PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI RECIPROCAL TEACHING.

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... 1

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... .... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Definisi Operasional ... 20

F. Hipotesis Penelitian ... 21

BAB II LANDASAN TEORETIS A. Kemampuan Penalaran Matematis ... 22

B. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 28

C. Model Reciprocal Teaching ... 31

D. Teori Belajar yang Mendukung ... 41

E. Penelitian yang Relevan ... 45

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 48

B. Populasi dan Sampel Penelitian... 49

C. Variabel Penelitian ... 49

D. Instrumen Penelitian ... 50


(2)

F. Prosedur Penelitian ... 62 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 76 B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 123 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 136 B. Saran ... 138 DAFTAR PUSTAKA... 140


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel

Kontrol ... 30

Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Kemampuan Penalaran Matematis ... .. 51

Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis... 52

Tabel 3.4 Koefisien Korelasi Validitas dan Interpretasinya ... 53

Tabel 3.5 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 54

Tabel 3.6 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 56

Tabel 3.7 Koefisien Reliabilitas dan Interpretasinya ... 57

Tabel 3.8 Uji Reliabilitas Tes ... 57

Tabel 3.9 Koefisien Tingkat Kesukaran dan Interpretasinya ... 58

Tabel 3.10 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 58

Tabel 3.11 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 59

Tabel 3.12 Koefisien Daya Pembeda dan Interpretasinya ... 60

Tabel 3.13 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 61

Tabel 3.14 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis . 61 Tabel 3.15 Klasifikasi Gain ... 69

Tabel 3.16 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 74

Tabel 4.1 Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Awal matematis ... 77

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis... 78

Tabel 4.3 Uji Mann-Whitney U Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis ... 79

Tabel 4.4 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 81

Tabel 4.5 Uji Homogenitas Data Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 82


(4)

Tabel 4.6 Uji ANOVA Dua JalurData Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 83 Tabel 4.7 Kemampuan Komunikasi Matematis berdasarkan Pembelajaran

dan Kemampuan Awal matematis ... 87 Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 89 Tabel 4.9 Uji Mann-Whitney U Data Pretes Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 89 Tabel 4.10 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 92 Tabel 4.11 Uji Homogenitas Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 93 Tabel 4.12 Uji ANOVA Dua Jalur Data Peningkatan Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 93 Tabel 4.13 Uji Scheffe Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis antar Kemampuan Awal Matematis ... 96 Tabel 4.14 Hasil Pengamatan Aktivuitas Guru Selama Pembelajaran dengan

Model Reciprocal Teaching ... 100 Tabel 4.15 Respon Siswa Terhadap Postes Kemampuan Penalaran Matematis 107 Tabel 4.16 Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Penelitian... 128


(5)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 4.1 Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa

Berdasarkan Fajtor Pembelajaran dan Faktor Kemampuan

Awal Matematis... 86

Gambar 4.2 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Fajtor Pembelajaran dan Faktor Kemampuan AwalMatematis………... 98

Gambar 4.3 Diagram Aktivitas Positif Siswa selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching.……...…... 102

Gambar 4.4 Diagram Aktivitas Negatif Siswa selama Pembelajaran dengan Model Reciprocal Teaching …...…. 103

Gambar 4.5 Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Eksperimen…...…… 103

Gambar 4.6 Aktivitas Guru sedang Melaksanakan Scaffolding dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Eksperimen ... 104

Gambar 4.7 Salah Seorang Siswa di Kleas Eksperimen Sedang Memimpin Dialog dengan Menyajikan Hasil Diskusinya... 105 Gambar 4.8 Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Kelas Kontrol ... 105

Gambar 4.9 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 1... 109

Gambar 4.10 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 1... 110

Gambar 4.11 Butir Soal No. 2 ... 111

Gambar 4.12 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 112

Gambar 4.13 Butir Soal No. 3 ... 113

Gambar 4.14 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 114

Gambar 4.15 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 115

Gambar 4.16 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 116

Gambar 4.17 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 117


(6)

Gambar 4.19 Butir Soal No. 2... 119

Gambar 4.20 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 120

Gambar 4.21 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 2 ... 121

Gambar 4.22 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 3 ... 122

Gambar 4.23 Contoh Hasil Kinerja Siswa Butir Soal No. 4 ... 123


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A.1 RPP Kelas Eksperimen... 146

Lampiran A.2 Bahan Ajar Kelas Eksperimen ... 151

Lampiran A.3 LKS Kelas Eksperimen ... 158

Lampiran B.1a Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 161

Lampiran B.1b Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 162

Lampiran B.2a Instrumen Kemampuan Penalaran Matematis ... 163

Lampiran B.2b Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematis ... 167

Lampiran B.3a Alternatif Jawaban dan Penskoran Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 169

Lampiran B.3b Alternatif Jawaban dan Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 177

Lampiran C.1 Lembar Observasi Aktivitas Guru ... 184

Lampiran C.2 Lembar Observasi Aktivitas Siswa ... 186

Lampiran D.1a Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 189

Lampiran D.1b Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Komunuikasi Matematis ... 190

Lampiran D.2 Analisis Data Validitas Tes Kemampuan Penalaran Matematis 191 Lampiran D.3 Analisis Data Reliabilitas Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 194

Lampiran D.4 Analisis Data Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 195

Lampiran D.5 Analisis Data Daya Pembeda Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 195

Lampiran D.6 Analisis Data Validitas Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 196

Lampiran D.7 Analisis Data Reliabilitas Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 199


(8)

Lampiran D.8 Analisis Data Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 200

Lampiran D.9 Analisis Data Daya Pembeda Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 200

Lampiran E Daftar Nilai Awal Siswa Kelas Eksperimen ... 201

Lampiran E Daftar Nilai Awal Siswa Kelas Kontrol ... 202

Lampiran E.1a Hasil Pretes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen ... 203

Lampiran E.1b Hasil Pretes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Kontrol 204 Lampiran E.2a Hasil Postes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen ... 205

Lampiran E.2b Hasil Postes Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Kontrol ... 206

Lampiran E.3a Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen ... 207

Lampiran E.3b Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Kontrol ... 208

Lampiran E.4a Hasil Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen ... 209

Lampiran E.4b Hasil Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Kontrol ... 210

Lampiran E.5a Hasil Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Kelas Kontrol ... 211

Lampiran E.5b Hasil Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Kelas Eksperimen ... 212

Lampiran E.6a Uji Statistik Data Kemampuan Penalaran Matematis ... 213

Lampiran E.6b Uji Statistik Data Kemampuan Komunikasi Matematis ... 221

Lampiran F.1 Data Aktivitas Guru selama Pembelajaran ... 229


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan materi matematika menjadi suatu keharusan dalam pemetaan nalar siswa terutama pada saat pengambilan keputusan dalam menyelesaikan permasalahan. Jika siswa kurang menggunakan nalar dalam menyelesaikan masalah, maka akan gagal menguasai matematika dengan baik (Wahyudin, 1999). Oleh karena itu, pembelajaran matematika di sekolah harus dapat mengembangkan potensi yang dimiliki siswa, sehingga mereka diharapkan mampu menyelesaikan masalah dan menguasai matematika dengan benar.

Sumarmo (2004) mengatakan pendidikan matematika pada hakikatnya memiliki dua arah pengembangan yaitu pengembangan masa kini dan masa datang. Pada masa kini pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman matematis siswa dan disiplin ilmu lainnya dalam menyelesaikan masalah ketika mereka masih duduk dibangku sekolah. Sedangkan pengembangan masa mendatang mempunyai arti yaitu memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis dan cermat serta berpikir obyektif dan terbuka dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan. Dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya mengembangkan proses dan keterampilan berpikir siswa. Hal yang sama diungkapkan oleh Soejadi (2004)


(10)

bahwa pendidikan matematika pada hakikatnya memiliki dua tujuan yaitu; (1) tujuan yang bersifat formal dan (2) tujuan yang bersifat material. Tujuan yang bersifat formal memberi tekanan pada penataan nalar serta pembentukan karakter siswa dan tujuan yang bersifat material yaitu memberi tekanan pada mengaplikasikan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika maupun pola pikir matematika dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (2006) menyatakan tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan sebagai antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Demikian pula halnya tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran matematika oleh National Council of Teachers of


(11)

Mathematics (NCTM) (2000), menetapkan standar-standar kemampuan

matematis yang harus dimiliki oleh siswa, seperti kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Berdasarkan uraian di atas, kemampuan penalaran dan komunikasi matematis termuat dalam standar kemampuan menurut Depdiknas dan NTCM, sehingga merupakan dua kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika.

