EFEKTIVITAS TERAPI SENSORI INTEGRASI TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR ANAK AUTIS DI MUTIARA BANGSA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Iqlima Anggraeni B77211101

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR ANAK AUTIS DI MUTIARA BANGSA

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Iqlima Anggraeni B77211101

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(3)

(4)

(5)

(6)

Iqlima Anggraeni B77211101 yang berjudul Efektivitas Terapi Sensori Integrasi Terhadap Perkembangan Motorik Kasar Anak Autis Di Mutiara Bangsa. Perkembangan kemampuan motorik kasar anak autis lebih rendah dibanding dengan anak normal sebayanya. Jika hal ini dibiarkan tentu akan menimbulkan permasalahan motorik kasar selanjutnya. Sehingga diperlukan perhatian khusus berupa terapi, yaitu dengan terapi sensori integrasi. Penelitian ini menggunakan kasus tunggal (single–case experimental design) dengan desain eksperimen A – B – A dan menggunakan statistika deskriptif sederhana yang dianalisis berdasarkan grafik analisis visual. Pada penelitian ini mengukur 11 aspek kemampuan perkembangan motorik kasar anak autis yang menjadi target behavior dengan menggunakan skala Geddes Psychomotor Inventory (GPI). Subjek penelitian ini adalah 1 anak penyandang autis berusia 4 tahun yang berjenis kelamin laki-laki. Penelitian ini dilakukan sebanyak 12 kali pertemuan yaitu 3 kali pre-test (A1), 6 kali treatment (B), dan 3 kali post-test (A2). Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwasanya grafik analisis visual pada 11 aspek kemampuan motorik kasar mengalami peningkatan yang terlihat dari perubahan arah dan efeknya mengarah ke arah (+) dan persentase overlap treatment (B) ke post-test (A2) berada pada angka 0% yang berarti semakin kecil persentase overlap, maka semakin baik pengaruh treatment terhadap target behavior. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi sensori integrasi efektif dalam meningkatkan perkembangan motorik kasar pada anak autis di Mutiara Bangsa.

Kata Kunci: Terapi sensori integrasi, perkembangan motorik kasar, anak autis


(7)

Iqlima Anggraeni B77211101 entitled Tthe effectiveness of sensory integration therapy for the problems of grass motoric development for autistic children in Mutiara Bangsa. The development of autistic children's grass motor ability is lower than normal children. If this case is ignored, it will cause the next Grass Motor problems. Thus, it needs special emphasis that is sensory integration therapy. This research uses single–case experimental design by experimental design A – B – A and uses simple descriptive statistic which analyzes according to the visual of graphic analysis. this research measures 11 aspects of the ability of grass motor skill development for autistic children that becomes the behavior target by using Geddes Psychomotor Inventory (GPI) scale. The subject of this research is 4 year old autistic male child. this research was done in 12 meetings that are 3 times of pre-tests (A1), 6 times of treatments(B), dan 3 times of post-tests (A2). The result of this research is visual of graphic analysis on 11 aspects of grass motor skill ability that experiences the increase which can be seen From the change of direction and the effect comes to (+) and percentage of overlap treatment (B) to post-test (A2) is on 0% which is the smaller overlap percentage, the better the treatment effect of behavior target. from the results, it can be concluded that sensory integration therapy is effective in increasing the development of grass motor skill for autistic children in Mutiara Bangsa.

Keywords: Sensory integration therapy, grass motor skill, autistic children


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 16

A. Motorik Kasar Anak Autis ... 16

1. Autis ... 16

2. Perkembangan Motorik ... 19

B. Terapi Sensori Integrasi ... 35

C. Hubungan Terapi Sensori Integrasi Terhadap Motorik Kasar Anak Autis ... 42

D. Kerangka Teoritis ... 44

E. Hipotesis ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 48

1. Terapi Sensori Integrasi ... 48

2. Motorik Kasar Anak Autis ... 49

B. Subjek Penelitian ... 50

C. Desain Eksperimen... 50

D. Prosedur Eksperimen ... 55

E. Instrumen Penelitian ... 57

1. Alat Ukur Yang Digunakan ... 57

2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 58

F. Validitas Eksperimen ... 64

G. Analisis Data ... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69

A. Deskripsi Subjek ... 69


(9)

C. Hasil ... 71

D. Pembahasan ... 194

BAB V PENUTUP ... 208

A. Kesimpulan ... 207

B. Saran ... 208


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Saat diberi sebuah kepercayaan untuk mempunyai anak, maka para calon orangtua akan menjaga sejak dalam kandungan sampai lahir ke dunia. Pertumbuhan dan perkembangan buah hati yang sempurna merupakan dambaan dan keinginan setiap pasangan. Sehingga para calon ibu akan mengkonsumsi berbagai macam vitamin, gizi maupun suplemen untuk menjaga kesehatan bayi selama dikandungan. Selain itu, calon ibu akan menghindari aktifitas berat yang beresiko mengganggu proses kehamilan agar tidak terjadi pendarahan, infeksi virus, kelahiran bayi abnormal, dan penyebab lainnya. Setelah bayi terlahir ke dunia, para orang tua pun akan memberikan perhatian dan perawatan lebih lanjut dalam proses yang mempengaruhi tumbuh kembang anak baik hal positif maupun negatif.

Setiap anak akan mengalami proses perkembangan yang terdiri atas dimensi biologis, kognitif, dan sosial. Bahkan dalam satu dimensi biologis, kognitif, dan sosial berpengaruh di dalam dirinya (Desmita, 2010: 26). Unsur-unsur perkembangan tersebut akan mempengaruhi satu dengan yang lain. Walaupun orang tua sudah memberikan perhatian dan perawatan yang baik sejak di dalam kandungan, ada saja anak-anak yang terlahir sebagai anak


(11)

berkebutuhan khusus misalnya autis, ADHD/ADD, downsyndrome, cerebral palsy dan sejenisnya.

Bagi anak-anak yang terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus seperti autis, akan mengalami gangguan perkembangan yang biasanya tampak jelas sebelum anak mencapai usia 3 tahun (Winarno, 2013: 1). Autis berarti self atau diri sendiri yang artinya cenderung hidup dalam dunianya sendiri. Autis berasal dari bahasa Yunani kuno. Penyandang kelainan sindrom ini ditemukan oleh Leo kanner yang disebut early infantile autis (Delphie, 2009: 4). Secara teknis, para psikolog menggunakan salah satu diagnosa yang digunakan secara global di seluruh penjuru dunia untuk mendeteksi autis yaitu dengan Diagnostic and Statistical of Mental Disorder ke IV (DSM-IV) yang dibuat

oleh American Psychiatric Association (APA) atau International

Classification of Diseases-10 (ICD-10) tahun 1994, yang merupakan suatu sistem diagnosis yang digunakan oleh WHO.

Anak autis merupakan individu dengan hendaya (gangguan) perkembangan atau developmental disorders (Delphie, 2009: 2). Penyandang autistik usia dini dapat dideteksi melalui suatu diagnosis khusus oleh medis atau psikolog sejak usia 30 bulan (APA, 1980 dalam Delphie, 2009: 5). Penelitian terkini menemukan bahwa angka penderita autis setiap tahunnya semakin meningkat pesat dan bisa mengenai siapa saja, baik sosio-ekonomi yang berkecukupan maupun yang kurang, berbagai etnis, bahkan anak-anak yang tinggal di negara maju. Namun ada keberuntungan tersendiri bagi anak-anak autis yang bertempat tinggal di negara maju, sebab mereka akan


(12)

memiliki kesempatan terdiagnosis lebih dulu. Sehingga tata laksana penanganan lebih dini akan menghasilkan hasil yang lebih baik di kehidupan mereka kelak.

Survei pertama kali mengenai prevalensi autis pada tahun 1979 menunjukkan 4 : 10.000 (Lotter, 1966 dalam Martine, 2011). Pada tahun 1999, Fambonne (1999) memperkirakan prevalensi untuk autis menjadi 10 : 10.000 dan kasus mengenai ASC (Autis Spectrum Disorder) menjadi 30 ± 60 kasus per 10.000. Perkiraan ini didasarkan pada studi yang dilakukan di Eropa, AS, Kanada dan Jepang. Telah dilakukan sebuah penelitian terbaru di Inggris yang memperkirakan prevalensi populasi ASC (Autis Spectrum Disorder) naik dan menjadi sekitar 1% (116 : 10.000) (Bairds et al, 2006; Baron-Cohen et al, 2009 dalam Martine, 2011).

Selain itu, terdapat sebuah riset yang mengungkapkan bahwa berkisar 5 - 7% anak-anak mengalami gangguan mental yang membutuhkan penanganan secara khusus. Jika di jumlahkan dengan yang mengalami gangguan tidak terlalu berat, angka prevalensinya dapat mencapai 60%. Hal ini menunjukkan bahwa sangat banyak anak-anak yang terganggu mentalnya dan kurang memperoleh perhatian dari banyak kalangan. Diperkirakan sebanyak 50% anak-anak yang terganggu mentalnya tetap berlangsung hingga masa remaja dan bahkan sampai dewasa (Hoare dan McIntosh dalam prasetyono, 2008 dalam Mufadhilah, 2014). Adapun data terbaru dari Center for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menyebutkan bahwa 1 dari 110 anak


(13)

Amerika Serikat menderita autis. Angka ini naik 57% dari data tahun 2002 yang memperkirakan angkanya 1 dibanding 150 anak (Anna, 2009).

Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan dari Badan Pusat Statistik 2010, memperkirakan terdapat 112.000 anak di Indonesia menyandang autis, pada rentang usia sekitar 5 ± 19 tahun. Berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2011 tercatat 35 juta orang penyandang autis di seluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia mengidap autis. Penelitian Center for Disease Control (CDC) di Amerika pada tahun 2008 menyatakan bahwa perbandingan autis pada anak umur 8 tahun yang terdiagnosa dengan autis adalah 1 : 80. Terdapat pula penelitian Hongkong Study pada tahun 2008 yang melaporkan tingkat kejadian autis di Asia dengan prevalensi mencapai 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun (Melisa, 2013).

Dalam Peeters (2009: 3) autis ditempatkan di bawah kategori ³*DQJJXDQ 3HUNHPEDQJDQ 3HUYDVLI´ DQWDUD ³5HWDUGDVL 0HQWDO´ GDQ ³*DQJJXDQ 3HUNHPEDQJDQ 6SHVLILN´ Maksud dari di bawah kategori ³5HWDUGDVL 0HQWDO´ yaitu perkembangan menjadi lambat, sedangkan ³*DQJJXDQ 3HUNHPEDQJDQ 6SHVLILN´ MLND GL hadapkan pada perkembangan yang lambat atau tidak normal pada suatu bidang kemampuan tertentu. Dalam Assjari, dkk. (2011: 225) anak autis mengalami gangguan perkembangan pervasif atau pervasive Developmental Disorders (PDDs-GPP) yang menyebabkan anak mengalami kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan orang lain, selain itu juga mengalami gangguan koordinasi motorik seperti keseimbangan, koordinasi mata dan tangan, serta lokomosi.


(14)

Hal tersebut senada dengan Rarick (1973 dalam Saputra Y, 2005, dalam Assjari, dkk. 2011: 225) yang menyatakan bahwa anak yang di identifikasi sebagai autis akan kurang kemampuan geraknya dibandingkan dengan anak normal sebaya mereka yang di ukur dari kemampuan gerak statis dan dinamis, kekuatan, koordinasi, keseimbangan dan kelincahan.

