Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Confidence, Trust, and Habit" Studi terhadap Penyedia Jasa Modal Informal dan Peminjam di Pasar Tradisional Rejosari Salatiga T1 222009018 BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Banyak sudah lembaga-lembaga keuangan yang diprakarsai dan diawasi oleh pemerintah.
Dari lembaga keuangan formal seperti bank hingga ke lembaga keuangan bukan bank, seperti
bank sentral, bank umum, bank perkreditan rakyat, koperasi, pegadaian, dan koperasi kredit.
Kehadiran lembaga-lembaga keuangan ini sangat bermanfaat bagi banyak orang. Masyarakat
dapat memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga keuangan ini agar mereka
dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Dari berbagai macam lembaga keuangan tersebut,
yang banyak digunakan jasanya oleh masyarakat adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Lembaga Keuangan Mikro sendiri menurut Arsyad (2008 : 23) adalah lembaga yang
memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah,
baik formal, semi-formal, dan informal yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal
dan telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Ini dikarenakan jasa modal yang digunakan
oleh masyarakat, khususnya masyarakat kecil adalah pinjaman dalam skala kecil untuk
membantu perekonomian mereka. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi
kriteria Undang-undang UMKM Nomor 20 Tahun 2008, kriteria usaha kecil adalah aset yang
lebih dari 50 juta – 500 juta, dan omsetnya yang lebih dari 300 juta – 2,5 Milyar

(www.depkop.go.id).
Kebanyakan usaha kecil di Indonesia omsetnya adalah di kisaran dibawah Rp. 50 juta/tahun
(Arsyad, 2008). Karena inilah LKM banyak dan cepat berkembang di Indonesia, pada
Agustus 2013 saja diperkirakan jumlahnya sekitar 567.000-600.000 unit (Fadjar,
http://wartaekonomi.co.id, Minggu, 04 Agustus 2013). Banyaknya ragam dan jenis LKM
(BPR, BRI unit, Badan Kredit Desa, KSP, USP, LDKP, BMT, Koperasi, dan Pegadaian)
yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, membuat Indonesia layak disebut sebagai
Laboratorium Keuangan Mikro di dunia (Ismawan, 2005).
Sedangkan menurut data OJK, jumlah LKM di Indonesia ada sekitar 650 ribu unit lebih
(www.ojk.go.id). Dengan banyaknya lembaga keuangan yang ada di Indonesia, maka
pemerintah seharusnya lebih berfokus pada lembaga keuangan yang ada di Indonesia agar
tidak terlalu banyak jumlahnya dan dapat menentukan mana yang lembaga keuangan mikro
dan mana lembaga keuangan lainnya. Banyaknya LKM di Indonesia dapat dikatakan sebagai
kegagalan dari Undang-Undang Perbankan dalam mengatur lembaga keuangan mikro karena
lembaga tersebut gagal berubah menjadi BPR dalam kurun waktu tertentu. Ini juga
dikarenakan oleh prestasi BPR yang kurang baik pada periode tahun 1990-an, sehingga
banyak LKM yang ragu untuk mengubah struktur organisasi mereka menjadi struktur yang
dipakai oleh BPR (Akbar Tri Kurniawan, www.tempo.co, Senin, 30 Januari 2012).

Terlepas dari jumlah dan macam lembaga keuangan yang ada di Indonesia, sektor Usaha

Kecil Mikro (UKM) dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia sendiri
merupakan yang cukup unggul di ASEAN saja (Kementerian Koperasi Dan Usaha Kecil dan
Menengah). Hal ini tentu saja tidak lepas dari peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang
mendukung UKM dan UMKM.
Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia bertumbuh dengan cepat karena bisa membantu
perekonomian baik di pedesaan maupun perkotaan. Inilah yang sebenarnya perlu menjadi
perhatian pemerintah untuk terus membantu masyarakat menengah ke bawah untuk lebih bisa
berkembang ke depannya khususnya di bidang ekonomi, dengan menggunakan UMKM. Hal
ini disebabkan oleh karena pemerintah yang dinilai tidak ramah terhadap sektor UMKM. Ini
terbukti dari hasil survei kemudahan usaha atau Doing Business 2011.
Di Survei Doing Business 2011, Indonesia berada pada posisi 115 pada tahun 2010 dan
menjadi peringkat 121 pada survei dalam Doing Business 2011 yang dilakukan oleh
International Finance Corporation (IFC) untuk kemudahan dalam memulai bisnis (IFC,
2011). Hal ini dirasa menyedihkan, melihat masih banyaknya potensi dan kemungkinankemungkinan yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk memulai bisnis. Jika akses kredit
tersedia, khususnya untuk wanita yang berpendapatan
rendah
maka dapat bisa
meningkatkan kesejahteraan mereka dan keluarga miskin (Cloud, 1999).
Sedangkan masalah dalam LKM yang membuat akses ke kredit seakan susah didapatkan
masyarakat adalah dikarenakan masalah persyaratan, khususnya oleh masyarakat dengan

