BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL A. Kewajiban Muslim untuk Mengkonsumsi Produk Halal berdasarkan Al- quran dan Hadist - Pemberian Jaminan Produk Halal Terhadap Kons

  

BAB II

PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

A.

Kewajiban Muslim untuk Mengkonsumsi Produk Halal berdasarkan Al-

quran dan Hadist

  Halal atau haram suatu produk pangan yang telah termaktub dalam Alquran dan Sunnah adalah salah satu ketentuan yang harus dipatuhi oleh pemeluknya. Secara subtsansi produk yang dihasilkan yang diharam-halalkan pada dasarnya memiliki kadungan hikmah dan manfaat. Kehalalan dan keharaman produk pangan menurut ajaran islam merupakan otoritas mutlak yang dimiliki oleh Allah SWT. Manusia tidak bisa mengubah apapun ketetapan yang diberikan- Nya, karena keterbatasan daya jangkau akal yang dimiliki oleh manusia.

  Mengonsumsi makanan halal diwajibkan oleh Agama Islam bagi umatnya,dimana hal ini terdapat dalam Al-quran dan hadist.

  1. Mengkonsumsi produk halal berdasarkan Al-quran dan Hadist Suatu produk halal dalam Islam memiliki konsep bahwa produk tersebut harus sesuai dengan Syar’i atau dengan kata lain sesuai dengan dasar hukum

  Islam. Produk yang dimaksud dalam hal ini adalah dapat berupa makanan atau minuman yang mana dikonsumsi oleh setiap orang khususnnya Muslim.

  Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang berarti melepaskan dan tidak terikat. Secara etimologi halal berarti hal-hal yang dapat dilakukan karena bebas dan tidak terikat dengan sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. atau tercampur benda najis dengan pengertian baik. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya yang secara luas dapat diartikan dengan

  

  makanan yang menyehatkan. Makanan dan minuman yang haram dan yang halal adalah merujuk pada zatnya (substansinya), dan bukan karena faktor eksternalnya seperti karena hasil rampasan, curian dan sebagainya. Mengetahui halal dan haramnya suatu makanan atau minuman bagi umat Muslim adalah hal yang sangat

   penting karena mengetahui halal dan haram adalah fardhu ain.

  Allah SWT berfirman yang artinya “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata

  

  bagimu”. Di dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib adalah sama dengan menghindari diri dari seruan untuk mengikuti langkah-langkah syetan yang merupakan musuh yang nyata yang mengajak manusia untuk menjauhi keridhoan Allah SWT. Seruan ini dari Allah SWT kepada mereka dalam statusnya sebagai ummat manusia. Syetan berusaha untuk menghiasi hal-hal yang haram agar manusia cenderung tersesat dan menjerumuskan sebagian yang lain dengan mengharamkan hal-hal yang

   dihalalkan Allah SWT.

  14 Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal (Jakarta: LPPOM-MUI, 2005), hlm. 20. 15 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sitem Transaksi dalam Fiqh Islam (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 463-464. 16 Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 168.

  Kata thayyib yang disandingkan dengan kata halal untuk memberi sifat kepada makanan yang halal disebutkan sebanyak empat kali di dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 168, surat al-Ma’idah ayat 88, surat al-Anfal ayat 69 dan surat an-Nahl ayat 114. Berdasarkan maknanya, makna thayyib ini

  

  merujuk kepada tiga pengertian, yaitu : sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal fikiran, sesuatu yang lezat, dan halal itu sendiri, yaitu suci, tidak najis

  

  dan tidak diharamkan. Lawan kata thayyib adalah khabits , sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “Dan menghalalkan bagi semua segala yang baik dan

   mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.

  “Hai orang-orang yang beriman, makanlah antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-

  

  benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”. “Mereka menanyakan kepadamu: “apakah yang dihalalkan bagi mereka?” katakanlah: “dihalalkan bagimu yang

   baik-baik:.