Berdasarkan kesulitan yang di alami oleh anak autis, gangguan perkembangan motorik sangat berperan penting. Kemampuan individu sendiri yang dapat terlihat jelas melalui kasat mata adalah motorik kasar. Motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh (Soetjiningsih, 1995: 30). Menurut Desmita (2010: 98) perkembangan motorik kasar (Grass Motor Skill) akan menunjukkan kesiapan anak dalam hal keterampilan otot-otot besar lengan, kaki, dan batang tubuh. Motorik kasar setiap anak haruslah berproses sesuai dengan umur mereka, namun pada anak yang di diagnosis autis akan mengalami keterlambatan perkembangan. Keterlambatan motorik kasar tersebut disebabkan oleh sensitivitas indera yang juga terganggu. Sehingga diperlukan sebuah terapi untuk membantu dalam mencapai keterlambatan motorik kasar anak autis agar setidaknya dapat mencapai kesesuaian dengan usia mereka, sebab sistem sensori akan terus mengalami perkembangan sejalan dengan bertambahnya usia anak.

Salah satu cara untuk menyikapi permasalahan keterlambatan perkembangan motorik kasar yaitu diadakannya terapi sensori integrasi. Sensori integrasi merupakan proses mengenal, mengubah, dan membedakan sensasi dari sistem sensori untuk menghasiONDQVXDWXUHVSRQVEHUXSD³SHULODNX


(15)

DGDSWLIEHUWXMXDQ´ :DLPDQTerdapat manfaat lain dari terapi sensori integrasi bagi anak-anak autis yaitu meningkatkan perkembangan motorik, meningkatkan kemampuan akademik dan perilaku sosial. Penemu terapi sensori integrasi ini adalah seorang seorang ahli terapi okupasional yang bernama A. Jean Ayres. Ia adalah orang yang pertama kali menjelaskan tentang masalah berkaitan dengan proses neurologis yang tidak efisien. Pada tahun 1950 dan 1960 ia berhasil mengembangkan teori tentang ketidakberfungsian sensori integrasi agar para ahli terapi okupasional lainnya dapat melakukan assessment berkaitan dengan hendaya tersebut (Delphie, 2009: 49).

Pada anak yang mengikuti terapi sensori integrasi biasanya memerlukan bantuan penuh. Sehingga disarankan melakukan terapi sensoris kepada ahli terapis untuk dapat dievaluasi, diberikan treatmen, dan konsultasi. Selain itu juga dapat dilakukan oleh terapi fisik atau physical therapist yang mampu meningkatkan kemampuan fisik setiap individu autistik. Dengan mendapatkan bimbingan latihan, maka anak autis dapat melakukan gerak dan memahami semua informasi yang datang melalui otaknya dengan cara bermain yang bersifat menggembirakan, bermakna, dan dilakukan secara ilmiah (Delphie, 2009: 99 ± 101).

Alasan peneliti mengambil subyek anak dengan gangguan autis karena semakin banyak populasi anak autis di Indonesia khususnya di Surabaya yang bukan hanya dari kalangan berada namun juga dari kalangan orang tak mampu. Dilakukannya penelitian di lembaga terapi ABK Mutiara Bangsa


(16)

sebab peneliti pernah melakukan studi lapangan pada semester tujuh dan telah diketahui bahwasanya lembaga terapi ABK Mutiara Bangsa menggunakan terapi sensori integrasi. Melalui terapi sensori integrasi ini akan terlihat perkembangan motorik kasar pada anak autis, yang mana hal tersebut akan mendukung variabel penelitian yang diangkat dalam penelitian ini. Pada dasarnya sensori integrasi adalah sebuah media yang membantu subjek untuk meningkatkan kemampuan perkembangan dan keterampilan motorik yang di fokuskan pada motorik kasar akibat hendaya autistik. Penelitian ini memiliki kriteria subjek yang di cari antara lain memiliki gambaran umum sebagai berikut :

1. Subjek berusia 4 tahun.

2. Subjek berjenis kelamin laki-laki. 3. Mampu menerima instruksi terapis.

4. Perkembangan motorik kasar masih rendah. 5. Belum pernah menerima Terapi Sensori Integrasi.

Berdasarkan kriteria ini diatas, penelitian ini menggunakan subjek yang berinisial AIP adalah siswa baru lembaga terapi anak berkebutuhan khusus Mutiara Bangsa. AIP menjalani terapi karena ia mengalami beberapa perkembangan yang terlambat, salah satunya adalah perkembangan motorik kasar yang seharusnya AIP mampu lakukan pada usia tersebut. Dalam hal ini, AIP memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. AIP merupakan seorang anak laki-laki ke- 2 dari 3 bersaudara yang sekarang berusia 4 tahun 4


(17)

bulan. AIP didiagnosis sebagai penyandang autis melalui tes rambut yang pernah ia lakukan. Pada hasil tes rambut tersebut dinyatakan bahwasanya pada tubuh AIP terdapat kadar logam yang berlebihan yaitu lead atau timbal.

Dari berbagai hal yang telah dijelaskan di atas, peneliti melakukan penelitian perkembangan motorik kasar anak autis dengan menggunakan observasi kegiatan motorik kasar melalui terapi sensori integrasi dengan cara melakukan terapi dalam konsep bermain yang menyenangkan bagi anak-anak dan tetap membawa dampak yang bermakna dan dilakukan secara ilmiah. Dari sini akan diketahui seberapa efektif terapi sensori integrasi, maka peneliti PHQJDPELOMXGXO³Efektivitas terapi sensori integrasi terhadap perkembangan PRWRULNNDVDUDQDNDXWLVGL0XWLDUD%DQJVD´

B. RUMUSAN MASALAH

Atas dasar pemikiran di atas serta gambaran latar belakang masalah yang sering terjadi dalam suatu masyarakat, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : ³Apakah terapi sensori integrasi efektif terhadap perkembangan motorik kasar anak autis di Mutiara Bangsa?´.

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan terapi sensori integrasi terhadap perkembangan motorik kasar anak autis di Mutiara Bangsa.


(18)

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis maupun praktis :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan konstribusi atas temuan-temuan yang diteliti baik bagi peneliti maupun progam studi, berguna dalam ilmu psikologi khususnya psikologi klinis dalam bidang terapi sensori integrasi untuk anak berkebutuhan khusus yaitu autis, dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan yang berhubungan tentang penyandang autis dan motorik kasar, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berfikir melalui penelitian yang diterapkan di lapangan.

2. Manfaat Praktis a. Manfaat Orang Tua

Diharapkan dari penelitian ini orang tua dapat melakukan terapi sensori integrasi jika sedang berada di rumah, agar anak dapat mengendalikan dan meningkatkan gerak motorik kasar peyandang autis sehingga dapat beraktifitas lebih lancar.

b. Manfaat Untuk Psikolog Klinis dan Terapis

Diharapkan dari penelitian ini psikolog klinis dan terapis mampu memahami dan membantu pencapaian efektivitas terapi sensori integrasi terhadap motorik kasar anak autis agar kelak mereka mampu beraktifitas lebih baik dan lancar.


(19)

c. Dapat mengetahui tentang keberhasilan terapi sensori integrasi terhadap perkembangan motorik kasar anak autis

E. KEASLIAN PENELITIAN

Terdapat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini untuk dikaji diantaranya adalah

Dalam penelitian Petrin Kasdanel (2013) yang berjudul efektifitas sensori integrasi untuk meningkatkan kemampuan menulis permulaan pada anak autis Di Ti-Ji Home Schooling Padang. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masalah yang peneliti temukan di Ti-Ji Home Schooling Padang, anak autis yang berumur delapan tahun, masih belum mampu menulis mulai, terutama huruf vokal (a, i, u, e, o). Penelitian ini tunggal subjek penelitian dengan desain ABA dan teknik analisis data menggunakan grafik analisis visual. Variabel pengukuran menggunakan persentase masing-masing vokal yang dapat ditulis anak-anak. Pengamatan dilakukan dengan tiga sesi pertama, sesi sebelum diberikan Intervensi dasar saat pretest, a1, dilakukan tujuh kali pengamatan, persentase vokal. Keterampilan menulis dalam kondisi ini terletak pada kisaran 0%, dan 20% adalah pada pertemuan persatuan, kedua, ketiga, kelima, hari keenam dan ketujuh anak bisa tidak akan ada tulisan dimulai pada vokal. Namun pada pertemuan empat anak-anak untuk menulis vokal tunggal adalah huruf "i". Kedua, sesi intervensi, b, dengan menggunakan pengamatan sensory integrasi dibuat sebanyak sepuluh kali, persentase anak mulai keterampilan menulis. Dalam hal ini kondisi terletak


(20)

pada kisaran 20%, 40%, 60%, dan 80% dari anak-anak mampu menulis vokal (a, i, u, o). Sesi awal ketiga, posttest, a2 dilakukan lima kali pengamatan, hasil diperoleh dalam kemampuan anak untuk menulis awal peningkatan yang ada di kisaran 90% yang sebelumnya anak-anak bisa menulis huruf (a, i, u, o) untuk 100%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan metode integrasi sensory efektif dalam meningkatkan keterampilan menulis untuk Anak dimulai autis Ti-Ji Home Schooling Padang.

Musjafak Assjari dan Eva Siti Sopariah (2011) dalam penelitian yang berjudul penerapan latihan sensorimotor untuk meningkatkan kemampuan menulis pada anak Autistic Spectrum Disorder (ASD). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bertujuan untuk membuktikan bahwa penerapan latihan sensorimotor dapat meningkatkan kemampuan menulis dan hasil menulis pada

anak Autistic Spectrum Disorder (ASD). Metode penelitian menggunakan

pendekatan kuantitatif, serta dalam intervensi dan analisis data menggunakan metode Single Subject Research (SSR) model Design Multiple Baseline Cross Variable (desain jamak antar variabel) dan desain A ± B ± A menggunakan satuan ukur durasi dan persentase. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara nyata subyek penelitian mengalami peningkatan dalam kemampuan menulis. Oleh karena itu, latihan sensorimotor ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam meningkatkan atau mengoptimalkan kemampuan vestibular, taktil, kinestetik dan propioseptif yang merupakan keterampilan prasarat menulis yang dimiliki oleh anak Autistic Spectrum Disorder (ASD).


(21)

Dhofirul Fadhil Dzil Ikrom Al Hazmi, dkk. (2014) dalam penelitian yang berjudul kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration lebih baik daripada hanya neuro developmental treatment untuk meningkatkan keseimbangan berdiri anak downsyndrome. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pada anak downsyndrome sering ditemukan adanya gangguan keseimbangan berdiri yang menyebabkan ia tidak dapat mempertahankan postur tubuh terhadap gangguan yang datang. Jika ini dibiarkan tentu akan menimbulkan permasalahan perkembangan motorik selanjutnya. Fisioterapi mempunyai metode neuro developmental treatment dan sensory integration. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan rancangan penelitian randomized pre and post test group design dengan sampel sebanyak 18 anak downsyndrome yang mengalami permasalahan keseimbangan berdiri dan waktu penelitian selama dua bulan. Kelompok dibagi menjadi dua, yaitu kelompok-1 (neuro developmental treatment) dan kelompok-2 (neuro developmental treatment dan sensory integration). Instrumen pengukuran yang digunakan adalah sixteen balance test yang di ukur sebelum perlakuan (0 ± session) dan sesudah perlakuan (6 ± session) pada masing-masing subjek. Berdasarkan variabel sixteen balance test pada kedua kelompok menggunakan uji hipotesis independent sample t-test didapatkan nilai p = 0,034. Kesimpulan yang didapatkan nilai p < 0,05. Nilai tersebut menjelaskan kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration lebih baik daripada hanya


(22)

neuro developmental treatment untuk meningkatkan keseimbangan berdiri anak downsyndrome.

