Hubungan antara Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Pola Pengeluaran dengan Tingkat Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).

ABSTRACT
AYUNDA WINDYASTUTI SAVITRI. The Relationship between Women’s
Economic Contribution, Spending Patterns and the Level of Family Well-Being on
the Women’s Migrant Worker (TKW). Supervised by HERIEN PUSPITAWATI.
The aimed of this research was to determine the relationship between women’s
economic contribution, family expenditure patterns and family well-being on
women’s migrant worker (TKW) at Padaasih Village, Cisaat Subdistrict,
Sukabumi District. Research location was selected purposively based on the
highest number of women migrsnt worker (TKW) from Cisaat Subdistrict. This
research carried out from June until July 2011. Sixty spouses of the female labor
were selected using snowball technique. The result showed that wife become
women migrant worker give economic contribution to family’s income. The
percentage of family’s non food expenditure was greater than food expenditure. It
indicated that the families weren’t prosperous under the category of BPS. The
levels of subjective well-being of families in category is medium. There is no
relationship between family characteristic with women’s economic contribution
and family expenditure, between women’s economic contribution with family
expenditure patterns. There is no relationship between family characteristic, the
women’s economic contribution and families expenditure with the level of
subjective well-being of their families. This research figures that husband’s
education had a relationship with physically subjective well-being and also

husband’s age with physcology subjective well-being.
Key words: women migrant worker (TKW), women’s economic contribution,
expenditure patterns, and family subjective well-being
ABSTRAK
AYUNDA WINDYASTUTI SAVITRI. Hubungan antara Kontribusi Ekonomi
Perempuan dan Pola Pengeluaran dengan Tingkat Kesejahteraan Keluarga pada
Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara kontribusi
ekonomi perempuan dan pola pengeluaran keluarga dengan kesejahteraan
keluarga pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Desa Paaasih,
Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Lokasi penelitian dipilih secara
purposive berdasarkan jumlah terbanyak pengirim TKW dari Kecamatan Cisaat.
Penelitian ini dilakukan sejak Juni hingga Juli 2011. Sebanyak 60 suami TKW
dipilih menggunakan teknik snowball. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri
berkontribusi terhadap pendapatan keluarga. Persentase pengeluaran non
pangan keluarga lebih besar dibandingkan pengeluaran pangan yang mana hal
ini mengindikasikan keluarga masih tergolong tidak sejahtera dilihat dari Garis
Kemiskinan BPS. Tingkat kesejahteraan keluarga subjektif berada pada kategori
sedang. Tidak terdapat hubungan nyata antara karakeristik contoh dengan
kontribusi ekonomi istri dan pengeluaran total keluarga, kontribusi ekonomi istri

dengan pola pengeluaran keluarga. Tidak terdapat hubungan nyata antara
karakteristik keluarga, kontribusi ekonomi istri, dan pengeluaran keluarga tidak
berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. Penelitian ini menunjukkan
terdapat hubungan nyata antara pendidikan suami dengan kesejahteraan
subjektif fisik dan juga umur suami dengan kesejahteraan subjektif psikologis.
Kata kunci: tenaga kerja wanita (TKW), kontribusi ekonomi perempuan, pola
pengeluaran, dan kesejahteraan subjektif keluarga.

1
 

PENDAHULUAN
Latar belakang
Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah

pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis. Meskipun perekonomian
Indonesia mengalami peningkatan, tetapi tidak diikuti dengan penambahan
lapangan kerja formal secara memadai. Hal ini menyebabkan jumlah
pengangguran tetap tinggi dan kemiskinan tidak menurun secara nyata (Tarigan
2007). Menurut Wakhidah (2010) terdapat hubungan antara pengangguran dan

kemiskinan yang membentuk lingkaran setan (viscious cycle of poverty). Hal ini
dikarenakan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tentu tidak akan memiliki
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehingga hidup di bawah garis
kemiskinan. Jumlah orang miskin tahun 2006 sebesar 39,3 juta jiwa dan jumlah
pengangguran 10,9 juta jiwa. Jumlah ini menunjukkan adanya peningkatan jika
dibandingkan dengan tahun 2005 yaitu jumlah orang miskin sebesar 35,1 juta
jiwa dan pengangguran sejumlah 8,4 juta jiwa (BPS 2006).
Pengangguran terjadi karena jumlah angkatan kerja atau para pencari
kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu
menyerapnya. Ketidakseimbangan ini menyebabkan jumlah pengangguran
meningkat. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukkan proporsi jumlah
penduduk yang mencari pekerjaan secara aktif terhadap jumlah seluruh
angkatan kerja. Jumlah TPT di Indonesia pada Febuari 2010 mencapai 7,4
persen, mengalami penurunan dibandingkan TPT Februari 2009 sebesar 8,1
persen dan TPT pada bulan Agustus 2009 sebesar 7,8 persen (BPS 2010).
Salah satu program pemerintah dalam rangka penanggulangan masalah
kemiskinan dan pengangguran tersebut yaitu dengan membuka kesempatan
pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun
2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
menyatakan bahwa bahwa penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri

merupakan suatu upaya untuk mewujudkan pekerjaan dan penghasilan yang
layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat,
martabat, Hak Asasi Manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum
nasional. Adapun menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (2010), penempatan Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri
tidak saja merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan hak yang sama

2
 

bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak, tetapi juga sebagai salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan
lapangan kerja di dalam negeri.
Jumlah warga Indonesia yang bekerja menjadi TKI ke luar negeri dari
tahun ke tahun umumnya terus meningkat. Pada tahun 2005 terdapat sekitar
474.310 orang, meningkat menjadi 680.075 orang pada tahun 2006, meningkat
menjadi 696.746 orang pada tahun 2007, meningkat lagi menjadi 748.825 orang
pada tahun 2008, dan mengalami sedikit penurunan menjadi


