, Ma’ruf, “Islam menghalalkan yang Baik dan Mengharamkan yang Buruk”,

Jurnal Halal, No. 104 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, 28

Amin, Ma’ruf, “Fatwa Halal Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih Besar”,

Jurnal Halal, No. 103, Th.XVI, Jakarta: LPPOM MUI,2013.

Anwar, Mochammad Khoirul “Kehalalan Makanan dalam Perspektif Agama”,

presentasi LPPOM MUI Jatim, 2013

Apriyantono, Anton, “LPPOM MUI Harus Diperkuat”, Jurnal Halal, No.99, Th. XVI, Jakarta: LPPOM MUI, 2013.

Arinanto, Satya, Kumpulan Materi Presentasi Hukum ( dikumpulkan dari berbagai

referensi), Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010.


(50)

110

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah

dan Masa Kini, Jakarta: Kencana, 2004.

Azizah , Nurul, Artikulasi Politik Santri dari Kyai Menjadi Bupati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, Malang: UIN Malang Press, 2011.

Coulson, N.J. A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991. Ezzati, A., The Revolutionary Islam, Terj. Agung Sulistidi, Gerakan Islam, Sebuah

Analisis , Jakarta: Pustaka Hidayah. Tth.

Friedman , Lawrence M, The Legal System: A Social Science Perspective , New York: Rusel Sage Foundation, 1975.

Ghazali, Adeng Muchtar Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Habermas, Jurgen Knowledge and Human Interest, Boston: Beacon Press.Tth.

Haikal, Muhammad Husein Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982.

Halim, Abdul”Membangun Teori Politik Hukum Islam”, Ahkam, Vol. XIII, No. 2 Juli, 2013.

Hamdan,M, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Hartono , C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Alumni,1991.

Hasan , KN. Sofyan, “Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, Mei, 2014.

Hutabarat, Ramly Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan

Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: Pusat Studi Hukum

Tata Negara Universitas Indonesia, 2005.

Iqbal, Muhaimin, “Peluang Besar di Industri halal”, dalam http: // www.geraidinar.com/artikel/, 31 Oktober 2014.


(51)

111

Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini, “ Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap

Pemberian Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum

Perlindungan Konsumen” Jurnal Penelitian UNRAM, vol.18, No. 1, Februari, 2014.

Kusumah, Mulyan W. dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial , Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988.

Latif , Abdul dan Hasbi Ali , Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Maharani, Aisha Halal is My Way : Edukasi Halal Semua Umur, Bandung: Penerbit Mizania, 2012.

Lev,Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia: Keseimbangan dan Perubahan,( Jakarta: LP3ES,1990.

Mahendra, Yusril Ihza Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian,Jakarta: Gema Insani

Press, 1996.

Mahfud MD, M., Politik Hukum di Indonesia , Jakarta: LP3ES, 1998.

Satria, Hardiat Dani, “Produk Halal di Negeri Muslim Terbesar”, metrotvnews.com , 24 Juli 2015.

Maulidia, Rahmah “ Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk halal bagi Konsumen”,

Justitia Islamica, Vol. 10, No. 2 , Juli-Desember, 2013.

Nawawi, Ismail, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Refka Cita media, 2012.

Nofriyanto, “Sehat Jasmani dan Ruhani dengan Makanan Halal”, Gontor, Ed. 7 November, 2013.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda Politik Hukum Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1988. Pelu , Muhammad Ibnu Elmi As, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan

Komoditas Agama, Malang: Madani , 2009.

Qorodwiy (Al), Yusuf, Al-Siya>sah Al-shar’iyyah, terj. Kathur Suhardi, Pedoman


(52)

112

Rahardjo, Satjipto Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah Uniiversity Press, 2002

Rasjidi , Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Sadzali, Munawir Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Sakho,Muhammad, Ahsin, ”Makanan Halal dan Haram Menurut Al-Qur’an”, Gontor, No. 7, November, 2013.

Saragih, Bintan Ragen Politik Hukum , Bandung: CV Utomo , 2006.

Soekanto , Soerjono dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UU Press,1986.

Strauss , Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah

dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, Terj. Muhammad Sodiq dan Imam Muttaqin

, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Susan, Novri Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik

di Indonesia, Yogyakarta: KoPi, 2012.

Syaltut, Mahmud Al-Islam,’Aqidah wa Syari’ah , Kairo: Dar al-Syuruq, 2007. Syamsuddin, M. Din Islam dan Politik Era Orde baru, Jakarta: Logos,2001.

Tambunan, Amirsyah, “Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999”

Jurnal Halal, No. 101, Th. XVI, Jakarta: LPPOM MUI, 2013.

Wahid , Marzuki, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang

pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar

Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999.

Yuliandri, Asas –Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,

gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2010.

Zein, Satria Efendi M. “ Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di

Indonesia,” dalam Muhammad Wahyu Nafis, Kontekstulisasi Ajaran Islam 70


(53)

113

UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-undangan dikutip dari

Lembaran Negara Tahun 2004 No.53 dalam

http://www.parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004 pdf.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2008.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Persyaratan Sertifikasi Halal: Kebijakan dan Prosedur, HAS 23000:1, Jakarta: Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, 2012.

LPPOM MUI, Buku Panduan Olimpiade Halal LPPOM MUI, Majelis Ulama


(1)

menciptakan iklim yang kondusif bagi terlaksananya ajaran Islam sebagai implikasi kewajiban syariat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Kari>m

Abdurrahman, Hafidz Islam: Politik dan Spiritual, Singapore: Lisan Ul-Haq, 1998

Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No 3 tahun 2006 dan

Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2006

Afroniyati, Lies “Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Jaminan Produk Halal oleh Majelis Ulama Indonesia, Tesis--Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2011

Ali, Achmad MenguakTabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta:

Gunung Agung, 2002.

