Pengaruh kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

(1)

i

TERHADAP KEPUASAN PERNIKAHAN WANITA

YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat- syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Disusun Oleh:

Agustin Harrum Sari

20607004161

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii

WANITA YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat- syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Agustin Harrum Sari

NIM : 206070004161

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi NIP. 19561223 198303 2 001 NIP. 19730328 200003 2 003

FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

iii

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan

Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan wanita yang melakukan Pernikahan Dini” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 14 September 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/ ketua Pembantu Dekan/ Sekretaris

Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota :

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si NIP. 19620724 19890 2 001

Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi NIP. 19730328 200003 2 003


(4)

iv Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Agustin Harrum Sari NIM : 20607004161

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh

Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan wanita yang melakukan Pernikahan Dini” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan- kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang- Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik- baiknya.

Jakarta, 14 September 2011

Agustin Harrum Sari NIM : 206070004161


(5)

v

Buah hasil kesabaran dan penantianku ini

aku persembahkan untuk kedua orang tua ku

dan semua orang yang mencintai dan


(6)

vi (A) Fakultas Psikologi

(B) September 2011

(C) Agustin Harrum Sari

(D) Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan

Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Pernikahan Dini

(E) 97 halaman + lampiran

(F) Tidak ada seorang wanita yang telah menikah tidak menginginkan kepuasan di dalam pernikahannya. Namun untuk memperoleh semua itu tidaklah mudah, karena mengingat adanya perbedaan pada setiap pasangan suami- istri baik dalam kemampuan dalam berkomunikasinya, kemampuan dalam memecahkan masalahnya, karakternya, kebutuhannya, dan lain- lain yang dimiliki oleh masing- masing pasangan. Dengan perbedaan yang demikian akan menyebabkan tercapainya suatu kepuasan pernikahan yang berbeda pula yaitu kepuasan pernikahan yang tergolong tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu faktor personal, faktor pemuasan kebutuhan psikologis melalui hubungan interpersonal, faktor anak, faktor seksual, faktor ekonomi/ finansial (pendapatan, tersedianya tempat tinggal), faktor kebersamaan, faktor interaksi yang efektif serta komunikasi yang baik, faktor hubungan dengan keluarga besar pasangan, faktor penyesuaian penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan dalam pernikahan, dan faktor peran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan

berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif dengan menggunakan jenis penelitian korelasional yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel- variabel yang berbeda dalam suatu populasi.

Analisis data yang digunakan adalah uji regresi ganda. Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah wanita yang menikah pada usia ≤ 18 tahun dan usia pernikahannya ± 5 tahun. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/ kuesioner. Instrumen yang digunakan pada skala kepuasan pernikahan berdasarkan indikator Lauer & Lauer, et. al (dalam Baron & Byrne, 2005) yang berjumlah 52 aitem, skala kemampuan berkomunikasi berdasarkan indikator dari Bochner & Kelly ( dalam Joseph A. DeVito, 1997 ) yang berjumlah 36 aitem, dan skala kemampuan memecahkan masalah berdasarkan indikator Parnes (dalam Utami Munandar, 1999) yang berjumlah 23 aitem.

Hasil penelitian secara umum menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap


(7)

vii

sumbangsih sebesar 89.5% terhadap kepuasan pernikahan pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Sedangkan 10.5% sisanya dipengaruhi oleh faktor- faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin meneliti dengan subjek yang menikah pada usia dini/ ≤ 18 tahun sebaiknya meneliti subjek yang melakukan pernikahan dini pada usia pernikahan minimal 6 bulan dan maksimal 1 tahun, agar dapat mengetahui seberapa besar kemampuan subjek yang telah menikah di usia dini dalam hal berkomunikasi dan memecahkan masalah pada rentangan usia remaja awal dan akhir. Selain itu menambahkan atau menggunakan variabel atau faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan selain kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah seperti pendapatan/ ekonomi, dan hubungan dengan keluarga besar pasangan.

Kata kunci : kepuasan pernikahan, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah


(8)

viii Assalamu’ alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia- Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang melakukan Pernikahan Dini”. Salawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar, Ph.D telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

2. Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berarti dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal. 3. Ibu Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi sebagai dosen pembimbing II yang telah

banyak memberikan arahan, bimbingan, dan masukan yang teramat bermanfaat dalam penyelesaian penelitian ini.

4. Seluruh dosen dan seluruh staf karyawan Fakultas yang telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

5. Camat Pamulang beserta staf, terima kasih telah memberikan kemudahan peneliti dalam melakukan penelitian di wilayah Pamulang.

6. Kepala KUA Pamulang dan staff yang telah membantu peneliti dalam penyelesaian penelitian ini.


(9)

ix

Kak Fitri. Terima kasih atas semua doa, dukungan, sumber inspirasi dan semangat yang telah kalian berikan kepada peneliti untuk selalu meneruskan perjuangan ini agar mencapai yang terbaik.

8. Kepada Panda Aditya Saputra dan keluarga, terima kasih atas doa, dukungan,

sumber inspirasi, semangat serta kesabarannya dalam membantu

penyelesaian skripsi ini.

9. Pak Chaidir dan Pak Badawi pengurus perpustakaan Fakultas Psikologi atas segala bantuan selama penulis menuntut ilmu.

10. Teman- teman Fakultas Psikologi Non- Reguler angkatan 2006 (meja besi), serta teman- teman seperjuanganku (Dewi, Sherny, Indri, Vera, Neta, Ita, Tsara, Bintang, Dedeh, Iha, Kak Lidya, Mbak Yue, Kak Retno, Kak Nida) yang telah memberikan dukungan dan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari dengan segala semua kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu peneliti mengucapkan maaf yang sebesar- besarnya. Mudah- mudahan penelitian skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya, terutama untuk peneliti sendiri.

Akhirnya peneliti ucapkan terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian skripsi ini. Wassalam.

Jakarta, September 2011

Peneliti


(10)

x

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

MOTTO... v

ABSTRAKSI... vi

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

1.2.1 Pembatasan Masalah... 7

1.2.2 Perumusan Masalah... 9

1.3 Tujuan Penelitian... 10

1.4 Manfaat Penelitian... 10

1.5 Sistematika Penulisan... 11

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pernikahan... 13

2.1.1 Pengertian Pernikahan... 13

2.2 Kepuasan Pernikahan... 15

2.2.1 Pengertian Kepuasan Pernikahan... 15

2.2.2 Faktor- faktor Kepuasan Pernikahan... 16

2.2.3 Indikator Kepuasan Pernikahan... 23

2.3 Kemampuan Berkomunikasi... 27

2.3.1 Pengertian Kemampuan Berkomunikasi... 27


(11)

xi

2.4 Kemampuan Memecahkan Masalah... 34

2.4.1 Pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah... 34

2.4.2 Proses Memecahkan Masalah... 36

2.5 Kerangka Berpikir... 44

2.6 Hipotesis... 47

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 50

3.1.1 Pendekatan Penelitian... 50

3.2 Variabel Penelitian... 51

3.2.1 Identifikasi Variabel... 51

3.2.2 Definisi Konseptual Variabel... 51

3.2.3 Definisi Operasional Variabel... 52

3.3 Populasi dan Sampel... 53

3.3.1 Populasi... 53

3.3.2 Sampel... 53

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 54

3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Penelitian... 54

3.4.1 Metode Pengumpulan Data... 54

3.4.2 Teknik Uji Instrumen Penelitian... 59

3.5 Prosedur Penelitian... 61

3.5.1 Persiapan Penelitian... 61

3.5.2 Pengujian Alat Ukur... 62

3.5.3 Pelaksanaan Penelitian... 66

3.5.4 Pengolahan Data... 66

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1 Gambaran Umum Responden... 67

4.1.1Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia Saat Menikah 67 4.1.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Pendidikan... 67


(12)

xii

4.2 Deskripsi Data... 69

4.2.1 Kategorisasi Kepuasan Pernikahan... 70

4.2.2 Kategorisasi Kemampuan Berkomunikasi... 71

4.2.3 Kategorisasi Kemampuan Memecahkan Masalah... 73

4.3 Hasil Uji Hipotesis... 75

4.3.1 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Berkomunikasi, Kemampuan Memecahkan Masalah, dan Aspek Demografi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 75

4.3.2 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 78

4.3.3 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan... 83

4.3.4 Hasil Uji Regresi Aspek Demografi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 85

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 89

5.2 Diskusi... 90

5.3 Saran... 93

5.3.1 Saran Teoritis... 93

5.3.2 Saran Praktis... 94


(13)

xiii

Tabel 3.1 Skor Pernyataan... 55

Tabel 3.2 Blue Print Kepuasan Pernikahan... 55

Tabel 3.3 Blue Print Kemampuan Berkomunikasi... 57

Tabel 3.4 Blue Print Kemampuan Memecahkan Masalah... 58

Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas... 60

Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Skala Kepuasan Pernikahan... 62

Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Skala Kemampuan Berkomunikasi... 64

Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Skala Kemampuan Memecahkan Masalah 65 Tabel 4.1 Gambaran Umur Responden Berdasarkan Usia Saat Menikah 67 Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Pendidikan... 68

Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Subjek... 69

Tabel 4.4 Skor Skala Kepuasan Pernikahan... 70

Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Kepuasan Pernikahan... 71

Tabel 4.6 Skor Skala Kemampuan Berkomunikasi... 72

Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Kemampuan Berkomunikasi... 73