  Bagi seorang muslim, makanan bukan sekedar pengisi perut dan penyehat badan saja, sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi, tetapi di samping itu juga harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara mendapatkannya. Di dalam Al-Quran, Allah SWT memerintahkan seluruh hamba-Nya yang beriman dan yang kafir agar mereka makan makanan yang baik lagi halal, sebagaimana 18 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut AL-Qur'an Dan Hadist (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 15. 19 20 Ibid , hlm. 23. 21 Al-Quran Surat Al-A’raf Ayat 157.

  Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 172. firman-Nya yang artinya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik

  

  dari apa yang terdapat di bumi.”

  2.Kriteria makanan yang halal dan haram Ada dua kriteria yang menjadi makanan itu menjadi haram, yakni makanan yang diharamkan secara lidzaatihi, yaitu jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan dan makanan yang diharamkan secara lighairihi, yaitu jenis makanan yang diharamkan karena cara mendapatkannya haram. Namun dalam pembahasan ini, yang menjadi fokus pembahasan hanyalah sebatas haram secara lidzaatihi. Makanan yang diharamkan secara lidzaatihi adalah jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan. Adapun jenis makanan yang haram secara lidzaatihi, antara lain: a.

  Jenis makanan yang disebutkan keharamannya dalam Al-Quran, antara lain; daging binatang yang mati tanpa disembelih. Allah SWT berfirman yang artinya 1)

  “Sesungguhgnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

24 Maha Penyayang”.

  2) Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging 23 hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 168. dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya.

  

  3) Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

   b.

  Jenis makanan yang diharamkan seperti minuman/makanan yang memabukkan serta turunannya. Allah SWT berfiman, yang artinya: 1)

  Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:” yang lebih baik dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya jamu berfikir.

  

  2) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berduji (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syeitan. Maka jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

  

  25 Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 3. 26 Al-Quran Surat Al-An’am Ayat 145. 27 Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 219.

  3) Sesungguhnya syeitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan mengahalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kami (dari mengerjakan pekerjaan itu).

   Hal senada juga disampaikan oleh Departemen Agama Republik Indonesia

  bahwa produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, antara lain:

   a.

  Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

  b.

  Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah dan kotoran.

  c.

  Semua bahan yang yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam.

  d.

  Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat pengolahan dan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syariat Islam.

  e.

  Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

  Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa semua yang memabukkan adalah khamar, dan khamar adalah haram. Selanjutnya Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa apa yang memabukkan karena diminum banyak, maka diminum sedikit adalah diharamkan. Selain itu dilarang memakan binatang buas yang bertaring 29 Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 91. 30 Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal (Jakarta: Direktorat Jenderal

  seperti anjing, kucing, harimau, dan sebagainya. Hadis riwayat Abu Tsa`labah ra., ia berkata: Nabi saw. melarang memakan binatang buas yang bertaring. Haram juga memakan keledai: Bahwa Rasulullah saw. melarang makan daging keledai piaraan. Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah - radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata “Rasulullah SAW melarang membunuh shurad, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).

  Nabi pernah bersabda “Lima jenis hewan yang harus dibunuh, baik di tanah haram maupun di tanah biasa, yaitu : ular, kalajengking, tikus, anjing buas dan burung rajawali” (H.R. Abu Daud) dalam riwayat lain disebutkan juga burung

   gagak.

  Makanan halal secara dzatiyah (subtansi barangnya), menurut Thobieb dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati) dan hayawan (binatang).

   Yang termasuk makanan dan minuman yang halal adalah:

  a. Bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam

  b. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam.

  c. Dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan

  31 32 Husein Bahriesj, Himpunan Fatwa (Al-Ikhlas: Surabaya, 1987), hlm. 489.

  Thobieb Al-asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani Dan Rohani

B. Jaminan Produk Halal

  Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki sertifikat halal. Oleh karena itu untuk melindungi konsumen muslim tersebut, dibentuklah suatu undang-undang untuk sebagai dasar legalitas atas produk halal yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

  Secara mendasar Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal lahir dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dsn Iklan Pangan, Inpres Tahun 1991 Tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985. Nomor 68 Tahun 1985 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Lebel Makanan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 82/MENKES/SK/I/1996 Tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, yang diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :924/MENKES/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/1996 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No.