Pentingnya kemampuan penalaran matematis dapat terlihat dalam standar penalaran yang ditetapkan oleh NCTM (2000) yang merekomendasikan bahwa tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6-8 adalah agar siswa dapat: (1) menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan; (2) merumuskan generalisasi dan konjektur hasil observasi keteraturan; (3) mengevaluasi konjektur; dan (4) membuat dan mengevaluasi argumen matematika. Selain itu pentingnya penalaran diungkapkan pula oleh Depdiknas (2002) bahwa “ Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika”. Sejalan dengan hal tersebut, Shadiq (2007) berpendapat bahwa seni bernalar dibutuhkan dalam semua segi dan sisi kehidupan agar setiap warga bangsa dapat menunjukkan dan menganalisis masalah secara jernih, dapat memecahkan masalah dengan tepat, serta dapat mengemukakan pendapat maupun idenya serta runtut dan logis. Sedangkan menurut Ross (Rochmad, 2008) menyatakan bahwa salah satu tujuan


(12)

terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan siswa penalaran logika. Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya (Rochmad, 2008). Hal yang sama dikemukakan oleh Tinggih (Suherman, 2001) bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dengan bernalar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kemampuan penalaran matematis diperlukan oleh siswa agar siswa dapat menguasai konsep matematika dengan benar dan dapat menganalisis masalah dengan tepat sehingga dapat mempernudah dalam menyelesaikan masalah matematika maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan penalaran seseorang akan lebih cepat dalam berpikir dan akurat dalam mengambil keputusan. Selanjutnya Baroody (Juariah, 2008) mengungkapkan ada empat alasan mengapa penalaran penting untuk matematika dan kehidupan sehari-hari, yaitu:

1. The reasoning needed to do mathematics artinya penalaran diperlukan untuk

mengerjakan matematika. Ini berarti penalaran berperan penting dalam pengembangan dan aplikasi matematika.

2. The need for reasoning in school mathematics artinya penalaran dibutuhkan

dalam pelajaran matematika di sekolah. Hal ini jelas terlihat bahwa untuk menguasai konsep matematika dengan benar diperlukan penalaran dalam pembelajaran matematika


(13)

3. Reasoning involved in other content areas. Artinya

keterampilan-keterampilan penalaran dapat diterapkan pada ilmu-ilmu lainnya. Hal ini berarti bahwa penalaran dapat menunjang dalam pengembangan ilmu lainnya.

4. Reasoning for everyday life. Artinya penalaran berguna untuk kehidupan

sehari-hari. Ini berarti penalaran berguna untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.

Selain kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi matematis siswa pun penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pentingnya kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat dari standar kemampuan komunikasi yang ditetapkan oleh NCTM pada tahun 2000, menetapkan bahwa standar kemampuan komunikasi matematis ditingkat sekolah dasar dan menengah adalah siswa harus mampu: (1) mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan pemikiran matematis mereka melalui komunikasi; (2) mengkomunikasikan (menyampaikan) pemikiran matematis mereka secara jelas dan terarah kepada teman, guru dan orang lain; (3) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi yang dibuat orang lain; dan (4) menggunakan bahasa matematika untuk mengungkapkan ide matematika dengan tepat.

Pentingnya kemampuan komunikasi juga dikemukakan Jacob (2003), bahwa matematika sebagai bahasa, sehingga komunikasi matematis merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Sejalan dengan Jacob, Pugalee (2001) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen untuk setiap jawabannya serta


(14)

memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga proses pembelajarannya akan menjadi bermakna.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kemampuan komunikasi matematis harus dimiliki siswa untuk menyampaikan apa yang ia pikirkan, mengemukakan ide/gagasannya ketika berhubungan dengan orang lain atau mengungkapkan hasil penalarannya dalam proses pembelajaran. Siswa memerlukan kemampuan komunikasi, karena dengan komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematikanya baik secara lisan maupun secara tulisan yang terjadi dalam proses pembelajaran.

Namun, Fakta di lapangan belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan laporan The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2003 dilaporkan bahwa untuk salah satu soal yang berkaitan dengan penalaran matematis hanya sekitar 7% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu menjawab soal tersebut. Sedangkan siswa dari Singapura sekitar 44% yang mampu mejawab soal yang sama. Pada TIMSS 2007, untuk jenis soal yang sama hanya sekitar 17% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu menjawab, sedangkan siswa Singapura sekitar 59%. Kesimpulan dari laporan studi TIMSS tersebut, tidak jauh berbeda dengan hasil PISA 2009. Prestasi belajar matematika siswa di Indonesia dari data PISA tahun 2009 Indonesia hanya menduduki rangking 61 dari 65 peserta dengan rata skor 371, sementara rata-rata skor internasional adalah 500 (Wardhani dan Rumiati, 2011).

Pada kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia, berdasarkan hasil laporan TIMSS (Suryadi, 2005) menyebutkan bahwa kemampuan siswa


(15)

Indonesia dalam komunikasi matematika sangat jauh di bawah negar-negara lain. Sebagai contoh, untuk soal matematika yang menyangkut kemampuan komunikasi matematis, siswa Indonesia yang berhasil menjawab benar hanya 5 % dan jauh dibawah negara seperti Singapura, Korea, dan Tiwan yang mencapai lebih dari 50%. Namun kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa Indonesia dari hasil riset TIMSS (2003 dan 2007) serta PISA (2009) belum cukup menggambarkan kemampuan siswa Indonesia pada kelompok tinggi, sedang atau rendah. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengkaji kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa berdasarkan pengelompokan kemampuan awal matematis siswa tinggi, sedang, dan rendah.

Laporan TIMSS dan PISA di atas merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa hasil pembelajaran kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa di Indonesia belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Rendahnya hasil pembelajaran matematika di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya, berkaitan dengan pembelajaran yang diselenggarakan guru di sekolah. Widdiharto (2004) dan Tahmir (2007) menyatakan bahwa pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama (SMP) cenderung text book oriented dan masih didominasi dengan pembelajaran yang terpusat pada guru. Kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang mempertimbangkan tingkat kognitif siswa yang disesuaikan dengan perkembangan usianya.

Seseorang dengan kemampuan penalaran yang rendah akan selalu mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai persoalan (Wahyudin, 1999).


(16)

Hal itu dikarenakan ketidakmampuannya dalam menghubungkan fakta dan bukti untuk sampai pada suatu kesimpulan. Sehingga dapat diartikan bahwa pengembangan kemampuan penalaran dan komunikasi menjadi esensial agar siswa mampu melakukan analisis sebelum membuat keputusan, dan mampu membuat argumen untuk mempertahankan pendapatnya.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis, Pada tahun 2010 Yuniati mengembangkan model pembelajaran Problem Posing untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa SMP, namun peningkatan penalarannya masih dalam tahap sedang sehingga masih perlu ditingkatkan. Pembelajaran berbalik atau

reciprocal teaching adalah salah satu model pembelajaran matematika yang

dipandang tepat untuk meningkatkan kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis (Karim, 2010). Setelah dilakukan pembelajaran model reciprocal

teaching pada siswa kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional pada

kelompok kontrol, terdapat peningkatan penalaran dan berpikir kritis matematis siswa yang signifikan pada siswa kelompok eksperimen. Namun, peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang diperoleh ini belum optimal, karena rerata peningkatannya masih pada tingkat sedang yaitu sebesar 0,66 dengan klasifikasi kategori sedang, Karim (2010).

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis Sudihartinih (2009) ketuntasan belajar secara klasikal tercapai dalam kemampuan penalaran dan pemahaman konsep pada siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik Structure of


(17)

matematis pada siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik SOLO belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. walaupun demikian kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan teknik SOLO lebih baik daripada yang pembelajarannya dengan konvensional. Dari beberapa studi tentang penalaran di atas terlihat bahwa kemampuan siswa dalam kemampuan penalaran masih perlu ditingkatkan. Hal tersebut membuat penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang kemampuan penalaran dengan indikator yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu kemampuan siswa dalam: (1) menganalisis masalah secara matematika melalui proses analogi dengan memperhatikan kesamaan dan atau perbedaan; (2) mencermati hubungan sebab akibat; (3) mengkontruksi argumentasi secara logis; (4) membuat kesimpulan.

Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika menurut NCTM (2000), kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika juga penting untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan yang dapat terjadi dalam proses pembelajaran. Menurut Collins (Asikin, 2002) dalam buku Mathematics: Applications and Connections disebutkan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan, modeling, speaking, writting, talking, drawing serta mempresentasikan apa yang telah dipelajari.


(18)

Sehubungan dengan komunikasi matematis, Lindquist dan Elliott (1996)

menyebutkan bahwa “jika kita ingin memenuhi kebutuhan masyarakat pekerja

sosial yang mampu membaca dan menulis secara matematis, belajar sepanjang hayat, berkesempatan untuk banyak hal, maka kita semua akan memerlukan

komunikasi matematis”. Kenyataan yang sering terlihat adalah siswa kurang

berani mengungkapkan apa yang ia pikirkan, takut salah atau merasa malu. Seringkali jika diberi pertanyaaan, siswa tidak langsung menjawab, tetapi menoleh ke kiri atau ke kanan seakan-akan mencari dukungan pada teman di sebelahnya (Asmiati, 2009). Jika mereka diberi soal dalam bentuk verbal seringkali mereka memberikan komentar untuk kesimpulan yang cenderung hanya meniru kata-kata yang ada pada soal sebelumnya yang mirip dengan soal tersebut. Kondisi ini selain menunjukkan lemahnya kemampuan komunikasi matematis siswa, rendahnya rasa percaya diri, juga memperlihatkan siswa kurang mampu mengelola emosinya, selalu ragu-ragu dalam bertindak.

Menyadari akan pentingnya kemampuan komunikasi matematis maka guru perlu mengupayakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatihkan kemampuan komunikasi. Menurut Baroody (1993) pada pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional, kemampuan komunikasi siswa masih terbatas pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Cai dan Patricia (2000) berpendapat guru dapat mempercepat peningkatan komunikasi matematis dengan cara memberikan tugas matematika dalam berbagai


(19)

variasi. Oleh karena itu perubahan pandangan guru dalam belajar harus menjadi fokus utama dalam setiap kegiatan pembelajaran matematika.

Hasil belajar matematika siswa sampai saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang tua siswa maupun oleh para pakar pendidikan matematka sendiri. Pada penelitian yang dilakukan Rohaeti (2003), Wihatma (2004), Helmaheri (2004) dan Astuti (2009) menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi siswa berada pada kualifikasi kurang dan siswa dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika kurang sekali. Sehingga penulis ingin mengkaji lebih mendalam kemampuan komunikasi dengan indikator yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu kemampuan siswa dalam: (1) mengilustrasikan ide matematika ke dalam bentuk model matematika yaitu bentuk persamaan, notasi, gambar dan grafik atau sebaliknya; (2) membaca dengan merepresentasikan simbol-simbol matematis yang diberikan; (3) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika ke dalam bahasa sendiri.

Untuk dapat mencapai standar-standar kemampuan pembelajaran matematika baik yang tercantum dalam kurikulum ataupun NCTM, seorang guru hendaknya dapat menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa aktif belajar dengan mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Karena mengajar matematika tidak sekedar menyusun urutan informasi, tetapi perlu meninjau relevansinya bagi kegunaan dan kepentingan siswa dalam kehidupannya. Dengan belajar matematika diharapakan siswa


(20)

mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dalam benak siswa.

Standar kemampuan matematis yang diharapkan dimiliki oleh siswa tidak dapat terwujud hanya dengan mengendalikan proses pembelajaran yang selama ini berjalan, dengan urutan-urutan seperti: diajarkan teori/definisi/teorema, diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal (Soejadi, 2000). Proses pembelajaran seperti ini kecil kemungkinan membuat siswa belajar secara aktif dan memiliki kemampuan bernalar, tetapi lebih menerima ilmu secara pasif. Dengan demikian, proses pembelajaran yang selama ini umumnya dilakukan oleh para guru di sekolah menjadi kurang tepat, karena akan membuat siswa menjadi pribadi yang pasif.

Hal senada diungkapkan oleh Turmudi (2008) yang memandang bahwa pembelajaran matematika selama ini kurang melibatkan siswa secara aktif,

sebagaimana dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika selama ini

disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga dapat dikatakan

rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa akan kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan oleh gurunya.


(21)

Kemampuan komunikasi matematis siswa bisa dikembangkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melakukan diskusi kelompok. Brenner (1998) menemukan bahwa pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan pengembangan kemampuan komunikasi matematis. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil, maka intensitas siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan lebih tinggi. Sehingga duharapkan dapat meningkatan kemampuan komunikasi matematisnya. Sementara itu Clark (2005) menyatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa bisa diberikan 4 strategi, yaitu: (1) Memberikan tugas yang memadai untuk membuat siswa atau kelompok diskusi lebih aktif; (2) Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi siswa agar bisa mengungkapkan ide-idenya; (3) Mengarahkan siswa untuk menjelaskan dan memberi argumentasi pada hasil dan gagasan-gagasan yang dipikirkan; (4) mengarahkan siswa agar aktif memproses berbagai macam ide dan gagasanya.

Selama ini, telah banyak model pembelajaran yang diterapkan dikelas-kelas pembelajaran dan banyak penelitian yang telah dilakukan dalam upaya perbaikan pembelajaran di kelas, diantaranya model reciprocal teaching. Dalam tesis penelitian pada tahun 2004, Rahman menggunakan model reciprocal

teaching untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan

generalisasi matematik siswa SMA. Pada tahun yang sama Hendriyana juga mengembangkan model reciprocal teaching dalam penelitian tesisnya. Hasilnya dengan menerapkan model reciprocal teaching ini ternyata dapat meningkatkan pengajuan dan pemecahan masalah matematika. Pujiastuti dalam proceeding


(22)

seminar MIPA pada tahun 2000 di Unversitas Negeri Yogyakarta juga menerapkan pembelajaran dengan model reciprocal teaching dalam perkuliahan di Jurusan Pendidikan Matematika sebagai wahana untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam belajar mandiri (Astuti, 2009). Model reciprocal

teaching, diharapkan mampu meningkatkan kinerja mahasiswa dalam belajar

mandiri yang diharapkannya adalah menurut Diedrich (Astuti, 2009) yang meliputi: visual activities, drawing activities, oral activities, listening activities,

wtitten activities, motor activities, dan emotional activities.

Palinscar (1986 ) menyatakan bahwa reciprocal teaching adalah suatu kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar yang telah disusun kemudian siswa meringkasnya, membuat pertanyaan, mengklarifikasi dan menyusun prediksi. Pembelajaran yang dilakukan secara kooperatif yang salah satu anggota kelompok berperan sebagai ketua kelompok. Salah satu siswa yang bertugas sebagai ketua kelompok tersebut memimpin teman-teman dalam kelompoknya untuk melaksanakan tahap-tahap reciprocal teaching. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan oleh guru atau siswa kepada siswa lainnya untuk belajar dan menyelesaikan masalah.

Pemilihan model pembelajaran harus diarahkan pada kemampuan siswa yang umumnya heterogen. Ada kemungkinan siswa berkemampuan sedang atau rendah apabila model pembelajaran yang digunakan sesuai maka kemampuan penalaran dan komunikasinya akan meningkat. Reciprocal teaching dalam pembelajaran matematika sesuai dengan sifat-sifat matematika yang abstrak dan


(23)

sifat perkembangan intelektual siswa. Hal ini dikarenakan reciprocal teaching menerapkan sistem pembelajaran bertahap, yaitu dari hal sederhana ke kompleks, dari konsep yang mudah ke yang sukar dan menggunakan sistem spiral yaitu setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep yang telah dipelajari sebelumnya karena ada keterkaitannya, sehingga model reciprocal teaching dapat dijadikan alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.

Kaitan antara pembelajaran dengan model reciprocal teaching terhadap kemampuan penalaran dan komunikasi matematis, bahwa dalam model reciprocal

teaching, siswa diarahkan untuk mengkonstruksi sendiri konsep yang ingin

dicapai. Pengkonstruksian diawali dengan memberikan bahan ajar dan permasalahan yang disajikan dalam bentuk LKS, kemudian siswa meringkas bahan ajar dan membuat pertanyaan dari permasalahan yang disajikan dalam bentuk LKS dengan menjawab pertanyaan yang telah mereka buat.

