Hubungan Antara Dimensi Fungsionalitas Keluarga dan Subjective Well-Being pada Ibu yang Memiliki Anak Disabilitas Intelektual di SLB - C Bandung.

(1)

vii Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fungsionalitas keluarga dan Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB

– C Bandung, dengan jumlah responden sebanyak 52 orang.

Untuk mengukur fungsionalitas keluarga digunakan alat ukur Family Assessment Device (Epstein, Bishop, & Levin 1978) yang diterjemahkan oleh Triad English Centre dan dimodifikasi oleh peneliti. Untuk mengukur SWB dikonstruksi oleh peneliti dengan mengacu pada teori Diener (2008).

Skor masing-masing dimensi fungsionalitas keluarga dikorelasikan dengan skor total SWB menggunakan uji korelasi pearson dengan bantuan program SPSS. Berdasarkan hasil pengolahan statistik, terdapat dua dimensi yang berkorelasi signifikan dengan bentuk korelasi positif dengan SWB, yaitu penyelesaian masalah (r = 0,293), dan komunikasi (r = 0,385), sedangkan peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku tidak berkorelasi signifikan dengan Subjective Well-Being (SWB) (masing-masing koefisien r = 0,092, r = 0,180, r = 0,105, dan r = 0,082).

Kesimpulan yang diperoleh adalah dari keenam dimensi fungsionalitas keluarga, ditemukan bahwa terdapat dua dimensi yang berkorelasi positif dan signifikan dengan SWB yaitu penyelesaian masalah, dan komunikasi. Sedangkan keempat dimensi lainnya tidak terdapat hubungan dengan SWB. Peneliti mengajukan saran untuk lebih lanjut dilakukan penelitian korelasional mengenai fungsionalitas keluarga dan SWB dengan melibatkan satu SLB – C saja. Peneliti juga menyarankan kepada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung untuk mengikuti aktivitas produktif dalam rangka meningkatkan SWB.


(2)

viii Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This study was conducted to discover the correlation between family functioning and Subjective Well-Being (SWB) toward mothers who have an intellectual disability child at SLB

– C Bandung, total respondent are 52 persons.

The tool to measure family functioning is Family Assessment Device (Epstein, Bishop, & Levin 1978), which was translated by Triad English Centre and modified by the researcher. The tool to measure SWB was created by researcher, which was based on theory by Diener (2008).

Each total score dimension family functioning being correlated with total score SWB using pearson correlation test on SPSS program for windows. The statistic result shows there are two dimension which have significantly positive correlation with SWB, namely problem solving (r = 0,293), and communication (r = 0,385), whereas roles, affective responsiveness, affective involvement, and behavior control are not significantly related with SWB (each coefficient r = 0,092, r = 0,180, r = 0,105, and r = 0,082).

Conclusion from this study are from six dimension of family functioning, there are two dimension which have a significant positive correlation with SWB, both of them are problem solving and communication. However, four dimension of family functioning are not related with SWB. The researcher suggest a further correlational study on family functioning and SWB with using one SLB - C. Other than that, the researcher suggest to mothers whom have an intellectual disability child at SLB – C Bandung to join a productive activity to increase SWB.


(3)

ix Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...ii

LEMBAR ORISINALITAS...iii

LEMBAR PUBLIKASI...iv

KATA PENGANTAR...v

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR BAGAN...xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...11

1.4 Kegunaan Penelitian...11

1.4.1 Kegunaan Teoretis...11

1.4.2 Kegunaan Praktis...12

1.5 Kerangka Pikir...12

1.6 Asumsi Penelitian...23

1.7 Hipotesis Penelitian...24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Subjective Well-Being (SWB)...25


(4)

x Universitas Kristen Maranatha

2.1.2 Pendekatan Teoretis...25

2.1.3 Prinsip Utama...27

2.1.4 Komponen Subjective Well-Being (SWB)...29

2.1.4.1 Komponen Kognitif...29

2.1.4.2 Komponen Afektif...30

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Subjective Well-Being (SWB)...32

2.2 Fungsionalitas Keluarga...36

2.2.1 Definisi Fungsionalitas Keluarga...36

2.2.2 Pengukuran Fungsionalitas Keluarga...37

2.2.3 McMaster Model of Family Functioning...38

2.2.4 Dimensi-dimensi McMaster Model of Family Functioning...39

2.3 Disabilitas Intelektual...45

2.3.1 Definisi Disabilitas Intelektual...45

2.3.2 Klasifikasi Disabilitas Intelektual...45

2.3.3 Karakteristik Disabilitas Intelektual...48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...50

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian...50

3.2. Bagan Prosedur Penelitian...50

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...51

3.3.1 Variabel Penelitian...51

3.3.2 Definisi Operasional...51

3.3.2.1 Subjective Well-Being (SWB)...51

3.3.2.2 Fungsionalitas Keluarga...52

3.4 Alat Ukur...53


(5)

xi Universitas Kristen Maranatha

3.4.2 Alat Ukur Fungsionalitas Keluarga...55

3.4.3 Data Pribadi...58

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas...58

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur...58

3.4.4.1.2 Validitas Alat Ukur Subjective Well-Being (SWB)...59

3.4.4.1.3 Validitas Alat Ukur Fungsionalitas Keluarga...59

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur...60

3.4.4.2.1 Reliabilitas Alat Ukur Subjective Well-Being (SWB)...60

3.4.4.2.2 Reliabilitas Alat Ukur Fungsionalitas Keluarga...60

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel...61

3.5.1 Populasi...61

3.5.2 Teknik Penarikan Sampel...61

3.5.3 Karakteristik Populasi...61

3.6 Teknik Analisis Data...61

3.7 Hipotesis Statistik...62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...64

4.1 Gambaran Responden...64

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Ibu...64

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu...64

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Anggota Keluarga Lain yang Tinggal Bersama Ibu dan Anak Disabilitas Intelektual...65

4.2 Hasil Penelitian...65

4.2.1 Korelasi antara Fungsionalitas Keluarga dan Subjective Well-Being (SWB)...65


(6)

xii Universitas Kristen Maranatha

BAB V SIMPULAN DAN SARAN...71

5.1 Simpulan...71

5.2 Saran...71

5.2.1 Saran Teoretis...71

5.2.2 Saran Praktis...72

DAFTAR PUSTAKA...73

DAFTAR RUJUKAN...76 LAMPIRAN


(7)

xiii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Disabilitas Intelektual...46

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Subjective Well-Being...53

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Kuesioner Subjective Well-Being (SWB)...54

Tabel 3.3 Kisi-kisi Alat Ukur Fungsionalitas Keluarga...56

Tabel 3.4 Sistem Penilaian Kuesioner Fungsionalitas Keluarga...57

Tabel 3.5 Skor Mean untuk Fungsionalitas Keluarga Responden...57

Tabel 3.6 Kriteria Skor Fungsionalitas Keluarga pada Responden...58

Tabel 3.7 Kriteria Validitas...58

Tabel 3.8 Validitas Subjective Well-Being (SWB)...59

Tabel 3.9 Validitas Fungsionalitas Keluarga...59

Tabel 3.10 Kriteria Reliabilitas...60

Tabel 3.11 Reliabilitas Fungsionalitas Keluarga...64

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Ibu...64

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu...64

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Anggota Keluarga...65


(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir...23 Bagan 3.1. Prosedur Penelitian...50


(9)

xv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I KISI-KISI ALAT UKUR...L-1 Lampiran 1.1 Kisi – Kisi Alat Ukur Subjective Well-Being (SWB)...L-2 Lampiran 1.2 Kisi – Kisi Alat Ukur Subjective Well-Being (SWB) Setelah Uji Validitas...L-7 Lampiran 1.3 Kisi – Kisi Alat Ukur Fungsionalitas Keluarga...L-12 Lampiran 1.3 Kisi – Kisi Alat Ukur Fungsionalitas Keluarga Setelah Uji Validitas...L-17

Lampiran II KATA PENGANTAR, INFORMED CONSENT, & KUESIONER...L-23 Lampiran 2.1 Kata Pengantar Kuesioner...L-24 Lampiran 2.2 Lembar Persetujuan Responden...L-25 Lampiran 2.3 Kuesioner...L-29

Lampiran III VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR...L-36 Lampiran 3.1 Validitas Subjective Well-Being (SWB)...L-37 Lampiran 3.2 Reliabilitas Subjective Well-Being (SWB)...L-38 Lampiran 3.3 Validitas Fungsionalitas Keluarga...L-39 Lampiran 3.4 Reliabilitas Fungsionalitas Keluarga...L-41

Lampiran IV DATA HASIL KUESIONER...L-43 Lampiran 4.1 Hasil Kuesioner Subjective Well-Being (SWB) Responden....L-44 Lampiran 4.2 Hasil Kuesioner Fungsionalitas Keluarga Responden...L-45


(10)

xvi Universitas Kristen Maranatha

Lampiran V HASIL PENGOLAHAN DATA...L-48 Lampiran 5.1 Data Demografis Responden...L-49 Lampiran 5.2 Hasil Korelasi Fungsionalitas Keluarga dan Subjective

Well-Being (SWB)...L-50

Lampiran 5.3 Gambaran Umum Subjective Well-Being (SWB)...L-52 Lampiran 5.4 Gambaran Umum Fungsionalitas Keluarga...L-53 Lampiran 5.5 Tabulasi Silang Faktor Demografis dan Subjective Well-Being (SWB)... L-54


(11)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah sekelompok individu yang terhubungkan oleh ikatan pernikahan, darah atau adopsi yang saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam peran sosial timbal balik antar anggota keluarga, serta menciptakan dan memelihara suatu budaya yang sama. Adapun fungsi keluarga adalah memberi afeksi, rasa aman dan penghayatan diterima secara pribadi, memberi kepuasan dan sense of purpose, memberi keyakinan akan kesinambungan dan persahabatan, menjamin kelangsungan sosialisasi, serta menanamkan kontrol dan pemahaman tentang benar-salah (Duvall, 1977).