Penelitian selanjutnya dari Renee L. Watling dan Jean Dietz (2007) yang berjudul LPPHGLDWH HIIHFW RI D\UHV¶V VHQVRU\ LQWHJUDWLRQ±based occupational therapy intervention on children with autis spectrum disorders. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa penelitian ini akan meneliti efek dari intervensi integrasi sensorik ayres pada perilaku dan keterlibatan tugas anak-anak dengan gangguan spektrum autis (ASD) dengan bantuan dari pengamatan klinis dan pengasuh perilaku untuk membantu memandu penyelidikan masa depan. Metode yang digunakan adalah Single Subject Research (SSR) dengan desain A ± B ± A ± B untuk membandingkan efek langsung dari sensorik Ayres dunia integrasi dan skenario bermain dengan melibatkan 4 anak-anak dengan ASD. Dari penelitian ini tidak ada pola yang jelas dari perubahan perilaku yang tidak diinginkan atau tugas manajemen yang muncul melalui tujuan pengukuran. Kesimpulannya adalah jangka pendek integrasi sensorik Ayres tidak memiliki efek substansial berbeda dari skenario bermain pada perilaku yang tidak diinginkan atau keterlibatan dari anak-anak dengan gangguan spektrum autis (ASD). Namun, data subjektif menunjukkan bahwa integrasi sensorik Ayres mungkin menghasilkan efek yang jelas selama sesi perawatan dan di dalam lingkungan rumah.

Beth A. Pfeiffer, dkk. (2011) dengan penelitian yang berjudul effectiveness of sensory integration interventions in children with autis spectrum disorders: a pilot study. Dari hasil penelitian tersebut diketahui


(23)

bahwa bertujuan untuk membangun model untuk acak penelitian uji coba terkontrol, mengidentifikasi ukuran hasil yang tepat, dan mengatasi efektivitas integrasi sensori (SI) yang mengintervensi anak-anak dengan gangguan spektrum autis (ASD). Penelitian ini menggunakan anak-anak usia 6-12 dengan ASD secara acak untuk motor halus atau kelompok perlakuan sensori integrasi. Pretest dan posttest diukur melalui sosial, sensorik pengolahan, keterampilan motorik fungsional, dan faktor sosial-emosional. Dari penelitian ini menghasilkan identifikasi signifikan positif perubahan goal pencapaian skor scaling untuk kedua kelompok; perubahan lebih signifikan terjadi di sensori integrasi kelompok, dan penurunan yang signifikan dalam laku autis terjadi pada kelompok sensori integrasi. Tidak ada hasil lain signifikan namun penelitian ini dapat mempertimbangkan untuk hasil studi setelah menggunakan sensori integrasi terhadap masa depan untuk anak-anak dengan gangguan spektrum autis (ASD).

Selanjutnya adalah penelitian dari Sinclair A. Smith, dkk. (2005) yang berjudul Effects of Sensory Integration Intervention on Self-Stimulating and Self-Injurious Behaviors. Dari penelitian ini diketahui bahwa Penelitian ini membandingkan efek terapi okupasi, menggunakan pendekatan integrasi sensori (SI) dan kontrol intervensi kegiatan tabletop. Penelitian ini ditujukan pada anak yang berusia 8 ± 19 tahun dengan keterlambatan perkembangan yang meluas dan keterbelakangan mental. Melalui segmen rekaman video 15 menit sehari akan dicatat sebelumnya, setelah, dan satu jam setelah baik dilakukan sensori integrasi atau kontrol intervensi selama 4 minggu. Setiap


(24)

segmen video 15 menit dievaluasi oleh peneliti untuk menentukan frekuensi perilaku diri seseorang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku diri yang nampak secara signifikan dikurangi dengan 11% satu jam setelah intervensi sensori integrasi dibandingkan dengan intervensi aktivitas tabletop (P = 0,02). Tidak ada perubahan segera setelah sensori integrasi atau intervensi tabletop. Peringkat harian self stimulating perilaku frekuensi dengan guru kelas menggunakan skala 5-point berkorelasi secara signifikan dengan jumlah frekuensi yang diambil oleh para peneliti (r = 0,32, p < 0,001). Sehingga penelitian ini menunjukkan hasil bahwa pendekatan sensori integrasi ini efektif dalam mengurangi perilaku diri merangsang, yang mengganggu kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang lebih fungsional.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwasannya memang terdapat peningkatan jika diberikan terapi sensori integrasi. Dimana hal ini dapat menjadi rujukan atau tambahan referensi bagi peneliti dalam melengkapi data-data yang peneliti perlukan. Pada penelitian kali ini akan lebih memfokuskan pada terapi sensori integrasi terhadap perkembangan motorik kasar anak autis. Penelitian ini sendiri memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu yaitu sama-sama mencari tahu apakah terdapat efektivitas dari terapi sensori integrasi. Sedangkan perbedaannya adalah variabel bebas yang digunakan, pada lokasi penelitian, dan subjek penelitian.


(25)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. MOTORIK KASAR ANAK AUTIS 1. Autis

Autis berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri. Istilah autis pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard pada tahun 1943. Beberapa ahli, menyebutkan bahwa autis disebabkan karena adanya gangguan biokimia, sedangkan ahli lain berpendapat bahwa autis disebabkan oleh gangguan psikiatri, ada juga yang berpendapat autis disebabkan karena vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella) (Widodo, 2008 dalam Wardani, 2009). Delphie (2009: 4) menjelaskan bahwa autis berasal dari bahasa Yunani kuno berarti self atau diri sendiri yang mempunyai pengertian cenderung hidup dalam dunianya sendiri. Penyandang kelainan sindrom ini juga disebut Early Infantile Autis.

$QDN DXWLV EXNDQ ³DQDN DMDLE´ DWDX ³SHPEDZD KRNL´ Gifted

Child) seperti kepercayaan sebagian orangtua. Jadi jangan

mengharapkan keajaiban muncul darinya, namun ia pun bukan bencana. Autis merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf. Penyakit ini akan mengganggu perkembangan anak. Untuk mendiagnosis gangguan autis tidak memerlukan pemeriksaan yang canggih, seperti brain mapping, CT-Scan, dan MRI.


(26)

Pemeriksaan-pemeriksaan itu hanya dilakukan jika ada indikasi tambahan misalnya jika anak sering kejang, baru dilakukan brain mapping atau EEG untuk melihat apakah mengidap epilepsi (Widyawati, 2003: 2).

Autis (autisme) memiliki cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan dirinya sendiri. Penyandang autis ini akan menanggapi dunia berdasarkan penglihatan, harapan sendiri, dan menolak realitas. Autis juga tenggelam dalam keasikan yang ekstrim dengan pikiran fantasi mereka. Anak-anak yang menyandang status autis sering juga disebut

autistic child yaitu memiliki kecenderungan diam dan suka menyendiri. Ketika hal ini terjadi, mereka bisa duduk dan bermain selama berjam-jam lamanya dengan jari-jarinya atau dengan serpihan-serpihan kertas. Maka dari sini tampak jelas bahwasanya mereka tenggelam dalam fantasi yang dimiliki (Chaplin, 2006: 46).

Menurut Winarno (2013: 1) autis pada masa kanak-kanak adalah gangguan perkembangan yang biasanya tampak jelas sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Tampak secara nyata anak-anak autis mempunyai kesulitan untuk belajar berkomunikasi secara verbal dan non verbal. Sehingga penyandang autistik usia dini dapat di deteksi melalui suatu diagnosis khusus oleh medis atau psikolog sejak usia 30 bulan (APA, 1980 dalam Delphie, 2009: 5). Menurut Wing (1996 dalam Thompson, 2010: 86 ± 87) autis mengalami gangguan perkembangan di antaranya gangguan komunikasi sosial, gangguan interaksi sosial, dan gangguan imajinasi sosial. Sehingga mereka memerlukan perhatian yang


(27)

lebih agar tidak mengabaikan semua hal yang berhubungan dengan dunia luar.

Hadis (2006 dalam Ulmi, 2013) berpendapat bahwa autis adalah salah satu anak berkebutuhan khusus yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi kemanusian mereka secara sempurna. Menurut Safaria (2005, dalam Mufadhilah, 2014) mendefinisikan autis sebagai suatu gangguan perkembangan perpasif yang secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak.

Pendapat Rarick, 1973 (dalam Saputra Y, 2005: 40 dalam Assjari, 2011) menyatakan bahwa anak yang di identifikasi sebagai autis, kemampuan geraknya kurang dibanding dengan anak normal sebayanya. Hal ini diukur dari kemampuan gerak statis dan dinamis, kekuatan, koordinasi, keseimbangan dan kelincahan. Senada dengan Veskarisyanti, A. (2008: 47 dalam Assjari, 2011) menyatakan bahwa beberapa anak penyandang autis mengalami gangguan pada perkembangan motorik, otot kurang kuat untuk berjalan, serta keseimbangan tubuhnya kurang baik. Sherill, 1984; Astati, (2001 dalam Assjari, 2011) menjelaskan bahwa anak autis umumnya memiliki kemampuan motorik yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok anak sebayanya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Adapun pendapat bahwasanya sekitar 40 persen anak autis memiliki beberapa ketidaknormalan kepekaan inderawi (Rimland, 1990


(28)

Assjari, 2011). Maka perkembangan mental yang tertinggal akan membawa dampak pada kemampuan motorik anak autis yang disebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pusat. Hal ini ditunjukkan dengan kurang mampu dalam aktifitas motorik untuk tugas-tugas yang memerlukan kecepatan gerakan serta dalam melakukan reaksi gerak yang memerlukan koordinasi motorik dan keterampilan gerak yang lebih kompleks, misalnya keterampilan bola, keseimbangan, deksteritas manual, gerakan cepat dan menulis dengan tangan.

2. Perkembangan Motorik

Setiap makhluk hidup pasti mengalami perkembangan dalam hidup mereka sejak dalam kandungan, terlahir ke dunia, hingga masa tua dan mati. Begitu kompleks sistem perkembangan yang dialami oleh seseorang dalam menjalani hidup di dunia ini. Yusuf (2005: 66) menjelaskan bahwa tugas-tugas perkembangan akan berkaitan dengan sikap, perilaku, atau keterampilan yang dimiliki oleh individu yang sesuai dengan usia atau fase perkembangannya. Bagian tubuh manusia atau fisik adalah sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Sehingga Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956 dalam Yusuf, 2005: 101) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu:

a. Sistem saraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi.


(29)

b. Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik.

c. Kelenjar endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru.

d. Struktur tubuh, yang meliputi tinggi, berat dan proporsi.

Berdasarkan penelitian genetika, khususnya neurologis yang dilakukan terhadap kasus utama anak autis ditemukan bahwasanya secara signifikan anak dengan sindrom autistik berasal dari luasnya defisit dalam otak yang menyebabkan ketidakberfungsian sistem saraf pusat pada otak (Durand, V. M. dan Barlow D. H., 2006: 552 dalam Delphie 2009: 87).

Dalam buku anak prasekolah (2010 dalam Sujiono, 2010: 1.3) tertulis bahwa masa lima tahun pertama adalah masa pesatnya perkembangan motorik anak. Motorik adalah semua gerakan yang mungkin didapatkan oleh seluruh tubuh, sedangkan perkembangan motorik dapat disebut sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh. Keterampilan motorik tersebut akan berkembang sejalan dengan kamatangan saraf dan otak. Selanjutnya Kranowitz, C. S. dalam Delphie (2009: 101) menyatakan bahwa anak autis memerlukan perkembangan kemampuan sensoris seirama dengan perkembangan umur mereka.