Meringkas memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi dan mengintegrasikan informasi yang paling penting dalam bahan ajar ataupun masalah yang disajikan. Ketika siswa menghasilkan pertanyaan, mereka pertama kali mengidentifikasi informasi yang cukup signifikan dalam memberikan substansi untuk membuat pertanyaan. Kemudian informasi ini dibuat dalam bentuk pertanyaan dan self-test untuk memastikan bahwa mereka memang bisa menjawab pertanyaan mereka sendiri. Klarifikasi adalah kegiatan yang sangat penting ketika siswa memiliki kesulitan memahami bahan ajar ataupun masalah yang disajikan. Dengan melakukan ketiga tahapan di atas, siswa akan tahu apa


(24)

yang dia pahami dan apa yang dia tidak pahami. Di samping itu, siswa dapat mengkomunkasikan ide-idenya melalui pertanyaan dan klarifikasi sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuananya sendiri.

Memprediksi terjadi ketika siswa berhipotesis mengenai bahasan materi selanjutnya. Untuk melakukan hal ini, siswa harus mengaitkan latar belakang pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya tentang topik yang akan dibahas selanjutnya. Membaca bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menyangkal hipotesis mereka. Selanjutnya, para siswa diharuskan untuk menghubungkan pengetahuan baru akan mereka hadapi dalam bahan ajar dan LKS dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki. Singkatnya, masing-masing strategi dipilih sebagai sarana untuk membantu siswa untuk membangun belajar bermakna juga sebagai sarana pemantauan membaca untuk memastikan siswa memahami apa yang mereka baca. Memprediksi membantu siswa untuk menjadi lebih terlibat dalam pembelajaran. Ketika siswa menggunakan keterampilan memprediksi dalam membaca, membantu mereka untuk mengembangkan tingkat berpikir yang lebih tinggi tentang apa yang mereka pelajari. Pada tahap inilah diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematisnya.

Dari uraian tentang penalaran dan komunikasi matematis di atas, terlihat bahwa kemampuan-kemampuan itu sangat perlu ditingkatkan maka penulis tertarik untuk mengkaji Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP melalui Model Reciprocal Teaching.


(25)

B. Rumusan Masalah

Beradasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran matematis siswa?

4. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

5. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

6. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?


(26)

Pokok bahasan yang dipilih sebagai bahan ajar dalam penelitian ini yaitu pokok bahasan segitiga dan segiempat berdasarkan kurikulum yang berlaku diajarkan di kelas VII semester genap. Dipilihnya pokok bahasan tersebut, agar dalam pembelajaran pada penelitian yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam meningkatkan aspek penalaran dan komunikasi matematis. Selain itu topik ini memiliki nilai guna yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, sehingga diduga akan cocok jika penyampaian materi tersebut dengan model pembelajaran reciprocal teaching.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menelaah apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Menelaah apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

3. Menelaah apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran matematis siswa?


(27)

4. Menelaah apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

5. Menelaah apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?

6. Menelaah apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, diantaranya:

1. Siswa, karena dalam pembelajaran reciprocal teaching terdapat pengalaman matematik sehingga pengalaman dan pengetahuan siswa dapat lebih meresap dan diterapkan dalam proses belajar mendatang.

2. Guru, dapat menjadi acuan ketika akan menerapkan model reciprocal

teaching dalam pembelajarannya dan dapat dijadikan salah satu alternatif

metode pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.

3. Peneliti, sebagai sarana pengembangan diri peneliti dan dapat dijadikan referensi bagi peneliti yang lain.


(28)

E. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesimpangsiuran persepsi terhadap beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari istilah-istilah berikut;

1. Reciprocal teachig adalah pembelajaran dalam kelompok kecil yang diawali

dengan tugas membaca bahan ajar oleh siswa dan dilanjutkan dengan melakukan empat kegiatan yaitu: merangkum bacaan, membuat pertanyaan, memberi penjelasan dan membuat permasalahan lanjutan. Pembahasan dalam kelompok dipimpin oleh siswa dan guru berperan sebagi fasilitator dan pembimbing.

2. Kemampuan penalaran matematis adalah kemampuan siswa dalam (1) menganalisis masalah secara matematika melalui proses analogi dengan memperhatikan kesamaan dan atau perbedaan; (2) mencermati hubungan sebab akibat; (3) mengkontruksi argumentasi secara logis; (4) membuat kesimpulan.

3. Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam: (1) menyatakan dalam mengilustrasikan ide matematika ke dalam bentuk model matematika yaitu bentuk persamaan, notasi, gambar dan grafik atau sebaliknya; (2) membaca dengan merepresentasikan simbol-simbol matematis yang diberikan; (3) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika ke dalam bahasa sendiri.


(29)

F. Hipotesis Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis penelitiannya adalah:

1. Peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah).

3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan penalaran matematis siswa.

4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

5. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model reciprocal teaching dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional antara kelompok kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah).

6. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang diberika dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model reciprocal teaching bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional dan perbedaan peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis antar kelompok kemampuan awal matematis (tinggi, sedang dan rendah), serta interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini metode kuasi eksperimen dan desain kelompok kontrol nonequivalen. Pada penelitian ini ada dua kelas subjek penelitian, yaitu kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran dengan model reciprocal teaching dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan posttes yang sama.

Adapun desain penelitian berbentuk kuasi-eksperimen (Sugiyono, 2010) adalah sebagai berikut:

O X O

O O

Keterangan:


(31)

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP negeri di Cianjur. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di Cianjur dengan sampel penelitian terdiri dari dua kelas, yakni kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VII B sebagai kelas kontrol. Penentuan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan ’Purposive Sampling’, yaitu sampel dipilih secara sengaja dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Sampel yang dipilih yaitu dua kelas dari 7 kelas yang ada.

C. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas, terikat dan kontrol. Variabel bebasnya yaitu model reciprocal teaching dan yang menjadi variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran dan komunikasi matematis, sedangkan yang menjadi variabel kontrolnya adalah kategori kemampuan awal matematis. Kategori kemampuan awal didapat dari data ulangan harian siswa sebelum pelaksanaan penelitian. Kategori kemampuan awal ini dikelompokan dalam tiga kategori, yaitu kategor rendah, sedang dan tinggi seteah data ulangan harian dirangking. Pengelompokannya menggunakan perbandingan 30% dari data siswa untuk kelompok rendah, 40% kelompok sedang dan 30% kelompok tinggi (Dahlan,2004).

Keterkaitan antara variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol disajikan pada tabel berikut.


(32)

Tabel 3.1

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel Kontrol

Kemampuan yang diukur

Penalaran (P) Komunikasi (K)

Pembelajaran Konvensional

PK(A) Reciprocal Teaching RT(B) Konvensional PK(A) Reciprocal Teaching RT(B) Kemampuan Awal

Tinggi (T) AT BT AT BT

Sedang (S) AS BS AS BS

Rendah (R) AR BR AR BR

Keseluruhan PPK(A) PRT(B) KPK(A) KRT(B)

Keterangan:

PK(A) : Pembelajaran konvensional

RT(B) : Pembelajaran dengan model Reciprocal Teaching D. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, yaitu jenis tes dan observasi. Instrumen jenis tes adalah instrumen kemampuan penalaran dan komunikasi matematis sedangkan instrumen jenis observasi adalah lembar observasi aktivitas siswa dan guru. Masing-masing jenis instrumen tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Instrumen Tes Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data kemampuan penalaran dan komunikasi matematis adalah dengan memberikan pretes dan postes. Data hasil pretes dan postes digunakan untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum dan setelah diberikan pembelajaran. Instrumen untuk tes kemampuan penalaran dan komunikasi matematis disusun dengan memperhatikan setiap indikator kemampuan penalaran dan komunikasi matematis yang diberikan dalam bentuk uraian.


