Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini.

(1)

MARITAL READINESS PADA REMAJA YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

SHOFIANA NUR IVA B97212131

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

I IAI,AMAN I'IIRS II'[ U.I T]AN

Skripsi

l'Ia r i t u l ll e u tl i n e.v s pacla l{ernaj a yar g Mel ak urkan pe,rikaha' Dini

Oleh

Shollana Nur h.,a

t\972t2131

'l'elah Disctu.iui ur.rtuk Diajukan pacla Sicliurg Skripsi

Surabaya.

t

Agustlrs 2016


(3)

SKRIPSI

MARITAL READINESS PADA REMAJA YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI

Yang disusun oleh

SHOFIANA NUR IVA

B972t2t3t

Telah Dipertahankan di depan Tim Penguji

I 15 Agustus2016

{ffffi

esehatan

/

r, M.Pd Nip. 19591209 1001

Susunair'Tim Penguji

Soffy IvI.Psi

Nip. 197 999032001 .si

\.9

Penguji 4,

tl-ucky Abrorry, M.Psi Nip. 1 9791 0012006041005

\

mril


(4)

PERNYATAAN

-

-'r::-

-ri

sa)'a menyatakarr bahwa skripsi yang berjudttl "Marital Readiness

---

il::ra-ia )'ang Melakukan Pernikahan

Dini" merupakan

karya asli yang

:

.-\npel Surabaya. Karya ini sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat

,'

-

:.:.r pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali

-

-

::-,:r3 ter-tulis di acu dalam naskah ini dan disebutkar-r dalam daftar pustaka.

Surabaya, 1 Agustus 2016

Shofiana Nur Iva


(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : SHOFIANA NUR IVA NIM : B97212131

Fakultas/Jurusan : Psikologi dan Kesehatan E-mail address : iva17april@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Sekripsi Tesis Desertasi Lain-lain (………....………) yang berjudul :

"Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini’’

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 22 Agustus 2016

Penulis

(SHOFIANA NUR IVA)

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id


(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Marital Readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini, serta untuk mengetahui factor yang mempengaruhi marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana subjek dalam penelitian ini adalah pasangan remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 pasangan, serta 3 orang informan significan other dari masing-masing pasangan. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini tersebut masih kurang. Artinya pasangan tersebut kurang mempersiapkan dalam hal mental dan financial serta kurangnya pengetahuan dalam hal yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Berikutnya hasil dari factor yang mempengaruhi marital readiness tersebut adalah rendahnya tingkat pendidikan, ditambah lagi faktor tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih muda.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..…… i

HALAMAN PERSETUJUAN………...……….. ii

HALAMAN PERNYATAAN ………..……... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR TABEL ……….……….. ix

DAFTAR BAGAN... x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

INTISARI …………...……….. xii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. LATAR BELAKANG...1

B. FOKUS PENELITIAN...13

C. TUJUAN PENELITIAN...13

D. MANFAAT PENELITIAN...14

E. KEASLIAN PENELITIAN...15

BAB II KAJIAN PUSTAKA...19

A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI ... 19

1. Marital Readiness ... 19

a. Pengertian Marital Readiness ... 19

b. Faktor yang Mempengaruhi Marital Readiness ... 21

2. Remaja ... 22

a. Pengertian Remaja ... 22

b. Karakteristik Remaja ... 24

c. Tugas Perkembangan Remaja ... 26

3. Pernikahan Dini ... 28


(8)

b. Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini ... 31

c. Dampak dari Pernikahan Dini... 33

4. Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini ... 34

B. PERSPEKTIF TEORITIS ... 40

1. Teori Marital Readiness ... 40

2. Teori Remaja ... 41

3. Teori Pernikahan Dini ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. JENIS PENELITIAN ... 46

B. LOKASI PENELITIAN ... 48

C. SUMBER DATA ... 48

D. CARA PENGUMPULAN DATA ... 49

E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 50

F. KEABSAHAN DATA ... 51

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...53

A. DESKRIPSI SUBJEK...53

B. HASIL PENELITIAN...61

1. DESKRIPSI HASIL TEMUAN ...68

2. ANALISIS HASIL TEMUAN...70

C. PEMBAHASAN...73

BAB V : PENUTUP...84

A. KESIMPULAN...84

B. SARAN...85

C. KETERBATASAN PENELITIAN...86

DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL


(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Bagan Perencanaan Keluarga...39 Bagan 2.2 Teori Pernikahan Dini...43


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Pedoman Wawancara ………...…...xiii Pedoman Wawancara Significan Other………xiv

Lampiran II : Pedoman Observasi………...….….xv Lampiran III : Panduan Membaca Koding dalam Hasil Transkip

Wawancara………...…… ….…... xvi

Lampiran IV : Transkrip Hasil Wawancara ...…………..… xvii Lampiran V : Transkrip Hasil Observasi ………...…..… xxxix Lampiran VI : Lembar Kesediaan... …………..… xlii


(12)

INTISARI

Skripsi ini berjudul Marital Readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini, serta untuk mengetahui factor yang mempengaruhi marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana subjek dalam penelitian ini adalah pasangan remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 pasangan, serta 3 orang informan significan other dari masing-masing pasangan. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini tersebut masih kurang. Artinya pasangan tersebut kurang mempersiapkan dalam hal mental dan financial serta kurangnya pengetahuan dalam hal yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Berikutnya hasil dari factor yang mempengaruhi marital readiness tersebut adalah rendahnya tingkat pendidikan, ditambah lagi faktor tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih muda.

Kata Kunci : Marital Readiness, remaja, pernikahan dini

ABSTRACT

This thesis titled Marital Readiness in adolescents who commit early marriage. This study aims to describe marital readiness in adolescents who commit early marriage, and to determine the factors that influence marital readiness teens who had early marriage. This research is a descriptive qualitative study, in which subjects in this study were teenage couples who have been married at a young age is as much as three couples, as well as three informants a significant other of each pair. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth interviews and observation. The data obtained in the field was analyzed and compiled in a draft questions and answers between researchers described qualitatively. The results showed the conclusion that the picture of marital readiness in adolescents who commit early marriage is still lacking. This means that the pair less to prepare in terms of mental and financial as well as lack of knowledge in matters relating to domestic life. Next the result of factors that affect the marital readiness is the low level of education, plus factors that lower economic level of parents causing many parents marry off their children at a young age.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kesiapan (readiness) dalam psikologi berarti: 1) suatu keadaan siap

untuk bertindak atau berespon terhadap suatu stimulus, atau 2) derajat

persiapan untuk melakukan suatu tugas spesifik, atau suatu subjek yang

dibutuhkan untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna (meaningful

learning). (VandenBos, 2007 hlm 365).

Ditinjau dari asal kata, maka kesiapan menikah atau marital readiness bisa

diartikan sebagai keadaan siap berespon pada komitmen dan tanggung jawab

dalam pernikahan. Beberapa ahli mencoba merumuskan kesiapan menikah

sebagai:

1. Persepsi individu mengenai kemampuan diri untuk menjalankan

peran-peran yang ada dalam pernikahan dan melihat hal tersebut sebagai aspek

dari pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan. Persepsi

indvidu ini merupakan bagian dari sifat individu yang terbentuk dari

persepsi mereka mengenai proses interpersonal pasangan, dan faktor

sosial, keluarga serta faktor-faktor pribadi (Holman dan Li, 1997).

2. Persepsi individu adalah penilaian subjektif seseorang mengenai berapa

siap ia memenuhi peran dan tanggung jawab dalam pernikahan (DeLaph,


(14)

2

3. kemampuan individu untuk menyandang peran baru, sebagai suami atau

istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam

menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, serta

sumber finansial dan studi yang telah selesai (Wiryasti, 2004).

Wiryasti (2004) membagi kemampuan individu untuk menyandang peran

baru menjadi:

a. Komunikasi

b. Keuangan

c. Anak dan Pengasuhan

d. Pembagian peran suami istri

e. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar

f. Agama

g. Minat dan pemanfaatan waktu luang

h. Perubahan pada pasangan dan pola hidup

i. Latar belakang suku bangsa

Dari definisi di atas, maka kesiapan menikah (marital readiness) terdiri

dari kemampuan pasangan dalam komunikasi, pengaturan keuangan,

kesepakatan tentang pengasuhan anak, pembagian peran suami istri,

kemampuan menerima latar belakang pasangan (suku, agama), kemampuan

menjaga relasi dengan keluarga besar, kemmampuan membagi waktu untuk

berdua dan melaksanakan minat pribadi, kemampuan menghadapi perubahan


(15)

3

Pernikahan merupakan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk

bersuami dan istri dengan resmi. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974

pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Akhir-akhir ini muncul fenomena banyaknya remaja yang usianya relatif

masih muda dan belum mempunyai pekerjaan tetap, memilih untuk menikah.