Sistem keluarga terdiri dari unit-unit yang lebih kecil atau subsistem (setiap individu anggota keluarga), yang secara keseluruhan membentuk sistem keluarga. Keluarga terorganisasi dalam pola-pola relasi dan peran fungsional. Seringkali, peran-peran ini diorganisasi berdasarkan usia, generasi, dan jender. Tiap anggota keluarga memilki peran dan tanggung jawabnya masing-masing yang ditentukan oleh tiap keluarga itu sendiri. Sebagai contoh, umumnya tugas ayah adalah melindungi anggota keluarga berupa pemberian rasa aman terutama yang berkaitan dengan aspek finansial. Contoh lainnya adalah tanggung jawab ibu sebagai ibu rumah tangga. Salah satu teori yang berkaitan dengan peran dan tanggung jawab tiap anggota keluarga adalah fungsionalitas keluarga.

Fungsionalitas keluarga menurut McMaster Model of Family Functioning (MMFF) diartikan sebagai suatu keadaan dalam keluarga dimana setiap unit dari keluarga mampu menjalankan dengan baik tugas-tugas dasar dalam kehidupan keseharian di keluarga yang berkaitan dengan pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku (Loutzenhiser, 2001). Menurut model ini, fungsi utama keluarga


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha

adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial anggota-anggota keluarga di dalamnya serta menyediakan kondisi yang memungkinkan untuk perkembangan (Epstein, Levin, & Bishop, 1976). Dalam memenuhi fungsi keluarga, Epstein, Ryan, Bishop, Miller, dan Keitner (2003) menjabarkan beberapa masalah atau tugas yang akan dihadapi oleh keluarga yaitu area tugas dasar, area masalah kondisi darurat, dan area tugas perkembangan.

Salah satu hal yang paling dasar dari ketiga hal di atas adalah tugas dasar yang berkaitan dengan kebutuhan jasmani anggota keluarga. Keluarga, misalnya harus memenuhi kebutuhan akan makanan, uang, transportasi, dan tempat tinggal. Keluarga juga berhubungan dengan masalah kondisi darurat. Hal ini berkaitan dengan bagaimana keluarga menangani krisis yang terjadi akibat penyakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya. Tugas keluarga yang terakhir adalah area tugas perkembangan di mana keluarga harus menghadapi perubahan karena perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam level individu, perkembangan mencakup tahap balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan dewasa akhir, sementara dalam level keluarga hal tersebut misalnya awal pernikahan, dan kehadiran anak di dalam lingkungan keluarga.

Memiliki anak yang sempurna merupakan dambaan bagi semua pasangan yang telah membina keluarga. Anak merupakan anugerah Yang Maha Kuasa yang tak ternilai harganya. Cohen (1982) mengungkapkan bahwa kelahiran seorang anak biasanya disertai dengan rasa kegembiraan dan pengharapan mengenai masa depannya yang bahagia dan sukses, namun luapan rasa kegembiraan tersebut dapat hilang ketika bayi yang lahir adalah bayi dengan disabilitas. Disabilitas merupakan suatu ketidakmampuan tubuh dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana orang normal pada umumnya yang disebabkan oleh adanya ketidakmampuan dalam hal fisiologis, psikologis, dan kelainan struktur atau fungsi anatomi (disable-world.com). Menurut Slaughter (1960), salah satu kebenaran yang


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha

paling sulit diterima oleh orang tua adalah fakta bahwa anak mereka mengalami disabilitas intelektual.

Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 402.817 orang adalah penyandang disabilitas intelektual (kemsos.go.id). Disabilitas intelektual didefinisikan oleh DSM-IV-TR (2000) sebagai suatu disabilitas yang ditandai dengan adanya keterbatasan secara signifikan baik dalam fungsi intelektual yang dibawah rata-rata atau skor IQ <70, maupun fungsi adaptif yang sekurang-kurangnya keterbatasan dalam dua area perilaku adaptif (komunikasi, merawat diri, kemampuan sosial, fungsi akademik, atau kemampuan bekerja), dan terjadi sebelum usia 18 tahun (Mash, 2005).

Dalam fungsi intelektual, kemampuan anak dalam membaca dan mempelajari matematika dasar mengalami keterlambatan yang signifikan dibandingkan dengan anak normal seusianya. Selain itu, anak juga memiliki keterbatasan dalam kemampuan bahasa, sehingga menyebabkan keterlambatan dalam bidang akademik lainnya, seperti menulis, berbicara, dan mempelajari ilmu pengetahuan (Taylor et al 2005, dalam Rosenberg et al., 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Merrill (1990, dalam Heward 2006), anak disabilitas intelektual membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan anak normal seusianya utuk memahami informasi yang diberikan oleh orang lain. Dikarenakan kemampuan anak dalam mengikuti kegiatan belajar lebih lambat dari anak normal seusianya, para pendidik berasumsi bahwa instruksi harus diberikan secara perlahan untuk menyesuaikan dengan kemampuan kecepatan belajar anak (Heward, 2006).

Pada dasarnya, anak disabilitas intelektual, terutama klasifikasi ringan, memiliki kapasitas untuk belajar dan mengikuti kegiatan di sekolah reguler, namun anak cukup rentan untuk mengalami perasaan tidak berdaya dan frustrasi. Anak memiliki kecenderungan


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha

menetapkan goal yang rendah, dan mengerjakan sesuatu dengan seadanya meskipun anak mampu melakukannya lebih baik (Weisz 1999, dalam Mash 2005). Dengan memahami karakteristik fungsi intelektual serta motivasi yang dimiliki oleh anak, dapat dilihat bahwa anak mengalami kesulitan untuk mengikuti program pendidikan di sekolah reguler, oleh karena itu anak memerlukan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut (Somantri, 2012). Salah satu sekolah luar biasa yang menyelenggarakan pelayanan pendidikan bagi anak-anak disabilitas intelektual adalah SLB-C Bandung yang terdiri dari 3 jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah akhir. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, anak yang bersekolah di SLB-C Bandung termasuk ke dalam klasifikasi disabilitas intelektual ringan, sedang, dan down

syndrome.

Selain fungsi intelektual, anak memiliki keterbatasan yang melibatkan kegiatan sehari-hari atau yang biasa disebut dengan fungsi adaptif. Setiap klasifikasi disabilitas intelektual memiliki karakteristik fungsi adaptif yang berbeda-beda. Pada anak disabilitas intelektual ringan, anak dapat mengikuti kegiatan sehari-hari dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan yang ada, namun seiring dengan bertambahnya usia, anak menunjukkan keterlambatan dalam kemampuan bicara dan sosial. Pada anak dengan klasifikasi sedang, anak membutuhkan bantuan yang lebih besar untuk menjalani rutinitas sehari-hari dibandingkan dengan klasifikasi ringan. Meskipun begitu, anak mampu untuk makan dan berpakaian sendiri dengan bantuan yang minim. Sebagian besar anak dengan down syndrome, termasuk kedalam klasifikasi disabilitas intelektual sedang (Mash, 2005). Dalam menjalin relasi, anak disabilitas intelektual cenderung mengalami masalah dengan anak lainnya, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan anak untuk memahami ekspresi yang ditampilkan oleh anak lainnya, khususnya selama aktivitas sosial dan bermain yang membutuhkan stamina serta aturan formal. Kondisi ini membuat anak disabilitas intelektual


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha

merasa diasingkan dari anak normal seusianya (Guralnick 1999; Kemp & Carter 2002, dalam Mash, 2005).

Pada dasarnya, fungsi adaptif dan tingkatan keterbatasan dapat ditingkatkan, apabila disediakan pelatihan dan kesempatan yang sesuai untuk kondisi anak. Selain itu, seiring bertambahnya usia, anak dapat menjalani kehidupan dengan efektif di lingkungan apabila adanya dukungan yang sesuai (Mash, 2005). Emerson & Hatton (2008, dalam Beighton & Wills, 2016) mengungkapkan bahwa sebagian besar anak disabilitas intelektual tinggal di rumah bersama dengan orang tuanya, dimana mayoritas orang tua menyediakan dukungan sepanjang hidupnya untuk anak. Dukungan ini berupa bantuan emosional, seperti memberikan dukungan dan dorongan pada anak, bantuan mediasi, yaitu negosiasi dengan orang lain yang melibatkan kepentingan anak, bantuan finansial untuk memenuhi kebutuhan anak sehari-hari, serta bantuan secara langsung, seperti membantu anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Horowitz 1985, dalam Beighton & Wills, 2016).