  472/MENKES/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang pengaturan tulisan “halal” pada label makanan. Dalam pasal 4 ayat 1 SKB tersebut, soal “halal- haram’ produk ditangani Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Depkes RI, dalam hal ini Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal antara lain mengatur mengenai:

  1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

  2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.

3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH.

  Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian

   dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.

  Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH memiliki arti suatu kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan

  

  sertifikat halal. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa jaminan produk halal merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal. Serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal tersebut diawali dengan adanya penyelenggara jaminan produk halal yang berperan dalam proses tersebut dan terdapatnya bahan dan proses produk halal dalam hal memproduksi produk tersebut sehingga pada akhirnya memperoleh sertifikat halal.

  Pengertian jaminan produk halal tidak jauh berbeda dengan pengertian sistem jaminan halal yang memiliki pengertian suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan

35 LPPOM MUI.

  Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa jaminan produk halal merupakan suatu bentuk kepastian hukum terhadap kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal yang mana sertifikat halal tersebut dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal melalui fatwa tertulis MUI.

  Jaminan produk halal dengan sistem jaminan poduk halal hanya memiliki sedikit 33 Baca selanjutnya dalam penjelasan Undang-Udnang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

  Jaminan Produk Halal 34 35 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 5.

  Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-0batan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, perbedaan dimana lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Untuk lebih lanjut terkait dengan pihak yang mengeluarkan sertifikat halal dalam jaminan produk halal tersebut, dapat dilihat pada pembahasan berikutnya mengenai prosedur memperoleh sertifikat halal.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memang tidak mengatur secara terperinci terkait dengan kewajiban pelaku usaha untuk menjaga kehalalan produknya karena pengaturan tersebut diatur di dalam peraturan pemerintah, namun apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal maka yang dapat dijelaskan disini bahwa sistem jaminan adalah suatu sistem yang dipakai oleh perusahaan produsen makanan dan minuman halal untuk memelihara dan menjamin kehalalan produk mereka. Perusahaan yang akan meminta sertifikat halal dan yang sudah mendapatkan sertfikat halal harus menyusun, mengembangkan dan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk

   melengkapi sertifikat halal yang diminta atau dimiliki.

  Sistem jaminan halal adalah suatu aturan yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai petunjuk untuk menjamin proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah halal. Dengan kata lain sistem jaminan halal adalah aturan tersendiri yang dibuat oleh MUI sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada kepada umat Islam.

  Sistem jaminan halal adalah sebuah ketentuan yang harus dalam bentuk tertulis dan didukung pelaksanaannya oleh kebiijakan perusahaaan. Sistem ini 36 Tim Pengkajian Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan

  

Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Peran Serta Masyarakat dalam Pemberian informasi

Produk Halal (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan dibangun, diatur dan dievaluasi oleh Tim Manajemen Halal yang dibuat oleh Pimpinan Perusahaan. Sistem ini adalah salah satu bentuk partisipasi perusahaan dalam bertanggung jawab terhadap kehalalan produk mereka. Tim terdiri dari semua bagian yang terlibat dalam aktivitas yang kritis bagi kehalalan produk Perusahaan juga harus memiliki internal halal auditor, yaitu staf perusahaan yang bertanggung jawab langsung memelihara kehalalan produk mereka yang sudah bersertifikat halal. Salah satu persyaratan seorang auditor internal adalah beragama Islam (di Indonesia) dan memiliki kewenangan untuk menghentikan

   proses produksi apabila ada yang menyimpang dari persyaratan halal.

   Sistem jaminan halal memiliki beberapa komponen, yaitu: 1.

