Kompilasi Edisi No 47 Des 2011 (5)
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS
BUDIDAYA UDANG GALAH
MELALUI PERBAIKAN
TEKNOLOGI BUDIDAYA
(Fauzan Ali, Puslit Limnologi-LIPI) fali_6262@yahoo.com
ndonesia memiliki kekayaan lahan yang potensial untuk budidaya ikan, termasuk udang galah. Budidaya udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dapat dilakukan di kolam-kolam
rakyat, tambak-tambak
bersalinitas air rendah dan sawah-sawah. Udang galah juga
berpotensi untuk restocking di perairan sungai, waduk dan danau. Data yang tercatat di Statistik Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, Indonesia meimiliki luasan kolam sebanyak 541.100 Ha, tambak 1.224.076 Ha, dan
mina-padi 1.476.967 Ha.
Sumber: FAO (2000)
Produksi udang galah tangkapan di alam drastis menurun dari tahun ke tahun (Tabel 1 dan 2). Kebutuhan permintaan pasar udang galah yang selama ini dipenuhi melalui hasil tangkapan di alam semakin sulit terpenuhi. Sementara itu, produksi udang galah dari hasil budidaya belum mencukupi.
Seandainya realisasi
budidaya udang galah
menyerap 10% saja dari potensi luas kolam yang ada (54.110 Ha), hal ini akan berdampak pada produksi udang galah
nasional sebesar 162.330 ton udang galah per bulan. Untuk produksi udang sejumlah ini diperlukan benih udang galah (juvenil) dari panti-panti pembenihan tidak kurang dari 1.352 juta ekor setiap bulan
(dengan asumsi padat
Tabel 1. Produksi udang galah (ribu ton/tahun)
Tabel 2. Hasil tangkapan udang galah Indonesia
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, RI (2008)
(2)
penebaran 15 ekor/m2 dan masa
pemeliharaan 6 bulan).
Dengan kata lain, bila harga benih udang galah Rp 50,- per ekor dan udang galah konsumsi Rp 40.000,- per kg, dan dengan produksi udang 3 ton per Ha, akan terjadi putaran uang sebesar Rp 67,6 miliar per bulan untuk pembenihan dan Rp 1.082 miliar/bulan untuk udang konsumsi.
Kalau potensi 10% luas kolam yang
ada itu terkelola dengan baik, tidak mustahil posisi Indonesia yang belum tercatat pada statistik dunia di masa lalu, akan tercatat sebagai 10 besar negara penyumbang produksi udang galah dunia dari sektor budidaya dengan produksi 0,325 juta ton/tahun. Sementara ini produk udang galah dunia dari sektor budidaya dihasilkan terutama oleh negara-negara seperti Cina, Thailand, Equador, Mexico, Dominika, Amerika, India dan Malaysia (FAO, 1999) seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi sektor
budidaya udang galah beberapa negara (juta ton/tahun)
Nega
ra ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97 China
Main - - - 37.36 42.85 Thailan
d 7,80 10,31 9,20 10,12 7,79 8,00 7,80 China
Taiwan 16, 19
7,6 6
5,4 7
6,5 6
8,4 6
7,3 5
7,5 5
Ecuador 0,8 7
0,8 5
0,8 0
0,8 0
0,8 0
0,8 0
0,8 0
Mexico 0,14 0,17 0,18 0,12 0,09 0,09 0,11 Dominic
an Rep. 0,04 0,16 0,74 0,96 0,09 0,09 0,09 USA 0,18 0,15 0,16 0,16 - -
-India 0,20 0,46 0,18 0,31 - 0,18 0,45 Malaysi
a 0,15 0,09 0,05 0,05 0,08 0,11 0,14
Sumber: FAO (1999). Tanda – : data statistik tidak ditemukan.
Pasang surut usaha budidaya udang galah sejak teknologi
budidaya udang ini
diperkenalkan di kota Jepara
pada tahun 1970-an,
menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat: apakah udang jenis ini memang cocok
untuk dikembangkan di
Indonesia? Udang galah
merupakan udang air tawar berukuran besar (mendapat
sebutan giant freshwater
prawn), komoditas air tawar bernilai ekonomis tinggi, komoditas ekspor dan teknologi budidayanya sudah dikuasai, sudah banyak ditulis dalam laporan-laporan penelitian oleh berbagai instansi penelitian di negeri ini. Namun, dalam kurun waktu 40 tahun, perkembangan bisnis udang galah di tanah air belum menampakkan hasil yang signifikan bila dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara yang sama-sama memiliki kekayaan alam dan teknologi budidaya seperti Malaysia, Thailand, India dan Cina.
Pengalaman empiris penulis membina petani udang galah, yang notabene hewan yang mayoritas menempati dasar
perairan ini, membuktikan
bahwa tingkat produksi udang galah di kolam budidaya sangat
(3)
dibatasi oleh tingkah laku udang yang bersifat kanibal dan
keterbatasan pemanfaatan
territorial atau ruang untuk hidup di dalam kolam. Peningkatan padat penebaran
melebihi 10 ekor/m2 tidak dapat
secara otomatis meningkatkan produksi panen udang galah melebihi 2.000 kg/Ha, karena semakin besar ukuran udang galah yang dipelihara, jarak nyaman antar individu udang galah di dalam kolam akan meningkat pula. Udang galah yang lemah atau yang sedang berganti kulit (moulting) akan menjadi mangsa udang-udang yang sehat dan kuat.
Produk inovasi berupa ‘apartemen udang galah’ adalah salah satu solusi untuk masalah ini. Udang galah yang telah ditakdirkan Sang Maha Pencipta hidup di dasar perairan dengan adanya kaki-kaki, berbeda dengan ikan yang memiliki sirip dan gelembung renang, bisa memanfaatkan kolom air kolam untuk hidupnya. Apartemen udang galah, berupa rangkaian bilah-bilah bambu yang dianyam sedemikian rupa sehingga menyerupai kerangka bilik-bilik sebuah rumah susun (tanpa lantai, tanpa dinding dan tanpa atap), memberikan kesempatan bagi udang galah untuk memanfaatkan kolom air kolam yang berada di atas punggungnya dengan cara bertengger pada setiap ruas
bilah bambu. Dengan
apartemen udang galah, ruang tempat hidup udang galah akan meningkat karena masing-masing tingkat apartemen akan menjadi penambah ruang
teritorial antar udang, sehingga kepadatan udang galah di dalam kolam dapat ditingkatkan dan pada akhirnya produksi udang galah yang dipanen per hektar dapat mencapai tiga kali lipat.
Pada kolam yang dilengkapi apartemen udang galah, udang-udang yang dipelihara dapat menyesuaikan diri untuk menempati setiap kerangka bilik-bilik bambu tersebut. Ketika makanan diberikan, udang akan mengejar pakan dan memegang pakan dengan mulut dan kaki-kaki jalannya, lalu kemudian
segera mencari tempat
bertengger yang nyaman di
apartemen, sambil
menyesuaikan jarak aman antara satu udang dengan yang lainnya. Biasanya, udang-udang yang berukuran lebih besar dan kuat akan menguasai teritorial bagian bawah dan dasar kolam, sedangkan udang-udang yang berukuran lebih kecil akan menempati tingkat apartemen yang lebih tinggi. Khusus untuk udang-udang yang akan berganti kulit (sebagai salah satu tanda bahwa udang bertumbuh), akan menjauh dari udang-udang yang lain ke arah tingkat apartemen yang paling tinggi, tempat proses pergantian kulit lama dengan kulit baru terjadi. Kulit lama akan ditinggalkan di sana, dan hal itu dapat pula menjadi patokan ukuran pertumbuhan udang galah di kolam.
(4)
Persoalan berikutnya dalam budidaya udang galah adalah variasi ukuran dan pertumbuhan yang tidak seragam selama pemeliharaan. Keadaan seperti ini sangat umum terjadi dan mengakibatkan panen udang tidak dapat dilakukan sekaligus, bila pasar menginginkan ukuran udang konsumsi pada ukuran tertentu (biasanya berukuran 20-30 ekor per kg). Untuk itu perlu dilakukan panen bertahap atau panen sebagian. Oleh karenanya, panen pertama akan menyisakan udang berukuran masih kecil dan perlu tambahan waktu untuk dibesarkan sampai berukuran layak pasar. Tentu saja proses panen seperti ini akan merugikan petani karena selain dapat berakibat sebagian udang stres dan bahkan ada yang mati, penambahan masa pemeliharaan akan berdampak kepada penambahan biaya pakan.