Kehadiran anak disabilitas intelektual dalam lingkungan keluarga merupakan tantangan yang besar, namun hal ini dapat diatasi (Mash, 2005). Menurut Scorgie & Sobsey (2000, dalam Mash & Barkley 2003), sebagian keluarga yang memiliki anak disabilitas intelektual dapat beradaptasi dengan baik, sedangkan sebagian lainnya mengalami kesulitan. Anak disabilitas intelektual merupakan stressor tambahan dalam sistem keluarga (Greenberg et al, 1983 dalam Mash & Barkley 2003). Namun, memiliki anak disabilitas intelektual dapat memberikan perubahan yang positif secara psikologis dan atau perilaku pada orang tua. Merujuk pada Taylor’s (1983) teori kognisi adaptasi, orang tua akan membangun strategi penyelesaian masalah yang dapat meningkatkan kepercayaan diri ketika menghadapi situasi traumatis, seperti memiliki anak disabilitas intelektual. (Fai Tam & Cheng, 2005). Dampak positif lainnya adalah meningkatkan kedekatan keluarga dalam bentuk kerjasama suami-istri dalam mengasuh anak (Fidler et al 2000, dalam Mash 2005), meningkatkan sensivitas satu


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha

sama lain anggota keluarga, adanya kesempatan untuk memperluas aktivitas sosial, serta meningkatkan pengembangan diri (Taunt & Hastings 2002, dalam Hastings 2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Pilusa (2006) di wilayah Waterberg pada orang tua yang memiliki anak disabilitas intelektual, didapatkan hasil bahwa kehadiran anak disabilitas intelektual di dalam lingkungan keluarga memiliki dampak yang besar terhadap fungsionalitas keluarga. Hal ini disebabkan oleh adanya kebutuhan utama dalam hal waktu, energi, dan sumber daya materi dalam menangani anak yang mengalami disabilitas intelektual.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama berkunjung ke salah satu SLB-C Bandung, dalam kesehariannya, sebagian besar orang tua mengantar dan menunggu anaknya di sekolah sampai kegiatan belajar-mengajar selesai. Sebagian orang tua mengatakan bahwa alasannya menunggu di sekolah dikarenakan ingin bertemu dengan orang tua lain, sedangkan sebagian orang tua lainnya mengatakan bahwa dirinya merasa khawatir dengan kondisi anak, sehingga tidak ingin beranjak dari lingkungan sekolah. Sebagai contoh, ketika kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung, terdapat salah satu siswa yang mengamuk dan tidak ingin mengikuti kegiatan belajar-mengajar, orang tua menenangkan dan membujuk anaknya agar kembali masuk kelas. Contoh lainnya adalah ketika terdapat siswa yang ingin buang air kecil, orang tua bergegas untuk mengantarnya ke kamar mandi. Ketika waktu istirahat tiba, setiap anak menghampiri orang tuanya masing-masing untuk makan, atau sekedar mengobrol sampai waktu istirahat selesai.

Setelah pulang sekolah, sebagian besar orang tua menggunakan angkutan umum yang sama (menyewa angkutan umum) sebagai transportasi untuk kembali ke rumah masing-masing. Salah satu orang tua mengatakan bahwa dirinya merasa lebih nyaman untuk berada di transportasi umum bersama dengan orang tua yang memiliki anak disabilitas intelektual dibandingkan dengan lingkungan lainnya. Hal ini dikarenakan ia pernah mengalami peristiwa tidak menyenangkan ketika sedang berada di transportasi umum, yaitu adanya pandangan


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha

sinis dari orang lain ketika melihat dirinya membawa anak yang mengalami disabilitas intelektual. Selain itu, ia mengungkapkan bahwa semenjak adanya anak disabiitas intelektual di dalam kehidupannya, dirinya lebih membatasi relasi dengan lingkungannya, hal ini dikarenakan ia tidak ingin adanya pembicaraan negatif dari lingkungan mengenai anaknya yang mengalami disabilitas intelektual. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti tersebut, dapat dilihat bahwa sebagian besar waktu orang tua digunakan untuk mengasuh anak disabilitas intelektual. Hal ini sesuai dengan Emerson et al (2012, dalam Beighton & Wills, 2016), yang mengatakan bahwa orang tua menghabiskan sebagian besar kehidupannya untuk mengasuh anak disabilitas intelektual (sebagai estimasi, 75% orang tua mengasuh anak selama lebih dari 20 tahun).

Pengasuhan yang diberikan oleh orang tua kepada anak menyebabkan adanya tekanan secara fisik dan psikologis yang dialami. Orang tua lebih sering mengalami krisis daripada orang tua lainnya yang memiliki anak normal (Fai Tam & Cheng, 2005). Selain itu, orang tua kemungkinan besar mengalami stres psikologis dikarenakan masalah sosial, relasi suami-istri, dan keuangan, yang dapat mengarahkan orang tua untuk mendapatkan lebih banyak krisis dalam kehidupannya (Shek & Tsang 1995, dalam Fai Tam & Cheng, 2005). Stres yang dialami oleh orang tua, membuat sikap, harapan, perhatian, dan bahkan tingkatan kepuasan hidup orang tua dapat berubah (Ellis & Hirsch 2000, dalam Fai Tam & Cheng, 2005). Pada umumnya, orang tua mengalami perasaan cemas, depresi, gangguan interpersonal, dan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah secara adekuat. Perasaan negatif ini dapat menyebabkan tingkatan yang rendah pada kepuasan hidup orang tua (Shek & Tsang 1995, dalam Fai Tam & Cheng, 2005).

Keluarga merupakan faktor utama dalam perkembangan anak, ibu menetapkan strategi untuk mengatasi masalah pada anak dan tingkatan dukungan sosial yang dibutuhkan keluarga (Mash, 2005). Pada penelitian Margalit & Amiram Raviv (1983), dinyatakan bahwa ibu yang


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha

memiliki anak disabilitas intelektual, menghayati iklim keluarga tidak mendorong dirinya untuk menjadi lebih mandiri dan memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Chandorkar & Chakraborty (2000) pada orang tua yang memiliki anak disabilitas intelektual di India, didapatkan hasil bahwa ibu lebih rawan mendapatkan masalah dalam mengasuh anak dengan disabilitas intelektual, hal ini dikarenakan ibu lebih banyak melakukan kontak dengan anak dibandingkan dengan figur ayah. Menurut Bailey et al (1992, dalam Mash & Barkley, 2003) terdapat perbedaan pendapat yang signifikan antara ayah dan ibu dalam membesarkan anak disabilitas intelektual. Ibu lebih menekankan pada dukungan sosial-emosional, informasi mengenai kondisi anak, dan tempat terapi anak, sementara ayah lebih memfokuskan pada kondisi keuangan yang dibutuhkan untuk anak. Berdasarkan hasil penelitian mengenai keluarga dengan anak disabilitas intelektual di Swedia, menunjukkan bahwa ibu memiliki tingkat well-being yang lebih rendah dibandingkan dengan ayah (Ollson MB & Hwang CP, 2008). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Shek & Tsang (1995, dalam Fai Tam & Cheng 2005) menunjukkan bahwa mengasuh anak disabilitas intelektual dapat menyebabkan timbulnya perasaan negatif serta kepuasan hidup yang rendah. Namun, pada penelitian lainnya ditemukan bahwa ibu lebih merasakan persepsi positif dibandingkan ayah. Ibu memiliki penghayatan yang lebih besar bahwa anaknya merupakan sumber kebahagiaan dan anaknya mampu bersikap kooperatif (Hastings, 2005). Salah satu teori yang berkaitan dengan

well-being, perasaan positif, perasaan negatif, serta kepuasan hidup, adalah Subjective Well-Being (SWB).

Subjective Well-Being (SWB) adalah semua jenis evaluasi, baik kognitif maupun

afektif, yang dibuat individu atas hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kemampuan individu dalam hal mengevaluasi dan menilai hidupnya secara keseluruhan (kepuasan hidup), melibatkan reaksi positif terhadap suatu kejadian tertentu (afek positif), serta kemampuan


(19)

9

Universitas Kristen Maranatha

individu dalam meminimalisir munculnya suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan (afek negatif) (Diener & Diener, 2008). Dengan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi, ibu dapat lebih bersemangat dalam menjalani kesehariannya terutama yang berkaitan dengan mengurus anak disabilitas intelektual. Oleh karena itu, Subjective Well-Being sangat bermanfaat bagi ibu agar ibu dapat berfungsi secara efektif dalam kesehariannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari, serta meningkatkan antusiasme dan ketekunan untuk menjalani tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, seperti mengurus keperluan rumah tangga, mengasuh anak disabilitas intelektual, serta menjalin relasi dengan lingkungan sekitar.