632.172 orang

pada tahun 2009 (Kemenakertrans 2010).
Menjadi TKW memiliki dampak positif dan dampak negatif, baik untuk istri
yang menjadi TKW maupun keluarga yang ditinggalkan. Salah satu dampak
positif dari kebijakan penempatan TKW ke luar negeri adalah menambah devisa
negara terutama bagi daerah asal TKI dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi
keluarga (Setioningsih 2010). Oleh sebab itu, TKI/TKW seringkali dijuluki sebagai
pahlawan devisa. Sumbangan devisa bagi negara yang berasal dari TKI
menduduki urutan kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas (migas).
Laporan Bank Indonesia mengenai Survei Pola Remitansi (pengiriman uang) TKI
menunjukkan setiap tahun mengalami peningkatan. Data Bank Indonesia
menyebutkan remitansi pada tahun 2006 mencapai US$ 5,7 miliar, meingkat
menjadi US$ 6,0 miliar pada tahun 2007, dan menjadi US$ 6,617 miliar pada
tahun 2008. Pada tahun 2009 menurun tipis menjadi tipis US$ 6,617 miliar,
namun mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010 sebesar sebesar US$
6,73 miliar, dan sampai dengan kuartal pertama tahun 2011 mencapai US$ 1,6
miliar (Viva News 2010). Menurut Setioningsih (2010), selain berdampak pada
hubungan pasangan suami istri, perpisahan antara ibu dan keluarga juga akan
berdampak pada kondisi anak. Tanziha (2010) menyatakan bahwa sekitar 40

persen anak yang ditinggal oleh ibunya yang bekerja sebagai TKW di luar negeri
memiliki perkembangan kecerdasan dan sosial yang rendah. Sementara itu, 14
persen balita yang ditinggal para TKW tersebut mengalami kekurangan gizi dan
dua persen mengalami gizi buruk dikarenakan uang yang dikirimkan oleh TKW
ke kampung halamannya terkadang tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan
anaknya. Selain itu pada umumnya anak-anak yang ditinggal TKW tersebut
hidup bersama kakek atau nenek, dan biasanya nenek cenderung memanjakan
cucunya, sehingga tidak sehat untuk perkembangannya. Anak juga cenderung
berkembang menjadi lebih kasar dan tingkat kecerdasannya rendah.

3
 

Alasan yang menjadi pertimbangan bagi perempuan bekerja di luar

rumah pada kelompok keluarga berpendapatan rendah adalah untuk mendukung
pendapatan keluarga. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima
oleh rumah tangga (Rambe 2004). Hipotesis Keynes mengemukakan bahwa
orang akan meningkatkan konsumsinya jika pendapatan mereka meningkat,

namun peningkatan konsumsi tidak sebesar pendapatannya (Bryant 1990).
Selain pendapatan, pengeluaran per kapita sebulan untuk non pangan juga
dapat menggambarkan keadaan kesejahteraan masyarakat suatu daerah,
dimana semakin tinggi persentase pengeluaran untuk non pangan maka semakin
tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (BPS 2003).
Berdasarkan hal ini, BPS (2002) membagi pengeluaran untuk pangan dan
pengeluaran non-pangan. Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti
mengenai seberapa besar kontribusi ekonomi istri terhadap pendapatan keluarga
mengingat besarnya jumlah remintansi yang dihasilkan TKW terhadap negara
dan daerah asal dan pengeluaran keluarga serta bagaimana dampak kepergian
istri sebagai TKW terhadap kesejahteraan objektif dan subjektif suami.
Perumusan masalah
Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas se-Jawa dan Bali
dengan luas 412.799,54 Ha (BPS 2008). Mata pencaharian penduduknya pun
beragam, baik di sektor formal maupun informal. Hal ini menyebabkan
pendapatan

penduduk

sangat


bervariasi.

Bagi

keluarga

yang

memiliki

pendapatan rendah maka tidak jarang harus mencari pekerjaan lain disamping
pekerjaan

utamanya

dan

melibatkan


anggota

keluarga

lainnya

untuk

meningkatkan pendapatan (family ganerating income). Hal ini dikarenakan
keinginan dan kebutuhan setiap keluarga serta anggotanya relatif tidak terbatas,
cenderung berubah dan bertambah banyak dari waktu ke waktu Guhardja et al.
(1993). Selain adanya himpitan ekonomi dalam keluarga, juga keterbatasan
lapangan pekerjaan di desa mendorong istri turut serta berpartisipasi dalam
sektor publik, salah satunya dengan menjadi TKW yang bekerja di luar negeri.
Menurut BNP2TKI (2011), kabupaten Sukabumi termasuk dalam lima
besar kabupaten kantong TKW di Provinsi Jawa Barat dengan urutan keempat
yaitu 25.000 orang TKW. Urutan pertama ditempati kabupaten Indramayu
sebanyak 39.000 orang TKW disusul dengan kabupaten Cianjur sebanyak
37.000 orang TKW dan kabupaten Cirebon sebanyak 27.000 orang TKW.


4
 

Sementara itu di urutan terakhir yaitu kabupaten Karawang sebanyak 24.000
orang TKW. Adapun remitansi TKI terhadap Kabupaten Sukabumi Tahun 2010
mencapai Rp 334 miliar. Hal ini menunjukkan terjadi kenaikan mencapai hampir
tiga kali lipatnya dibanding Tahun 2009 yang hanya Rp 129 miliar (Antara 2010).
Disamping dampak positif, pekerjaan sebagai TKI memiliki berbagai
resiko. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2010), jumlah
TKI asal Sukabumi mencapai 55.207 orang. Sementara itu yang tercatat dalam
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi (2010) sekitar 12.000 orang. Artinya,
terdapat sekitar 80 persen TKI tidak terdata atau ilegal (Pikiran Rakyat 2011).
Badan Penelitian Pengembangan dan Informasi Kemenakertrans (2010)
menyatakan bahwa sepanjang tahun 2009, TKI (termasuk TKW) yang mendaftar
melalui jasa calo mencapai 64 persen dari total penempatan yang berkisar 5 juta
orang. Melalui jalur ini, para calo memanipulasi umur dan ketrampilan calon TKW
(Anonim 2011a). Hal ini menunjukkan TKW yang bekerja di luar negeri masih
banyak yang diberangkatkan secara ilegal dan tidak memiliki jaminan keamanan
sosial seperti asuransi yang memadai (Gulcubuk 2010). Sehingga banyak
permasalahan-permasalahan yang terjadi pada TKW terutama di tempatnya

bekerja. Menurut data BNP2TKI (2009) diketahui bahwa terdapat 45.626 TKW
bermasalah sepanjang tahun 2008 dengan rincian permasalahan seperti PHK
sepihak, sakit akibat kerja,

gaji tidak dibayar dan penganiayaan, pelecehan

seksual, dokumen tidak lengkap, majikan bermasalah, pekerjaan tidak sesuai
perjanjian kerja, tidak bisa komunikasi, tidak bisa bekerja, dan lain-lain. Adapun
dari data Kemenakertrans hingga Juli 2010 dapat diketahui bahwa kepulangan
TKI bermasalah di Arab Saudi 16.170 kasus, Emirat Arab 3.310 kasus, Taiwan
1.938 kasus, Singapura 1.788 kasus, dan Jordania 1.434 kasus (Neraca 2011).
Selain itu dampak negatif lain akibat kepergian istri sebagai TKW dalam
waktu relatif lama akan menyebabkan perubahan struktur keluarga dan fungsi
pengasuhan anak. Budaya patriarki di Indonesia menganggap bahwa laki-laki
dalam keluarga sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan
perempuan sebagai pengasuh anak (care giver). Namun dengan terjadinya
kepergian istri menjadi TKW, baik sebagai pencari nafkah utama (main
breadwinner)

maupun

sebagai

pencari

nafkah

tambahan

(secondary

breadwinner) maka suami memikul beban peran ganda yaitu sebagai pencari
nafkah (breadwinner) dan pengasuh anak (care giver). Hal ini mengakibatkan

