Keberpihakan Pemerintah Terhadap Pembiayaan untuk UMKM Sektor Pertanian.

Keberpihakan Pemerintah Terhadap Pembiayaan untuk UMKM
Sektor Pertanian
Tuti Karyani
Abstrak
Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu bagian penting
dalam perekonomian dan pembangunan nasional. Pertumbuhan sektor UMKM saat ini
nampak menggembirakan terlihat dari peranan dan kegiatan usaha sektor UMKM yang
meningkat sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Mengingat UMKM sebagai penggerak
perekonomian dan pembangunan nasional maka perlu adanya pemberdayaan sektor
tersebut. Kebijakan pemberdayaan sektor UMKM diarahkan untuk mendukung upayaupaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja dan
peningkatan ekspor. Hal ini sejalan dengan salah satu dari delapan tujuan Millenium
Development Goals yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Indonesia sebagai
salah satu negara yang ikut mendeklarasikan dan menyepakati tujuan MDGs, oleh karena
itu wajar bila pemerintah bersama-sama masyarakat mempunyai kewajiban untuk dapat
mewujudkan tujuan tersebut. Tujuan pembangunan milenium dapat dicapai salah satunya
dengan pemberdayaan sektor UMKM. Pemberdayaan UMKM untuk meningkatkan
perekonomian dan pembangunan nasional serta mewujudkan tujuan pembangunan
milenium salah satunya melalui adanya keberpihakan pemerintah terutama dalam
mengatasi kendala pembiyaan.
Latar Belakang
Harus diakui bahwa salah satu sektor yang menopang perekonomian Indonesia

adalah sektor UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah ) yang telah berkontribusi sebesar
57,6% terhadap PDB, dengan jumlah 53.823.732 unit usaha dan dapat menyerap tenaga
kerja + 97,22persen (BPS, 2012). Walaupun demikian bila dilihat dari nilai ekspor non
migasnya masih sangat rendah sekitar 15,81%. Kondisi ini disebabkan untuk memperluas
akses ke pasar internasional masih rendah karena pasar ekspor mensyaratkan produk
dengan kualitas yang tinggi yang dihasilkan oleh teknologi yang tepat. Teknologi hanya
bisa dijangkau bila tersedia modal, dan modal inilah yang ketersediaannya terbatas.

Hal

ini tercermin dari jumlah investasi yang timpang yaitu sebesar Rp 927.117,5 milyar untuk
53.823.723 unit usaha UMKM, sementara Rp 996.319,7 hanya untuk 4.838 unit usaha
besar.

1

Berdasarkan Susenas 2006 juga terungkap bahwa permasalahan keterbatasan modal
menunjukkan porsi terbesar yaitu mencapai 35,7%, yang disebabkan antara lain karena
ketidak mapuan UMKM mengakses modal dari lembaga keuangan formal, terutama untuk
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5Cs (

character, capacity, capital, collateral dan condition). Capital dan collateral adalah dua

faktor yang paling sulit dipenuhi. Selain masalah 5C‟s di atas, UMKM mengalami berbagai
masalah dalam memperoleh kredit bank, seperti bunga tinggi, jangkauan pelayanan bank
yang masih terbatas. Hal ini disadari oleh pemerintah dan telah berupaya sedemikian rupa
melakukan penyaluran skim-skim kredit untuk memenuhi kebutuhan UMKM seperti KUT,
KIK, KMKP, KKP, KPE-N dan KUR. Namun demikian kredit program ini nampaknya
hanya diminati oleh bank pemerintah untuk menyalurkannya.