perekonomian menengah kebawah. Mereka merasa jaminannya tidak sesuai dengan jumlah
pinjaman, ini dikarenakan mereka memerlukan dana atau pinjaman yang tidak banyak
sedangkan jaminannya (sertifikat rumah, BPKB) tidak sesuai dengan jumlah pinjaman yang
tidak banyak yang mereka inginkan. Persyaratan pinjaman ini bisa dibilang merupakan
masalah utama dalam LKM, karena tidak semua orang bisa menjamin bahwa mereka bisa
mengembalikan dana yang telah mereka pinjam. Di sinilah perlu adanya persyaratan bagi
masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah agar mereka diberi keleluasaan,
supaya mereka bisa meminjam dana, serta tidak terbeban dengan persyaratan yang dirasa
menyulitkan seperti agunan atau jaminan yang tidak sesuai dengan jumlah pinjamannya.
Tentunya persyaratan di LKM juga harus transparan agar calon peminjam tidak kebingungan
nantinya saat akan meminjam dana. Transparan dalam hal ini adalah bahwa peraturanperaturan dan persyaratan lembaga keuangan mikro dapat lebih disosialisasikan ke
masyarakat.
Lembaga-lembaga mikro yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari dana
modal ada banyak jenisnya, baik formal atau informal. Penyedia jasa modal informal,
berperan penting dalam membantu perekonomian masyarakat. Mereka ini ada karena
ketidakhadiran fasilitas kredit formal di sekitar tempat masyarakat menjalankan usahanya,
lingkungan tempat tinggal atau karena masyarakat yang lebih memilih penyedia jasa modal
informal daripada penyedia jasa modal formal. Penyedia jasa modal informal ini biasanya
adalah tuan tanah atau moneylenders (atau yang lebih dikenal dengan nama rentenir). Kadang
kala, penyedia jasa modal informal ini membebankan tingkat bunga yang lebih tinggi dari


rata-rata jika meminjam dari lembaga formal. Bahkan hal ini dirasa oleh masyarakat tidak
mahal sama sekali, karena mereka mendapatkan akses ke kredit dengan mudah tanpa
persyaratan yang berbelit-belit. Karena inilah, penyedia jasa modal informal mempunyai
keuntungan di pinjaman terhadap lembaga penyedia kredit formal, khususnya keuntungan di
masyarakat kalangan bawah dengan penghasilan yang sedikit, serta di daerah pedesaan. Ini
juga dikarenakan masyarakat miskin banyak yang dikategorikan sebagai unbankable oleh
bank atau penyedia jasa modal formal.
“Giving the poor access to credit allows them to immediately put into practice the skill they
already know – to weave, husk rice paddy, raise cows, peddle a rickshaw. And the cash they
earn is then a tool, a key that unlock a host of other abilies and allows them to explore their
own potential” (Yunus, 1999). Jadi akses ke kredit, baik formal atau informal akan
membantu masyarakat, dari dana yang dipinjamkan sehingga dapat mengembangkan
kemampuan mereka dalam kehidupan sehari-hari serta dalam mencari mata pencaharian dan
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Di kota Salatiga sendiri memiliki sistem atau model LKM yang tidak jauh berbeda dengan di
daerah atau kota lain, seperti BMT, BPR, dan lain-lain. Di kota ini LKM sudah menjadi hal
yang umum di masyarakat. Walaupun masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa
LKM adalah lembaga untuk mendapatkan dana atau modal. Jika ada yang membutuhkan
uang atau modal, masyarakat bisa meminjamnya dari institusi keuangan, formal ataupun