Tabel 4.8 Skor Skala Kemampuan Memecahkan Masalah... 74

Tabel 4.9 Kategorisasi Skor Kemampuan Memecahkan Masalah... 75

Tabel 4.10 Model Summary Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah tehadap Kepuasan Pernikahan... 76

Tabel 4.11 Anova Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah tehadap Kepuasan Pernikahan... 77


(14)

xiv

Tabel 4.13 Model Summary Kemampuan Berkomunikasi tehadap

Kepuasan Pernikahan... 78

Tabel 4.14 Anova Kemampuan Berkomunikasi tehadap Kepuasan

Pernikahan... 79

Tabel 4.15 Proporsi Varian pada aspek- aspek variabel Kemampuan

Berkomunikasi... 80

Tabel 4.16 Model Summary Aspek Keterbukaan (Kemampuan

Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 80

Tabel 4.17 Model Summary Aspek Empati (Kemampuan Berkomunikasi

Terhadap Kepuasan Penikahan)... 81

Tabel 4.18 Model Summary Aspek Sikap Positif (Kemampuan

Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 82

Tabel 4.19 Model Summary Aspek Kesetaraan (Kemampuan

Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 82

Tabel 4.20 Model Summary Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap

Kepuasan Pernikahan... 84

Tabel 4.21 Anova Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan

Penikahan... 84

Tabel 4.22 Model Summary Aspek Usia Subjek Saat Menikah (Aspek

Demografi terhadap Kepuasan Pernikahan)... 85

Tabel 4.23 Model Summary Aspek Pendidikan Terakhir Subjek saat


(15)

xv


(16)

xvi

2.1 Gambar Proses Komunikasi... 29 2.2 Gambar Alur Pemecahan Masalah... 37

2.3 Gambar Kerangka Berpikir Penelitian Pengaruh Kemampuan

Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Pernikahan Dini... 46


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan perkembangan hidup manusia, setiap manusia mengalami perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Salah satu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia adalah menikah. Ada satu tahapan perkembangan dimana tujuan besar seorang perempuan yang belum menikah adalah tahapan untuk menjalani suatu perkawinan (Hurlock, 1991). Menikah merupakan tahapan dari kehidupan, yang merupakan suatu usaha untuk membina hubungan dengan orang lain dalam diri masing- masing untuk membentuk kehidupan rumah tangga.

Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah suci, sunnah Rasul, dan Ibadah. Oleh karena itu setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga secara Islam dan hidup secara Islami. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW lewat sabdanya : “Hai para remaja, barangsiapa di antara kalian telah mampu menjalankan sebuah pernikahan maka menikahlah dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa akan menghindari perbuatan dosa” (H.R. Muslim).

Pada prinsipnya, pernikahan diawali dengan niat atau nawaitu selain itu pernikahan perlu didasari sikap saling asih-asah-asuh antara pasangan suami-istri. Semua itu tidak lepas dari peran serta agama, karena agama sangatlah berperan dalam mempererat hubungan suami-istri di dalam sebuah pernikahan.


(18)

Di dalam pernikahan sudah pasti setiap pasangan memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar dapat terpenuhinya sebagian besar kebutuhan pribadi, karna setiap orang yang memasuki kehidupan pernikahan pastilah berdasarkan kebutuhan, harapan dan keinginannya sendiri-sendiri. Pemenuhan kebutuhan psikologis adalah alasan terpenting untuk memasuki pernikahan. Tujuan yang jelas akan membimbing pasangan suami- istri untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, karna keharmonisan dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari tujuan awal dalam membangun rumah tangga.

Semua pasangan suami istri, menginginkan memperoleh kepuasaan di dalam pernikahannya. Karena pernikahan yang memuaskan merupakan dambaan setiap pasangan suami istri, kepuasan pernikahan antara suami dan istri akan tercapai jika kebutuhan- kebutuhan individu dapat terpenuhi antara lain kebutuhan sosial, psikologis, dan biologis.

Kepuasan pernikahan seseorang merupakan penilaiannya sendiri terhadap situasi perkawinan yang dipersepsikan menurut tolak ukur masing- masing pasangan. Oleh sebab itu, diduga bahwa keberhasilan dalam pernikahan tergantung pada kebahagiaan dari pribadi individu. Tidak sedikit dijumpai adanya ketidak harmonisan di dalam hubungan pernikahan, baik yang baru menikah bahkan yang sudah bertahun- tahun menikah (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005).

Menurut pandangan Islam di dalam surat Ar-Rum ayat 21, bahwa pernikahan dapat menciptakan ketentraman lahir dan batin antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga yang tentram, nyaman, damai dan sejahtera, ketika terpenuhi hak dan kewajiban suami istri dengan baik. Karena kepuasan


(19)

pernikahan yang ingin dicapai oleh setiap orang tidak muncul dengan sendirinya, tetapi hal tersebut harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua belah pihak yaitu suami dan istri.

Adapun pengertian dari Kepuasaan Pernikahan adalah suatu pengalaman subjektif, perasaan yang kuat, dan yang didasarkan pada faktor dalam individu yang mempengaruhi kualitas interaksi dalam pernikahan (Weiss, 2005).

Seiring dengan berjalannya waktu, dalam kehidupan pernikahan kemungkinan akan muncul berbagai permasalahan, yang sedikit banyak mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Singkatnya, setiap perkawinan tidak akan terhindar dari konflik, kecuali bila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan memutuskan untuk mengalah (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005). Serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gurin, Geroff, Feld (dalam Michael dan Savitri, 1994) bahwa sebesar 45 % orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah. Karena di dalam semua perkawinan terdiri dari individu yang unik, maka keunikan inilah yang sering menyulitkan suami- istri untuk saling mengerti, memahami dan mengakomodasi (Izzatul Jannah, 2008 ).

Dari keunikan itulah, terkadang menimbulkan masalah jika keduanya tidak saling berusaha memahami, beradaptasi dan menerima perbedaan yang ada. Walaupun sudah secara matang dipersiapkan dan cukup mendalam perkenalan pribadi antara pasangan, juga tidak luput dari perselisihan- perselisihan faham atau pertengkaran- pertengkaran, baik itu yang berasal dari pasangan, lingkungan luar, atau bahkan berasal dari dalam diri sendiri.


(20)

Tetapi perbedaan- perbedaan tersebut bukanlah penghalang bagi pasangan untuk mendapatkan kebahagiaan. Diduga, banyak pula pasangan yang melakukan pernikahan dini yang sebenarnya tumbuh dari perbedaan- perbedaan yang ada diantara kedua pasangan, tetapi menjadi cocok setelah beberapa saat hidup bersama dan tidak berarti bahwa kalau seseorang cukup mengenal calon pasangannya akan menjamin terjalinnya kehidupan perkawinan yang memuaskan kedua belah pihak. Maka pemilihan pasangan hidup dalam pernikahan dini dibutuhkan penyesuaian dengan pasangannya, seperti : penyesuaian minat, temperamen, dan cara- cara mengungkapkan kasih sayang (Hurlock, 1994).

Tetapi, seringkali ditemui kenyataan bahwa pasangan suami- istri yang menikah di usia dini memiliki perbedaan persepsi terhadap pemenuhan kebutuhan pasangannya. Hal tersebut dapat mengakibatkan permasalahan rumah tangga antara suami- istri. Akan tetapi pada pasangan yang menikah muda, kecenderungan untuk berdamai kembali setelah mengalami konflik lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang berusia 40- an. Hal ini serupa dengan Papalia & Olds (dalam M. Fauzil Adhim, 2002) mengemukakan bahwa kecenderungan untuk rujuk atau berdamai kembali stelah mengalami konflik pada pasangan muda sebesar 89%, sedangkan pada mereka yang berusia 40- an hanya sebesar 31%.

Karena itu, para pasangan suami- istri yang menikah pada usia dini dalam mengatasi permasalahan dalam pernikahan mereka membutuhkan kedewasaan, dalam arti dewasa secara mental bukan hanya usia. Bisa saja seseorang yang sudah dewasa usia tetapi belum memiliki kedewasaan secara mental, sebaliknya


(21)

seseorang atau pasangan suami- istri yang menikah pada usia ≤18 tahun kedewasaan secara mental sudah ada dalam diri mereka masing- masing, karena yang menyebabkan pernikahan usia muda rentan konflik bukan terletak pada usia, melainkan pada aspek- aspek mental yang bersangkut paut dengan proses pembentukkan rumah tangga (dalam M. Fauzil Adhim, 2002).

Dalam hal ini, sekecil apa pun masalah yang sedang dihadapi tidak akan bisa selesai jika hanya dibiarkan tanpa pemecahan masalah. Pemecahan masalah tersebut harus melibatkan usaha bersama (suami dan istri), agar dapat memperoleh solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Salah satu solusi dalam pemecahan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga adalah melakukan komunikasi yang efektif. Hendaknya suami dan istri yang masuk di dalam pernikahan usia muda dapat saling memahami satu sama lain. Walau memiliki latar belakang yang berbeda, sebagai suami istri harus bisa saling memahami satu sama lain. Setiap masalah yang terjadi harus diselesaikan dengan kepala dingin. Karena konflik sering muncul disebabkan oleh komunikasi yang buruk antara suami dan istri, tetapi komunikasi juga dapat menyelesaikan masalah jika komunikasi berjalan dengan lancar. Davis, 2004 (dalam Rita Eka Chandrasari, 2009) menyatakan, bahwa para pasangan yang mengalami masalah pernikahan seringkali menyebutkan kurangnya komunikasi sebagai penyebab utama munculnya masalah antara mereka.