(30)

Selanjutnya Bernadeta Suhartini (2012: 5 dalam Hakim, 2013) menjelaskan bahwa motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord. Senada dengan penjelasan Audrey Curti (1998; hurlock, 1956 dalam Yusuf, 2005: 104) bahwasanya otak akan mempengaruhi dan menentukan aspek perkembangan individu baik keterampilan motorik, intelektual emosional, sosial, moral, maupun kepribadian. Sehinggga semakin matang perkembangan sistem saraf otak yang mengatur otot, akan membentuk peningkatan perkembangan keterampilan motorik anak.

Keterampilan motorik ini tidak akan berkembang jika melalui kematangan saja, namun harus diimbangi dengan keterampilan yang perlu dipelajari oleh setiap individu. Menurut Tjandrasa, dkk. (1997: 150) menjelaskan bahwa perkembangan motorik berarti perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf, dan otot yang terkoordinasi. Hal ini senada dengan Wulan (2012 dalam Al Hazmi, 2014) yang menyatakan bahwa perkembangan motorik yaitu perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara saraf dan otak. Perkembangan motorik yang dimaksudkan adalah motorik kasar dan halus.

Menurut Rahyubi (2012: 225 ± 226 daODP0DV¶XGDK ± 27) ada beberapa faktor yang berpengaruh pada perkembangan motorik individu yaitu:


(31)

a. Perkembangan Saraf

Sistem saraf sangat berperan dalam perkembangan motorik karena sistem saraf yang mengontrol aktivitas motorik tubuh.

b. Kondisi Fisik

Perkembangan motorik sangat erat kaitannya dengan fisik, maka kondisi fisik tentu saja sangat berpengaruh dalam perkembangan motorik seseorang.

c. Motivasi Yang Kuat

Seseorang yang punya motivasi kuat untuk menguasai keterampilan motorik tertentu biasanya punya modal besar untuk meraih prestasi. Apabila seseorang dapat melakukan aktivitas motorik dengan baik, maka kemungkinan besar juga akan termotivasi untuk menguasai keterampilan motorik yang lebih luas.

d. Lingkungan Yang Kondusif

Perkembangan motorik seseorang individu kemungkinan besar bisa berjalan optimal jika lingkungan tempatnya beraktivitas mendukung dan kondusif.

e. Aspek Psikologis

Aspek psikologis, psikis dan kejiwaan sudah sangat berpengaruh pada kemampuan motorik.


(32)

f. Usia

Usia sangat berpengaruh pada aktivitas motorik seseorang. Seorang bayi, anak-anak, remaja, dan masa tua tentu mempunyai karakteristik keterampilan motorik yang berbeda pula.

g. Jenis Kelamin

Dalam keterampilan motorik tertentu, misalnya olahraga, faktor, jenis kelamin cukup berpengaruh.

h. Bakat dan Potensi

Bakat dan potensi juga berpengaruh pada usaha meraih keterampilan motorik.

Dariyo (2007: 127) juga menyebutkan bahwa terdapat 6 faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik yaitu perkembangan usia, tercapainya kematangan organ-organ fisik, kontrol kepala, kontrol tangan, kontrol kaki, dan lokomosi. Menurut Tjandrasa, dkk. (1997: 162) menyatakan bahwa usia juga merupakan faktor dalam keterampilan motorik. Semakin bertambah usia anak, semakin terampil, semakin besar variasi keterampilan dan semakin baik kualitasnya.

Perkembangan motorik yang telah dijelaskan diatas, akan sangat berhubungan erat dengan perkembangan kemampuan gerak seorang anak. Gerak merupakan unsur utama dalam perkembangan motorik anak. Oleh sebab itu, perkembangan kemampuan motorik anak akan dapat terlihat secara jelas melalui berbagai gerakan dan permainan yang


(33)

dapat mereka lakukan (Sujiono, 2010: 1.4). Sujiono (2010: 1.12) juga menjelaskan bahwa perkembangan motorik adalah proses seorang anak belajar untuk terampilan menggerakkan anggota tubuh. Beberapa pola gerakan yang dapat mereka lakukan yang dapat melatih ketangkasan, kecepatan, kekuatan, kelenturan, serta ketepatan koordinasi tangan dan mata. Pengembangan kemampuan motorik sangat diperlukan agar seorang anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Secara konseptual, jika seorang anak banyak bergerak maka akan semakin banyak manfaat yang dapat diperoleh ketika ia semakin terampil menguasai gerak motoriknya. Adanya suatu kemampuan atau keterampilan motorik anak, akan menambahkan kreatifitas dan imajinasi anak yang merupakan bagian dari perkembangan mental anak (Sujiono, 2010: 1.7).

Dalam keterampilan motorik yang terkoordinasi secara baik, otot yang lebih kecil akan memainkan peran yang cukup besar. Seperti pada WXOLVDQ&URQEDFKWHQWDQJ³kHWHUDPSLODQ´\DQJWHUGDSDWGDODP7MDQGUDVD dkk. (1997: 154), sebagai berikut:

Keterampilan dapat diuraikan dengan kata seperti otomatik, cepat, dan akurat. Meskipun demikian adalah keliru menganggap keterampilan sebagai tindakan tunggal yang sempurna. Setiap pelaksanaan sesuatu yang terlatih, walaupun hanya menulis huruf a, merupakan satu rangkaian koordinasi beratus-ratus otot yag rumit yang melibatkan perbedaan isyarat dan koreksi kesalahan yang berkesinambungan.


(34)

Keterampilan yang dipelajari dengan baik ini akan berkembang menjadi kebiasaan. Hilgard, dkk. dalam Tjandrasa, dkk. (1997: 154) melukiskan kebiasaan tersebut sebagai berikut

³VHWLDS EHQWXN \DQJberulang cepat lancar, tersusun dari pola gerakan yang dapat dikenal . . . umumnya seseorang kurang memperhatikan rincian kegiatan kebiasaanya . . . kebiasaan . . . relatif otomatis, pola gerakan yang berulang, khususnya sebagaimana terungap dalam gerakan terampil´

Hal ini senada dengan Desmita (2010: 97-98) yang menyatakan bahwa keterampilan motorik adalah gerakan-gerakan tubuh atau bagian-bagian tubuh yang disengaja, otomatis, cepat, dan akurat. Gerakan ini merupakan rangkaian koordinasi dari beratus-ratus otot yang rumit. Selanjutnya menurut Rahantoknam, (1998: 13) menyatakan bahwa motorsensori dan keterampilan motorsensori adalah bermacam-macam nama yang disingkat menjadi keterampilan motorik (Motor Skill), yang digunakan dengan asumsi bahwa semua keterampilan motorik memiliki komponen persepsi. Salah satu konsep yang dikemukakan adalah bahwa keterampilan motorik perlu dianalisis, baik dari prasyarat persepsi maupun dari prasyarat motorik. Untuk itu, maka keterampilan motorik digunakan untuk menunjukkan setiap aktivitas otot yang diarahkan kepada suatu tujuan khusus. Setiap kegiatan yang dilakukan ini dapat dilihat sebagai suatu rangkaian kesatuan yang terbentang dari gerakan yang luas sampai gerakan yang kecil. Sehingga dapat memunculkan keterampilan motorik yang berjalan baik dan optimal secara keseluruhan.


(35)

Perkembangan psikomotorik adalah modal dasar bagi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh seorang anak terutama bayi yang nantinya menjadi gerakan motorik yang akan disadari. Gerakan motorik tersebut terdiri dari gerakan motorik halus dan gerakan motorik kasar yang keduanya akan menjadi sebuah modal bagi kegiatan bayi di masa datang (Dariyo, 2007: 127).

Audrey Curti (1998; hurlock, 1956 dalam Yusuf, 2005: 104) membagi 2 jenis keterampilan motorik, yaitu:

a.Keterampilan atau gerakan kasar, seperti berjalan, berlari, melompat, naik dan turun tangga.

b.Keterampilan motorik halus atau keterampilan memanipulasi, seperti menulis, menggambar memotong, melempar, dan menangkap bola serta memainkan benda-benda atau alat-alat mainan.

Senada dengan Desmita (2010: 97 ± 98) yang menjelaskan bahwasanya keterampilan motorik dapat dikelompokkan menurut otot-otot dan bagian-bagian badan yang terkait, yaitu keterampilan motorik kasar (Grass Motor Skill) dan keterampilan motorik halus (Fine Motor Skill). Surya (2014: 13) mengemukakan bahwa perilaku motorik adalah segala perilaku individu yang diwujudkan dalam bentuk gerakan atau pembuatan jasmaniah seperti berjalan, berlari, duduk, melompat, menari, menulis, dan sebagainya. Perilaku motorik ini pada umumnya dapat diamati dengan segera karena nampak secara fisik.


(36)

Perilaku motorik yang disadari terjadi apabila berada dalam kendali pusat kesadaran melalui saraf-saraf motorik. Aktivitas sensori motor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil interaksi dengan lingkungan (Surya, 2014: 145). Hal ini senada dengan Soetjiningsih (1995: 30) yang menyatakan bahwa perkembangan fisik anak yang terlihat jelas oleh mata adalah motorik kasar. Motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.

Menurut Sujiono (2010: 1.13) gerakan motorik kasar adalah kemampuan yang membutuhkan koordinasi sebagian besar bagian tubuh anak. Oleh karena itu, biasanya memerlukan tenaga karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar. Pengembangan gerakan motorik kasar memerlukan koordinasi kelompok otot-otot anak tertentu yang dapat membuat mereka dapat meloncat, memanjat, berlari, menaiki sepeda roda tiga, serta berdiri dengan satu kaki. Bahkan, ada juga anak yang dapat melakukan hal-hal yang lebih sulit, seperti jungkir bali dan bermain sepatu roda. Desmita (2010: 98) menjelaskan bahwa gerakan motorik kasar ini akan melibatkan aktivitas otot tangan, kaki, dan seluruh tubuh anak. Hal ini senada dengan teori bahwasanya perkembangan motorik kasar (Grass Motor Skill) akan menunjukkan kesiapan anak dalam hal keterampilan otot-otot besar lengan, kaki, dan batang tubuh.

Menurut Asep Deni (2011: 4 dalam Hakim, 2013) motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan sebagian besar otot-otot besar


(37)

atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi kematangan anak itu sendiri meliputi gerak dasar lokomotor, non lokomotor, dan manipulative.

Perkembangan fisik anak ditandai dengan berkembangnya kemampuan atau keterampilan motorik, baik yang kasar maupun yang lembut. Menurut Yusuf (2005: 164) kemampuan motorik tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Tabel 1 Kemampuan Motorik

Usia Kemampuan Motorik

Kasar

Kemampuan Motorik Halus

3 ± 4 Tahun

1. Naik dan turun tangga 2. Meloncat dengan dua

kaki

3. Melempar bola

1. Menggunakan krayon 2. Menggunakan benda/alat 3. Meniru bentuk (meniru

gerakan orang lain) 4 ± 6

Tahun

1. Meloncat

2. Mengendarai sepeda anak

3. Menangkap bola 4. Bermain olahraga

1. Menggunakan pensil 2. Menggambar

3. Memotong dengan gunting

4. Menulis huruf cetak

Selama menginjak usia 4 atau 5 tahun pertama kehidupan pascalahir, anak dapat mengendalikan gerakan motorik kasar. Gerakan tersebut melibatkan bagian badan yang luas yang digunakan untuk berjalan, berlari, melompat, berenang, dan sebagainya (Tjandrasa, dkk., 1997: 150).