Setiap individu yang telah mencapai usia matang pasti mendambakan sebuah

pernikahan. Pernikahan merupakan satu-satunya cara efektif untuk menjalin

hubungan dengan lawan jenis serta berbagi kedekatan secara emosional, fisik,

maupun ekonomi.

Menurut teori perkembangan dari Papalia, Olds & Feldman, (2007), masa

usia menikah adalah saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun atau menurut

Hurlock, (1999) antara usia 18-40 tahun.

Pernikahan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak

konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan

baru sebagai individu dewasa dan pergantian status lajang menjadi

sepasang suami-istri yang menuntut adanya penyesuaian diri

terus-menerus sepanjang pernikahan (Hurlock, 1999). Sebaliknya, individu yang

tidak memiliki kesiapan menuju kehidupan pernikahan belum dapat disebut

layak untuk melakukan pernikahan, sehingga mereka dianjurkan untuk


(16)

4

Marital Readiness merupakan hal yang sangat penting agar tugas-tugas

perkembangan yang harus dijalani setelah menikah tetap dapat terpenuhi.

Kesiapan menikah tidak dipandang dari usia individu yang akan menikah

(Duvall & Miller, 1985). Usia individu dalam menikah bervariasi

disebabkan oleh banyak hal antara lain (1) Pencapaian pendidikan; (2)

Perbedaan individu; (3) Perubahan keadaan sosial ekonomi (Duvall & Miller,

1985).

Persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting

dalam tahun-tahun remaja, dikarenakan munculnya kecenderungan menikah

dini dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas perkembanga mereka.

Persiapan mengenai aspek-aspek dalam pernikahan dan bagaimana membina

keluarga masih terbatas dan hanya sedikit dipersiapkan baik itu di rumah

maupun perguruan tinggi. Persiapan yang kurang inilah yang menimbulkan

masalah saat remaja memasuki masa dewasa (Hurlock, 1999).

Boykin & Stith (2007) mengemukakan bahwa kecenderungan

pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan berakhir pada

perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya

pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi

pernikahan. Untuk mengatasi masalah pernikahan di usia remaja tersebut,

maka pemerintah mengatur dalam hukum bahwa pernikahan hanya bisa

dilaksanakan ketika usia kedua pasangan telah menginjak usia dewasa.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)


(17)

5

Usia Perkawinan Pertama diijinkan apabila pihak pria mencapai umur 25

tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun.

Dalam undang - undang pernikahan no 1 (1974), pernikahan adalah ikatan

lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai seorang suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan batasan usia minimal

menikah untuk pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di dalam perubahan

undang – undang pernikahan no 1 (1974), menaikkan batasan umur minimum tersebut menjadi untuk pria 25 tahun dan wanita 20 tahun. Menurut

Sampoerna dan Azwar (1987), pernikahan dini adalah hubungan interaksi

secara intim yang diakui secara sosial dan terjadi pada masa pertumbuhan

anak menjadi dewasa. Masa terjadinya perkembangan seksual atau masa

dalam kehidupan yang dimulai dengan timbulnya

Meskipun batasan usia perkawinan telah ditetapkan dalam

Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, namun pada kenyataannya masih

banyak dijumpai kasus terjadinya perkawinan pada usia muda atau usia dini

Butuh banyak kesiapan untuk dapat melangsungkan perkawinan, antara

lain kesiapan mental dan kesiapan fisik, selain itu adapula ketentuan batasan

usia dalam menikah. Pasal 7 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa

untuk melangsungkan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai

umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua. Namun pada

kenyataannya masih banyak ditemukan orang atau pasangan yang menikah di


(18)

6

pembatasan usia perkawinan tersebut agar suami-istri dapat mewujudkan

tujuan perkawinan dengan baik, yaitu untuk membentuk keluarga yang

sakinah, untuk memenuhi kebutuhan biologis, untuk memperoleh keturunan,

untuk menjaga kehormatan, dan ibadah kepada Tuhan. Perkawinan yang

dilakukan oleh individu dengan usia dibawah batasan usia yang telah

ditentukan disebut perkawinan usia dini (Hurlock, Elizabeth, B. 1980).

Perkembangan kepribadian menjadi terbatas oleh kematangan relatif kedua

belah pihak yang terbatas atas apa yang dihadapi dalam kehidupan perkawinan

itu sendiri. Berbagai aspek kehidupan dunia luar yang berguna, yang dapat

diperoleh lewat pengenalan dengan orang lain tidak lagi terjangkau karena

mengharapkan pasangan akan memberikan penyelesaiaan terbaik bagi setiap

persoalan kebutuhan masing-masing. Dengan demikian terciptalah beban

realistik bagi masing-masing pihak. Hal tersebut dapat memicu terjadinya

konflik perkawinan. (Santrock, J. W. 2002)

Pernikahan usia dini telah banyak berkurang di berbagai belahan negara

dalam tiga puluh tahun terakhir, namun pada kenyataannya masih banyak

terjadi di negara berkembang terutama di pelosok terpencil. Pernikahan usia

dini terjadi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan di Indonesia serta

meliputi berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang, (Pambudy

:2008) Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus

dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang.


(19)

7

Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 secara eksplisit

menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia

dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini

merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang

terabaikan. (IHEU. UN publishes IHEU statement:2005)

Implementasi Undang-Undangpun seringkali tidak efektif dan

terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu

kelompok masyarakat. (UNICEF :2006)

Masa remaja akhir merupakan masa dimana individu perlahan

menyelesaikan perkembangannya dan memulai untuk hidup mandiri di

lingkungan masyarakat. Masa remaja akhir juga mempunyai berbagai tugas

perkembangan dan tanggung jawab pribadi kepada masyarakat. Individu yang

memasuki masa remaja akhir diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan

tugas perkembangannya yang baru di masa dewasa nanti dan mempunyai

kemampuan dalam berbagai ketrampilan, termasuk didalamnya ketrampilan

menyelesaikan permasalahan sendiri. (Santrock, J. W. 2003).

Tugas perkembangan masa remaja lainnya adalah mempersiapkan

kehidupan perkawinan dan keluarga dengan menemukan pasangan hidup,

selanjutnya berkomitmen untuk hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan

yang resmi secara hukum. (Santrock, J. W. 2002)

Dari hasil wawancara dengan subjek, yang bernama N yang di wawancarai


(20)

8

disimpulkan bahwa subjek menikah dini dengan alasan tidak ingin

membebankan neneknya dan merasa bahwa usia 16 tahun memang sudah

waktunya untuk menikah. Subjek juga beranggapan neneknya setuju dengan

keputusannya untuk menikah di usia dini. Subjek mengaku merasa senang

sudah menikah dengan pasangannya. Subjek beranggapan bahwa suaminya

tidak mau melakukan tugasnya sebagai ayah. Subjek merasa kesulitan

mengurus anaknya tanpa bantuan suaminya. Belum lagi subjek mengaku takut

dengan mertuanya yang galak.

Wawancara dengan suami subjek pertama bernama A yang menikah pada

umur 18 tahun mengatakan bahwa sang istri masih sering ngambek karena hal

kecil seperti ingin dibelikan baju, sementara suami subjek mempunyai

pendapatan yang pas-pasan. Suami subjek juga mengatakan bahwa istrinya

sampai saat ini masih belum bisa memasak dengan baik. (15 Juni 2016)

Wawancara dengan significan other subjek pertama yang dilakukan

ditanggal yang sama 14 Mei 2016, yaitu nenek subjek. Nenek subjek ini

mengaku menghormati keputusan cucunya. Nenek subjek mersa sangat

kasihan dengan subjek yang telah ditinggalkan ayah dan ibunya karena suatu

penyakit. Subjek mengurus adeknya sendirian. Oleh karena itu subjek dan

adeknya di asuh oleh nenek dari ayahnya. Nenek subjek mengaku senang

karena setelah menikah subjek tidak lagi merasa kesepian karena ditinggal

orang tuanya yang baru meninggal sekitar setahun sebelum pernikahannya.