Dalam hal ini, pasangan suami- istri seharusnya memiliki ketrampilan komunikasi yang lebih baik. Agar mereka dapat belajar bagaimana cara menghadapi perbedaan-perbedaan diantara mereka. Karena, komunikasi yang baik terjadi


(22)

ketika masing- masing pasangan mampu mengungkapkan isi hatinya secara terbuka dengan kontrol emosi yang baik. Olson (dalam Olson, 2002) menemukan 79 % pasangan merasa senang apabila pasangannya mampu memahami dirinya, 96% pasangan merasa senang apabila dapat mengekspresikan perasaannya, 83% pasangan merasa senang apabila mereka menjadi pendengar yang baik, dan 79% pasangan merasa senang apabila pasangannya menghargai setiap pendapat yang diberikan pasangannya. Begitupun Navron & Orthner, 1976 (dalam Izzatul Jannah, 2008) menyampaikan pendapat yang serupa, bahwa pasangan yang telah menikah akan merasa dimengerti oleh pasangannya apabila mereka tahu bagaimana cara menyampaikan pesan mereka.

Oleh sebab itu, betapa pentingnya pasangan suami- istri memiliki kemampuan dalam berkomunikasi, karena kemampuan berkomunikasi yang dimiliki pasangan suami- istri dapat mengatasi kebingungan, kesalahpahaman dan perbedaan pendapat antara suami- istri yang dapat berujung pada permasalahan di dalam rumah tangga. Sebagaimana hasil penelitian Namun- Mee Lim (Universitas Tunku Abdul Rahman- Malaysia, 2011), menyatakan bahwa pada pasangan yang menikah di usia 18 tahun semakin memiliki kemampuan komunikasi yang baik, semakin baik pula dalam menangani konflik yang terjadi.

Jadi, dua orang yang menjalani sebuah pernikahan dan tinggal di dalam satu atap, besar kemungkinan untuk hidup dengan suatu permasalahan, yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan. Meskipun di dalamnya terdapat komunikasi yang intens antara suami- istri yang cukup lama akan dapat membantu menyelesaikan masalah, tetapi dapat diduga bahwa mereka (suami- istri) tidak


(23)

dapat saling mengerti dan memahami pesan yang disampaikan dalam pemenuhan kebutuhan pasangannya. Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Perniakahan Dini”.

1.2.

Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1.2.1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan pada penelitian ini tidak meluas maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian, yaitu :

A. Kepuasan pernikahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini ditandai dengan adanya hubungan persahabatan yang kuat dan perasaan saling menyukai pribadi masing- masing, adanya komitmen diantara pasangan, adanya persamaan dalam cara menunjukkan kasih sayang kepada pasangan, dan penyesuaian dalam hubungan seksual, serta adanya perasaan positif terhadap pasangan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lauer & Lauer, et. al (dalam Baron & Byrne, 2005).

B. Kemampuan berkomunikasi dalam penelitian ini seperti yang dikemukakan oleh Bochner & Kelly (dalam Joseph A.

DeVito,1997) adalah adanya keterbukaan, empati, sikap

mendukung, sikap positif, dan kesetaraan terhadap pasangan. Karna adanya kesamaan antara aspek sikap mendukung dengan


(24)

sikap positif, maka peneliti memilih salah satu aspek yaitu aspek sikap positif. Jadi pada variabel kemampuan berkomunikasi terdiri dari 4 aspek, yaitu keterbukaan, empati, sikap positif, dan kesetaraan.

C. Kemampuan memecahkan masalah dalam penelitian ini meliputi kemampuan untuk menemukan fakta, menemukan masalah,

menemukan gagasan, menentukan solusi, menemukan

pelaksanaan/ penerimaan untuk melokasikan suatu solusi bagi kontroversi yang terjadi, agar dapat diterima oleh semua pihak, sebagaimana dikemukakan oleh Parnes (dalam Utami Munandar, 1999).

D. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai aspek- aspek yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, maka peneliti menambahkan aspek demografi seperti : usia saat menikah, pendidikan terakhir saat menikah dan status pekerjaan.

D. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Pamulang, adapun karakteristik subjek yang dijadikan responden dalam penelitian ini memiliki dua karakteristik, yaitu:

1) Wanita yang menikah di usia ≤18 tahun, dan 2) Usia pernikahan subjek ± 5 tahun.


(25)

1.2.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah disampaikan di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan berkomunikasi dan

kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek keterbukaan dari variabel kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek empati dari variabel

kemampuan berkomunikasi kepuasan pernikahan?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek sikap positif dari variabel kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek kesetaraan dari variabel kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek usia subjek saat menikah terhadap kepuasan pernikahan?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek pendidikan terakhir saat menikah terhadap kepuasan pernikahan?


(26)

9. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek status pekerjaan subjek terhadap kepuasan pernikahan?

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan “untuk menguji pengaruh kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan di usia remaja (usia dini).”

1.3.2. Manfaat Penelitian

- Secara Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berkembanganya Ilmu Pengetahuan khususnya bidang Ilmu Psikologi Sosial dan Ilmu Psikologi Keluarga.

- Secara Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat menjadi bahan bacaan serta masukan, khususnya bagi penulis dan masyarakat, sehingga dapat mengetahui dampak positif maupun dampak negatif apabila kemampuan dalam memecahkan masalah dan kemampuan berkomunikasi di dalam pernikahan tidak tercapai, yang lambat- laun dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan khususnya pada pernikahan dini.


(27)

1.4.

Sistematika Penulisan

Adapun sistematika di dalam penulisan laporan peneliitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini dipaparkan latar belakang permasalahan yang menjadi topik bahasan penelitian, pembatasan serta perumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bab kajian teori dijelaskan variabel- variabel penelitian dan teori- teori para ahli yang memiliki kesesuaian dengan tema penelitian, yaitu tentang kepuasan pernikahan, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah serta kerangka berpikir di dalam laporan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab tiga memuat pendekatan yang digunakan dalam penelitian, instrumen penelitian, teknik analisis data dan tahapan- tahapan dalam penelitian.

BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN

Bab empat berisi hasil penelitian yang telah dilakukan dan analisis terhadap penelitian tersebut berdasarkan data yang di peroleh dilapangan.


(28)

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Bab lima berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dillakukan, diskusi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan saran bagi penelitian selanjutnya.


(29)

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Pernikahan

2.1.1. Pengertian pernikahan

Di dalam bab I UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, merumuskan pengertian perkawinan atau pernikahan yaitu sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ( Hukum kekeluargaan nasional, 1991).

Duvall dan Miller (1985) menambahkan pendapatnya mengenai pernikahan, bahwa pernikahan merupakan hubungan yang diketahui secara sosial antara perempuan dan laki- laki yang berkaitan dengan hubungan seksual yang sah.

Ditinjau dari segi agama Islam pernikahan memiliki fungsi dan tujuan, salah satunya adalah dapat melestarikan keturunan. Sebagaimana yang telah disiratkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 1, Allah SWT berfirman :

                              

Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari jenis yang satu, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan


(30)

perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (Qurayis Shihab dalam Tafsir Al- Misbah)

Disinilah terlihat bahwa Allah SWT memberi sinyal dan tanda bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk berpasang- pasangan dan dengan adanya pasangan tersebut kita memiliki keturunan, yang diharapkan keturunan tersebut dapat mempertahankan kelangsungan kehidupan berikutnya.

Menurut Bernard dalam Santrock (2002), pernikahan biasanya digambarkan sebagai bersatunya dua individu, tetapi pada kenyataannya adalah persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru.

Dari definisi- definisi yang dikemukakan di atas nampak bahwa pernikahan adalah tempat pelegalan suatu hubungan antar dua manusia yang berlainan jenis kelamin. Selain itu, pernikahan juga digunakan sebagai wahana bagi pembentukan sebuah keluarga sakinah.


(31)

2.2. Kepuasan Pernikahan

2.2.1. Pengertian kepuasan pernikahan

Kepuasan pernikahan berasal dari kata kepuasan dan pernikahan. Kepuasan (satisfaction) dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2006) diartikan sebagai satu keadaan kesenangan dan kesejahteraan, disebabkan karena orang telah mencapai satu tujuan atau sasaran. Sedangkan pernikahan menurut Duvall & Miller (1985) adalah hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan suatu hubungan, melegitimasi membesarkan anak, dan membangun hubungan dalam perkembangan anak di antara sesama pasangan.

Seperti selayaknya berada dalam hubungan, tiap- tiap individu yang berada dalam hubungan pernikahan juga menginginkan kepuasan di dalam hubungan mereka. Kepuasan pernikahan ini tampaknya memiliki arti yang agak berbeda bagi suami dan istri. Bagi suami, umumnya kepuasan pernikahan ini berarti terpenuhinya perasaan dihargai, kesetiaan dan perjanjian terhadap masa depan dari hubungan tersebut. Sedangkan bagi istri, kepuasan pernikahan berarti terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya intimasi (Duvall & Miller, 1985).