Berdasarkan survei yang sudah dilakukan kepada 10 ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB-C Bandung, 6 (60%) ibu memiliki penghayatan bahwa ketika keluarga mendapatkan masalah tertentu, keluarga dapat mengatasinya dengan baik. Selain itu, masing-masing anggota keluarga juga dapat mengemukakan pendapat secara terbuka kepada anggota keluarga lainnya. Tiap anggota keluarga dapat mengekspresikan kasih sayang satu sama lain, yang disertai dengan adanya rasa ketertarikan atau keterlibatan terhadap setiap aktivitas yang dijalankan oleh anggota keluarga lain. Dalam kesehariannya, keluarga memiliki aturan yang tegas dan fleksibel ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Namun, ibu beranggapan bahwa keluarganya kurang memiliki pembagian tugas yang merata. Ibu merasa bahwa dalam kesehariannya waktunya tersita untuk mengasuh anak disabilitas intelektual, sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya. Secara keseluruhan, terlihat bahwa ibu menghayati keluarganya sudah mampu menjalin interaksi serta menjalankan fungsi-fungsi keluarga, hal ini membuat ibu menghayati bahwa kehidupannya saat ini berlangsung memuaskan, meskipun ibu sempat merasa cemas dan khawatir mengenai kehidupannya saat ini, namun pada umumnya ibu lebih didominasi oleh perasaan bahagia dan senang dalam menjalani kegiatannya sehari-hari.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha

Pada 4 (40%) ibu lainnya, menghayati bahwa kehadiran anak disabilitas intelektual memberikan perubahan besar dalam kondisi keuangan keluarga. Adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan, seperti terapi anak, biaya sekolah, dan kebutuhan lainnya untuk anak, membuat ibu mengahayati bahwa keluarganya tidak dapat mengatasi masalah sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan masalah keuangan. Meskipun demikian, ibu menghayati bahwa keluarganya mampu menjalin komunikasi dengan efektif satu sama lain. Menurut ibu, setiap anggota keluarga sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, ibu beranggapan bahwa masing-masing anggota keluarga kurang mampu menunjukkan perhatiannya pada anggota keluarga lain. Tiap anggota keluarga terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga kurang mampu untuk menunjukkan ketertarikan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh anggota keluarga lain. Ketika sedang dihadapkan pada situasi tertentu, ibu menghayati bahwa keluarga mampu mengatasinya dan memiliki aturan yang tegas untuk menentukan batasan perilaku tiap anggota keluarga. Secara keseluruhan, terlihat bahwa ibu menghayati keluarganya kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan baik, hal ini membuat ibu menghayati bahwa kehidupannya saat ini tidak sesuai dengan yang diinginkan. Ibu menjadi lebih pesimis dan kurang antusias ketika menghadapi situasi tertentu.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa setiap ibu memiliki penghayatan yang berbeda-beda mengenai perilaku serta peran dalam keluarga. Walsh (2003) menjelaskan bahwa fungsionalitas keluarga sebagai interaksi keluarga dalam menjalankan tugas penting, yaitu menjaga pertumbuhan dan kesejahteraan (well-being) dari masing-masing anggotanya dan mempertahankan integrasinya. Lebih lanjut, Epstein, Ryan, Bishop, Miller, & Keitner (2003) menjelaskan fungsionalitas keluarga sebagai sejauh mana interaksi dalam keluarga memiliki dampak terhadap kesehatan fisik dan emosional

(well-being) anggota keluarga. Pada penelitian yang dilakukan oleh Botha dan Booysen (2013),


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha

kepuasan hidup dan kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang termasuk kedalam keluarga yang tidak fungsional. Selain itu, pada penelitian Keshvari et al. (2013) ditemukan bahwa individu yang memiliki well-being yang tinggi termasuk kedalam keluarga yang fungsional. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara Subjective Well-Being dengan fungsionalitas keluarga pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB - C Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara tiap dimensi fungsionalitas keluarga dan Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tiap dimensi fungsionalitas keluarga dan Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tiap dimensi fungsionalitas keluarga dan Subjective Well-Being (SWB) beserta faktor demografis yang mempengaruhinya pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis

 Memberikan informasi ke dalam bidang ilmu psikologi positif dan psikologi keluarga yang berkaitan dengan Subjective Well-Being (SWB) dan fungsionalitas keluarga.


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai fungsionalitas keluarga dan Subjective Well-Being (SWB).

1.4.2.Kegunaan Praktis

Memberikan informasi mengenai Subjective Well-Being (SWB) kepada para ibu, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan Subjective Well-Being (SWB).

 Memberikan informasi kepada para ibu, mengenai penghayatan terhadap fungsionalitas keluarga yang dimiliki oleh ibu. Diharapkan ibu dapat mempertahankan atau mengoptimalkan penghayatan terhadap tiap dimensi fungsionalitas keluarga dalam rangka mencapai Subjective Well-Being (SWB) yang tinggi.

1.5. Kerangka Pikir

Setiap keluarga memiliki strategi dan aturan yang unik, yang akan mempengaruhi pola interaksi di dalam keluarga. Strategi merupakan metode dan prosedur spesifik yang digunakan di dalam keluarga untuk melakukan tugas-tugasnya. Strategi untuk mengelola urusan rumah tangga pada keluarga yang memiliki anak normal akan sangat berbeda dengan keluarga yang memiliki anak dengan disabilitas tertentu. Kelahiran anak disabilitas dapat membawa perubahan-perubahan yang sulit dalam dinamika keluarga. Hal ini didukung dengan penelitian Keogh, Garnier, Bernheimer, dan Gallimore yang mengungkapkan bahwa kehadiran anak disabilitas dalam suatu keluarga dapat mengubah rutinitas keluarga (Hallahan & Kauffman, 2006). Salah satu jenis disabilitas adalah disabilitas intelektual.

Orang tua yang memiliki anak disabilitas intelektual membutuhkan keterampilan khusus dalam menangani anak, khususnya mengenai perawatan personal, manajemen perilaku adaptif dan medis, finansial, dan sosial (McCarthy et al 2006, dalam Kishore 2011). Meskipun kebutuhan ini juga dimiliki oleh orang tua yang memiliki anak normal, namun frekuensi dan


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha

intensitas orang tua yang memiliki anak disabilitas intelektual sangat khusus dan berbeda dari orang tua yang memiliki anak normal (Kishore, 2011). Menurut Beckman et al (1991, dalam Hastings 2005), keberadaan anak di dalam lingkungan keluarga, dihayati secara berbeda oleh ibu dan ayah. Umumnya, ayah mengalami stres yang lebih rendah serta mengalami sedikit masalah kesehatan mental dibandingkan dengan ibu.

Keterbatasan yang dimiliki oleh anak disabilitas intelektual dapat membuat keluarga, khususnya ibu mengalami ketegangan fisik dan emosional. Dalam mengatasi ketegangan fisik dan emosional yang terjadi, maka dibutuhkan adanya pembagian peran yang seimbang pada tiap anggota keluarga dalam menjalankan tugas-tugasnya. Untuk mengetahui peran yang dimainkan oleh anggota keluarga serta sikap dan perilaku yang ditampilkan saat bersama dengan anggota keluarga, maka dibutuhkan pengukuran mengenai Fungsionalitas Keluarga.

Fungsionalitas keluarga menurut McMaster Model of Family Functioning (MMFF) diartikan sebagai suatu keadaan dalam keluarga dimana setiap unit dari keluarga mampu menjalankan dengan baik tugas-tugas dasar dalam kehidupan keseharian di keluarga. Pada MMFF, terdapat enam dimensi yang dianggap dapat menggambarkan fungsionalitas suatu keluarga. Adapun keenam dimensi tersebut adalah penyelesaian masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku. Ibu yang memiliki penghayatan bahwa keluarganya dapat memenuhi fungsinya seperti menyediakan materi dan dukungan emosional bagi para anggota keluarga, hal ini dapat mendorong kesejahteraan dan pertumbuhan ibu. Sebaliknya, kurang tersedianya situasi keluarga yang fungsional dari keluarga berhubungan dengan kerentanan yang lebih besar terhadap kesehatan fisik dan psikologis yang buruk.

Kehadiran anak disabilitas intelektual membuat tiap anggota keluarga khususnya ibu lebih memprioritaskan waktu serta tenaga untuk mengasuh anak. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh anak dalam bentuk fungsi intelektual serta adaptif yang


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha

menyebabkan anak membutuhkan waktu, perhatian, serta bantuan untuk mengurus keperluan sehari-hari seperti kegiatan makan, berpakaian, mandi, buang air kecil, buang air besar, dan sebagainya. Perhatian khusus yang diberikan oleh ibu kepada anak disabilitas intelektual tidak selalu dipandang sebagai hal yang positif oleh anggota keluarga lainnya, hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan, seperti adanya kecemburuan dari anggota keluarga lain, adanya perasaan malu memiliki anggota keluarga disabilitas intelektual, serta adanya pemikiran bahwa anak disabilitas intelektual tidak dapat menjadi kebanggan keluarga.

Adanya persepsi negatif dari anggota keluarga akan menjadi beban tambahan bagi ibu yang dapat membuat ibu semakin merasa terpuruk dengan kondisi yang dialaminya saat ini. Sebaliknya, ketika anggota keluarga mampu menerima kenyataan bahwa terdapat satu anggota keluarga yakni anak disabilitas intelektual di dalam kehidupannya, maka ibu dapat bersikap lebih optimis dalam memandang kondisi yang dialaminya saat ini. Beratnya tantangan serta lamanya waktu yang dibutuhkan dalam mengasuh anak disabilitas intelektual memiliki dampak negatif yang signifikan well-being yang rendah pada orang tua, khususnya figur ibu (Beighton & Wills, 2016). Salah satu teori yang berkaitan dengan well-being adalah

Subjective Well-Being (SWB).

Subjective Well-Being (SWB) adalah semua jenis evaluasi, baik kognitif maupun

afektif, yang dibuat individu atas hidupnya. Subjective Well-Being (SWB) dapat dilihat dari dua komponen yakni komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif adalah kepuasan hidup, sedangkan komponen afektif dibagi menjadi afek positif dan afek negatif.

Aspek pertama adalah kepuasan hidup yang menunjukkan seberapa puas ibu terhadap kehadiran anak disabilitas intelektual di dalam kehidupannya, yang dilihat berdasarkan adanya penerimaan oleh ibu secara apa adanya mengenai kondisi saat ini, ibu memiliki pandangan optimis dalam menghadapi masa depan, serta seberapa puas ibu terhadap relasi sosialnya. Diener & Diener (2008) menyatakan bahwa salah satu karakteristik pada individu


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha

dengan kepuasan hidup yang tinggi biasanya memiliki keluarga dan teman dekat yang mendukung serta hubungan yang dekat dengan pasangan. Oleh karena itu, relasi ibu dengan lingkungan terutama keluarga sebagai lingkungan terdekat merupakan aspek terpenting dalam membangun kepuasan hidup pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung.