Ali, H.Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1991

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Amin, Ma’ruf, Prospek Cerah Perbankan Syariah, Jakarta: Lekas, 2007.

Amin, Ma’ruf, “Islam menghalalkan yang Baik dan Mengharamkan yang Buruk”,

Jurnal Halal, No. 104 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, 28

Amin, Ma’ruf, “Fatwa Halal Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih Besar”,

Jurnal Halal, No. 103, Th.XVI, Jakarta: LPPOM MUI,2013.

Anwar, Mochammad Khoirul “Kehalalan Makanan dalam Perspektif Agama”,

presentasi LPPOM MUI Jatim, 2013

Apriyantono, Anton, “LPPOM MUI Harus Diperkuat”, Jurnal Halal, No.99, Th. XVI,

Jakarta: LPPOM MUI, 2013.

Arinanto, Satya, Kumpulan Materi Presentasi Hukum ( dikumpulkan dari berbagai

referensi), Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010.


(3)

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah

dan Masa Kini, Jakarta: Kencana, 2004.

Azizah , Nurul, Artikulasi Politik Santri dari Kyai Menjadi Bupati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal,

Malang: UIN Malang Press, 2011.

Coulson, N.J. A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991.

Ezzati, A., The Revolutionary Islam, Terj. Agung Sulistidi, Gerakan Islam, Sebuah

Analisis , Jakarta: Pustaka Hidayah. Tth.

Friedman , Lawrence M, The Legal System: A Social Science Perspective , New York:

Rusel Sage Foundation, 1975.

Ghazali, Adeng Muchtar Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Habermas, Jurgen Knowledge and Human Interest, Boston: Beacon Press.Tth.

Haikal, Muhammad Husein Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982.

Halim, Abdul”Membangun Teori Politik Hukum Islam”, Ahkam, Vol. XIII, No. 2 Juli, 2013.

Hamdan,M, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Hartono , C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Alumni,1991.

Hasan , KN. Sofyan, “Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, Mei, 2014.

Hutabarat, Ramly Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan

Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: Pusat Studi Hukum

Tata Negara Universitas Indonesia, 2005.

Iqbal, Muhaimin, “Peluang Besar di Industri halal”, dalam http: //


(4)

Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini, “ Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap

Pemberian Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum

Perlindungan Konsumen” Jurnal Penelitian UNRAM, vol.18, No. 1, Februari, 2014.

Kusumah, Mulyan W. dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial , Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988.

Latif , Abdul dan Hasbi Ali , Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Maharani, Aisha Halal is My Way : Edukasi Halal Semua Umur, Bandung: Penerbit

Mizania, 2012.

Lev,Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia: Keseimbangan dan Perubahan,( Jakarta: LP3ES,1990.

Mahendra, Yusril Ihza Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian,Jakarta: Gema Insani

Press, 1996.

Mahfud MD, M., Politik Hukum di Indonesia , Jakarta: LP3ES, 1998.

Satria, Hardiat Dani, “Produk Halal di Negeri Muslim Terbesar”, metrotvnews.com ,

24 Juli 2015.

Maulidia, Rahmah “ Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk halal bagi Konsumen”,

Justitia Islamica, Vol. 10, No. 2 , Juli-Desember, 2013.

Nawawi, Ismail, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Refka Cita media, 2012.

Nofriyanto, “Sehat Jasmani dan Ruhani dengan Makanan Halal”, Gontor, Ed. 7 November, 2013.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda Politik Hukum Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1988.

Pelu , Muhammad Ibnu Elmi As, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan

Komoditas Agama, Malang: Madani , 2009.

Qorodwiy (Al), Yusuf, Al-Siya>sah Al-shar’iyyah, terj. Kathur Suhardi, Pedoman


(5)

Rahardjo, Satjipto Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah Uniiversity Press, 2002

Rasjidi , Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1993.

Sadzali, Munawir Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Sakho,Muhammad, Ahsin, ”Makanan Halal dan Haram Menurut Al-Qur’an”, Gontor,

No. 7, November, 2013.

Saragih, Bintan Ragen Politik Hukum , Bandung: CV Utomo , 2006.

Soekanto , Soerjono dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UU Press,1986.

Strauss , Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah

dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, Terj. Muhammad Sodiq dan Imam Muttaqin

, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Susan, Novri Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik

di Indonesia, Yogyakarta: KoPi, 2012.

Syaltut, Mahmud Al-Islam,’Aqidah wa Syari’ah , Kairo: Dar al-Syuruq, 2007. Syamsuddin, M. Din Islam dan Politik Era Orde baru, Jakarta: Logos,2001.

Tambunan, Amirsyah, “Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999”

Jurnal Halal, No. 101, Th. XVI, Jakarta: LPPOM MUI, 2013.

Wahid , Marzuki, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang

pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar

Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999.

Yuliandri, Asas –Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,

gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2010.

Zein, Satria Efendi M. “ Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di

Indonesia,” dalam Muhammad Wahyu Nafis, Kontekstulisasi Ajaran Islam 70


(6)

UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-undangan dikutip dari

Lembaran Negara Tahun 2004 No.53 dalam

http://www.parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004 pdf.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2008.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Persyaratan Sertifikasi Halal: Kebijakan dan Prosedur, HAS 23000:1, Jakarta: Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, 2012.

LPPOM MUI, Buku Panduan Olimpiade Halal LPPOM MUI, Majelis Ulama