Sedangkan menurut Weiss (dalam William M. Pinsof dan Jay L. Lebow, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan pengalaman yang subjektif; perasaan yang kuat dan sebuah perilaku yang didasari atas faktor- faktor antar individu yang dipengaruhi oleh kualitas interaksi di dalam pernikahan yang dijalani.


(32)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan adanya suatu perasaan senang yang kuat yang disebabkan oleh tercapainya tujuan yang dikehendaki oleh pasangan yang terikat dalam status pernikahan sebagai simbol dari adanya rasa kasih sayang, kesetiaan, terbinanya intimasi, dan keakraban emosional yang bersifat subjektif.

2.2.2. Faktor- Faktor Kepuasan Pernikahan

Baik suami ataupun istri dapat mengembangkan karakteristik atau faktor yang dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat kepuasan pernikahan (Duvall & Miller, 1985). Faktor atau karakteristik yang mendatangkan kepuasan pernikahan dibagi menjadi dua :

1. Karakteristik masa lalu (background characteristic)

a. Kebahagiaan dalam pernikahan orang tua

Kebahagiaan pada pernikahan orang tua merupakan salah satu karakteristik yang mendukung terciptanya kepuasan pernikahan yang tinggi. Pernikahan orang tua menjadi model dalam menjalani kehidupan pernikahan anak.

b. Disiplin

Kedisplinan yang diterapkan oleh orang tua sejak kecil berada pada tahap yang baik (adanya pemberian hukuman yang sesuai untuk setiap kesalahan yang diperbuat, namun tidak membuat anak merasa terancam).


(33)

c. Kedekatan

Adanya waktu yang cukup dan memadai untuk melakukan pendekatan (saling mengenal antar pasangan) sebelum memasuki pernikahan

d. Adanya pendidikan seks yang memadai dari orang tua

Pendidikan seks diberikan dalam porsi yang benar, dalam waktu yang tepat.

e. Masa kanak- kanak

Rasa bahagia di masa kanak- kanak diperoleh melalui hubungan anak dengan orang tua dan lingkungan sosialnya. Hubungan dengan orang tua yang berjalan harmonis menimbulkan kelekatan antara orang tua dengan anak, hal ini dapat mempermudah proses penyesuaian diri mereka dalam kehidupan pernikahan.

f. Pendidikan

Untuk pendidikan formal minimal sampai pada tahap sekolah menengah atas (SMA). Semakin tinggi pendidikan pasangan dalam suatu pernikahan akan semakin mempermudah proses penyesuaian diri mereka dalam kehidupan pernikahan.


(34)

2. Karakteristik masa kini (current characteristic)

a. Kehidupan seksual

Baik suami maupun istri saling menikmati kehidupan seksual yang mereka jalani (hubungan seksual yang saling dinikmati oleh kedua belah pihak).

b. Kepuasan terhadap tempat tinggal

Memiliki tempat tinggal yang relatif menetap (adanya tempat tinggal yang relatif permanen) akan menimbulkan perasaan aman bagi masing- masing pasangan, yang pada akhirnya akan meminimalisasi timbulnya konflik dalam kehidupan pernikahan.

c. Pendapatan keluarga

Adanya pemasukan yang dapat mencukupi kebutuhan pokok

keluarga (penghasilan yang memadai), sehingga dapat

meminimalisasi timbulnya konflik dalam kehidupan pernikahan.

d. Tingkat kesetaraan

Tidak ada dominasi dari salah satu pasangan, baik suami maupun istri (adanya persamaan antara suami istri (equalitarian), tidak ada yang mendominasi pihak lain, keputusan dibuat bersama). Setiap keputusan yang diambil dalam kehidupan pernikahan dilakukan


(35)

dengan kesepakatan yang setara antara suami dengan istri maupun sebaliknya.

e. Komunikasi

Adanya komunikasi yang terbuka dan positif dari suami kepada

istri maupun sebaiknya (adanya keterbukaan, kebebasan

berkomunikasi antara kedua belah pihak secara emosional, sosial, maupun seksual).

f. Kehidupan sosial

Keluarga memiliki kehidupan sosial yang menyenangkan (adanya kebersamaan dalam kehidupan sosial). Misalnya ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang menjadi minat mereka, mempunyai teman dan perkumpulan yang satu minat dengan mereka.

g. Ekspresi kasih sayang/ afeksi

Adanya ekspresi kasih sayang yang nyata dari suami maupun istri (adanya keterbukaan dalam mengungkapkan afeksi antara suami dan istri).

h. Kepercayaan

Adanya rasa saling dari suami kepada istri dan juga sebaliknya (adanya saling percaya dan keyakinan antara kedua belah pihak).


(36)

Hal ini penting karena kecurigaan yang timbul diantara pasangan dapat memicu konflik dalam kehidupan pernikahan.

Duvall dan Miller (1985) menambahkan bahwa diantara dua macam karakteristik tersebut, karakteristik masa kini merupakan faktor yang lebih berpengaruh terhadap tercapainya kepuasan pernikahan.

Hurlock (1980) menambahkan, bahwa ada empat faktor penunjang yang paling umum dan paling penting bagi terwujudnya kepuasan pernikahan, yaitu melalui penyesuaian antara lain:

a. Penyesuaian sosial terhadap pasangan

Penyesuaian hubungan interpersonal dalam pernikahan lebih sulit dilakukan dari bentuk- bentuk hubungan sosial yang lain karena banyaknya faktor yang mempengaruhi. Diantaranya adalah konsep tentang pasangan ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar belakang, adanya aktifitas atau hal tertentu yang menjadi minat kedua belah pihak, kesamaan nilai- nilai yang dipegang, konsep tentang peran, serta perubahan dalam pola hidup.

b. Penyesuaian seksual

Faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual antara lain adalah sikap terhadap seks, pengalaman tentang seks di masa lalu, keinginan atau gairah seksual, pengalaman melakukan hubungan seks


(37)

pra- nikah, sikap terhadap penggunaan alat- lat kontrasepsi, serta efek dari vasektomi pada pria.

c. Penyesuaian keuangan

Ketersediaan maupun kekurangan uang mempunyai pengaruh terhadap penyesuaian pernikahan yang harus dilakukan seseorang. Situasi finansial bisa membahayakan penyesuaian pernikahan dalam dua area penting. Pertama, jika istri mengharapkan suami untuk berbagai beban kerja karena istri mulai mengalami burn out dalam mengurusi rumah tangga. Kedua, jika ada keinginan untuk memiliki barang- barang tertentu sebagai simbol kesuksesan, dan suami tidak mampu memenuhinya.

d. Penyesuaian terhadap keluarga besar pasangan

Di dalam pernikahan, seseorang sekaligus juga mendapatkan sebuah keluarga besar baru. Meskipun banyak yang mengidentifikasikan pernikahan sebagai penyatuan dua individu, namun pada kenyataannya pernikahan juga merupakan penyatuan dua keluarga secara menyeluruh (Santrock, 2002). Faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap keluarga besar adalah adanya stereotype mengenai anggota keluarga tertentu, keinginan akan independensi, kohesivitas keluarga, mobilitas sosial, perawatan terhadap anggota keluarga yang lebih tua, serta adanya tanggung jawab finansial terhadap keluarga.


(38)

Berdasarkan teori dari Duvall dan Miller (1985), Hurlock (1980), yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti akan menyimpulkan faktor- faktor yang secara teoritis mempengaruhi kepuasan pernikahan :

1) Faktor personal

2) Faktor pemuasan kebutuhan psikologis melalui hubungan

interpersonal 3) Faktor anak 4) Faktor seksual

5) Faktor ekonomi/ finansial (pendapatan, tersedianya tempat tinggal)

6) Faktor kebersamaan

7) Faktor interaksi yang efektif serta komunikasi yang baik

8) Faktor hubungan dengan keluarga besar pasangan

9) Faktor penyesuaian penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan

dalam pernikahan 10) Faktor peran


(39)

2.2.3. Indikator Kepuasan Pernikahan

Lauer et. al mengidentifikasi indikator kepuasan pernikahan (dalam Baron & Byrne, 2005). Yaitu :

1. Komitmen (commitment)

a) Menganggap pernikahan sebagai komitmen jangka panjang

Banyak orang yang menginginkan adanya seseorang yang mau mendedikasikan dirinya pada pasangannya dengan tulus. Pernikahan merupakan suatu ekspresi dari tipe dedikasi ini (Stinnet, dalam Turner & Helms, 1987).

b) Menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang suci

Ikatan pernikahan pada budaya kita dipandang sebagai ikatan yang langgeng dan suci. Karena banyak pasangan suami istri mengabaikan kebutuhan pribadinya, tetapi harus tetap mempertahankan kesatuan hubungan suami istri. (Davidoff, 1991).

c) Menganggap suatu pernikahan penting sebagai stabilitas sosial

Pernikahan menyediakan persetujuan sosial dengan respect terhadap salah satu kebutuhan, seperti kebutuhan seksual (Stinnet, dalam Turner & Helms, 1987).