(21)

9

Wawancara dengan tetangga subjek N pada tanggal 15 Mei 2016, tetangga

subjek mengaku sering mendengar subjek dan suaminya bertengkar, bahkan

ibu mertuanya sering ikut campur pertengkaran subjek dan anaknya itu.

Tetangga subjek juga merasa kasihan dengan subjek yang kesusahan

mengurus anaknya sendirian, belum lagi harus ikut berjualan suaminya di

pasar.

Subjek kedua yang menikah pada umur 17 tahun yang berhasil

diwawancarai bernama D yang dilakukan tanggal 14 Mei 2016. Dari hasil

wawancara dengan subjek, dapat disimpulkan bahwa D memutuskan untuk

menikah muda di karenakan subjek tidak ingin meneruskan sekolahnya.

Subjek merasa jenuh dengan sekolahnya dan memutuskan menikah. Subjek di

dukung ibunya untuk menikah. Walaupun ayah dan kakaknya tidak

mendukung hal itu, tapi subjek tetap bersikeras untuk menikah. Subjek

mengatakan bahwa suaminya jarang mengurus anaknya. Subjek mengurus

anaknya dengan dibantu oleh ibunya. Saat ini subjek mempunyai seorang anak

yang berusia 10 bulan.

Wawancara dengan suami D, yaitu J yang menikah umur 18 tahun, yang

diwawancarai pada tanggal 15 Juni 2016 mengatakan bahwa sang istri masih

bersikap manja dan sering marah-marah, membuat J sering jengkel dan sering

marah juga. J mengatakan bahwa sang istri dan dirinya sering bertengkar


(22)

10

Wawancara dengan significan other subjek kedua (14 Mei 2016) yaitu

ibunya, dapat disimpulkan bahwa ibunya cenderung santai menanggapi

anaknya yang ingin menikah muda. Ibu subjek beranggapan bahwa

seharusnya perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena kodrat

perempuan adalah menikah, mengurus anak dan suami. Ibu subjek juga

beranggapan bahwa tugas perempuan hanyalah memasak dan mengurus

rumah tangga. Pendidikan tidak lagi penting. Yang terpenting dapat lulus SMP

karena ibu subjek meyakini bahwa pemerintah mewajibkan wajib belajar 9

tahun. Dan itu yang sering dikatakan ibu subjek ketika banyak keluarga lain

yang menentang keputusan anaknya untuk menikah muda.

Wawancara dengan teman subjek D sekaligus tetangga subjek, bahwa D

sebelum memutuskan menikah, sudah merasa malas untuk melanjutkan

sekolah. Subjek juga sering menceritakan masalah rumah tangganya itu. (15

Mei 2016)

Dari hasil wawancara kedua subjek dan significan others, dapat

disimpulkan bahwa rata-rata significan other keduanya mendukung walaupun

subjek berusia sangat muda. Subjek yang melakukan pernikahan dini tersebut,

marital readiness subjek belum siap secara finansial dan emosional.

Kecenderungan memutuskan pernikahan dini agar tidak membebankan orang

tua karena faktor ekonomi.

Begitu juga yang dituturkan oleh tetangga atau teman masing-masing


(23)

11

maupun finansial. Sehingga masih perlu nasehat dari orang tua pada anaknya

yang melakukan pernikahan dini.

Subjek yang diteliti keduanya berasal dari Kabupaten Tuban. Tepatnya di

Tuban barat perbatasan Rembang Jawa Tengah. Sholihin Wakil Panitera PA

Tuban mengatakan, budaya ngebrok (tinggal serumah) pasangan yang belum

menikah kemudian berakhir kepada pernikahan di bawah

umur.(seputartuban.com)

(seputartuban.com) Zaman boleh jungkir balik dan kecanggihan teknologi

bisa mengubah segalanya. Tapi, di antara dua fakta masa ini budaya kawin

muda seolah masih menjadi fenomena cukup populer di Kabupaten Tuban,

yang dalam dua tahun terakhir gencar mengkampanyekan tagline bumi Wali.

Potret budaya kawin dini tersebut tampak jelas berdasar data yang

diperoleh seputartuban.com dari Pengadilan Agama (PA) Tuban, Rabu

(04/06/2014).

Dalam data itu disebutkan, laporan perkara tingkat pertama yang diterima

PA Tuban sepanjang Januari hingga Mei 2014 angka diska (dispensasi kawin)

tercatat 75 perkara. Kasus ini meningkat dalam kurun waktu sama tahun 2013

lalu yakni sebanyak 63 perkara. Artinya dari beda tahun tersebut terjadi selisih

15 perkara. Sehingga asumsinya tidak menutup kemungkinan untuk


(24)

12

Wakil Panitera PA Tuban, Sholihin Jami’, mengatakan perkawinan yang

diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan adalah jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak

wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Menurut Sholihin, bila tidak sesuai amanat pasal 7 tersebut dapat meminta

dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. “Hanya saja pemohon diska ini

rata–rata pasangan yang sudah hamil duluan,” ucap Sholihin kepada

seputartuban.com, Rabu (04/06/2014). [Di akses tanggal 15 Juni 2016]

Kenyataannya kasus pernikahan usia muda banyak terjadi. Pernikahan ini

terjadi tanpa persiapan yang matang. Oleh karena itu, marital readiness sangat

diperlukan, serta bagaimana pasangan suami-istri remaja tersebut mengelola

konflik pernikahan agar terbentuk keluarga yang harmonis seperti pada

pasangan suami-istri pada umumnya. Tingginya angka pernikahan muda

disebabkan kasus kehamilan di luar nikah dengan usia yang masih sangat

muda. Selain itu, budaya masyarakat yang masih menganggap perkawinan

muda adalah hal yang wajar, menjadikan perkawinan dengan diska masih

banyak terjadi di beberapa tempat di Kabupaten Tuban.

Menikah muda adalah suatu fenomena yang biasanya di sebabkan oleh dua

faktor yaitu karena kasadaran moral yang tinggi terhadap agama untuk

memelihara diri dari perbuatan hina dan faktor keterpaksaan karena

kecelakaan sebelum menikah. Sarwono (1994), mengatakan bahwa


(25)

13

seseorang sangat rentan terhadap perilaku seksual. Sanderowitz dan Paxman

(dalam Sarwono, 1994) mengatakan bahwa pernikahan dini juga sering terjadi

karena seseorang berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan,

mereka berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah.

Selain itu faktor penyebab terjadinya menikah muda adalah perjodohan

orangtua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah dan akibat

permasalahan ekonomi.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada remaja yang menikah usia 16-18 tahun, tentang

bagaimana mengetahui marital readiness remaja tersebut.

1. Bagaimana gambaran marital readiness remaja yang melakukan

pernikahan dini?

2. Apa faktor yang mempengaruhi marital readiness remaja yang melakukan

pernikahan dini?

C. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan

data empirik mengenai marital readiness remaja putri yang melakukan

pernikahan dini. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui gambaran marital readiness remaja yang melakukan

pernikahan dini

2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi marital readiness remaja


(26)

14

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis :

a. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberkan masukan yang

bermanfaat untuk ilmu psikologi, dengan memberi gambaran tentang

marital readiness pada remaja.

b. Diharapkan mampu memberikan solusi yang bermanfaat untuk remaja

yang akan melakukan pernikahan di usia dini.

c. Penelitian ini mampu memberikan pelajaran baru dan dapat

mengetahui bagaimana mejalin hubungan yang sehat dalam berumah

tangga.

2. Manfaat Praktis :

a. Penelitian ini diharapkan menjadi kajian dalam bentuk persiapan

pasangan ketika menjalani sebuah pernikahan.

b. Diharapkan dapat meningkatkan pemahaman para perempuan yang

akan pengambilan keputusan dalam menikah, memperhatikan dan

membimbing remaja untuk lebih matang dalam mengambil strategi

untuk menikah.

c. Diharapkan juga penelitian ini dapat memberikan gambaran remaja


(27)

15

E. KEASLIAN PENELITIAN

Dalam konteks ini penulis telah membaca dan mencari dari penelitian

yang telah dilakukan meneliti lain terutama dengan tema Kesiapan menikah

dan difokuskan pada pernikahan dini. Terdapat beberapa penelitian yang

dianggap relevan untuk mendukung dalam penelitian ini.