(33)

Materi yang diteskan adalah geometri dimensi dua (bidang datar). Instrumen tes penalaran terdiri dari empat soal berbentuk uraian, sedangkan instrumen tes komunikasi terdiri dari empat soal berbentuk uraian. Walaupun pada awalnya penulis membuat soal masing-masing tujuh soal untuk tes soal kemampuan penalaran dan komuniksai matematis, tetapi setelah melalui tahap ujicoba didapat soal yang valid yaitu masing-masing empat butir soal tes kemampuan penalaran dan komunikasi matematis berbentuk uraian. Alasan pemilihan soal berbentuk uraian, dengan maksud untuk melihat proses pengerjaan yang dilakukan siswa sehingga dapat terlihat sejauhmana siswa mampu melakukan penalaran dan komunikasi matematis. Indikator dari masing-masing kemampuan dapat dilihat pada Lampiran B.1

Sebelum instrumen tes diujicobakan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada dua orang dosen pembimbing, untuk diperiksa segi bahasa dan redaksi, penyajian, serta akurasi gambar, kemudian soal diujicobakan untuk mengetahui tingkat reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda setap butir soal.

Instrumen tes diujicobakan kepada siswa kelas VII salah satu SMP negeri di Cianjur sebanyak 31 orang. Selanjutnya dilakukan penyekoran terhadap hasil tes ujicoba sesuai dengan pedoman penyekoran yang telah dibuat sebelumnya .

Pedoman penskoran tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada lampiran B.3 dengan memodifikasi Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) seperti yang tercantum pada Tabel 3.2 di bawah ini.


(34)

Tabel 3.2. Kriteria Penilaian Kemampuan penalaran Matematis

Selain penskoran pada tes kemampuan penalaran matematis, juga penskoran dilakukan pada tes kemampuan komunikasi. Untuk memberikan penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk soal tes kemampuan komunikasi berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) seperti yang tercantum pada Tabel 3.3 di bawah ini, yang kemudian dimodifikasi dan disajikan dalam lampiran B.3.

Tabel 3.3 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematik

Skor Respon siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1 Hanya sedikit yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik dan gambar yang dilukis.

2 Hanya sebagian yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik masuk akal, dan melukiskan gambar.

3 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap dan benar namun mengandung sedikit kesalahan

4 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap, jelas dan benar

Skor Kriteria

0 Tidak ada jawaban

1 Menjawab tidak sesuai dengan aspek pertanyaan tentang penalaran atau menarik kesimpulan salah

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar

3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar

4 Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar dan jelas atau lengkap


(35)

Kemudian setelah proses penyekoran data hasil ujicoba dilakukan pengolahan data menggunakan rumus yang tersedia dengan batuan software Ms. Exel untuk mengetahui tingkat validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran dari instrumen tersebut. Perhitungan tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal tes tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Validitas Butir Soal

Validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir soal dalam mengukur apa yang seharusnya diukur melalui butir soal tersebut (Sudijono, 2010). Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai daya dukung yang besar terhadap skor total. Berkenaan dengan validitas isinya yaitu tentang kesahihan instrumen dengan materi yang akan ditanyakan, baik menurut setiap butir soal maupun menurut soalnya secara keseluruhan. Untuk menentukan validitas instrumen khususnya validitas isi, maka harus ditentukan dan dinilai oleh para pakar yang berpengalaman dan tidak ada cara lain untuk menentukan validitas isi ini (Ruseffendi, 2005). Untuk memperoleh butir tes yang memiliki validitas banding yang handal, berkenaan dengan statistik menurut Ruseffendi (2005) digunakan rumus produk moment dari pearson sebagai berikut:

 

}

)

(

}{

)

(

{

)

)(

(

2 2 2 2

Y

Y

N

X

X

N

Y

X

XY

N

r

xy Keterangan:

= Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y N = Jumlah peserta tes

X = Skor siswa tiap butir soal Y = Skor tiap responden/ siswa


(36)

Interpretasi berdasarkan nilai koefisien korelasi validitas butir soal disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.4.

Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas

Koefisien Korelasi Interpretasi

00 , 1 80

,

0 rxySangat tinggi

80 , 0 60

,

0 rxyTinggi

60 , 0 40

,

0 rxyCukup

40 , 0 20

,

0 rxy  Rendah

20 , 0 00

,

0 rxy  Sangat rendah

Sumber : Arikunto (2009)

Hasil perhitungan validitas tiap item tes uji coba, untuk mengetahui signifikan korelasi yang didapat, selanjutnya diuji dengan menggunakan rumus uji-t, yaitu:

ℎ �=

�−2 1− 2

Sudjana (2005) Keterangan:

ℎ � =daya beda uji-t

� =jumlah subjek

=koefisien korelasi

Jika > maka validitas butir soalnya valid.

Data ujicoba diolah dengan bantuan Program Ms. Exel, sehingga diperoleh nilai koefisien korelasi validitas butir soal. Rangkuman uji validitas tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada Tabel 3.5. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.


(37)

Tabel 3.5

Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis

No Soal Koef.Korelasi Interpretasi t hitung t tabel keterangan

1 0,730 Tinggi 5,7528 2,0452 valid

2 0,798 Tinggi 7,1455 2,0452 valid

3a 0,832 sangat tinggi 8,1042 2,0452 valid

3b 0,841 sangat tinggi 8,3789 2,0452 valid

4a 0,843 sangat tinggi 8,4435 2,0452 valid

4b 0,807 Tinggi 7,3796 2,0452 valid

Dari Tabel 3.5, tampak bahwa keempat butir soal tes kemampuan penalaran matematis dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Hal ini dapat terlihat dari tingginya koefisien korelasi dari skor masing-masing butir soal terhadap skor totalnya, termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan hasil uji validitas ini, keempat butir soal tersebut layak untuk mengukur kemampuan penalaran matematis siswa.

Rangkuman uji validitas tes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.6

Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

No Soal Koef.Korelasi Interpretasi t hitung t tabel Keterangan

1a 0,6216 Tinggi 4,2738 2,0452 valid

1b 0,7007 Tinggi 5,2892 2,0452 valid

2a 0,3784 Rendah 2,2016 2,0452 valid

2b 0,5042 Cukup 3,1448 2,0452 valid

3a 0,5800 Cukup 3,8342 2,0452 valid

3b 0,5979 Cukup 4,0175 2,0452 valid

4a 0,6151 Tinggi 4,2013 2,0452 valid

4b 0,5325 Cukup 3,3881 2,0452 valid


(38)

Dari Tabel 3.6, tampak bahwa keempat butir soal tes kemampuan komunikasi matematis dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Walapuan hasil koefisisen korelasinya bervariasi, mulai dari tingkat rendah sapai tinggi tetapi hal itu cukup menunjukan bahwa masing-masing butir soal telah memiliki validitas yang memadai sehingga keempat butir soal tersebut cukup layak untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa.

2. Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrumen adalah ketetapan instrumen dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab setiap butir instrumen tersebut (Ruseffendi, 2005). Sebuah instrumen dikatakan baik jika memiliki reliabilitas yang tinggi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik perhitungan koefisien reliabilitas dengan menggunakan perhitungan Cronbach’s Alpha atau Koefisien Alpha (Arifin, 2009). Rumus yang digunakan dinyatakan dengan:

           

2 2 1 1 x i R R   Keterangan:

= reliabilitas instrumen

R = jumlah butir soal

2

i

 = variansi butir soal

2

x

 = variansi skor total

Tingkat reliabilitas dari soal uji coba kemampuan penalaran dan komunikasi matematik didasarkan pada klasifikasi Guilford (Ruseffendi, 2005) yang telah dimodifikasi yaitu sebagai berikut:


(39)

Tabel 3.7.

Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Besarnya

Tingkat Reliabilitas 0,00

0,20 Kecil

0,20

0,40 Rendah 0,40

0,70 Sedang 0,70

0,90 Tinggi

0,90

1,00 Sangat tinggi

Rangkuman perhitungan reliabilitas tes untuk kedua kemampuan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.8 Uji Reliabilitas Tes

No. Kemampuan �� Interpretasi

1 Panalaran 0,7844 Tinggi

2 Komunikasi 0,6468 Tinggi

Dari Tabel 3.8, tampak bahwa tes kemampuan penalaran dan tes kemampuan komuniksai matematis memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan oleh siapapun (dalam level yang sama), kapanpun dan di manapun.

3. Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran ini dimaksudkan untuk mengetahui sukar atau mudahnya soal yang digunakan. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. (Arifin, 2009). Tingkat kesukaran pada masing-masing butir soal dihitung menggunakan rumus (Sudjana, 2010):

I N B


(40)

Keterangan:

I = indeks kesukaran untuk setiap butir soal

B = banyaknya siswa yang menjawab benar setiap butir soal N = banyaknya siswa yang memberikan jawaban pada soal yang

dimaksudkan

Hasil perhitungan tingkat kesukaran diinterpretasikan menggunakan kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan Arikunto (2009) yang telah dimodifikasi, seperti Tabel berikut :

Tabel 3.9.

Kriteria Tingkat Kesukaran

Indeks Kesukaran Interpretasi

IK = 0,00 Terlalu sukar

30 , 0 00

,

0 IK Sukar

70 , 0 30

,

0 IK Sedang

00 , 1 70

,

0 IK Mudah

IK = 1,00 Terlalu Mudah

Modifikasi Arikunto (2009)

Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal tes kemampuan penalaran matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.10

Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis

No Soal Koefisien Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 0,375 sedang

2 0,3229 sedang

3a 0,2813 sukar

3b 0,3021 sukar

4a 0,3958 sedang

4b 0,2917 sukar

Dari Tabel 3.10, dapat dilihat bahwa keempat soal termasuk baik karena tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah, kecuali soal no 3 dan no 4b termasuk kategori sukar. Hal ini tidak berarti bahwa soal yang diberikan memang


(41)

benar-benar sukar, tetapi lebih dikarenakan jarangnya siswa diberikan soal-soal penalaran matematis. Sehingga mereka tidak terbiasa mengerjakan soal-soal penalaran.

Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal tes kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.11

Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komuniksai Matematis

No Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1a 0,5 Sedang

1b 0,6 Sedang

2a 0,36 Sedang

2b 0,11 Sukar

3a 0,53 Sedang

3b 0,64 Sedang

4a 0,33 Sedang

4b 0,63 Sedang

4c 0,42 Sedang

Dari Tabel 3.11, dapat dilihat bahwa keempat soal termasuk baik karena tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah hanya ada satu komponen soal yang interpretasinya sukar yaitu soal 2b tetapi hal itu tidak menunjukan bahwa soal tersebut benar-benar sukar. Hal ini disebabkan karena siswa jarang diberikan soal-soal komunikasi.

4. Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2009). Jika suatu soal yang dapat dijawab benar oleh siswa berkemampuan tinggi maupun siswa berkemampuan rendah, maka soal itu tidak


(42)

baik siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa yang berkemampuan rendah tidak dapat menjawab dengan benar, maka soal tersebut tidak baik juga karena tidak mempunyai daya pembeda. (Arikunto, 2009). Untuk memperoleh kelompok atas dan kelompok bawah, maka untuk kepentingan penelitian ini, jumlah seluruh siswa pada suatu kelas dikelompokkan menjadi tiga kategori dengan komposisi jumlah yang seimbang. Siswa yang termasuk ke dalam kelompok atas adalah siswa yang mendapat skor tinggi dalam evaluasi, sedangkan siswa yang termasuk kelompok rendah adalah siswa yang mendapat skor rendah dalam evaluasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya pembeda soal uraian adalah sebagai berikut:

A B A

JS

JB

JB

DP

B B A

JS

JB

JB

DP

Keterangan:

DP : daya pembeda

JBA : jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar,

atau jumlah benar kelompok atas

JBB : jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan

benar, atau jumlah benar kelompok bawah

JSA : jumlah siswa kelompok atas (higher group atau upper group)

JSB : jumlah siswa kelompok bawah (lower group)

Interpretasi indeks daya pembeda didasarkan pada klasifikasi berikut ini: Tabel 3.12.

Klasifikasi Daya Pembeda

Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal DP < 0,00 Sangat jelek 0,00 < DP < 0,20 Jelek 0,20 < DP < 0,40 Cukup 0,40 < DP < 0,70 Baik 0,70 < DP < 1,00 Sangat baik


(43)

Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.13

Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis

No Soal Koefisien Daya Pembeda Interpretasi

1 0,4167 Baik

2 0,3542 Cukup

3a 0,4375 Baik

3b 0,4375 Baik

4a 0,4167 Baik

4b 0,5833 Baik

Dari Tabel 3.13, dapat dilihat bahwa keempat butir soal kemampuan penalaran matematis dapat dengan baik membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan komuniksai matematis disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.14

Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

No Soal Koefisien Daya Pembeda Interpretasi

1a 0,44 Baik

1b 0,42 Baik

2a 0,28 Cukup

2b 0,22 Cukup

3a 0,44 Baik

3b 0,5 Baik

4a 0,56 Baik

4b 0,53 Baik

4c 0,78 sangat baik


(44)

sangat baik. Artinya setiap butir soal dapat membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

A. Lembar observasi aktivitas guru dan siswa

Lembar observasi disusun berdasarkan sintak atau tahapan kegiatan model

reciprocal teaching. Lembar observasi aktivitas guru digunakan untuk memeriksa

kelengkapan sintak/ tahapan kegiatan pembelajaran model reciprocal teaching yang dilaksanakan guru selama proses pembelajaran. Sedangkan lembar observasi aktivitas siswa digunakan untuk memantau aktivitas siswa yang relavan dengan sintak model reciprocal teaching dan aktivitas siswa yang tidak relevan dengan sintak model reciprocal teaching.

Data hasil observasi merupakan data yang diperoleh dari pengisian lembar observasi dengan memperhatikan kondisi kenyataan di lapangan. Tujuannya adalah untuk melakukan refleksi dan perbaikan, sehingga pembelajaran yang berlangsung pada tiap pertemuannya terjadi peningkatan dari pertemuan sebelumnya dan sesuai dengan rencana yang telah disusun pada RPP. Pengolahan dilakukan dengan menghitung rerata persentase skor pada tiap pertemuan lalu dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya, apakah terjadi peningkatan atau tidak. Semakin tinggi rerata persentase, maka semakin baik pembelajaran yang berlangsung dan semakin sesuai pula dengan rencana yang telah disusun.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik observasi dan teknik tes. Teknik observasi digunakan untuk


(45)

mengumpulkan data yang terdapat pada lembar observasi. Lembar observasi diisi oleh pengamat selama proses pembelajaran berlangsung yang berguna untuk memperoleh data tentang aktivitas guru dan siswa.

Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa baik pretes maupun posttes.

F. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap kegiatan yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan, yaitu:

a. studi kepustakaan mengenai pembelajaran matematika dengan metode

reciprocal teaching, kemampuan penalaran dan komunikasi matematis

siswa;

b. menyusun instrumen penelitian berupa soal kemampuan penalaran dan komunikasi matematis dan bahan ajar yang sesuai dengan model pembelajaran yang digunakan, pada tahap ini disertai dengan proses bimbingan dengan dosen pembimbing;

c. mengurus surat perizinan penelitian;

d. melakukan observasi ke sekolah untuk mengkonsultasikan mengenai waktu dan teknis pelaksanaan penelitian serta meminta data hasil ulangan


(46)

harian siswa untuk dikelompokan sebagai kemampuan awal matematis siswa baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen serta ;

e. melaksanakan ujicoba instrumen penelitian dan mengolah data hasil ujicoba instrumen tersebut kemudian di konsultaikan dengan dosen pembimbing.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, kegiatan penelitian diawali dengan memberikan pretes baik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, hal ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dalam kemampuan penalaran dan komunikasi matematis. Setelah pretes dilaksanakan, selanjutnya pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model reciprocal teaching pada kelas eksperimen dan pembelajaran dengan pendekatan konvensional pada kelas kontrol. Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai guru pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Pada saat proses pembelajaran di kelas eksperimen dilakukan observasi oleh seorang guru pengamat, yaitu guru pengajar matematika di kelas tersebut. Jumlah jam pelajaran, materi yang diajarkan, serta soal-soal latihan dan tugas pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol diperlakukan sama. Kelas eksperimen menggunakan bahan ajar rancangan peneliti, sedangkan kelas kontrol menggunakan sumber pembelajaran dari buku paket ataupun LKS yang telah disediakan oleh sekolah. Jumlah pertemuan pada kelas eksperimen dan kontrol masing-masing sepuluh kali pertemuan.

Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran matematika dengan model


(47)

1. Kegiatan awal ( 10 menit)

a. Guru mengelompokan siswa. Tiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa. b. Guru melakukan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa

untuk menggali kemampuan awal yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari dan memberikan motivasi kepada siswa dengan menjelaskan pentingnya pembelajaran matematika dan membaca buku teks.

c. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta penilaian yang akan dilakukan berupa partisipsi siswa dalam setiap kelompok, hasil kerja kelompok dan hasil mengerjakan soal latihan.

d. Pada pertemuan pertama guru menyampaikan mekanisme yang akan digunakan dalam pembelajaran dengan model reciprocal teaching dengan menjelaskan, memimpin, melaksanakan dan memperagakan empat strategi

reciprocal teaching, yaitu membaca kemudian merangkum bahan ajar,

siswa diharapkan dapat membuat pertanyaan, menjelaskan dan memprediksi masalah baru yang akan muncul dari situasi yang dianalisisnya. Selanjutnya guru menyampaikan kepada siswa bahwa pada pertemuan selanjutnya giliran siswa yang menjelaskan kepada siswa lain dari kegiatan yang siswa lakukan dalam kelompoknya masing-masing yang dipilih secara acak.

2. Kegiatan Inti ( 60 menit) Tahap I: Meringkas


(48)

siswa yang memiliki kemampuan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa lain) untuk berperan menjadi guru dalam kelompoknya. b. Guru memberikan bahan ajar, kemudian meminta semua siswa untuk

membaca bahan ajar yang telah diberikan dan buku paket matematika yang miliki siswa tentang materi segitiga dan jenis-jenisnya.

c. Secara berkelompok masing-masing siswa membuat ringkasan (rangkuman) dengan menyoroti hal-hal pokok dari yang telah baca dalam bahan ajar misalnya jenis-jenis segitiga ditinjau dari panjang sisi-sisinya, jenis-jenis segitiga ditinjau berdasarkan besar sudutnya..

Ilustrasi:

Lihat buku ajar I, tentang jenis-jenis segitiga ditinjau dari sisi-sisinya. Guru memancing pertanyaan dari siswa dengan memberikan pertanyaan, misalnya: (Prediksi Jawaban Siswa)

G : Dari gambar yang diberikan apa yang dapat kita rangkum?

S1: Gambar segitiga.

S2: 3 buah segitiga yang berbeda.

G : iya, benar gambar di atas adalah gambar segitiga yang berbeda-beda menurut panjang sisi-sisinya.

G: sekarang gunakan penggaris untuk mengukur panjang sisi-sisi ∆ .

Tahap II dan III: Membuat/menyusun pertanyaan dan


(49)

Kemudian guru membimbing siswa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan dan penyelesaiannya.

G :Dari gambar tersebut adakah sisi-sisi yang kongruen? Jika ada, berapa sisi yang kongruen?

S3:Setelah diukur panjang sisinya ternyata semua sisinya memiliki ukuran yang sama panjang.

S4:ada sisi yang kongruen.

G : Baiklah, kalau begitu coba kalian buat pertanyaan dari gambar jenis-jenis bangun segitiga yang terdapat dalam LKS. Ada yang mau mencoba membuat pertanyaan?

S5: saya bu, bangun apakah ∆ ?

S6: bangun segitiga sama sisi. G : bagus. ada pertanyaan lain lagi?

S7: Gambar (b) dan (c) termasuk segitiga apa?

G :Setelah diukur bagaimana panjang sisi-sisi ∆ , ternyata panjang PR=QR dan pada ∆ ketiga sisinya tidak sama pangjang.

S8:Jadi, ∆ segitiga sama kaki dan ∆ adalah segitga sembarang. Tahap IV: Memprediksi

Guru membimbing siswa untuk membuat pertanyaan baru atau prediksi dari situasi yang tadi.

G : Ada pertanyaan lain lagi?

G: Bagaimana jika kalian menggambar segitiga dengan berbagai ukuran, kemudian kita tentukan jenis


(50)

segitiganya!

d. Guru membimbing siswa mempelajari bahan ajar tersebut dan menjawab pertanyaan-pertanyaan.

e. Guru berperan sebagai fasilitator dan memberikan scaffolding bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi.

f. Siswa merekepitulasi, rekapitulasi yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan dalam pembelajaran di kelas. g. Guru melakukan evaluasi dan refleksi terhadap kegiatan reciprocal

teaching dan guru memberika penilaian berkenaan dengan penampilan

siswa serta memotivasi siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan tanya jawab.

3. Kegiatan Akhir ( 10 menit)

a. Guru menyampaikan bahwa pertemuan berikutnya akan dipilih kelompok secara acak dan selanjutnya akan dipilih siswa secara acak yang akan berperan sebagai pemimpin dialog

b. Guru memberikan tugas soal latihan untuk dikerjakan dirumah.

c. Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari materi selanjutnya dirumah. Setelah seluruh kegiatan pembelajaran selesai dilaksanakan, selanjutnya dilakukan tes akhir (postes) pada kelas eksperiman maupun kelas kontrol. Soal tes akhir (postes) yang diberikan baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol merupakan soal tes yang sama dengan soal tes awal (pretes), hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Pelaksanaan tes kemampuan penalaran dan


(51)

kemampuan komunikasi matematis masing-masing diberikan waktu dua jam pelajaran yaitu 80 menit baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol.

3. Pengolahan Data Penelitian

Data yang dianalisis adalah hasil tes kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software

SPSS 16 dan Microsoft Excell 2007.

a. Pengolahan Data Tes

Pretes merupakan gambaran kemampuan awal siswa sebelum diberikannya perlakuan dan postes adalah gambaran kemampuan siswa setelah diberikannya perlakuan. Peningkatan kemampuan dalam penelitian ini diperoleh dari selisih antara skor pretes dan postes serta skor ideal kemampuan penalaran dan komunikasi matematis yang dinyatakan dalam skor gain ternormalisasi sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hake (Meltzer, 2002), yaitu:

Gain ternormalisasi (N-Gain) = −

kemudian gain diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut: Tabel 3.15.

Klasifikasi Gain (g)

Besarnya Gain (g) Interpretasi

g > 0,7 Tinggi

0,3 < g ≤ 0,7 Sedang

g ≤ 0,3 Rendah

(Hake, 1999)

Sebelum dilakukannya pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16, maka terlebih dahulu perlu ditetapkan taraf signifikansinya, yaitu 5% atau

0,05

Sebelum dilakukan uji hipotesis, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah uji normalitas distribusi data dan uji homogenitas variansi data. Lebih


(1)

Brenner, M. E. (1998). Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups by Language Minoroty Student. Bilingual Research

Journal, 22-2,3, & 4 Spring, Summer, & Fall 1998.

Cai, J.L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). The Role of Open-Ended Tasks and

Holistic Scoring Rubrics: Assessing Students’ Mathematical Reasoning and

Communication. Dalam Portia C. Elliot (Eds). Communication in

Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Cai, J. & Patricia (2000). Fostering Mathematics Thinking Through Multiple Solutions. Mathematics Teaching in Middle School. Vol V. USA: NCTM. Clark, K. K., (2005). Strategies for Building Mathematical Communication in the

Middle School Classroom: Modeled in Professional Development,

Implemented in the Classroom. CIME (Current Issues in Middle Level

Education) (2005) 11(2), 1-12.

Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman

Siswa SLTP Melalui Pendekatan Open-Ended. Bandung: Disertasi SPS UPI.

Dasari, D. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Statistis Mahasiswa

Melalui Pembelajaran Model PACE. Disertasi. SPS UPI Bandung.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). (2006). Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas

. (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah . Jakarta: Depdiknas

English, L.D. (1997). Analogies, Metaphora, and Images: Vihicles for

Mathematical Reasoning. In Mathematical Reasoning Analogies, Metaphor

and Images Editied by English Lyn D. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Fitrie, N. (2002). Pengembangan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi

Matematika SLTP melalui Aktifitas Bicara, Mendengar, dan Menulis Matematika. Bandung: Tesis PPs UPI Bandung.Tidak dipublikasikan.

Giangrave A.B. (2006). The Impact of Reciprocal Teaching on Literacy Achievement of seventh Grade Boys. A Dissertation, Connecticut State University, New Britain, Connecticut. (online) Tersedia di http://www._eprints.vvsu.edu/Diss22FT.pdf. (13 Juli 2012)

Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/∼sdi/Analyzingchange-Gain.pdf.