5
 

terjadi ketidakseimbangan peran di dalam keluarga berpotensi menyebabkan
berbagai permasalahan keluarga seperti percaraian.
Catatan Pengadilan Tinggi Agama Bandung menyebutkan periode
Januari hingga April 2009, sekitar 420 pasangan di 24 kabupaten dan kota di
Jawa Barat bercerai (Anonim 2009). Penyebabnya beragam, namun umumnya
akibat hilangnya kepercayaan istri terhadap suaminya. Penyebab diajukannya
gugat cerai, kalau pengajuannya dilakukan pihak istri biasanya akibat
kekecewaan istri atas tindakan suaminya selama ditinggal ke luar negeri (Anonim
2008). Menurut Edi (2010), seorang kepala rumahtangga yang hidup tanpa
seorang istri seringkali setelah istrinya mengirim uang, tidak digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarganya melainkan dipakai untuk kawin lagi
dengan wanita lain, hingga saat istri pulang perceraian pun terjadi. Namun ada
pula yang mengajukan cerai terlebih dahulu dari pihak istri dikarenakan agar
tidak perlu susah lagi mendapatkan izin untuk berangkat menjadi TKW lagi
(Anonim 2011a).
Banyaknya resiko permasalahan atau kasus yang dihadapi TKW dan
keluarganya di tanah air, tidak mengurungkan niat istri untuk bekerja sebagai
TKW agar dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga.
Mengingat bahwa dengan bekerja di luar negeri dapat memperoleh penghasilan
yang lebih besar daripada di negara asalnya dan tidak membutuhkan tingkat
pendidikan yang tinggi (Nurulfirdausi 2010). Menurut Zehra (2008), alasan utama
perempuan bekerja yaitu agar dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap
pendapatan keluarga secara langsung. Selanjutnya, pendapatan yang diterima
rumahtangga menjadi salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur

tingkat

kesejahteraan

rumahtangga

(Rambe

2004).

Selain

pendapatan, besarnya pengeluaran keluarga terhadap kebutuhan pangan dan
non pangan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan keluarga tersebut.
Semakin sejahtera keluarga maka beragam kebutuhan anggota keluarga dapat
terpenuhi, baik secara kuantitas maupun kualitas (Shinta 2008).
Menurut

Rashid

et

al.

(2010),

peningkatan

pendapatan

akan

meningkatkan pengeluaran total keluarga. Oleh karena itu peran suami sangat
penting dalam keluarga dalam mengelola keuangan keluarga, baik uang hasil
kerja istri maupun uang yang dihasilkannya sendiri. Hal ini dikarenakan agar
dapat terpenuhinya kebutuhan keluarga sehingga tercapai kesejahteraan
keluarga. Dengan demikian keluarga perlu memiliki kemampuan mengatur

6
 

keuangan yang baik dan bijak antara pendapatan, pengeluaran dan rencana
tabungan masa depan (Garman dan Forgue 1988). Adapun pendapatan TKW
selama bekerja di luar negeri lebih banyak digunakan suami untuk memenuhi
kebutuhan dasar keluarga diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti makanan dan pendidikan. Selain itu ada juga yang
menggunakan

untuk

melunasi

hutang

(Geerards

2010).

Teori

Engel

mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka
semakin rendah presentase pengeluaran untuk pangan. Selain itu pendapatan
seseorang dalam satu keluarga atau rumahtangga akan mempengaruhi
bagaimana keluarga tersebut memenuhi kebutuhannya, seperti pemilihan
komoditi yang akan dibelinya. Biasanya seseorang yang berpenghasilan rendah
akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pangan.
Keluarga dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik apabila memiliki
persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibanding presentase pengeluaran
non pangan (Rambe 2004). Berdasarkan latar belakang masalah yang ada,
maka beberapa permasalahan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana alokasi pengeluaran pangan dan non pangan rumahtangga yang
dilakukan oleh keluarga?.
2. Bagaimana kontribusi ekonomi istri dalam bentuk setara uang terhadap
kesejahteraan keluarga?.
3. Bagaimana

pola

pengeluaran

rumah

tangga

mempengaruhi

tingkat

kesejahteraan rumahtangga?.
4. Melihat sejauh mana tingkat kesejahteraan keluarga TKW?.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengetahui

hubungan

kontribusi

ekonomi

perempuan

dan

pola

pengeluaran rumah tangga terhadap kesejahteraan keluarga pada keluarga
Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik sosial dan ekonomi contoh dan keluarganya.
2. Mengidentifikasi alokasi pengeluaran keluarga yang terdiri dari pengeluaran
pangan, pengeluaran non pangan, pengeluaran khusus suami, dan hutang
terhadap kesejahteraan keluarga, baik yang berasal dari penghasilan TKW

7
 

maupun dari lainnya.

