MODEL KONSELING KELUARGA UNTUK MENGEMBANGKAN KESIAPAN MENTAL CALON TENAGA KERJA WANITA (TKW) DAN KELUARGANYA.

(1)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN ...

PERNYATAAN ...

ABSTRAK ...

KATA PENGANTAR ...

UNGKAPAN TERIMA KASIH ...

DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...

B. Rumusan Masalah ...

C. Tujuan Penelitian ...

D. Asumsi Penelitian ...

E. Hioptesis ...

F. Manfaat Penelitian ...

BAB II

KONSELING KELUARGA BAGI CALON TENAGA KERJA WANITA (TKW) DAN KELUARGANYA

A. Kajian Konseptual Tentang Keluarga ...

1. Pengertian Keluarga ...

2. Peran dan Fungsi Keluarga ...

3. Pondasi Keluarga ...

4. Penyebab Masalah Keluarga ...

B. Keluarga Calon TKW ...

1. Karakteristik Keluarga Calon TKW ...

2. Faktor-faktor yang Mendorong Isteri Menjadi TKW ...

3. Motif ...

ii iii iv vi viii xiv xvii xxviii xxix 1 14 16 17 18 18 20 20 23 31 34 38 38 41 43


(2)

xv

4. Kebutuhan ...

5. Dampak Isteri Menjadi TKW terhadap Keutuhan Rumah Tangga ...

6. Interaksi Dalam Keluarga ...

C. Konsep Dasar Konseling Keluarga ...

1. Pengertian Konseling Keluarga ...

2. Prinsip-prinsip Dasar Konseling ...

3. Tujuan Konseling Keluarga ...

4. Konselor Keluarga ...

5. Konseling Keluarga Calon TKW ...

D. Mengembangkan Kesiapan Mental ...

1. Emosi ...

2. Kecemasan ...

3. Stres ...

4. Percaya Diri ...

5. Sikap Sosial ...

E. Pendekatan-pendekatan Konseling Keluarga ...

1. Konseling Keluarga dengan Pendekatan Sistem ...

2. Konseling Keluarga dengan Pendekatan Perilaku ...

3. Konseling Keluarga Berdasar Pendekatan Komunikasi ...

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian ...

B. Definisi Operasional Variabel ...

C. Pengembangan Instrumen ...

D. Subyek Penelitian ...

E. Prosedur Penelitian ...

F. Analisis Data ...

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ...

1. Kesiapan Mental Calon TKW Sebelum Konseling ...

2. Kesiapan Mental Suami Calon TKW sebelum Konseling...

44 47 52 56 56 58 60 62 67 69 71 73 77 80 84 86 87 93 94 97 110 113 116 129 130 134 138 138 147


(3)

xvi

3. Kesiapan Mental Anak Calon TKW sebelum Konseling ...

4. Kesiapan Mental Calon TKW Setelah Konseling ………...

5. Kesiapan Mental Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

6. Kesiapan Mental Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

B. Model Hipotetik Konseling Keluarga Bagi

Calon TKW dan Keluarganya ...

C. Validasi Model Konseling Keluarga Bagi Calon TKW

dan Keluarganya ...

1. Uji Kelayakan MKK Bagi Calon TKW dan Keluarganya ...

2. Uji Coba Terbatas ...

3. Uji Coba Lapangan Konseling Keluarga ...

D. Hasil Uji Coba MKK Bagi Calon TKW dan Keluarganya ...

1. Pengujian Normalitas Data ...

2. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Calon TKW ...

3. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Suami Calon TKW ...

4. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Anak Calon TKW ...

E. Pembahasan ...

1. Pembahasan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

2. Pembahasan Efektivitas Model Konseling Keluarga Untuk

Membangun Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ...

B. Rekomendasi ...

DAFTAR PUSTAKA ...

157 167 176 185

194

211 211 213 215 215 216 217 225 234 244 244 253

261 262


(4)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1

Kisi-kisi inventori Kesiapan Mental Calon TKW (sebelum uji coba) ...

Tabel 3.2

Koefisien Validitas Antar Penimbang untuk Instrumen Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

Tabel 3.3

Penghitungan Bobot Nilai Skala ...

Tabel 3.4

Contoh Penghitungan Daya Pembeda ...

Tabel 3.5

Pengujian Reliabilitas ...

Tabel 3.6

Pedoman untuk Memberikan Interprestasi Koefisien Korelasi ...

Tabel 3.7

Kisi-kisi Inventori Kesiapan Calon TKW (setelah uji coba) ...

Tabel 3.8

Subjek Penelitian ...

Tabel 4.1

Gambaran Kesiapan Mental Calon TKW sebelum Konseling ...

Tabel 4.2

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Calon TKW

sebelum konseling ...

Tabel 4.3

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Calon TKW Sebelum Konseling ...

117

119

121

123

126

127

128

130

138

139


(5)

xviii Tabel 4.4

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.5

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.6

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.7

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.8

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.9

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.10

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.11

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.12

Gambaran Aspek Sosial Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.13

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.14

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Calon TKW Sebelum Konseling ...

140 141 141 142 143 143 144 144 145 146 146


(6)

xix

Tabel 4.15

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.16

Gamabaran Kesiapan Mental Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.17

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.18

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.19

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.20

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Suami Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.21

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.22

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.23

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.24

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Suami

Calon TKW Sebelum Konseling ...

147

147

148

149

149

150

151

151

152


(7)

xx Tabel 4.25

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.26

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.27

Gambaran Aspek Sosial Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.28

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.29

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Suami Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.30

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.31

Gamabaran Kesiapan Mental Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.32

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.33

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.34

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

153

154

154

155

156

156

157

158

158


(8)

xxi Tabel 4.35

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Anak Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.36

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.37

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.38

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.39

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Anak

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.40

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.41

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.42

Gambaran Aspek Sosial Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.43

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Anak Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.44

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Anak Calon TKW

Sebelum Konseling ...

160

160

161

162

162

163

164

164

165


(9)

xxii Tabel 4.45

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.46

Gambaran Kesiapan Mental Calon TKW setelah Konseling ...

Tabel 4.47

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.48

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.49

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.50

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.51

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.52

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.53

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.54

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Calon TKW Setelah Konseling ...

166

167

168

168

169

169

170

171

171


(10)

xxiii Tabel 4.55

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.56

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.57

Gambaran Aspek Sosial Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.58

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.59

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.60

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.61

Gamabaran Kesiapan Mental Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.62

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.63

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.64

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.65

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Suami Calon TKW

Setelah Konseling ...

172 173 174 174 175 176 176 177 177 178 179


(11)

xxiv Tabel 4.66

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.67

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.68

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.69

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Suami

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.70

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.71

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.72

Gambaran Aspek Sosial Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.73

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.74

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Suami Calon TKW

Setelah Konseling ………

Tabel 4.75

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

179

180

180

181

182

182

183

183

184


(12)

xxv Tabel 4.76

Gamabaran Kesiapan Mental Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.77

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.78

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.79

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.80

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Anak Calon TKW Setelah Konseling ..

Tabel 4.81

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.82

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.83

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.84

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Anak

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.85

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

185

186

186

187

188

188

189

189

190


(13)

xxvi Tabel 4.86

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.87

Gambaran Aspek Sosial Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.88

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Anak Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.89

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Anak Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.90

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.91

Pengujian Normalitas Data ...

Tabel 4.92

Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Calon TKW ...

Tabel 4.93

Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Calon TKW ...

Tabel 4.94

Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Calon TKW ...

Tabel 4.95

Aspek dan Indikator Sikap Sosial Calon TKW ...

Tabel 4.96

Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Suami Calon TKW ...

Tabel 4.97

Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Suami Calon TKW ...

191 192 193 193 194 216 218 220 221 224 225 227


(14)

xxvii Tabel 4.98

Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Suami Calon TKW ...

Tabel 4.99

Aspek dan Indikator Sikap Sosial Suami Calon TKW ...

Tabel 4.100

Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Anak Calon TKW ...

Tabel 4.101

Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Anak Calon TKW ...

Tabel 4.102

Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Anak Calon TKW ...

Tabel 4.103

Aspek dan Indikator Sikap Sosial Anak Calon TKW ...

Tabel 4.104

Ringkasan Perubahan Kesiapan Mental Calon

TKW dan Keluarganya ...

229

233

234

236

238

241


(15)

xxviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar : 3.1

Peengujian Efektivitas Model ...

Gambar : 3.2

Tahap Pengembangan Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

112


(16)

xxix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran: 1

Permohonan Izin Mengadakan Studi Lapangan/Penelitian ...

Lampiran: 2

Surat Keterangan telah melakukan Penelitian/uji lapangan Model

Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

Lampiran: 3

Kisi-Kisi Inventori dan Instrumen Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita dan Keluarganya. (sebelum Uji Coba) ...

Lampiran: 4

Kisi-Kisi Inventori dan Instrumen Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita dan Keluarganya. (setelah Uji Coba) ...

Lampiran: 5

Penghitungan bobot nilai skala sikap ...

Lampiran: 6

Analisis Daya Pembeda Skala Sikap ...