Penelitian pertama, berdasarkan penelitian yang pernah diteliti oleh

Fitri Sari, Euis Sunarti* Jur. Ilm. Kel. & Kons., September 2013, p : 143-153

Vol. 6, No. 3 ISSN : 1907 - 6037 yang berjudul “Kesiapan Menikah Pada

Dewasa Muda Dan Pengaruhnya Terhadap Usia Menikah” ditemukan hasil

penelitian yaitu Faktor kesiapan menikah yang teridentifikasi dari persepsi

dewasa muda terdiri atas kesiapan emosi, sosial, finansial, peran, kesiapan

seksual, dan kematangan usia. Terdapat perbedaan antara kesiapan menikah

bagi laki-laki dan kesiapan menikah perempuan. Faktor kesiapan menikah

laki-laki adalah kesiapan finansial, kesiapan emosi, kesiapan peran, kesiapan

fisik, kesiapan spiritual, dan kesiapan sosial. Faktor kesiapan menikah untuk

perempuan adalah kesiapan emosi, kesiapan peran, kesiapan finansial, dan

kesiapan fisik, kesiapan seksual, dan kesiapan spiritual. Karakteristik dewasa

muda yang memengaruhi usia ingin menikah adalah jenis kelamin, uang

saku, status berpacaran, dan urutan anak. Marital readiness juga berpengaruh

pada usia menikah. Semakin tinggi kesiapan usia dan kemampuan komunikasi

maka semakin muda usia menikah, namun semakin tinggi kesiapan finansial


(28)

16

Penelitian yang kedua, Jur. Ilm. Kel. & Kons., Januari 2010, p : 30-36

Vol. 4, No. 1 ISSN : 1907 berjudul “Persepsi Dan Kesiapan Menikah Pada

Mahasiswa” karya Diah Krisnatuti, Vivi Oktaviani* Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengetahuan tentang pernikahan berhubungan signifikan

dengan usia, jenis kelamin, dan IPK. Persepsi tentang pernikahan

berhubungan signifikan dengan jumlah saudara dan kebiasaan berdiskusi.

Persepsi tentang pernikahan dipengaruhi oleh jumlah saudara, diskusi

pernikahan dengan teman, dan pacar. Kesiapan menikah berhubungan

signifikan dengan frekuensi memperoleh informasi tentang pernikahan.

Kesiapan menikah dipengaruhi oleh usia, jumlah penyakit yang diderita, dan

cara untuk mengelola rumah tangga. Penelitian lanjutan disarankan juga

mengkaji variabel lain, seperti motivasi menikah, kematangan emosi, dan

kepribadian. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa usia berpengaruh terhadap

kesiapan. Hal ini sejalan dengan Puspitasari (1997) yang menyatakan bahwa

usia menikah, motivasi untuk menikah, karakteristik kepribadian yang

matang, dan penyesuaian diri yang baik berpengaruh terhadap kesiapan

menikah. Selain usia, kesiapan menikah dipengaruhi oleh cara mengelola

rumah tangga. Kesiapan menikah akan meningkat dengan semakin

diajarkannya cara mengelola rumah tangga.

Penelitian yang ketiga, Jur. Ilm. Kel. & Kons., Januari 2015, p : 28-37

Vol. 8, No. 1 ISSN : 1907 - 6037 berjudul “Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri, Dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun” karya Nurlita Tsania1,2*), Euis Sunarti3, Diah Krisnatuti3. Penelitian ini menunjukkan


(29)

17

beberapa implikasi penting terkait meningkatkan kesiapan menikah di

kalangan remaja yang bersiap menuju jenjang pernikahan dan manfaatnya

tidak hanya bagi stabilitas perkawinan namun juga untuk tumbuh kembang

anak yang optimal. Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat

kesiapan menikah istri masih relatif rendah khususnya kesiapan finansial

dan kesiapan intelektual. Sebagian besar istri belum mempersiapkan diri

dalam hal finansial seperti menabung, memiliki perhiasan atau investasi

lainnya hingga mencari ilmu terkait pengelolaan uang sebelum menikah.

Padahal, kesiapan financial indikator penting kesuksesan pernikahan.

Melihat penelitian diatas, yang membedakan penelitian ini dengan

penelitian-penelitian sebelumnya sehingga penelitian ini dirasa penting untuk

diteliti. Yang pertama, dari ketiga penelitian diatas, peneliti menggunakan

metode penelitian kuantitatif. Sementara pada penelitian ini, peneliti

menggunakan penelitian kualitatif, yaitu observasi dengan menggunakan

teknik wawancara secara mendalam untuk mengetahui kecenderungan remaja

memutuskan menikah dini serta gambaran remaja dalam marital readiness

remaja tersebut. Wawancara tidak hanya pada subjek yang bersangkutan tetapi

juga dengan significan other subjek seperti keluarga, teman, ataupun tetangga.

Perbedaan yang kedua yang membedakan dengan penelitian ini adalah

subjek yang diteliti. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, subjek yang

diteliti adalah usia dewasa awal. Sementara pada penelitian ini, peneliti

menggunakan remaja yang berusia 16-17 tahun yang telah menikah, untuk


(30)

18

fenomena banyaknya remaja yang usianya relatif masih muda dan belum

mempunyai pekerjaan tetap, memilih untuk menikah. Maka muncullah

pemikiran untuk meneliti fenomena ini. Sehingga penelitian ini menjadi


(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI

1. Marital Readiness a. Pengertian

Marital readiness menurut Duvall dan Miller (1985) adalah keadaan

siap atau bersedia dalam berhubungan dengan pasangan, siap menerima

tanggung jawab sebagai suami atau istri, siap terlibat dalam hubungan

seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak. Menurut Blood

(1978), kesiapan menikah terdiri atas kesiapan emosi, kesiapan sosial,

kesiapan peran, kesiapan usia, dan kesiapan finansial. Perubahan zaman

membuat kesiapan menikah menurut pandangan ahli belum tentu sesuai

dengan kesiapan menikah yang dibutuhkan calon pasangan pada saat

sekarang ini. Kesiapan menikah diasumsikan akan lebih dipikirkan oleh

dewasa muda, karena menikah adalah salah satu tugas perkembangan

masa dewasa muda. Erickson (1963) menambahkan bahwa masa dewasa

muda merupakan masa keintiman melawan isolasi (intimacy vs isolation)

Menurut Chaplin (dalam Kartono, 1997), kesiapan didefinisikan

sebagai keadaan siap siaga untuk mereaksi atau menghadapi stimulus.

Chaplin juga menambahkan bahwa kesiapan adalah tingkat perkembangan

dari kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan untuk


(32)

20

Marital readiness merupakan tugas perkembangan yang paling

penting dalam tahun-tahun remaja, dikarenakan munculnya

kecenderungan kawin muda dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan

tugas perkembangan mereka. Persiapan mengenai aspek-aspek dalam

pernikahan dan bagaimana membina keluarga masih terbatas dan

hanya sedikit dipersiapkan baik itu di rumah maupun perguruan

tinggi. Persiapan yang kurang inilah yang menimbulkan masalah saat

remaja memasuki masa dewasa (Hurlock, 1999).

Boykin & Stith (2004) mengemukakan bahwa kecenderungan

pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan berakhir pada

perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah

sedikitnya pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam

menghadapi pernikahan. Roesgiyanto (1999) menyatakan kesiapan untuk

menikah adalah keadaan seseorang yang sudah bersedia untuk menikah.

Faktor yang mendukung kesiapan seseorang untuk menikah adalah faktor

mental dan psikologisnya (Ustaimin, 1996).

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesiapan

untuk menikah adalah suatu keadaan di mana sesorang telah siap secara

fisik dan mental untuk menikah, agar pernikahan dapat berjalan

sebagaimana yang diharapkan, yaitu rumah tangga yang senantiasa


(33)

21

b. Faktor yang mempengaruhi marital readiness

Blood (1969) menyatakan bahwa marital readiness dapat dibagi

kedalam dua bagian, yakni kesiapan personal dan kesiapan kondisional.

Kesiapan personal terdiri dari kematangan emosional yang dipengaruhi

oleh usia, kematangan social, yang dipengaruhi oleh pengalaman pacaran

yang cukup, kesehatan emosional, dan persiapan peran. Sedangkan

kesiapan kondisional, terdiri dari sumber daya keuangan dan sumber daya

waktu.