(40)

2. Persamaan (similarity)

a) Mempunyai persamaan tujuan

Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan (Hurlock, 1980). Untuk itu, memiliki persamaan tujuan penting dalam pernikahan.

b) Mempunyai persamaan dalam menunjukkan kasih sayang

Pernikahan yang baik dapat tercapai bila di dalam pernikahan terdapat intimasi, dan adanya rasa saling menghargai dan pengekspresiannya serta rasa saling menyayangi. Pada pasangan suami istri dibutuhkan adanya sebuah karena kehangatan, karena perasaan yang dirasakan suami ataupun istri berbeda. Keluhan umum yang disampaikan istri bahwa mereka menginginkan kehangatan lebih banyak seperti halnya keterbukaan dari suami mereka. Tetapi suami seringkali menganggap bahwa mereka sudah terbuka dengan istri atau diduga mereka tidak mengerti apa yang diinginkan istri mereka (Blumstein & Schwartz, dalam Santrock, 2002).

c) Mempunyai persamaan tentang kehidupan seksual

Kehidupan seksual merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan pernikahan apabila kesepakatan ni tidak dapat dicapai dengan memuaskan (Hurlock, 1980).


(41)

3. Persahabatan (friendship)

a) Menganggap pasangan sebagai teman baik

Pasangan dapat dianggap sebagai teman baik, yaitu dengan adanya kerja sama dalam suatu hubungan yang bersifat sukarela (Ahmadi dalam Bayu Ananta, 2009).

b) Menyukai pribadi pasangan

Dalam pernikahan, kecendrungan seseorang memilih pasangan yang memiliki kesamaan. Kita cenderung menyukai orang yang memiliki kesamaan sikap, minat, latar belakang, termasuk kepribadiaan yang sama dengan kita (Sears, et.al., dalam Bayu Ananta, 2009). Namun kesamaan bukanlah segalanya. Ditemukan juga bahwa disposisi kepribadian yang spesifik berkaitan dengan keberhasilan pernikahan. Kebutuhan- kebutuhan tertentu dari seseorang dapat dipenuhi secara baik bukan dari pasangan yang serupa, tetapi oleh seseorang yang dapat memuaskan kebutuhan- kebutuhan tersebut (Baron & Byrne, 2005).

4. Perasaan positif (positive feeling)

a) Merasa pasangan menjadi lebih menarik

Cinta merupakan salah satu bentuk terpenting dari ketertarikkan antar pribadi. Hubungan cinta ini juga mendasari berlangsungnya pernikahan (Ahmadi dalam Bayu Ananta, 2009).


(42)

b) Merasakan kebahagiaan bersama pasangan

Adanya kebahagiaan dalam berbagai fase kehidupan sangatlah penting bagi setiap orang. Banyak orang mengharapkan pernikahannya sebagai sumber kebahagiaan. Namun, harus disadari bahwa kebahagiaan tidak terletak pada institusi pernikahan, melainkan pada orang- orang yang menjalaninya dan hal tersebut tergantung pada cara mereka berinteraksi di dalam hubungan tersebut. Wanita yang menikah melaporkan mendapatkan kebahagiaan lebih tinggi dibanding wanita yang masih sendiri. Tetapi, pada sisi lain mereka juga mengeluh ketidakbahagiaan yang lebih dalam pernikahan dibandingkan para suami mereka (Atwater, 1985).

c) Merasa bangga akan prestasi pasangan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Apabila orang dewasa perlu pengenalan, pertimbangan prestasi dan status sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Hurlock, 1980).


(43)

2.3.

Kemampuan Berkomunikasi

2.3.1. Pengertian kemampuan berkomunikasi

Carl Hovland, Janis dan Kelley (dalam Yulia S. Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata- kata) dengan tujuan mengubah bentuk perilaku seseorang. Kata atau istilah “komunikasi” atau dalam bahasa inggris

“Communication”, berasal dari Bahasa Latin “Communicatus” atau

Communicatio atau Communicare yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.

Raymond S. Ross, 1974 (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2004) mendefinisikan komunikasi adalah sebagai suatu proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, sehingga dapat membantu orang lain untuk mengeluarkan respon yang dirasakan oleh individu.

Kincaid (dalam Erliana Hasan, 2005) mengemukakan, komunikasi adalah proses saling berbagi atau menggunakan informasi secara bersama dan pertalian antara para peserta dalam proses informasi.

Brent D. Ruben (dalam Arni Muhammad, 2008) memberikan definisi mengenai komunikasi sebagai suatu proses dimana dalam hubungan antara individu dengan masyarakat, hubungan dengan kelompoknya yang mana di dalamnya dapat menciptakan, mengirim, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dengan orang lain.


(44)

Izzatul Jannah (2008) menambahkan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses yang sangat kompleks, sebab tidak hanya berwujud kata- kata, tetapi berbentuk gesture, mimik wajah, tekanan kalimat, tatapan mata, perasaan, pengalaman, ingatan, dan masih banyak lagi.

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) mendefinisikan komunikasi adalah sebagai pesan yang dikirimkan secara verbal maupun non verbal kepada satu penerima atau lebih penerima dengan maksud untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima.

Wikrama Iryans Abidin mendefinisikan kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengemas ide, gagasan atau pesan kepada orang lain secara efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Dapat disimpulkan bahwa kemampuan berkomunikasi adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memproses pertukaran informasi yang sangat kompleks diantara individu baik secara verbal dan non verbal melalui gesture, simbol, gambar, kata- kata, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

2.3.2. Proses berkomunikasi

Robbins (dalam Erliana Hasan, 2005), yang mengukapkan bahwa komunikasi sebagai suatu proses, dapat juga diamati mulai dari karaketristik sumber. Sebelum komunikai terjadi dapat diungkapkan suatu maksud sebagai pesan untuk di sampaikan. Maksud itu bergerak antara suatu sumber (pengirim) dan penerima. Kemudian pesan itu dikodekan atau diubah ke dalam bentuk simbolik dan diteruskan oleh suatu medium (saluran) kepada penerima, yang menguraikan kode


(45)

(pengkodean) dengan diawali oleh pengirim. Hasilnya adalah suatu transfer makna dari satu orang ke orang lain. Untuk jelasnya proses komunikasi tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Pesan

Pesan

2.3.3. Tujuan komunikasi

Manusia berkomunikasi dengan sesamanya karena memiliki tujuan tertentu. Joseph A. DeVito (1997), menyatakan bahwa ada lima tujuan komunikasi, yaitu:

1. Untuk menenemukan diri

Maksud utama dari menemukan diri dalam komunikasi adalah ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain sebenarnya ia sedang belajar mengenai dirinya dan teman bicaranya, dengan berbicara mengenai dirinya kepada orang lain ia akan memperoleh umpan balik yang berharga atas perasaan, pikiran, dan tingkah laku.

Sumber Pengkodean Saluran Pengkodean Penerima


(46)

2. Untuk bermain

Maksud utama dari bermain dalam komunikasi adalah menggunakan komunikasi untuk bermain karena memiliki motif kesenangan, hiburan, dan istirahat atau santai dengan maksud membuatnya merasa lepas dari tekanan dan tanggung jawab.

3. Untuk berhubungan dengan orang lain

Maksud utama dari berhubungan dengan orang lain dalam komunikasi adalah motivasi berkomunikasi untuk memelihara hubungan interpersonal yang hangat dan akrab, karena setiap orang ingin merasa dicintai dan mencintai orang lain. Sebaliknya komunikasi bisa digunakan untuk menjauhi orang lain, berargumentasi dan berselisih dengan teman bahkan untuk memutuskan suatu hubungan.

4. Untuk menolong

Maksud utama dari menolong dalam komunikasi adalah biasa dilakukan oleh terapis, konselor, guru, orangtua, dan teman. Seseorang menjadikan komunikasi untuk menolong ketika memberikan saran, mengekspresikan empati, memecahkan suatu masalah, atau mendengar dengan penuh perhatian kepada seorang pembicara.

5. Untuk mempengaruhi

Maksud utama dari mempengaruhi dalam komunikasi adalah sebagian kecil komunikasi digunakan seseorang untuk mempengaruhi perubahan sikap atau tingkah laku seseorang. Misalnya, seorang istri menganjurkan


(47)

kepada suaminya untuk membeli rumah yang dianggapnya bagus dan menarik, atau membujuk anaknya untuk menyanyikan sebuah lagu.

2.3.4. Indikator Kemampuan Berkomunikasi

Menurut Bochner & Kelly mengidentifikasi indikator kemampuan berkomunikasi dalam rangka menciptakan komunikasi yang baik dan efektif ( dalam Joseph A. DeVito, 1997 ), yaitu sebagai berikut :

1. Keterbukaan

Sedikitnya ada 3 aspek dari komunikasi antarpribadi, yaitu :

a) Adanya keterbukaan komunikator kepada orang yang diajak

berinteraksi. Adanya kesediaan untuk membuka diri,

mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan antara komunikator dengan orang yang diajak berinteraksi.

b) Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap

stimulus yang datang. Komunikator memperlihatkan

keterbukaannya, dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

c) Kepemilikkan perasaan dan pikiran. Keterbukaan dalam hal ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang disampaikan adalah memang “milik” anda dan anda bertanggungjawab atasnya. Cara baik untuk menyatakan tanggungjawab adalah dengan pesan yang menggunakan kata “Saya”.


(48)

2. Empati

Henry Backrack (dalam Joseph A. DeVito, 1997) mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu. Orang yang berempatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap, serta harapan dan keinginan untuk masa yang akan datang.

3. Sikap mendukung

Memperlihatkan sikap mendukung berwujud dalam bentuk :

a) Deskriptif. Dalam hal berkomunikasi deskriptif membantu

terciptanya sikap mendukung, tidak merasakan adanya suatu kejadian sebagai suatu ancaman (“anda tampaknya marah kepada saya”).

b) Spontanitas. Seseorang yang berkomunikasi secara spontan dan terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya biasanya bereaksi dengan cara yang sama (terus terang dan terbuka).

c) Provisionalisme. Arti dari provisional adalah bersikap tentatif dan berpikiran terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan.