Lampiran: 7

Hasil pengujian validitas instrumen kesiapan mental Calon Tenaga

Kerja Wanita (TKW) dan keluarganya ...

Lampiran: 8

Reliabilitas instrumen kesiapan mental Calon TKW dan keluargnya ...

Lampiran: 9

Pengujian Normalitas Data ...

Lampiran: 10

Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...

273

275

276

280

283

297

332

334

336


(17)

xxx Lampiran: 11

Panduan Operasional Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...

Lampiran: 12

Tabel frekuensi kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Keluarganya Sebelum dan Sesudah Konseling ...

Lampiran: 13

Hasil Pengujian Efektifitas Model Konseling Keluarga

untuk mengembangkan Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita ………

Lampiran: 14

Instrumen Validasi Model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita

(TKW) dan keluarganya ...

Lampiran: 15

Foto Layanan Konseling Keluarga ...

355

371

405

425


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keadaan ekonomi keluarga dan desakan kebutuhan hidup yang semakin tidak terpenuhi, serta sempitnya lapangan pekerjaan mendorong para ibu rumah tangga (isteri) melibatkan diri membantu suami mencari nafkah, sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri (migran).

Faktor ekonomi dan keinginan memenuhi kebutuhan menjadi alasan utama para ibu rumah tangga menjadi tenaga kerja di luar negeri. Menurut Wahjuni (2007: 1) terdapat dua faktor yang mendorong para ibu rumah tangga menjadi TKW, yaitu :

Pertama keinginan dari dalam diri sendiri dengan tujuan merubah nasib, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarga. Kedua dorongan dari luar dirinya, yaitu pengaruh teman, kerabat, tetangga, dan dorongan dari suami dengan tujuan untuk membuat rumah, pemenuhan perabot rumah tangga, kendaraan, dan modal usaha untuk masa depan.

Banyaknya ibu rumah tangga (isteri) bekerja di luar negeri sebagai TKW, selain dapat memecahkan masalah ketenagakerjaan, meningkatkan devisa negara, dan memperbaiki ekonomi keluarga, tetapi juga memiliki sisi negatif, seperti differensiasi peranan dalam keluarga dan longgarnya ikatan perkawinan. Sebagaimana dikemukakan oleh Oberg (Tamtiari, 2000: 502) ”pengiriman tenaga kerja ke luar negeri memiliki sisi negatif yang


(19)

menimbulkan dampak negatif, baik yang menyangkut aspek politik, ekonomi, demografi, budaya, sosial, psikologis, maupun harkat dan martabat bangsa”.

Dampak pengiriman tenaga kerja wanita ke luar dari sisi ekonomi dapat meningkatkan standar kehidupan keluarga TKW. Peningkatan standar kehidupan keluarga TKW, secara tidak langsung juga meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya. Martin (Tjiptoherijanto, 1997: 151) mengemukakan:

Pada tingkat mikro hasil dari penghasilan (remiten), dapat dilihat dari kondisi tempat tinggal para TKW yang bekerja di luar negeri, pada umumnya lebih baik dibanding non TKW. Para TKW yang bekerja di luar negeri banyak yang memiliki sepeda motor, peralatan rumah tangga, dan berinvestasi membeli tanah sawah atau pekarangan

Meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong pola hidup dan perilaku konsumtif pada masyarakat. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Tjahyani (2005: 54) menunjukkan bahwa:

Sebagian besar keluarga yang salah satu anggotanya menjadi TKW tidak mengalami perubahan orientasi terhadap materi, hal ini dikarenakan tujuan mereka menjadi TKW adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena pengaruh budaya materialistik, masih ada diantara mereka yang tidak memanfaatkan uang yang mereka peroleh untuk kepentingan produktif, tetapi membelanjakan uang tersebut untuk hal-hal yang konsumtif dengan tujuan supaya dapat dipamerkan kepada tetangga atau masyarakat umum


(20)

Sisi lain keterlibatan ibu rumah tangga bekerja sebagai TKW di luar negeri selama dua tahun, menyebabkan dinamika kehidupan keluarga terganggu. Seperti pelimpahan peran dan fungsi sebagai ibu rumah tangga (isteri) kepada suami, dimana pelimpahan peran dan fungsi tersebut dapat menimbulkan differensiasi peranan dalam keluarga TKW. Pelimpahan peran ibu rumah tangga kepada suami, dapat memunculkan permasalahan lain seperti keresahan sosial. Tidak semua suami mampu mempertahankan diri “puasa” dari dorongan seksual. Kurang perhatian dan kasih sayang isteri kepada suami, seringkali suami kurang terkendali dalam melampiaskan kebutuhan biologisnya. Tidak menutup kemungkinan sebagian suami untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya disalurkan dengan membeli kepuasan dari tempat prostitusi, atau melakukan perselingkuhan dengan wanita idaman lain.

Kondisi ini menjadi titik awal tidak konsistennya suami terhadap tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Mencermati permasalahan tersebut, mengindikasikan bahwa para ibu rumah tangga yang bekerja di luar negeri sebagai TKW menjadi penyebab terhadap longgarnya ikatan perkawinan.

Salah satu contoh kasus TKW yang menimpa Sumitri 26 tahun (bukan nama sebenarnya). Dua tahun berkeluarga belum dikaruniai anak. Karena desakan ekonomi dan keinginan untuk memperbaiki rumah agar


(21)

layak huni, serta sulitnya mencari pekerjaan di daerahnya, maka dengan ijin suaminya ia memutuskan untuk mengadu nasib ke negeri Jiran. Sumitri mendapatkan majikan yang cukup memperhatikan, gaji selalu dibayarkan tepat waktu pada setiap bulannya. Setiap tiga bulan mengirimkan uang kepada suaminya untuk memperbaiki rumah, dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tanpa sepengetahuan isterinya uang kiriman digunakan suami untuk foya-foya dengan selingkuhannya. Suami sudah tidak konsisten dengan tujuan semula. Tidak konsistennya suami merupakan bentuk pengingkaran tanggung jawab sebagai suami. Hal ini yang menjadi alasan Sumitri mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.

Salah satu contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa, para isteri atau ibu rumah tangga yang bekerja di luar negeri sebagai TKW, secara tidak langsung menyebabkan keutuhan rumah tangga menjadi rapuh. Kerapuhan keluarga dapat berawal karena adanya krisis keluarga yang disebabkan tidak berjalannya fungsi keluarga. Menurut Rifa’i (2007: 187) bahwa:

masalah krisis keluarga dapat diduga muncul akibat tidak berfungsinya tugas dan peranannya keluarga, yang secara psikologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera pula.

Rendahnya tingkat pendidikan para ibu rumah tangga yang bekerja sebagai TKW di luar negeri, menempatkan dirinya sebagai tenaga kasar dan


(22)

sebagai pembantu rumah tangga (blue collar). Pendidikan dan keterampilan bagi calon TKW sangat penting, karena tingkat pendidikan menjadi dasar dalam penempatan (placement) tenaga kerja di luar negeri. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap 50 calon TKW diperoleh data tingkat pendidikan calon TKW, SLTA 15 orang (30%), SLTP 26 orang (52%), SD 9 orang (18% ). Rendahnya kualitas tenaga kerja menjadi salah satu penyebab ketidakmampuan tenaga kerja untuk bersaing dalam pemenuhan kebutuhan tenaga kerja baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Di samping itu, rendahnya tingkat pendidikan TKW memiliki kerentanan terhadap berbagai masalah yang kurang menguntungkan, seperti penganiayaan, pemerkosaan, dan berbagai perlakuan yang bersifat merugikan. Pendidikan pada hakekatnya memiliki fungsi untuk mengembangkan potensi manusia agar tumbuh menjadi yang terbaik bagi dirinya, dan lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Managara (2006: 1) bahwa:

bekal utama seseorang untuk survive dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya termasuk lingkungan yang kurang bersahabat sekalipun adalah terletak pada kemampuan, inisiatif, kreativitas, dan keberaniannya untuk mempertahankan diri dari berbagai kesulitan sebagai senjata (self-defense).

Faktor lain yang mendorong munculnya permasalahan TKW yaitu persyaratan perekrutan calon TKW yang masih sangat longgar jauh dari ketentuan yang ditetapkan. Kelonggaran ini selalu dipandang sebagai


(23)

sesuatu yang normal, fleksibel dan berpihak pada pencari kerja. Di balik kelonggaran tersebut sebetulnya berisiko cukup besar terhadap keselamatan tenaga kerja itu sendiri.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa sebagian persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon TKI antara lain adalah serendah-rendahnya harus tamat SLTP atau yang sederajat. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa harus memiliki keterampilan atau keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam keputusan tersebut juga dijelaskan bahwa setiap perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PPTKIS) wajib melatih calon TKI yang belum memenuhi kualitas di Balai Latihan Kerja (BLK) yang sudah terakreditasi.