Fenomena udang galah yang tidak tumbuh dengan seragam ini adalah akibat dari keragaman sifat-sifat genetik yang berasal dari induk-induk udang galah yang dipakai di pembenihan. Hal ini disebabkan
karena masih minimnya
penelitian tentang pemuliaan dan genetika udang galah di tanah air, sehingga induk-induk
yang dikawinkan hanya terbatas dari induk-induk jantan maupun betina yang paling gampang diperoleh, seperti dari seleksi di kolam-kolam budidaya ketika panen tiba, atau dari hasil tangkapan di perairan alami yang jelas-jelas tidak bisa dipastikan tingkat kualitas dan
umurnya. Masalahnya adalah
pada kualitas induk yang baik untuk menghasilkan benih-benih yang unggul untuk dibesarkan.
Ketersediaan induk udang galah yang baik masih merupakan masalah pada hampir semua pembenihan udang galah di Indonesia dalam
menghasilkan benih udang
galah yang berkualitas. Padahal induk yang berkualitas ini merupakan kunci utama dalam
keberhasilan produksinya.
Perairan tawar Indonesia yang kaya akan sumberdaya udang galah merupakan potensi yang besar dalam keragaman genetikanya.
Udang galah yang sekarang dibudidayakan di masyarakat belum ada yang distandarisasi. Perolehan calon induk biasanya diperoleh dari perairan sungai yang ada di sekitar lokasi
pembenihan atau hasil
pembesaran sendiri di kolam tanpa melalui seleksi dan
memperhitungkan faktor
genetikanya. Dengan demikian, di samping jenis yang dipelihara sangat terbatas, keunggulan yang khusus pada induk-induk di banyak pembenihan belum dapat menjamin bahwa benih udang yang dihasilkan dapat tumbuh dengan baik, tahan penyakit dan dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi.
(5)
Sejak tahun 2006, di Pusat
Penelitian Limnologi-LIPI,
penelitian pemuliaan
induk-induk udang galah ini sudah berlangsung. Dimulai dari penelitian seleksi induk-induk udang galah beberapa strain dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, dilanjutkan dengan hibridisasi udang galah antar strain dengan harapan dapat menghasilkan benih yang memiliki kemampuan cepat tumbuh dan dengan ukuran seragam.
Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan untuk sementara bahwa, terdapat tiga kelompok
populasi yang berbeda
(kelompok udang galah Jawa, Kalimantan dan Sumatera, dan
Sulawesi. Udang galah
Sumatera cenderung memiliki keunggulan pada fekunditas . Udang galah Jawa dan Kalimantan memiliki keunggulan cepat menjadi pasca larva (PL), sintasan tinggi, fekunditas tinggi, berukuran seragam dan pertumbuhan yang baik dan udang galah Sulawesi memiliki sintasan yang tinggi.
Perkawinan silang antar strain telah menghasilkan tiga
jenis hibrid yang
memperlihatkan performa lebih baik
dibandingkan kombinasi
silangan lainnya yaitu JENERIK,
KUMACI dan HARITA.
Berdasarkan kriteria
keberhasilan yang dianut pada pembenihan udang galah yang meliputi lama stadia larva, sintasan dan produksi PL, kombinasi silangan yang
memiliki performa terbaik
adalah JENERIK (hasil
persilangan udang galah dari S. Jeneberang, Sulawesi dan S. Citarik, Jawa). Sebagai ilustrasi, pemeliharaan larva pada suhu air yang dipertahankan rata-rata
30 oC, dengan manajemen
kualitas air, dan dengan rejim pakan yang sama, kisaran waktu yang diperlukan untuk mencapai PL antara 22,8 sampai 35,4 hari. Strain JENERIK memerlukan waktu paling pendek untuk mencapai stadium PL, diikuti oleh strain HARITA dan KUMACI.
Waktu 22,8 hari yang dicapai oleh strain JENERIK ini adalah waktu yang jauh lebih pendek daripada temuan Uno and Soo (1969) bahwa PL baru terjadi pada hari ke 36 dengan kondisi yang hampir sama yaitu pada suhu air 28,0 oC. HARITA adalah
udang galah hibrid hasil
persilangan udang galah dari S. Batanghari, Sumatera dengan udang galah S. Citarik, Jawa, sedangkan KUMACI adalah udang galah hibrid produk perkawinan silang antara udang galah S. Kumai, Kalimantan dengan udang galah S. Citarik, Jawa.
Daftar Pustaka:
Ali, F. 2004. Transfer teknologi budidaya udang galah di
masyarakat petani ikan
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Entrepreneutial Economic Development Strategy, Pusat Inkubator Bisnis – ITB, h. 83-93.
(6)
Ali, F. 2005. Hubungan antara
penggunaan pelindung
buatan dengan kelangsun gan hidup udang galah (Macrobra chium Rosenbergii), LIMNOTEK, Vol. XII, No. 2, h. 66-72.
Food Association Organization. 2002. Farming freshwater prawns. A Manual for the culture of the giant river
prawn (Macrobrachium
rosenbergii). FAO Fisheries Technical Paper. Rome. p. 1 -11.
Smith, T. I. J. and P. A. Sandifer. 1975. Increased production
of tank reared
Macrobrachium rosenbergii
through of artificial
substrates. In Annual Meeting World Mariculture Society. Lousiana State University. p. 55 - 66.
SEKILAS TENTANG
SUNGAI MUSI
(Ahmad Farid, Balai Riset Perikanan Perairan Umum-DKP, Palembang)
farid_kdw22@yahoo.co.id
P
eran penting Sungai Musi
tercatat secara historis sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Pada saat itu Sungai Musi banyak
digunakan sebagai alur
pelayaran kapal yang
mengangkut hasil bumi menuju pusat perdagangan ke wilayah Sumatera Selatan maupun keluar Pulau Sumatera. Sungai Musi merupakan salah satu tipe sungai permanen di Sumatera yang memiliki tipe ekosistem yang kompleks dengan jenis pemanfaatan yang beragam mulai dari perikanan, pertanian,
perkebunan, transportasi,
kawasan industri dan
perumahan. Sungai Musi memiliki kontribusi cukup penting terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Sungai Musi tergolong sungai besar yang bermuara ke pantai timur
tepatnya di Kecamatan
Sungsang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi membentang dari daerah hulu 2020'23.5" LS, 104055'12.6" BT.
Uno, Y. and K.C. Soo. 1969. Larvae development of Macrobrachium rosenbergii (de Man) reared in the laboratory. Tokyo Univ. Fish. Tokyo.
New, M.B. 1995. Status of freshwater prawn farming: a
review. Aquaculture
Research, 26:1-54.
New, M. B. 2002. Farming freshwater prawns; A manual for the culture of the giant river prawn (Macrobrachium rosenbergii). Fao Fisheries Technical Paper 428. Food and Agriculture Organization of the United Nations . Rome. 212 p.
(7)
Sedangkan daerah hilir 2051'42.1" LS, 103046'30.9"BT.
Wilayah DAS Musi terletak ditiga provinsi, yaitu Provinsi Bengkulu (6.006.519 ha), Jambi (218.495 ha) dan Sumatera Selatan
(42.202 ha) (Susanto et
al.,2005). Total luas DAS Musi mencapai 6.267.216 ha atau 64% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan DAS atas 10 sub DAS. Aliran induk bersumber di Bukit Barisan sekitar lereng Bukit Kelam dan Bukit Daun pada ketinggian 875 m dpl (Anonim, 1977). Panjang aliran utama Sungai Musi dari sumber mata air di bagian hulu, yaitu di Bukit Kelam sampai ke muara di Selat Bangka adalah 637 km (Anonim,1977)
Berdasarkan topografi, DAS
Musi lima wilayah yaitu;
1. Wilayah Pegunungan,
dengan ketinggian ± 220 m
2. Dataran Tinggi, dengan
ketinggian ± 50-220 m
3. Dataran Rendah, dengan
ketinggian ± 10-50 m
4. Dataran Banjir, dengan
ketinggian ± 5-10 m
5. Wilayah Estuaria, dengan
ketinggian ± 0-5 m.