Senada dengan Papalia (2008: 315) menyatakan bahwa anak-anak prasekolah akan membuat kemajuan yang besar dalam keterampilan motorik kasar (Grass Motor Skill) seperti berlari,


(38)

melompat yang melibatkan otot besar. Berikut adalah tabel keterampilan motorik kasar pada masa anak awal:

Tabel 2 Keterampilan Motorik Kasar Pada Masa Kanak-Kanak Awal

3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun

Tidak dapat berbalik atau berhenti secara tiba-tiba atau cepat

Memiliki kontrol untuk berhenti, memulai, atau berputar yang lebih efektif

Dapat memulai, berbalik, dan berhenti secara efektif dalam permainan

Dapat meloncat dengan jarak lompatan 15 sampai 24 inci

Dapat melompat dengan jarak lompatan 14 ke 33 inci

Dapat melompat 28 sampai 36 inci

Dapat menaiki tangga tanpa dibantu, dengan menggunakan satu kaki secara berulang

Dapat menuruni tangga menggunakan satu kaki secara berulang, jika dibantu

Dapat menuruni tangga panjang dengan satu kaki secara berulang, tanpa dibantu Dapat meloncat, menggunakan serangkaian lompatan irreguler dengan tambahan beberapa variasi

Dapat melompat satu kaki sampai enam kali

Dapat melompat 16 kali dengan mudah

Tulang yang semakin kuat dan kapasitas paru semakin besar yang memungkinkan untuk berlari, melompat, dan memanjat lebih cepat, lebih jauh, dan lebih baik. Sehingga anak-anak mampu beradaptasi berdasarkan dukungan genetik dan peluang untuk belajar dan mempraktikkan keterampilan motorik yang dimiliki. AAP Committe on Sport Medicine dan Fitness (1992 dalam Papalia, 2008: 315) mengatakan bahwa hanya 20 persen dari anak berusia 4 tahun yang dapat melempar bola dengan benar, dan 30 persen yang dapat menangkap bola dengan benar.


(39)

Walkey (1996, dalam Sujiono 2010: 3.17 ± 3.23) memaparkan bahwa perkembangan gerak anak baik motorik halus maupun kasar berdasarkan usia kronologis dari 0 ± 5 tahun yang dapat dikembangkan dalam kegiatan program pengembangan, seperti berikut ini:

a. Karakteristik Perkembangan Gerak Anak Umur 0 ± 1 Tahun 1) Bermain-main dengan tangan.

2) Mengamati mainan yang ada dalam genggaman. 3) Mencoba meraih suatu barang (meraup).

4) Melempar dan mengambil barang yang dilemparkan sambil diamati yang terjadi.

5) Menahan barang yang dipegangnya.

6) Memegang benda kecil dengan telunjuk dan ibu jari. 7) Menunjuk titik tertentu, misalnya mata boneka. 8) Membuka lembaran buku/majalah.

9) Mengangkat kaki dan memainkan jari di depan mata. 10) Mengangkat kepala ketika ditengkurapkan.

11) Duduk dengan bantuan dan kepala tegak.

12) Mengangkat dada pada saat tengkurap dengan bertumpu pada tangan.

13) Mencoba merangkak. 14) Duduk tanpa ditopang.

15) Mencoba berdiri sendiri dengan berpegangan. 16) Berjalan jika dipegangi/berpegangan.


(40)

b. Karakteristik Perkembangan Gerak Anak Umur 1 ± 2 Tahun 1) Meletakkan tutup gelas di atas gelas.

2) Mencorat-coret.

3) Menyusun balok dua sampai tiga balok.

4) Mencoba makan sendiri dengan sendok atau membuka buku. 5) Senang mendengarkan musik dan mengikuti irama.

6) Latihan berjalan tanpa dipegang. 7) Berjalan mantap.

8) Berjalan mundur satu sampai tiga langkah. 9) Berlari tanpa jatuh.

10)Naik turun tangga dengan berpegangan.

11)Memanjat kursi orang dewasa, merangka naik tangga. 12)Mulai meloncat walau sederhana.

c. Karakteristik Perkembangan Gerak Anak Umur 2 ± 3 Tahun 1) Meronce/merangkai manik-manik.

2) Mengaduk air digelas dengan sendok.

3) Membuka tutup botol yang bergulir dengan memutar. 4) Menggambar garis lurus.

5) Menyusun balok tiga sampai lima balok. 6) Berjalan lurus.

7) Berjalan mundur. 8) Naik turun tangga.


(41)

9) Memanjat.

10)Melompat bertolak dengan dua kaki sekaligus. 11)Belajar meniti.

d. Karakteristik Perkembangan Gerak Anak Umur 3 ± 4 Tahun 1) Meremas kertas.

2) Memakai dan membuka pakain dan sepatu sendiri.

3) Menggambar garis lingkaran dan garis silang (garis tegak dan datar).

4) Menyusun empat sampai 7 balok.

5) Mengekspresikan gerak tari dengan irama sederhana. 6) Melempar bola.

7) Berjalan dengan baik (keseimbangan tubuh semakin baik). 8) Berlari dengan baik (keseimbangan tubuh semakin baik). 9) Berlari di tempat.

10)Naik turun tangga tanpa berpegangan. 11)Melompat dengan satu kaki bergantian. 12)Merayap dan merangkak lurus ke depan. 13)Senam mengikuti contoh.

e. Karakteristik Perkembangan Gerak Anak Umur 4 ± 5 Tahun 1) Menempel.


(42)

3) Mencobos kertas dengan pensil atau spidol.

4) Makin terampil menggunakan jari tangan (mewarnai dengan rapi).

5) Mengancing baju.

6) Menggambar dengan gerakan naik turun bersambung (seperti gunung atau bukit).

7) Menarik garis lurus, lengkung dan miring.

8) Mengekspresikan gerakan dengan irama bervariasi. 9) Melempar dan menangkap bola.

10)Melipat kertas.

11)Berjalan di atas papan titian (keseimbangan tubuh).

12)Berjalan dengan berbagai variasi (maju mundur di atas satu garis).

13)Memanjat dan bergelantungan (berayun). 14)Melompat parit atau guling.

15)Senam dengan gerakan aktivitas sendiri.

Perkembangan-perkembangan yang telah dijelaskan akan berjalan dengan baik jika anak-anak tidak mengalami gangguan lingkungan atau fisik atau hambatan mental yang mengganggu perkembangan motorik. Menurut Tjandrasa, dkk. (1997: 150) secara normal anak yang berumur 6 tahun akan siap menyesuaikan diri dengan


(43)

tuntutan sekolah dan berperan serta dalam kegiatan bermain dengan teman sebaya.

Selain itu banyak pula orang yang mengira bahwa satu-satunya bahaya yang serius dalam perkembangan keterampilan dan koordinasi motorik anak adalah kekauan. Meskipun tidak dapat disangsikan bahwa kekakuan merupakan bahaya serius bagi penyesuaian sosial dan pribadi yang baik. Kemungkinan bahaya yang lain adalah timbulnya masalah psikologis yang serius. Perkembangan motorik yang terlambat berarti perkembangan motorik yang berada dibawah norma umur anak. Akibatnya, pada umur tertentu anak tidak mampu menguasai tugas perkembangan yang diharapkan oleh kelompok sosialnya. Sebagai contoh, anak yang berada dibawah norma untuk dapat berjalan dan makan sendiri, akan dipandang sebagai anak \DQJ ³WHUEHODNDQJ´ (Tjandrasa, dkk. 1997: 164).

Dari sini banyak penyebab terlambatnya perkembangan motorik, biasanya timbul dari kerusakan otak pada waktu lahir atau kondisi pralahir yang tidak menguntungkan. Akan tetapi keterlambatan ini lebih sering disebabkan oleh kurangnya kesempatan untuk mempelajari keterampilan motorik, perlindungan orang tua yang berlebihan, atau kurangnya motivasi anak untuk mempelajarinya. Namun hal-hal tersebut masih dapat dikendalikan namun sebagian lain tidak dapat dikendalikan (Tjandrasa, dkk. 1997: 164).


(44)

B. TERAPI SENSORI INTEGRASI

Gangguan di otak tidak dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi dengan terapi dini, terpadu dan intensif. Gejala-gejala autis dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya, bahkan membina rumah tangga. Hal ini dikarenakan intervensi dini membuat sel-sel otak baru tumbuh, menutup sel-sel lama yang rusak. Jika anak autis tidak atau terlambat mendapat intervensi hingga dewasa maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi (Widyawati, 2003: 6).

Sindrom autistik berasal dari luasnya defisit dalam otak yang menyebabkan ketidakberfungsian sistem saraf pusat pada otak. Ketidakberfungsian sistem saraf pusat ini disebut juga sensory integration dysfunction (SID) (Kranowitz, C. S., 1998: 8 dalam Delphie 2009: 87).

Sensory integration dysfunction adalah ketidakmampuan untuk memproses informasi yang diterima melalui indera. Istilah lain yang digunakan adalah

sensory integration disorders. Sensory integration dysfunction disingkat dengan SI dysintegration. Seorang ahli terapi okupasional bernama A. Jean Ayres adalah orang yang pertama kali menjelaskan tentang masalah berkaitan dengan proses neurologis yang tidak efisien. Pada tahun 1950 dan 1960 ia berhasil mengembangkan teori tentang ketidakberfungsian integrasi sensori agar para ahli terapi okupasional lainnya dapat melakukan assessment berkaitan dengan hendaya tersebut (Delphie, 2009: 49). Ketidakberfungsian sistem saraf pusat di otak untuk menganalisis, mengatur,


(45)

dan melakukan hubungan secara terpadu terhadap pesan-pesan yang masuk melalui indera serta melakukan respon melalui seluruh saraf tubuh sesuai dengan stimulus yang ada (Delphie 2009: 87).

Adanya sensory integration dysfunction (SID), seorang anak tidak dapat melakukan respon terhadap informasi yang masuk melalui indera mereka sehingga mengakibatkan ketidakmampuan dalam berperilaku secara konsisten dan sesuai dengan kehidupan sehari-harinya. Ketidakberfungsian saraf pusat tersebut mengakibatkan seorang anak mengalami kesulitan-kesulitan antara lain berperilaku adaptif, mempelajari gerak, dan mempelajari akademik (Delphie 2009: 88). Sehingga mereka memerlukan bantuan penuh yang dapat dilakukan melalui pendekatan melalui terapi khusus terhadap sensori integratif atau sensory integrative therapy approach. Dalam Delphie (2009: 96) pendekatan ini dilakukan dengan modifikasi saraf neurologis yang tidak berfungsi melalui belajar (A. Jean Ayres, 1972 dalam Geddes, 1981: 137 dalam Delphie, 2009: 96). Sensori integrasi (sensory integration) merupakan teori yang dikembangkan oleh Dr. Ayres dan rekan-rekannya melalui berbagai penelitian terhadap sejumlah anak di Amerika dan Kanada (Widyawati, 2003: 115).

Ketidakberfungsian tersebut mengakibatkan permasalahan pada otak yang menyebabkan otak tidak mampu untuk melakukan analisis, pengorganisasian, dan tidak mampu dalam hubungan sensori. Akibat ketidakberfungsian sensoris integrasi, seorang anak tidak dapat melakukan respon atau menanggapi informasi sensoris untuk dijadikan sesuatu yang


(46)

bermakna secara konsisten. Anak akan mendapatkan kesulitan dalam menggunakan informasi sensoris untuk membuat rencana atau disorganisasi dengan apa yang semestinya dilakukan. Jadi, ia tidak belajar secara mudah. Bentuk-bentuk belajar tersebut adalah adaptive behavior, motor learning,

dan academic learning (Delphie, 2009: 49 ± 59).