Ibu rumah tangga yang bekerja sebagai TKW di luar negeri, akan terjadi pergeseran peran dalam pengasuhan anak. Secara umum dalam pengasuhan anak melibatkan suami dan orang tua atau mertua calon TKW. Ketidakhadiran seorang ibu di tengah-tengah keluarga menjadi permasalahan yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Dalam kondisi seperti ini suami (ayah) ambil alih peran seorang ibu sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Pengalihan peran tersebut, maka suami (ayah) memiliki waktu yang terbatas untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, karena di samping melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai


(24)

pendidik dan pengasuh anak-anaknya, suami harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Noerwanto (2007: 2) mengemukakan bahwa :

ketika isteri menjadi tenaga kerja wanita, keluarga yang ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam “ekosistem” keluarga itu menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju keseimbangan baru. Disebutkan lebih lanjut bahwa kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran. Pertama, suami mengambil alih peran yang ditinggalkan isteri. Mereka mengurusi berbagai pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.

Kedua, suami mengambil sebagian peran yang ditinggalkan isteri. Mereka biasanya dibantu ibu mertua atau anggota keluarga dekat lain. Ketiga, suami tidak mengambil peran. Pola ini dapat dikatakan kegagalan keluarga dalam melakukan transformasi nilai. Dalam hal ini ibu atau mertua TKW mengambil alih peran domestik keluarga.

Selain permasalahan-permasalahan yang datang dari keluarga, para TKW juga dihadapkan berbagai permasalahan yang datang dari tempat kerjanya. Data yang dicatat oleh Depnakertrans (2005: 1) bahwa beberapa kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia dan kesaksian dari para pekerja rumah tangga (TKW) di luar negeri dipaparkan sebagai berikut:

Ada 1.091 kasus tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, yang dapat digolongkan sebagai berikut : gaji yang tidak dibayar 371 kasus (34.01%), putus komunikasi 253 kasus (23.19%), PHK 140 kasus (12.83%), sakit 124 kasus (11.36%), penganiayaan 88 kasus (8.06%), gagal berangkat 45 kasus (4.12%), pelecehan seksual 29 kasus (2.65%), kecelakaan kerja 29 kasus (2.65%), kriminal 12 kasus (1.09%)


(25)

Tidak semua TKW mengalami nasib yang tidak menguntungkan, banyak pula para TKW yang mendapatkan tempat kerja atau majikan yang baik, sehingga diperlakukan dengan baik. Kasus-kasus kekerasan banyak disebabkan oleh perilaku pengguna tenaga kerja atau majikan yang memiliki karakter keras dan kurang berpihak pada TKW, kurang menghargai dan menghormati hak-hak kerja para TKW.

Perilaku keluarga majikan yang kurang berpihak pada TKW, menyebabkan berbagai tindakan yang merugikan TKW, seperti kasus pelecehan seksual yang dialami Susanti, 20 tahun (bukan nama sebenarnya), yang diperkosa berkali-kali oleh suami majikan. Perkosaan disertai ancaman tersebut dilakukan setiap kali isteri majikan dan anak-anak tidak ada di rumah.

Kasus putus komunikasi sering menimpa TKW asal Indonesia, hal ini dapat dikarenakan ketidaktahuan menggunakan atau memanfaatkan alat komunikasi yang ada, atau majikan tidak mengijinkan TKW menggunakan atau memanfaatkan alat komunikasi yang ada, atau majikan tidak mengijinkan TKW berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia atau berkomunikasi dengan sesama TKW.

Kasus putus komunikasi, seperti yang dialami Wulandari, 23 tahun (bukan nama sebenarnya). Ia bekerja untuk lima orang yang sudah dewasa. Ia tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan keluarga yang ada di


(26)

Indonesia atau dengan teman sejawatnya. Selain itu tidak diberikan waktu istirahat yang cukup.

Menurut Laporan Human Rights Watch, para TKW yang putus komunikasi dengan keluarganya atau dengan teman sejawatnya, karena majikan tidak mengijinkan mereka berkomunikasi dengan dunia luar. Perlakuan majikan ini seringkali melahirkan kecemasan keluarga yang ada di Indonesia. Untuk membatasi TKW berkomunikasi dengan dunia luar, majikan tidak memperkenankan TKW menggunakan HP atau telepon rumah, keluar rumah atau berkirim surat.

Permasalahan tenaga kerja di luar negeri makin menambah beban persoalan ketenagakerjaan Indonesia. Selain permasalahan tenaga kerja yang dipaparkan di atas, masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh TKW, seperti penganiayaan, pemerkosaan atau kasus-kasus lain seperti kelalaian kerja yang berakibat fatal juga menambah permasalahan para TKW di luar negeri, seperti kecelakaan kerja yang menimpa Umi Maskonah (31 tahun) TKW asal kecamatan Gemuh, kabupaten Kendal, meninggal dunia karena jatuh dari lantai 19 apartemen tempat bekerja (Suara Merdeka, November 2008).

Berbagai upaya untuk meminimalisir permasalahan yang menimpa TKW telah dilakukan pemerintah dengan melakukan berbagai kebijakan atau inovasi-inovasi yang berorientasi untuk meminimalisir permasalahan


(27)

tenaga kerja, salah satunya adalah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), membuat terminal khusus TKI (terminal 3) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Namun demikian langkah yang ditempuh pemerintah belum mampu menangani permasalahan yang dihadapi para TKI, khususnya TKW yang akan atau yang sedang bekerja di luar negeri. Sehingga tidak sedikit kisah-kisah pilu masih saja dialami oleh TKW Indonesia di luar negeri.

Permasalahan yang dihadapi TKW tidak hanya terjadi di tempat mereka bekerja (di luar negeri) tetapi permasalahan muncul sejak mereka masih di dalam negeri. Permasalahan tersebut dapat juga masalah yang datang dari diri sendiri atau dari keluarga (internal), dan permasalahan yang datang dari luar dirinya (eksternal) yang meliputi permasalahan antar calon TKW, permasalahan dengan pengelola PPTKIS, pelayanan selama di penampungan, proses pemberangkatan, sampai dengan tahap pasca TKW.

Menurut Bronfenbrenner's (Yakusho, 2005: 295) permasalahan yang dihadapi TKW tidak hanya terjadi di tempat mereka bekerja (di luar negeri) tetapi permasalahan muncul ketika dalam penampungan. Hal ini menunjukkan bahwa pangkal masalah para TKW dan keluarganya sudah terjadi sejak masih di tanah air.

Konflik psikis calon TKW dan keluarga berada dalam dua situasi motif positif dan negatif yang sama kuat. Konflik psikis tersebut sebagai


(28)

bentuk adanya ketidaksiapan mental untuk meninggalkan dan ditinggalkan. Menurut Yusuf (2005: 165) konflik ganda (double approach-avoidance

conflict) adalah konflik psikis yang dialami individu dalam menghadapi dua

situasi atau lebih yang masing-masing mengandung motif positif dan negatif sekaligus dan sama kuat.

Dorongan niat para ibu rumah tangga menjadi TKW salah satu diantaranya yaitu untuk dapat lepas dari belenggu kemiskinan, hanya saja niat tersebut tidak didukung oleh kemampuan diri seperti pendidikan, keterampilan dan bahasa yang memadai. Memperhatikan niat tersebut, ibu rumah tangga menjadi calon TKW karena adanya unsur keterpaksaan. Keterpaksaan memutuskan untuk bekerja keluar negeri sebagai TKW mengindikasikan bahwa calon TKW dan keluarganya kurang memiliki kesiapan mental.

Ketidaksiapan mental calon TKW dan keluarganya akan berimbas pada ketidakmampuan calon TKW dan keluarga menghadapi konflik psikis Rumbaut (Yakushko, 2005: 294) menyatakan bahwa “migrasi” dapat mendatangkan krisis psikologis, maka individu perlu disiapkan dengan baik dan dimotivasi, bahkan di dalam keadaan mau menerima pun. Kemudian Espin (Yakushko, 2005: 294) mengemukakan:

para wanita imigran mengalami tekanan post-traumatic, kesedihan, penderitaan dan berbagai kerugian, acculturative tekanan, kelengahan, hilangnya percaya diri, ketegangan dan kelelahan, serta


(29)

persepsi mereka yang tidak mampu untuk berfungsi dengan segenap kemampuan di dalam budaya baru

Berbagai permasalahan yang dihadapi calon TKW dan keluarganya, menunjukkan bahwa para calon TKW dan keluarganya, mengalami berbagai krisis psikologis. Memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi para TKW sangat memprihatinkan. Sebutan yang disandangkan pada TKW adalah sebagai pahlawan devisa, namun demikian sebutan yang disandangkan kepadanya belum seimbang antara pengorbanan dengan kesejahteraan mereka. TKW masih saja dipandang sebagai kelompok marginal yang jauh dari sentuhan-sentuhan pemikiran akademis, sehingga nasib para imigran tidak diketahui oleh para pengambil kebijakan. Hal ini didasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan belum menyentuh pada tataran pengembangan yang bersinggungan langsung dengan permasalahan mendasar dari para TKW dan keluarganya, dengan demikian permasalahan permasalahan yang mendasar yang dihadapi para TKW tidak diketahui secara pasti oleh pengambil kebijakan.