Artinya bahwa fungsi

intermediasi lembaga keuangan (dalam hal ini „bank‟) dipengaruhi oleh kepemilikan bank.
Fungsi intermediasi
Fungsi intermediasi merupakan suatu aktivitas penting dalam perekonomian, karena

menimbulkan aliran dana dari pihak yang tidak produktif kepada pihak yang produktif
dalam mengelola dana dan akan membantu mendorong perekonomian menjadi lebih efisien
dan dinamis (Mishkin, 1999).
Bank adalah suatu lembaga yang lahir karena fungsinya sebagai agent of trust dan
agent development. Yang dimaksud sebagai agent of trust adalah suatu lembaga perantara


(intermediary) yang dipercaya untuk melayani segala kebutuhan dari dan untuk
masyarakat. Adapun sebagai agent of development bank adalah sebagai lembaga perantara
yang dapat mendorong kemajuan pembangunan melalui fasilitas kredit dan kemudahankemudahan pembayaran serta penarikan dalam proses transaksi yang dilakukan oleh para
pelaku ekonomi (Rimsky K Judisseno, 2002:94-95). Berdasarkan definisi tersebut bank
sebagai lembaga perantara dapat membawa dampak ekonomi yang sangat berarti seperti (1)
penghimpun dan penyalur dana, (2) mempermudah pembayaran, (3) peningkatan lapangan
kerja, (4) pemerataan penghasilan, dan (5) stabilitator pembangunan..
Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan salah satu indikator yang paling umum

dalam pengukuran intermediasi perbankan di Indonesia. standar besar tingkat LDR yanng
2

optimal adalah 75%-102%. Di Jabar Loan to Deposit Ratio (LDR) 83,10% masih di
bawah

LDR nasional 83,77% (BI, 2012)Adapun untuk bank syariah, fungsi

intermediasinya diindikasikan dari angka FDR (Financing Deposit Ratio) mencapai 95,34%
lebih tinggi dari bank konvensional.

Nampaknya ada hubungan antara LDR dengan kepemilikan sebagaimana hasil
penelitian Karyani (2011) menunjukkan bahwa bank pemerintah LDR-nya tertinggi di
ikuti oleh BPR, Bank swasta nasional serta bank asing+campuran.
Bila dilihat dari fungsi bank, maka bank sebagai agent of development jadi
dipertanyakan. Namun demikian, perlu difahami sebagai agent of trust bank memang
memiliki tanggungjawab atas keamanan titipan dana dari pihak penyimpan (kreditur),
sehingga penerapan prinsip kehati-hatian seperti 5C‟s masih tetap diutamakan. Keberadaan
collateral merupakan syarat yang paling sulit dipenuhi terutama oleh UMKM. Oleh karena
itu akibatnya penyerapan kredit program sulit untuk mencapai target. Sebagai contoh
pemerintah Jabar meluncurkan KCR atau Kredit Cinta Rakyat melalui BJB dengan tingkat
bunga 9,2%, namun kredit ini pun mengalami nasib yang sama tidak mencapai target
karena terganjal oleh persyaratan adanya „collateral‟. Untuk KUR, nampaknya agak lebih
baik nasibnya

karena sampai bulan Juli 2012 pengucurannya sudah mencapai Rp 17

Trilyun dari target Rp. 30 Trilyun (Kemenkop dan UKM, 2012). Secara keseluruhan
sebenarnya untuk Jawa Barat cukup menggembirakan karena petumbuhan kredit bank
umum konvensional pada triwulan IV-2012 tumbuh sebesar 27,04% atau mencapai
Rp203,36 triliun. Ada pun berdasarkan jenis penggunaannya, pertumbuhan kredit masih

didominasi kredit modal kerja (KMK) yang memiliki pangsa sebesar 45%., Kredit Investasi
42% dan Kredit Konsumsi 13% (Gambar 1 )

3

Gambar 1. Proporsi Jenis Penggunaan Kredit
Khusus kredit untuk UMKM di Jawa Barat

porsinya sebesar 28,96% dengan

penyaluran kredit mencapai Rp58,89 triliun mengalami pertumbuhan 15,89% dari periode
sebelumnya (BI, 2012). Ini menunjukkan bahwa sumber modal UMKM sebagian besar
berasal dari modal milik sendiri, hanya sekitar 15,6% yang menggunakan modal dari
pinjaman.
Sebenarnya kekhawatiran Bank tidak kembalinya kredit tidak cukup beralasan
karena ternyata tingkat pengemplangan kreditnya (Non Performing Loan) cukup rendah
yaitu untuk Bank Konvensional 2,42%, untuk Bank syariah 2,35% dan khusus untuk
UMKM 3,9%. Nampak memang untuk UMKM paling tinggi NPL-nya , hal ini disebabkan
bankmasih menerapkan pola pembayaran tanpa melihat pola pendapatan atau cash flow
usaha UMKM secara lebih spesifik. Misalnya untuk pertanian yang jelas-jelas memiliki