(49)

4. Sikap positif

Sikap positif dalam berkomunikasi sedikitnya dapat digolongkan dalam 2 cara, yaitu :

a) Sikap. Menunjukkan sikap dan perasaan positif dalam situasi komunikasi pada umumnya sangat penting, karena komunikasi akan terjadi secara efektif. Sedangkan sikap negatif dapat membuat orang merasa terganggu dan komunikasi dengan segera akan terputus.

b) Dorongan. Perilaku mendorong menghargai keberadaan dan

pentingnya orang lain. Dorongan positif umumnya berbentuk pujian atau penghargaan. Sedangkan dorongan negatif bersifat menghukum dan menimbulkan kebencian.

5. Kesetaraan

Kesetaraan memiliki arti, yaitu adanya pengakuan secara diam- diam bahwa kedua pihak sama- sama bernilai dan berharga. Selain itu Carl Rogers (dalam Joseph A. DeVito, 1997) mendefinisikan kesetaraan sebagai suatu bentuk penghargaan tak bersyarat kepada orang lain.


(50)

2.4. Kemampuan Memecahan Masalah

2.4.1. Pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah

Solso, Otto H. Maclin & Kimberly Maclin (2007) pemecahan masalah merupakan suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi atau jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.

Menurut Bedel & Lennox, 1994 (dalam Anasatasia Retno Ayu, 2006), Problem solving adalah proses yang dapat membantu seseorang untuk menemukan apa yang mereka inginkan dan bagaimana mencapainya dengan cara yang paling efektif.

Menurut Harold J. Leavitt (1978) menambahkan bahwa, pememecahan masalah adalah sebagai suatu proses seleksi dan proses pengambilan keputusan dan proses mencari untuk mengetahui awal dari sebuah permasalahan.

Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker, 2005). Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan.

Suharnan (2005) mengemukakan bahwa masalah seringkali disebut sebagai kesulitan, hambatan, gangguan, ketidakpuasan, atau kesenjangan. Secara umum dan beberapa ahli psikologi kognitif seperti Anderson (1980). Evans (1991), Hayers (1978), dan Ellis&Hunt (1993) sepakat bahwa masalah merupakan suatu


(51)

kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang diinginginkan (Suharnan, 2005).

Sedangkan, Wikipedia Dictionary mengartikan sebuah masalah sebagai berikut:

“A problem is an issue or obstacle which makes it difficult to achieve a desired goal, objective or purpose. It refers to a situation, condition, or issue that is yet undersolved. In a broad sense, a problem exists when an individual becomes aware of a significant difference between what actually is and what is desired”.

Dapat disimpulkan bahwa masalah merupakan suatu hambatan atau rintangan yang dihadapi individu dalam mencapai suatu tujuan. Suatu masalah terjadi ketika individu menyadari bahwa keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan harapan- harapannya.

Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah ketrampilan yang dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek kehidupannya. Jarang sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam kehidupannya sehari- hari. Pada saat menghadapi suatu masalah, seseorang biasanya terpacu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh setiap individu tentulah berbeda- beda, tergantung dari pola pikir yang dimiliki, jenis masalah yang dihadapi, ataupun faktor dari luar yang mempengaruhi (seperti saran yang diberikan oleh orang lain, pengalaman yang dialami oleh orang lain, dan sebagainya).

Sedangkan menurut Chaplin (2006), pemecahan masalah diartikan sebagai proses yang tercakup dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternatif- alternatif jawaban yang mengarah kepada suatu sasaran atau ke arah pemecahan ideal.


(52)

Dean G Pruitt & Jeffrey Z. Rubin (1986) menambahkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan yang dilakukan untuk melokasikan suatu solusi bagi kontroversi yang terjadi, yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah sebuah kemampuan dimana adanya suatu usaha untuk menemukan solusi bagi permasalahan yang terjadi, yang mengarah kepada suatu pencapaian tujuan yang diinginkan.

2.4.2. Proses memecahkan masalah

Secara visual suatu masalah melibatkan paling sedikit tiga komponen yaitu: keadaan sekarang, keadaan atau tujuan yang diinginkan, dan prosedur yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Terdapat beberapa proses atau tahapan yang harus ditempuh guna memecahkan suatu masalah (Ellis & Hunt, dalam Suharnan, 2005) yaitu :

a. Pemahaman masalah

b. Penemuan berbagai hipotesis mengenai cara pemecahan masalah dan memilih salah satu hipotesis tersebut

c. Menguji hipotesis yang dipilih dan mengevaluasi hasilnya.

Ketiga langkah pokok ini dalam proses pemecahan masalah adakalanya dapat memerluka waktu berhari- hari, minggu dan bahkan bulan, baru dapat diperoleh metode pemecahan. Glass dan Holyoak (dalam Suharnan, 2005) mengusulkan alur pemecahan masalah, sebagai berikut:


(53)

Gambar 2.2

Alur pemecahan masalah

Ket :

: Jika gagal : Jika berhasil

Pada dasarnya semua proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh individu, mempunyai gambaran yang seragam, pada awalnya individu menemukan atau menghadapi suatu hal yang menantang, kemudian mengatasinya, mengatasi hambatan- hambatan yang muncul dalam proses pemecahan masalah tersebut, dan kemudian mengevaluasinya. Cara ini bukanlah suatu hal yang kaku. Dan keadaan tertentu, langkah- langkah tersebut dapat ditiadakan atau bahkan muncul secara tidak beraturan dan harus diulang- ulang.

1. Membentuk

representasi masalah

2. merencanakan pemecahan

3. pelaksanaan dan evaluasi Kembali ke tahap 2

setelah berhenti sejenak

4. masalah selesai


(54)

Sebagai tambahan, sebelum mengarah ke proses pemecahan masalah, sangatlah penting untuk memahami terlebih dahulu awal mula sebelum terjadinya sebuah masalah. Seperti yang dijelaskan oleh Pickering dalam bukunya “How to Manage Conflict” (2001), agar dapat menangani permasalahan secara efektif, diperlukan peningkatan penguasaan, anatara lain dalam :

a. Memahami faktor- faktor munculnya suatu permasalahan.

b. Cara untuk mengatasi konflik dan pandai bermusyawarah dalam menghadapi berbagai jenis permasalahan.

c. Mengembangkan cara- cara dan sistem pribadi untuk mengatasi

ketegangan dan tekanan.

Parnes (dalam Utami Munandar, 1999) mengembangkan proses pemecahan masalah secara kreatif. Proses ini mempunyai lima langkah :

a. Tahap menemukan fakta

Pada tahap ini akan didahului dengan ungkapan pikiran dan perasaan mengenai masalah yang dirasakan sebagai pengganggu, tetapi masalah tersebut masih terlihat belum jelas. Untuk mengetahui lebih jelas masalah yang sedang dihadapi dapat dimulai dengan memunculkan pertanyaan : ”Masalah apa yang sebenarnya sedang saya hadapi?”

setelah dapat melihat jelas masalah apa yang sedang dihadapinya, dapat diteruskan dengan mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang sedang dihadapi, dapat diteruskan dengan mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang ingin


(55)

dipecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan untuk memecahkan msalah yang sedang dihadapi.

b. Tahap menemukan masalah

Pada tahap ini diusahakan untuk memunculkan pertanyaan : ”Dengan cara- cara apa saya dapat memecahkan masalah yang sedang saya hadapi?”. dengan munculnya pertanyaan tadi dapat memunculkan gagasan atau ide baru untuk mencari cara bagaimana memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Setelah itu diharapkan individu dapat mengembangkan dan menemukan bagian- bagian dari masalah yang sedang dihadapi llau merumuskan kembali (Redifinition) masalah yang sedang dihadapi. Selain itu juga masalah disederhanakan atau dipersempit.

c. Tahap menemukan gagasan

Pada tahap ini diusahakan untuk mengembangkan gagasan pemecahan masalah sebanyak mungkin. Salah satu cara untuk mengembangkan gagasan adalah dengan cara sumbang saran (Brainstorming). Dari sumbang saran yang dilakukan biasanya dilakukan oleh kelompok kecil, tetapi tetap dapat dilakukan sendiri oleh individu.

d. Tahap menentukan solusi

Pada tahap ini individu dapat menyeleksi gagasan- gagasan yang telah dihasilkan sebelumnya berdasarkan kriteria evaluasi (misalnya


(56)

berdasarkan waktu, biaya dan tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan gagasan tersebut) yang mempunyai hubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Setiap gagasan dapat dinilai berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditentukan. Untuk kriteria yang dianggap penting dapat diberi bobot penilaian. Penilaian dapat dilakukan dengan memberi angka, kata atau huruf.

e. Tahap penerimaan/ pelaksanaan

Pada tahap akhir ini individu yang telah memilih satu gagasan yang telah diseleksi dan mengambil gagasan tersebut sebagai suatu keputusan untuk solusi pemecahan masalah yang sedang dihadapinya dan diharapkan untuk menerima dan menjalankan gagasan tersebut, sehingga masalah yang sedang dihadapinya dapat dipecahkan.