Aspek kedua adalah afek positif. Afek positif merupakan bagian dari Subjective

Well-Being (SWB), dikarenakan hal tersebut menggambarkan reaksi ibu yang memiliki anak

disabilitas intelektual terhadap setiap peristiwa yang pernah dialami dalam hidupnya, dan juga menggambarkan bahwa ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual merasa bahwa hidupnya berlangsung menyenangkan. Afek positif adalah seberapa sering ibu mengahayati emosi menyenangkan seperti perasaan bersemangat, senang, bangga, bahagia, serta antusias semenjak hadirnya anak disabilitas intelektual di dalam kehidupannya. Selain itu, afek positif adalah seberapa sering ibu menghayati emosi menyenangkan terhadap lingkungan sekitar, seperti keluarga inti, orang tua dan guru di SLB – C Bandung, tetangga, serta lingkungan baru yang ia temui. Afek positif juga melibatkan reaksi positif terhadap aktivitas-aktivitas, misalnya ibu memiliki minat untuk mengikuti kegiatan di luar aktivitas sekolah, seperti seminar tentang disabilitas intelektual, serta minat dalam menjalankan kegiatan di waktu luang yang ibu gemari.

Kumar (2008) mengungkapkan bahwa ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual lebih mudah mengalami stres psikologis dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak normal. Melalui afek positif, ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual dapat mengembalikan kondisi psikologisnya ke kondisi awal, dengan cara mengurangi perasaan negatif atas peristiwa tidak menyenangkan yang dihadapinya. Menurut Barbara Fredickson, afek positif dapat menuntun individu untuk mencari dan membangun suatu relasi, berpikir lebih kreatif, serta menunjukkan rasa ingin tahu dan minat terhadap kegiatan baru (Diener &


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha

Robert B.D., 2008). Dengan demikian, ibu yang memiliki afek positif tinggi, dapat menjalin relasi baik dengan ibu lain yang juga memiliki anak disabilitas intelektual, maupun individu lain pada umumnya, sehingga ibu diharapkan dapat mengeksplorasi dirinya untuk menjalankan suatu kegiatan yang efektif dalam kesehariannya, disamping mengurus anak yang mengalami disabilitas intelektual.

Aspek ketiga adalah afek negatif yang meliputi suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, serta mewakili respon negatif ibu terhadap peristiwa yang dialaminya, dalam hal ini peristiwa ketika adanya anak disabilitas intelektual di dalam kehidupannya, serta respon negatif terhadap lingkungan sekitar dan aktivitas. Afek negatif adalah seberapa sering ibu menghayati emosi yang tidak menyenangkan semenjak hadirnya anak disabilitas intelektual di dalam kehidupannya, terhadap lingkungan sekitar, serta aktivitas dan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Bentuk dari emosi negatif yaitu rasa bersalah, kesedihan, kecemasan, kekhawatiran, serta mudah tersinggung. Pada dasarnya, memiliki emosi negatif dapat berguna untuk memotivasi ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual untuk membuat suatu perubahan dalam hidupnya, namun hal ini akan menjadi suatu masalah apabila ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual derajat emosi negatifnya lebih tinggi dibandingkan emosi positif. Selain itu, afek negatif dapat menjadi umpan balik mengenai kualitas hidup individu (Diener & Diener, 2008). Oleh karena itu, afek negatif juga penting bagi ibu yang anaknya mengalami disabilitas intelektual, karena dengan begitu ibu dapat mengintrospeksi dirinya mengenai kehidupan yang sudah dijalani agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Keluarga memiliki tantangan tersendiri ketika tinggal bersama dengan anggota keluarga yang mengalami disabilitas intelektual, antara lain adanya tuntutan perawatan yang sangat berat seperti kegiatan terapi dan lainnya, adanya perubahan dalam kualitas hubungan antar anggota keluarga, adanya kekhawatiran akan masa depan dan pendidikan, serta adanya


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha

kesulitan keuangan. Menurut Bailey et al (1992, dalam Mash & Barkley, 2003) ibu lebih menekankan pada dukungan sosial-emosional, informasi mengenai kondisi anak, dan tempat terapi anak, sementara ayah lebih memfokuskan pada kondisi keuangan yang dibutuhkan untuk anak. Fokus perhatian yang dimiliki oleh ibu membuat dirinya diharuskan untuk terjun langsung dalam kegiatan anak sehari-hari, oleh karena itu dibutuhkan dukungan yang optimal dari anggota keluarga lainnya dalam menjalankan fungsinya sebagai keluarga secara fungsional.

Ketika ibu dan keluarga inti dihadapkan pada masalah sehari-hari serta masalah emosional, ibu yang memiliki penghayatan bahwa penyelesaian masalah dalam keluarga efektif, dalam proses penyelesaian masalah ibu dan keluarga inti dapat mengidentifikasi masalah yang terjadi, menemukan solusi masalah, serta mengevalasi solusi tersebut. Melalui penghayatan mengenai kemampuan diri dan keluarga inti dalam penyelesaian masalah yang efektif, maka ibu akan merasa beban hidupnya berkurang. Hal ini dikarenakan masalah yang dimiliki oleh keluarga dapat diselesaikan secara efektif, sehingga diharapkan keluarga juga dapat menyelesaikan masalah-masalah lainnya. Ibu memiliki pandangan bahwa kehidupannya berjalan sesuai dengan yang ia inginkan, ibu menjadi lebih optimis untuk menghadapi masa depan bersama dengan keluarga inti. Selain itu, ibu lebih sering merasa senang dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Sebaliknya, ketika ibu menghayati bahwa penyelesaian masalah dalam keluarga tidak efektif, dalam proses penyelesaian masalah ibu dan keluarga inti tidak dapat memahami inti masalah serta melakukan evaluasi mengenai proses penyelesaian masalah yang dilakukan. Melalui penghayatan tersebut, maka ibu akan merasa bahwa beban ibu bertambah, mengingat ibu juga memiliki tanggung jawab lainnya yakni sebagai ibu rumah tangga dan mengasuh anak disabilitas intelektual. Dikarenakan masalah keluarga tidak dapat diselesaikan secara efektif, ibu memiliki pandangan bahwa dirinya dan keluarga inti akan mengalami kesulitan


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha

ketika dihadapkan pada masalah-masalah lainnya. Ibu memiliki pemikiran bahwa kehidupannya saat ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan, sehingga ibu cenderung tidak dapat menerima kondisinya saat ini, serta ibu didominasi oleh rasa bersalah, khawatir, serta emosi negatif lainnya terkait dengan kehidupannya.

Ibu yang memiliki penghayatan bahwa komunikasi dengan keluarga inti efektif, ibu dan keluarga inti dapat saling mengemukakan pendapat dan dapat saling mengerti ketika anggota keluarga lainnya sedang emosional. Melalui penghayatan ibu mengenai kemampuan komunikasi dirinya dan keluarga inti efektif, maka ibu akan beranggapan bahwa tiap anggota keluarga dapat saling jujur dan terbuka mengenai hal yang dialaminya saat ini, dengan begitu ibu memiliki pandangan bahwa tiap anggota keluarga dapat saling bekerja sama dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, termasuk untuk mengurus keperluan rumah tangga. Hal ini membuat ibu beranggapan bahwa kehidupannya saat ini sudah sesuai dengan yang diharapkan, ibu menjadi lebih antusias untuk menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga dan dalam menjalani aktivitas lainnya.

Sebaliknya, ketika ibu menghayati bahwa komunikasi dengan keluarga inti tidak efektif, ibu dan keluarga inti tidak memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat secara terbuka, serta tidak adanya pengertian dari tiap anggota keluarga ketika terdapat salah satu anggota keluarga yang sedang emosional. Melalui penghayatan tersebut, maka ibu akan menghayati bahwa tiap anggota keluarga tidak dapat berdiskusi, serta memahami apa yang diinginkan oleh tiap anggota keluarga satu sama lain. Hal ini akan berdampak pada penghayatan ibu mengenai kehidupannya, ibu memiliki pandangan bahwa dirinya tidak memiliki relasi keluarga yang erat sesuai dengan yang diharapkan. Ibu tidak dapat sharing mengenai kegiatannya sehari-hari dengan anggota keluarga, sehingga ibu lebih menutup diri dengan keluarga dan lingkungan sekitar.


(29)

19

Universitas Kristen Maranatha

Ibu yang memiliki penghayatan bahwa peran ibu dan keluarga inti efektif, ibu dan keluarga inti memiliki pembagian tugas yang jelas dan merata dalam kesehariannya, serta dilakukannya evaluasi atas setiap tugas yang sudah dibagikan. Melalui penghayatan ibu tersebut, maka ibu akan beranggapan bahwa tugas-tugas yang ada di dalam lingkungan keluarga tidak hanya menjadi beban ibu sebagai pengasuh utama, namun juga menjadi tanggung jawab tiap anggota keluarga. Selain itu, ibu juga dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga serta menjalankan aktivitasnya sehari-hari secara efektif, dikarenakan adanya pembagian peran yang seimbang oleh keluarga inti. Hal ini akan membuat ibu merasa bahwa kehidupannya saat ini sudah sesuai dengan yang ia harapkan, sehingga ibu tidak memiliki keinginan untuk mengubah jalan hidupnya dan lebih optimis untuk menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu ibu juga akan merasa bahagia dan enjoy dalam menjalani perannya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan dalam menjalani aktivitas lainnya.