(2)

Yati Anggraeni, 2012

Helmaheri. (2004). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan

Masalah Matematik Siswa SLTP melalui Strategi Thing-Talk-Write.

Bandung: Tidak Diterbitkan.

Hendriyana, H. (2002). Meningkatkan kemampuan pengajuan dan pemecahan

masalah matematik dengan pembelajaran terbalik. Tesis pada SPs UPI.

Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan

Masalah Siswa SLTP melalui Model Pembelajaran Generatif. Bandung:

Tesis PPs UPI Bandung. Tidak dipubliskan.

Iriawan, B.S. (2008). Pengaruh Pembelajaran Berbalik atau Reciprocal Teaching

Terhadap Ketuntasan Belajar Siswa dalam Pemahamn dan Aplikasi Konsep Matematika. Bandung: Tesis PPs UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.

Jacob, C. (2003). Pemecahan Masalah Penalaran Logis, Berpikir Kritis dan

Pengkomunikasian. Bandung: Tidak diterbitkan.

Juariah. (2008). Upaya Meningkatkan Penalaran dan Komunikasi Matematis

Siswa Melalui Pendekatan Proses. Tesis PPs UPI Bandung. Tidak

dipubliskan.

Karim, A. (2010). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Berpikir Kritis

Matematis siswa SMP melalui Pembelajaran Model Recoprocal Teaching.

Tesis PPs UPI Bandung. Tidak dipubliskan.

Keraf, G. (1982). Argumen dan Narasi Komposisi Lanjutan III. Jakarta: Gramedia.

Lindquist, M. M. & Elliot, P.C. (1996). Communication an Imperative for

Change: A Comvesation with Mary Lindquisit. In P.C Elliot, and MJ. Kenny

. Communication in Mathematics. K-12 and Beyond. USA: NCTM.

Martadiputra. (2011). Pelatihan Pengolahan Data Penelitian dengan Menggunakan SPSS untuk Mahasiswa S2 dan S3. Diktat Pelatihan di SPS

UPI: Tidak dipublikasikan

Marzono, R. J and Pullock, J. E. (2001). Standart Based Thinking and Reasoning

Skill. In Developing Minds a Resource Book For Teaching Thinking. Edited

by Arthur L, Costa. U.S.A. ASCD.

Matlin, M.W. (1994). Cognition. Orlando: Hardcourt Publisher

Meltzer, D.E. (2002). Addendum to: The relationship between mathematics preparation conceptual learning gains in physics: a possible “hidden


(3)

http://www.physiceducation.net/docs/Addendum_on_normalized_gain.pdf (4 Juli 2012).

Mulyati, T. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

Melalui Model Pembelajaran Berbalik. Tesis: PPs UPI: tidak

dipublikasikan.

National Council of Teachers of Mathematic (NCTM) . (2000). Principle and

Standards for School Mathematics. NCTM.

Olkun, N. B. S, dan Deryakulu, D. Geometric Explorations with Dynamic

Geometry Applications based on Van Hiele Levels.

Palinscar, A.(1986). Strategies for Reading Comprehension Reciprocal Teaching. (online).Tersediadi:http://curry.edcshool.virginia.edu/go/readquest/start/rt,ht ml (6 Desember 2010)

Palinscar, A. & Brown, A. (1984). Teacher’s corner: what is reciprocal teaching. (On line). Tersedia: http://team.lacoe.edu/documentation/classroom/patti/2-3/teacher/resources/reciprocal.html. (1 Desember 2010).

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa

Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi PPs UPI: tidak dipublikasikan.

Pugalee, D.K. (2001). Ussing Communication to Develop Student Mathematical

Literacy. Journal Research of Mathematics Education 6(5). 296-299.

Putri, W. (2006). Mengembangkan Pembelajaran Kontektual dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Tesis pada SPS

UPI.

Rahman, A. (2004). Meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan

generalisasi matematik siswa SMA melalui pembelajaran berbalik. Tesis

pada SPs UPI.

Rochmad. (2008). Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran

Matematika Beracuan Kontruktivisme. (Online). Tersedia:

http://rocmad- unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html.(27Januari2012)

Rohaeti, E.(2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode

Improve untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik siswa SLTP. Tesis PPS UPI. Bandung : tidak


(4)

Yati Anggraeni, 2012

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kapada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non

Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

. (1998). Statistika dasar untuk penelitian pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Sabri. (2003). Prospective Secondary School Taechers’ Conceptions of

Mathematical Proof in Indonesia. Tesis magister pada Universitas Curtin.

Shadiq, F. (2007). Penalaran atau Reasoning? Mengapa Perlu Dipelajari Siswa Di Sekolah?(Online).Tersedia: http://fadjar3g.files.wordpress.com/2007/09/ok-penalaran_gerbang_pdf (28 Oktober 2008)

Sudihartinih, E. (2009). Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Penalaran

Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pembelajaran Menggunakan Teknik SOLO. Tesis SPs : UPI Bandung.

Soedjadi, R. (2004). PMRI dan KBK dalam Era Otonomi Pendidikan. Buletin PMRI. Edisi III. Jan 2004. Bandung: KPPMT ITB.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Penididikan Matematika di Indonesia. Jakrta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Suherman, E. (2001). Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika. Jakarta: Pusat Penerbitan UT.

Sudijono. (2010). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis

Mahasiswa Calon Guru melalui Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Transactional Reading Strategy (TRS). Disertasi SPs : UPI

Bandung.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D. Bandung: Alberta.

Sudjana, N. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(5)

Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa. Dan

Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. FPMIPA UPI: Tidak

Diterbitkan

. (2006). Berpikir Matematik Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa. Dan

Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah Seminar Pendidikan Matematika 22 April 2006 di

FMIPA Universitas Padjajaran, Bandung.

. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa. Dan Bagaimana

Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah pada Seminar Tingkat

Nasional. 8 Juli 2004 di FMIPA UNY Yogyakarta.

. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa

SMA dkaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. Bandung: FPS IKIP Bandung:

Tidak Diterbitkan.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Supardi. (2009). Meningkatkan Kemampuan Analisis Matematika SMA dengan

Menggunakan Model Reciprocal Teaching. Tesis SPS UPI: Tidak

dipublikasikan.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung:

Tidak Dietrbitkan.

Tahmir, S.(2008). Model Pembelajaran RESIK Sebagai Strategi Megubah

Paradigma Pembelajaran Matematika di SMP yang Teachers Oriented Menjadi Student Oriented. Laporan penelitian hibah bersaing. Dikti.

(online)Tersedia:http://www.puslitjaknov.org/data/file/2010/makalah_poster _session_pdf/Suradi_ModelPembelajaranResiksebagai Strategi.pdf. (15 Nopember 2010)

The, L.G. (1991). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Trends in International Mathematics and Sience Study (TIMSS). (2003). Mathematics.Framework.[Online].http://timss.bc.edu./timss2003i/pdf/t03_ af_math.pdf. [20 Januari 2012]

.(2007).Mathematics.Framework.[Online].http://timss.bc.edu/timss2007i/p df/t03_af_math.pdf [20 Januari 2012]


(6)

Yati Anggraeni, 2012

Trihendradi, C. (2009). Step by Step SPSS 16 Analisis Data Statistik. Yogyakarta: Andi.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika

(Berparadigma Eksploratif dan Investigasi). Jakarta: Leuseur Cipta Pusaka.

Uyanto, S.(2009). Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan

Siswa dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Disertasi pada PPS IKIP.

Bandung. Tidak Diterbitkan.

Wardhani,S dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika

SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta : Kementrian Pendidikan

Nasional : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Widdiharto, R. (2004). Model-model Pembelajaran Matematka SMP. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Within. (1992). Mathematics Task Centre; Proffesional Development and

Problem Solving. In J Wakefield and L. Velardi (Ed). Celebrating Mathematics Learning. Melbourne: The Mathematical Association of

Victoria.

Wikipedia. (2011). http://wikipedia.com. kamus on line (6 Desember 2011)

Yuniati. (2010). Meningkatkan Kemampun Pemahaman dan Penalaran

MatematisSiswa SMP dengan Pembelajaean Berbasis Masalah. Tesis UPI.