Sebagai upaya pemecahan masalah Lubis (2005), menambahkan ada beberapa proses dalam menyelesaiakan masalah rumah tangga yang dapat diselesaikan tanpa harus menimbulkan konflik atau pertengkaran., diantaranya:

a. Tenangkan diri dan introspeksi. Begitu merasa ada masalah, sebelum mengambil keputusan dan tindakan lanjutan, berhentilah sejenak sebagai langkah awal untuk menata emosi, agar hati menjadi tenang. b. Komunikasikan segera. Bila masalah yang muncul masih dianggap

cukup mengganggu, sebaiknya jangan menunggu hingga berlarut- larut, apalagi sampai meninggikan ego. Mengungkapkan masalah yang sedang dihadapi adalah dengan cara mengkomunikasikannya


(57)

secara efektif. Yang dimaksud dengan komunikasi yang efektif adalah dengan tidak tergantung pada “mengapa” dan “bagaimana” menyampaikannya. Menggunakan bahasa komunikasi yang sama dengan pasangan, membuat pesan yang disampaikan dapat dipahami sepenuhnya oleh masing- masing pasangan.

c. Cari penengah yang terpercaya. Adakalanya permasalahan suami istri

sudah semakin jauh sehingga sulit untuk diperbaiki. Dalam situasi seperti ini diperlukan seorang penengah yang bisa bersikap netral, misalnya orang tua, mertua, Ustadz, BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) atau psikolog. Tetapi sebelum kita meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah, sebaiknya masalah itu diselesaikan dulu sendiri.

d. Mengalah untuk menang. Sangatlah wajar jika dalam sebuah

permasalahan masing- masing pihak merasa paling benar, dan karenanya dirinya harus memperoleh kemenangan. Oleh karena itu, kelanggengan pernikahan sangat dipengaruhi oleh banyaknya toleransi yang terbangun antara suami istri, yang kadang- kadang diartikan sebagai mengalah. Memilih mengalah jelas tidak akan menjadi masalah, bila diambil untuk memperoleh kebaikan, karena dengan bertoleransi kita sadar bahwa apa yang kita harapakan tidak selalu sama dengan apa yang kita terima.


(58)

Singgih D. Gunarsa dalam bukunya Psikologi Untuk Keluarga (2007), menambahkan beberapa cara yang perlu diingat dalam usaha untuk mengurangi sumber permasalahan di dalam keluarga, antara lain :

a. Mencari tahu. Bila timbul pertengkaran, usahakan mencari sebab mengapa

peristiwa tersebut telah menimbulkan pertengkaran.

b. Kemampuan dalam memahami pasangan. Bila telah ditemukan penyebab pertengkaran, selama pihak suami atau istri sedang mengemukakan sebab- sebab kesalahannya, usahakanlah (suami atau istri) mendengarkan dengan tenang dan sabar.

c. Kejujuran. Pikirkan dengan sejujurnya arti munculnya perstiwa tersebut, tanpa memberikan alasan- alasan untuk menutupi atau membenarkan diri sendiri.

d. Apabila ternyata peristiwa tersebut tidak berarti, maka dapat diselesaikan. Tetapi bila peristiwa tersebut sangat berarti, maka perlu pemikiran yang lebih mendalam bahkan kemungkinan perlunya bantuan orang lain untk mengatasinya.

e. Dalam usaha penyelesaian persoalan maka pemikiran harus dipusatkan dan

ditujukan ke pemecahan masalah, agar tidak menyimpang dan mencari kekurangan- kekurangan dan kesalahan masing- masing. Hindarkan sedapat- dapatnya ucapan- ucapan yang mungkin mengandung sindiran atau yang sangat peka dirasakan pihak yang lain.

f. Penyelesaian masalah. Usahakan penyelesaian masalah secara konstruktif dengan dasar kasih sayang. Kasih sayang yang disalurkan melalui keinginan untuk membantu suami atau istri agar dapat membuatnya


(59)

merasa dirinya lebih kuat, lebih aman dengan menjauhkan diri dari ucapan- ucapan dan tindakan- tindakan yang mungkin dapat menimbulkan rasa malu.

g. Akhirnya berpedomanlah pada dasar bahwa: “Kasih sayang berarti

panjang sabar”. Kesabaran yang telah terlatih sejak sebelum pernikahan, harus dibina terus sesudah menikah. Dengan kesabaran dan porsi toleransi yang makin besar, maka kekurangan- kekurangan dan perbedaan- perbedaan tidak dianggap sebagai sumber persoalan lagi dan masalah- masalah pun akan berkurang.

Selain itu menurut Vuchinich (1987), permasalahan dalam keluarga dapat diselesaikan dengan beberapa cara, sebagai berikut :

a. Submission, salah satu orang di dalam keluarga yang memiliki

permasalahan ”memberikan masukkan” berupa persetujuan kepada

pasangannya.

b. Compromise, perdebatan di dalam keluarga ”memberikan sedikit” dan menemukan ”jalan tengah” agar keduanya dapat menerimanya.

c. Standoff, memberhentikan masalah tanpa resolusi berupa menyetujui yang tidak disetujui.

d. Withdrawal, permasalahan di dalam keluarga dapat mengacaukan adalah efek yang negatif, tidak seperti 3 metode sebelumnya, keluarga tidak mampu untuk mengalihkan kegiatan yang lain dengan mudah.


(60)

Dengan teratasinya permasalahan- permasalahan, maka usaha penyesuaian diri dapat terus dilakukan dari hari ke hari untuk mencapai rumah tangga yang sesuai dengan harapan (sakinah, mawaddah, warahmah).

2.5.

Kerangka Berpikir

Pada umumnya wanita yang belum menikah menginginkan adanya sebuah pernikahan. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang suci yang mengikat seorang laki- laki dengan seorang wanita sebagai pasangannya dan menjadi ikatan suami- istri untuk membentuk sebuah sistem keluarga secara keseluruhan untuk mencapai keluarga yang penuh kasih sayang dengan adanya tanggungjawab yang sesuai, pembagian tugas, terpenuhinya hubungan seksual, pengakuan sosial dan pengesahan untuk memiliki anak.

Agar dapat tercapainya tujuan- tujuan di dalam pernikahan dan dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, maka dibutuhkan adanya komitmen, persamaan, persahabatan, dan perasaan positif. Aspek tersebut dapat melahirkan sebuah kepuasan di dalam pernikahan antar pasangan suami istri. Karena di dalam pernikahan selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangannya masing- masing, maka dibutuhkan penyesuaian terhadap pasangannya.

Namun dalam perjalanannya, kehidupan pernikahan sering didera oleh masalah- masalah yang kerap kali mengganggu keharmonisan rumah tangga. Dapat dibayangkan sulitnya dua manusia yang berbeda dapat menyatu dengan harmonis dan memperoleh kepuasan dalam ikatan pernikahan, karena banyaknya faktor


(61)

yang mempengaruhi hubungan yang harmonis diantara pasangan suami- istri, baik dari dalam diri individu itu sendiri maupun dari luar.

Dalam hal ini, pasangan suami istri harus memiliki kemampuan dalam mengkomunikasikan permasalahan yang muncul di dalam pernikahannya dengan intens. Karena, komunikasi yang kurang efektif dapat memunculkan permasalahan di dalam sebuah hubungan. Maka keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan terhadap pasangan merupakan aspek- aspek berkomunikasi yang dibutuhkan pasangan suami- istri.

Namun, tidak hanya sampai pada komunikasi yang efektif saja yang dapat menyelesaikan masalaha. Dibutuhkan pula proses memecahkan masalah secara kreatif, diantaranya: menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan gagasan, menemukan solusi, dan menemukan penerimaan.

Menurut Dean G. Pruitt & Jeffrey Z. Rubin (1986) kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan dalam melokasikan suatu solusi bagi pertentangan yang timbul, yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dalam penelitian ini, untuk mengetahui faktor lain yang memberikan pengaruh terhadap kepuasan pernikahan. Maka peneliti menambahkan aspek demografi, seperti : usia saat menikah, pendidikan terakhir saat menikah, dan status pekerjaan subjek.

Dapat diduga bahwa apabila wanita yang menikah dini memiliki kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah yang baik dengan pasangan akan dapat merasakan kepuasan dalam pernikahan, sedangkan apabila


(62)

wanita yang menikah dini kurang memiliki kemampuan berkomunikasi dan

kemampuan memecahkan masalah dengan pasangan, maka kepuasan

pernikahannya akan berkurang. Namun demikian dugaan ini masih perlu dibuktikan.

Gambar 2.3

BAGAN KERANGKA BERPIKIR

ASPEK DEMOGRAFI a. Usia subjek saat menikah b. Pendidikan terakhir subjek

saat menikah

c. Status pekerjaan subjek KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH

(X2)  menemukan fakta,  menemukan masalah,  menemukan gagasan,  menemukan solusi, dan

KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI (X1) a. Keterbukaan,

b. Empati,

c. Sikap mendukung d. Sikap positif e. Kesetaraan.

KEPUASAN

PERNIKAHAN


(63)

2.6.

