Dampak Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian dan Industri terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia

(1)

TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI

DI INDONESIA

BUDIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Dampak Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian dan Industri terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Budiyanto NIM. H363090091


(3)

iii

BUDIYANTO. Dampak Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian dan Industri terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO, BONAR M. SINAGA, dan TAHLIM SUDARYANTO

Belanja pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi suatu negara (Jhingan, 2008). Oleh karena itu, penetapan besaran dan komposisi belanja pemerintah harus dilakukan sebaik-sebaiknya. Di lain pihak, pembangunan memang harus dilakukan pada seluruh sektor perekonomian, tetapi mengingat keterbatasan sumberdaya dan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi maka perlu ditetapkan skala prioritas pada suatu sektor tertentu.

Hipotesis Kaldor (1966) menyatakan bahwa manufaktur merupakan mesin pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah, sementara itu Mellor (1995) mengemukakan bahwa secara empirik negara yang mengadopsi kebijakan pembangunan yang berfokus pada sektor pertanian justru cenderung lebih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dibanding strategi pembangunan yang menekankan sektor non-pertanian. Rostow (1960) menyatakan bahwa sektor pertanian yang handal merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Dengan demikian timbul pertanyaan, kebijakan pembangunan di Indonesia saat ini harus menitikberatkan sektor pertanian atau non-pertanian?.

Indonesia, pada tahun 2012 secara administrasi pemerintahan terdiri dari 33 provinsi dengan 497 kabupaten/kota, yang mana memiliki potensi sumberdaya alam dan manusia yang beragam. Sektor pertanian di sebagian besar daerah masih mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian, tetapi sebagian daerah lainnya, sektor pertanian kurang dominan dalam perekonomian. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: apakah daerah atau provinsi-provinsi yang proporsi PDRB sektor pertanian terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) relatif tinggi perlu menambah atau mengurangi proporsi pengeluaran publik (belanja pemerintah) untuk sektor pertanian agar lebih efektif dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi, begitu juga daerah yang proporsi PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB relatif rendah.

Tujuan penelitian untuk: (1) mengetahui dampak pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terhadap kinerja perekonomian provinsi, meliputi : investasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah, dan (2) mengetahui dampak pengeluaran pemerintah untuk sektor industri terhadap indikator-indikator keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah,

Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika sebagai system persamaan simultan menggunakan data panel 20 propinsi di Indonesia pada tahun 2003 -2011. Data yang terkumpul dikelompokkan menjadi dua, yaitu data provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia diestimasi dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Simulasi historis dilakukan pada periode 2003-2011, dan simulasi peramalan dilakukan pada periode 2015-2018.


(4)

iv

serta menurunkan total penduduk miskin dan kesenjangan fiskal daerah, (2) realokasi peningkatan belanja pemerintah daerah untuk sektor industri dengan pengurangan belanja untuk sektor lain, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan menurunkan jumlah penduduk miskin tetapi menurunkan investasi privat dan total PDRB serta meningkatkan kesenjangan fiskal daerah, (3) peningkatan belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian dengan dana pinjaman atau hibah, meningkatkan investasi privat, kesempatan kerja dan total PDRB serta menurunkan total penduduk miskin yang lebih besar tetapi meningkatkan kesenjangan fiskal daerah, dan (4) peningkatan belanja pemerintah daerah untuk sektor industri dengan dana pinjaman atau hibah, meningkatkan total investasi privat, meningkatkan total kesempatan kerja dan total PDRB serta menurunkan total penduduk miskin tetapi meningkatkan kesenjangan fiskal daerah

Kata kunci: pengeluaran pemerintah, investasi, penyerapan tenaga kerja, PDRB, kemiskinan.


(5)

v

and Industrial Sectors on the Provincial Economic Performance in Indonesia. Supervised by D.S. PRIYARSONO, BONAR M. SINAGA, and TAHLIM SUDARYANTO

Government spending plays a vital role in achieving the goals of economic development of a country (Jhingan, 2008). Therefore, the amount and composition of government expenditure

According to Kaldor’s hypothesis (1966), manufacturing is the engine of economic growth in a region, while Mellor (1995) states that empirically a country adopting development policies focusing on the agricultural sector has a tendency to be more successful in encouraging economic growth compared to that which emphasizes the development of non-agricultural sectors. Rostow (1960) states that the agricultural sector is a prerequisite for the development of reliable industrial and service sectors. Should the development policy in Indonesia today emphasize the agricultural sector or non-agricultural sectors?

should be well established. On the other hand, although the development has to cover all economic sectors, considering the limitations of resources, it is necessary to set priorities for a particular sector.