  Kebijakan halal Kebijakan halal merupakan pernyataan tertulis tentang komitmen perusahaan untuk memproduksi produk halal secara konsisten, mencakup konsistensi dalam penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta konsistensi dalam proses produksi halal

  2. Panduan halal Panduan halal adalah pedoman perusahaan dalam melaksanakan kegiatan untuk menjamin produksi halal

  3. Organisasi manajemen halal Manajemen halal merupakan organisasi internal perusahaan yang mengelolal seluruh fungsi dan aktivitas manajemen dalam menghasilkan produk halal

  4. Standard operating procedures (SOP) 37 Ibid , hlm. 84-85.

  Standard operating proscedures ( SOP) adalah suatu perangkat instruksi yang

  dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. SOP dibuat agar perusahaan mempunyai prosedur baku untuk mencapai tujuan penerapan SJH yang mengacu kepada kebijakan halal perusahaan 5. Acuan teknis

  Pelaksanaan SJH dilakukan oleh bidang-bidang yang terkait dalam organisasi manajemen halal

  6. Sistem administrasi Perusahaan harus mendisain suatu sistem administrasi terintegrasi yang dapat ditelusuri dari pembelian bahan sampai dengan distribusi produk

  7. Sistem dokumentasi Pelaksanaan SJH di perusahaan harus didukung oleh dokumentasi yang baik dan mudah diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses produksi halal termasuk LPPOM MUI 8. Sosialisasi

  SJH yang dibuat dan dimplementasikan oleh perusahaan harus disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan perusahaan termasuk kepada pihak ketiga 9. Pelatihan Perusahaan perlu melakukan pelatihan bagi seluruh jajaran pelaksana SJH.

  Untuk itu perusahaan harus mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dalam peridode waktu tertentu

  10. Komunikasi eksternal dan internal

  Perusahaan dalam melaksanakan SJH perlu melakukan komunikasi dengan berbagai pihak yang terkait baik secara intenal maupun eksternal

  11. Audit internal Pemantauan dan evaluasi SJH pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk audit internal.

  12. Tindakan perbaikan Tindakan perbaikan atas pelaksanaan SJH dilakukan jika pada saat dilakukan audit halal internal ditemukan ketidaksesuaian pelaksanaannya.

  13. Kaji ulang manajemen Kaji ulang manajemen atas SJH secara menyeluruh harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu misalnya minimal 1 tahun sekali.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diakui belum sepenuhnya mengatur mengenai produk halal seperti halnya yang diatur seperti sistem jaminan produk halal tersebut. Penyelenggaraan JPH

  

  dilakukan dengan berasaskan: 1. pelindungan; 2. keadilan; 3 kepastian hukum; 4. akuntabilitas dan transparansi; 5. efektivitas dan efisiensi; dan 6. profesionalitas

  Penyelenggaraan JPH memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk

  

  memproduksi dan menjual produk halal. Pemerintah bertanggung jawab dalam

   menyelenggarakan JPH.

  Saat ini dapat dikatakan jaminan produk halal tidak terlalu luas apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal dalam hal peraturannya. Hal ini sangat berasalan karena jaminan produk halal merupakan peraturan baru bahkan saat ini pula masih terdapat badan-badan yang belum dibentuk seperti BPJPH. Salah satu peraturan yang tidak kalah penting yang belum dibentuk terkait dengan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah peraturan pemerintah, oleh karenanya kekurangan dari jaminan produk halal adalah dalam hal pengaturan apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal.

C. Para Pihak dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

  1. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat

  BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan

   Jaminan Porduk Halal disingkat JPH. Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH

  

  berwenang: a.

  Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.

  b.

  Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH. 40 41 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 3. 42 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 5.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 6. c.

  Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk.

  d.

  Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.

  e.

  Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal.

  f.

  Melakukan akreditasi terhadap LPH.

  g.

  Melakukan registrasi Auditor Halal.

  h.

  Melakukan pengawasan terhadap JPH. i.

  Melakukan pembinaan Auditor Halal. j.

  Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

  Wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas, BPJPH bekerja

  

  sama dengan: a.

  Kementerian dan/atau lembaga terkait.

  b.

  LPH.

  c.

  MUI.

  Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait

   dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.

  Di dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal disebutkan bahwa: a.

  Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal. 44 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 7. b.

  Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar, serta perluasan akses pasar.

  c.

  Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.

  d.

  Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan hasil pertanian.

  e.

  Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang ditetapkan.

  f.

  Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah misalnya dalam hal menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan Produk.

  g.

  Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang diregistrasi dan disertifikasi halal.

  Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau

  

  

  pengujian Produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halal; b. penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH

  Pelaku usaha dalam mengajukan sertifikasi halal, BPJPH merupakan pihak

  

  yang diminta atas permohonan sertifikasi halal tersebut. Selain itu pula, BPJPH menetapkan Lembaga Pemeriksaan Halal atau yang disingkat dengan LPH untuk

  

  melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Fungsi BPJPH

   yang lain adalah menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional.

  Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal melakukan pengawasan

  

  terhadap JPH. BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri

  46 47 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 9. 48 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 10. 49 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 29. 50 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 30.

  

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 37.

  

  atau bersama-sama. BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat

   yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.

  BPJPH saat ini belum dibentuk dan sesuai Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa BPJPH dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diudangkan. Maka dengan itu, MUI saat ini masih memiliki wewenang untuk mengeluarkan sertifikat halal

   sampai BPJPH dibentuk.

  2. Majelis ulama Indonesia

  Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa majelis ulama indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. MUI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di

55 Jakarta, Indonesia.

  MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam 52 53 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 51. 54 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 54. 55 Pasal 59 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Anonim, “Sekilas MUI”,(diakses pada tanggal 20 April tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

  Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut

56 Musyawarah Nasional Ulama I.

  Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para

  

  ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk: a. memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah

  Subhanahu wa Ta’ala; b. memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; 56 Ibid. c. menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; d. meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. Lima Peran MUI

  Khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

  e.

  LPH dapat dibentuk oleh pemerintah ataupun masyarakat untuk membantu BPJPH untuk melakukan

  59 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 8.

  

  3. Lembaga pemeriksa halal Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.

  Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar.

  Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid.

   a.

  d.

  Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).

  c.

  Sebagai pemberi fatwa (mufti).

  b.

  Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).

59 Fungsi dari LPH ini adalah bekerja sama dengan BPJPH untuk melakukan pemeriksaan dan atau pengujian produk.

58 Ibid.

  

  pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk. Untuk mendirikan LPH,

  

  harus dipenuhi persyaratan: a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya; b. memiliki akreditasi dari BPJPH; c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.

  Lembaga Pemeriksa Halal yang didirikan oleh masyarakat, LPH harus

  

  diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum. Pada saat ini, LPH yang dikenal oleh masyarakat adalah Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat- obatan dan Makanan-Majelis Ulama Indonesia atau disingkat dengan LPPOM- MUI. Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988. LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996 ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan 61 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 12 ayat 1 dan 2. 62 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 13 ayat 1.

  

  sertifikat halal .Di dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan kerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda, UIN, Univeristas Wahid Hasyim Semarang, serta Universitas Muslimin Indonesia

65 Makasar. Sedangkan kerjsama dengan lembaga telah terjalin dengan Badan

  Standarisasi Nasional (BSN), Kadin Indonesia Komite Timur Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion (Blackberry). Khusus dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam pencantuman label halal pada

   kemasan untuk produk yang beredar di Indonesia.

  Visi dari LPPOM-MUI adalah menjadi lembaga sertifikasi halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan ketenteraman bagi umat Islam serta menjadi pusat halal dunia yang memberikan informasi, solusi dan

  

  standar halal yang diakui secara nasional dan internasional. Misi dari LPPOM-

68 MUI adalah: a.

  Menetapkan dan mengembangkan standar halal dan standar audit halal.

  64 Anonim “Tentang LPPOM-MUI”, Diakses pada tanggal 20 April 2015). 65 66 Ibid. 67 Ibid.

  Anonim”Visi dan Misi”, http://www .halalmui .org / mui14 / index.php /main / go_to_section/3/32/page/1 (diakses pada tanggal 20 April 2015). b.

  Melakukan sertifikasi produk pangan, obat dan kosmetika yang beredar dan dikonsumsi masyarakat.

  c.