3. Menganalisis kesejahteraan keluarga TKW.
4. Menganalisis hubungan antar variabel penelitian.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada beberapa
pihak mengenai keadaan keluarga dengan istri sebagai TKW. Informasi ini
diharapkan dapat berguna antara lain bagi penulis, kelembagaan keilmuan,
pemerintah, masyarakat, dan pengembangan keilmuan.
1. Bagi penulis penelitian ini dapat menjadi sarana untuk menambah
pengetahuan terhadap berbagai permasalahan seputar keluarga lebih dalam,
terutama mengenai kontribusi ekonomi perempuan terhadap keluarga, pola
pengeluaran

rumahtangga,

tingkat

kesejahteraan

keluarga,

dan

meningkatkan kemampuan menganalisa suatu permasalahan sesuai dengan
disiplin ilmu yang dimiliki penulis, serta dapat memperkaya akan wawasan
dan studi kepustakaan mengenai bidang keluarga.
2. Bagi kelembagaan keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
literatur

di

bidang

ilmu

keluarga

yang

khususnya

terkait

dengan

permasalahan keluarga berkaitan dengan gender dimana salah satunya
adalah menjadi TKW dan dapat digunakan untuk referensi literatur untuk
penelitian selanjutnya.
3. Hasil

penelitian

ini

juga

diharapkan

dapat

menginformasikan

pada

pemerintah terkait dengan pilihan menjadi TKW yang masih dijadikan
sebagai sumber pendapatan keluarga di kawasan Sukabumi dan diharapkan
pemerintah

sebagai

pembuat

kebijakan

mampu

memberikan

solusi,

perlindungan hak perempuan untuk hidup sejahtera serta regulasi terhadap
ketenagakerjaan dan perlindungan kepada TKW beserta kesejahteraan
keluarga TKW tersebut.
4. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan
informasi akan hubungan kontribusi ekonomi perempuan khususnya pada
keluarga

TKW,

pola

pengeluaran

rumahtangga

terhadap

tingkat

kesejahteraan keluarga. Wawasan dan informasi tersebut diharapkan dapat
dipergunakan dengan baik sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.
5. Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan-masukan yang bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. 

9
 

TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Teori Keluarga

Pengertian Keluarga
Keluarga menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 6
adalah "unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami
istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya". Keluarga
merupakan institusi terkecil dalam masyarakat juga sebagai wahana utama dan
pertama bagi anggota-anggotanya untuk mengembangkan potensi dan aspek
sosial dan ekonomi. Menurut Puspitawati (2009), keluarga adalah suatu
kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan
adopsi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan
sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara
laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.
Setiap keluarga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam setiap
tahapan hidupnya. Adapun tujuan dari membentuk keluarga yaitu untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi setiap anggotanya (BKKBN 1992). Terdapat
delapan fungsi utama untuk mencapai tujuan keluarga menurut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 yang terdiri dari fungsi keagamaan,
sosial, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi
dan pembinaan lingkungan (BKKBN 1996). Selanjutnya Rice & Tucker (1986)
membagi peran keluarga menjadi dua peran utama yaitu peran ekpresif dan
peran instrumental. Peran ekspresif adalah untuk memenuhi keutuhan emosi
(cinta kasih, ikatan suami-istri, dan ikatan orangtua-anak) dan perkembangan
anak yang di dalamnya meliputi moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sedangkan
peran instrumental adalah peran manajemen sumberdaya keluarga yang dimiliki
(fungsi ekonomi) untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan
sosialisasi anak, serta dukungan dan pengembangan anggota keluarga.
Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional merupakan teori dengan pendekatan sosiologi
yang memandang bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang saling
terkait satu sama lain. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman kehidupan
sosial dalam struktur masyarakat (Megawangi 1999). Struktural fungsional
menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga agar dapat
berfungsi dengan baik dan kestabilan sosial dalam sitem masyarakat. Sebab

10
 

menurut Megawangi (1999), pendekatan ini tidak pernah lepas dari pengaruh
budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat tersebut.
Teori struktural-fungsional dapat dilihat penerapannya dalam keluarga
melalui struktur dan aturan yang diterapkan. Menurut Levy dalam Megawangi
(1999) menyatakan bahwa tanpa adanya pembagian tugas masing-masing
anggota keluarga dengan jelas sesuai dengan status sosialnya maka fungsi
keluarga akan terganggu. Pembagian peran dan tugas dalam keluarga
dibutuhkan untuk dapat saling melengkapi dan menjaga keharmonisan sistem
agar dapat berfungsi dengan baik. Untuk lebih lanjutnya Levy dalam Megawangi
(1999) membuat daftar persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga agar
dapat berfungsi, diantaranya sebagai berikut:
1.

Diferensiasi peran yaitu adanya pembagian peran dan tugas yang harus
dijalankan oleh setiap anggota keluarga. Dari serangkaian tugas dan
aktivitas yang perlu dilakukan dalam keluarga, maka harus terdapat alokasi
peran untuk setiap anggota keluarga. Terminologi diferensiasi peran tersebut
dapat dibagi berdasarkan umur, gender, generasi, posisi status ekonomi dan
politik dari masing-masing aktor. Sebagai ilustrasi yaitu menyetir “Seorang
bapak adalah lebih kuat daripada anak lelakinya (karena juga lebih muda)
sehingga bapak akan diberikan peran sebagai pemimpin dalam kegiatan
instrumental”.

2.

Alokasi solidaritas yang menyangkut adanya distribusi relasi antar anggota
keluarga. Distribusi relasi antar anggota menurut cinta, kekuatan, dan
intensitas dalam hubungan. Cinta dan kepuasan dapat menggambarkan
hubungan antar anggota. Misalnya keterikatan emosi antara ibu dengan
anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap
relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak mungkin lebih utama
dibandingkan dengan hubungan suami dan istri pada suatu budaya tertentu.
Sedangkan intensitas merupakan kedalaman relasi antar anggota menurut
kadar cinta, kepedulian, ataupun kekuatan.

3.

Alokasi ekonomi menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota
keluarga untuk tercapainya tujuan keluaga. Distribusi barang-barang dan
jasa ini untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas dalam
hal ini dapat terlihat dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan
jasa dalam keluarga.

11
 

4.

Alokasi politik menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga. Yang
dimaksud dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang
bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. agar keluarga
dapat berfungsi, maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.

5.

Alokasi integrasi dan ekspresi meliputi cara atau teknik sosialisasi,
internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan
norma yang berlaku bagi setiap anggota keluarga.
Teori struktural-fungsional mengasumsikan bahwa suatu keluarga terdiri

dari bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kemampuan struktur
keluarga dapat berfungsi secara efektif pada keluarga inti yang tersusun dari
seorang laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industri baru (Parsons
& Bales 1956).
Fungsi Ekonomi Keluarga
Salah satu fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 1994 yang terdapat dalam BKKBN (1996) adalah fungsi ekonomi.
Sebagai suatu unit ekonomi keluarga merupakan alat untuk melakukan aktivitas
agar memperoleh hasil yang diinginkan, seperti kepuasan, tujuan, gaya hidup,
standar hidup, kesejahteraan, keamanan, kemampuan dan keterampilan untuk
proses produksi dan konsumsi (Bryant 1990). Beberapa fungsi ekonomi keluarga
menurut Rafella (2003) yaitu pengalokasian sumberdaya untuk pelayanan
kesejahteraan dengan memproduksi, mendistribusikan dan mengonsumsi produk
diantara anggota keluarga.
Keluarga perlu melakukan aktivitas ekonomi secara produktif untuk
memenuhi kebutuhannya dan memperoleh kepuasan. Menurut Garman (1993)
aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh keluarga diantaranya:
1.