Kesiapan pernikahan erat kaitannya dengan penyesuaian yang harus

dilakukan oleh individu setelah menikah nantinya. Menurut Hurlock

(1991), beberapa penyesuaian yang harus dilakukan yakni penyesuaian

dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan,

penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan, dan penyesuaian diri

terhadap masa ketika menjadi orang tua.

Dalam penelitian Holman& Li (1997) ditemukan bahwa faktor latar

belakang, kepribadian dan sikap individu, dan orang terdekat, secara

langsung dan/atau tidak langsung mempengaruhi individu

mempersepsikan kesiapan dirinya sendiri untuk menikah.

Dari beberapa teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

marital readiness, peneliti melihat bahwa dari berbagai uraian para tokoh

tersebut, diperoleh kesamaan mengenai area-area yang penting untuk

dipersiapkan sebelum pernikahan. Area-area tersebut yakni komunikasi,


(34)

22

belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan

pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup.

Adapun dalil yang memuat tentang kesiapan menikah adalah :

انـنْيـب ْعمـْجا َم َللا ،َيف ْم ل ْكراب ،ىلْها يف يل ْكراب َم َللا

رْيخ ىلإ تْقَرف اذإ انـنْيـب ْقِرف رْيخـب تْعمـج ام

Ya Allah, berkahilah istriku untukku, dan berkahilah diriku untuk istriku. Ya Allah kumpulkanlah kami, selama kumpul itu dalam kebaikan. Dan pisahkanlah kami jika perpisahan itu untuk kebaikan. (HR. Abdurrazaq dalam Mushannaf 10460 dan dishahihkan al-Albani)

“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yangtelah mampu untuk

kawin, maka hendaklah dia menikah.Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkanpandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapayang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim) (Al-Albani, 2008)

2. Remaja

a. Pengertian Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescene (kata

bendanya adolescenta yang berarti remaja) yang berarti tumbuh menjadi

dewasa (Hurlock, 2001). Pedoman umum masa remaja di Indonesia

menggunakan batasan usia 11 - 24 tahun dan belum menikah (


(35)

23

kematangan secara fisik, akal, kejiwaan dan sosial serta emosional. Hal ini

mengisyaratkan kepada hakikat umum, yaitu bahwa pertumbuhan tidak

berpindah dari satu fase ke fase lainya secara tiba-tiba, tetapi pertumbuhan

itu berlangsung setahap demi setahap (Al-Mighwar, 2006).Remaja juga

berasal dari kata latin "adolesence" yang berarti tumbuh atau tumbuh

menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi

yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik

(Hurlock, 1980: 206). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1986:

206) yang menyatakan bahwa: secara psikologis, remaja adalah suatu usia

di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana

anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua

melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam

masalah hak.

Remaja memiliki tempat di antara anak-anak dan orang tua karena

sudah tidak termasuk golongan anak tetapi belum juga berada dalam

golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (Monks,

2006: 260) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi

atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak

lagi memiliki status anak.

Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 23) bahwa remaja

(adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa


(36)

24

sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para

ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja

akhir merupakan masa seorang individu meninggalkan masa

kanak-kanaknya menuju masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan

biologis, kognitif, kemasakan seksual serta mencapai perkembangan

mental penuh yang terjadi dalam usia 18 sampai dengan 21 tahun.

b. Karakteristik remaja

Pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan

transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial akan dipaparkan di

bawah ini:

(1) Transisi Biologis

Menurut Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja

terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi

dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu,

yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah

pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi).

Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan

haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda

seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).

(2) Transisi Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002: 15) pemikiran operasional


(37)

25

operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran

operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwa remaja

terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang

dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata

mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan

hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi

juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan

baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih

mendalam. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih

nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan

logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak

misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga

lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan karakteristik ideal

dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis

yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana

untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara

pemecahan yang terpikirkan. Dalam perkembangan kognitif, remaja

tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya

interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja

(3) Transisi Sosial

Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja

mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain


(38)

26

sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif

terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan

remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat

merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan

remaja. John Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga menyebutkan

bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka

secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya

kematangan dan kompetensi sosial mereka.

c. Tugas perkembangan remaja

Tugas perkembangan pada masa remaja difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan prilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk

mencapai kemampuan bersikap dan berprilaku secara dewasa. Adapun

tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah

berusaha:

(1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

(2) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlawanan jenis.

(3) Mencapai kemandirian emosional

(4) Mencapai kemandirian ekonomi

(5) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat

diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

(6) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang-orang


(39)

27

(7) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan

untuk memasuki dunia dewasa.

(8) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan

Tugas-tugas perkembangan pada fase remaja ini amat berkaitan

dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal.

Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan

dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan itu dengan baik.

Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan. Pertumbuhan dapat

didefinisikan sebagai proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif

dan kontinu serta berlangsung dalam periode tertentu. Oleh karena itu dari

hasil pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan,

tulang dan otot-otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar,

dan organ tubuh menjadi lebih sempurna. Pada akhirnya pertumbuhan ini

mencapai titik akhir, yang berarti bahwa pertumbuhan selesai. Bahkan

pada usia tertentu, misalnya usia lanjut, justru ada bagian-bagian fisik

tertentu yang mengalami penurunan dan pengurangan.

Sedangkan perkembangan lebih mengacu kepada perubahan

karakteristik yang khas dari gejala-gejala psikologis ke arah yang lebih

maju. Para ahli psikologi pada umumnya merujuk pada pengertian

perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan

menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis yang baru.


(40)

28

biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis

dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis.Yaitu diantaranya ialah fitrah

kebutuhan biologis, saling membutuhkan terhadap lawan jenis yaitu

menikah. Fitrah pemberian Allah yang telah lekat pada kehidupan

manusia, dan jika manusia melanggar fitrah pemberian Allah, hanyalah

kehancuran yang didapatkannya.

3. Pernikahan Dini

a. Pengertian pernikahan dini

Pernikahan dini (early mariage) merupakan suatu pernikahan

formal atau tidak formal yang dilakukan dibawah usia 18 tahun

(UNICEF, 2014). Suatu ikatan yang dilakukan oleh seseorang yang

masih dalam usia muda atau pubertas disebut pula pernikahan dini

(Sarwono, 2007). Sedangkan (Al Ghifari , 2008) berpendapat bahwa

pernikahan muda adalah pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan remaja adalah antara usia 10 – 19 tahun dan belum kawin.


(41)

29

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa dengan batas minimal usia untuk melakukan pernikahan

yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Secara Hukum,

disebutkan dalam Undang-Undang perkawinan No.1 Pasal 1 Tahun 1974

bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria

dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga atau keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Sejalan dengan definisi undang-undang perkawinan, Landung dkk (2009)

menjelaskan bahwa pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang

melanggar aturan undang-undang perkawinan disebut dengan istilah

pernikahan dini.

Pernikahan dini pada umumnya dilakukan oleh gadis remaja

(Landung, 2009). Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan

pada usia terlalu muda, sehingga tidak ada/kurang ada kesiapan biologis,

psikologis maupun sosial. Pernikahan ini diselenggarakan pada rentang

usia dibawah 16 tahun tersebut akan memberikan dampak negatif pada

gadis remaja (menghalangi seorang perempuan dari kebebasan,

kesempatan untuk membangun diri, dan hak-hak lainnya) karena baik

fisik, psikologi, maupun biologis belum mencapai kematangan


(42)

30

kesimpulan maka definisi pernikahan dini adalah pernikahan yang

dilakukan oleh gadis remaja pada usia yang belum matang yakni di bawah

16 tahun. Dari segi psikologi, sosiologi maupun hukum Islam pernikahan

dini terbagi menjadi dua kategori: pertama, pernikahan dini asli yaitu

pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan oleh kedua

belah pihak untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud

semata-mata hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan

oleh kedua mempelai. Kedua, pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di

bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari

moralitas yang kurang etis dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan

hanya untuk menutupi perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua

mempelai dan berakibat adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena

pernikahan seperti ini, tampaknya antara anak dan kedua orang tua

bersama-sama melakukan semacam “manipulasi” dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan maksud untuk menutupi

aib yang telah dilakukan oleh anaknya (Jannah, 2012).