Permasalahan yang dihadapi para TKW dan keluarganya dapat saja karena mereka kurang memiliki kesiapan mental untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi setelah salah satu anggota keluarganya meninggalkan atau berpisah untuk sementara waktu karena bekerja di luar negeri sebagai TKW. Oleh karena itu, sebelum calon TKW bekerja di luar negeri, maka kesiapan mental calon TKW dan keluarganya perlu


(30)

dipersiapkan, hal ini dimaksudkan agar calon TKW dan keluarganya memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan permasalahan yang muncul.

Konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya sangat diperlukan, paling tidak pemberian konseling tersebut dapat meminimalisir permasalahan yang muncul dari dalam diri sendiri, keluarga, maupun permasalahan yang muncul di tempat penampungan. Layanan konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, merupakan pemberian bantuan yang ditujukan untuk membantu calon TKW dan keluarganya agar mereka memiliki kesiapan mental, yang mencakup kemampuan mengendalikan dan mengotrol emosi, rasa percaya diri, dan sikap sosial.

Pemberian layanan konseling keluarga diharapkan agar calon TKW dan keluarganya memperoleh pengetahuan, dan pemahaman, serta membantu menangani masalah-masalah yang mengganggu calon TKW dan keluarganya. Selain itu, layanan konseling sebagai upaya untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan membantu menjaga keutuhan rumah tangga meskipun mereka hidup berjauhan.

Agar dalam pemberian layananan konseling dapat diperoleh hasil yang maksimal dan efektif, maka diperlukan suatu model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Dengan harapan model konseling keluarga (MKK) ini dapat


(31)

digunakan secara optimal oleh para konselor dan PPTKIS dalam membantu para calon TKW dan keluarganya untuk mengembangkan kesiapan mental dan dapat mengurangi konflik psikis para calon TKW dan keluarganya.

B. Rumusan Masalah

Faktor ekonomi dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi alasan utama ibu rumah tangga (isteri) memutuskan untuk bekerja diluar negeri sebagai TKW. Hanya saja dorongan niat tersebut tidak didukung oleh kemampuan diri seperti pendidikan, keterampilan dan bahasa yang memadai. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ibu rumah tangga yang akan bekerja keluar negeri sebagai TKW kurang memiliki kesiapan mental. Ketidaksiapan mental calon TKW dan keluarganya akan berimbas pada ketidak mampuan calon TKW dan keluarganya menghadapi konflik psikis. Fakta empiris tentang gejala ketidaksiapan mental pada calon TKW dan keluarganya mengisyaratkan perlunya layanan konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

Konseling keluarga merupakan suatu proses interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang serasi atau seimbang sehingga kebahagiaan semua anggota keluarga dapat terwujud. Ini berarti bahwa sebuah keluarga membutuhkan pendekatan yang beragam untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh anggota keluarga.


(32)

Rumusan tersebut memuat dua implikasi berikut. Pertama, terganggunya kondisi seorang anggota keluarga merupakan hasil adaptasi/interaksi terhadap lingkungan yang sakit (ketidakberfungsian peran dan fungsi keluarga secara efektif) yang diciptakan di dalam keluarga.

Kedua, seorang anggota keluarga yang mengalami gangguan emosional

akan mempengaruhi suasana dan interaksi anggota keluarga yang lain, sehingga diupayakan pemberian bantuan melalui konseling keluarga. Terlaksananya konseling keluarga akan membantu anggota keluarga mencapai keseimbangan psiko-fisik sehingga dapat mencapai kebahagiaan dan kenyamanan bagi semua anggota keluarga.

Mengacu dan mencermati permasalahan tersebut, maka penelitian ini merupakan salah satu upaya merumuskan model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan keluarganya. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah model konseling keluarga (MKK) yang efektif untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya?”

Rumusan masalah tersebut, dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sebelum memperoleh layanan konseling keluarganya?

2. Bagaimana rumusan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya?


(33)

3. Bagaimana gambaran kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sesudah memperoleh layanan konseling keluarga?

4. Bagaimana efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan rumusan model konseling keluarga yang efektif untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

Secara operasional, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran empirik tentang hal-hal berikut.

1. Mendeskripsikan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sebelum diberikan layanan konseling keluarga.

2. Merumuskan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

3. Mendeskripsikan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sesudah diberikan layanan konseling keluarga.

4. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

a. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan kemampuan mengelola emosi calon TKW dan keluarganya.


(34)

b. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan kepercayaan diri calon TKW dan keluarganya. c. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk

mengembangkan sikap sosial calon TKW dan keluarganya.

D. Asumsi Penelitian

Penelitian model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, dilandasi oleh asumsi-asumsi berikut.

1. Terjadinya perasaan kecewa, tertekan atau sakitnya seorang anggota keluarga bukan hanya disebabkan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh interaksi yang tidak sehat dengan anggota keluarga yang lain, ketidaktahuan individu dalam keluarga tentang peranannya dalam menjalani kehidupan keluarga, situasi hubungan suami-isteri dan antar keluarga lainya, dan penyesuaian diri yang kurang sempurna (Perez, 1979).

2. “Migrasi” dapat mendatangkan krisis psikologis sehingga individu perlu disiapkan dan dimotivasi dengan baik Rumbaut (Yakushko, 2005: 294). 3. Para wanita imigran (TKW) mengalami tekanan post-traumatic, kesedihan, penderitaan dan berbagai kerugian, tekanan akulturasi, kelengahan, hilangnya percaya diri, ketegangan, kelelahan, serta


(35)

mempersepsikan ketidakberdayaan dalam menghadapi budaya baru Espin (Yakushko, 2005: 294).

4. Konseling keluarga merupakan suatu proses interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang serasi dan seimbang sehingga semua anggota keluarga mencapai kebahagiaan dan kenyamanan (Perez, 1979).

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang diajukan adalah “model konseling keluarga efektif untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.”

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritik maupun praktik. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat : (1) menjadi rujukan konseptual tentang konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya, dan (2) memberikan wawasan strategi mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

Secara praktik, hasil penelitian ini diharapkan dapat, (1) memberikan sumbangan substansial pada lembaga pendidikan nonformal, sumber belajar atau petugas lapangan di lingkungan PPTKIS, berupa produk model konseling


(36)

keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya; (2) memperkaya model konseling keluarga yang sudah ada, dan (3) bermanfaat bagi konselor sebagai panduan konseling dalam upaya membantu kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Tujuan akhir dari penelitian ini, yaitu merumuskan model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon tenaga kerja wanita (TKW) dan keluarganya. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (research and development), sedangkan metode dalam penelitian ini dengan menggunakan metode campuran (mixed methods design). yaitu metode kualitatif dan kuantitatif yang digunakan secara terpadu dan saling melengkapi.

Menurut Creswell, J.W (2008: 552) mixed methods design adalah suatu prosedur untuk mengumpulkan data, menganalisis, dan “mixing”

kedua metode kualitatif dan kuantitatif dalam suatu penelitian tunggal untuk memahami masalah penelitian. Sedangkan jenis desain dalam penelitian ini adalah ekploratory mixed design, yaitu prosedur pengumpulan data kualitatif untuk mengeksplorasi suatu gejala, dan kemudian mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan data kualitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk memaknai deskripsi kondisi obyektif tentang kebutuhan layanan konseling, kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, serta mendeskripsikan pelaksanaan aktual layanan


(38)

konseling untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Hasil analisis dari pendekatan kualitatif sebagai dasar untuk merumuskan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis keefektifan model konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya.

Tahap pengembangan desain model, dengan menerapkan metode analisis deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode analisis deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis secara faktual kesiapan mental, upaya yang dilakukan oleh calon TKW dan keluarganya didalam mengembangkan kesipan mental, dan analisis karakteristik calon TKW dan keluarganya.

Metode partisipatif kolaboratif dilakukan untuk uji kelayakan dan uji lapangan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Uji kelayakan model hipotetik dilakukan melalui diskusi terbatas dengan cakupan bahasan meliputi uji rasional, uji keterbacaan, uji kepraktisan dan uji coba terbatas. Dalam uji rasional melibatkan tiga orang pakar konseling, uji keterbacaan melibatkan sepuluh orang calon TKW dan sepuluh orang perwakilan dari keluarga calon TKW, sedangkan untuk uji kepraktisan melalui diskusi dengan melibatkan konselor, unsur pimpinan PPTKIS, dan para nara sumber (tutor). Dalam uji lapangan, partisipasi dan kerja sama dilakukan oleh peneliti, bersama nara sumber (tutor), konselor dan pihak


(39)

PPTKIS dalam mengimplementasikan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

Pengujian efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, menerapkan metode

pre-experimental designs berupa one-group pretest-posttest design, yaitu

membandingkan kondisi calon TKW dan keluarganya sebelum dan sesudah perlakuan. Alasan penggunaan metode one-group pretest-posttest design karena dalam penelitian ini untuk membandingkan dengan keadaan (kesiapan mental) sebelum dan sesudah perlakuan (konseling keluarga) tanpa menggunakan kelompok pembanding (kelompok kontrol). Sebagaimana pendapat Sugiyono (2007: 415) yang mengemukakan bahwa metode one-group pretest-posttest design dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah perlakuan.