Morfologi DAS Musi dari hulu hingga hilir terbagi atas tiga tipe ekologi (Utomo et al.,1992) yaitu:
1. Tipe perairan berarus deras,
dicirikan dengan kawasan berbatu dan berpasir. Pada kedua sisi sungai merupakan daerah pertanian dan perkebunan. Daerah ini terdapat di bagian hulu
sungai (upper stream, dengan panjang aliran ± 187 km, kecepatan aliran air pada kisaran 1,0-1,2 meter/detik
2. Tipe perairan berarus tenang, terdapat di bagian tengah (middle stream), dicirikan dengan adanya lebak kumpai, rawa banjiran (floodplain), sungai utama, sungai mati (oxbow) dan lebung (cekungan di daerah rawa). Dengan panjang aliran ± 177 km
3. Tipe perairan yang
dipengaruhi pasang surut air laut, terdapat di hilir sungai (lower stream), dengan panjang aliran ± 146 km. Di
daerah estuari yang
berdekatan dengan laut kondisi perairan dipengaruhi
olehkadar garam.
Sifat sungai secara fisika, berkaitan erat dengan bentuk geomorfologi dan geokimia DAS, tipe sungai dan siklus hidrologi yang semuanya dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan pola iklim. Adanya vegetasi tutupan lahan, fluktuasi muka air, debit air dan pola aliran kedalaman air cenderung meningkat, sedangkan karateristik sungai secara kimia seperti karbon organik dan unsur hara berada sepanjang badan sungai. Karateristik tersebut akan
menentukan tingkat
produktivitasnya (Sedell et
al.,1989; Thorp dan Delong, 1994).
Kedalaman sungai
merupakan tempat tangkapan air dari curah hujan, masukan
(8)
dari anak sungai,k emiringan, tingkat erosi tepian dan dasar sungai,merupakan parameter fisika kunci yang menentukan produktivitas perairan sungai. Secara longitudinal dari hulu hingga hilir. Kecepatan arus adalah parameter fisika air yang membedakan ekosistem sungai dengan ekosistem danau dan
waduk. Kecepatan arus
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya bentuk dasar sungai dan kedalaman sungai.
Suhu merupakan besaran radiasi matahari yang diserap oleh partikel terlarut ataupun tersuspensi dalam suatu perairan. Pada bagian hulu, tengah, hilir sungai, fluktuasi suhu selama dua musim masing–masing berada pada kisaran 1-12 0C, 0–8 0C dan 0,5 –
6 0C. Perbedaan suhu secara
longitudinal dari hulu hingga hilir relatif lebih tinggi dari hasil pengamatan pada Tahun 1976 yang dilakukan oleh Anonim (1977) sebesar 1.0 0C dibagian
hulu, tengah dan hilir Sungai Musi.
Jumlah Total Padatan Tersusupensi (TSS) adalah jumlah partikel biotik maupun abiotik yang tersaring pada kertas saringan dengan ukuran lubang (mesh size) 45 µm. Partikel biotik diantaranya
fitoplankton ataupun
zooplankton, sedangkan partikel abiotik diantaranya lumpur. TSS di Sungai Musi secara longitudinal dipengaruhi oleh aktivitas manusia di DAS, seperti pembukaan lahan untuk kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan erosi tanah serta
kegiatan penambangan kelas C, seperti penambangan pasir dan batu. Fluktuasi TSS pada musim hujan yang diindikasikan dengan curah hujan lebih dari 250 mm dan musim kemarau dengan curah hujan kurang dari 100 mm relatif cukup besar dibagian hulu dengan kisaran 222-500 mg/L
(Husnah,et al., 2007).
Kandungan TSS pada tahun 2006 relatif lebih tinggi dibandingkan 30 Tahun yang lalu 1976 kandungan TSS di Sungai Musi dimusim kemarau 72,5; 19,8–32 dan 35,5 mg/L. Sedangkan pada musim hujan kandungan TSS 24,5; 51.0 –
100.2; 49,6 mg/L.
(Anonim,1977). Berdasarkan data tersebut, peningkatan TSS selama 30 tahun pada musim kemarau lebih dari 100 %. Sedangkan musim hujan lebih dari 300 %. Fenomena ini berkaitan hilangnya luas hutan sebanyak 50 % selama 30 tahun.
Daftar Pustaka:
Anonim. 2005.Master plan Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan. BAPPEDA Sumsel dan Universitas Sriwijaya Palembang.
Anonim. Survey Ekologi
Perikanan, Fakultas Perikanan
IPB. 1977. Survey ecology
perikanan daerah aliran
sungai: Aspek-aspek
penyelamatan perikanan di perairan umum. Direktorat
Jenderal Perikanan.
Departemen Pertanian RI. Bogor: 85 hal.
Husnah. E. Prianto, S.N. Aida, D. Wijaya, S. Kaban, Makri, H.Z. Dahlan dan Kamal. 2007.
(9)
Penentuan tingkat degradasi
dan variasi metode
penentuan langkah-langkah degradasi lingkungan di perairan Sungai Musi. Laporan Akhir Riset Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Palembang: 16 hal.
PENGOLAHAN AIR BERSIH DARI BERBAGAI AIR BAKU
(Eka Prihatinningtyas-Puslit Limnologi-LIPI) ekatyas@yahoo.com
ir merupakan unsur utama dalam
kehidupan makhluk
hidup di planet bumi ini. Manusia masih mampu bertahan hidup tanpa makanan dalam
beberapa minggu, namun tanpa
air manusia akan mati dalam beberapa hari saja. Air tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga tetapi dalam bidang ekonomi modern, air juga menjadi faktor yang sangat penting dalam budidaya perikanan, industri, pembangkit tenaga listrik dan transportasi. Air merupakan elemen yang paling melimpah di atas Bumi,
yang meliputi 70%
permukaannya
A
Nasution, Z., A.D. Utomo dan D. Prasetiyo. 1993. Lelang lebak lebung di Sumatera Selatan sebagai salah satu upaya pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum. Dalam: Prosiding TKI Perikanan Perairan Umum.
Pengkajian Ppotensi dan
Prospek Pengembangan
Perairan Umum Sumatera Bagian Selatan. Puslitbang Perikanan Jakarta:122-135. Sedell, J.R., J.E. Richey dan F.J.
Swanson. 1989. The river continue concept: A basis for the expected ecosystem behavior of very large rivers Proceeding Can. Spec. Publ. Fish. Aquat Sci:106:49- 55. Utomo, A.D., Z. Nasution dan S.
Adjie. 1992. Kondisi ekologi dan potensi sumberdaya perikanan sungai dan rawa. Dalam: Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Perairan Umum, Palembang 12-13 Februari 1992. Puslitbang
Perikanan. Balitbang
Pertanian: 1-15.
dan berjumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik.
Apabila dituang merata di seluruh permukaan bumi akan terbentuk lapisan dengan
kedalaman rata-rata tiga
kilometer. Namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah
ini yang benar-benar
dimanfaatkan, yaitu ± 0,003%. Sebagian besar air (± 97%) terdapat dalam samudera atau laut, dengan kadar garam tinggi. Dari 3% sisanya yang ada, ± 87% tersimpan dalam lapisan kutub atau di bawah lapisan tanah yang sangat dalam.
Seiring dengan
bertambahnya penduduk, maka kebutuhan akan air juga semakin bertambah. Laju
(10)
kelahiran yang tinggi, terutama di negara berkembang juga akan memberikan tekanan yang cukup besar dalam hal pemenuhan kebutuhan air. Dengan segala keterbatasan tersebut, sangatlah tidak
bijaksana apabila kita
menggunakan air secara berlebihan. Air tidak lagi menjadi “barang bebas” di
mana manusia dapat
menggunakan sesuai
keinginannya dan tidak ada rasa khawatir jumlahnya akan habis. Saat ini air menjadi barang ekonomis dan mungkin menjadi barang mahal. Hal ini terbukti,
saat ini masyarakat rela
bersusah payah dan harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk mendapatkan air bersih. Masyarakat pedesaan di negara tropis terkadang harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mencari sumber air pada saat musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum
semuanya mendapatkan
pelayanan air bersih baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya.
Sumber air baku dan alternatif pengolahan
Pada dasarnya semua air dapat diolah menjadi air bersih sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492 Tahun 2010. Adanya perbedaan karakteristik dalam
masing-masing air baku, maka teknologi
pengolahan air bersih yang dipakai juga berbeda. Pemilihan teknologi yang tepat, murah dan
mudah diadaptasi oleh
masyarakat sangat membantu
dalam pemenuhan kebutuhan air bersih.
Air baku dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Air tawar adalah air dengan
kadar garam rendah,
biasanya dijumpai pada perairan darat seperti danau, sungai dan situ. Tahapan proses yang harus dilakukan ketika menjadikan air tawar sebagai air baku untuk air bersih dapat dilihat pada skema berikut ini. :
Gambar 1. Skema pengolahan air bersih dari air tawar
Screening merupakan tahap awal dari proses pengolahan air bersih. Tahapan ini bertujuan untuk menghindari masuknya sampah dan kotoran yang berukuran besar lainnya ke dalam instalasi pengolahan air bersih.