karakteristik yang berbeda bahkan untuk kelompok komoditas juga berbeda, maka
semestinya

mengikuti

pola

usahanya

bukan di

persamakan dengan Golongan

Berpendapatan Tetap (GBT) yamg setiap bulan setor karena gajinya memang per bulan.
Bank BRI di pantura sudah menerapkan pola yarnen walaupun dinilai belum optimal
karena masih kredit diperhitungkan untuk 6 bulan, padahal masa produksi hanya 4 bulan.
Bagi petani ternyata kondisi seperti itu juga tidak menjadi halangan, yang penting mereka
mendapat pinjaman dan di bayar ketika panen. Keberadaan mantri sebagai ujung tombak,
juga sangat membantu untuk memperluas jangkauan pelayanan bank.
Untuk UMKM saat ini memang sudah lebih baik pelayanan kreditnya terbutkti dari

bermunculannya tempat pelayanan mendekati konsumennya. Munculnya Gerai BNI, Teras
BRI, warung BJB, serta mobil-mobil bank menunjukkan out reach semakin baik, walaupun
4

penempatannya masih sampai pada tingkat kecamatan dengan lokasi sekitar pasar. Bank
swasta pun nampaknya sudah mulai melirik sector UMKM ini seperti Danamon simpan
Pinjam (DSP) yang sudah terlebih dahulu menawarkan kreditnya ke pasar-pasar. Dari
besaran kredit yang ditawarkan maka dapat dikelompokkan unit ini sebagai unit bisnis
untuk UMKM. Kondisi ini menunjukkan bahwa telah disadari bahwa walaupun UMKM ini
dicirikan sebagai usaha dengan skala kecil dengan lokasi terpencar dan jauh sehingga biaya
menjadi tinggi, tetapi kenyataannya bagi Bank yang punya unit LKM (baca BRI Unit)
justru telah membukukan keuntungan yang sangat besar dan tertinggi di Indonesia yaitu
sepanjang 2012 sebesar 22,79 persen atau menjadi Rp 18,5 triliun (Kompas.com, 13 Maret
2013). Kenaikan laba ini disebabkan karena kredit usaha, mikro, dan kecil menengah
(UMKM) yang melonjak, sehingga BRI Unit dikategorikan sebagai LKM yang diakui
dunia sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System.
Dengan masih banyaknya pelaku usaha UMKM (99%), maka pendirian LKM baru
sebagai unit bisnis dari bank umum ataupun optimalisasi LKM yang sudah ada (KSP,
BPR/S, BMT, dll) akan berprospek cerah bila melakukan pelayanan sebaik-baiknya dan
diprediksi akan mendorong pertumbuhan ekonomi semakin tinggi dan pada gilirannya

penyerapan tenaga kerja semakin terbuka serta kesejahteraan masyarakat semakin merata
dan meningkat.
Penumbuhkembangan LKM dalam mendukung pembangunan
Terdapat hal yang diperlukan

diperhatikan dalam upaya penumbuhkembangan

LKM. Langkah tersebut ialah: (1). Memahami karakteristik bisnis (usaha) calon nasabah
yang akan dilayani (2) Memahami paradigma kelembagaan yang sudah ada .

Tabel Karakteristik dari Bisnis Calon Nasabah LKM
Karakteristik
Produk

Lokasi






Keterangan
Teknologi: bervariasi
Supply produk: berfluktuasi baik jumlah maupun
kualitas
Tersebar, sehingga secara fisik tidak terjangkau
5

Jaminan
SDM








Kapasitas Kelembagaan




Risiko

Skala Usaha: kecil-kecil
Biaya transaksi menjadi mahal
Risiko fisik
Risiko keuangan
Sebagian besar tidak punya jaminan sebagai agunan
Sebagian besar berpendidikan rendah, tidak bisa
mempromosikan
produknya
sehingga
tidak
bankable.
Masih lemah

Selanjutnya dalam masalah kelembagaan yang perlu
lembaga keuangan maka LKM

dipahami ialah bahwa sebagai


menawarkan “trust” (kepercayaan) dan selanjutnya

bagaimana menjaga kepercayaan tersebut, sehingga akan menjadi beralasan bila LKM tetap
menerapkan prinsip kehati-hatian walaupun tidak harus berupa agunan fisik kepemilikan
asset, melainkan jaminan usahanya (dari avalis sebagi mitranya).