Sebaliknya, ibu yang menghayati bahwa peran ibu dan keluarga inti tidak efektif, ibu dan keluarga inti tidak memiliki pembagian tugas yang jelas di dalam kehidupan keluarga, serta tidak adanya evaluasi terhadap setiap tugas yang sudah dibagikan. Penghayatan ibu mengenai ketidakefektifan dirinya dan keluarga inti dalam pembagian peran, membuat ibu memiliki anggapan bahwa tugas-tugas di dalam keluarga merupakan tanggung jawab utama ibu, dan anggota keluarga lainnya tidak turut memikirkan tanggung jawab yang harus dijalankan dalam mengurus keperluan rumah tangga. Situasi ini dapat menyebabkan ibu menghayati bahwa dirinya memiliki aktivitas yang terbatas. Dalam kesehariannya, waktu dan tenaga ibu digunakan sepenuhnya untuk mengasuh anak, serta menjalankan tugas lainnya, sehingga ibu tidak dapat menjalankan aktivitas lain serta tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga secara efektif. Hal ini akan membuat ibu beranggapan bahwa apa yang terjadi dengan dirinya saat ini merupakan suatu kesalahan, ibu memiliki keinginan untuk mengubah


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha

kehidupannya dan memiliki kecenderungan untuk kurang mensyukuri hal-hal yang terjadi dalam kehidupannya saat ini. Selain itu, ibu diliputi oleh perasaan bersalah, dikarenakan dirinya tidak dapat menjalani peran sebagai seorang ibu sebagaimana mestinya.

Ketika ibu dan keluarga inti dihadapkan pada situasi yang membutuhkan respon tertentu, ibu yang memiliki penghayatan bahwa dirinya dan keluarga inti mampu memberikan respon afektif secara efektif, ibu dan anggota keluarga lainnya dapat menunjukkan kasih sayang satu sama lain, selain itu juga dapat mengekspresikan emosi seperti menangis, marah, dan sebagainya dihadapan anggota keluarga lainnya secara terbuka. Dengan adanya penghayatan ibu mengenai responsivitas afektif keluarga yang efektif, maka ibu beranggapan bahwa kehidupannya saat ini merupakan rencana yang sudah ditentukan oleh Tuhan bagi dirinya dan keluarga, sehingga ibu dapat menerima setiap kondisi yang dialami dengan lapang dada. Selain itu, ibu merasa antusias untuk menjalani aktivitasnya sehari-hari, terutama dalam hal pengekspresian diri dihadapan anggota keluarga inti lainnya.

Sebaliknya, ketika ibu menghayati bahwa dirinya dan keluarga inti tidak mampu memberikan respon afektif secara efektif, maka dalam kesehariannya tiap anggota keluarga tidak dapat menunjukkan ekspresi emosi serta bentuk kasih sayang kepada anggota keluarga lainnya. Dengan begitu, ibu memiliki penghayatan bahwa kondisi ini menimbulkan masalah tersendiri baik dalam lingkungan keluarga, maupun kehidupannya pribadi. Ibu tidak menerima bentuk perhatian dari anggota keluarga lain, sehingga apabila ibu diberikan kesempatan untuk mengulang kehidupannya, maka ibu akan memilih jalan tersebut. Selain itu, ibu memiliki kecenderungan untuk didominasi oleh perasaan kecewa dan menjadi pribadi yang tertutup, terutama dihadapan anggota keluarga inti.

Ibu yang memiliki penghayatan bahwa dirinya dan keluarga inti mampu menunjukkan ketertarikan terhadap aktivitas atau minat anggota keluarga lain secara efektif, ibu dan keluarga inti menunjukkan rasa antusias dan sikap menghargai atas setiap aktivitas yang


(31)

21

Universitas Kristen Maranatha

dilakukan oleh tiap anggota keluarga. Penghayatan ibu yang efektif terhadap dimensi ini, membuat ibu menghayati bahwa keterlibatan tiap anggota keluarga memiliki dampak positif terhadap relasi keluarga itu sendiri. Hal ini membuat ibu tertantang untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari yang sebelumnya, dikarenakan adanya dukungan yang diberikan oleh keluarga inti. Selain itu, ibu lebih merasa bersemangat dan termotivasi untuk mengembangkan diri serta menemukan minat yang diinginkan.

Sebaliknya, ibu yang menghayati bahwa dirinya dan keluarga inti tidak mampu menunjukkan ketertarikan dan penghargaan terhadap aktivitas serta minat yang ditunjukkan oleh tiap anggota keluarga, ibu dan keluarga inti tidak dapat menghargai atas aktivitas yang dilakukan oleh tiap anggota keluarga, masing-masing anggota keluarga terlalu mencampuri atau bahkan tidak sama sekali memiliki keinginan untuk terlibat dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota keluarga lain, termasuk anak disabilitas intelektual. Melalui penghayatan tersebut, ibu beranggapan bahwa masing-masing anggota keluarga menjadi acuh satu sama lain, terutama yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari serta minat dalam bidang tertentu. Dengan begitu, ibu merasa pesimis dan tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan diri lebih jauh, sehingga ibu tidak memiliki waktu khusus untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Ketika ibu dan keluaga inti dihadapkan pada situasi yang membahayakan secara fisik serta situasi yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari, ibu yang memiliki penghayatan bahwa kontrol perilaku ibu dan keluarga inti efektif, dapat menetapkan standar perilaku sehari-hari, menetapkan aturan secara logis, serta menampilkan perilaku yang fleksibel. Ibu menghayati bahwa keluarga inti dapat melibatkan seluruh anggota keluarga untuk turut bertindak secara logis dan rasional ketika dihadapkan pada setiap situasi, yang disesuaikan dengan kemampuan tersebut. Ibu beranggapan bahwa dirinya dapat menampilkan perilaku


(32)

22

Universitas Kristen Maranatha

sesuai dengan yang ia harapkan, ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Selain itu, ibu lebih sering merasa aman dan nyaman dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

Sebaliknya, ibu yang menghayati kontrol perilaku ibu dan keluarga inti tidak efektif, ibu dan keluarga inti kurang mampu mengendalikan setiap situasi yang terjadi. Keluarga inti tidak memiliki aturan yang jelas sehingga mengalami kebingungan ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Ibu merasa bahwa dirinya terlalu disibukkan untuk menjalani aktivitas tertentu, sehingga tidak terlatih untuk berhadapan dengan situasi lainnya yang terjadi. Hal ini membuat ibu memiliki pandangan bahwa apa yang terjadi dalam kehidupannya tidak sesuai dengan yang ia inginkan, lalu ibu mengalami kegelisahan dalam mengahadapi situasi yang baru ditemui, ibu tidak menganggap hal tersebut sebagai tantangan hidup, melainkan masalah baru yang tidak bisa diatasi secara efektif.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Subjective Well-Being, salah satunya adalah faktor demografis. Faktor demografis yang dijaring dalam penelitian ini terdiri dari usia, pekerjaan, dan status pernikahan. Bradburn & Caplovitz (1965, dalam Diener, 1984) mengungkapkan bahwa individu yang tergolong lebih muda, lebih bahagia dibandingkan dengan individu yang lebih tua. Pada penelitian lainnya, ditemukan bahwa pekerjaan berhubungan dengan Subjective Well-Being karena pekerjaan menawarkan stimulasi yang optimal bagi individu untuk menemukan kesenangan, serta menemukan hubungan sosial yang positif (Eddington & Shuman, 2005). Selain itu, survei dalam skala besar menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki Subjective Well-Being yang lebih tinggi daripada yang belum pernah menikah, bercerai, berpisah, atau berstatus janda.

Berdasarkan uraian diatas, maka secara skematik dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran sebagai berikut :


(33)

23

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

1.6. Asumsi Penelitian

1. Ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung memiliki penghayatan mengenai fungsionalitas keluarga yang ditentukan berdasarkan dimensi penyelesaian masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, serta kontrol perilaku.

Ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di

SLB – C Bandung

Penghayatan ibu tentang Dimensi Fungsionalitas

Keluarga

Peran Komunikasi Penyelesaian Masalah

Responsivitas Afektif

Keterlibatan Afektif

Kontrol Perilaku

Subjective Well Being

(SWB)  Kepuasan Hidup  Afek Positif  Afek Negatif

Faktor Demografis  Usia

 Pekerjaan


(34)

24

Universitas Kristen Maranatha

2. Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di

SLB – C Bandung diukur melalui aspek: kepuasan hidup, afek positif, dan afek negatif.

3. Ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung memiliki penghayatan tentang fungsionalitas keluarga dan Subjective Well-Being (SWB) yang bervariasi.

4. Penghayatan ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung mengenai fungsionalitas keluarga berhubungan dengan Subjective Well-Being (SWB).

1.7. Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan yang positif antara dimensi penyelesaian masalah dan Subjective

Well-Being (SWB).

Terdapat hubungan yang positif antara dimensi komunikasi dan Subjective Well-Being (SWB).

Terdapat hubungan yang positif antara dimensi peran dan Subjective Well-Being (SWB).

Terdapat hubungan yang positif antara dimensi responsivitas afektif dan Subjective

Well-Being (SWB).

Terdapat hubungan yang positif antara dimensi keterlibatan afektif dan Subjective

Well-Being (SWB).