Pernikahan dini yang masih marak terjadi pada remaja Indonesia

khususnya remaja pedesaan diduga dipengaruhi oleh karakteristik individu

remaja sendiri. Karakteristik remaja, meliputi usia, tingkat pendidikan dan

tingkat kemandirian remaja. Usia diduga memiliki pengaruh pada

keputusan remaja untuk menikah dini. Dugaan tersebut sejalan dengan

penelitian Byrne dan Shavelson (1996) yang menunjukan bahwa seiring


(43)

31

pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan diduga memiliki pengaruh

terhadap tingkat keputusan remaja untuk menikah dini. Dugaan dalam

penelitian ini, semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh oleh

remaja maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya sehingga

berkorelasi dengan pola pikir remaja dalam pengambilan keputusan.

Tingkat kemandirian merujuk pada keinginan remaja untuk hidup secara

mandiri dan terlepas dari aturan orangtua yang dirasa mengekang

hidupnya, sehingga memutuskan untuk menikah dini.

b. Faktor yang mempengaruhi pernikahan dini

Salah satu faktor terjadinya pernikahan dini lainnya adalah pendidikan

remaja dan pendidikan orang tua. Dalam kehidupan seseorang, dalam

menyikapi masalah dan membuat keputusan termasuk hal yang lebih

kompleks ataupun kematangan psikososialnya sangat dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan seseorang (Sarwono, 2007).

Tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang rendah

dapat menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di

usia dini (Alfiyah, 2010). Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh (Nandang, dkk , 2009) yang menunjukkan bahwa

remaja muda yang berpendidikan rendah memiliki resiko 4,259 kali

untuk menikah dini daripada remaja muda yang berpendidikan tinggi.

Remaja yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi memiliki

resiko lebih kecil untuk menikah dini dibandingkan dengan remaja yang


(44)

32

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi seseorang dalam menyikapi masalah dan membuat

keputusan ataupun kematangan psikososialnya. Pendidikan orang tua

juga memiliki peranan dalam keputusan buat anaknya, karena di

dalam lingkungan keluarga ini, pendidikan anak yang pertama dan

utama (Nandang, 2009). Juspin (2012) mengemukakan bahwa peran

orang tua terhadap kelangsungan pernikahan dini pada dasarnya tidak

terlepas dari tingkat pengetahuan orang tua yang dihubungkan pula

dengan tingkat pendidikan orang tua.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pihak

orang tua terhadap anaknya salah satunya yang menonjol adalah faktor

pendidikan keluarga. Peran orang tua juga menentukan remaja untuk

menjalani pernikahan di usia muda. Orang tua juga memiliki peran yang

besar untuk penundaan usia perkawinan anak (Algifari, 2002). Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhajati, dkk (2013)

yang mengungkapkan bahwa keputusan menikah di usia muda sangat

ditentukan oleh peran oang tua. Peran orang tua sangat penting dalam

membuat keputusan menikah di usia muda dimana keputusan untuk

menikah di usia muda merupakan keputusan yang terkait dengan latar

belakang relasi yang terbangun antara orang tua dan anak dengan

lingkungan pertemanannya.

Selain itu faktor yang berhubungan dengan pernikahan dini


(45)

33

status sosial ekonomi serta masalah kesehatan dan kondisi tempat

seseorang bekerja (Guttmacher dalam Yunita, 2014). Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Zai (2010) yang

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan responden

dengan kejadian pernikahan dini.

c. Dampak Dari Pernikahan Dini

Dampak dari pernikahan dini bukan hanya dari dampak kesehatan,

Tetapi punya dampak juga terhadap kelangsungan perkawinan. Sebab

perkawinan yang tidak disadari,Mempunyai dampak pada terjadinya

perceraian(Lily Ahmad, 2008).

Pernikahan Dini atau menikah usia muda, memiliki dampak negative

dan dampak positif pada remaja tersebut. Adapun dampak paernikahan

dini adalah sebagai berikut:

(1) Dari Segi Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan

seks, sehingga akan menimbulkan truma psikis berkepanjangan dalam

jiwa anak yang sulit dissebuhkan. Anak akan murung dan menyesali

hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sedari tidak

mengeti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan

menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan ( Wajib

belajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta


(46)

34

(2) Dari Segi Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor social budaya dalam

masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah

dan hanya diangggap pelengkap seks laki-laki saja (Deputi, 2008).

(3) Dari Segi Fisik

Perempuan terlalu mudah untuk menikah di bawah umur 20 tahun

beresiko terkena kangker rahim. Sebab pada usia remaja, sel-sel leher

rahim belum matang (Dian Lutyfiyati, 2008).

4. Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah

mempersiapkan pernikahan dan keluarga. Persiapan pernikahan

merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam

tahun-tahun remaja. Hal ini dikarenakan munculnya kecenderungan kawin

muda dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas

perkembangan mereka (Hurlock, 1999).

Remaja Putri yang melakukan pernikahan dini akan mengalami

masa remaja yang diperpendek sehingga tugas dan ciri perkembangan

mereka juga mengalami penyesuaian (Monks, 2001).

Hurlock (1999) mengatakan bahwa semua periode perkembangan

memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode

denganperiode berikutnya. Masa remaja juga mempunyai ciri-ciri


(47)

35

mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas

perkembangan mereka juga ikut diperpendek dan masuk pada masa

dewasa (Monks, 2001).

a. Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode

peralihan yang cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah

beralih dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana remaja

harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan

harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan.

b. Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan,

yaitu meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan

minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen

terhadap setiap perubahan.

c. Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa

dewasa, tidak lagi pada ambang masa dewasa. Masa remaja

mereka menjadi diperpendek dan mereka harus meninggalkan

stereotip belasan tahun dan menjadi dewasa.

Menghadapi jenjang pernikahan dipermukan beberapa kesiapan

dalam menikah. Aspek kesiapan yang dikemukan oleh Blood (1978)

membagi kesiapan menikah menjadi dua bagian yaitu kesiapan

pribadi (personal) dan kesiapan situasi (ciscumstantial). Aspek-aspek

tersebut adalah :

a. Kesiapan pribadi (personal)


(48)

36

Kematangan emosi yang berarti kemampuan seseorang untuk dapat

siaga terhadap diri dan kemampuan mengidentifikasikan perasaan sendiri.

Kematangan emosi yaitu konsep normatif dalam perkembangan

psikologis yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang

yang dewasa. kematangan emosi berasal dari pengalaman yang cukup

terhadap suatu perubahan dan terhadap suatu permasalahan.

Kehidupan pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Seperti

yang terdapat pada Ayat Al qur an berikut :

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At-tahrim 6)

2. Kesiapan Usia

Kesiapan usia berarti melihat usia yang cukup untuk menikah.

Menjadi pribadi yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu,

sehingga usia merupakanhal yang berkaitan dengan kedewasaan.

3. Kematangan Sosial

Seseorang bisa saja dewasa secara emosional tapi bukan

berarti memiliki cukup pengalaman dalam kehidupan sosial orang

dewasa untuk siap menikah. Kematangan sosial dapat dilihat dengan

cukupnya pengalaman berkencan (enoughdating) dan cukupnya


(49)

37

4. Kesehatan emosional

Permasalahan emosional yang dimiliki oleh manusia,

diantaranya adalah kecemasan, merasa tidak aman, curiga dan

lain-lain. Setiap individu memiliki perasaan seperti itu, namun jika

hal itu berada tetap pada diri seseorang maka ia akan sulit

menjalin hubungan dengan orang lain.

5. Kesiapan Model Peran

Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik

dalam proses perkembangan mereka kelak. Mereka belajar apa

artinya menjadi suami mapun istri yang baik dengan melihat figur

ayah dan ibu mereka. orang tua yang memiliki figur suami dan istri

yang baik akan dapat memepengaruhi kesiapan menikahkan

anak-anak mereka yang nantinya akan mempengaruhi pola penyesuaian

pernikahan mereka.

b. Kesiapan Situasi

1. Kesiapan Sumber finansial

Kesiapan finansial tergantung dari nilai-nilai yang dimiliki

masing-masing pasangan. Pasangan yang menikah diusia muda yang masih

memiliki penghasilan yang rendah, maka sedikit banyak masih

memerlukan bantuan materi dari orang tua. Pasangan seperti ini

dikatakan belum mampu mandiri sepenuhnya dalam mengurus

rumah tangga yang memungkinkan akan menghadapi masalah


(50)

38

2. Kesiapan Sumber Waktu

Masing-masing pasangan perlu mempersiapkan rencana-rencana

untuk pernikahan, bulan madu, dan tahun-tahun pertama

pernikahan. Persiapan rencana yang tergesa-tergesa akan mengarah

pada persiapan pernikahan yang buruk dan memberi dampak yang

buruk pada awal-awal pernikahan.