One-group pretest-posttest design tervisualisasikan pada gambar berikut:

Gambar: 3.1

Pengujian efektivitas Model

Keterangan :

Kondisi sebelum perlakuan Kondisi sesudah perlakuan Perlakuan

01 X 02

01

02 X


(40)

Pengujian perbedaan sebelum dan susudah perlakuan (konseling keluarga), diuji secara statistik dengan t - test berkorelasi (related), atau korelasi antara kedua kelompok, yaitu kondisi sebelum perlakuan (konseling keluarga) dan kondisi sesudah perlakuan (konseling keluarga) dengan rumus sebagai berikut.

Keterangan :

x

1 : Rata-rata kondisi sebelum perlakuan

x

2 : Rata-rata kondisi sesudah perlakuan

s

1 : Simpangan baku kondisi sebelum perlakuan

s

2 : Simpangan baku kondisi sesudah perlakuan

s

12 : Varian kondisi sebelum perlakuan

s

22 : Varian kondisi sesudah perlakuan

r : Korelasi antara kondisi awal sebelum

Operasionalisasi pengujian perbedaan kondisi sebelum dan setelah perlakuan atau efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya menggunakan bantuan perangkat lunak (software) SPSS 16.0 for Windows.

B. Definisi Operasional Variabel

Terdapat dua variabel utama dari tema penelitian ini yaitu model konseling keluarga dan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

                − + − =

n

s

n

s

n

s

n

s

x

x

r t 2 2 1 1 2 2 2 1 2 1 2 1 2


(41)

Definisi operasional variabel penelitian diuraikan sebagai berikut.

1. Model Konseling Keluarga

Menurut Kartadinata (2008: 7) model adalah “perangkat asumsi, proposisi, atau prinsip yang terverifikasi secara empirik, diorganisasikan ke dalam sebuah struktur (kerja) untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku atau arah tindakan”. Natawidjaya (2007: 6) mengemukakan bahwa “pemodelan merupakan bidang kegiatan baru yang melibatkan perkawinan gagasan dari berbagai disiplin ilmu, dan merupakan bagian yang esensial dan tidak terpisahkan dari semua kegiatan ilmiah”. Law dan Kelton (Wibowo, 2006: 14) berpendapat bahwa ‘model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasikan oleh model itu’.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model adalah visualisasi dari suatu konsep, berupa cara berpikir

(way of thingking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atas fenomena abstrak. Konseling keluarga didefinisikan sebagai suatu proses interaktif untuk membantu keluarga mencapai keseimbangan dimana setiap anggota keluarga merasakan kebahagiaan (Perez, 1979). Pendapat senada dikemukakan oleh Willis (1994 : 72) bahwa konseling keluarga merupakan suatu upaya bantuan yang diberikan kepada individu anggota keluarga melalui sistem keluarga (pembenahan komunikasi keluarga) agar potensinya berkembang seoptimal mungkin dan


(42)

masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga.

Berdasarkan pendapat tersebut, model konseling keluarga didefinisikan sebagai suatu pengembangan pola pemberian bantuan profesional dari seorang konselor yang ditujukan untuk membantu calon TKW dan keluarganya dalam upaya mengembangkan kesiapan mental yang meliputi: kemampuan mengendalikan dan mengotrol emosi, rasa percaya diri, dan sikap sosial.

2. Kesiapan Mental

Kesiapan mental atau kesiapan diri didefinisikan sebagai : (a) keadaan siap-siaga untuk mereaksi atau merespon sesuatu; dan (b) tingkat perkembangan dari kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan untuk mempraktikkan sesuatu (adaptasi dari pendapat Chaplin, 2002 : 418).

Dalam penelitian ini, kesiapan mental didefinisikan sebagai keadaan siap-siaga dari calon TKW dan keluarganya dalam menghadapi berbagai perubahan-perubahan yang muncul, baik dari dalam diri sendiri, keluarga, maupun permasalahan yang muncul di tempat penampungan dan tempat kerja di luar negeri secara positif, yang ditandai dengan kemampuan pengendalian emosi, kepercayaan diri, dan sikap sosial.

Dalam penelitian ini, variabel kesiapan mental terdiri atas tiga aspek, yaitu: pengendalian emosi, kepercayaan diri, dan sikap sosial. Aspek


(43)

kecemasan; dan (b) kemampuan mengendalikan stress. Aspek kepercayaan diri, terdiri atas indikator : (a) menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri; (b) memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita; (c) memiliki keterampilan yang mendukung cita-cita; (d) memiliki konsep diri yang positif; (e) bertindak secara mandiri dalam pengambilan keputusan; dan (f) berani mengungkapkan pendapat. Aspek sikap sosial, terdiri atas indikator: (a) respek terhadap orang lain; (b) memiliki sikap kesetiakawanan sosial; dan (c) aktif dalam kegiatan sosial.

C. Pengembangan Instrumen

1. Instrumen Pengumpul data Kesiapan Mental

Jenis instrumen pengumpul data yang digunakan adalah inventori. Instrumen dikonstruksi untuk memperoleh data tentang kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Instrumen kesiapan mental dibuat dalam laporan diri (self report), karena laporan diri dipandang sebagai sumber informasi utama untuk mengukur emosi, stress, rasa percaya diri, dan sikap sosial. Isi pertanyaan terkait dengan perasaan, pikiran atau tindakan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu masalah, Lazarus & Folkmann (Sukartini, 2003: 82).

Bentuk laporan diri dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan kemungkinan jawaban: sangat sesuai (SS), sesuai (S), ragu-ragu (R), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS), dengan penetapan skala terentang 1 - 5.


(44)

yaitu: (a) menyusun kisi-kisi; (b) merumuskan butir-butir pernyataan; (c) menimbang (judgment) butir-butir pernyataan oleh para pakar; dan (d) uji coba

dilapangan, sebagai dasar penentu tingkat kebakuan pernyataan-pernyataan yang akan digunakan dalam penelitian.

a. Menyusun Kisi-kisi

Kesiapan mental memiliki tiga aspek, yaitu: pengendalian emosi, percaya diri, dan sikap sosial. Masing-masing aspek diungkap melalui instrumen berbentuk laporan diri dengan skala yang merentang dari 1-5. Kisi-kisi inventori kesiapan mental calon TKW dan keluarganya disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Inventori

Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya (Sebelum Uji Coba)

No. Aspek Indikator Positif Nomor Item Negatif

1. Emosi 1. Mampu mengendalikan kecemasan

1,2,7,8,12 3,4,5,6,9,10,11 12 2. Mampu mengatasi stress 16,17,18,19,20,

22

13,14,15,21 10

Jumlah 22

2. Rasa Percaya diri

1. Menerima kekuatan dan kelemahan diri

23, 24,25,27,29, 30,31

26,28 9

2. Memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita

32,34,36, 33,35, 5

3. Keterampilan yang mendukung

38,40 37,39 4

4. Memiliki konsep diri yang positif

42,43,46,48 41,44,45,47 8

5. Bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan

50,51 49,52 4

6. Berani mengungkapkan pendapat

53,56 54,55 4

Jumlah 34

3. Sikap Sosial

1. Respek terhadap orang lain 58,59 57,60,61 5 2. Kesetiakawan 62,63 64,65,66 5 3. Aktif dalam kegiatan sosial 69,70 67,68 4

Jumlah 14


(45)

b. Merumuskan Butir-butir Pernyataan

Berdasarkan kisi-kisi tersebut diatas disusun pernyataan-pernyataan yang terdiri dari pernyataan positif (+) 37 pernyataan dan pernyataan negatif (-) 33 pernyataan. Untuk mengukur aspek emosi ada 22 pernyataan, untuk mengukur rasa percaya diri ada 34 pernyataan, dan untuk mengukur sikap sosial ada 14 pernyataan, jumlah keseluruhan 70 pernyataan.

c. Penimbangan (Judgment) Instrumen

Penimbangan instrumen kepada para pakar konseling, dimaksudkan untuk memperoleh kesesuaian antara isi setiap pernyataan dengan indikator variable yang akan diukur. Dengan penimbangan tersebut diharapkan instrumen penelitian layak dipakai. Untuk keperluan penimbangan instrumen peneliti meminta bantuan kepada tiga pakar konseling pada Universitas Pendidikan Indonesia. Ketiga pakar konseling tersebut adalah: Prof. Dr. Uman Suherman, M.Pd., Prof. Dr. Achmad Juntika Nurihsan, M.Pd., dan Dr. Suherman, M.Pd.

Koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak baik konstruk isi maupun kebahasaannya, oleh peneliti dilakukan revisi atau dibuang sesuai dengan saran-saran para penimbang instrumen tersebut. Instrumen yang telah di revisi, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen.

Hasil penimbangan instrumen oleh pakar disajikan Penghitungan reliabilitas antar penimbang dimaksudkan untuk mengukur kadar validitas seluruh perangkat instrumen kesiapan mental calon TKW dan keluarganya


(46)

dengan menggunakan rumus dari Ebel (Guilford, 1959 : 395).

(

)

e e p V k V V V r 1 11 +

− = (3.1) p e p kk V V V

r = − (3.2)

Keterangan : 11

r = Kadar validitas timbangan seorang penimbang

kk

r = Kadar validitas antar penimbang

p

V = Variansi pernyataan

e

V = Variansi galat

k = Banyak penimbang

Tabel 3.2

Koefisien Validitas Antarpenimbang

Instrumen Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya

Koefisien Validitas Nilai Koefisien t Signifikan pada p < 11

r 0.536 5.239 0,01

33

r 0.776 10.153 0,01

d. Uji Coba Instrumen

Langkah ini dilakukan dengan tujuan menguji kebakuan instrumen secara empiris. Menurut Sukartini (2003: 85) syarat kebakuan sekurang-kurangnya adalah ketepatan bobot skala setiap pernyataan (soal), daya pembeda setiap pernyataan, keterpaduan setiap pernyataan dengan keseluruhan pernyataan, dan kesahihan faktor. Uji coba instrumen dilakukan kepada 120 responden, yang terdiri dari: 40 orang calon TKW, 40 orang suami dari calon TKW, dan 40 orang anak dari calon TKW.


(47)

pengujian bobot nilai skala, uji daya pembeda, uji validitas dan uji reliabilitas. 1. Pengujian Bobot Nilai Skala Pernyataan

Pengujian bobot nilai skala pernyataan ini dilakukan untuk menguji ketepatan pembobotan skala setiap pernyataan. Sebagaimana disampaikan oleh Azwar (2008: 139) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan didasari oleh dua asumsi, yaitu:

a) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tak-favorabel

b) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Dalam pengujian pembobotan nilai skala, responden diminta untuk menyatakan kesesuaian atau ketidaksesuaian terhadap isi pernyataan, dalam lima kategori jawaban, yaitu sangat sesuai (SS) sesuai (S) ragu-ragu (R) tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS), dengan penetapan skala terentang 1 sampai dengan 5, sedangkan untuk pernyataan yang tidak memenuhi kriteria dikeluarkan dari rangkaian pernyataan instrumen.

Berikut disajikan dua contoh perhitungan bobot nilai skala pernyataan nomor 16 dari aspek emosi, dengan pernyataan favorable (+), maka kategori jawaban STS (sangat tidak sesuai) diletakan paling kiri, karena akan mendapat bobot paling rendah dan kategori jawaban SS (sangat sesuai) diletakan paling kanan karena harus mendapat bobot yang paling tinggi. Contoh yang kedua pernyataa nomor 26 dari aspek kepercayaan diri, dengan pernyataan tidak


(48)

favovable (-), maka kategori jawaban SS (sangat sesuai) diletakan paling kiri, karena akan mendapat bobot paling rendah, dan kategori jawaban STS (sangat sesuai) diletakan paling kanan karena harus mendapat bobot yang paling tinggi (Azwar, 2008: 142).

Tabel 3.3

Contoh Penghitungan Bobot Nilai Skala Pernyataan Nomor 16 (+) dan 26 (-) Nomor

Pernyataan 16 (+)

Kategori Respon

STS TS R S SS

f 2 5 13 19 1

P=f/N 0.050 0.125 0.325 0.475 0.025 Pk 0.050 0.175 0.500 0.975 1.000 Pk-tengah 0.025 0.113 0.338 0.738 0.988 Z -1.960 -1.211 -0.418 0.637 2.257 Z+2.326 0 0.749 1.542 2.597 4.217

Nilai skala 0 1 2 3 4

Nomor Pernyataan : 26 (-)

Kategori Respon

SS S R ST STS

f 1 7 8 20 4

P=f/N 0.025 0.175 0.200 0.500 0.100 Pk 0.025 0.200 0.400 0.900 1.000 Pk-tengah 0.013 0.113 0.300 0.650 0.950 Z -2.226 -1.211 -0.524 0.385 1.645 Z + 2.226 0 1.015 1.702 2.611 3.871

Nilai skala 0 1 2 3 4

f : frekuensi

p : proporsi dalam kategori itu (membagi setiap frekuensi dengan banyaknya responden)

N : banyaknya responden

pk : proporsi kumulatif (proporsi dalam suatu kategori ditambah dengan proporsi kesemua kategori disebelah kirinya)

z : nilai deviasi (melihat harga z untuk masing-masing pk-tengah, digunakan tabel deviasi normal)


(49)

2. Pengujian Daya Pembeda Pernyataan

Setelah keseluruhan pernyataan dihitung nilai skala kategori responnya masing-masing, maka langkah selanjutnya dilakukan uji daya beda. Menurut Azwar (2008: 147) pernyataan yang terbaik adalah pernyataan yang mempunyai daya beda tinggi untuk memisahkan antara mereka yang termasuk dalam kelompok responden yang mempunyai sikap positif dan mereka yang termasuk dalam kelompok responden yang mempunyai sikap negatif.

Edwards 1957 (Azwar, 2008: 151) bahwa harga t = 1.75 dianggap sebagai batas minimal untuk memilahkan antara pernyataan yang mempunyai daya beda yang baik dan yang tidak, kalau masing-masing kelompok atas dan kelompok bawah jumlahnya tidak kurang dari 25 orang. Semua pernyataan yang mempunyai harga t lebih kecil dari 1.75 dapat dibuang atau tidak dikutsertakan dalam rangkaian instrumen penelitian. Adapun formula t-test untuk menghitung daya beda dirumuskan sebagai berikut:

n

s

n

s

Y

Y

B B A A B A t 2 2 + − − − = n fY

Y− =

1 ) ( 2 2 2 − − ∑ ∑ = n n fY fY s

Y : rata-rata skor pernyataan

s

2 : varians skor pernyataan


(50)

f : frekuensi pemilih setiap kategori responden n : banyaknya subyek dalam suatu kelompok A : kelompok Atas

B : kelompok Bawah

Keseluruhan responden dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok A (kelompok atas) yaitu kelompok yang mendapatkan skor total skala tinggi dan kelompok B (kelompok bawah), yaitu kelompok yang mendapatkan skor total skala bawah. Untuk pembagian kelompok A dan kelompok B dilakukan berdasarkan perolehan skor total yang diperoleh masing-masing responden dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Karena responden dalam uji coba ini tidak banyak, maka semua responden dilibatkan untuk dianalisis.

Berikut disajikan dua contoh perhitungan daya pembeda pernyataan nomor tujuh (7) dengan pernyataan favorable (+), dan nomor (35) dengan pernyataa tidak favorabel (-)

Tabel 3.4

Contoh Pengujian Daya Pembeda Nomor 16 (+)

No. Pernyataan

Kategori Respon

Nilai Skala (Y)

Kelompok A Kelompok B

f fY fY² f fY fY²

16 (+)

SS 5 1 5 25 0 0 0

S 4 11 44 176 8 32 128

R 3 7 21 63 6 18 54

TS 2 0 0 0 5 10 20

STS 1 1 1 1 1 1 1

Jumlah 20 71 265 20 61 203

A

Y −

= 3.55 20

71 =

2 A

s

= 0.681

19 05 . 252

265− =

B

Y −

= 3.05 20

61 =

s

2

B = 19 0.892

05 . 186


(51)

20 892 . 0 20 681 . 0 05 . 3 55 . 3 − − = t 045 . 0 034 . 0 5 . 0 − =

t =

212 . 0 5 . 0

= 2.358

Contoh Pengujian Daya Pembeda Nomor 35 (-)

No. Pernyataan

Kategori Respon

Nilai Skala (Y)

Kelompok A Kelompok B

f fY fY² f fY fY²

35 (-)

STS 5 1 5 25 0 0 0

TS 4 9 36 144 4 16 64

R 3 7 21 63 9 27 81

S 2 3 6 12 3 6 12

SS 1 0 0 0 4 4 4

Jumlah 20 68 244 20 53 161

A

Y −

= 3.4 20 68 =

2 A

s

= 0.673

19 2 . 231

244− =

B

Y −

= 2.7 20 53 =

s

2

B = 19 1.078

5 . 140

161− =

20 078 . 1 20 673 . 0 7 . 2 4 . 3 − − = t 054 . 0 034 . 0 7 . 0 − =

t =

232 . 0 7 . 0

= 3.017

Hasil penghitungan t dari kedua pernyatan tersebut harga t 2.193 dan harga t 3.017 menunujukan bahwa kedua pernyataan tersebut memiliki daya beda tinggi yang artinya bahwa pernyataan tersebut mampu menunjukan responden yang bersikap favorable dan responden yang tak-favorabel.

3. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Arikunto (1997: 160) uji validitas item dalam penelitian dimaksudkan agar item-item tes sesuai dengan indikator setiap variabel.


(52)

Analisis item dilakukan dengan menghitung korelasi antara setiap skor butir instrumen dengan skor total.

Arikunto (1997: 67) menyatakan bahwa koefisien korelasi product

moment yang dikemukakan oleh Pearson adalah prosedur yang umum digunakan

untuk melaporkan validitas item. Validitas item yang digunakan dengan rumus korelasi product moment (r) dengan taraf signifikansi 95%. Artinya butir pernyataan dinayatakan signifikan jika koefisien korelasi dari

r

hitung≥ dengan koefisien korelasi tabel.

{

2 2

}{

2 2

}

) ( ) ( ) )( ( i i i i i i i i xy Y Y n X X n Y X Y X n r Σ − Σ Σ − Σ Σ Σ − Σ

= (Arikunto, 1997: 69)

Secara operasional proses pengujian validitas menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS version 16.0 for Windows. Hasil pengujian validitas menunjukkan dari 70 item pernyataan yang disusun didapatkan 32 item yang dinyatakan valid adalah item nomor 4, 7, 10, 11, 16, 21, 26, 27, 29, 32, 34, 35, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 49, 50, 51, 53, 54, 58, 59, 60, 61, 62, 66, 68, dan 69. Hasil pengujian validitas terlampir di lampiran.

4. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas instrumen pengumpul data penelitian dimaksudkan untuk melihat konsistensi internal instrumen yang digunakan. Pengujian reliabilitas menggunakan teknik belah dua (split-half)


(53)

Spearman-Brown dengan bantuan perangkat lunak (software) SPSS version 16.0 for

Windows. Langkah-langkah rumus tersebut yaitu:

Pertama, mengelompokkan skor butir bernomor ganjil atau belahan

kiri sebagai belahan pertama dan kelompok bernomor genap atau belahan kanan sebagai belahan kedua, cara ini biasa disebut dengan teknik belah dua ganjil-genap atau awal-akhir.

Kedua, mengkorelasikan skor belahan pertama dengan skor belahan

kedua dan akan diperoleh harga rxy.

Tabel 3.5 Pengujian Reliabilitas

Correlation Between Forms .760

Spearman-Brown Coefficient

Equal Length .864

Unequal Length .864

Guttman Split-Half Coefficient .860

a. The items are: X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9, X10, X11, X12, X13, X14, X15, X16.

b The items are: X17, X18, X19, X20, X21, X22, X23, X24, X25, X26, X27, X28, X29, X30, X31, X32.

Ketiga, indeks korelasi yang diperoleh baru menunjukkan hubungan

antara dua belahan instrumen.

Keempat, indeks reliabilitas soal diperoleh dengan rumus


(54)

    + × = 2 1 2 1 2 1 2 1 11 1 2 r r r Keterangan: 11

r = reliabilitas instrumen

2 1 2 1

r = rxy yang disebutkan sebagi indeks korelasi antara dua belahan

instrumen

(

)

(

)

{

1 0.864 0.864

}

864 . 0 864 . 0 2 11 x x x r + =

(

1 0,746

)

746 . 0 2 11 + = x r 746 . 1 493 . 1 11 = r 855 . 0 11 = r

Titik tolak ukur koefisien reliabilitas digunakan pedoman koefisien korelasi yang dikemukakan oleh Sugiyono (1999 : 149) pada tabel 3.6.

Tabel 3.6

Pedoman untuk Menginterpretasi Koefesien Korelasi

Interval Koefesien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 0,20 – 0,399 0,40 – 0,599 0,60 - 0,799 0,80 – 1,000

Sangat rendah Rendah Sedang Kuat Sangat kuat

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0.855. Artinya, instrumen tersebut memiliki reliabilitas yang sangat kuat.

Berdasarkan pengujian validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, maka kisi-kisi dan instrumen penelitian direvisi kembali. Kisi-kisi


(55)

instrumen setelah uji coba disajikan pada tabel 3.7, sedangkan instrumen penelitian setelah direvisi disajikan pada lampiran penelitian.

Tabel 3.7

Kisi-Kisi Inventori Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya (Setelah Uji Coba)

No. Aspek Indikator Positif Nomor Item Negatif

1. Emosi 1. Cemas 7 4, 10 3

2. Stres 16 11, 21 3

Jumlah 6

2. Rasa Percaya diri

7. Menerima kekuatan dan kelemahan diri

27, 29 26 3

8. Memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita

32, 34 35 3

9. Keterampilan yang mendukung

38 37, 39 3

10.Memiliki konsep diri yang positif

42, 43 41, 44 4

11.Bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan

50,51 49 3

12.Berani mengungkapkan pendapat

53 54 2

Jumlah 18

3. Sikap Sosial

2. Respek terhadap orang lain 58, 59 60, 61 4

2. Kesetiakawanan 62 66 2

3. Aktif dalam kegiatan sosial 69 68 2

Jumlah 8

Jumlah keseluruhan 32

2. Kuesioner Kelayakan Model

Kuesioner ini disusun untuk memperoleh data dari para pakar konseling dan para konselor untuk mengkaji kelayakan model konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya. Ketelibatan para pakar dan para konselor sebagai dasar pengembangan dari model hipotetik menjadi model operasional. Kuesioner disusun dalam bentuk skala likert menurut tingkat kelayakan suatu model, yaitu dari sangat tepat/sangat dipahami (5), tepat/dipahami (4), cukup tepat/cukup


(56)

dipahami (3), kurang tepat/kurang dipahami (2), sangat tidak tepat/sangat tidak dipahami (1). Instrumem validasi terdiri dari: Validasi umum yang meliputi komponen komponen: rumusan judul, kejelasan penggunaan istilah, sistematika model, kejelasan struktur model, keterbacaan model, kesesuaian antar komponen model. Validasi panduan praktik (panduan operasional) yang meliputi komponen komponen: deskripsi, prosedur pelaksanaan konseling keluarga, karakteristik hubungan, norma kelompok, komposisi kelompok, adegan konseling, peran peneliti dan anggota kelompok keluarga, prakondisi dan keterbatasan konseling, kejelasan konseling tiap-tiap sesi.

D. Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, isteri dan anak, sebagaimana pengertian keluarga menurut UU No. 10/1992 yaitu: “unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anak”.

Ketentuan penetapan subjek dalam penelitian adalah calon TKW berstatus kawin (menikah), baik mempunyai anak atau belum mempunyai anak, yang direkrut oleh PPTKIS di kabupaten Kendal, yang secara obyektif melaksanakan perekrutan calon Tenaga Kerja Wanita, menampung calon TKW dan melaksanakan pelatihan atau memberi pembekalan keterampilan bagi calon TKW. Secara rinci subyek dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Calon TKW (isteri), (2) suami dari calon TKW, (3) dan anak dari calon TKW, (dengan


(57)

kemampuan minimal anak sudah mampu berkomunikasi aktif dan mampu menyampaikan jawaban-jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan peneliti).

Tabel 3.8 Subjek Penelitian

Jenis subyek Jumlah

Calon TKW 40 orang

Suami 40 orang

Anak 40 orang

Jumlah 120 orang

E. Prosedur Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian pengembangan model menurut Borg and

Gall (2003 : 271), ada sepuluh tahap, yaitu: (1) studi pendahuluan, (2) perencanaan, (3) pengembangan model hipotetik, (4) uji lapangan model

hipotetik, (5) revisi model hipotetik, (6) uji coba terbatas, (7) revisi hasil uji coba,

(8) uji coba model lebih luas, (9) revisi model akhir, (10) diseminasi dan sosialisasi. Kesepuluh tahap pengembangan model tersebut dapat disederhanakan menjadi empat tahap yaitu:

Tahap pertama: Studi pendahuluan. Tahap ini dilakukan untuk

mendapatkan berbagai informasi awal yang dapat dijadikan dasar untuk merancang model yang bersifat teoritis-hipotetik. Dalam studi pendahuluan meliputi dua kegiatan yaitu, studi pustaka (kajian literatur) dan observasi.


(58)

Studi pustaka dilakukan untuk mengkaji atau menelaah konsep-konsep konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, disamping itu studi pustaka juga untuk mengkaji hasil-hasil penelitian yang relevan dengan konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Observasi dilakukan untuk memotret kondisi objektif calon TKW dan keluarganya terhadap kesiapan mental mereka.

Merancang model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, dilakukan dengan berdasarkan hasil kajian pustaka (kajian literatur), kajian hasil penelitian yang relevan dan kajian hasil observasi. Model hipotetik dirancang berdasarkan rumusan-rumusan yang meliputi rasionel, tujuan, ruang lingkup, dukungan sistem layanan, peran konselor, prosedur pelaksanaan, dan evaluasi program.