Since 2012, in terms of public administration, Indonesia has consisted of 33 provinces with 497 regencies/cities, all of which have different potentials in natural as well as human resources. The agricultural sector in most areas still plays a very important role in their economies, but in some others, agriculture is less dominant. Should the regions or provinces whose contribution in the agricultural sector to Gross Regional Domestic Product (GRDP) is relatively high need to increase or decrease the proportion of public spending (government spending) on the agricultural sector to be more effective in achieving their goals of economic development? Similarly, should the areas whose agricultural sector contribution to GRDP is relatively low do the same?

The purposes of the study are to: (1) examine the impacts of government spending for agricultural sector on investment, employment and unemployment, economic growth, and poverty in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP is

The study was conducted by constructing a simultaneous equations econometric model

either high or low, and (2) determine the impacts of government spending for industrial sector on provincial economic performance.

using panel data of 20 provinces in Indonesia for the period of 2003–2011.

The results of the study indicate:, in the areas

The 20 sampled provinces were classified into two groups based on the contribution of agricultural sector to the respective regional economy. Provincial Economic Performance in Indonesia models were estimated by Two Stage Least Squares (2SLS). Historical simulations were performed in the period 2003-2011, and forecasting simulations were performed in the period 2015-2018.

where the contribution of the agricultural sector to GRDP is either high or low, (1) reallocation of the increase in the agricultural sector which is subtracted from the spending of other sectors, can increases the total private investment, employment, total GRDP and reduces the total poor population and fiscal gap, (2) reallocation of the increase in government spending on the industrial sector is deducted by spending on the other sectors, increases employment


(6)

vi

GRDP and reduces the total poor population but increases fiscal gap, and (4) the increase in industrial sector spending from loan or grant, increases the total private investment, employment, total GRDP and reduces the total poor population but increases fiscal gap.


(7)

vii

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan penguripan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

viii

TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI

DI INDONESIA

BUDIYANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

ix

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Dr.Ir. Suharno, MAdev

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Penguji pada Ujian Terbuka :

1. Prof.Dr.Ir.H. Usman Rianse, MS

Rektor dan Guru Besar Universitas Haluoleo, Kendari 2. Dr.Ir. Kasdi Subagyono, MSc


(10)

x NIM : H363090091

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof.Ir. D.S. Priyarsono, MS; PhD

Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA

Anggota Anggota

Prof.(R).Dr.Ir. Tahlim Sudaryanto, MS

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(11)

xi

Puji syukur ke hadlirat Allah SWT, penulis panjatkan karena atas rahmat dan karunia-NYA, disertasi ini dapat diselesaikan.

Dampak Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian dan Industri terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia disusun dengan maksud untuk menemukan jawaban bagaimana komposisi belanja pemerintah daerah memberikan dampak terhadap kinerja perekonomian daerah. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dasar untuk kajian pengembangan selanjutnya.

Karya ini telah dapat diselesaikan karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis telah mendapatkan bimbingan dan arahan yang intensif dari komisi pembimbing Prof.Ir. D.S. Priyarsono, MS, Ph.D selaku ketua komisi, Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Prof.(R).Dr.Ir. Tahlim Sudaryanto, MS selaku anggota komisi. Oleh karena itu melalui kesempatan ini disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr.Ir. Anna Fariyanti, MSi dan Dr.Ir. Suharno, MAdev selaku penguji luar komisi

pada ujian tertutup, serta Dr.Ir. Mety Ekayani, MSc dan Prof.Dr. Muhammad Firdaus, SP; MSi selaku penguji wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan penguji wakil Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas kritik dan saran yang sangat berharga;;

2. Prof.Dr.Ir.H. Usman Rianse, MS dan Dr.Ir. Kasdi Subagyono, MSc selaku penguji luar komisi, Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr.Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku penguji yang mewakili Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan yang mewakili Fakultas Ekonomi dan Manajemen, atas koreksi dan masukannya pada ujian terbuka;