Mencari pendapatan: Orang melakukan aktivitas seperti bekerja untuk
mendapatkan penghasilan berupa gaji atau upah, keuntungan pengusaha
bisnis, dan perolehan dari investasi.

2.

Konsumsi: Konsumsi diartikan sebagai pemakaian atau penghabisan
barang-barang seperti komoditi dan jasa yang bertujuan untuk memenuhi
keinginan.

3.

Menggunakan: Menggunakan dapat diartikan sebagai tindakan pemakaian
suatu sumber ekonomi dan non-ekonomi secara efektif untuk mencapai
tujuan tertentu.

12
 
4.

Meminjam: Agar tercapainya pemenuhan kebutuhan maka keluarga pasti
pernah melakukan peminjaman atau berhutang dalam jangka waktu tertentu
dengan perjanjian akan dikembalikan sejumlah peminjamannya tersebut.

5.

Menabung: Menabung merupakan aktivitas memindahkan alokasi uang
untuk masa mendatang atau penghasilan saat ini yang tidak habis untuk
dikonsumsi.

6.

Investasi: Investasi merupakan kegiatan mengerahkan sumberdaya yang
ada berupa uang ataupun properti untuk memproduksi barang dan jasa agar
memperoleh keuntungan berupa bunga, uang sewa, perolehan modal, dan
pendapatan lainnya.

7.

Pembayaran Pajak: Pembayaran pajak merupakan perilaku sukarela
seseorang untuk membayarkan pajak kepada pemerintah.
Aspek ekonomi merupakan salah satu fungsi keluarga yang vital bagi

kehidupan keluarga, bahkan hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan keluarga tersebut.
Teori Gender
Gender

dapat

diartikan

sebagai

hasil

dari

sosio

kultural

yang

membedakan karakteristik antara laki-laki dan perempuan. Hubeis (2010)
menyatakan bahwa gender merupakan suatu konsep mengenai sistem peranan
dan hubungan antara perempuan dan lelaki yang tidak hanya ditentukan oleh
perbedaan biologis, melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.
Adanya perbedaan konsep mengenai gender dari lingkungan sosial
mengakibatkan adanya perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki dalam
masyarakat. Peran gender menggambarkan kesepakatan antara pandangan
dalam masyarakat dengan suatu budaya terkait perilaku yang harus ditampilkan
berdasar jenis kelamin tertentu (Hubeis 2010). Hal ini menyebabkan adanya
kesenjangan peran (gender gap) yaitu perbedaan antara perempuan dan laki-laki
dalam bidang pekerjaan dan pendapatan. Perempuan cenderung mendapatkan
kesulitan untuk memasuki pasar tenaga kerja karena adanya kekhawatiran
budaya akan pergeseran peran seperti perempuan akan meninggalkan tugasnya
sebagai istri dan ibu rumahtangga (Puspitawati 2009a). Menurut Puspitawati
(2009a), hal ini disebabkan sistem patriarki mengatur bahwa suami memiliki
peran sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan istri sebagai
pengatur rumahtangga atau kegiatan domestik (home maker). Peran gender
dapat bergeser dan mengalami perubahan sesuai dengan terjadinya perubahan

13
 

dalam suatu tatanan sosial, ekonomi di tingkat lingkungan masyarakat dan
kesepakatan yang telah dibuat dalam lingkungan keluarga (Hubeis 2010).
Pendekatan gender dilakukan untuk dapat mengubah situasi ketidakadilan atau
deskriminasi terhadap kaum perempuan menjadi situasi tercapainya kesetaraan
serta keadilan dengan mempertimbangkan sikap, peran, dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki (Nurulfirdausi 2010).
Analisis Gender Kerangka Moser
Menurut Lassa (2009) terdapat lima kerangka berpikir berbasis gender
yang umum digunakan untuk menganalisis gender, yaitu:
1. The Harvard Analytical Framework, atau juga dikenal dengan the Gender
Roles Framework
2. The Moser Gender Planning Framework
3. The Women’s Empowerment Framework (WEP)
4. The Social Relations Approach, dan
5. The Gender Analysis Pathway (GAP)
Kerangka Moser (The Gender Roles Framework) tidak berfokus pada
kelembagaan tertentu melainkan lebih berfokus pada rumahtangga. Adapun
Moser (1993) membagi tiga konsep utama dari kerangka ini menjadi:
1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja
produktif, dan kerja komunitas. Hal ini dilakukan untuk pemetaan pembagian
kerja gender dan alokasi kerja. Adapun tiga kategori triple roles, yaitu:
a. Peran reproduktif adalah peran yang berhubungan dengan tugas-tugas
domestik

yang

menyangkut

kelangsungan

keluarga.

contohnya,

melahirkan, memasak, mengasuh anak, mencuci, membersihkan rumah,
menjahit, dan lainnya.
b. Peran produktif adalah peran yang dikerjakan oleh perempuan dan lakilaki untuk mendapatkan upah berupa uang secara tunai atau sejenisnya.
Contohnya, bekerja di sektor formal ataupun non formal.
c. Peran pengelolaan masyarakat dan politik. Peran ini dibagi menjadi dua
kategori yaitu:
1) Peran pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial) mencakup seluruh
aktivitas yang dilakukan dalam komunitas bersifat sukarela dan tanpa
upah.
2) Peran pengelolaan politik (kegiatan politik) mencakup seluruh aktivitas

14
 

politik dalam komunitas yang biasanya tanpa dibayar dan untuk
meningkatkan kekuasaan atau status.