Terdapat hubungan yang positif antara dimensi kontrol perilaku dan Subjective


(35)

71 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai hubungan antara Fungsionalitas Keluarga dan Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

- Dari keenam dimensi fungsionalitas keluarga, ditemukan bahwa terdapat dua dimensi yang berkorelasi positif dan signifikan dengan Subjective Well-Being (SWB) yaitu penyelesaian masalah, dan komunikasi.

- Ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara dimensi peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku dengan Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung.

- Pada penelitian ini, faktor demografis yang memiliki kecenderengan keterkaitan dengan Subjective Well-Being (SWB) adalah usia, pekerjaan, dan status pernikahan.

5.2Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai hubungan antara Fungsionalitas Keluarga dan Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut : 5.2.1 Saran Teoretis

1. Bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya memfokuskan pada satu SLB – C. Hal ini dikarenakan setiap SLB – C memiliki suasana dan karakteristik yang berbeda-beda, sehingga akan memengaruhi hasil penelitian.


(36)

72

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis

1. Ketika ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung sedang menghadapi suatu masalah dengan keluarga inti, diharapkan ibu dapat melakukan

brainstorming atau diskusi dengan keluarga inti lainnya. Hal ini dilakukan dengan

cara mengenali masalahnya, bermusyawarah mengenai tindakan yang harus dilakukan, serta melakukan evaluasi mengenai proses penyelesaian masalah tersebut.

2. Ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung diharapkan dapat menyampaikan informasi maupun pendapat yang dimiliki pada anggota keluarga lainnya secara jelas dan langsung mengenai inti masalah. Dengan begitu, diharapkan anggota keluarga lainnya juga dapat menjalin komunikasi yang efektif satu sama lain.

3. Memberikan infomasi kepada ibu bahwa ketika ibu menghayati bahwa keluarga inti mampu menyelesaikan masalah dan berkomunikasi secara efektif, ibu dapat menjalani kehidupan sehari-hari, menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, serta mengasuh anak yang mengalami disabilitas intelektual secara efektif.

4. Ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung diharapkan dapat mengikuti aktivitas tertentu, terutama aktivitas produktif, dalam rangka meningkatkan Subjective Well-Being (SWB) ibu.


(37)

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI FUNGSIONALITAS KELUARGA

DAN SUBJECTIVE WELL-BEING (SWB) PADA IBU YANG MEMILIKI

ANAK DISABILITAS INTELEKTUAL DI SLB-C BANDUNG

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Oleh:

Arfa Tiara Shafanisa

NRP:1130139

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG


(38)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih-Nya yang besar, peneliti mampu menyelesaikan Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Peneliti menyadari bahwa tugas akhir yang telah disusun ini belum sempurna. Oleh karena itu, besar harapan peneliti kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penelitian tugas akhir ini.

Dalam melakukan penyusunan skripsi ini, peneliti menerima bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Eveline Sarintohe, M.Si. selaku dosen wali yang sudah bersedia membimbing ketika sedang perwalian.

3. Dra. Sianiawati S. Hidayat, M.Psi., Psikolog dan Robert Oloan Rajagukguk, Ph.D selaku dosen penguji seminar yang sudah bersedia memberikan masukan kepada peneliti berkaitan dengan topik penelitian.

4. Dra. Endeh Azizah, M. Si, Psikolog dan Evi Ema V.P., M.A, selaku dosen pembimbing yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan dukungan serta arahan kepada peneliti.

5. Guru pengajar serta ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung yang sudah bersedia mengisi kuesioner penelitian.


(39)

vi

7. Teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, khususnya Elsa, Cintya, Sheila, Diva, Jully, Dedew, Hanna, Cia, Alit, Nadia, dan Melina, terimakasih atas bantuan, saran, dan dorongannya kepada peneliti.

Akhir kata peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.

Bandung, Januari 2017


(40)

73 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Batsham, Mark L. et al. 2007. Children with disabilities six edition. Boltimove, Maryland : Paul H Brookes Publishing Co.

Beighton, C., & Wills, Jane. (2016). Are parents identifying positive aspects to parenting their child with an intellectual disability or are they just coping? A qualitative exploration.

Sage Publications.

Botha, Ferdi & Boosyen, Frikkie. (2013). Family functioning and life satisfaction and happiness in south african households. Springer Link, Vol 199, Issue 1, pp 163 – 182. Bray, James H. (1995). Family assessment : current issues in evaluating families. Questia

Trusted Online Research.

Chandorkar, Hemant., & Chakraborty, PK. (2000). Psychological morbidity of parents of mentally retarded children. Indian Psychiatric Society, Vol. 42 Issue 3, 271-274.

Cohen, M. A. (1982). Impact of a handicapped child on the family. Yale-New Haven Teachers

Institute, Vol. 6. Diakses pada 8 Maret 2012 dari http://www.yale.edu/ynhti/curriculum/units/1982/6/82.06.08.x.html.

DeFrain, J., Asay, S. M., Olson, D. (2009). Family functioning. “Encyclopedia of Human Relationships. Ed. SAGE Reference Online, 622 – 627.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.

, Scollon, E., & Lucas, R. (1999). Subjective well being : three decades progress.

Psychological Bulletin, 127, 276 – 312.

(2000). Subjective well-being: The Science of happiness and proposal for a national index. American Psychologist, 55, 34-43.

, Lucas, R., Oishii, R. (2005). The satisfaction with life scale. Journal of

Personality Assessment, 49, 71 – 75.

, Robert B. D. 2008. Happiness: unlocking the mysteries psychological wealth. United Kingdom: Blackwell Publishing.

Epstein, Nathan B., Lawrence M. Baldwin., Duene S. Bishop. (1983). The mcmaster family assessment device. Journal of Marital and Family Therapy, Vol. 9 No. 2, 171-180. Epstein, N. B., Ryan, C.E., Bishop, D.S., Miller, I. W., & Keitner, G. I. (2003). The mcmaster

model : a view of healthy family functioning. In F. Walsh (Eds.). Normal family process

: Groring diversity and complexity (third edition) (pp. 581 – 607). New York : The Guildford Press.

. (2003). The mcmaster model : normal family processws


(41)

74

Universitas Kristen Maranatha

Fai Tam, Sing & Cheng, Andrew W. Y. (2005). Self-concepts of parents with a child of school age with severe intellectual disability. Sage Publications, Vol 9 (3) 253 – 268. Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological testing : design, analysis, and use. University of

North California, Ashville.

Guilford, J. P.. (1956). Fundamental statistic in psychology and education third edition. Tokyo : Mc. Graw Hill, Kogakushka Company, Ltd.

Hallahan, D. P. & Kauffman, J. P. 2006. Exceptional learners: Introduction to special

education (10 ed). United States: Pearson Education, Inc.

Hastings, Richard P, et al. (2005). Positive contributions made by children with an intellectual disability in the family : Mothers and fathers perceptions. Sage Publications, Vol. 9 (2), 155 – 165

Heward, W.L. 2006. Excerpt form exceptional children an introduction to special

education.Merill, Perason Education Inc.

Karasavvidis, Sarvas. (2011). Mental retardation and parenting stress. International Journal

and Caring Sciences, Vol. 4 Issue 1.

Keshvsari, et al. (2013). The relationship between family function and women’s well-being.

Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research, Vol 18 (1) : 9 – 13.

Kishore, M. Thimas. (2011). Disability impact and coping in mothers of children with intellectual disabilities and multiple disabilities. Sage Publications, Vol 15 (4) 241 – 251.

Kumar, G. V. (2008). Psychological stress and coping strategies of the parent of mentally challenged children. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 34 (2), 227 – 231.

Loutzenhiser, L. (2001). Risk, family functioning, and child competence in head start families. Saskaton : University of Saskatchwean.

Margalit, Malka., & Amiram Raviv. (1983). Mother’s Perception of Family Climate in Families with a Retarded Child. Tel Aviv University, Vol. 30 Issue 2, 163-169.

Mash, Eric J. 2005. Abnormal child psychology third edition. Belmont, USA : Thomson Wadsworth.

Mash, Eric J & Barkley, Russel A. 2003. Child psychopathology second edition. New York : The Guilford Press.

Olsson, M.B. & C.P. Hwang. (2001). Depression in mothers and fathers of children with intellectual disability. Journal of Inttelctual Disability Research, Vol. 45 Part 6, 535 – 543.


(42)

75

Universitas Kristen Maranatha

Miller, I. W., Ryan, C.E., Keiter, G. I., Bishop, D.S., & Epstein, N.B. (2000). The mcmaster approach to families. Theory, assessment, treatment, and research. Journal of Family

Therapy, 22, 168 – 189.

Rosenberg, M.S, et al. 2008. Excerpt from Special Education for Today’s Teacher : An Introduction. Pearson Education, Inc.

Somantri, Dr. T. Sutjihati, M.Si. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT Refika Aditama.

Slaughter, S.S. 1960. The Mentally Retarded Child and his parent. New York: Harper & Brothers Publishers.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. . 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, kuakitatif, dan kombinasi (mixed methods).


(43)

76

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Alwiyah, Fitri.(2012). Hubungan antara keberfungsian keluarga dan resiliensi pada ibu yang

memiliki anak autistic spectrum disorder. Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Disabled World towards tommorow. (2016). Definition : Defining the Meaning of ICF. Diunduh dari : (https:www.disabled-world.com/disability/types/, diakses 23 November 2016).