Pernikahan di usia muda sangat rentan ditimpa masalah karena

tingkat pengendalian emosi belum stabil. Dalam sebuah perkawinan

akan dijumpai berbagai permasalahan yang menuntut kedewasaan

dalam penanganannya sehingga sebuah perkawinan tidak dipandang

sebagai kesiapan materi belaka, tetapi juga kesiapan mental dan

kedewasaan untuk mengarunginya. Biasanya kondisi dimana pasangan

yang tidak sanggup menyelesaikan serta menanggulangi permasalahan

yang terjadi dapat menimbulkan berbagai masalah lainnya yang dapat

mengarah pada perceraian keluarga. Sehingga banyaknya perkawinan

usia muda ini juga berbanding lurus dengan tingginya angka

perceraian. Banyaknya kasus perceraian ini merupakan dampak dari

mudanya usia pasangan bercerai ketika memutuskan untuk menikah.

Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan karena alasan

menikah muda, melainkan masalah ekonomi dan sebagainya, tetapi

masalah tersebut tentu saja sebagai dampak dari perkawinan yang

dilakukan tanpa kematangan diri dari segala aspek. Hal ini disebabkan


(51)

39

pertimbangan demi efisiensi waktu sehingga bukan menyelesaikan

masalah tetapi menumpuk masalah dengan masalah lainnya. Oleh

karena itu, marital readiness sangat diperlukan sebelum terjadinya

pernikahan.

Bagan 2.1

Usia subur atau reproduksi bagi seorang wanita dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Reproduksi muda adalah bila seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia15-20 tahun.

2. Reproduksi sehat adalah bila seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia 20-30 tahun.

3. Reproduksi tua bila seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia diatas 30 tahun.


(52)

40

B. PERSPEKTIF TEORITIS

1. Marital Readiness

Menurut Walgito (2004: 31-32), dalam hal umur dikaitkan dengan

perkawinan tidak ada ukuran pasti. Beberapa hal yang menjadi

pertimbangan perkawinan adalah :

a. Kematangan fisiologis dan kejasmanian

Bahwa untuk melakukan tugas sebagai akibat dari perkawinan

dibutuhkan keadaan jasmani yang cukup matang dan cukup sehat.

Pada umur 16 tahun kematangan emosi seorang wanita dan umur 19

tahun kematangan jasmani seorang pria diperoleh.

b. Kematangan Psikologis

Dalam sebuah perkawinan selalu diketahui akan terjadi berbagai

macam hal dimana diperlukan keadaan psikologis untuk mengatasinya.

Kematangan psikologis akan diperoleh ketika seseorang telah mampu

mempertanggung jawabkan segala perbuatan dan perkataannya dimana

akan diperoleh pada umur dewasa, yaitu umur 21 tahun.

c. Kematangan sosial terutama sosial ekonomi

Kematangan social, terutama social ekonomi sangat penting didalam

perkawinan, karena ekonomi merupakan penyangga roda

perekonomian keluarga. Pada umur yang masih muda, umumnya

belum mempunyai pegangan dalam hal sosial ekonomi. Padahal kalau


(53)

41

berdiri sendiri tidak menggantungkan kepada pihak lain termasuk

orang tua.

d. Kematangan spiritual

Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya kita

jalani, bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah satu

pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya. Dan

dengan segera menikah kita akan semakin mudah mendapatkan

kebaikan dan keberkahan. Jadi, kematangan spiritual atau religiusitas

sangat penting untuk terciptanya pernikahan yang harmonis.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita untuk mewujudkan tujuanperkawinan yang sebenarnya dan

disahkan secara hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Teori Remaja

No Teori para ahli Analisis Teori 1 Teori Psikososial

Erickson

Menurut teori ini, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan. Empat tahap pertama pada masa bayi dan remaja-remaja, tahap kelima pada masa adolesen dan tiga tahap terakhir pada dewasa dan masa tua. Delapan tahap ini, yang paling berpengaruh menurut Erickson adalah pada masa adolesen, karena pada masa tersebut merupakan masa peralihan dari masa remaja manuju dewasa. (Desmita : 2009)


(54)

42

2 Teori Piaget Dan Kognisi Remaja

Piaget menekankan bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakannya itu merupakan penyesuaian diri biologis. Dalam pandangan piaget, remaja membangun dunia kognitifnya sendiri; informasi tidak hanya tercurah dalam benak mereka dari lingkungan. Untuk memahami dunianya, remaja mengorganisasikan pengalaman mereka. Mereka memisahkan gagasan yang penting dari yang kurang penting. piaget (1954) percaya bahwa remaja menyesuaikan diri dengan dua cara : asimilasi dan akomodasi. Asimilasi (asimilation) terjadi ketika seseorang menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan yang sudah dimilikinya. Akomodasi (acomodation) terjadi ketika seseorang menyesuaikan dirinya terhadap informasi baru. (Ahmadi :2015)

3 Teori

PsikoseksualSigmund Freud (1856-1939)

Teori yang dikemukakan oleh Freud berfokus pada alam bawah sadar, sebagai salah satu aspek kepribadian seseorang. Penekanan Freud pada alam bawah sadar berasal dari hasil pelacakannya terhadap pengalaman-pengalaman pribadi para pasiennya, di mana ditemukan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa remaja-remaja sangat mempengaruhi kehidupan pasien di masa-masa selanjutnya. Impresinya terhadap pentingnya periode awal


(55)

43

kehidupan manusia, yang informasinya kemudian tertanam dalam alam bawah sadar itu sangat penting, karena dari situlah muncul berbagai gangguan emosi. (Ahmadi :2015)

3. Teori Pernikahan Dini


(56)

44

Fenomena pernikahan dini bisa dikaji dengan teori Interaksionisme

simbolik Max Weber. Dilihat dari pandangan Weber, pernikahan dini

terjadi karena individu–individu melakukan tindakan–tindakan yang berarti. Sesuai dengan tipe–tipe tindakan sosial Max Weber, yaitu rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan

tradisional, dan afektif.

Titik tolak baginya adalah mengenai individu yang bertidak yang

tindakan-tindakannya itu hanya dapat dimengerti menurut arti

subyektifnya. Kenyataan sosial baginya pada dasarnya terdiri dari

tindakan-tindakan sosial individu. Titik tolak Weber pada tingkat

individual mengingatkan kita bahwa struktur sosial atau sistem budaya

tidak dapat dipikirkan sebagai sesuatu yang berada secara terlepas dari

individu yang terlibat di dalamnya. Pemahaman terhadap tindakan sosial

dilakukan dengan meneliti makna subyektif yang diberikan individu

terhadap tindakannya, karena manusia bertindak atas dasar makna yang

diberikannya pada tindakan tersebut.

Fenomena pernikahan dini dihubungkan dengan teori Weber dapat

dinyatakan bahwa pernikahan dini tersebut merupakan symbol dari reaksi

individu karena adanya keinginan individu tersebut untuk melakukannya.

Ada tiga hal penting dalam interaksionisme simbolik menurut filsafah

pragmatis yakni (1) memusatkan perhatian pada interaksi antar aktor dan

dunia nyata yang lebih dikenal dengan dialektika, (2) memendang baik


(57)

45

statis, (3) dan arti penting yang menghubungkan kepada kemampuan aktor

untuk menafsirkan kehidupan sosial.