HIPOTESIS

Ha : Ada pengaruh yang signifikan kemampuan berkomunikasi dan

kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan kemampuan berkomunikasi dan

kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan aspek keterbukaan dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho1 : Tidak ada pengaruh yang signifikan aspek keterbukaan dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan aspek empati dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho2 : Tidak ada pengaruh yang signifikan aspek empati dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini


(64)

Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan aspek sikap positif dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho3 : Tidak ada pengaruh yang signifikan aspek sikap positif dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan aspek kesetaraan dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho4 : Tidak ada pengaruh yang signifikan aspek kesetaraan dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan kemampuan memecahkan masalah

terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho5 : Tidak ada pengaruh yang signifikan kemampuan memecahkan

masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan aspek usia saat menikah terhadap


(65)

Ho6 : Tidak ada pengaruh yang signifikan aspek usia saat menikah

terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan aspek pendidikan terakhir saat

menikah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho7 : Tidak ada pengaruh yang signifikan aspek pendidikan terakhir saat

menikah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan aspek status pekerjaan subjek

terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

Ho8 : Tidak ada pengaruh yang signifikan aspek status pekerjaan subjek

terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini


(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini dibahas mengenai pendekatan penelitian, variabel penelitian, definisi konseptual dan definisi operasional, populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data dan prosedur penelitian.

3.1.

Jenis Penelitian

3.1.1.

Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah dini, sehingga dalam penelitian digunakan pendekatan kuantitatif, dimana penelitian ini menekankan analisisnya pada data- data numerikal (angka) yang diolah dengan statistika.

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional. Penelitian korelasional (dalam Sevilla, 1993) yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel- variabel yang berbeda dalam suatu populasi.

Melalui penelitian ini dapat memastikan berapa besar yang disebabkan oleh suatu variabel dalam hubungannya dengan variasi yang disebabkan oleh variabel lain.


(67)

3.2.

Variabel Penelitian

3.2.1.

Identifikasi Variabel

Menurut Kerlinger (2006), variabel adalah simbol atau lambang yang padanya kita melekatkan bilangan atau nilai yaitu variabel bebas (independent variable) dan terikat (dependent variable), dalam penelitian ini variabel- variabelnya adalah:

Variabel Independent 1 (X1) : Kemampuan berkomunikasi

Variabel Independent 2 (X2) : Kemampuan memecahkan masalah

Variabel Dependent (Y) : Kepuasan pernikahan

3.2.2.

Definisi Konseptual

Kepuasan Menikah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan persahabatan yang kuat dan perasaan saling menyukai pribadi masing- masing, adanya komitmen diantara pasangan, adanya persamaan dalam cara menunjukkan kasih sayang kepada pasangan, dan penyesuaian dalam hubungan seksual, serta adanya perasaan positif terhadap pasangan, sebagaimana dikemukakan oleh Lauer & Lauer, et. al (dalam Baron & Byrne, 2005).

Kemampuan Berkomunikasi dalam penelitian ini adalah adanya keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan terhadap pasangan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bochner & Kelly ( dalam Joseph A. DeVito, 1997 ).


(1)

banyak hal

11. Saya dan pasangan saling jujur dalam mengungkapkan perasaan yang sedang kami rasakan

12. Ketika saya sedang menasihati anak, saya memberikan kesempatan pasangan saya untuk berbicara kepada anak

13. Saya dan pasangan mengalami kesulitan untuk terbuka menceritakan tentang kegiatan- kegiatan di luar rumah

14. Ketika sedang marah, saya tidak menyampaikannya kepada pasangan

15. Saya berkata terusterang, ketika membutuhkan batuan pasangan dalam menyelesaikan pekerjaan saya

16. Saat pasangan saya sedang ada masalah dengan anak, saya mencoba mengajak pasangan saya dan anak untuk berbicara guna menemukan inti permasalahan

17. Ketika pasangan saya sedang menasihati anak, saya tidak mendukung perkataan suami saya dengan membela perbuatan anak yang dianggap pasangan salah

18. Saya tidak mengeluarkan kata- kata kasar saat sedang emosi kepada pasangan

19. Walaupun berbeda pendapat saat berinteraksi, saya menghargai pendapat pasangan saya 20. Saya tertutup kepada pasangan, saat sedang


(2)

21. Saya tidak mengungkapkan rasa bangga saya kepada pasangan, ketika ia sukses di dalam pekerjaannya

22. Saya tidak memberikan kesempatan berbicara kepada pasangan, ketika terjadi pertengkaran di antara kami

23. Sulit bagi saya menunjukkan perhatian ketika pasangan saya sedang membutuhkan teman untuk berdiskusi

24. Saat saya sedang ada masalah dengan pasangan, saya dengan pasangan berbicara dan bertukar pikiran untuk menyelesaikan masalah

25. Dari tahun ke tahun, tidak perkataan saya yang membuat pasangan merasa senang

26. Saya berbohong kepada pasangan ketika saya sedang mengalami permasalahan

27. Ketika pasangan saya sedang berbicara, saya tidak memperhatikan dan mendengarkan perkataannya

28. Ketika pasangan saya membutuhkan bantuan, saya mengungkapkan kesediaan saya untuk membantunya

29. Ketika berkomunikasi dengan pasangan, tidak ada hal yang perlu saya sembunyikan

30. Saya tidak memberi pasangan saya peranan penting ketika kami sedang menasihati anak- anak

31. Keterbukaan antar saya dengan pasangan sudah tidak bisa dibangun kembali


(3)

32. Hubungan pernikahan yang saya jalani terhambat, karena tidak adanya keterbukaan saya dalam mengutarakan perasaan cinta kepada pasangan

33. Ketika pasangan saya membutuhkan teman untuk berdiskusi, saya tidak bersedia menjadi teman berbicara pasangan saya

34. Ketika saya mempunyai suatu pilihan, saya tidak bersedia mendengar usul dari pasangan saya 35. Masalah pekerjaan yang saya hadapi, tidak saya

ceritakan kepada pasangan

36. Perasaan sayang saya terhadap pasangan, tidak bisa saya ungkapkan dan tunjukkan kepadanya


(4)

Skala Kemampuan Memecahkan Masalah

NO ITEM SS S TS STS

1. Ketika pasangan tidak berperan dalam mengasuh anak, saya memilih tenang dan tidak emosi dalam menghadapi masalah tersebut 2. Ketika pasangan berusaha menutupi masalah

pekerjaan kantornya kepada saya, saya berusaha mencari tahu pemicu timbulnya masalah tersebut

3. Ketika saya salah paham dengan orang tua, sebelum mengambil keputusan saya meminta pendapat pasangan terlebih dahulu

4. Saat sedang menghadapi masalah pendidikan anak, saya memiliki banyak cara untuk menentukan pilihan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut

5. Ketika saya merasa hubungan pernikahan kami sedang tidak harmonis, saya bisa mengenali masalah yang sebenarnya sedang terjadi diantara saya dan pasangan

6. Saat hubungan saya dengan pasangan dalam masa krisis, saya kebingungan untuk melakukan tindakan apa yang harus saya lakukan

7. Saat masalah dalam mengasuh anak sering terjadi di dalam pernikahan kami, saya dan pasangan memikirkan banyak solusi pemecahan masalah tersebut

8. Ketika prestasi anak kami rendah, emosilah yang saya dan pasangan gunakan dan saling


(5)

menyalahkan satu sama lain

9. Ketika tidak memiliki persamaan dalam hal pola asuh anak, saya berpikir tidak ada kecocokan lagi dengan pasangan

10. Ketika pasangan lebih senang menghabiskan waktunya berada dikantor, saya tidak mencari tahu penyebab

11. Ketika saya dan pasangan tidak memiliki waktu mengurus anak, saya merencanakan liburan keluarga agar dapat memberikan perhatian yang lebih kepada anak

12. Ketika saya dan pasangan sedang bertengkar, saya dan pasangan tidak berusaha untuk bertukar pikiran dalam menentukan penyelesaian masalah yang sedang terjadi 13. Ketika hubungan pernikahan saya dan

pasangan terjadi perbedaan pendapat, berdiskusi dengan keluarga dapat membantu memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah

14. Ketika saya kesulitan menyelesaikan masalah dengan pasangan, saya dapat memikirkan solusi terbaik yang telah diberikan oleh keluarga 15. Saat anak- anak membutuhkan bimbingan dari

saya dan pasangan, kami memilih orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh anak- anak

16. Ketika pasangan menyalahkan saya dalam mengasuh anak, meninggalkan rumah menjadi alternatif yang saya pilih untuk menyelesaikan


(6)

masalah tersebut

17. Saat saya dan pasangan mengalami kesulitan mengurus anak, lebih tepat bila meminta keluarga bergantian membantu mengasuh anak- anak

18. Saat saya dan pasangan sedang berselisih paham, saya dan pasangan tidak melakukan tindakan apapun untuk memperbaiki hubungan kami

19. Ketika pasangan kebingungan dalam memilih lembaga pendidikan untuk anak, saya menyerahkan sepenuhnya kepada pasangan apa yang ingin pasangan pilih

20. Ketika hubungan yang saya jalani dengan pasangan sedang tidak nyaman, saya tidak mengetahui masalah apa yang sebenarnya sedang terjadi

21. Ketika saya mendapat informasi pasangan berselingkuh dengan teman kerjanya, saya tidak berusaha mencari tahu fakta yang sebenarnya terjadi

22. Saat hubungan saya dengan keluarga sedang tidak baik, saya mengambil keputusan untuk menjauh dari mereka ketika sedang ada pertemuan keluarga

23. Ketika pasangan kelelahan dalam mengasuh anak, saya memberi dukungan dan menghibur pasangan dengan melakukan kegiatan yang disukai oleh pasangan