3. Rektor Universitas Haluoleo atas izin yang diberikan kepada penulis untuk tugas belajar;

4. Rekan-rekan mahasiswa S3 program studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) tahun 2009 atas kebersamaan dan dukungannya;

5. Seluruh staf sekretariat program studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana IPB atas bantuan administrasi perkuliahan;

6. Rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tenggara atas dukungannya; 7. Orangtua penulis, ayahanda Soepardi dan ibunda Soemiyatun serta kedua adik

penulis, atas doa dan dukungannya selama ini;

8. Istri tercinta, Hertin Dewi Sulistyani, SE, dan anak-anak tersayang, Gadhang Tapak Muhammad Budiyanto, Galang Jejak Muhammad Budiyanto, dan Gemilang Kawruh Muhammad Budiyanto atas doa dan kasih sayangnya yang tulus sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam karya ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Besar harapan penulis, mudah-mudahan karya ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2014 Budiyanto


(12)

xii DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

xiv xvi xvii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Permasalahan 3

Tujuan Penelitian 6

Ruang Lingkup dan Keterbatasan 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Ekonomi 9

Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian 11

Peranan Sektor Pertanian Dalam Pembangunan Ekonomi 14

Kebijakan Fiskal Dalam Pembangunan Ekonomi 17

Kinerja Fiskal Daerah di Indonesia 19

Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian 21 Studi tentang Pengeluaran Pemerintah, Pertumbuhan Pertanian dan

Perekonomian 25

3 KERANGKA TEORI 29

Fungsi Pengeluaran dan Penerimaan Pemerintah Daerah 29 Kaitan antara Pengeluaran Pemerintah dengan Kinerja Sektor Pertanian 31

Keterkaitan Kinerja Perekonomian 32

Kaitan Pengeluaran Pemerintah dengan Investasi Privat 33 Kaitan Pengeluaran Pemerintah dengan Penyerapan Tenaga Kerja 34 Kaitan Pengeluaran Pemerintah dengan Pertumbuhan Ekonomi 36

Kaitan Pengeluaran Pemerintah dengan Kemiskinan 39

Hipotesis Penelitian 41

4 METODE PENELITIAN 43

Jenis dan Sumber Data 43

Metode Analisis Data 44

Tahapan Penyusunan Model 44

Spesifikasi Model 45

Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia 48

Identifikasi dan Estimasi Model 53

\ Validasi Model 55

Simulasi Kebijakan 55

5 GAMBARAN UMUM KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI DI

INDONESIA 59

Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah 59


(13)

xiii

6 HASIL ESTIMASI MODEL 83

Kinerja Fiskal Daerah 83

Pendapatan Pemerintah Daerah 84

Pengeluaran Pemerintah Daerah 86

Kinerja Investasi 91

Kinerja Lapangan Pekerrjaan 94

Kinerja Output 96

Kinerja Kemiskinan 102

7 DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH UNTUK

SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI 105

Validasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi 105

Simulasi Historis Tahun 2003 – 2011 108

Dampak realokasi peningkatan belanja pemerintah untuk sub-sektor

tanaman semusim dan peternakan dengan pengurangan belanja sektor lain 110 Dampak realokasi peningkatan belanja pemerintah untuk sub-sektor

perkebunan dan kehutanan dengan pengurangan belanja sektor lain 112 Dampak realokasi peningkatan belanja pemerintah untuk sub-sektor

perikanan dengan pengurangan belanja untuk sektor lain 115 Dampak realokasi peningkatan belanja pemerintah untuk sektor

pertanian dengan pengurangan belanja untuk sektor lain 117 Dampak realokasi peningkatan belanja pemerintah untuk sektor

industri dengan pengurangan belanja untuk sektor lain 119 Dampak realokasi peningkatan belanja untuk sektor industri dengan

pengurangan belanja sub-sektor tanaman semusim dan peternakan 121 Dampak peningkatan belanja pemerintah untuk sektor pertanian

dengan dana pinjaman atau hibah

Dampak peningkatan belanja pemerintah untuk sektor industri dengan dana pinjaman atau hibah