Tahap kedua, pengembangan dan validasi model. Tahap ini

dilaksanakan setelah model hipotetik selesai dirumuskan. Ada tiga kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini, yaitu uji validasi isi, validasi empirik, dan revisi model hipotetik. Hasil dari validasi model hipotetik ini yaitu terumuskannya model operasional konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahman. (2007). “Pengembangan Profesionalisme Konselor di Indonesia. Menyongsong Era Kredensialisasi-Sertifikasi, Akreditasi dan Lisensi Bimbingan dan Konseling”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Psikologi Pendidikan dan Konseling. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Arikunto, S. (1993). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Atkinson, R. L. et al. (1987). Pengantar Psikologi I. Jakarta: Penerbit Erlangga Azwar, S. (2008). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar Offset.

Borg, W.R., Gall, M. (2003). Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc.

Browning, S.W., Green, R.J. (2003). Text Book of Family and Couples Therapy: From Strategic, to Systemic, to Narrative Model.. USA: Phychiatric Publishing, Inc.

Bucklew. (1980). Kecemasan-1. [Online]. Tersedia : Keluarga Pembaharuan.htm.

[20 April 2009].

Burns, R.B. (1979). The Self Concept. London: Longman.

Chaplin, J.P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan Kartini Kartono).

Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Creswell, J.W. (2008). Educational Research. Planning, Conducting, and

Evaluating Quantitative and Qualitative Research. (Third Edition). USA: Pearson Merrill Prentice Hall.

Dahlan, M.D. (1987). Latihan Keterampilan Konseling, Bandung: CV. Diponegoro.

Dahlan, M.D. (1985). Beberapa Pendekatan dalam Penyutuhan (Konseling). Bandung: Diponegoro.


(2)

Departemen Tenaga Kerja dan Transinigrasi. (2006). Tenaga Kerja Wanita. [Online]. Tersedia di-email pusdatinaker@nakertrans.go.id. Jakarta.

De Vries, J. (2009). Emotional Healing. Mengendalikan Emosi dan

Kecemasan. (Alih bahasa Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Publishing.

Djamarah, S.B. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga. Sebuah Perspektif Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.

Effendi, T.N. (1999). Peluang Kerja, Migrant Pekerja, dan Antisipasi Menghadapi Era Pasar Bebas 2003. Globalisasi dan Migrasi Antar Negara. Bandung: Alumni.

Fitri, (2008). Emosi. [Online]. Tersedia di: duniapsikologi.dagdigdug.com.

[19 Nopember 2008].

Furqon. (1997). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Goleman, D. (1999). Working with Emotional Intelligence. (Alih Bahasa

Alex Tri Kantjono Widodo). Jakarta : Gramedia.

Guilford, J.P. (1959). Personality. New York: Mc. Grow-Hill Book

Company.

Guilford, J.P., Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics In Psychology

and Education. Kogakusha: Mc. Graw-Hill.

Hall, C.S., Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality

(Chapter 1). Toronto : John Willey & Sons.

Hakim, T. (2005). Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa

Swara.

Hardwick, T. (nd.). The Foundation for a Happy Family. [Online]. Tersedia: http://www.mothertime. com, au/. [20 April 2009].

Hutter, M. (1981). The Changing Family Comparative Perspectives. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Kartadinata, S. (2005), Arah dan tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Historik-Futuristik, Pendidikan dan Konseling di Era Global, Dalam Perspektif Prof. Dr. M. Djawad Dahlan. Bandung: Rizqi Press.


(3)

Kartadinata, S. (2008). Riset Untuk Memhangun Model [Online]. Tersedia di: e-mail: sunaryo@upi.edu [20 April 2009].

Kees, N.L. (2005). “Women's Voices, Women's Lives: An Introduction to the Special Issue on Women and Counseling”. Journal of Counseling & Development. Vol. 83 ,259-261.

Managara, R. (2006). Membedah Penyebab Timbulnya Berbagai Masalah

Terhadap TKI Perempuan: Sistem Perekrutan dan Seleksi yang Menyimpang. [Online]. Tersedia: e-mail : Dusdatinakert&Makertrans.zo.

id. [20 April 2009].

McClealand. D.C. (1987). Human Motivation. New York:Combridge University

Press.

Natawidjaja, R. (2009). Konseling Kelompok: Konsep Dasar dan Pendekatan.

Bandung: Rizqi.

Natawidjaja, R. (2007). Konseling Keluarga Sebuah Pengantar. Perspektif

Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Dalam Kehidupan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Menyambut 70 tahun Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa'i, M.Pd.), Bandung: Jurusan PKK FPTK UPI.

Natawidjaja, R. (1987). Pendekatan-Pendekatan Dalam Penyuluhan

Kelompok 1. Bandung: Diponegoro.

Noerwanto. (2007). Pergeseran Peran dan Fungsi Suami Terhadap Pendidikan

Anak dalam Keluarga TKW di luar Negeri. [Online]. Tersedia: http//www.kompas.co.id. [Nopember 2008]

OGRG FORUM. Kepercayaan Diri. [Online]. Tersedia di : http://e-psikologi.com/ [25 Desember 2009]

Nurihsan, A.J. (2005). Strategi Layanan Bimbingan & Konseling. Bandung: Refika Aditama.

Perez, Y. F. (1979). Family Counseling Theory and Practise, New York: D.Van

Nastrand Company.

Poespoprodjo, W. (1999). Filsafot Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.


(4)

Pujosuwarno, S. (1994). Bimbingan dan Konseling Keluarga, Yogyakarta: Menara Mas Ofifeet.

Quimby, J.L., DeSantis, A.M. (2006). “The Influence of Role Models on

Women's Career Choices”. Joumal The Careerdevelopment Quarterly.

Vol 4, (4), 297-304.

Rifa'i, S.S.M. (2007). Perspektif Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Dalam

Kehidupan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Menyambut 70 tahun Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa'i, MPd). Bandung: Jurusan PKK FPTK UPI.

Safaria, T., Nofrans, E.S. (2009). Manajemen Emosi : Sebuah Panduan Cerdas

Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara.

Soekanto, S. (2004). Sosiologi Keluarga (Tentang Ikhwal Keluarga), Remaja

dan Anak. Jakarat: Rineka Cipta.

Suara Merdeka. (2008). “TKW Asal Gemuh Jatuh dari Lantai 19”. Suara Merdeka (13 November 2008).

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta.

Sukartini, S.P. (2003). Model Konseling Keterampilan Hidup untuk

Mengembangkan Dimensi Kendali Pribadi yang Tegar. (studi Eksperimental Pada Siswa SMU Negeri di Bandung). Disertasi Doktor pada Bimbingan dan Konseling Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Surya, M. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Surya, M. (2003). Teori-teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Tamtiari, W. (2000). “Dampak Migrasi Tenaga Kerja Ke Malaysia”. Journal

Sosiohumanika. Vol. 13. No. 3.

Tjahyani, B. (2005). “Perubahan Fungsi Sosial Pendidikan Keluarga di Desa Asal

inigran Tenaga Kerja Wanila (TKW)”. Jurnal Mimbar Pendidikan. No. 3


(5)

Tjiptoherijanto, P. (1997). Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia.

Jakarta: UI Press.

Totok, S.W. (2006). Ready to Care. Yogyakarta: Galang Press.

Undang-undang No. 39 tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Bandung: Nuansa Aulia.

Undang-undang No. 13 tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: Sinar

Grafika.

Utami, S.W. (2009). Korelasi Kepercayaan Diri dan Kematangan Emosi Dengan Kompetensi Sosial Remaja di Pondok Pesantren. [Online], halaman 2. Tersedia di : fpsikologi@wisnuwardhana.ac.id. [19 November 2008].

Wahjuni, E.D. (2007). Pergeseran Peran dan Fungsi Suami Terhadap

Pendidikan Anak Dalam Keluarga. [Online]. Tersedia: http://www. konipas.co.id. [9 Maret 2008].

Walgito, B. (2004). Bimbingan & Konseling di Sekolah. Yogyakarta: Andi

Offset.

Wibowo, M.E. (2001). Model Konseling Kelompok di Sekolah Menengah

Umum (Studi Pengembangan Berdasarkan Pendekatan Sistem Di

SMU Negeri Kota Semarang). Disertasi Doktor pada Bimbingan dan

Konseling Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Widyasari, P. (2009). Stres Kerja. [Online]. Tersedia di:

http://www.rumahbelajarpsikologi. [28 Juni 2009].

Willis, S.S. (2004). Komeling Individual (Teori dan Praktek). Bandung: Alfa

Beta.

Willis, S.S. (2003). Konseling Keluarga (Family Counseling). Materi Kuliah

Pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Bandung.

Winkel, W.S. (1991). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta:

Grasindo.

Yakusho, Chronister, K.M. (2005). “Imigrant Women and Counseling: The


(6)

Yusuf, S., Nurihsan, A.J. (2005). Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Yusuf, S. (2004). Pengembangan Diri. Materi Bimbingan Bagi Mahasiswa.

Bandung: UPTLBK UPI.

Zastrow, C. (1999). The Practise of Social Work. Pasific Grove: Brooks Cole