Dalam Delphie (2009: 70) A. Jean Ayres menyoroti tiga tugas penting sistem sensori pusat tubuh pada indera, antara lain sebagai berikut:

1. The tactile sense atau indera peraba, yaitu indera yang memproses informasi tentang sentuhan yang diterima melalui kulit.

2. The vestibular sense atau indera ruang depan, yaitu indera yang melakukan proses informasi tentang gerak, gravitasi, dan keseimbangan yang diterima melalui telinga bagian dalam.

3. The proprioceptive sense, yaitu indera yang memproses informasi berkaitan dengan posisi tubuh dan bagian-bagian tubuh yang diterima melalui otot-otot, ikatan sendi tulang, dan tulang sendi.

Integrasi sensori atau sensory intregration adalah proses pengorganisasian secara neurologis dari pengorganisasian informasi yang didapatkan dari seluruh tubuh dan dari dunia sekeliling yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini terjadi di sistem saraf pusat yang terdiri dari urat saraf (neuron), tulang belakang (spinal cord), dan otak. Tugas utama sistem saraf pusat adalah untuk menyatukan indera. Berdasarkan A. Jean Ayres, lebih dari 80% sistem saraf terlibat dalam pemrosesan atau pengorganisasian masukan sensoris. Otak merupakan


(47)

mesin pemrosesan sensoris atau sensory processing machine paling utama (Delphie, 2009: 70).

Menurut Waluyo (2012) pengintegrasian sensoris adalah dasar untuk memberikan respon adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan dan pembelajaran. Sedangkan menurut Kasdanel (2013) sensori integrasi melibatkan dan mengaktifkan seluruh sensori yang ada yaitu penglihatan, pendengaran, indera peraba, dan gerakan-gerakan. Selanjutnya menurut Waiman (2011) sensori integrasi adalah konsep neuroplasitistas

atau kemampuan sistem saraf untuk beradaptasi dengan input sensori yang lebih banyak. Berdasarkan konsep progres perkembangan, sensori integrasi terjadi saat anak mulai mengerti dan menguasai input sensori yang di alami.

Sensory integration (SI) adalah sebuah proses otak alamiah yang tidak disadari. Dalam proses ini informasi dari seluruh indera akan dikelola, disaring mana yang penting dan mana yang diacuhkan (Nanaholic, 2012 dalam Al Hazmi, 2014). Senada dengan Lakoff & Johnson (2003 dalam Park, 2012) pendekatan integratif sensorik mengatasi dasar abstrak berpikir yaitu bagaimana tubuh dan penginderaan akan berproses atas hidupnya kelak.

Terapis okupasi sensori integrasi dapat bermanfaat untuk autis (Case-Smith & Miller, 1999; Watling, Deitz, Kanny, & McLaughlin, 1999 dalam Watling, 2007). Senada dengan penyataan Watling et al., (1999 dalam Pfeiffer, 2011) sensori integrasi merupakan pendekatan pengobatan yang digunakan untuk anak-anak dengan sensory integration dysfunction (ASD).


(48)

Terapi ini dirancang untuk memberikan pengalaman sensorik yang dikendalikan sehingga adaptif respon motor akan timbul (Baranek, 2002 dalam Pfeiffer, 2011).

Secara teori, terapi ini menjelaskan proses biologis pada otak untuk mengolah serta menggunakan berbagai informasi secara baik dan sesuai situasi. Input sensorik bermacam-macam, bisa dirasa dengan rabaan, didengar, dilihat, dan dicium. Dengan sesorik pendengaran dan penglihatan yang baik dapat membuat anak membedakan suara dan warna. Anak autis sering mengalami masalah dengan daya sensoriknya karena alat-alat indera, serabut saraf, dan jaringan saraf mengalami gangguan sehingga peyampaian informasi ke otak tidak sempurna. Kondisi ini tergantung pada gradasi autis yang diderita setiap anak. Jika sensoriknya tidak bekerja dengan baik maka anak autis kurang atau tidak mampu menerima input sensorik dengan baik. Anak dianggap mengalami gangguan pertumbuhan sensori integrasi dan memerlukan terapi (Widyawati, 2003: 116).

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan modulasi sensorik yang berhubungan dengan perilaku, perhatian dan meningkatkan kemampuan untuk interaksi sosial, keterampilan akademik, dan kemandirian. Kegiatan tersebut akan direncanakan, dikendalikan, dan diarahkan sesuai dengan kebutuhan anak autis yang ditandai dengan penekanan pada stimulasi sensorik. Kegiatan ini dapat membantu saraf sistem memodulasi, mengatur, dan mengintegrasikan informasi dari lingkungan, sehingga dapat merespon dengan baik (Baranek, 2002 dalam Pfeiffer, 2011). Menurut Bundy et al.,


(49)

2002; Kimball, 1993; Smith Roley dan Spitzer, 2001 dalam Schaaf, 2005) terapi sensori integrasi akan melibatkan kegiatan motorik sensorik kaya taktil, vestibular, dan proprioseptif sensasi. Lingkungan terapi dirancang agar menyenangkan dengan sistem bermain agar tujuan tercapai. Kemudian terapis mengobservasi, mengamati dan menafsirkan perilaku untuk kepentingan anak.

Selanjutnya Reisman, (1993 dalam Smith 2005) menyatakan bahwa karakteristik harus mendalam dalam melakukan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan komunikasi preferensi, kontak mata, vokalisasi dari kesenangan, atau sedang santai, peringatan, atau tersenyum. Hal ini senada dengan Widyawati (2003: 116) yang menyatakan bahwa dengan terapi sensori integrasi anak dibimbing melakukan berbagai aktivitas yang akan memberinya berbagai input sensorik secara aktif. Terapi dirancang untuk memberikan perangsang vestibuler (keseimbangan), proprioseptif (gerak, tekan, dan posisi sendi otot), taktil (raba), audiotori (pendengaran), dan visual (penglihatan).

Terapi ini dilakukan dengan pendekatan terapi berdasarkan asumsi bahwa otak dapat dilatih untuk merasa, mengingat, dan mampu melakukan gerak yang lebih baik. Penekanan terhadap sensory motor untuk terapi ini dirancang serta diterapkan sesuai dengan sensasi gerak dengan bentuk informasi dan pesan sensoris dari lingkungan, kemudian diproses, dan diintegrasikan oleh otak melalui sistem saraf pusat. Selanjutnya akan


(50)

menjadi sebuah respon berupa gerakan-gerakan yang berarti sesuai dengan pikiran dan perasaan anak.

Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor (Widyawati, 2003: 7), sebagai berikut:

1. Berat-ringannya gejala dan gangguan di dalam sel otak.

2. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, semakin besar kemungkinan berhasil. Umur ideal adalah 2-5 tahun, saat sel otak masih bisa dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.

3. Makin cerdas anak semakin cepat menangkap hal-hal yang diajarkan. 4. Intensitas terapi dan seluruh keluarga harus ikut terlibat melakukan

komunikasi dengan anak.

Proses perkembangan sensory integration adalah menempati rangkaian kesatuan. Menurut Kranowitz, (1998: 48 dalam Delphie, 2009: 77) proses four levels of integration adalah sebagai berikut:


(51)

Gambar 1. Empat Tingkatan Sensory Integration

C. HUBUNGAN TERAPI SENSORI INTEGRASI TERHADAP

MOTORIK KASAR ANAK AUTIS

Terapi sensori integrasi atau sensory intregration adalah suatu metode proses pengorganisasian secara neurologis dari pengorganisasian informasi yang didapatkan dari seluruh tubuh dan dari dunia sekeliling yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat dilakukan pada seorang anak yang mengalami sensory integration dysfunction (SID) yang mengalami kekakuan. Anak-anak yang mengalami SID adalah anak-anak penyandang autis yang mengalami ketidakberfungsian saraf pusat yang mengakibatkan psikomotorik anak tersebut terganggu, sehingga mereka

Academic Skills Complex Motor Skills Regulation of Attetions

Organized Behavior Specialiation of Body and Brain

Visualization Self Esteem and Self Control

Auditory Perception Visual Perception Eye Hand Coordinator

(Pencil Skills) Visual Motor Integration Purposeful Acivity Body Percept (Body Awareness)

Bilateral Coordination (Teamed Use of Both Sldes of Body) Lateralization (Hand Preference)

Motor Planning (Praxis) Tactile Sense (Touch) Vestibular Sense (Blance and

Movement)

Proprioceptive Sense (Body Position) Visual and Auditory Sense

LEVEL FOUR: ACADEMIC READINESS By 6 years

LEVEL THREE: PERCEPTUAL-MOTOR SKILLS

By 3 years

LEVEL TWO: PERCEPTUAL

MOTOR FOUNDATION

By 1 years

LEVEL ONE: PRIMARY SENSORY SYSTEM By 2 months


(52)

mengalami kesulitan dalam mempelajari gerak motorik. Artinya perkembangan motorik mereka akan mengalami keterlambatan yang tidak sesuai dengan usia normal anak sebanyanya sehingga mereka dipandang VHEDJDL DQDN \DQJ ³WHUEHODNDQJ´ 'DUL VLQL PDND GLSLOLKODK SHUNHPEDQJDQ motorik kasar agar dapat terlihat jelas perkembangan yang dialami seorang anak melalui pengamatan.

Penelitian yang dilakukan Beth A. Pfeiffer., Kristie Koenig., Moya Kinnealey., Megan Sheppard., Lorrie Henderson (2011) diketahui bahwa hasil dari penelitian tersebut terdapat penurunan yang signifikan dalam tingkah laku autis yang terjadi pada kelompok yang mendapat sensori integrasi. Selain itu dapat mengidentifikasi ukuran tanggap sosial, pengolahan sensorik, keterampilan fungsional motorik, dan faktor sosial-emosional dengan tepat pada anak-anak dengan gangguan spektrum Autis (ASD). Selanjutnya penelitian Renee L. Watling dan Jean Dietz juga tentang intervensi integrasi sensorik ayres pada perilaku dan keterlibatan tugas anak-anak dengan gangguan spektrum autis (ASD). Dari penelitian ini tidak ada pola yang jelas dari perubahan perilaku yang tidak diinginkan atau tugas manajemen yang muncul melalui tujuan pengukuran. Namun jika integrasi sensorik Ayres dilakukan di lingkungan rumah akan menghasilkan sebuah efek yang jelas dan diinginkan. Pada penelitian yang dilakukan Petrin Kasdanel (2013) menggunakan pengukuran persentase huruf vokal yang dapat ditulis anak-anak autis sebanyak tiga sesi. Dari penelitian tersebut, setiap sesinya mengalami peningkatan. Sehingga dapat


(53)

disimpulkan metode sensori integrasi efektif dalam meningkatkan keterampilan menulis untuk anak autis di Ti-Ji Home Shooling Padang.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diharapkan terdapat pengaruh antara sensori integrasi dengan perkembangan motorik kasar anak autis agar mereka mampu melakukan gerak yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena keterampilan dan perkembangan motorik kasar anak memiliki komponen persepsi yang dapat menerima sebuah informasi dari lingkungan dengan menggunakan sensori integrasi. Persepsi tersebut akan terbentuk dengan baik, sebab terapi sensori integrasi dirancang dengan sistem bermain yang menyenangkan bagi anak. Berdasarkan hasil persepsi penerimaan informasi tersebut, informasi yang diterima akan diproses dan diintegrasikan oleh otak melalui sistem saraf pusat sehingga menghasilkan gerakan-gerakan yang diharapkan atau sesuai perintah yang diterima.

D. KERANGKA TEORITIS

Rarick, 1973 (dalam Saputra Y, 2005: 40 dalam Assjari, 2011) menyatakan bahwa anak yang diidentifikasi sebagai autis, kemampuan geraknya kurang dibanding dengan anak normal sebayanya. Hal ini diukur dari kemampuan gerak statis dan dinamis, kekuatan, koordinasi, keseimbangan dan kelincahan. Veskarisyanti, A. (2008: 47 dalam Assjari, 2011) menyatakan bahwa beberapa anak penyandang autis mengalami gangguan pada perkembangan motorik, otot kurang kuat untuk berjalan, serta keseimbangan tubuhnya kurang baik. Adapun pendapat bahwasanya


(54)

sekitar 40 persen anak autis memiliki beberapa ketidaknormalan kepekaan inderawi (Rimland, 1990 Assjari, 2011). Maka perkembangan mental yang tertinggal akan membawa dampak pada kemampuan motorik anak autis yang disebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pusat. Hal ini ditunjukkan dengan kurang mampu dalam aktifitas motorik untuk tugas-tugas yang memerlukan kecepatan gerakan serta dalam melakukan reaksi gerak yang memerlukan koordinasi motorik dan keterampilan gerak yang lebih kompleks, misalnya keterampilan bola, keseimbangan, deksteritas manual, gerakan cepat dan menulis dengan tangan.

Banyak penyebab terlambatnya perkembangan motorik, biasanya timbul dari kerusakan otak pada waktu lahir atau kondisi pralahir yang tidak menguntungkan. Akan tetapi keterlambatan ini lebih sering disebabkan oleh kurangnya kesempatan untuk mempelajari keterampilan motorik, perlindungan orang tua yang berlebihan, atau kurangnya motivasi anak untuk mempelajarinya. Namun hal-hal tersebut masih dapat dikendalikan namun sebagian lain tidak dapat dikendalikan (Tjandrasa, dkk. 1997: 164). Rahantoknam, (1998: 13) berasumsi bahwa semua keterampilan motor sensori memiliki komponen persepsi. Sesuai dengan konsep bahwasanya keterampilan motorik perlu dianalisis, baik dari prasyarat persepsi maupun dari prasyarat motorik. Untuk itu, maka keterampilan motorik digunakan untuk menunjukkan setiap aktivitas otot yang diarahkan kepada suatu tujuan khusus. Setiap kegiatan yang dilakukan ini dapat dilihat sebagai suatu rangkaian kesatuan yang terbentang dari gerakan yang luas sampai gerakan


(55)

yang kecil. Sehingga dapat memunculkan keterampilan motorik yang berjalan baik dan optimal secara keseluruhan.

Kemampuan motorik yang dapat terlihat berjalan secara baik dan optimal melalui kasat mata adalah motorik kasar dengan kegiatan melalui kehidupan sehari-hari anak normal maupun anak berkebutuhan khusus. Teruntuk anak berkebutuhan khusus, yaitu anak autis memerlukan sebuah terapi yang dapat membantu dalam menyusul keterlambatan perkembangan motorik kasar. Sehingga diperlukan lingkungan terapi sensori integrasi yang menyenangkan dengan sistem bermain agar sebuah tujuan mencapai sesuai harapan. Kemudian selama dilakukan terapi tersebut dapat dilakukan observasi, mengamati dan menafsirkan perilaku yang dilakukan untuk kepentingan anak itu sendiri. Diperoleh kerangka teoritik sebagai berikut:

Gambar 2. Kerangka Teoritik Peningkatan Perkembangan

Motorik Kasar Anak Autis Terapi Sensori Integrasi Efektif

Pemberian Terapi Sensori Integrasi

Motorik Kasar Anak Autis

Keterlambatan Perkembangan Motorik Kasar


(56)

E. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian teori diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: Terapi sensori integrasi efektif terhadap peningkatan yang positif terhadap perkembangan motorik kasar pada anak autis.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL 1. Terapi Sensori Integrasi

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah terapi sensori integrasi. Integrasi sensori atau sensory intregration adalah proses pengorganisasian secara neurologis dari penerimaan informasi yang didapatkan dari indera tubuh berdasarkan informasi dari dunia sekeliling yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Terapi sensori integrasi bermanfaat untuk anak-anak berkebutuhan khusus terutama untuk anak penyandang autis.

Terapi ini akan melibatkan kegiatan motorik sensorik yang menghasilkan sebuah sensasi gerakan berdasarkan persepsi informasi yang diterima seorang anak. Hal ini didasari atas asumsi bahwasanya otak dapat dilatih untuk merasa, mengingat, dan mampu melakukan gerak yang lebih baik berdasarkan informasi yang diterima. Selama terapi berlangsung akan dilakukan observasi, mengamati, dan menafsirkan perilaku yang dilakukan subjek. Terapi sensori integrasi ini akan dirancang dengan konsep yang menyenangkan bagi anak-anak agar mencapai tujuan yang diharapkan agar kelak membawa dampak yang positif dan baik bagi kelangsungan hidup anak-anak penyandang autis tersebut.


(58)

2. Perkembangan Motorik Kasar Anak Autis

Variabel independen dalam penelitian ini adalah perkembangan motorik kasar anak autis. Pada anak autis biasanya mengalami gangguan perkembangan motorik sehingga perlu dianalisis agar menjadi lebih terarah. Kemampuan gerak menurut Walkey (1996, dalam Sujiono 2010: 3.17 ± 3.23) sebagai berikut ini:

1) Berjalan mundur. 2) Berjalan lurus.

3) Berjalan di atas papan titian 4) Berlari

5) Memanjat.

6) Naik turun tangga.

7) Melompat dengan dua kaki.

8) Melompat dengan satu kaki bergantian 9) Melompat parit (dari titik A ke titik B). 10)Merayap lurus ke depan.

11)Merangkak lurus ke depan.

Berdasarkan pemaparan variable-variabel di atas, dalam penelitian ini yang akan di ukur adalah tahapan perkembangan kemampuan motorik kasar anak autis melalui tahapan skor yang telah ditentukan dengan menggunakan terapi sensori integrasi dengan bantuan terapis.


(59)

B. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 1 anak penyandang autis yang nantinya akan diberikan sebuah perlakuan. Adapun karakteristik subjek adalah sebagai berikut :

1. Subjek berusia 4 tahun.

2. Subjek berjenis kelamin laki-laki. 3. Mampu menerima instruksi terapis.

4. Perkembangan motorik kasar masih rendah. 5. Belum pernah menerima Terapi Sensori Integrasi.

Berdasarkan persyaratan kriteria tersebut, maka akan disiapkan keterangan kesediaan subjek untuk menjadi partisipan. Dalam hal ini yang akan ikut andil berperan adalah orang tua dari subjek yang telah bersedia bahwa sang anak akan menjadi partisipan dalam penelitian ini. Keterangan kesediaan tersebut akan terlampir.

C. DESAIN EKSPERIMEN

Jenis penelitian yang digunakan dalam terapi sensori integrasi untuk menaikan perkembangan motorik kasar anak autis adalah rancangan eksperimen yang termasuk dalam penelitian praeksperimen. Dimana eksperimen yang dilakukan dengan melakukan pengendalian terhadap variabel ± variabel yang berpengaruh dalam penelitian. Hal yang diutamakan adalah perlakuan saja, tanpa ada kelompok kontrol (Latipun, 2011: 58).


(60)

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kasus tunggal (single-case

experimental design) yang merupakan sebuah desain penelitian untuk

mengevaluasi efek suatu perlakuan (intervensi) dengan kasus tunggal (Kazdin,1992 dalam Latipun, 2011: 85). Pengukurannya dapat diulang dan proses perubahan dapat di monitor secara intensif. Pada desain subjek tunggal pengukuran variabel terikat atau target behavior dilakukan berulang

± ulang dengan periode waktu tertentu misalnya perminggu, perhari, perjam, atau permenit.

Perbandingan tidak dilakukan antar individu serta kelompok, tetapi dibandingkan dengan subjek yang sama dengan kondisi yang berbeda. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan desain eksperimen A ± B ± A Withdrawal. Desain A ± B ± A dengan prosedur variabel terikat (target

behavior). Desain yang digunakan pengukuran baseline sampai cukup stabil,

kemudian diberikan perlakuan (intervention) dan penambahan kondisi

baseline kedua setelah perlakuan. Apabila selama kondisi perlakuan perilaku

yang diamati menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan perilaku selama kondisi baseline, maka dipandang sebagai efek suatu perlakuan (Latipun, 2011: 91). Menurut Sunanto (2005: 59) mula-mula target behavior diukur secara kontinue pada kondisi baseline (A1) dengan periode waktu tertentu kemudian pengukuran pada kondisi intervensi (B), dilanjutkan pengukuran pada kondisi baseline kedua (A2). Penambahan kondisi baseline kedua (A2)

dimaksudkan sebagai kontrol untuk kondisi intervensi sehingga


(61)

antara variabel bebas dan variabel terikat. Selama penelitian eksperimen, khususnya pada tahap pre-test atau post-test, peneliti biasanya melakukan observasi dan pengukurannya dengan menggunakan instrumen-instrumen yang tersedia (Creswell, 2010: 237).

Pada penelitian ini akan menggunakan istilah pre-test (A1) yang mana artinya sama dengan kondisi baseline, treatment (B) yang mana artinya sama dengan kondisi intervensi, dan post-test (A2) yang mana artinya sama dengan kondisi baseline kedua. Adapun desain eksperimen single-case

experimental design sebagai berikut:

1. Mengadakan Pre-Test (A1)

Pemberian pre-test adalah untuk mengetahui sebelum diberikan terapi sensori integrasi terhadap perkembangan motorik kasar anak autis yang akan diobservasi menggunakan skala yaitu skala Geddes Psychomotor

Inventory (GPI).

2. Memberikan Treatment (B)

Selanjutnya memberikan treatment terapi sensori integrasi untuk melihat perkembangan motorik kasar anak autis. Saat pemberian treatment juga

diberlakukan observasi dengan menggunakan skala Geddes

Psychomotor Inventory (GPI).

3. Mengadakan Post-Test (A2)

Post-test diberikan dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat

perubahan perkembangan motorik kasar yang dialami subjek penelitian


(62)

perkembangan motorik kasar anak autis tersebut dilakukan dengan cara observasi menggunakan skala Geddes Psychomotor Inventory (GPI).

Alasan di pilih desain eksperimen ini adalah agar lebih fokus pada satu subjek disesuaikan dengan kriteria yang telah ditentukan, agar lebih nampak sejauhmanakah efektivitas dari terapi sensori integrasi dengan

melihat checklist observasi menggunakan skala Geddes Psychomotor

Inventory (GPI). Selain itu, ketidakmungkinan mengambil eksperimen

kelompok disebabkan setiap anak autis memiliki usia yang berbeda. Jika anak autis memiliki usia yang sama, namun perkembangan dan kemampuan motorik kasar mereka tetap akan berbeda. Sehingga kefektivitasan dari terapi sensori integrasi ini kurang nampak. Pernyataan ini diperkuat berdasarkan pernyataan Sumanto (1994, dalam Latipun, 2011: 86) yaitu

SHQJJXQDDQ NDVXV WXQJJDO VHULQJ GLSDNDL SDGD ³clinical setting´ WHNDQDQ

pokoknya adalah pada efek terapi, bukan kontribusi pada landasan penelitian. Berikut adalah tabel desain eksperimen yang akan digunakan:

Tabel 3 Desain Eksperimen

O ± O ± O X ± X ± X ± X ±X - X O ± O ± O SE A1 B A2 Keterangan :

SE : Subjek Eksperimen yang mendapatkan perlakuan terapi Sensori Integrasi

A1 : Pre-Test

B : Perlakuan Terapi Sensori Integrasi (Treatment) A2 : Post-Test


(63)

Untuk rancangan subjek tunggal, menggunakan grafik garis ± garis untuk baseline, sedangkan untuk unit waktu menggunakan grafik abscissa (poros horizontal) dan grafik ordinate (poros vertikal) untuk unit target perilaku dalam observasi treatment. Setiap data diformulasikan secara terpisah dalam grafik tersebut, lalu masing-masing data dihubungkan dengan garis-garis. Terkadang tes signifikansi statistik, seperti t-test digunakan untuk membandingkan rata-rata baseline dengan tahap-tahap treatment meskipun prosedur-prosedur seperti ini bisa saja melanggar asumsi ukuran-ukuran variabel bebas (Borg & Gall, 1989 dalam Creswell, 2010: 250).