Proses koagulasi bertujuan untuk menggumpalkan partikel-partikel koloid yang berperan sebagai kontaminan dalam air. Pada tahap ini biasanya ditambahkan koagulan seperti aluminium sulfat [Al2(SO4)3] dan
Poly Aluminium Chloride (PAC)
yang berfungsi untuk
mempercepat tumbukan antar partikel-partikel koloid, sehingga dihasilkan patikel dengan ukuran yang lebih besar. Besarnya dosis koagulan ditentukan dari jar tes berdasarkan kekeruhan air baku. Misalnya untuk kekeruhan air baku 50 NTU, dosis koagulan
SCR
EEN
ING
KOA
GUL
ASI
FLO
KUL
ASI
DISI
NFE
KSI
FILT
RAS
I
SED
IME
NTA
(11)
yang digunakan sebesar 25 mg/L. Proses koagulasi yang efektif akan menyebabkan terbentuk-nya flok-flok yang baik pada tahap flokulasi. Kualitas flok dapat dilihat dari
kecepatannya mengendap
dalam bak sedimentasi. Partikel-partikel yang tidak mengendap dalam bak sedimentasi akan tersaring pada tahap filtrasi. Umumnya media filter yang digunakan adalah pasir silika. Selanjutnya air hasil filtrasi ditambahkan desinfektan yang berfungsi untuk membunuh bakteri patogen dalam air, sehingga air produksi bersifat steril dan terbebas dari bakteri penyebab penyakit. Desinfektan yang lazim digunakan adalah kaporit [Ca(OCl] dan gas khlor (Cl2).
2. Air gambut adalah air dengan karakteristik asam (derajat keasamannya berkisar antara
3 - 4), memiliki kadar organik,
kandungan besi dan mangan yang tinggi serta berwarna kuning atau coklat tua. Air dengan sifat seperti ini dijumpai pada lahan gambut. Di dunia, luas lahan gambut sekitar 17 ha, dan 10% berada di Indonesia. Lahan gambut banyak dijumpai di Sumatera dan Kalimantan.
Pada dasarnya, pengolahan air bersih dari air gambut sama dengan pengolahan air bersih dari air tawar. Hanya saja ada penambahan dua tahap yaitu
tahap netralisasi dan
dekolorisasi. Tahap netralisasi berfungsi untuk menetralkan keasaman air baku. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah
soda ash (Na2CO3) atau batu
kapur (CaCO3). Proses
dekolorisasi berfungsi untuk mengurangi kandungan zat organik penyebab warna dalam air gambut (biasanya berupa asam humat (C187H186O89N9S1)
dan asam fulvat
(C135H182O95N5S2)). Ada beberapa
metode yang digunakan antara
lain aerasi, membran
ultrafiltrasi, metode koagulan bertingkat dan adsorpsi menggunakan karbon aktif (C).
Keseluruhan tahapan
selengkapnya dapat dilihat pada skema berikut ini:
Gambar 2. Skema pengolahan air bersih dari air gambut
3. Air payau, umumnya dijumpai di daerah muara. Air payau merupakan campuran antara air tawar dengan air laut dan memiliki kisaran salinitas antara 0,05 sampai 3‰. Untuk mengolah air bersih dari air payau digunakan metode reverse osmosis. Prinsip kerja filter
reverse osmosis adalah
berdasarkan pada peristiwa osmosis yang terjadi di alam. Osmosis adalah peristiwa bergeraknya air dari larutan yang mempunyai konsentrasi
lebih rendah melalui
membran semi permeabel ke larutan yang mempunyai konsentrasi lebih lebih tinggi
sampai tercapai
keseimbangan.
Membran semi permeabel adalah membran yang dapat
NET
RAL
ISA
SI
KOA
GUL
ASI
FLO
KUL
ASI
DISI
NFE
KSI
FILT
RAS
I
DEK
OLO
RIS
ASI
(12)
melewatkan atom-atom atau melokul-molekul tertentu tetapi tidak dapat melewatkan atom-atom/molekul yang lain. Dalam kasus di atas (dan pada kasus filter reverse osmosis yang
dapat dilewatkan adalah
molekul air saja, sedangkan garam-garamnya tidak. Dengan memberikan tekanan pada larutan berkonsentrasi tinggi lebih besar dari tekanan osmotik, maka air akan terdorong keluar melalui membran semi permeabel tersebut, sedangkan garam-garamnya tetap tertinggal di bagian larutan berkonsentrasi tinggi. Hal inilah yang kemudian diterapkan pada filter reverse osmosis. Disebut sebagai reverse osmosis atau osmosis terbalik karena mekanisme yang diterapkan adalah dengan cara membalikkan fungsi dari peristiwa osmosis.
Daftar Pustaka
Alearts, G. dan Santika, S.S. 1984. “Metode Penelitian Air”. Usaha Nasional, Surabaya.
Anonim. 1990. “Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.
416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air ”. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Said, N.I. 2008. ”Teknologi pengolahan air minum: Teknologi pengolahan air gambut sederhana.” BPPT http://www.a-spi.org/ehe15.htm
(diakses tanggal 16 Maret 2010)
http://www.cbc.canews/indepth / background/water_treatment. html. (diakses tanggal 16 Maret 2010)
http”//www.Newton.dep.anl.gov/ askasci/chem00/chem00264. htm.p.15 (diakses tanggal 16 Maret 2010)
http://norweco.com/html/lab/Disi nfection.htm (diakses tanggal 16 Maret 2010)
“SI CANTIK” DEKAPODA BERKAKI SEPULUH DARI DANAU TOWUTI,
SULAWESI SELATAN
(Hasan Fauzi dan Syahroma Husni Nasution, Puslit Limnologi-LIPI)
fauzihasan61@yahoo.com
anau Towuti merupakan salah satu danau yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk mencapai Danau Towuti dari kota Makassar (ibu kota Sulawesi Selatan) harus melewati beberapa kabupaten dan kota madya serta kecamatan yang dapat ditempuh selama sehari semalam. Daerah terdekat dengan Danau Towuti adalah Kecamatan Timampu, dan daerah inilah yang sering dilalui oleh turis, baik lokal maupun turis asing. Danau Towuti memiliki luas 56.000 Ha dan kedalaman 203 m, di samping itu memiliki panorama yang indah dengan hutan perawan disekelilingnya. Jenis vegetasi riparian ditemukan
(13)
116 jenis yang terdapat di sekitar pinggiran danau (Nasution et al, 2009). Airnya yang sangat jernih (kekeruhan air berkisar 0-3 NTU) (Nasution, 2008), penetrasi cahaya matahari sampai kedalaman 22 m (Haffner et al, 2001).
Pemandangan alam yang indah bukan saja di atas permukaan air, akan tetapi di bawah permukaan airpun tidak
kalah indahnya, terdapat
susunan bebatuan yang
berukuran kecil sampai besar (boulders), ada yang bermotif relief alami dan bentuk-bentuk yang unik lainnya, juga diselingi oleh batang-batang kayu yang telah roboh dan lapuk dengan bentuk yang unik dan artistik, begitupun ukurannya dari yang kecil sampai yang besar, dari yang pendek sampai yang panjang. Beraneka tanaman airpun turut menyemarakkan suasana alami Danau Towuti dan ditemukan tujuh jenis tanaman air (Nasution et al, 2009), serasa menambah keharmonisan antara fisik danau, flora dan fauna yang menempati alam tersebut serta manusia yang melihatnya. Sangatlah disayangkan apabila suatu saat keharmonisan yang telah terbentuk ini diganggu oleh tangan-tangan manusia serakah dan tamak. Akankah Danau Towuti ini akan menjadi korban ketidak bertanggungjawaban manusia sebagaimana danau-danau di Jawa?.
Keanekaragaman hayati yang terdapat di Danau Towuti seakan memberikan inspirasi untuk menjaga dan melestarikan alam yang diberikan oleh Allah SWT Sang Pencipta alam semesta ini
kepada umat manusia. Kesejukan dan keharmonisan yang tercipta di Danau Towuti memberikan ketentraman pada biota yang hidup di dalamnya, baik ikan maupun udang. Beraneka jenis dan warna udang yang mendiami
habitatnya masing-masing,
terutama daerah bebatuan dan kayu serta dedaunan yang telah busuk (serasah).
“Si cantik” dekapoda berkaki sepuluh
“Si cantik” adalah udang (Caridina sp.) yang merupakan udang hias dan hidup di perairan Danau Towuti. “Si cantik” termasuk kedalam kelas Arthropoda, yaitu hewan yang berbuku, karena diseluruh tubuhnya dibungkus oleh kulit yang berbuku-buku. Di samping itu “si cantik” mempunyai lima pasang kaki jalan (dekapoda), satu pasang diantaranya mempunyai capit yang berfungsi untuk mengambil makanan dan juga sebagai senjata pertahanan, sementara empat pasang tidak mempunyai capit tetapi berfungsi sebagai penggali sumber makanan. Di samping itu, udang ini juga mempunyai lima pasang kaki renang yang berfungsi untuk berenang dan untuk mengejar mangsa serta makanan. Ke-lima pasang kaki renang tersebut selain untuk berenang juga berfungsi sebagai substrat penempel dan sekaligus tempat menempelnya telur dalam proses pengeraman sebelum menetas menjadi larva.
“Si cantik” berkaki sepuluh ini menjadi penghuni danau-danau di Komplek Malili, yaitu Danau
(14)
C. spinata
Matano, Towuti, Mahalona, Masapi dan Wawontoa/Lantoa. Dikatakan “si cantik” karena memiliki warna dan corak yang sangat indah, dan bernilai ekonomis tinggi. “Si cantik” ini berukuran kecil hanya berkisar 2 – 2,5 cm dan sangat indah. Biasanya udang hias ini sangat menarik apabila dipelihara di dalam akuarium dalam jumlah banyak. “Si cantik” penghuni Danau Towuti hampir semua merupakan jenis endemik (von Rintelen dan Cai, 2009). Beberapa jenis udang hias penghuni Danau Towuti dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa jenis udang hias yang terdapat di Danau Towuti
N o
Nama lokal/Na ma dagang
Nama
latin Habitat
1 Red orchid Caridina glaubrec hti
Kerikil dan batuan besar (boulders)
2 Black tiger C. holthuisi Banyak di bawah serasah dan tanaman air
3 Lama’ C. lanceolat a
Batu, kerikil, serasah, kayu terendam dan tanaman air 4 Udang
coklat C. lingkona e
Berbagai macam substrat
5 Yellow C. Bebatuan dan kerikil
C. wolterechae
C. lingkonae
C. loehae
Gambar 1. “Si cantik” penghuni Danau Towuti (Sumber gambar von Rintelen dan Chai (2009)
(15)
strip loehae
6 Udang masapi C. masapi Serasah dan tanaman air 7 Pinokio C. profundi
cola Bebatuan dan serasah 8 Yellow check C. spinata Bebatuan
9
Udang garis tiga
C. spongico
la Spesifik sponge 1
0 Liris kecil C. striata Batu besar dan kerikil 1
1 Celebesbeauty C. wolterec kae
Batuan besar dan kerikil
1
3 - C. parvula Bebatuan 1
4
-C. tenuirost ris
Bebatuan dan kayu terendam
1 5
Udang coklat susu
Caridina sp.
Banyak di bawah serasah dan batuan
Potensi Ekonomi
Banyak kalangan
pembudidaya ikan yang haus akan hewan baru untuk diperjual belikan dan dibudidayakan terlebih dahulu. Begitupun pada awalnya “si cantik” ini
dikomersialkan mendapat
penawaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas udang-udang yang lainnya. Patokan harga “si cantik” ini dari nelayan adalah Rp 700/ekor, di pengumpul Rp. 3000/ekor dan di pengecer berkisar antara Rp. 7000 - Rp. 10000/ekor yang disesuaikan dengan jenisnya. Di negeri sakura Jepang satu ekor udang yang super (paling bagus), mendapat tawaran sampai dua juta yen, yaitu jenis-jenis tertentu seperti black bee atau red bee
(http://www.kaskus.us/
showthread.php).
Pada umumnya penangkapan “si cantik” ini dilakukan pada hari-hari tertentu. Misalnya, ada permintaan udang hias dari Jakarta melalui Makassar, maka nelayan siap mengambil udang sesuai jumlah pesanan. Tidak melakukan pengumpulan, karena akan mengeluarkan biaya untuk pakannya. Umumnya nelayan udang hias di Danau Towuti
sudah mengerti makna
konservasi, karena hanya menangkap “si cantik” yang berukuran besar, sedangkan yang berukuran kecil apabila
tertangkap langsung
dikembalikan ke dalam danau (karena ukuran kecil berhak untuk hidup dan bereproduksi untuk menghasilkan anakan yang baru).
Proses pengambilan dan pengumpulan udang dilakukan dengan menggunakan perahu motor ke lokasi habitat udang. Penangkapan dilakukan dengan cara menyelam pada kedalaman 0,5-2,0 m dimana udang-udang tersebut berkumpul di bawah serasah daun, batu ataupun kayu. Alat yang digunakan untuk menangkap “si cantik” yaitu seser (tangguk), kayu yang berwarna gelap dan telah di susun sedemikian rupa (sebagai shelter), baskom besar dan sendok untuk menyortir. Mengingat “si cantik” ini adalah jenis endemik dan untuk
memperolehnya masih
mengandalkan penangkapan di alam (di Danau Towuti), maka perlu dilindungi dan harus ada upaya penangkaran, sehingga keberadaan “si cantik” tetap berkelanjutan (lestari).
(16)
Daftar Pustaka:
Haffner, G.D., P.E. Hehanussa dan D. I. Hartoto. 2001. The
Biology and Physical
Processes of Large Lakes of Indonesia: Lakes Matano and Towuti. In M. Munawar and R.E. Hecky (eds.). The Great Lakes of The World (GLOW): Food-web, health, and integrity. Netherlands. p:183-192.
Nasution, S.H. 2008. Ekobiologi dan dinamika stok sebagai dasar pengelolaan ikan
endemik Bonti-bonti
(Paratherina striata) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi. 152 hal.
Nasution, S.H., D.I. Hartoto dan Sulastri. 2009. Sumber Daya Ikan Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 12 Desember 2009. Hal. 984-989.
Nasution, S.H., D.I. Hartoto, Sulastri, S. Aisyah, T. Tarigan, H. Fauzi dan Sugiarti. 2010. Laporan Akhir Tahun 2010 Program Insentif Penelitian dan Perekayasa LIPI Tahun 2010. 127 hal.
von Rintelen, K. dan Y. Cai. 2009. Radiation of endemic species flocks in ancient lakes: Systematic Revision of the freshwater shrimp Caridina H. Milne Edwards, 1837 (Crustacea: Decapoda: Atyidae) from the ancient lakes of Sulawesi, Indonesia, with the description of eight
new species. Raffles Bull Zool., 57(2):343-452.
Sumber harga:
http://www.kaskus.us/
showthread.php?t=5598215, diakses tanggal 10 Juli 2011.
BAHAYA TOKSISITAS PESTISIDA Dichloro Diphenyl Trichlorethane(M. Suhaemi Syawal, Puslit
Limnologi-LIPI)
syawalms@yahoo.com
ichloro Diphenyl
Trichlorethane (DDT)
adalah insektisida
“tempo dulu” yang pernah disanjung “setinggi langit” karena jasa-jasanya
dalam penanggulangan
berbagai penyakit yang
ditularkan vektor serangga. Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama
di Amerika Utara, Eropah Barat dan juga di Indonesia
telah dilarang. Namun karena
persistensi DDT dalam
lingkungan sangat lama, permasalahan DDT masih akan berlangsung hingga sekarang ini (Anonim, 1984). Adanya sisa (residu) insektisida ini di tanah dan perairan dari penggunaan masa lalu dan adanya bahan DDT sisa yang belum digunakan dan masih tersimpan di gudang tempat penyimpanan di seluruh dunia (termasuk di Indonesia) kini menghantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama,
(17)
puluh tahun, bahkan mungkin sampai 100 tahun atau lebih), bertahan dalam lingkungan
hidup sambil meracuni
ekosistem tanpa dapat
didegradasi secara fisik maupun biologis, sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT.
Berdasarkan PP No. 74 Tahun 2001, bahan kimia yang tergolong dalam pestisida POPs (Persistent Organic Pollutans) termasuk di dalamnya 9 pestisida dengan residu tinggi yakni aldrin, dieldrin, endrin, klordan, toksafon, heptaklor, mireks, HCB dan DDT sudah dilarang dipergunakan. Oleh karena masyarakat umum telah
merasa puas dengan
penggunaan pestisida, maka sulit sekali untuk mengubah
pola pikirnya, sehingga
penyelewengan-penyelewengan dalam penggunaan pestisida kerap terjadi.