Selain itu bentuk

keberpihakan pemerintah kepada UMKM, maka keberadaan Lembaga Penjamin
merupakan syarat keharusan.
Terdapat 3 strategi prioritas dalam mengembangkan LKM terutama di perdesaan,
mengingat UMKM yang paling rendah aksesnya adalah petani yaitu:

Impact

ADVANCES
(Institutions,
Products,
Services,
Processes)

Outreach

Enabling
Environment

Sustainability

Gambar 4.27. The Rural Finance Triangle
Sumber: Gonzales-Vega, 2003b; Zeller, 2003; Nagarajan and Meyer, 2005

6

a. Bahwa masyarakat perdesaan dapat bankable melalui lembaga yang tepat dan dengan
produk dan jasa yang dirancang cocok untuk kondisi perdesaan .
b. Kredit adalah hanya salah satu pelayanan keuangan yang diminta oleh nasabah
perdesaan.
c. Tujuan yang diinginkan untuk lembaga keuangan perdesaan mencakup memaksimalkan
jangkauan dan mencapai kesinambungan dalam rangka membuat dampak terbesar pada
kehidupan masyarakat perdesaan.
d. Kemajuan pada lembaga, produk dan jasa serta pelayanan keuangan sehingga tidak
menghambat transaksi keuangan di daerah perdesaan. Kemajuan tersebut didukung oleh
lingkungan berupa dukungan kebijakan ekonomi makro.
Penutup.
UMKM sebagai pelaku usaha terbesar di Indonesia sangat strategis untuk diberdayakan,
karena jika diberdayakan secara tepat usaha kecil akan berkembang menjadi usaha
menengah yang

akan menyerap tenaga kerja yang banyak dan pada gilirannya akan

meningkatkan kesejahteraan. Sebaliknya apabila tidak diberdayakan menyebabkan maka
kemiskinan makin besar dan menjadi beban seluruh bangsa. Karena permodalan merupakan
salah satu kendala yang dirasakan UMKM, maka pada situasi seperti ini, pemerintah
berkewajiban untuk mendorong dan memberi peluang bagi Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) untuk aktif mengambil peran sebagai institusi “alternatif” dalam penyediaan modal
usaha bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarga miskin yang tidak
terlayani oleh lembaga keuangan komersial (bank) karena lembaga ini menuntut jaminan
serta prasyarat lain yang tidak dapat dipenuhi oleh kelompok usaha kecil dan mikro.
Adapun untuk keberlanjutan (sustainability) LKM , maka keberpihakan pemerintah dapat
berupa dibentuknya Lembaga Penjamin Kredit.

Daftar Pustaka

7

Bank Indonesia, 2012. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat Triwulan IV.
BI,Jakarta.
BPS, 2012. Sandingan Data UMKM. Jakarta
Rimsky K Judisseno, 2002. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Kemenkop dan UKM, 2012. www.depkop.go.id. diakses tgl. 17 Maret 2013
Maldonado, Gonzalez- and Romero,Vega. 2002. Deepening Rural Financial
Markets:Macroeconomic, Policy and Political Dimensions Theme : Macro
Economic Policy and Reality.USAID
Meyer, R.L., G.Nagarajan, L.J. Hushak. 1997. Segmentation in the Philippine non formal
credit markets: A multinomial logit analysis”. In: Rose, R., Tanner, C., Bellamy,
M.-A. (Eds.), Issues in Agricultural Competitiveness: Markets and Policies.
International Association of Agricultural Economists Occasional Paper No. 7.
Ashgate, Aldershot, UK/Brookfield, VT, pp. 258–266.
Mishkin, Frederic S. 1999. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets 5th
ed. Reading, Mass. : Addison-Wesley, c1998

8