Teori Interaksionisme simbolik menurut Geroge Herbert Mead

George Herbert Mead, yang berpendapat bahwa manusia merupakan

makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Di

samping itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin

yang menyatakan bahwa dorongan biologis memberikan motivasi bagi

perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-dorongan tersebut

mempunyai sifat sosial. Di samping itu, George Herbert Mead juga

sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah

merupakan ekspresi dari perasaan George Herbert Mead juga dipengaruhi

oleh idealisme Hegel dan John Dewey. Sehubungan dengan ini, George

Herbert Mead berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk

menanggapi diri sendiri secara sadar, dan kemampuan tersebut

memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Pada

interaksi, hubungan di antara gerak serta isyarat tertentu dan maknanya


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk

mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi

adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. (Bandung :

Remaja Rosda Karya,2002)

Metodologi penelitian adalah serangkaian hukum, aturan, dan tata cara

tertentu yang diatur dan ditentukan berdasarkan kaidah ilmiah dalam

menyelenggarakan suatu penelitian dalam koridor keilmuan tertentu yang

hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Haris : 2010, hlm 3)

Menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh Mardalis dalam buku Metodologi

Penelitian suatu pendekatan proposal, penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang

berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis,

sistematis, dan konsisten. (Mardalis: 1995,hlm 24)

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Yang

dimaksud penelitian kualitatif ialah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistic, dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al Muhalla, Jilid VI, Beirut : Dar

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, Cet. VI, 2003, hlm. 78

Ahmad Rofiq, loc. Cit

Ahmadi, H. Abu dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan Untuk Fakultas Tarbiyah IKIP SGPLB Serta Para Pendidik Edisi Revisi. 2005. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Ali Imron, Kecakapan Bertindak dalam Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam dengan Hukum Positif di Indonesia), Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 hlm. 3

Alfiyah. 2010. Sebab-sebab Pernikahan Dini. http// alfiyah23.student.umm.ac.id. Diakses tanggal 20 Mei 2016.

Al-Gifari, A. 2002. Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza. Bandung : Mujahid Press.

Al-qur an Terjemahan

Andi.. Sarwono, S. 2007. Psikologis Remaja. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), Hlm;

109-110 Bandung : Mujahid Press.Jurnal Kesehatan Kartika STIKES A. Yani

BKKBN Provinsi Jateng tahun, 2003. Remaja Mengenali Dirinya. Blood, M. B. (1978). Marriage (3rd ed). New York, US: Free Press.

Boykin, Stith. 2007. Successfull Teenage Marriage : A Qualitative Study of Marriage


(2)

88

Creswell John, W. 2010. Research Dsign Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Mix, Edisi 3. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosda Karya,2002), hlm. 145

Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur’an Dan As Sunnah), Jakarta : Akademika Pressindo, Cet. III, 2003, hlm. 1

Departemen Kesehatan RI tahun 2000. Modul pelatihan Bimbingan dan Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja bagi Petugas kesehatan

Departemen Kesehatan RI. 2006. Panduan, Pengelolaan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi.

Deputi. 2008. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Desmita. Psikologi Perkembangan. 2008. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Dian Luthfiyati, 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan III. Jakarta :

Rineka Cipta.

Dinkes Jateng. 2007. Media Informasi Kesehatan. Semarang : Infokes

Duvall,E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development (9t ed). New York, US: Harper and Row Publisher.

Erikson, E. H. (1963). Childhood and Society (2nd ed). New York, US:Norton. Fitri, Sari. Kesiapan Menikah Pada Dewasa Muda Dan Pengaruhnya Terhadap

Usia Menikah Jur. Ilm. Kel. & Kons., September 2013, p : 143-153 Vol. 6, No. 3 ISSN : 1907 - 6037. [diunduh 22 Mei 2016].

Ghony, M. D & Fauzan Almanshur. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu social, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hal 3


(3)

89

Holman, T.B. & Li, B. D. (1997). Premarital factors influencing perceived readiness for marriage. Journal of Family Issues,

Holman, T.B, Larson, S.H, & Harmet,S.L (1994). The development: The preparation for marriage questionnaire. Family Relations, 43 (1) How Some Couples Have Made It Work. Virginia Polytechnic Institute and State university. Hurlock, E.B. (1991). Psikolgi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan (Terjemahan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta : Penerbit Erlangga

Hurlock, Elizabeth, B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hussein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), Yogyakarta : LKiS, 2007, hlm. 90

Ibn Qudamah, al Mughni, Beirut : Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, Juz VII, tt, hlm. 383-384

ICRW. Ending child marriage. [diunduh 22 Mei 2016]. Didapat dari: www.icrwindia.org. 2007

Idrus D Muhammad, 2009, Metodelogi Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Erlangga IHEU. UN publishes IHEU statement: child marriage is child abuse. [diunduh 22

Mei 2016]. Didapat dari: www.iheu.org. 2005. Indonesia. Jonatan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, hal 59. Jones. H. 2005. Konsep Kebidanan. EGC.Jakarta

Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1984

Landung, J., Thoha, Ridwan., Abdullah, Z.A. 2009. Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Kecamatan Sanggali Kabupaten Tana Toraja. Jurnal MKMI Vol 5 no.4 hal 89-94

Lily Ahmad, 2008. Metodologi Riset Keperawatan. Cetakan I. Jakarta : Infomedika.


(4)

90

M. Nashiruddin Al-Albani,2008. Ringkasan Shahih Bukhari Muslim, Jilid 1. Jakarta: Gema Insani

Manuaba, R.1998. Mengenal Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : EGC Mardalis, Metodologi Penelitian suatu pendekatan proposal, (Jakarta : Bumi

Aksara, 1995), hal 24

Moleong J Lexy, 2012, Metodologi penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditomo, S.R. 2006. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: UGM Press.

Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, Beirut : Dar al 'Ilmi lil Malayain, tt. hlm. 16

Mulyana Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya

Nad. 2014. Beragam Efek Buruk Pernikahan Dini.

http//www.beritasatu.com/gaya-hidup/177423-beragam-efek-buruk-pernikahandini.html. Diakses tanggal 20 Mei 2016.

Nandang M., Ijun R. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Usia . Jakarta : PT Rineka Cipta.

Nasution, Prof. Dr. S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.

Nurhajati L., Wardyaningrum D., (2013). Komunikasi Keluarga Dalam Pernikahan Dini . Jakarta : PT Rineka Cipta.

Nurlita, Tsania. Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri, Dan

Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun Jur. Ilm. Kel. & Kons., Januari 2015, p : 28-37 Vol. 8, No. 1 ISSN : 1907 - 6037

Pambudy MN. Perkawinan anak melanggar undang-undang

perkawinan. [diunduh 22 Mei 2016]. Didapat dari: http://cetak.kompas.com/read, 2008.


(5)

91

Papilia, D.E, Olds, S.W.,& Feldman, R.D. (2009). Human Development 11 th ed. New York.Mc Graw-Hill Pengambilan Keputusan Perkawinan. Jakarta : Universitas Al Azhar

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm. 334 dan 336

Salim, Agus. 2007. Teori sosiologi klasik dan modern , sketsa pemikiran awal. Semarang: UPT UNNES PRESS.

Sampoerno, D., & Azwar, A. 1987. Perkawinan dan kehamilan pada wanita usia muda. Jakarta : Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia.

Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup (5th ed) Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga. Sarwono, S. 2007. Psikologis Remaja. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Sarwono, S. W. 2006. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Siswanto, Wilopo, A. 2004. Ada Apa Dengan Gender?. Jakarta: Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN).

Sunarto, HM, Mpd, Drs. 2007. Bahan Penyuluhan BKR Tentang Materi Ketahanan Keluarga Bagi Calon Pengantin. Jakarta: Badan Kependdudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN).

Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddiey, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab), Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. IV, hlm. 232 al Fikr, Juz IX, tt, hlm. 458 dan 462

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

UNICEF. Child protection information sheet: child marriage. [diunduh 22 Mei 2016]. Didapat dari: www.unicef.org. 2006.

VandenBos, G. R. (Ed)APA dictionary of psychology. Wasington, DC: American Psychologycal Association


(6)

92

Vivi, Oktaviani. Persepsi Dan Kesiapan Menikah Pada Mahasiswa Jur. Ilm. Kel. & Kons., Januari 2010, p : 30-36 Vol. 4, No. 1 ISSN : 1907 [diunduh 22 Mei 2016]

Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Penerbit Wiryasti, C.H. (2004). Modifikasi dan Uji Validitas dan Reliabilitas Inventor

Kesiapan Menikah, Tesis. Universitas Indonesia

www.seputartuban.com, Rabu (04/06/2014) diakses tanggal 15 Juni 2016 Yunita, A. 2014. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

pernikahan usia muda pada remaja putri di desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo. Wonosobo : STIKES

Zai, F. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pernikahan dini pada remaja di Indonesia. Jakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia.