Edisi 2 no 45tahun XXIII Kompilasi Edisi 2

(1)

(Ivana Yuniarti, Haiatus Shohihah dan Popi H. Wisnuwardhani - Puslit Limnologi-LIPI)

ivy_san01@yahoo.com

ama Danau Sentarum tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Lahan basah yang berada di Provinsi Kalimantan Barat ini telah menjadi ramsar site kedua di Indonesia. Sebenarnya ekosistem Danau Sentarum sendiri secara internasional dikategori-kan sebagai lahan basah alami, namun karena luasnya yang mencapai 132.000 hektar (Yuliani et al., 2007; Dennis et al., 2000) di Indonesia ekosistem ini terkenal dengan sebutan danau (lake).

Sebenarnya apakah yang istimewa dari „danau‟ ini sehingga mendapat perhatian dunia sebagai ramsar site. Sebelum berbicara mengenai ekosistem danau ini, terlebih dahulu kita tinjau pengertian ramsar sites. Ramsar sites adalah daftar lahan basah yang menjadi perhatian utama dunia internasional (www.ramsar.org). Danau Sentarum sendiri ditetapkan menjadi ramsar site kedua di Indonesia pada tanggal 30 Agustus 1994. Sebagai tindakan konservasi yang lebih lanjut, kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Taman Nasional Danau Sentarum pada tahun 1999. Dengan demikian sebagai bagian dari Bangsa Indonesia layaklah bila kita mengenal kawasan ini lebih dalam. Tulisan ini sendiri dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum mengenai Danau Sentarum.

A. Informasi geografi dan administrasi Taman Nasional Danau Sentarum meliputi sebuah kawasan seluas 198.000

hektar dan kawasan perairannya mencapai luas 132.000 hektar lahan basah (Yuliani et al., 2007; Dennis et al., 2000). Kawasan ini terletak jarak sekitar 4 km dari batas Indonesia dan Malaysia. Posisi koordinat taman nasional ini adalah 0°39‟-1°00‟ Lintang Utara dan 111°56‟-112°25‟ Bujur Timur (Dept. Kehutanan, 2007).

Secara administratif Taman Nasional Danau Sentarum berada dalam Kab. Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Pada saat penetapan kawasan ini sebagai Taman Nasional, sebuah Badan Otoritas Taman Nasional Danau Sentarum juga didirikan untuk mengelola kawasan ini. Penetapan kawasan Danau Sentarum menjadi Taman Nasional dikukuhkan dengan SK Menteri Kehutanan No. SK No. 34/Kpts-II/99.

B. Informasi hidrologi dan ekologi

Sungai Kapuas adalah pemasok utama air untuk kawasan Danau Sentarum pada musim hujan. Namun, pada musim kemarau lahan basah dalam kawasan ini mengalirkan airnya ke dalam Sungai Kapuas. Yuliani et al. (2007) menyatakan bahwa pada saat musim hujan, kawasan ini menyerap 25% air Sungai Kapuas dan menyumbangkan 50% kandungan airnya ke Sungai Kapuas pada musim kemarau. Proses hidrologi ini didukung oleh curah hujan rata-rata yang berkisar sekitar 3.900 mm per tahun, sementara daerah tangkapan perbukitan dan kawasan pegunungan menerima 4.500-6.000 mm per tahun (Aglionby, 2000).

Secara umum kawasan perairan Danau Sentarum tergolong kawasan perairan mengalir (lotic ecosystem). Kawasan lahan basah di Taman Nasional ini meliputi danau/rawa musiman yang tersambung dengan lahan basah lain seperti hutan rawa gambut (peat lands

N

MENGENAL DANAU SENTARUM:

RAMSAR SITE PENGHASIL IKAN ARWANA DIINDONESIA


(2)

and tall swamp forest/ tanah gambut dan hutan berawa, fresh water swamp/ rawa air tawar dan stunted/dwarf swamp forest/ hutan berawa yang mengalir atau tergenang, dan riparian swamp forest/ hutan berawa pinggiran. Selain itu juga terdapat hutan Dipterocarp sekunder (hills and hill Forest).

Kondisi Danau Sentarum saat musim hujan dan musim kemarau dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kondisi Danau Sentarum saat musim hujan (atas) dan musim kemarau (bawah). Sumber Dennis et al. (2000) C. Potensi sumberdaya hayati

Secara keseluruhan, di dalam kawasan ini terdapat 16 spesies yang terancam punah (International Union for Conservation of Nature (IUCN) list), 26 spesies yang tergolong dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species/ konvensi internasional tentang perdagangan spesies yang terancam punah), 143 mamalia (29 diantaranya endemik di Pulau Kalimantan)

dan populasi orang utan (Pongo pygmaeus). Selain itu juga terdapat 282 spesies burung dan 26 spesies reptil, lebih dari 150 spesies anggrek dan 500 spesies tanaman telah diidentifikasi keberadannya di kawasan ini.

Beberapa spesies ikan yang sangat penting dalam kehidupan penduduk lokal adalah Clown Loach dan Ithe Asian Arowana (Schleropages formosus) Marbled Goby (Oxyeleotris marmorata), Sultan Fish (Leptobarbus hoevenii), Featherback (Chitala lopis), dan Giant Snakehead (Channa micropeltes). Ikan Arwana menjadi sumber perhatian utama karena penurunan populasi besar-besaran yang terjadi akibat penangkapan berlebih karena nilai jualnya yang mencapai $3000 per ikan (Dudley, 2000).

D. Kondisi sosial ekonomi

Dari hasil sensus penduduk pada tahun 1997 diperkirakan sekitar 8.480 penduduk tetap terdaftar di wilayah ini. Penduduk lokal digolongkan dalam dua suku yaitu Iban Dayak dan Malay. Suku Iban Dayak memenuhi kebutuhan hidup mereka melalui kegiatan perikanan tangkap, perkebunan, persawahan, dan agroforestry Sedangkan suku Malay melakukan kegiatan perikanan tangkap, pengumpulan kayu dan budidaya ikan.

Industri yang sangat penting diwilayah ini adalah industri penghasil madu yang dimulai sejak tahun 1800 (de Mol, 1933 dalam Aglionby, 2000). Sekitar 1/3 jumlah keluarga terlibat usaha ini. Total produksi madu di kawasan ini adalah sekitar 20-25 ton pada tahun 1993.

E. Upaya konservasi dan ancamannya Upaya konservasi telah dimulai dengan dideklarasikannya kawasan ini sebagai Kawasan Perlindungan Hewan


(3)

Liar Danau Sentarum (Danau Sentarum Wildlife Reserve) pada tahun 1982 dengan SK Menteri Kehutanan No. 757/Kpts/Um/10/ l982. Pada bulan Februari 1999, kawasan ini diubah statusnya menjadi Taman Nasional Danau Sentarum dan pada bulan April 1994 kawasan ini ditetapkan sebagai ramsar site kedua di Indonesia. Status Taman Nasional menaungi 132.000 hektar area inti (core area) dan 65.000 hektar kawasan penyangga.

Meskipun demikian, upaya nyata konservasi baru dimulai pada tahun 1992 melalui proyek pengelolaan hutan tropis (The United Kingdom Tropical Forest Management Project (UK-ITFMP)) yang didanai oleh the British Overseas Development Administration (sekarang Department for International Development) dari 1992-1997. Proyek ini mendirikan kembali sistem community-based management yang sempat tertidur. Sistem ini berhasil diterapkan di beberapa wiilayah dengan menegakkan hukum adat,

memperkuat kelembagaan dan

menumbuhkan kecintaan lokal terhadap nilai konservasi.

Beberapa ancaman terhadap upaya konservasi kawasan Danau Sentarum adalah: 1. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan alat tangkap dan upaya penangkapan yang ramah lingkungan, 2. Perluasan perkebunan sawit yang menggusur habitat alami, 3. Adanya upaya kanalisasi dan pembendungan air Danau Sentarum, 4. Kebakaran hutan baik secara alami

maupun akibat kegiatan manusia, 5. Lemahnya partisipasi masyarakat, 6. Lemahnya koordinasi antara pemangku kepentingan dan 7. Lemahnya penegakan peraturan dan hukum.

F. Kesimpulan

Danau Sentarum menunjang berbagai fungsi ekologi sebuah ekosistem. yang juga mendukung kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Tantangan upaya konservasi yang paling nyata terletak pada aspek sumberdaya manusia. Peran berbagai pihak sangat penting bagi upaya konservasi yang telah dan sedang dilakukan.

Daftar Pustaka

Aglionby, J. 2000. Introduction to Danau Sentarum National Park, West Kalimantan, Indonesia (Research Notes). Borneo Research Bulletin Vol. 31.

Dennis, R.A., Erman, A., Stolle, F., and Applegate, G., in collaboration with Yayasan Dian Tama (West Kalimantan). 2000. The underlying causes and impacts of fire in Southeast Asia. Site 5: Danau Sentarum West Kalimantan Province, Indonesia.

Dudley, R.G. 2000. The Fishery of Danau Sentarum Wild Reserve. Borneo Research Bulletin Vol. 31:261-306. Departemen Kehutanan. 2007. Taman

Nasional Danau Sentarum.

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/ TN%20INDO-ENGLISH/

tn_sentarum.htm.

Yuliani E.L., Y. Indriatmoko, V. Heri, S. Ernawati, L.B. Prasetyo.2007. Promoting Good Governance in Danau Sentarum National Park under Decentralization. The international workshop on strengthening community conserved area. Turkey (1-5 October 2007).


(4)

(Ikut Tri Handoyo, A.Md, Puslit Limnologi-LIPI)

ikuttri.handoyo@yahoo.com

ungguh akan menjadi mimpi yang sangat buruk bagi

pengguna Excel jika

mendapati workbook-nya rusak (corrupted atau damaged). Kerusakan tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, namun yang menjadi berita baik adalah bahwa kerusakan yang terjadi pada workbook dapat diperbaiki atau dipulihkan. Jika suatu workbook mengalami kerusakan maka Excel secara otomatis melakukan pemulihan (automated recovery/File Recovery Mode), yaitu dengan berusaha membuka ulang dan secara serempak akan memperbaiki workbook yang rusak pada file tersebut. Excel mengindentifikasi isi file/data workbook yang rusak sambil memperbaikinya. Jika perbaikan gagal, Excel akan berusaha kembali untuk membuka workbook tersebut tapi bukan untuk berusaha memperbaiki, namun Excel menyadap nilai cell dan menampilkan data hasil formulanya saja.

Dalam keadaan tertentu Excel terkadang tidak melakukan automated recovery, tapi pengguna Excel tidak perlu putus asa karena ada langkah-langkah lain yang dapat membantu, yaitu:

1. Memulihkan atau Memperbaiki WorkbookFile Excel Secara Manual

Pada menu File, klik Open.

Excel 2007: klik Tombol Microsoft Office , kemudian klik Open.

Pada kotak dialog Open, pilih file/workbook yang rusak.

Klik tanda panah di sebelah tombol Open, kemudian klik Open and Repair. Selanjutnya pilih metode yang digunakan untuk memperbaiki workbook yang rusak. Repair: untuk memulihkan data pada workbook sebanyak mungkin. Extract Data: menyadap dan menampilkan nilai dan formula dari workbook jika pemulihan workbook tidak berhasil.

Penting!. Jika kerusakan workbook diakibatkan karena disk error atau network error maka tidak mungkin untuk membuka workbook tersebut. Pindahkan lokasi workbook tersebut ke tempat lain sebelum menghabis-kan waktu untuk mencoba pilihan-pilihan cara memulihkan file pada langkah nomor 2 atau nomor 3.

2. Menggunakan Versi File yang Terakhir Disimpan

Jika saat bekerja dengan Excel tiba-tiba file tersebut rusak (corrupt atau damaged) sebelum data terakhir dapat disimpan, maka worksheet original dapat dipulihkan dengan cara mengembalikan kondisi file pada kondisi terakhir tersimpan.

Langlah-langkah untuk

mengembali-kan versi file yang terakhir disimpan yaitu:

Pada menu File, klik Open.

S

Tiga Cara Untuk Memulihkan


(5)

- 10

Excel 2007: klik Tombol Microsoft Office , kemudian klik Open.

Pilih nama file yang sedang dikerjakan.

Muncul kotak dialog pesan “Revert to Saved Data?”, klik Ok. Excel 2007: klik Yes untuk membuka kembali workbook. Catatan: Workbook yang terbuka adalah kondisi workbook tersebut yang terakhir tersimpan. Adapun perubahan yang menyebabkan rusaknya workbook tersebut tidak tersimpan.

3. Berusaha Membuka File yang Rusak Dengan Program yang Lain

Jika Excel tidak dapat membuka workbook yang rusak, ada beberapa program yang lain yang dapat

digunakan untuk mencoba

membukanya. Microsoft Tool adalah salah satu pilihannya, cara yang digunakan adalah sebagai berikut:

Klik Start pada Windows XP/tombol bulat Start pada windows Vista/7, pilih All Programs.

Pilih Microsoft Office, kemudian Microsoft Office Tools dan Microsoft Office Application Recovery.

Pada kotak dialog yang muncul, pilih Microsoft Office Excel. Klik Recover Application.

Workbook yang rusak juga dapat dibuka dengan menggunakan Microsoft WordPad. Satu-satunya alternatif adalah WordPad akan mengkonversi seluruh data ke dalam bentuk teks, dan WordPad tidak memulihkan formula-formulanya.

Walaupun demikian, dengan

WordPad setidaknya akan

mengembalikan data yang penting. WordPad juga akan memulihkan prosedur Visual Basic Script (VBS) pada Macros yang dapat dicari pada

recovered text for “Sub” and “Function”

untuk mencarinya.

File .xls yang rusak

memungkinkan juga untuk dibuka dengan Word, namun sekali lagi data adalah satu-satunya yang dapat dipulihkan walaupun hasil yang ditampilkan tidak beraturan. Jadi lakukan hanya sebagai usaha terakhir. Diterjemahkan dari:

“3 ways to recover a corrupted Excel workbook“, HP Technology at Work Index – Articles Archive. Homepage

Online. Available from

http://h30458.www3.hp.com/

apr/en/smb/902514.html; Internet; Diakses pada 20 Januari 2010. “Repairing corrupted files in Excel” –

Applies to: Microsoft Office Excel 2003, Microsoft Office Online.

Available from

http://office.microsoft.com/en-us/ excel/HA010346561033.aspx; Internet; Diakses pada 21 Januari 2010.

“Repairing a corrupted workbook” – Applies to: Microsoft Office Excel 2007, Microsoft Office Online. Available from http://office. microsoft.com/en-us/excel/

HA100970171033.aspx; Internet; Diakses pada 21 Januari 2010.


(6)

- 11 (Dini Daruati, Puslit Limnologi-LIPI)

dini_daru@yahoo.com

aduk Gajah Mungkur di

Wonogiri merupakan

bangunan pengendali banjir di DAS Bengawan Solo Hulu. Dengan adanya waduk tersebut maka masalah banjir di Bengawan Solo dapat dikurangi. Masalah yang timbul adalah bahwa

umur waduk yang

direncanakan 100 tahun kemungkinan tidak dapat tercapai karena tingkat sedimentasinya yang cukup tinggi. Umur waduk 100 tahun tersebut didasarkan pada asumsi tingkat sedimentasi dapat ditekan menjadi 1,2 mm/tahun. Hasil studi yang pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa selama periode 1981-1985 tingkat sedimentasinya mencapai 5,3 mm/tahun. Berdasarkan angka tersebut maka diperkirakan Waduk Gajah Mungkur hanya berumur 27 tahun.

Daerah Tangkapan Waduk (DTW) Gajah Mungkur secara geografis terletak pada 7o23‟-8o15‟LS dan 110o

4‟-111o18‟BT. Secara administratif sebagian

besar terletak di Kabupaten Wonogiri dan sebagian lainnya di Kabupaten Pacitan dan Karanganyar. Luas DTW Gajah Mungkur 135.000 ha dengan genangannya (flooding area) seluas 13.600 ha (Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Solo Hulu, 1985). Daerah Tangkapan Waduk Gajah Mungkur terbagi atas enam sub DAS, yaitu Keduang (42.664 ha), Wiroko (20.580 ha), Temon (6.935 ha), Solo Hulu (19.976 ha), Alang Unggahan (23.528 ha) dan Wuryantoro (7.333 ha). Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.584 mm dengan musim hujan terjadi pada bulan November-April dan musim kemarau pada bulan Mei-Oktober.

Kondisi geologi yang ada berupa daerah dengan formasi vulkanik pada bagian sebelah Utara-Timur, campuran vulkanik dengan batuan sedimen di sebelah Timur dan Barat dan batuan kapur di bagian Selatan. Jenis tanah yang dijumpai terdiri atas Litosol (29,05 %), Grumusol (31,40 %), Latosol (11,37 %), dan Mediteran (40,70 %). Kondisi topografi umumnya berbukit dan bergunung. Penggunaan lahan yang dominan adalah tegal (38,57 %), sawah (36,43 %), pekarangan (23,86 %), hutan (10,90 %), dan lainnya (6,67 %). (Sukresno dan Rahardyan, 2001)

Menurut penelitian Pramono et al., (2001), sedimentasi di DTW Gajah Mungkur mulai turun sejak tahun 1991 dari 29 ton/ha/tahun menjadi 8 ton/ha/tahun. Hal ini diakibatkan oleh adanya kegiatan rehabilitasi lahan yang telah dimulai sejak tahun 1989 dan rendahnya curah hujan tahun 1997. Tingkat sedimentasi mulai naik lagi pada tahun 1998, dari 8 ton/ha/tahun pada tahun 1997 menjadi 33 ton/ha/tahun pada tahun 1998. Adanya El-Nino tahun 1997 yang menyebabkan kekeringan dan adanya La-Nina pada tahun 1998 yang menyebabkan curah hujan yang terjadi berada di atas rata-rata (normal), sehingga besar erosivitas hujan juga meningkat. Tingkat sedimentasi sejak tahun 1998 sampai tahun 2000 sudah melebihi tingkat sedimentasi tahun 1991 sehingga dikhawatirkan umur waduk akan lebih pendek lagi.

Penelitian tersebut menganalisis kecenderungan perubahan kondisi hidrologi di empat Sub DAS (Wuryantoro, Alang, Temon, dan Keduang) yang masuk ke Waduk Gajah Mungkur. Analisis tersebut meliputi data tingkat sedimentasi, hasil air, dan koefisien regim sungai pada masing-masing Sub DAS. Bahan dan alat yang diperlukan berupa Automatic Water Level Recorder (AWLR), Automatic Rainfall Recorder (ARR), Ombrometer, Suspended sediment sampler, dan Peta Topografi. Data yang diperlukan adalah data curah hujan, data Tinggi Muka Air (TMA) dan data sampel sedimen. Data curah hujan diolah menjadi hujan rata-rata dengan

W

SEDIMENTASI DI WADUK

GAJAH MUNGKUR


(7)

- 12

metode polygon Thiesen, data TMA diolah menjadi debit dengan menggunakan stage-discharge rating curve, dan data sampel sedimen diolah menjadi tingkat sedimentasi dengan menggunakan suspended-discharge rating curve. Perubahan debit sungai (m3/detik)

menjadi debit limpasan dilakukan dengan mengubah satuan m3/dtk menjadi

mm/tahun, dengan demikian data debit dapat dibandingkan antara Sub DAS yang satu dengan lainnya tanpa terpengaruh oleh luas Sub DAS. Pengukuran sedimen dilakukan pada masing-masing outlet dari empat Sub DAS yang masuk ke Waduk Gajah Mungkur.

Koefisien aliran menunjukkan

perbandingan antara debit dengan curah hujan yang menyebabkannya. Koefisien ini menggambarkan kondisi hidrologi suatu DAS. Menurut Cook dan Bansby-Williams dalam Suyono (1996) DAS yang baik mempunyai koefisien aliran < 0,50, DAS yang cukup mempunyai koefisien antara 0,50 – 0,75 dan DAS yang buruk koefisien alirannya > 0,75. Jika hanya dilihat dari koefisien aliran tersebut, Sub DAS yang ada di Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Gajah Mungkur masih relatif baik dengan nilai koefisien rata-rata berkisar antara 0,22 sampai 0,48. Selain itu koefisien alirannya juga cenderung semakin membaik.

Sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur masih tetap terjadi walaupun telah dilakukan upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) secara luas di DTW Gajah Mungkur pada periode 1988-1994. Hal tersebut memperlihat-kan bahwa penanganan RLKT yang dilakukan kemungkinan masih belum sesuai dengan sasaran penanganan yang seharusnya dilakukan, yaitu dalam mengidentifikasi sumber-sumber erosi di DTW Gajah Mungkur sebagai asal terjadinya sedimentasi. Permasalahan tersebut melatarbelakangi Sukresno dan Rahardyan (2001) untuk mengevaluasi sumber-sumber erosi-sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur dengan metode korelasi ukuran butir tanah asli di DTW Gajah Mungkur dengan ukuran butir

sedimen di Waduk Gajah Mungkur.

Tanah asli yang mewakili untuk tiap jenis tanah yang ada di masing-masing enam sub DAS di DTW Gajah Mungkur diambil sebagai sampel untuk mendeteksi karakteristik ukuran butir asal sedimen, sedangkan sampel endapan sedimen diambil dari muara sungai di enam sub DAS tersebut. Pengambilan sampel tanah asli asal sedimen dan endapan sedimen dilakukan pada musim kemarau tahun 1994 dengan menggunakan bor tanah untuk sampel tanah dan sedimen lapisan permukaan (0-10 cm). Selanjutnya sampel tanah dan sedimen tersebut dianalisis ukuran butir untuk fraksi liat (< 0,002 mm), debu dan pasir halus (0,1-0,002 mm) dan pasir kasar (0,1-2,0 mm) (penggolongan berdasarkan USDA). Untuk mengetahui hubungan antara tanah asal sedimen dengan sedimen dilakukan dengan membandingkan antara ukuran butir tanah asli dan endapan sedimennya pada ke enam sub DAS (Keduang, Wiroko, Temon, Solo Hulu, Alang Unggahan dan Wuryantoro) di DTW dan Waduk Gajah Mungkur.

Hasil penelitian Pramono et al., (2001) tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar sedimen di Waduk Gajah Mungkur bukan berasal dari hasil erosi ditempat (sheet-rill erosion) namun dapat berasal dari erosi tebing sungai, erosi tebing jalan, erosi parit dan erosi jurang (gully), terutama di sub DAS Wiroko, Temon, Solo Hulu dan Alang Unggahan. Hal ini karena ukuran butir material sedimen di waduk pada sub DAS tersebut lebih kasar dibanding tanah aslinya. Kondisi ini mencerminkan bahwa penanganan erosi lahan dengan praktek konservasi tanah seperti terasering dan lain-lain telah dilakukan dengan tepat, namun penangan erosi pada offsite (pada alur-alur sungai) belum tepat sasaran. Pada sub DAS Keduang dan Wuryantoro menunjukkan bahwa ada korelasi yang sama antara besar ukuran butir material tanah asli di DTW dengan ukuran butir sedimen di waduk. Hasil sedimen yang berada di muara sungai Keduang dan Wuryantoro ukuran butirnya masih memiliki


(8)

- 13

karakteristik yang sama dengan sumbernya (tanah asli di DTW), hal ini memperlihatkan bahwa sedimen tersebut merupakan hasil langsung dari erosi sheet-rill, maupun tanah longsor dan erosi jurang yang terutama banyak terjadi pada lahan-lahan garapan (tegal). Kondisi ini memperlihatkan bahwa penanganan konservasi tanah yang ditujukan untuk mengendalikan baik erosi onsite maupun erosi offsite belum dilakukan sesuai sasaran. Hal tersebut mengakibatkan hasil erosi yang berada di DTW terutama di sub DAS Keduang dan Wuryantoro hampir semua menjadi sedimen di waduk. Muara kedua sub DAS tersebut sangat dekat dengan tubuh bendung Waduk Gajah Mungkur.

Berdasarkan analisis sumber erosi-sedimentasi di atas, penanganan RLKT di sub DAS Wiroko, Temon, Solo Hulu dan Alang Unggahan perlu lebih diarahkan untuk mengendalikan erosi tebing sungai, erosi tebing jalan, erosi parit dan erosi jurang. Untuk sub DAS Keduang dan Wuryantoro penanganan RLKT-nya lebih diarahkan untuk mengendalikan erosi sheet-rill, tanah longsor dan erosi jurang. Pengerukan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri akan sia-sia bila tidak diikuti dengan usaha menahan laju erosi. Erosi yang berlebihan dari bagian hulu sungai akan menyebabkan pengendapan di waduk lebih cepat bertambah. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Penelitian Teknologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Nugroho Sulistyo Priyono, "Pengerukan tidak akan efektif kalau penahan erosi di bagian hulu tidak diperhatikan, terutama erosi dari Sungai Keduang yang cukup tinggi," jelas Nugroho (Kompas, 2009). Pengerukan lumpur di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri telah dimulai sejak bulan Mei 2003. Proses pengerukan ini merupakan bantuan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) sebanyak Rp 60 miliar. Menurut Nugroho, sebenarnya sudah ada beberapa pembangunan pengendali erosi, tetapi oleh pemerintah daerah, bangunan tersebut tidak dipelihara. Misalnya di hulu Sungai

Keduang yang terdapat beberapa bangunan pengendali erosi. Bangunan pengendali erosi itu bisa dibangun dari bambu atau batu. Mengendalikan laju erosi juga bisa dilakukan dengan membuat terasering pada permukaan tanah. Ia juga mengusulkan, pemerintah dapat membuat bangunan penahan erosi dari bambu yang langsung ditanam karena bambu tahan lama. Bupati Wonogiri H. Begug Poernomosidi mengemukakan bahwa seharusnya tidak hanya dilakukan pengerukan lumpur yang telah terlihat di dekat bendungan. Perlu juga dilakukan pembuatan cek dam pada anak-anak Sungai Bengawan Solo dan perbaikan hutan-hutan yang ada di daerah hulu, baik itu milik rakyat maupun Perhutani yang sekarang telah rusak berat akibat banyaknya penjarahan kayu (Surat Kabar Kompas, 2009).

Daftar Pustaka

Pramono I.B, Sukresno dan U.H. Murtiono. 2001. Evaluasi Kondisi Hidrologi di Daerah Tangkapan Air Waduk Gadjah Mungkur, Wonogiri. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Das Surakarta, hal 75-84.

Sukresno dan Rahardyan, N.A. 2001. Evaluasi Sumber-Sumber Erosi-Sedimentasi di Waduk Wonogiri. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan

Pengembangan Teknologi

Pengelolaan Das Surakarta, hal 51-59

Suyono. 1996. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Kontek Hidrologi dan Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato pada Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Madya di Fakultas Geografi UGM. Surat Kabar Kompas. 5 Februari 2009.

Pendangkalan Waduk Gajah Mungkur Mengkhawatirkan.


(9)

- 14 (Muhammad Badjoeri, Puslit Limnologi-LIPI)

mbadjoeri@yahoo.com

ndonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati mikroba. Berbagai jenis mikroba telah dimanfaatkan manusia sebagai penghasil antibiotik pada industri obat-obatan dan kedokteran, probiotik pada industi makanan, biofertilizer pada industri pertanian dan perikanan, agen bioremedasi pada pengolahan limbah dan penanganan pencemaran lingkungan. Mikroba selain sangat beragam jenisnya juga sangat dipengaruhi faktor lingkungan sehingga dapat mengalami perubahan karakter, baik fisiologis maupun genetik. Karena itulah para peneliti berupaya mencari berbagai teknik untuk menyimpan dan mengawetkannya agar ketersediaan isolat mikroba yang stabil dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Preservasi mikroba adalah upaya penyimpanan dan pemeliharaan koleksi atau plasma nutfah mikroba dalam jangka waktu tertentu dan apabila suatu saat diperlukan dapat dengan mudah diperoleh kembali dengan kondisi yang relatif stabil. Keberhasilan preservasi mikroba ditentukan oleh: 1) penguasaan teknologi, 2) ketersediaan fasilitas dan 3) ketersediaan tenaga yang terampil. Tujuan preservasi: 1. menahan laju aktivitas metabolisme mikroba sehingga viabilitas (daya tumbuh) nya dapat dipertahankan, 2) memelihara isolat mikroba sehingga mempunyai recovery (daya tumbuh kembali) dan kelangsungan hidup yang tinggi dengan perubahan karakter yang minimum (Machmud, 2001). Berbagai cara atau teknik preservasi mikroba telah banyak dikembangkan (Howard 1955, Davis 1975, Fletcher and Young 1997, Obara et al. 1981, Badjoeri dan Widiyanto 1999, Machmud 2001, Kusmiati dan Priyadi 2003, dan Yuniarti et al. 2003) yaitu :

1. Preservasi mikroba untuk jangka waktu pendek:

a. Preservasi sub kultur, yaitu teknik peremajaan, pemeliharaan dan penyimpanan dengan memindahkan isolat secara berkala dalam jangka waktu yang pendek (1 – 3 bulan) dari media lama ke media baru. Teknik ini tidak dianjurkan dilakukan terus menerus dalam jangka waktu panjang

karena dapat menyebabkan

terjadinya perubahan karakter genetik mikroba melalui seleksi varian dan berpeluang terkontaminasi.

b. Preservasi dalam aquadest steril, yaitu teknik penyimpanan mikroba dalam tabung yang berisi aquadest steril dan disimpan pada suhu tertentu. Caranya yaitu: 1) isolat murni bakteri ditumbuh-kan dalam media agar miring dan telah diinkubasi selama 24–48 jam, 2) aquadest steril sebanyak 5–10 mL disiapkan dalam tabung bertutup ulir atau dalam eppendorf, 3) bakteri yang akan disimpan dimasukan kedalam tabung yang telah berisi aquadest steril sebanyak 1 ose atau 1mL sspense, 4) tabung ditutup rapat dan disimpan pada suhu ruang atau suhu 10–15 oC.

dan 5) uji viabilitas dan pemeliharaan dilakukan secara rutin, dan recovery dilakukan dengan menanamnya secara langsung pada media cair atau media agar yang sesuai.

c. Preservasi dalam gliserol konsentrasi rendah, yaitu teknik penyimpanan isolat mikroba menggunakan larutan gliserol berkonsentrasi rendah dan disimpan pada suhu rendah. Kelompok bakteri fotosintetik dapat disimpan selama 1–3 bulan. Beberapa jenis lainnya seperti Aerobacter aerogenes, Corynebacterium diphtheriae, Corynebacterium xerose, Corynebacterium pseudodiphtheriticum, Diplococcus pneumoniae, Escherichia coli, Micrococcus pyogenes, var. aureus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella enteritidis, Serratia marcescens, Shigella flexnsri dan Streptococcus viridians dapat disimpan lebih dari lima bulan pada

I

PRESERVASI MIKROBA UNTUK PELESTARIAN DAN STABILITAS PLASMA NUTFAH


(10)

- 15

suhu -10 oC. Haemophilus influenza

selama empat bulan, Neisseria meningitides selama 6 minggu dan Neisseria gonorrhoeae selama tiga minggu (Hollander and Nell 1954 dalam Howard 1955), tetapi N. gonorrhoeae dapat disimpan lebih lama sampai tiga bulan pada suhu -40

oC (Weiser and Osterud 1945 dalam

Howard 1955). Caranya: 1) isolat murni bakteri ditumbuhkan selama 48 jam dalam media agar miring, 2) siapkan sebanyak 1mL gliserol steril 15% aquadest dalam tabung eppendorf , 3) isolat bakteri dimasukan kedalam eppendorf berisi gliserol 15% sebanyak 1mL suspensi. Eppendorf ditutup rapat, larutan dihomogenkan dan disimpan pada suhu -15 oC dan 4)

uji viabilitas bakteri dilakukan rutin (minimal satu bulan) dan recovery dilakukan dengan cara menanamnya secara langsung pada media cair atau media agar.

2. Preservasi mikroba untuk jangka waktu panjang:

a. Preservasi dalam minyak mineral atau parafin cair, yaitu teknik penyimpanan mikroba yang ditanam pada media agar dan melapisi (menutup) nya dengan minyak mineral atau parafin cair. Teknik ini lebih baik dibanding dengan aquadest steril, karena mampu mempertahankan viabilitas mikroba dengan mencegah lebih lama terjadinya kekeringan pada media. Beberapa jenis jamur dapat disimpan sampai 20 tahun dengan teknik ini. Caranya: 1) isolat mikroba ditumbuh-kan selama 24–48 jam dalam tabung bertutup ulir yang berisi media agar atau cair, 2) minyak mineral atau parafin cair disterilkan pada suhu 121

oC selama 60 menit, 3) masukkan

minyak mineral atau parafin cair kedalam tabung berisi isolat sehingga melapisi permukaan media setinggi 10–20 mm, 4) tabung isolat yang telah dilapisi disimpan pada suhu ruang atau di lemari es (suhu 4oC) dan 5) uji

viabilitas dilakukan rutin (minimal satu tahun sekali) dan recovery dilakukan

dengan mengambil sebagian

suspensinya atau digoreskan langsung pada media agar.

b. Preservasi dalam tanah steril, yaitu teknik penyimpanan mikroba menggunakan tanah kering steril. Teknik ini mampu menyimpan mikroba hingga 20 tahun atau lebih. Beberapa jamur seperti Streptomyces sp. dan bakteri berspora seperti Bacillus sp., Clostridium sp. dan Rhizobium sp. dapat disimpan dengan teknik ini. Kelebihan teknik ini ialah selain biayanya murah juga cukup baik menjaga stabilitas karakter genetis isolat yang disimpan. Caranya: 1) tanah agak liat dihaluskan dan diayak sampai bersih, partikelnya halus dan homogen, 2) tanah dimasukan kedalam tabung berukuran 25 mL yang bertutup ulir hingga hampir penuh (± 1 cm dari mulut tabung), 3) tanah dibasahi dengan aquadest (30% kebasahan kapasitas lapang) dan disterilisasi sebanyak tiga kali berturut-turut dalam tiga hari dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama satu jam, 4)

tabung berisi tanah di oven pada suhu 150 oC selama satu jam setelah dingin

disimpan dalam desikator, 5) suspensi mikroba dibuat dalam larutan pepton steril 2% dalam aquadest, 6) sebanyak 0,1 mL suspensi mikroba dimasukkan ke dalam tabung, 7) tabung disimpan kembali dalam desikator atau setelah kering dapat disimpan di ruang koleksi, 8) uji viabilitas mikroba dilakukan rutin minimal setahun sekali dan 9) recovery dilakukan dengan menumbuhkannya dalam medium cair dan menggoreskan suspensi tanah pada medium agar yang sesuai.

c. Preservasi dalam lempeng gelatin, yaitu teknik penyimpanan mikroba menggunakan lempengan gelatin dan disimpan pada suhu 4 oC. Caranya: 1)

sebanyak 10 mL lilin (parafin wax) disterilkan dalam cawan petri dan dibiarkan memadat, 2) kultur bakteri ditumbuhkan selama 24-48 jam dan


(11)

- 16

jadikan suspensi (kepadatan 109

sel/mL) pada media gelatin nutrien 30% yang mengandung 0,25% asam askorbat, 3) ambil suspensi bakteri menggunakan pipet steril dan teteskan pada permukaan lilin atau kertas lilin dalam cawan petri, 4) masukan cawan petri yang telah diteteskan ke dalam desikator vakum yang berisi P2O5 dan

dievakuasi sampai kering dan membentuk lempengan gelatin, 5) lempengan gelatin diambil secara aseptik menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam tabung steril bertutup ulir (tiap botol diisi 5–10 lempeng), 6) tabung disimpan dalam wadah yang berisi P2O5 pada suhu 4 oC, 7) uji viabilitas dilakukan secara

periodik minimal setiap tahun dan 8) recovery bakteri dilakukan dengan menanam lempeng gelatin pada media cair dan menggoreskan suspensi media cair pada media agar yang sesuai. d. Preservasi secara kriogenik, yaitu teknik

penyimpanan mikroba dalam media cair dengan penambahan senyawa krioprotektan (larutan konservatif) dan dibekukan pada suhu sangat rendah dalam nitrogen cair. Semakin rendah suhu penyimpan mikroba akan semakin kecil kemungkinan kehilangan

kemampuan viabilitasnya.

Penyimpanan pada suhu sangat rendah dapat dilakukan dengan merendamnya dalam nitrogen cair yang suhunya mencapai -196 oC. Berbagai mikroba

dapat disimpan langsung pada media

tumbuh dengan menambahkan

senyawa krioprotektan seperti gliserol atau dimetilsulfoksida (DMSO) yang dapat mengurangi dampak negatif akibat pembekuan. Krioprotektan lainnya adalah methanol, gula sacharida, polyvinyl pyrollidone (PVP). Proses pembekuan pada kriopreservasi sebaiknya dilakukan secara bertahap hingga mencapai suhu 0 atau -40 oC,

selanjutnya didinginkan secara cepat hingga suhu akhir mencapai -196 oC.

Kusmiati dan Priadi (2003) melaporkan bakteri Bacillus pumilus dapat disimpan

dengan teknik ini selama 12 bulan. Caranya: 1) bakteri yang akan disimpan ditumbuhkan pada media agar miring yang sesuai selama 24-48 jam, 2) masukkan 5 mL larutan krioprotektan (gliserol 5-10% atau DMSO 5%) ke dalam tabung agar miring sehingga membentuk suspensi pekat biakan mikroba atau 1 mL suspensi bakteri ditumbuhkan pada media cair dalam ampul steril dan diinkubasi selama 16–18 jam kemudian ditambahkan larutan krioprotektan, 3) suspensi mikroba dipindahkan sebanyak 0,3–0,4 mL ke dalam ampul steril dan ditambahkan 0,4 ml larutan krioprotektan, 4) ampul dipotong (ditutup) dengan api las, 5) suspensi bakteri direndam dalam nitrogen cair (suhu -196 oC) selama 30 menit, 6)

tabung berisi suspensi bakteri disimpan di dalam freezer suhu -20 oC dan 7) uji

viabilitas dengan mengambil suspensi bakteri dalam ampul dan ditumbuhkan pada media cair.

e. Presevasi mikroba secara kering beku (lyofilisasi) yaitu teknik penyimpanan dan pengawetan mikroba yang menggabungkan metoda pengeringan dan pembekuan dalam media penyimpanan khusus dengan bantuan alat pengering dan pembeku (freeze dryer). Teknik ini paling popular dan banyak digunakan untuk menyimpan berbagai jenis mikroba (virus, bakteri, khamir, jamur berspora, algae dan protozoa) tetapi lebih rumit dibanding teknik lainnya. Hal yang penting diperhatikan adalah penggunaan cairan pengawet (preservatif) yang tepat pada pembuatan suspensi bakteri untuk menyimpan mikroba. Fungsi dari preservatif adalah untuk mencegah kerusakan dan menstabilkan protein akibat proses pembekuan dan pengeringan. Salah satu preservatif yang baik adalah mist dessicants yang komposisinya terdiri dari pepton 12 g dan glukosa 30 g dalam aquadest 100 mL. Beberapa preservatif lainnya antara lain larutan pepton 1%, larutan


(12)

- 17

susu skim 1% dan larutan campuran serum kuda dengan pepton 10% (Sky 1983 dalam Machmud, 2001). Caranya: 1) ampul kosong berukuran 1 mL disterilkan dalam oven pada suhu 160 oC selama satu jam. Ampul

kosong sebelum disterilkan diberi label kode mikroba dengan memasukkan kertas filter (3 mm x 20 mm). Ampul ditutup dengan kapas dan bagian luarnya juga diberi label yang sama. 2) mikroba yang akan disimpan ditumbuhkan hingga fase pertumbuhan optimum dalam media yang sesuai (umumnya selama 24–48 jam pada suhu ruang), 3) buat suspensi mikroba (109sel/mL) dalam larutan

preservative, 4) masukkan suspensi mikroba sebanyak 0,1–0,3 mL ke dalam ampul kosong steril dengan menggunakan pipet mikro, 5) suspensi mikroba dalam ampul dibekukan pada suhu -20 sampai -30 oC atau

menggunakan es kering, 6) ampul berisi suspensi bakteri yang telah dibekukan dipasangkan pada alat pengering-beku, 7) setelah proses kering-beku, ampul dipotong (ditutup) dengan api las, 8) ampul disimpan pada suhu ruang atau lemari es (4 oC)

dan sebagian ampul diambil untuk uji viabilitas mikroba, 9) uji viabilitas dilakukan secara periodik setiap tahun dan 10) recovery mikroba dilakukan dengan merendam ampul pada suhu 37oC atau didiamkan beberapa saat

pada suhu ruang, kemudian bagian ujungnya dipatahkan dengan pemotong kaca. Masukkan beberapa tetes media cair ke dalam ampul, dibiarkan beberapa saat sambil agak digoyang-goyang agar biakan mikroba larut. Suspensinya diambil dengan pipet dan diteteskan pada cawan petri yang berisi media yang sesuai, koloni yang terbentuk dapat ditumbuhkan pada media agar miring. Kesimpulan

Teknik kering beku (lyofilisasi) merupakan teknik paling baik digunakan untuk preservasi mikroba karena dengan

teknik ini mikroba dapat disimpan dalam waktu lama dengan karakter dan viabilitas yang relatif stabil.

Daftar Pustaka

Badjoeri, M. dan T. Widiyanto. 1999. Penyimpanan Isolat Bakteri Fotosintetik Anoksigenik dalam Gliserol dengan Konsentrasi dan Suhu yang Berbeda. Limnotek. Perairan Darat Tropis Indonesia. Vol. 3(1):39-47.

Davis, C. 1976. Presevation of Gastrointestinal Bacteria and Their Microenvironmental Associations in Rats by Freezing. J. Appl. Environ. Microbiol. Vol. 31(2):304-312.

Fletcher, M. J. and J. M. Young. 1997. Studies on Vacuum-Drying for The Presevation of Plant Pathogenic Bacteria. J.Cult.Coll. Vol. 2:21-25 Howard, D. H. 1955. The Preservation of

Bacteria by Freezing in Glycerol Broth. Department of Infectious Diseases, School of Medicine, University of California, Los Angeles 24, California, p.625.

Kusmiati dan D. Priadi. 2003. Kriopreservasi Bakteri Selulotik Bacillus pumilus dengan Krioprotektan Berbeda. BioSmart. Vol. 5(1):21-24.

Machmud, M. 2001. Teknik Penyimpanan dan Pemeliharaan Mikroba. Buletin AgroBio 4(1):24-32

Obara, Y., S. Yamai, Nikawa, T., Shimoda, Y. and Mitamoto, Y. 1981. Preservation and Transportation of Bacteria by Simple Gelatin Disk Method. J.Clin.Microbiol. Vol. 14 (1):61-66. Yuniarti, E., D.N. Susilowati dan R.

Saraswati. 2003. Koleksi, Karakterisasi dan Preservasi Mikroba Remediasi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. hal. 97-105.


(1)

- 12

metode polygon Thiesen, data TMA diolah

menjadi debit dengan menggunakan stage-discharge rating curve, dan data sampel sedimen diolah menjadi tingkat

sedimentasi dengan menggunakan

suspended-discharge rating curve.

Perubahan debit sungai (m3/detik)

menjadi debit limpasan dilakukan dengan

mengubah satuan m3/dtk menjadi

mm/tahun, dengan demikian data debit dapat dibandingkan antara Sub DAS

yang satu dengan lainnya tanpa

terpengaruh oleh luas Sub DAS.

Pengukuran sedimen dilakukan pada

masing-masing outlet dari empat Sub DAS

yang masuk ke Waduk Gajah Mungkur.

Koefisien aliran menunjukkan

perbandingan antara debit dengan curah hujan yang menyebabkannya. Koefisien ini menggambarkan kondisi hidrologi suatu DAS. Menurut Cook dan Bansby-Williams dalam Suyono (1996) DAS yang baik mempunyai koefisien aliran < 0,50, DAS yang cukup mempunyai koefisien antara

0,50 – 0,75 dan DAS yang buruk koefisien

alirannya > 0,75. Jika hanya dilihat dari koefisien aliran tersebut, Sub DAS yang ada di Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Gajah Mungkur masih relatif baik dengan nilai koefisien rata-rata berkisar antara 0,22 sampai 0,48. Selain itu

koefisien alirannya juga cenderung

semakin membaik.

Sedimentasi di Waduk Gajah

Mungkur masih tetap terjadi walaupun telah dilakukan upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) secara luas di DTW Gajah Mungkur pada periode 1988-1994. Hal tersebut memperlihat-kan bahwa penanganan RLKT yang dilakukan kemungkinan masih belum sesuai dengan sasaran penanganan yang seharusnya dilakukan, yaitu dalam mengidentifikasi sumber-sumber erosi di DTW Gajah

Mungkur sebagai asal terjadinya

sedimentasi. Permasalahan tersebut

melatarbelakangi Sukresno dan

Rahardyan (2001) untuk mengevaluasi

sumber-sumber erosi-sedimentasi di

Waduk Gajah Mungkur dengan metode korelasi ukuran butir tanah asli di DTW Gajah Mungkur dengan ukuran butir

sedimen di Waduk Gajah Mungkur.

Tanah asli yang mewakili untuk tiap jenis tanah yang ada di masing-masing enam sub DAS di DTW Gajah Mungkur diambil sebagai sampel untuk mendeteksi karakteristik ukuran butir asal sedimen, sedangkan sampel endapan sedimen diambil dari muara sungai di enam sub DAS tersebut. Pengambilan sampel tanah asli asal sedimen dan endapan sedimen dilakukan pada musim kemarau tahun 1994 dengan menggunakan bor tanah untuk sampel tanah dan sedimen lapisan permukaan (0-10 cm). Selanjutnya sampel tanah dan sedimen tersebut dianalisis ukuran butir untuk fraksi liat (< 0,002 mm), debu dan pasir halus (0,1-0,002 mm) dan pasir kasar (0,1-2,0 mm) (penggolongan berdasarkan USDA). Untuk mengetahui hubungan antara tanah asal sedimen

dengan sedimen dilakukan dengan

membandingkan antara ukuran butir tanah asli dan endapan sedimennya pada ke enam sub DAS (Keduang, Wiroko, Temon,

Solo Hulu, Alang Unggahan dan

Wuryantoro) di DTW dan Waduk Gajah Mungkur.

Hasil penelitian Pramono et al., (2001)

tersebut menunjukkan bahwa sebagian

besar sedimen di Waduk Gajah Mungkur bukan berasal dari hasil erosi ditempat (sheet-rill erosion) namun dapat berasal dari erosi tebing sungai, erosi tebing jalan, erosi parit dan erosi jurang (gully), terutama di sub DAS Wiroko, Temon, Solo Hulu dan Alang Unggahan. Hal ini karena ukuran butir material sedimen di waduk pada sub DAS tersebut lebih kasar dibanding tanah aslinya. Kondisi ini mencerminkan bahwa penanganan erosi lahan dengan praktek konservasi tanah seperti terasering dan lain-lain telah dilakukan dengan tepat, namun penangan erosi pada offsite (pada alur-alur sungai) belum tepat sasaran. Pada sub DAS Keduang dan Wuryantoro menunjukkan bahwa ada korelasi yang sama antara besar ukuran butir material tanah asli di DTW dengan ukuran butir sedimen di waduk. Hasil sedimen yang berada di muara sungai Keduang dan Wuryantoro


(2)

- 13

karakteristik yang sama dengan

sumbernya (tanah asli di DTW), hal ini memperlihatkan bahwa sedimen tersebut

merupakan hasil langsung dari erosi

sheet-rill, maupun tanah longsor dan erosi jurang yang terutama banyak terjadi pada lahan-lahan garapan (tegal). Kondisi ini

memperlihatkan bahwa penanganan

konservasi tanah yang ditujukan untuk

mengendalikan baik erosi onsite maupun

erosi offsite belum dilakukan sesuai

sasaran. Hal tersebut mengakibatkan hasil erosi yang berada di DTW terutama di sub DAS Keduang dan Wuryantoro hampir semua menjadi sedimen di waduk. Muara kedua sub DAS tersebut sangat dekat dengan tubuh bendung Waduk Gajah Mungkur.

Berdasarkan analisis sumber erosi-sedimentasi di atas, penanganan RLKT di sub DAS Wiroko, Temon, Solo Hulu dan Alang Unggahan perlu lebih diarahkan untuk mengendalikan erosi tebing sungai, erosi tebing jalan, erosi parit dan erosi jurang. Untuk sub DAS Keduang dan Wuryantoro penanganan RLKT-nya lebih diarahkan untuk mengendalikan erosi sheet-rill, tanah longsor dan erosi jurang. Pengerukan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri akan sia-sia bila tidak diikuti dengan usaha menahan laju erosi. Erosi yang berlebihan dari bagian hulu sungai akan menyebabkan pengendapan di waduk lebih cepat bertambah. Hal itu

diungkapkan oleh Kepala Badan

Penelitian Teknologi Daerah Aliran Sungai

(DAS) Nugroho Sulistyo Priyono,

"Pengerukan tidak akan efektif kalau penahan erosi di bagian hulu tidak diperhatikan, terutama erosi dari Sungai Keduang yang cukup tinggi," jelas Nugroho (Kompas, 2009). Pengerukan lumpur di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri telah dimulai sejak bulan Mei 2003. Proses pengerukan ini merupakan

bantuan dari Japan International

Cooperation Agency (JICA) sebanyak Rp 60 miliar. Menurut Nugroho, sebenarnya sudah ada beberapa pembangunan pengendali erosi, tetapi oleh pemerintah

daerah, bangunan tersebut tidak

dipelihara. Misalnya di hulu Sungai

Keduang yang terdapat beberapa bangunan pengendali erosi. Bangunan pengendali erosi itu bisa dibangun dari bambu atau batu. Mengendalikan laju erosi juga bisa dilakukan dengan membuat terasering pada permukaan tanah. Ia juga mengusulkan, pemerintah dapat membuat bangunan penahan erosi dari bambu yang langsung ditanam karena bambu tahan lama. Bupati

Wonogiri H. Begug Poernomosidi

mengemukakan bahwa seharusnya tidak hanya dilakukan pengerukan lumpur yang telah terlihat di dekat bendungan. Perlu juga dilakukan pembuatan cek dam pada anak-anak Sungai Bengawan Solo dan perbaikan hutan-hutan yang ada di daerah hulu, baik itu milik rakyat maupun Perhutani yang sekarang telah rusak berat akibat banyaknya penjarahan kayu (Surat Kabar Kompas, 2009).

Daftar Pustaka

Pramono I.B, Sukresno dan U.H. Murtiono. 2001. Evaluasi Kondisi Hidrologi di Daerah Tangkapan Air Waduk Gadjah Mungkur, Wonogiri. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Das Surakarta, hal 75-84.

Sukresno dan Rahardyan, N.A. 2001.

Evaluasi Sumber-Sumber

Erosi-Sedimentasi di Waduk Wonogiri. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan

Pengembangan Teknologi

Pengelolaan Das Surakarta, hal 51-59

Suyono. 1996. Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Dalam Kontek Hidrologi dan Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato pada Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Madya di Fakultas Geografi UGM. Surat Kabar Kompas. 5 Februari 2009.

Pendangkalan Waduk Gajah Mungkur Mengkhawatirkan.


(3)

- 14

(Muhammad Badjoeri, Puslit Limnologi-LIPI) mbadjoeri@yahoo.com

ndonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati mikroba. Berbagai jenis mikroba telah dimanfaatkan manusia sebagai penghasil antibiotik

pada industri obat-obatan dan

kedokteran, probiotik pada industi

makanan, biofertilizer pada industri

pertanian dan perikanan, agen

bioremedasi pada pengolahan limbah dan

penanganan pencemaran lingkungan.

Mikroba selain sangat beragam jenisnya juga sangat dipengaruhi faktor lingkungan sehingga dapat mengalami perubahan karakter, baik fisiologis maupun genetik. Karena itulah para peneliti berupaya mencari berbagai teknik untuk menyimpan dan mengawetkannya agar ketersediaan

isolat mikroba yang stabil dan

pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Preservasi mikroba adalah upaya penyimpanan dan pemeliharaan koleksi atau plasma nutfah mikroba dalam jangka waktu tertentu dan apabila suatu saat

diperlukan dapat dengan mudah

diperoleh kembali dengan kondisi yang relatif stabil. Keberhasilan preservasi mikroba ditentukan oleh: 1) penguasaan teknologi, 2) ketersediaan fasilitas dan 3) ketersediaan tenaga yang terampil. Tujuan preservasi: 1. menahan laju aktivitas metabolisme mikroba sehingga viabilitas (daya tumbuh) nya dapat dipertahankan, 2) memelihara isolat

mikroba sehingga mempunyai recovery

(daya tumbuh kembali) dan kelangsungan hidup yang tinggi dengan perubahan karakter yang minimum (Machmud, 2001). Berbagai cara atau teknik preservasi mikroba telah banyak dikembangkan (Howard 1955, Davis 1975, Fletcher and

Young 1997, Obara et al. 1981, Badjoeri

dan Widiyanto 1999, Machmud 2001,

Kusmiati dan Priyadi 2003, dan Yuniarti et

al. 2003) yaitu :

1. Preservasi mikroba untuk jangka waktu pendek:

a. Preservasi sub kultur, yaitu teknik

peremajaan, pemeliharaan dan

penyimpanan dengan memindahkan isolat secara berkala dalam jangka

waktu yang pendek (1 – 3 bulan) dari

media lama ke media baru. Teknik ini

tidak dianjurkan dilakukan terus

menerus dalam jangka waktu panjang

karena dapat menyebabkan

terjadinya perubahan karakter genetik mikroba melalui seleksi varian dan berpeluang terkontaminasi.

b. Preservasi dalam aquadest steril, yaitu teknik penyimpanan mikroba dalam tabung yang berisi aquadest steril dan disimpan pada suhu tertentu. Caranya yaitu: 1) isolat murni bakteri ditumbuh-kan dalam media agar miring dan telah diinkubasi selama 24–48 jam, 2) aquadest steril sebanyak 5–10 mL disiapkan dalam tabung bertutup ulir

atau dalam eppendorf, 3) bakteri yang

akan disimpan dimasukan kedalam tabung yang telah berisi aquadest steril sebanyak 1 ose atau 1mL sspense, 4) tabung ditutup rapat dan disimpan pada suhu ruang atau suhu 10–15 oC. dan 5) uji viabilitas dan pemeliharaan

dilakukan secara rutin, dan recovery

dilakukan dengan menanamnya secara langsung pada media cair atau media agar yang sesuai.

c. Preservasi dalam gliserol konsentrasi rendah, yaitu teknik penyimpanan isolat mikroba menggunakan larutan gliserol berkonsentrasi rendah dan disimpan pada suhu rendah. Kelompok bakteri fotosintetik dapat disimpan selama 1–3 bulan. Beberapa jenis lainnya seperti Aerobacter aerogenes, Corynebacterium diphtheriae, Corynebacterium xerose, Corynebacterium pseudodiphtheriticum, Diplococcus pneumoniae, Escherichia coli, Micrococcus pyogenes, var. aureus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella enteritidis, Serratia marcescens, Shigella flexnsri dan Streptococcus viridians dapat disimpan lebih dari lima bulan pada

I

PRESERVASI MIKROBA UNTUK PELESTARIAN DAN STABILITAS PLASMA NUTFAH


(4)

- 15

suhu -10 oC. Haemophilus influenza

selama empat bulan, Neisseria

meningitides selama 6 minggu dan Neisseria gonorrhoeae selama tiga minggu (Hollander and Nell 1954 dalam Howard 1955), tetapi N. gonorrhoeae dapat disimpan lebih lama sampai tiga bulan pada suhu -40

oC (Weiser and Osterud 1945 dalam

Howard 1955). Caranya: 1) isolat murni bakteri ditumbuhkan selama 48 jam dalam media agar miring, 2) siapkan sebanyak 1mL gliserol steril 15% aquadest dalam tabung eppendorf , 3) isolat bakteri dimasukan kedalam eppendorf berisi gliserol 15%

sebanyak 1mL suspensi. Eppendorf

ditutup rapat, larutan dihomogenkan

dan disimpan pada suhu -15 oC dan 4)

uji viabilitas bakteri dilakukan rutin

(minimal satu bulan) dan recovery

dilakukan dengan cara menanamnya secara langsung pada media cair atau media agar.

2. Preservasi mikroba untuk jangka waktu panjang:

a. Preservasi dalam minyak mineral atau parafin cair, yaitu teknik penyimpanan mikroba yang ditanam pada media agar dan melapisi (menutup) nya dengan minyak mineral atau parafin cair. Teknik ini lebih baik dibanding

dengan aquadest steril, karena mampu

mempertahankan viabilitas mikroba

dengan mencegah lebih lama

terjadinya kekeringan pada media. Beberapa jenis jamur dapat disimpan sampai 20 tahun dengan teknik ini. Caranya: 1) isolat mikroba ditumbuh-kan selama 24–48 jam dalam tabung bertutup ulir yang berisi media agar atau cair, 2) minyak mineral atau parafin cair disterilkan pada suhu 121

oC selama 60 menit, 3) masukkan

minyak mineral atau parafin cair kedalam tabung berisi isolat sehingga melapisi permukaan media setinggi

10–20 mm, 4) tabung isolat yang telah

dilapisi disimpan pada suhu ruang atau di lemari es (suhu 4oC) dan 5) uji

viabilitas dilakukan rutin (minimal satu tahun sekali) dan recovery dilakukan

dengan mengambil sebagian

suspensinya atau digoreskan langsung pada media agar.

b. Preservasi dalam tanah steril, yaitu

teknik penyimpanan mikroba

menggunakan tanah kering steril. Teknik ini mampu menyimpan mikroba hingga 20 tahun atau lebih. Beberapa jamur seperti Streptomyces sp. dan bakteri berspora seperti Bacillus sp., Clostridium sp. dan Rhizobium sp. dapat disimpan dengan teknik ini. Kelebihan teknik ini ialah selain biayanya murah juga cukup baik menjaga stabilitas karakter genetis isolat yang disimpan. Caranya: 1) tanah agak liat dihaluskan dan diayak sampai bersih, partikelnya halus dan homogen, 2) tanah dimasukan kedalam tabung berukuran 25 mL yang bertutup ulir hingga hampir penuh (± 1 cm dari mulut tabung), 3) tanah

dibasahi dengan aquadest (30%

kebasahan kapasitas lapang) dan disterilisasi sebanyak tiga kali berturut-turut dalam tiga hari dengan autoklaf

pada suhu 121 oC selama satu jam, 4)

tabung berisi tanah di oven pada suhu 150 oC selama satu jam setelah dingin disimpan dalam desikator, 5) suspensi mikroba dibuat dalam larutan pepton

steril 2% dalam aquadest, 6) sebanyak

0,1 mL suspensi mikroba dimasukkan ke dalam tabung, 7) tabung disimpan kembali dalam desikator atau setelah kering dapat disimpan di ruang koleksi, 8) uji viabilitas mikroba dilakukan rutin

minimal setahun sekali dan 9) recovery

dilakukan dengan menumbuhkannya dalam medium cair dan menggoreskan suspensi tanah pada medium agar yang sesuai.

c. Preservasi dalam lempeng gelatin, yaitu

teknik penyimpanan mikroba

menggunakan lempengan gelatin dan

disimpan pada suhu 4 oC. Caranya: 1)

sebanyak 10 mL lilin (parafin wax) disterilkan dalam cawan petri dan dibiarkan memadat, 2) kultur bakteri ditumbuhkan selama 24-48 jam dan


(5)

- 16

jadikan suspensi (kepadatan 109

sel/mL) pada media gelatin nutrien 30% yang mengandung 0,25% asam askorbat, 3) ambil suspensi bakteri menggunakan pipet steril dan teteskan pada permukaan lilin atau kertas lilin dalam cawan petri, 4) masukan cawan petri yang telah diteteskan ke dalam desikator vakum yang berisi P2O5 dan

dievakuasi sampai kering dan

membentuk lempengan gelatin, 5) lempengan gelatin diambil secara aseptik menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam tabung steril bertutup ulir (tiap botol diisi 5–10 lempeng), 6) tabung disimpan dalam wadah yang berisi P2O5 pada suhu 4 oC, 7) uji viabilitas dilakukan secara periodik minimal setiap tahun dan 8) recovery bakteri dilakukan dengan menanam lempeng gelatin pada media cair dan menggoreskan suspensi media cair pada media agar yang sesuai. d. Preservasi secara kriogenik, yaitu teknik

penyimpanan mikroba dalam media cair dengan penambahan senyawa krioprotektan (larutan konservatif) dan dibekukan pada suhu sangat rendah dalam nitrogen cair. Semakin rendah suhu penyimpan mikroba akan semakin

kecil kemungkinan kehilangan

kemampuan viabilitasnya.

Penyimpanan pada suhu sangat rendah dapat dilakukan dengan merendamnya dalam nitrogen cair yang suhunya

mencapai -196 oC. Berbagai mikroba

dapat disimpan langsung pada media

tumbuh dengan menambahkan

senyawa krioprotektan seperti gliserol atau dimetilsulfoksida (DMSO) yang dapat mengurangi dampak negatif

akibat pembekuan. Krioprotektan

lainnya adalah methanol, gula

sacharida, polyvinyl pyrollidone (PVP). Proses pembekuan pada kriopreservasi sebaiknya dilakukan secara bertahap hingga mencapai suhu 0 atau -40 oC, selanjutnya didinginkan secara cepat hingga suhu akhir mencapai -196 oC. Kusmiati dan Priadi (2003) melaporkan bakteri Bacillus pumilus dapat disimpan

dengan teknik ini selama 12 bulan. Caranya: 1) bakteri yang akan disimpan ditumbuhkan pada media agar miring yang sesuai selama 24-48 jam, 2) masukkan 5 mL larutan krioprotektan (gliserol 5-10% atau DMSO 5%) ke dalam tabung agar miring sehingga membentuk suspensi pekat biakan mikroba atau 1 mL suspensi bakteri ditumbuhkan pada media cair dalam ampul steril dan

diinkubasi selama 16–18 jam kemudian

ditambahkan larutan krioprotektan, 3)

suspensi mikroba dipindahkan

sebanyak 0,3–0,4 mL ke dalam ampul

steril dan ditambahkan 0,4 ml larutan krioprotektan, 4) ampul dipotong (ditutup) dengan api las, 5) suspensi bakteri direndam dalam nitrogen cair (suhu -196 oC) selama 30 menit, 6) tabung berisi suspensi bakteri disimpan di dalam freezer suhu -20 oC dan 7) uji viabilitas dengan mengambil suspensi bakteri dalam ampul dan ditumbuhkan pada media cair.

e. Presevasi mikroba secara kering beku (lyofilisasi) yaitu teknik penyimpanan

dan pengawetan mikroba yang

menggabungkan metoda pengeringan

dan pembekuan dalam media

penyimpanan khusus dengan bantuan

alat pengering dan pembeku (freeze

dryer). Teknik ini paling popular dan banyak digunakan untuk menyimpan berbagai jenis mikroba (virus, bakteri, khamir, jamur berspora, algae dan protozoa) tetapi lebih rumit dibanding teknik lainnya. Hal yang penting

diperhatikan adalah penggunaan

cairan pengawet (preservatif) yang

tepat pada pembuatan suspensi

bakteri untuk menyimpan mikroba. Fungsi dari preservatif adalah untuk mencegah kerusakan dan menstabilkan protein akibat proses pembekuan dan pengeringan. Salah satu preservatif

yang baik adalah mist dessicants yang

komposisinya terdiri dari pepton 12 g dan glukosa 30 g dalam aquadest 100 mL. Beberapa preservatif lainnya antara lain larutan pepton 1%, larutan


(6)

- 17

susu skim 1% dan larutan campuran serum kuda dengan pepton 10% (Sky

1983 dalam Machmud, 2001).

Caranya: 1) ampul kosong berukuran 1 mL disterilkan dalam oven pada

suhu 160 oC selama satu jam. Ampul

kosong sebelum disterilkan diberi

label kode mikroba dengan

memasukkan kertas filter (3 mm x 20 mm). Ampul ditutup dengan kapas dan bagian luarnya juga diberi label yang sama. 2) mikroba yang akan disimpan ditumbuhkan hingga fase pertumbuhan optimum dalam media yang sesuai

(umumnya selama 24–48 jam pada

suhu ruang), 3) buat suspensi mikroba

(109sel/mL) dalam larutan

preservative, 4) masukkan suspensi

mikroba sebanyak 0,1–0,3 mL ke

dalam ampul kosong steril dengan menggunakan pipet mikro, 5) suspensi mikroba dalam ampul dibekukan

pada suhu -20 sampai -30 oC atau

menggunakan es kering, 6) ampul berisi suspensi bakteri yang telah dibekukan dipasangkan pada alat pengering-beku, 7) setelah proses kering-beku, ampul dipotong (ditutup) dengan api las, 8) ampul disimpan

pada suhu ruang atau lemari es (4 oC)

dan sebagian ampul diambil untuk uji viabilitas mikroba, 9) uji viabilitas dilakukan secara periodik setiap tahun

dan 10) recovery mikroba dilakukan

dengan merendam ampul pada suhu

37oC atau didiamkan beberapa saat

pada suhu ruang, kemudian bagian

ujungnya dipatahkan dengan

pemotong kaca. Masukkan beberapa tetes media cair ke dalam ampul, dibiarkan beberapa saat sambil agak

digoyang-goyang agar biakan

mikroba larut. Suspensinya diambil dengan pipet dan diteteskan pada cawan petri yang berisi media yang sesuai, koloni yang terbentuk dapat ditumbuhkan pada media agar miring.

Kesimpulan

Teknik kering beku (lyofilisasi)

merupakan teknik paling baik digunakan untuk preservasi mikroba karena dengan

teknik ini mikroba dapat disimpan dalam waktu lama dengan karakter dan viabilitas yang relatif stabil.

Daftar Pustaka

Badjoeri, M. dan T. Widiyanto. 1999. Penyimpanan Isolat Bakteri Fotosintetik Anoksigenik dalam Gliserol dengan Konsentrasi dan Suhu yang Berbeda.

Limnotek. Perairan Darat Tropis

Indonesia. Vol. 3(1):39-47.

Davis, C. 1976. Presevation of

Gastrointestinal Bacteria and Their Microenvironmental Associations in Rats by Freezing. J. Appl. Environ. Microbiol. Vol. 31(2):304-312.

Fletcher, M. J. and J. M. Young. 1997. Studies on Vacuum-Drying for The

Presevation of Plant Pathogenic

Bacteria. J.Cult.Coll. Vol. 2:21-25 Howard, D. H. 1955. The Preservation of

Bacteria by Freezing in Glycerol Broth. Department of Infectious Diseases, School of Medicine, University of California, Los Angeles 24, California, p.625.

Kusmiati dan D. Priadi. 2003.

Kriopreservasi Bakteri Selulotik Bacillus pumilus dengan Krioprotektan Berbeda. BioSmart. Vol. 5(1):21-24.

Machmud, M. 2001. Teknik Penyimpanan dan Pemeliharaan Mikroba. Buletin AgroBio 4(1):24-32

Obara, Y., S. Yamai, Nikawa, T., Shimoda, Y. and Mitamoto, Y. 1981. Preservation and Transportation of Bacteria by

Simple Gelatin Disk Method.

J.Clin.Microbiol. Vol. 14 (1):61-66. Yuniarti, E., D.N. Susilowati dan R.

Saraswati. 2003. Koleksi, Karakterisasi dan Preservasi Mikroba Remediasi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. hal. 97-105.