2. Upaya untuk membedakan kebutuhan yang bersifat praktis dengan yang
strategis bagi perempuan dan laki-laki. Kebutuhan strategis berhubungan
dengan posisi perempuan (subordinasi).
3. Pendekatan analisis kebijakan menfokuskan pada kesejahteraan (walfare),
kesamaan (equity), anti kemiskinan, efisiensi, dan pemberdayaan perempuan
dari atau WID (Women in Development) ke GAD (Gender and Development).
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa Tenaga
Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap Warga
negara Indonesia (WNI) yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. TKI
perempuan disebut sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Salah satu peran
produksi yang dilakukan perempuan salah satunya dengan menjadi TKW. Selain
itu adanya keterbatasan kesempatan kerja di bidang formal, menyebabkan
banyaknya perempuan yang berminat menjadi TKW. Negara tujuan TKW
terbesar yaitu Malaysia dan Saudi Arabia (BPS 2009a). Umumnya TKW bekerja
sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).
Perempuan bekerja untuk mendapatkan penghasilan sehingga mampu
mencukupi kebutuhan keluarga (Zehra 2008). Keputusan untuk bekerja di luar
negeri sebagai TKW menjadi sebuah pilihan yang diambil oleh sebagian
masyarakat agar dapat mengubah kehidupan perekonomian keluarganya.
Bekerja di luar negeri menjadi sebuah daya tarik tersendiri dikarenakan tingkat
pendapatan yang diterimanya jauh lebih besar dibandingkan bekerja di desanya.
Pengiriman uang yang cukup lancar kepada keluarga yang ditinggalkan
merupakan salah satu indikator keberhasilan menjadi TKW. Umumnya para istri
mengirimkan pendapatannya pada bulan Januari, Februari, November, dan
Desember (Nurulfirdausi 2010).
Sedangkan menurut Norwanto (2007), tidak semua perempuan yang
bekerja

sebagai

TKW

dapat

membantu

pergerakan

ekonomi

keluarga

dikarenakan pengiriman pendapatan yang tidak reguler. Sebagian TKW
mengirimkan uang kepada keluarganya beberapa bulan sekali, sedangkan yang
lainnya membawa penghasilan setelah kontrak kerja mereka usai.

15
 

Pendapatan TKW selama bekerja di luar negeri yang dikirimkan kepada

keluarga lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga
diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan
pendidikan. Selain itu ada juga yang menggunakan untuk melunasi hutang
(Geerards 2010).
Perubahan Struktur Keluarga Akibat Peran Istri dalam Pencarian Nafkah
Dengan kepergian istri menjadi TKW maka terjadi perubahan struktur
dalam keluarga. Padahal dalam sebuah keluarga, perempuan memiliki kewajiban
berperan utama dalam pekerjaan domestik seperti mengurus anak dan suami
serta anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Hal ini merupakan
pengaruh budaya patriarki yang masih berlaku dalam masyarakat dimana nilai
istri hanya sebagai pengasuh anak. Namun perlahan anggapan tersebut mulai
bergeser seiring dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan dalam
sektor publik. Berikut salah satu contoh perubahan peran perempuan dalam
keluarga menurut Hubeis (2010):
Seorang lelaki bekerja di rumah yaitu mengurus rumah tangga serta mengasuh
anaknya yang masih bayi, sedangkan tugas mencari nafkah dilakukan istrinya.
Hal ini terjadi karena pendapatan keluarga akan lebih baik jika istri yang bekerja
dibanding suami. Akan tetapi jika keduanya bekerja maka mereka harus
menyewa jasa pengasuh bayi dan hampir menghabiskan pendapatan yang
diperoleh. Sebaliknya, jika istri diam di rumah dan suami bekerja maka
pendapayan suami tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Karena itu,
istrilah yang bekerja dan suami mengurus rumah.

Perempuan memiliki peran yang sangat berarti bagi keluarga, dimana
sebagian besar waktunya sekitar 8-16 jam per hari dalam pekerjaan domestik
seperti memasak, membersihkan rumah, menyetrika, mengasuh anak, dan
sebagainya. Hal ini jelas tidak dapat dilakukan oleh perempuan atau istri yang
memutuskan untuk bekerja di luar rumah (Zehra 2008). Terdapat beberapa
alasan perempuan bekerja di luar rumah meskipun mereka menyadari
peranannya dalam sektor domestik. Salah satu yang menjadi alasan utamanya
untuk menambah pendapatan bagi keluarga. Perempuan memiliki peranan sosial
yang beragam dalam kehidupan perekenomian dimana perempuan dituntut
untuk mampu menjalani fungsinya dalam keluarga serta sebagai pencari nafkah
tambahan atau bahkan pencari nafkah utama (main breadwinner) bagi keluarga
dan membina hubungan sosial yang baik. Hal ini membuktikan bahwa
perempuan memiliki eksistensi dalam bersosialisasi dengan lingkungan di
sekitarnya terutama dalam kehidupan perekonomian keluarga (Gulcubuk 2010).

16
 

Menurut Sumarwan (1993) peningkatan jumlah angkatan tenaga kerja

wanita disebabkan oleh beberapa fakor, diantaranya:
1.

Peningkatan tuntutan ekonomi yang menyebabkan sebagian keluarga tidak
dapat

mempertahankan

tingkat

kesejahteraannya

hanya

dari

satu

pendapatan;
2.

Perubahan gaya hidup atau selera keluarga dalam mengkonsumsi barang
dan jasa;

3.

Semakin terbukanya kesempatan kerja bagi semua warga negara Indonesia,
baik perempuan maupun laki-laki, untuk memperoleh pendidikan yang lebih
baik.
Sedangkan Hoffman & Nye (1974) mengemukakan bahwa terdapat tiga

faktor yang mendorong perempuan mencari penghasilan tambahan, yaitu:
1.

Alasan ekonomi: Tujuannya untuk menambah pendapatan keluarga,
terutama jika pendapatan suami relatif kecil. Selain itu karena istri memiliki
suatu keahlian tertentu yang membuatnya merasa lebih efektif apabila
waktunya digunakan untuk mencari nafkah.

2.

Mengangkat status diri: Tujuannya untuk meningkatkan kekuasaan lebih
besar atau minimal setara dengan suami dalam kehidupan keluarga.

3.

Terdapat

motif

intrinsik

(dari

dalam

dirinya)

untuk

menunjukkan

eksistensinya seperti kemampuan berprestasi sebagai manusia, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.
Suami, orangtua, atau kerabat yang lainnya harus menyadari terdapat
peran serta kewajiban menggantikan ibu (istri) agar tetap dapat tercapinya
keseimbangan. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh tim Pusat Studi Gender
dan Keluarga STAIN Salatiga di Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah,
yang juga dipresentasikan di The International Seminar of Gender Mainstreaming
on Higher Education di UKSW Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan
adanya kesadaran tiga pola pergeseran peran, antara lain:
1.

Suami mengambil alih peranan penuh dalam keluarga yang ditinggalkan
oleh istri seperti mengurusi berbagai pekerjaan domestik, termasuk
mengasuh anak.

2.

Suami mengambil alih sebagian peranan keluarga yang ditinggalkan oleh
istri. Suami biasanya dibantu oleh ibu atau anggota keluarga lain.