Penyelewengan yang terjadi di masa lampau sampai sekarang baik secara sadar atau tidak sadar disebabkan karena ketidakpahaman masyarakat khususnya petani dan juga kecerobohan oleh orang-orang yang mengerti.
Sifat kimiawi dan fisik DDT
Senyawa yang terdiri atas
bentuk-bentuk isomer
dari
1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane yang
secara awam disebut
juga Dichoro Diphenyl
Trichlorethane (DDT) diproduksi
dengan menyampurkan
chloralhydrate
dengan chlorobenzene.
Gambar 1. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT)
DDT-teknis terdiri atas
campuran tiga bentuk isomer DDT (65-80% p,p’-DDT, 15-21% o,p’-DDT, dan 0-4% o,o’-DDT, dan dalam jumlah yang kecil sebagai kontaminan juga terkandung DDE
[1,1-dichloro-2,2- bis(p-chlorophenyl)
ethylene] dan DDD
[1,1-dichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl) ethane]. DDT-teknis ini berupa tepung kristal putih tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan
oksidasi terhasap asam
permanganat.
DDT pertama kali disintesis oleh Zeidler pada tahun 1873 tapi sifat insektisidanya baru ditemukan oleh Dr. Paul Mueller pada tahun 1939. Penggunaan DDT menjadi sangat populer selama Perang Dunia II, terutama untuk
penanggulangan penyakit
malaria, tifus dan berbagai penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk, lalat dan kutu. Di India, pada tahun 1960 kematian oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun 1970. WHO memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus, sehingga Paul Mueller dianugerahi hadiah
(18)
Nobel dalam ilmu kedokteran dan fisiologi pada tahun 1948 (Feng et al, 2003).
DDT adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia manusia sehingga dijuluki “The Most Famous and Infamous Insecticide”.
Bahaya toksisitas DDT terhadap ekosistem
Pada tahun 1962 Rachel Carson dalam bukunya yang
terkenal, Silenty Spring
menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi sehingga
atas rekomendasi EPA
(Environmental Protection
Agency) Amerika Serikat pada tahun 1972 DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973.
Pengaruh buruk DDT
terhadap lingkungan sudah
mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika
Serikat. Dari pengamatan
ternyata elang terkontaminasi
DDT dari makanannya
(terutama ikan sebagai
mangsanya) yang tercemar DDT. DDT menyebabkan cang-kang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative,
and toxic) material (Noegrohati, 1992). Pestisida yang tidak dapat terurai akan terbawa aliran air dan masuk ke dalam
Gambar 2. Perkebunan Jeruk di Brastagi
Sumatera Utara
sistem biota air (kehidupan air). Konsentrasi pestisida yang tinggi dalam air dapat membunuh organisme air diantaranya ikan dan udang. Sementara dalam kadar rendah dapat meracuni organisme kecil seperti plankton. Bila plankton ini termakan oleh ikan maka ia akan terakumulasi dalam tubuh ikan. Tentu saja akan sangat berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh burung-burung atau manusia. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah turunnya populasi burung pelikan coklat dan burung kasa dari daerah Artika sampai daerah Antartika. Setelah diteliti
ternyata burung-burung
tersebut banyak yang tercemar oleh pestisida organiklor yang menjadi penyebab rusaknya dinding telur burung itu sehingga gagal ketika dierami. Bila dibiarkan terus tentu saja perkembangbiakan burung itu akan terhenti, dan akhirnya jenis burung itu akan punah.
(http://kimia.upi.edu/
utama/bahanajar/kuliah_web/20 09/060914/Efekpenggunaanpest
(19)
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
1. Sifat apolar DDT: tidak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik)
semakin tinggi sifat
apolarnya. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit
2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan
hidup, masuk rantai
makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah. Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke 3 dari
polutan organik yang
persisten (Persistent Organic Pollutants, POPs), yang memiliki sifat-sifat berikut:
tidak terdegradasi melalui
fotolisis, biologis maupun secara kimia,
berhalogen (biasanya klor),
daya larut dalam air sangat
rendah,
sangat larut dalam lemak,
semivolatile,
di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh,
bioakumulatif,
biomagnifikatif (toksisitas
meningkat sepanjang rantai makanan)
Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara: kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0,18 sampai 5,86 ppm, sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT
0,00001 sampai 1,56 µg/m3
udara, dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada
taraf 0,001 µg/L. Gejala
keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf,
system imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi.
Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas (Nugraha. 2007).
(20)
Gambar 3. Penyemprotan bahan aktif cair pestisida di perkebunan
Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah melarang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan
pada tahun 1995. Komisi
Pestisida RI juga sudah tidak
memberi perijinan bagi
pengunaan pestisida golongan
hidrokarbon berklor
(chlorinated hydrocarbons) atau
organoklorin (golongan
insektisida di mana DDT termasuk) (KLH, 2004).
Permasalahan sekarang
Walaupun menurut undang-undang telah dilarang, namun disinyalir DDT masih digunakan
secara gelap karena
keefektifannya dalam
membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa
membahayakan ekosistem
manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan bagi kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya
Gambar 4. Berbagai macam pupuk petisida yang dijual saat ini
racun serta persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup. Racun-racun POPs lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar kita seperti aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, hexachlorobenzene, mirex,
toxaphene, PCB (polychlorinated biphenyls), dioxins dan furans (KLH-UNIDO, 2003).
Untuk mengeliminasi bahan racun biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara termal, biologis atau kimia-fisik.
Untuk Indonesia
dipertimbangkan dapat
mengadopsi cara
stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi memerlukan biaya sangat tinggi. Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah membuat racun tidak aktif/ imobilisasi dengan enkapsulasi mikro dan makro
sehingga DDT menjadi
berkurang daya larutnya. Namun permasalahan tetap masih ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih
harus “dibuang”
sebagai landfill di tempat yang “aman”. Namun dengan cara ini
(21)
potensi racun DDT masih tetap bertahan untuk waktu yang lama.
Daftar Pustaka:
Anonim. 1984. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan.
Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman pangan. Jakarta. 1984
Feng, K; Yu, B.Y.; Wang, X.L.; Ge, D.M.; Wang, X.Z.; Wong, M.H.; Cao, Z.H. 2003.
Distribution of
Organochlorine Pesticides (DDT and HCH) Between Plant and Soil System. Environmental Geochemistry and Health 26, pages 253– 258
http://kimia.upi.edu/utama/bah anajar/kuliah_web/2009/06 0914/Efekpenggunaanpesti
sida.html)
KLH-UNIDO, 2003. The Second Interim Report. Enabling Activities to Facilities Early
Action on The
Implementation of the Stockholm Convention on POPs in Indonesia
Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Naskah Akademik untuk Ratifikasi Konvensi Stockhlom
Nugraha. 2007. Evaluasi
Penggunaan Insektisida
Organoklorin di Persawahan di Pantai Utara Jawa
Noegrohati S, Sardjoko, Untung K, Hammers WE. 1992. Impact of DDT Spraying On The Residue Levels In Soil, Chicken, Fishpond Water,
Carp And Human Milk Samples From Malaria Infested Villages in Jawa
Tengah. Toxicol Environ.
Chem. 34:237-251
Sumatra, M. 1984. Residu
insektisida klor-organik
dalam air susu ibu. Tesis
Fakultas Pascasarjana
Jakarta: Universitas
Indonesia
Soemirat, Juli. 2005. Toksikologi
Lingkungan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Toto Himawan. 1999. Resistensi serangga hama terhadap insektisida dan upaya penanggulangannya.
Perhimpunan Entomologi Indonesia cabang Malang. 1999.
Ware, G.W. 1983. Pesticide, Theory and Application. N.H .Freeman and Co. San Francisco.
Sekilas
Warta
F
ajar Setiawan (Puslit Limnologi-LIPI) bersama tiga peneliti dari Puslit Geoteknologi-LIPI telah menghadiri The 3rdASIAHORCs Joint Symposium, pada tanggal 24-27 Oktober 2011 di Beijing, China. Asian Heads of Research Councils, disingkat ASIAHORCs adalah sebuah jejaring yang dibentuk oleh lembaga penelitian di kawasan asia. ASIAHORCs menyediakan platform bagi para
(22)
kepala lembaga penelitian dan lembaga promosi untuk bertemu
secara berkala untuk
mendiskusikan cara-cara
mempromosikan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tujuan jangka panjang berupa memajukan penelitian ilmiah demi kepentingan bersama serta mendorong generasi muda ilmuwan di kawasan Asia. Keanggotaan ASIAHORCs terdiri dari dewan penelitian dan lembaga pendanaan dari sepuluh negara yaitu Cina, Jepang, Korea, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Sejak tahun 2007, ASIAHORCs telah menyelenggarakan empat pertemuan dan dua simposium bersama. Simposium bersam ASIAHORCs yang pertama diselenggarakan oleh JSPS pada bulan Juli 2009 di Nagoya, Jepang. Tema pada simposium bersama ini adalah “Asian Biodiversity: Characteristics, Conservation and Sustainable
Use”. Simposium bersama
ASIAHORCs yang ke-2
diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan November dengan tema: “Natural Disaster Management: Lessons Learnt and Shared Best Practices”. Simposium bersama ASIAHORCs yang ke-3 di selenggarakan oleh National Natural Science Foundation of
China (NSFC) pada 24-27
Oktober 2011 di Beijing, China dengan tema “Global Change in Asia: A Perspective of Land Use
Change”. Simposium ini
menyediakan platform bagi para ahli dari Cina danAsia serta para peneliti untuk membicarakan isu
yang berkaitan dengan
perubahan global seperti perubahan iklim, siklus karbon,
penggunaan lahandan
perubahan tutupan lahan, urbanisasi, penggundulan hutan,
reboisasi, REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation in
Developing Countries), dan
ekosistem di Asia.
Delegasi dari Indonesia adalah : 1). Dr. Heru Santoso
yang mempresentasikan
makalah dengan judul: “Framing Spatial Planning Problems in Indonesia”. 2) Dr. Adrin Tohari
dengan judul: “Impact of
Climate Change on Lanslide Susceptibility in Bogor District, West Java”. 3) Dr. Racmat Fajar
Lubis dengan judul:
“Urbanization and Subsurface Environment Changes in Indonesia Big Cities”. 4) Fajar Setiawan dengan judul: “Study of Urbanization and Settlement Growth Linked with Clean Water Services in Jabodetabek”. Delegasi lainnya membicarakan tentang perubahan simpanan karbon, iklim, kondisi hidrologi DAS, ekosistem, hutan, biosfir, teknologi hijau, tanah-pertanian sampai dampak perubahan
terhadap turisme. Remote
sensing, GIS and pemodelan merupakan pendekatan yang mengemuka untuk mengkaji perubahan global di kawasan Asia.
Salah satu pembicara kunci Prof. Joon Kim dari Korea,
menekankan karakteristik
lingkungan di asia berbeda dengan di negara barat yang notabene menjadi acuan ilmu
(23)
pengetahuan, sehingga diharapkan peneliti di negara-negara Asia bisa saling
berkomunikasi untuk
mengembangkan sendiri
metode, model maupun pendekatan serta pemahaman
terhadap lingkungan
berdasarkan ilmu pengetahuan, ala Asia tentunya.
M
eti Yulianti (Puslit Limnologi-LIPI) telah mengikuti 21st IHP Training Course in 2011,Introduction to River Basin Environment Assessment under Climate Change pada tanggal 28 November – 9 December 2011, di Kyoto- Japan.
Evaluasi numerik berdasarkan model akurat yang dapat mengekspresikan reaksi alami merupakan suatu hal yang penting. Untuk mensimulasikan lingkungan daerah tangkapan air terkait dengan perubahan iklim masa lalu, sekarang dan masa depan, kita memerlukan suatu model yang tak terbantahkan dan terpadu yang
menggabungkan beberapa
proses eko-hidrologi/eko-hidrolik dan hidrokimia menjadi sesuatu yang bersifat hidrologis/ hidrometereologis. Kita harus
segera mempertimbangkan
dampak total dari perubahan iklim terhadap lingkungan untuk melakukan pengelolaan daerah tangkapan air secara tepat. Dampak total perubahan iklim ini cukup sulit untuk dipahami karena sistem aktual dari lingkungan daerah tangkapan air terlalu rumit untuk dibangun
dalam suatu model yang akurat yang mencakup reaksi atau proses hidrologi, lingkungan dan ekologi. Bagaimanapun juga kita bisa mensimulasikan komponen individu suatu model sebagai sistem numerik. Simulasi numerik menggunakan model yang sesuai untuk hidrologi, kondisi lingkungan dan ekologi di bawah kondisi perubahan
iklim merupakan suatu
pendekatan yang kuat, berguna
dan bermanfaat untuk
memahami ditribusi spasial temporal dari sumber daya air, penilaian lingkungan dan biomassa. Atas dasar latar belakang itulah pada kegiatan IHP Training Course ke 21 ini mengambil tema “Introduction to River Basin Environment Assessment under Climate Change” .
Kursus ini difokuskan pada tiga tujuan utama:
1. untuk memperoleh
pengetahuan terbaru pada penilaian hidrologi dan lingkungan di bawah pengaruh perubahan iklim
pada skala daerah
tangkapan air di wilayah Asia-Pasifik,
2. latihan memanfaatkan
simulasi penilaian
lingkungan daerah
tangkapan air dan
3. untuk membahas
kemungkinan menerapkan penilaian lingkungan daerah tangkapan air ke beberapa pengelolaan hidrologi dan lingkungan.
Materi yang disampaikan terdiri dari kuliah mengenai hidrologi dan lingkungan seperti
(24)
Processes, A simple model for evaporation from bare or water body, Basin scale runoff, Basin-scaled groundwater processes, Case study of basin wide
environmental quality
assessment based on the distributed runoff model, dan Habitat structure assessment for riverbed management under climate change. Selain itu
diberikan juga praktek
mengenai Runoff processes: Integrated hydrological model for river basin environment and
ecosystem assessment,
Numerical exercise of
groundwater flow with moving boundaries in two dimensions dan Measurement of hyphoreic habitat conditions of gravel bar for aquatic animals.
Pada hari ke-5 kursus dilakukan kunjungan ke Museum Danau Biwa dan Bendungan Amagase. Kunjungan ini memberikan gambaran singkat mengenai bagaimana Jepang
menerapkan konsep
“Comprehensive Development Project” untuk pelestarian suatu danau. Rencana proyek ini terdiri dari pilar utama yaitu konservasi kualitas air dan sumberdaya alam Danau Biwa yang melimpah, pengontrolan
banjir untuk mengatasi
kerusakan akibat banjir di sekitar Danau Biwa dan pengukuran kebutuhan air untuk pemanfaatan Danau Biwa secara efektif.
(1)
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
1. Sifat apolar DDT: tidak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat
apolarnya. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit
2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah. Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke 3 dari
polutan organik yang
persisten (Persistent Organic Pollutants, POPs), yang memiliki sifat-sifat berikut:
tidak terdegradasi melalui
fotolisis, biologis maupun secara kimia,
berhalogen (biasanya klor),
daya larut dalam air sangat rendah,
sangat larut dalam lemak, semivolatile,
di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh,
bioakumulatif,
biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan)
Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara: kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0,18 sampai 5,86 ppm, sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT 0,00001 sampai 1,56 µg/m3 udara, dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada taraf 0,001 µg/L. Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf,
system imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi.
Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas (Nugraha. 2007).
(2)
Gambar 3. Penyemprotan bahan aktif cair pestisida di perkebunan
Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah melarang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan pestisida golongan
hidrokarbon berklor
(chlorinated hydrocarbons) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk) (KLH, 2004).
Permasalahan sekarang
Walaupun menurut undang-undang telah dilarang, namun disinyalir DDT masih digunakan
secara gelap karena
keefektifannya dalam
membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa membahayakan ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan bagi kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya
Gambar 4. Berbagai macam pupuk petisida yang dijual saat ini
racun serta persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup. Racun-racun POPs lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar kita seperti aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, hexachlorobenzene, mirex,
toxaphene, PCB (polychlorinated biphenyls), dioxins dan furans (KLH-UNIDO, 2003).
Untuk mengeliminasi bahan racun biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara termal, biologis atau kimia-fisik.
Untuk Indonesia
dipertimbangkan dapat
mengadopsi cara
stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi memerlukan biaya sangat tinggi. Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah membuat racun tidak aktif/ imobilisasi dengan enkapsulasi mikro dan makro
sehingga DDT menjadi
berkurang daya larutnya. Namun permasalahan tetap masih ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih
harus “dibuang”
sebagai landfill di tempat yang “aman”. Namun dengan cara ini
(3)
potensi racun DDT masih tetap bertahan untuk waktu yang lama.
Daftar Pustaka:
Anonim. 1984. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman pangan. Jakarta. 1984
Feng, K; Yu, B.Y.; Wang, X.L.; Ge, D.M.; Wang, X.Z.; Wong, M.H.; Cao, Z.H. 2003.