Kanita (2015). Hubungan antara work family conflict dan subjective well being oada perawat

di rumah sakit X Bandung. Skripsi. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Karsiyati. (2012). Hubungan resiliensi dan keberfungsian keluarga pada remaja pecandu

narkoba yang sedang menjalani pemulihan. Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Kusumawardhani, Sri Juwita. (2012). Efektivitas acceptance commitment therapy dalam

rangka meningkatkan subjective well being pada dewasa muda pasca putusnya hubungan pacaran. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Pilusa, F.N. (2006). The Impact of Mental Retardation on Family Functioning (Disertasi). Diunduh dari http://www.repository.up.ac.za. (20 Juni 2015).

Rozala, Ria. (2012). Hubungan antara Family Functioning dan Psychology Well-Being pada

Ibu dari anak autis di usia kanak-kanak menengah. Skripsi. Jakarta : Universitas

Indonesia.

Rusdian, Cynthia. (2012). Hubungan antara psychological well-being dan keterlibatan orang

tua dalam pendidikan anak disabilitas intelektual usia kanak-kanak (4-11 tahun).

Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Tula, Jerry. J. (2015). Pelayanan penyandang disabilitas dalam menggunakan berbagai

sarana aksebilitas. Diunduh dari : (http:www.kemsos.go.id./modules/php?name=News&file=article&sid=18765, diakses 23 November 2016).


(1)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih-Nya yang besar, peneliti mampu menyelesaikan Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Peneliti menyadari bahwa tugas akhir yang telah disusun ini belum sempurna. Oleh karena itu, besar harapan peneliti kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penelitian tugas akhir ini.

Dalam melakukan penyusunan skripsi ini, peneliti menerima bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Eveline Sarintohe, M.Si. selaku dosen wali yang sudah bersedia membimbing ketika sedang perwalian.

3. Dra. Sianiawati S. Hidayat, M.Psi., Psikolog dan Robert Oloan Rajagukguk, Ph.D selaku dosen penguji seminar yang sudah bersedia memberikan masukan kepada peneliti berkaitan dengan topik penelitian.

4. Dra. Endeh Azizah, M. Si, Psikolog dan Evi Ema V.P., M.A, selaku dosen pembimbing yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan dukungan serta arahan kepada peneliti.

5. Guru pengajar serta ibu yang memiliki anak disabilitas intelektual di SLB – C Bandung yang sudah bersedia mengisi kuesioner penelitian.


(2)

7. Teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, khususnya Elsa, Cintya, Sheila, Diva, Jully, Dedew, Hanna, Cia, Alit, Nadia, dan Melina, terimakasih atas bantuan, saran, dan dorongannya kepada peneliti.

Akhir kata peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.

Bandung, Januari 2017


(3)

73 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Batsham, Mark L. et al. 2007. Children with disabilities six edition. Boltimove, Maryland : Paul H Brookes Publishing Co.

Beighton, C., & Wills, Jane. (2016). Are parents identifying positive aspects to parenting their child with an intellectual disability or are they just coping? A qualitative exploration.

Sage Publications.

Botha, Ferdi & Boosyen, Frikkie. (2013). Family functioning and life satisfaction and happiness in south african households. Springer Link, Vol 199, Issue 1, pp 163 – 182. Bray, James H. (1995). Family assessment : current issues in evaluating families. Questia

Trusted Online Research.

Chandorkar, Hemant., & Chakraborty, PK. (2000). Psychological morbidity of parents of mentally retarded children. Indian Psychiatric Society, Vol. 42 Issue 3, 271-274.

Cohen, M. A. (1982). Impact of a handicapped child on the family. Yale-New Haven Teachers

Institute, Vol. 6. Diakses pada 8 Maret 2012 dari

http://www.yale.edu/ynhti/curriculum/units/1982/6/82.06.08.x.html.

DeFrain, J., Asay, S. M., Olson, D. (2009). Family functioning. “Encyclopedia of Human

Relationships. Ed. SAGE Reference Online, 622 – 627.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.

, Scollon, E., & Lucas, R. (1999). Subjective well being : three decades progress.

Psychological Bulletin, 127, 276 – 312.

(2000). Subjective well-being: The Science of happiness and proposal for a national index. American Psychologist, 55, 34-43.

, Lucas, R., Oishii, R. (2005). The satisfaction with life scale. Journal of

Personality Assessment, 49, 71 – 75.

, Robert B. D. 2008. Happiness: unlocking the mysteries psychological wealth. United Kingdom: Blackwell Publishing.

Epstein, Nathan B., Lawrence M. Baldwin., Duene S. Bishop. (1983). The mcmaster family assessment device. Journal of Marital and Family Therapy, Vol. 9 No. 2, 171-180. Epstein, N. B., Ryan, C.E., Bishop, D.S., Miller, I. W., & Keitner, G. I. (2003). The mcmaster

model : a view of healthy family functioning. In F. Walsh (Eds.). Normal family process

: Groring diversity and complexity (third edition) (pp. 581 – 607). New York : The

Guildford Press.

. (2003). The mcmaster model : normal family processws


(4)

74

Fai Tam, Sing & Cheng, Andrew W. Y. (2005). Self-concepts of parents with a child of school age with severe intellectual disability. Sage Publications, Vol 9 (3) 253 – 268. Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological testing : design, analysis, and use. University of

North California, Ashville.

Guilford, J. P.. (1956). Fundamental statistic in psychology and education third edition. Tokyo : Mc. Graw Hill, Kogakushka Company, Ltd.

Hallahan, D. P. & Kauffman, J. P. 2006. Exceptional learners: Introduction to special

education (10 ed). United States: Pearson Education, Inc.

Hastings, Richard P, et al. (2005). Positive contributions made by children with an intellectual disability in the family : Mothers and fathers perceptions. Sage Publications, Vol. 9 (2), 155 – 165

Heward, W.L. 2006. Excerpt form exceptional children an introduction to special

education.Merill, Perason Education Inc.

Karasavvidis, Sarvas. (2011). Mental retardation and parenting stress. International Journal

and Caring Sciences, Vol. 4 Issue 1.

Keshvsari, et al. (2013). The relationship between family function and women’s well-being.

Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research, Vol 18 (1) : 9 – 13.

Kishore, M. Thimas. (2011). Disability impact and coping in mothers of children with intellectual disabilities and multiple disabilities. Sage Publications, Vol 15 (4) 241 – 251.

Kumar, G. V. (2008). Psychological stress and coping strategies of the parent of mentally challenged children. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 34 (2), 227 – 231.

Loutzenhiser, L. (2001). Risk, family functioning, and child competence in head start families. Saskaton : University of Saskatchwean.

Margalit, Malka., & Amiram Raviv. (1983). Mother’s Perception of Family Climate in Families with a Retarded Child. Tel Aviv University, Vol. 30 Issue 2, 163-169.

Mash, Eric J. 2005. Abnormal child psychology third edition. Belmont, USA : Thomson Wadsworth.

Mash, Eric J & Barkley, Russel A. 2003. Child psychopathology second edition. New York : The Guilford Press.

Olsson, M.B. & C.P. Hwang. (2001). Depression in mothers and fathers of children with intellectual disability. Journal of Inttelctual Disability Research, Vol. 45 Part 6, 535 – 543.


(5)

75

Universitas Kristen Maranatha Miller, I. W., Ryan, C.E., Keiter, G. I., Bishop, D.S., & Epstein, N.B. (2000). The mcmaster

approach to families. Theory, assessment, treatment, and research. Journal of Family

Therapy, 22, 168 – 189.

Rosenberg, M.S, et al. 2008. Excerpt from Special Education for Today’s Teacher : An Introduction. Pearson Education, Inc.

Somantri, Dr. T. Sutjihati, M.Si. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT Refika Aditama.

Slaughter, S.S. 1960. The Mentally Retarded Child and his parent. New York: Harper & Brothers Publishers.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. . 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, kuakitatif, dan kombinasi (mixed methods).


(6)

76

DAFTAR RUJUKAN

Alwiyah, Fitri.(2012). Hubungan antara keberfungsian keluarga dan resiliensi pada ibu yang

memiliki anak autistic spectrum disorder. Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Disabled World towards tommorow. (2016). Definition : Defining the Meaning of ICF. Diunduh dari : (https:www.disabled-world.com/disability/types/, diakses 23 November 2016).

Kanita (2015). Hubungan antara work family conflict dan subjective well being oada perawat

di rumah sakit X Bandung. Skripsi. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Karsiyati. (2012). Hubungan resiliensi dan keberfungsian keluarga pada remaja pecandu

narkoba yang sedang menjalani pemulihan. Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Kusumawardhani, Sri Juwita. (2012). Efektivitas acceptance commitment therapy dalam

rangka meningkatkan subjective well being pada dewasa muda pasca putusnya hubungan pacaran. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Pilusa, F.N. (2006). The Impact of Mental Retardation on Family Functioning (Disertasi). Diunduh dari http://www.repository.up.ac.za. (20 Juni 2015).

Rozala, Ria. (2012). Hubungan antara Family Functioning dan Psychology Well-Being pada

Ibu dari anak autis di usia kanak-kanak menengah. Skripsi. Jakarta : Universitas

Indonesia.

Rusdian, Cynthia. (2012). Hubungan antara psychological well-being dan keterlibatan orang

tua dalam pendidikan anak disabilitas intelektual usia kanak-kanak (4-11 tahun).

Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Tula, Jerry. J. (2015). Pelayanan penyandang disabilitas dalam menggunakan berbagai

sarana aksebilitas. Diunduh dari :

(http:www.kemsos.go.id./modules/php?name=News&file=article&sid=18765, diakses 23 November 2016).