3.

Suami sama sekali tidak mengambil peranan apapun. Pola ini dapat
dikatakan sebagai kegagalan keluarga dalam melaksanakan transformasi

17
 

nilai yang menyebabkan ibu atau mertua TKW mengambil alih seluruh peran
domestik keluarga.
Keputusan istri untuk berpartisipasi di sektor publik dengan menjadi TKW

merupakan pilihan yang sulit dan sangat tergantung pada keadaan ekonomi
keluarga. Ketiadaan istri di rumah berdampak meningkatkan tingkat stress pada
suami karena suami harus menggantikan peran istri yang ditinggalkannya
sehingga suami memiliki peran ganda dalam rumah tangga, yaitu sebagai
penggerak ekonomi keluarga dan melakukan pekerjaan domestik. Laporan
penelitian Sunarti (2009a) menyatakan bahwa "Semakin besar sumbangan
pendapatan dari istri, maka semakin sejahtera keluarga".
Kontribusi Ekonomi Perempuan
Salah satu tujuan seseorang bekerja di bidang nafkah adalah untuk
memperoleh penghasilan berupa uang. Hal tersebut yang mendorong peran
perempuan sebagai penunjang perekonomian rumahtangga menjadi sangat
penting dan ikut serta berperan dalam sektor ekonomi untuk menambah
penghasilan keluarga dan memenuhi kebutuhan (Hubeis 2010).
Tenaga kerja perempuan umumnya dihargai dengan upah yang lebih
rendah dibandingkan dengan laki-laki. Seringkali upah yang dihasilkan oleh istri
untuk keluarga dianggap sebagai hasil kontribusi suami terhadap pendapatan
keluarga,

meskipun

istrilah

yang

menghasilkannya.

Kontribusi

ekonomi

perempuan masih dianggap sekunder dan hanya sebagai pelengkap hasil dari
laki-laki (Sobary 1992). Perempuan seringkali dipandang sebagai orang kedua
yang hanya membantu pasangan (subordinat), berpendidikan rendah, dan
memiliki keterbatasan keterampilan untuk menghasilkan kontribusi ekonomi bagi
keluarga (Zehra 2008). Tidak jarang perempuan yang bekerja sebagai pencari
nafkah tidak mendapatkan imbalan berupa uang sehingga tidak dapat
memberikan kontribusi ekonominya pada pendapatan rumah tangganya.
Banyak perempuan di desa yang mencari kesempatan bekerja di luar
atau kota besar agar bisa memperoleh penghasilan yang lebih besar
dibandingkan dengan bekerja di desanya. Namun hal ini tidak diikuti dengan
jaminan keamanan sosial seperti asuransi (Gulcubuk 2010). Menurut Zehra
(2008) alasan utama perempuan berpartisipasi aktif bekerja dengan upah di luar
rumah untuk menambah kontribusi pendapatan keluarga secara langsung.
Hubeis (2010) menyatakan bahwa umumnya perempuan di pedesaan dan
berusia muda bekerja karena membutuhkan penghasilan untuk melanjutkan

18
 

kelangsungan kehidupan keluarga (terutama anak-anaknya) bukan untuk
mengejar karir sehingga menerima berbagai jenis pekerjaan apapun tanpa
memperhatikan besarnya pendapatan yang ditawarkan dari lingkungan kerja.
Menurut Lasswell dan Laswell (1987), kontribusi ekonomi perempuan
dalam ekonomi keluarga akan menghasilkan peningkatan dalam keuangan
keluarga, kepemilikan barang mewah, standar hidup yang lebih tinggi dengan
pencapaian rasa aman yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan
status sosial keluarga. Meskipun pekerjaan mereka memiliki kontribusi yang
sangat penting untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan keluarga, namun
pada kenyataannya perempuan masih saja dipandang sebelah mata dalam
masyarakat (Zehra 2008). Disamping itu, Adriyani (2000) menyatakan, “tinggi
rendahnya kontribusi ekonomi wanita ditentukan juga oleh jumlah anggota rumah
tangga yang bekerja mencari nafkah dan memperoleh pendapatan berupa uang”.
Meskipun demikian beberapa fakta empiris yang dikemukakan oleh Hubeis
(2010) menunjukkan hal-hal berikut:
1. Perempuan mengalokasikan pendapatannya dalam jumlah yang lebih besar
untuk keluarga dan kerabatnya dibandingkan untuk dirinya sendiri. Hal ini
dikarenakan sifat bawaan perempuan yaitu unselfish (tidak mementingkan
dirinya sendiri, tetapi selalu mendahulukan keluarga) sebagai produk dalam
masyarakat yang membentuk bagaimana perempuan bersikap terutama
dalam tatanan keluarga.
2. Perempuan yang bekerja pada umumnya membantu usaha rumahtangga
dengan atau tanpa memperoleh upah, baik di sektor publik maupun di sektor
domestik.
3. Tenaga kerja perempuan lapisan bawah yang terkena PHK umumnya akan
langsung pulang kembali ke kampung halaman untuk mencari perlindungan
sosial dan keamanan, sedangkan perempuan yang berpendidikan tinggi akan
secara langsung aktif untuk mencari kesempatan kerja yang lain.
Arus Kas Keuangan Keluarga (Family Cash Flow)
Setiap keluarga akan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan
menggunakan sumberdaya yang dimilikinya. Pada umumnya seluruh kebutuhan
keluarga memerlukan uang. Oleh sebab itu tidak jarang uang dijadikan sebagai
alat pengukur dari sumberdaya (Guhardja et al., 1993). Kebutuhan yang harus
dipenuhi keluarga tidak hanya kebutuhan rutin saat ini saja, tetapi juga
kebutuhan masa depan atau jangka panjang, sedangkan pendapatan yang