Distribution of
Organochlorine Pesticides (DDT and HCH) Between Plant and Soil System. Environmental Geochemistry and Health 26, pages 253– 258
http://kimia.upi.edu/utama/bah anajar/kuliah_web/2009/06 0914/Efekpenggunaanpesti sida.html)
KLH-UNIDO, 2003. The Second Interim Report. Enabling Activities to Facilities Early
Action on The
Implementation of the Stockholm Convention on POPs in Indonesia
Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Naskah Akademik untuk Ratifikasi Konvensi Stockhlom
Nugraha. 2007. Evaluasi Penggunaan Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai Utara Jawa
Noegrohati S, Sardjoko, Untung K, Hammers WE. 1992. Impact of DDT Spraying On The Residue Levels In Soil, Chicken, Fishpond Water,
Carp And Human Milk Samples From Malaria Infested Villages in Jawa Tengah. Toxicol Environ. Chem. 34:237-251
Sumatra, M. 1984. Residu insektisida klor-organik dalam air susu ibu. Tesis Fakultas Pascasarjana Jakarta: Universitas Indonesia
Soemirat, Juli. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Toto Himawan. 1999. Resistensi serangga hama terhadap insektisida dan upaya penanggulangannya.
Perhimpunan Entomologi Indonesia cabang Malang. 1999.
Ware, G.W. 1983. Pesticide, Theory and Application. N.H .Freeman and Co. San Francisco.
Sekilas
Warta
F
ajar Setiawan (Puslit Limnologi-LIPI) bersama tiga peneliti dari Puslit Geoteknologi-LIPI telah menghadiri The 3rd ASIAHORCs Joint Symposium, pada tanggal 24-27 Oktober 2011 di Beijing, China. Asian Heads of Research Councils, disingkat ASIAHORCs adalah sebuah jejaring yang dibentuk oleh lembaga penelitian di kawasan asia. ASIAHORCs menyediakan platform bagi para(4)
kepala lembaga penelitian dan lembaga promosi untuk bertemu
secara berkala untuk
mendiskusikan cara-cara
mempromosikan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tujuan jangka panjang berupa memajukan penelitian ilmiah demi kepentingan bersama serta mendorong generasi muda ilmuwan di kawasan Asia. Keanggotaan ASIAHORCs terdiri dari dewan penelitian dan lembaga pendanaan dari sepuluh negara yaitu Cina, Jepang, Korea, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Sejak tahun 2007, ASIAHORCs telah menyelenggarakan empat pertemuan dan dua simposium bersama. Simposium bersam ASIAHORCs yang pertama diselenggarakan oleh JSPS pada bulan Juli 2009 di Nagoya, Jepang. Tema pada simposium bersama ini adalah “Asian Biodiversity: Characteristics, Conservation and Sustainable Use”. Simposium bersama
ASIAHORCs yang ke-2
diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan November dengan tema: “Natural Disaster Management: Lessons Learnt and Shared Best Practices”. Simposium bersama ASIAHORCs yang ke-3 di selenggarakan oleh National Natural Science Foundation of China (NSFC) pada 24-27 Oktober 2011 di Beijing, China dengan tema “Global Change in Asia: A Perspective of Land Use Change”. Simposium ini menyediakan platform bagi para ahli dari Cina danAsia serta para peneliti untuk membicarakan isu
yang berkaitan dengan perubahan global seperti perubahan iklim, siklus karbon,
penggunaan lahandan
perubahan tutupan lahan, urbanisasi, penggundulan hutan, reboisasi, REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries), dan ekosistem di Asia.
Delegasi dari Indonesia adalah : 1). Dr. Heru Santoso yang mempresentasikan makalah dengan judul: “Framing Spatial Planning Problems in Indonesia”. 2) Dr. Adrin Tohari dengan judul: “Impact of Climate Change on Lanslide Susceptibility in Bogor District, West Java”. 3) Dr. Racmat Fajar
Lubis dengan judul:
“Urbanization and Subsurface Environment Changes in Indonesia Big Cities”. 4) Fajar Setiawan dengan judul: “Study of Urbanization and Settlement Growth Linked with Clean Water Services in Jabodetabek”. Delegasi lainnya membicarakan tentang perubahan simpanan karbon, iklim, kondisi hidrologi DAS, ekosistem, hutan, biosfir, teknologi hijau, tanah-pertanian sampai dampak perubahan terhadap turisme. Remote sensing, GIS and pemodelan merupakan pendekatan yang mengemuka untuk mengkaji perubahan global di kawasan Asia.
Salah satu pembicara kunci Prof. Joon Kim dari Korea, menekankan karakteristik lingkungan di asia berbeda dengan di negara barat yang notabene menjadi acuan ilmu
(5)
pengetahuan, sehingga diharapkan peneliti di negara-negara Asia bisa saling
berkomunikasi untuk
mengembangkan sendiri metode, model maupun pendekatan serta pemahaman
terhadap lingkungan
berdasarkan ilmu pengetahuan, ala Asia tentunya.
M
eti Yulianti (Puslit Limnologi-LIPI) telah mengikuti 21st IHP Training Course in 2011, Introduction to River Basin Environment Assessment under Climate Change pada tanggal 28 November – 9 December 2011, di Kyoto- Japan.Evaluasi numerik berdasarkan model akurat yang dapat mengekspresikan reaksi alami merupakan suatu hal yang penting. Untuk mensimulasikan lingkungan daerah tangkapan air terkait dengan perubahan iklim masa lalu, sekarang dan masa depan, kita memerlukan suatu model yang tak terbantahkan dan terpadu yang menggabungkan beberapa proses eko-hidrologi/eko-hidrolik dan hidrokimia menjadi sesuatu yang bersifat hidrologis/ hidrometereologis. Kita harus segera mempertimbangkan dampak total dari perubahan iklim terhadap lingkungan untuk melakukan pengelolaan daerah tangkapan air secara tepat. Dampak total perubahan iklim ini cukup sulit untuk dipahami karena sistem aktual dari lingkungan daerah tangkapan air terlalu rumit untuk dibangun
dalam suatu model yang akurat yang mencakup reaksi atau proses hidrologi, lingkungan dan ekologi. Bagaimanapun juga kita bisa mensimulasikan komponen individu suatu model sebagai sistem numerik. Simulasi numerik menggunakan model yang sesuai untuk hidrologi, kondisi lingkungan dan ekologi di bawah kondisi perubahan iklim merupakan suatu pendekatan yang kuat, berguna
dan bermanfaat untuk
memahami ditribusi spasial temporal dari sumber daya air, penilaian lingkungan dan biomassa. Atas dasar latar belakang itulah pada kegiatan IHP Training Course ke 21 ini mengambil tema “Introduction to River Basin Environment Assessment under Climate Change” .
Kursus ini difokuskan pada tiga tujuan utama:
1. untuk memperoleh
pengetahuan terbaru pada penilaian hidrologi dan lingkungan di bawah pengaruh perubahan iklim
pada skala daerah
tangkapan air di wilayah Asia-Pasifik,
2. latihan memanfaatkan
simulasi penilaian
lingkungan daerah
tangkapan air dan
3. untuk membahas
kemungkinan menerapkan penilaian lingkungan daerah tangkapan air ke beberapa pengelolaan hidrologi dan lingkungan.
Materi yang disampaikan terdiri dari kuliah mengenai hidrologi dan lingkungan seperti Basin-scaled Hydrological
(6)
Processes, A simple model for evaporation from bare or water body, Basin scale runoff, Basin-scaled groundwater processes, Case study of basin wide environmental quality assessment based on the distributed runoff model, dan Habitat structure assessment for riverbed management under climate change. Selain itu diberikan juga praktek mengenai Runoff processes: Integrated hydrological model for river basin environment and ecosystem assessment, Numerical exercise of groundwater flow with moving boundaries in two dimensions dan Measurement of hyphoreic habitat conditions of gravel bar for aquatic animals.
Pada hari ke-5 kursus dilakukan kunjungan ke Museum Danau Biwa dan Bendungan Amagase. Kunjungan ini memberikan gambaran singkat mengenai bagaimana Jepang
menerapkan konsep
“Comprehensive Development Project” untuk pelestarian suatu danau. Rencana proyek ini terdiri dari pilar utama yaitu konservasi kualitas air dan sumberdaya alam Danau Biwa yang melimpah, pengontrolan banjir untuk mengatasi kerusakan akibat banjir di sekitar Danau Biwa dan pengukuran kebutuhan air untuk pemanfaatan Danau Biwa secara efektif.