Berikut adalah grafik struktur dasar desain A ± B ± A (Sunanto, 2005: 59):


(64)

D. PROSEDUR EKSPERIMEN

Pada penelitian eksperimen diperlukan prosedur-prosedur selama proses eksperimen (Creswell, 2010: 238 ± 239) meliputi:

1. Jenis rancangan eksperimen yang akan digunakan adalah rancangan

subjek tunggal (single subjek design) atau yang dikenal denga rancangan N of 1, mengharuskan peneliti untuk mengobservasi perilaku satu individu utama sepanjang penelitian.

2. Adapula praktek within group design yang meneliti perilaku seorang individu sepanjang waktu, yang di dalamnya peneliti menyajikan dan memberikan treatment terhadap individu tersebut pada waktu yang berbeda-beda untuk mengetahui dampaknya.

3. Memberikan diagram atau gambar yang dapat mengilustrasikan

rancangan penelitian yang telah dijelaskan pada desain penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu 3 minggu, di mulai pada tanggal 29 Juni 2015 ± 15 Juli 2015. Pada prosedur eksperimen akan menggunakan modul pelaksanaan terapi sensori integrasi dari awal sampai akhir yang akan dilakukan. Secara garis besar prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Tabel 4 Prosedur Penelitian Eksperimen Minggu Ke-1

Pertemuan 1 (25 Juni 2015) : Durasi 60 Menit

Mengajukan izin proposal penelitian ke Lembaga Terapi Anak Berkebutuhan Khusus Mutiara Bangsa dan mencari subjek 1 orang subjek melalui persyaratan subjek yang dijelaskan di atas pada bagian subjek penelitian.

Minggu Ke-2


(1)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini dapat di ambil kesimpulan bahwa:

Terapi sensori integrasi efektif dapat meningkatkan kemampuan perkembangan motorik kasar pada anak autis dalam jangka waktu 3 minggu

yaitu pada tanggal 29 Juni 2015 ± 15 Juli 2015. Terapi sensori integrasi

tersebut dapat dilakukan dalam jangka waktu tersebut mampu meningkatkan perkembangan motorik kasar pada anak autis. Berdasarkan hasil grafik analisis visual pada 11 aspek kemampuan motorik kasar mengalami peningkatan yang terlihat dari perubahan arah dan efeknya mengarah ke arah (+) dan persentase overlap treatment (B) ke post-test (A2) berada pada angka 0% yang berarti semakin kecil persentase overlap, maka semakin baik pengaruh treatment terhadap target behavior. Pada aspek berlari, naik turun tangga, merangkak lurus ke depan, merayap lurus ke depan subjek dapat melakukan sendiri, pada aspek berjalan lurus, berjalan di atas papan titian, memanjat, melompat dengan dua kaki, melompat dari titik A ke titik B subjek membutuhkan sedikit pertolongan terapis, pada asepek berjalan mundur subjek membutuhkan pertolongan seperlunya, dan pada aspek melompat dengan satu kaki bergantian subjek membutuhkan pertolongan sepenuhnya.


(2)

B. SARAN

1. Bagi Lembaga Terapi ABK Mutiara Bangsa

Menambahkan berbagai bentuk kegiatan lainnya agar terapi sensori integrasi ini menjadi salah satu terapi yang efektif untuk anak-anak autis dalam mengembangkan dan meningkatkan perkembangan yang dimiliki masing-masing anak.

2. Bagi Keluarga

Menambah informasi mengenai terapi sensori integrasi untuk meningkatkan perkembangan motorik kasar anak autis, lebih bersabar ketika anak sedang menjalani proses terapi karena anak autis memiliki kecenderungan belajar dengan waktu yang cukup lama dan menjaga asupan makan bagi anak (terapi diet makanan) untuk meminimalisirkan perilaku autistik anak.

3. Bagi Perkembangan Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya, jika ingin menggunakan metode eksperimen dengan subyek anak autis disarankan agar lebih mematangkan konsep yang akan dilakukan dan sedapat mungkin lebih mengarah pada ranah psikologi, sehingga nantinya dapat membantu para terapis, orang tua atau masyarakat dalam mengembangkan perkembangan dan potensi anak penyandang autis. Diharapkan pula lebih mengembangkan tema dengan metode-metode eksperimen baru yang lebih menarik dan bermanfaat untuk anak-anak berkebutuhan khusus secara psikologis.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al Hazmi, Dhofirul Fadhil Dzil Ikrom., Dkk. Kombinasi Neuro Evelopmental Treatment Dan Sensory Integration Lebih Baik Daripada Hanyaneuro Developmental Treatment Untuk Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Anak Down Syndrome. Sport And Fitness Journal Volume 2, No. 1 : 56 ± 71, Maret 2014

Anna, Lusia Kus. 2009. Jumlah Anak Autis Meningkat. Diakses 18 Januri 2015 Dari

Http://Health.Kompas.Com/Read/2009/12/21/11102245/Jumlah.Anak.Autis .Meningkat

Assjari, Musjafak,. Sopariah, Eva Siti. Penerapan Latihan Sensorimotor Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Pada Anak Autistic Spectrum Disorder. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 2, Maret 2011

Azwar, Saifuddin. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Creswell, John W. 2010. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed) Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dariyo, Agoes. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama (Psikoogi Atitama). Bandung: Refika Aditama

Delphie, Bandi. 2009. Pendidikan Anak Autisme. Sleman: PT. Intan Sejati Klaten

Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Fauziyah, Nailatin. 2011. Handout Mata Kuliah Psikodiagnostik 2 [Observasi]. Surabaya: Prodi Psikologi Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya Hetherington, Mavis., Parke, Ross D. 1993. Child Psychology A Contemporary

Viewpoint (Fourth Edition). New York: McGraw-Hill

Hakim, Arif Rohman. Soekardi, Soegiyanto. Pengaruh Usia Dan Latihan Keseimbangan Terhadap Kemampuan Motorik Kasar Anak Tunagrahita Kelas Bawah Mampu Didik Sekolah Luar Biasa. Journal Of Physical Education And Sports Volume 2 Nomor 1 2013.


(4)

Kasdanel, Petrin. Efektifitas Sensori Integrasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Permulaan Pada Anak Autis Di Ti-Ji Home Schooling Padang. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus Volume 1 Nomor 2 Mei 2013

Latipun. 2011. Psikologi Eksperimen. Malang: Universitas Muhammdiyah

Martine, T., Roelfsema., Rosa.A ., Hoekstra., Carrie A., Sally W., Carol B., Fiona E., Mayyhews., Simon B.C. (2001). Are Autism Spectrum Conditions More PrevalentIn An Information-Technology Region? A School-Based StudyOf Three Regions In The Netherlands. Journal Autism Dev Disord, DOI 10.1007 s/d 10803-011-1302-1.

0DV¶XGDK $WLN )LWUL\DWXO Meningkatkan Motorik Kasar Melalui

Permainan ³%DNLDN 5DFH´ 3DGD $QDN $XWLV +LSRDNWLI GL 6'1 ,QNOXVL Tandes Kidul 1 Surabaya. Universitas Negeri Surabaya: Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Luar Biasa

Melisa, Fenny. 2013. 112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme. Diakses 18 Januri 2015 Dari

Http://Www.Republika.Co.Id/Berita/Nasional/Umum/13/04/09/Mkz2un-112000-Anak-Indonesia-Diperkirakan-Menyandang-Autisme

Mufadhilah. Studi Pengasuhan Orangtua Pada Anak Autis. Jurnal Online Psikologi Vol. 02 No. 02, Thn. 2014

Papalia, Diane E. 2008. Human Development (Pandu Perkembangan). Jakarta: Kencana

Park, Melissa. Pleasure, Throwing Breaches, and Embodied Metaphors: Tracing Transformations-in-Participation for a Child With Autism to a Sensory Integration±Based Therapy Session. OTJR: Occupation, Participation and +HDOWK‡9RO1R6XSSO

Peeters, Theo. 2009. Panduan Autisme Terlengkap. Jakarta: PT. Dian Rakyat

Pfeiffer, Beth A., Koenig, Kristie., Kinnealey, Moya., dkk. Effectiveness of Sensory Integration Interventions in Children With Autism Spectrum Disorders: A Pilot Study. The American Journal of Occupational Therapy January/February 2011, Volume 65, Number 1

Rahantoknam, B. Edward. 1998. Belajar Motorik: Teori dan Aplikasinya Dalam Pendidikan Jasmani Dan Olahraga. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan


(5)

Schaaf, Roseann C., Miller, Lucy Jane. Occupational Therapy Using A Sensory Integrative Approach For Children With Developmental Disabilities. Mental Retardation And Developmental Disabilities Research Reviews 11: 143±148 (2005)

Smith, Sinclair A., Press, Bracha. Koenig, Kristie P., Dkk. Effects Of Sensory Integration Intervention On Self-Stimulating And Self-Injurious Behaviors. The American Journal Of Occupational Therapy July/August 2005, Volume 59, Number 4

Sujiono, Bambang. 2010. Metode Perkembangan Fisik. Jakarta: Universitas Terbuka

Sunanto, Juang., Takeuchi, Koji., dkk. (2005). Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal. CRICED University of Tsubuka

Surya, Mohammad. 2014. Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi (Dari Guru Untuk Guru). Bandung: Alfabeta

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC

Thompson, Jenny. 2010. Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Esensi Erlangga Group

Tjandrasa, Meitasari., Zarkasih, Muslichah. 1997. Child Development Sixth Edition. Jakarta: Erlangga

Ulmi, Nabila. Upaya Meningkatkan Kemampuan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Melalui Metode Totally Physical Response (TPR) Bagi Anak Autisme (Single Subject Research Di Kelas Iv SLB YPPA Padang). Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus Voume 1 Nomor 1 Januari 2013.

Waiman, Elina., Dkk. Sensori Integrasi: Dasar Dan Efektifitas Terapi. Sari Pediatri, Vol. 13, No. 2, Agustus 2011h

Wardani, Desi Sulistyo. Strategi Coping Orang Tua Menghadapi Anak Autis. Indigenous. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 11, No. 1, Mei 2009 : 26-35

Watling, Renee L., Diets, Jean,PPHGLDWH(IIHFWRI$\UHV¶V6HQVRU\,QWHJUDWLRQ± Based Occupational Therapy Intervention on Children With Autism Spectrum Disorders. The American Journal of Occupational Therapy september/October 2007, Volume 61, Number 5


(6)

Widyawati, Ika., Rosadi, Eliyati D., A. Yulidar. 2003. Terapi Anak Autis Di Rumah. Bogor: Puspa Swara

Winarno, F. G. 2013. Autis Dan Peran Pangan. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama

Yusuf, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan dan Anak. Bandung: Remaja Rosdakarya