19
 

diterima keluarga terbatas (Krisnatuti et al., 2009). Dengan demikian keluarga
perlu memiliki kemampuan mengatur keuangan yang baik dan bijak antara
pendapatan, pengeluaran dan rencana tabungan masa depan (Garman dan
Forgue 1988).
Manajemen keuangan berkaitan dengan pembuatan anggaran. Menurut
Garman dan Forgue (1988), membuat anggaran merupakan suatu proses
perencanaan

dan

pengontrolan

keuangan

yang

berhubungan

dengan

penggunaan catatan keuangan untuk menetapkan tujuan, perencanaan,
pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengontrolan, dan evaluasi.
Laporan arus kas (cash flow) memperlihatkan aliran uang yang masuk
(pendapatan) dan aliran uang yang keluar (pengeluaran) yang rutin dilakukan
oleh individu atau keluarga pada beberapa waktu yang telah lewat, seperti dalam
bulanan atau tahunan. Menurut Garman dan Forgue (1988), pendapatan
keluarga adalah seluruh perolehan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga.
Pendapatan teridiri dari upah dan gaji, bonus dan komisi, warisan, uang lembur,
beasiswa, bunga deposito, dll. Pengeluaran adalah segala aktivitas yang
mengakibatkan jumlah keuangan berkurang. Sebuah keluarga dapat membuat
perencanaan pengeluaran, tetapi ketika uang tersebut telah dikeluarkan oleh
keluarga disebut sebagai pengeluaran aktual (actual expenditure).
Pengetahuan tentang cash flow penting dan wajib diketahui agar
keuangan keluarga kita tidak akan berantakan dan terpantau (Anonim 2007).
Manajemen cash flow yang efektif dapat membatasi pengeluaran bulanan,
meningkatkan

pemasukan,

menggunakan

tabungan

atau

melakukan

peminjaman (hutang). Hal tersebut bermanfaat dalam mengontrol pengeluaran
tidak tetap seperti biaya rekreasi, pengeluaran pribadi, dan pengeluaran pangan.
Adapun cash flow dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
Tujuan dari pembuatan laporan cash flow yaitu untuk memberikan
informasi kondisi keuangan keluarga, termasuk di dalamnya menunjukkan
sumber pendapatan sekaligus gambaran pola pengeluaran, tabungan, dan
investasi (Garman dan Forgue 1988). Dalam banyak peristiwa, keluarga tidak
dapat menyisihkan uangnya untuk dimasukkan ke dalam tabungan karena tidak
berhasil menekan jumlah pengeluaran.

20
 

Gambar 1 Diagram Cash flow manajemen keuangan keluarga (Anonim 2007).
Pengeluaran Keluarga
Dalam suatu keluarga pendapatan akan mempengaruhi aktivitas keluarga
dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga (Suryawati 2002). Hal ini terjadi
karena tingkat pendapatan keluarga menentukan jenis pangan yang akan dibeli.
Teori Bennet mengungkapkan bahwa persentase bahan pokok pangan dalam
konsumsi suatu keluarga akan semakin menurun dengan meningkatnya
pendapatan dan cenderung akan beralih pada pangan yang mengandung energi
lebih mahal.
Seiring dengan meningkatnya pendapatan maka akan terjadi pergeseran
porsi pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non pangan. Pergeseran pola
pengeluaran tersebut dikarenakan elastisitas terhadap pangan umumnya rendah,
sebaliknya elastisitas terhadap non-pangan tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada
pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makannya sudah mencapai titik
jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bukan makanan atau ditabung (BPS 2002).
Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kehidupan suatu masyarakat
dapat dilihat dari pola pengeluaran rumah tangganya (BPS 2002). Keluarga
dapat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan setiap anggota keluarganya dapat
terpenuhi. Kebutuhan dasar manusia secara umum dibagi menjadi dua yaitu
kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer merupakan

21
 

kebutuhan dasar yang sangat diperlukan agar dapat hidup dengan layak, seperti
gizi, perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan, dan sandang. Sedangkan
kebutuhan sekunder meliputi waktu luang, ketenangan hidup, dan lingkungan
hidup. Bryant (1990) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang
mempengaruhi konsumsi keluarga yaitu pendapatan, ukuran (besar keluarga),
komposisi keluarga, dan harga. Menurut Sumarwan (1993), pola konsumsi
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dari kepala rumah tangga, tingkat
pendapatan keluarga, jumlah keseluruhan anggota keluarga dan selera makan
keluarga.
Teori Engel menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan
rumahtangga maka akan semakin rendah persentase untuk pangan. Sebaliknya,
semakin rendah tingkat pendapatan rumahtangga maka akan semakin tinggi
persentase pengeluarannya untuk pangan. Bagi keluarga berpenghasilan
rendah, umumnya pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic need) dan sebagian besar dari mereka sudah tidak
mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup secara layak, sehingga terjadi
penurunan kualitas hidup atau kesejahteraannya (Rambe et al., 2008). Hal ini
didukung dengan pernyataan BPS (2002) yang menyebutkan bahwa pada
negara yang sedang berkembang, persentase pengeluaran rumahtangga yang
terbesar adalah pengeluaran untuk pangan.
Tingkat kesejahteraan suatu keluarga akan dikatakan semakin baik
apabila persentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil jika dibandingkan
dengan total pengeluaran keluarga (Rambe 2004). Jenis pengeluaran keluarga
yang digunakan oleh BPS (2008) yaitu pengeluaran untuk pangan dan
pengeluaran non pangan. Pengeluaran untuk pangan adalah pengeluaran untuk
konsumsi terhadap bahan pangan kelompok padi-padian, ikan, daging, telur,
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak. Komoditi pangan
yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap pergeseran garis kemiskinan
adalah beras, gula pasir, telur, tahu, tempe, mi instan, dan minyak goreng.
Sementara itu, pengeluaran non pangan meliputi biaya untuk perumahan, bahan
bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian dan barang-barang tahan
lama lainnya.
Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Mangkuprawira (1985) bahwa
jenis pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua yaitu pengeluaran pangan
dan pengeluaran non pangan. Secara naluriah seseorang dalam keluarga akan

22
 

terlebih dahulu menggunakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan
pangan baru kemudian untuk non pangan. Jika dikaitkan dengan teori Maslow
seperti yang dikemukakan Rambe et al. (2008), maka akan dipenuhi terlebih
dahulu adalah kebutuhan dasar keluarga, salah satunya adalah pangan.
Walaupun

demikian,

perilaku

ini

tidak

lepas

dari

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya, seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, tempat tinggal,
musim, dan pendidikan (Mangkuprawira 1985).
Kesejahteraan Keluarga
Pengertian Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh sebuah
keluarga. Keluarga dikatakan sejahtera apabila sudah dapat memenuhi
kebutuhan anggota keluarganya, baik sandang, pangan, papan, sosial, dan
agama (Sulaeman 2008). Menurut Rambe et al. (2008), kesejahteraan
merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, termasuk spiritual
yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan
kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga
serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban
manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Setiap orang memiliki penilaian terhadap tingkat kesejahteraan dimana
antara satu sama lain tidak sama. Sejahtera bagi seseorang belum tentu sama
dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan setiap orang memili