  Melakukan edukasi halal dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi produk halal.

  d.

  Menyediakan informasi tentang kehalalan produk dari berbagai aspek secara menyeluruh.

  4. Auditor halal Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.

69 Auditor halal bekerja di dalam lembaga

  pemeriksa halal. Auditor Halal bertugas:

  

a.

  memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan; b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk; c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; d. meneliti lokasi Produk; e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk; g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

  Berdasarkan tugas dan fungsinya, Auditor Halal diangkat oleh LPH harus memenuhi persyaratan:

   a.

  warga negara Indonesia; 69 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 9. 70 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 15 b. beragama Islam; c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi; d. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; e. mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan f. memperoleh sertifikat dari MUI

  5. Pelaku usaha Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di

  

  wilayah Indonesia. Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memang tidak secara detail dan lengkap mengenai pengertian pelaku usaha namun akan dijelaskan pada mengenai pelaku usaha dan jenisnya dalam bab selanjutnya.

  6. Penyelia halal

   Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH.

74 Penyelia Halal bertugas: a.

  mengawasi PPH di perusahaan; b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; c. mengoordinasikan PPH; dan 72 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 12. 73 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 13. d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan

  Terdapat beberapa persyaratan Penyelia Halal dalam melaksakan tanggung

  

  jawab PPH,yaitu: a. beragama Islam; dan b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan; c. penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.

D. Bahan dan Proses Produk Halal

  Beberapa hal terpenting dalam suatu produk halal yang tidak dapat dilupakan adalah bahan dan bagaiaman proses pengolahannya. Produk halal tidak dapat dipisahkan dari bahan-bahannya yang halal. Namun bahan halal saja tidak cukup, harus pula diikuti dengan prosesnya. Proses pembuatan produk halal haruslah benar-benar jauh dari hal-hal yang “berbau” haram dalam arti kata proses pengolahannya harus benar-benar bersih dari zat-zat yang dilarang dalam syariah Islam.

  Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan

76 Produk. Bahan yang digunakan dalam proses produk halal terdiri atas bahan

  

  baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong. Bahan yang

  

  dimaksud adalah: 1. hewan; 75 76 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 28 ayat 2. 77 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 4.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 17 ayat 1.

  2. tumbuhan; 3. mikroba; atau 4. bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.

  Bahan yang berasal dari hewan pada dasarnya halal, kecuali yang

  

  diharamkan menurut syariat. Bahan yang dari hewan yang diharamkan meliputi: 1. bangkai; 2. darah; 3. babi; dan/atau 4. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.

  Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan ditetapkan oleh Menteri

  

  berdasarkan fatwa MUI. Hewan yang digunakan sebagai bahan produk wajib disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi kaidah kesejahteraan hewan serta

  

  kesehatan masyarakat veteriner. Tuntunan penyembelihan dilaksanakan sesuai

   dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang

  

  mengonsumsinya. Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau

  79 80 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 18 ayat 1. 81 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 18 ayat 2. 82 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 19 ayat 1.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 19 ayat 2.

  

  terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. Bahan yang diharamkan

   ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

  Proses produk halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian

  

  produk. Proses produk halal haruslah memiliki lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk

  

  

  tidak halal. Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib: 1.Dijaga kebersihan dan higienitasnya.

  2.Bebas dari najis.

  3.Bebas dari Bahan tidak halal.

  Pelaku usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH dikenai

  

  sanksi administratif berupa: 1.Peringatan tertulis.

  2.Denda administratif.

  Terkait akan hal bahan dan proses produk halal, MUI memuat beberapa ketentuan khusus yang harus dilakukan perusahaan diantaranya adalah:

  84 85 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 20 ayat 2. 86 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 20 ayat 3. 87 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 3. 88 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 21 ayat 1.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 21 ayat 2.

  1. Perusahaan harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses produksi yang dilakukan di perusahaan serta melakukan operasional produksi halal sehari-hari 2. Semua bahan yang digunakan dalam proses produksi halal harus pasti kehalalannya

  3. Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik merujuk pada pemasok, produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap kode spesifik untuk satu bahan dengan satu status kehalalan.