informal. Tentu saja institusi yang formal sudah ada banyak. Namun bagaimana dengan yang
informal? Salah satu contohnya adalah moneylenders yang meminjamkan dana atau modal
kepada orang-orang yang memerlukannya, atau individu yang memiliki modal yang
kemudian digunakan untuk membiayai masyarakat yang memerlukan pinjaman dengan
aturan-aturan dan syarat-syarat yang bisa dibilang lebih ‘fleksibel’, jauh berbeda dengan
lembaga keuangan formal.
Moneylenders masih ada hingga saat ini. Bahkan mereka lebih ‘populer’ daripada institusi
keuangan formal yang ada saat ini. Pada penelitian sebelumnya, jenis kelamin wanita serta
tingkat pendidikan dapat mempengaruhi dalam akses ke lembaga keuangan formal atau ke
lembaga keuangan informal. Mayoritas pedagang sendiri memakai jasa dari penyedia jasa
modal informal; rentenir atau moneylenders, yang dimanfaatkan oleh pedagang pasar.
Mereka memilih untuk meminjam dari moneylenders karena merasa persyaratan dari lembaga
keuangan formal yang dianggap tidak sesuai nilainya dengan nilai kredit yang hendak
diajukan. (Saraswati et al. 2011).
Begitu juga dengan yang terjadi di kota Salatiga, tepatnya di pasar tradisional Rejosari. Para
pedagang di pasar ini banyak yang menggunakan jasa modal yang disediakan oleh
moneylenders yang ada di sekitar pasar. Moneylenders di pasar Rejosari sering dipanggil
dengan sebutan ‘Bank Keliling’ oleh nasabahnya, karena mereka menawarkan jasa dan
menarik angsuran ke tempat nasabahnya secara langsung. ‘Bank Keliling’ ini menawarkan
jasanya secara langsung, tanpa masyarakat yang membutuhkan untuk mencari mereka saat

memerlukan saja. Hal ini juga dirasa oleh banyak pedagang sebagai sesuatu yang dapat

dimanfaatkan, khususnya mengingat kebakaran yang melalap pasar Rejosari beberapa tahun
yang lalu.
Kejadian tersebut membuat para pedagang kehilangan tempat untuk mencari mata
pencaharian mereka di tengah kesulitan mereka dalam mencari sesuap nasi. Banyak pedagang
yang kehilangan tidak hanya tempat, tapi juga modal. Ini tentu saja membuat mereka makin
kesulitan. Disinilah maka dibutuhkannya institusi atau pihak yang bisa membantu mereka
untuk mendapatkan modal supaya mereka bisa kembali lagi untuk bekerja, keadaan ini pun
juga dimanfaatkan oleh lembaga keuangan mikro informal. Dan dari sini dapat dilihat
mengapa penyedia jasa informal tersebut masih bisa bertahan hingga sekarang.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pedagang di pasar tradisional Rejosari
Salatiga yang telah dilakukan, rumusan masalah yang diangkat adalah : Mengapa
moneylenders (dalam penelitian ini disebut ‘Bank Keliling’) tersebut masih bisa bertahan
hingga sekarang.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalahnya, maka tujuan penelitiannya yaitu :
Untuk mengetahui apa yang membuat ‘Bank Keliling’ tersebut masih bisa bertahan hingga

sekarang.
Sedangkan manfaat penelitiannya adalah dengan mengetahui kenapa ‘Bank Keliling’ tersebut
bisa bertahan hingga sekarang, maka bisa dipelajari atau dicontoh cara mereka dapat bertahan
tersebut, dan bila dimungkinkan dapat diterapkan di lembaga keuangan formal.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal T1 312012027 BAB I

0 3 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Confidence, Trust, and Habit" Studi terhadap Penyedia Jasa Modal Informal dan Peminjam di Pasar Tradisional Rejosari Salatiga

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Confidence, Trust, and Habit" Studi terhadap Penyedia Jasa Modal Informal dan Peminjam di Pasar Tradisional Rejosari Salatiga T1 222009018 BAB II

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Confidence, Trust, and Habit" Studi terhadap Penyedia Jasa Modal Informal dan Peminjam di Pasar Tradisional Rejosari Salatiga T1 222009018 BAB IV

0 1 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Confidence, Trust, and Habit" Studi terhadap Penyedia Jasa Modal Informal dan Peminjam di Pasar Tradisional Rejosari Salatiga T1 222009018 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Confidence, Trust, and Habit" Studi terhadap Penyedia Jasa Modal Informal dan Peminjam di Pasar Tradisional Rejosari Salatiga

0 0 2

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga terhadap Keberadaan Pasar Tiban di Jalan Lingkar Salatiga T1 BAB I

0 0 19

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Pengguna Jasa Karaoke Keluarga Kota Salatiga T1 BAB I

0 0 18

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Perlawanan terhadap Indomart: Studi Gerakan Sosial Pedagang Pasar Tradisional Cengek Kelurahan Tingkir Lor Kota Salatiga T1 BAB I

0 0 10

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pengelolaan Parkir di Salatiga T1 BAB I

0 0 6