  4. Menyusun sistem pembuatan produk baru berdasarkan bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI

5. Menyusun sistem perubahan bahan sesuai dengan ketentuanhalal.

  6. Melaksanakan pemeriksaan terhadap setiap bahan yang masuk sesuai dengan sertifikat halal, spesifikasi dan produsennya

  7. Melakukan komunikasi dengan KAHI terhadap setiap penyimpangan dan ketidakcocokan bahan dengan dokumen

  8. Menyusun prosedur dan melaksanakan pembelian yang dapat menjamin konsistensi bahan sesuai dengan daftar bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI 9. Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam pembelian bahan baru dan atau pemilihan pemasok baru.

  10. Melakukan evaluasi terhadap pemasok dan menyusun peringkat pemasok berdasarkan kelengkapan dokumen halal

  11. Menyusun prosedur administrasi pergudangan yang dapat menjamin kehalalan bahan dan produk yang disimpan serta menghindari terjadinya kontaminasi dari segala sesuatu yang haram dan najis 12. .Melaksanakan penyimpanan produk dan bahan sesuai dengan daftar bahan dan produk yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI.

  13. Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam sistem keluar masuknya bahan dari dan ke dalam gudang.

  Selain itu, MUI juga menetapkan keteentuan secara khusus kepada perusahaan dengan produk halal, yaitu:

  1. Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk tersebut 2. Menyusun prosedur produksi yang dapat menjamin kehalalan produk 3. Melakukan pemantauan produksi yang bersih dan bebas dari bahan haram dan najis.

  4. Menjalankan kegiatan produksi sesuai dengan matrik formulasi bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI.

  5. Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam hal proses produksi halal.

  6. Menerapkan suatu Standard Operating Procedures (SOP) adalah suatu perangkat instruksi yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. SOP dibuat agar perusahaan mempunyai prosedur baku untuk mencapai tujuan penerapan SJH yang mengacu kepada kebijakan halal perusahaan. SOP dibuat untuk seluruh kegiatan kunci pada proses produksi halal yaitu bidang R&D, Purchasing, QA/QC, PPIC, Produksi dan Gudang. Adanya perbedaan teknologi proses maupun tingkat kompleksitas di tiap perusahaan maka SOP di setiap perusahaan bersifat unik.

E. Prosedur Memperoleh Sertifikat Halal

  Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia memiliki dua hal yang

  

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Mata Pencaharian Petani Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Studi Etnografi)

0 0 16

BAB II PROFIL KABUPATEN LANGKAT DAN DPC PDI PERJUANGAN KABUPATEN LANGKAT A. Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat - Pengaruh Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terhadap Sosialisasi Ideologi Partai Dalam Kampanye (StudiPada : DPC Partai PDI Perjua

0 3 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terhadap Sosialisasi Ideologi Partai Dalam Kampanye (StudiPada : DPC Partai PDI PerjuanganKabupatenLangkat)

0 0 43

Pengaruh Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terhadap Sosialisasi Ideologi Partai Dalam Kampanye (StudiPada : DPC Partai PDI PerjuanganKabupatenLangkat)

0 0 13

BAB II PROFIL SUMATERA BARAT II.1 Sejarah Provinsi Sumatera Barat - Pola Budaya Matrilineal Dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang - Pola Budaya Matrilineal Dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

0 0 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Netralisasi Terhadap Penurunan Asam Lemak Bebas Dan Peningkatan Nilai Karoten Di Pusat Penelitian Kelapa Sawit

0 0 16

Penggunaan Berbagai Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus communis Forst ) Pada DTA Danau Toba, Kecamatan Haranggaol Horison

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Identifikasi Senyawa Penyusun Minyak Atsiri Kulit Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)Dari Lubuk Pakam, Laguboti Dan Dolok Sanggul Dengan Menggunakan GC-MS

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Strategi Bisnis Usaha Jasa Doorsmeer Dalam Menarik Konsumen (Studi Pada Sabena Doorsmeer di Medan)

0 0 32