Ringkasan Hasil Simulasi Historis

123 125 127

Simulasi Peramalan Tahun 2015 - 2018 128

Ramalan dampak kebijakan pengeluaran pemerintah daerah terhadap

kinerja perekonomian provinsi di daerah PDRB sektor pertanian tinggi 129 Ramalan dampak kebijakan pengeluaran pemerintah daerah terhadap

kinerja perekonomian provinsi di daerah PDRB sektor pertanian

rendah 132

8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 135

Kesimpulan 135

Implikasi Kebijakan 136

Saran Penelitian Lanjutan 137

DAFTAR PUSTAKA 139


(14)

xiv

1 PDRB, Pertumbuhan PDRB, Persentase Pengangguran Terbuka, dan Persentase Penduduk Miskin di 6 (enam) Provinsi yang Kontribusi

Sektor Pertanian Terhadap PDRB Tertinggi dan Terendah Tahun 2010 5 2 Rekapitulasi Hasil-Hasil Penelitian tentang Pengeluaran Pemerintah,

Pertumbuhan Sektor Pertanian, dan Perekonomian 26

3 Kelompok Provinsi dengan Proporsi PDRB Sektor Pertanian Tinggi dan Rendah, serta Rata-rata Proporsi PDRB Sektor Pertanian Tahun 2003 -

2011 59

4 Rata-rata per Tahun Pendapatan Pemerintah Daerah selama 2003–2011 60 5 Rata-rata per Tahun Kontribusi Unsur-unsur Pendapatan Daerah 2003–

2011 62

6 Rata-rata per Tahun Kontribusi Unsur-unsur Pendapatan Asli Daerah

(PAD) selama 2003 – 2011 63

7 Rata-rata per Tahun Nilai dan Proporsi Unsur-unsur Belanja Pemerintah

Daerah selama 2003 – 2011 64

8 Rata-rata per Tahun Proporsi Unsur-unsur Belanja Pemerintah Daerah terhadap Total Belanja dan terhadap Belanja Langsung selama 2003 –

2011 65

9 Rata-rata per Tahun Proporsi Belanja Pemerintah Daerah untuk

Subsektor Pertanian selama 2003 – 2011 66

10 Rata-rata per Tahun Nilai dan Proporsi Investasi Privat selama 2003 –

2011 68

11 Rata-rata per Tahun Jumlah Penawaran, Penyerapan dan Pengangguran

Tenaga Kerja selama 2003 – 2011 71

12 Rata-rata per Tahun Proporsi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian,

Industri, dan Sektor Lain serta Pengangguran selama 2003 – 2011 72 13 Rata-rata per Tahun PDRB dan Kontribusi Sektor Perekonomian

Provinsi selama Tahun 2003 – 2011 74

14 Rata-rata per Tahun PDRB Sektor Pertanian dan Proporsi Subsektor

selama 2003 – 2011 75

15 Rata-rata per Tahun Jumlah dan Distribusi Penduduk Miskin selama

2003–2011 78

16 Rata-rata per Tahun Proporsi Penduduk Miskin Perkotaan dan Pedesaan

selama 2003 – 2011 79

17 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural

Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2003 - 2011 85

18 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian Tahun 2003 -

2011 88

19 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Sektor Perindustrian dan Sektor


(15)

xv

Kesempatan Kerja Tahun 2003 – 2011 95

22 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural

Perilaku Ouput Tahun 2003 - 2011 97

23 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural

Perilaku Kemiskinan Tahun 2003 - 2011 103

24 Hasil Validasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia pada

Daerah PDRB Sektor Pertanian Tinggi Tahun 2003 - 2011 106 25 Hasil Validasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia pada

Daerah PDRB Sektor Pertanian Rendah Tahun 2003 - 2011 107 26 Dampak Realokasi Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk

Sub-Sektor Tanaman Semusim dan Peternakan sebesar 100 persen dengan

Pengurangan Belanja Sektor Lain Tahun 2003 - 2011 111

27 Dampak Realokasi Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk Sub-Sektor Perkebunan dan Kehutanan sebesar 100 persen dengan

Pengurangan Belanja untuk Sektor Lain Tahun 2003 - 2011 114 28 Dampak Realokasi Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk

Sub-Sektor Perikanan sebesar 100 persen dengan Pengurangan Belanja

untuk Sektor Lain Tahun 2003 - 2011 116

29 Dampak Realokasi Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian sebesar 100 persen dengan Pengurangan Belanja untuk Sektor

Lain Tahun 2003 - 2011 118

30 Dampak Realokasi Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Industri sebesar 100 persen dengan Pengurangan Belanja Sektor Lain 2003 - 2011

120 31 Dampak Realokasi Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor

Industri sebesar 100 persen dengan Pengurangan Belanja untuk

Sub-Sektor Tanaman Semusim dan Peternakan Tahun 2003 - 2011 122 32 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian

sebesar 100 persen yang berasal dari Dana Pinjaman atau hibah Tahun

2003 – 2011 124

33 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Industri sebesar 100 persen yang berasal dari Dana Pinjaman atau Hibah Tahun 2003 – 2011

126

34 Ringkasan Hasil Simulasi Historis Dampak Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian dan Industri terhadap Kinerja Perekonomian di

Indonesia 2003 – 2011 127

35 Ramalan Dampak Kebijakan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi di Daerah PDRB Sektor Pertanian

Tinggi Tahun 2015 – 2018 131

36 Ramalan Dampak Kebijakan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi di Daerah PDRB Sektor Pertanian


(16)

xvi

Halaman

1 Hubungan Permintaan Tenaga Kerja dan Pengangguran 36

2 Dampak Kenaikan Belanja Pemerintah dalam Model IS-LM 40 3 Dekomposisi Perubahan Distribusi dan Kemiskinan sebagai Dampak

Pertumbuhan Ekonomi dan Perbaikan Distribusi 41

4 Konversi Klasifikasi Belanja Pemerintah Daerah 44

5 Tahapan Penyusunan Model 46

6 Kerangka Pikir Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia 47 7 Rata-rata Pendapatan Pemerintah Daerah PDRB Sektor Pertanian Tinggi dan

Rendah Tahun 2003 – 2011 61

8 Rata-rata Belanja Pemerintah Daerah PDRB Sektor Pertanian Tinggi

dan Rendah Tahun 2003 – 2011 64

9 Rata-rata Belanja Sektor Pertanian di Daerah PDRB Sektor Pertanian

Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 67

10 Rata-rata Belanja Sektor Industri di Daerah PDRB Sektor Pertanian

Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 67

11 Rata-rata Belanja Sektor Lain di Daerah PDRB Sektor Pertanian Tinggi

dan Rendah Tahun 2003 – 2011 67

12 Rata-rata Investasi Privat Sektor Pertanian di Daerah PDRB Sektor

Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 69

13 Rata-rata Investasi Privat Sektor Non Pertanian di Daerah PDRB Sektor

Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 69

14 Rata-rata Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Daerah PDRB

Sektor Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 73

15 Rata-rata Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Daerah PDRB

Sektor Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 73

16 Rata-rata Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lain di Daerah PDRB

Sektor Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 73

17 Rata-rata PDRB Sektor Pertanian di Daerah PDRB Sektor Pertanian

Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 76

18 Rata-rata PDRB Sektor Industri di Daerah PDRB Sektor Pertanian

Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 76

19 Rata-rata PDRB Sektor Lain di Daerah PDRB Sektor Pertanian Tinggi

dan Rendah Tahun 2003 – 2011 76

20 Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin Pedesaan di Daerah PDRB Sektor

Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2003 – 2011 80

21 Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan di Daerah PDRB Sektor


(17)

xvii

1 Data Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia 144 2 Program Estimasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di

Indonesia dengan Metode 2SLS, Prosedur SYSLIN dan Software

SAS/ETS 9.1.3 176

3 Hasil Estimasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia dengan Metode 2SLS, Prosedur SYSLIN dan Software SAS/ETS

9.1.3 182

4 Program Validasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 pada Daerah PDRB Sektor Pertanian Tinggi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN dan Software

SAS/ETS 9.1.3 204

5 Hasil Validasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 pada Daerah PDRB Sektor Pertanian Tinggi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN dan Software SAS/ETS

9.1.3 208

6 Program Validasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 pada Daerah PDRB Sektor Pertanian Rendah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN dan Software

SAS/ETS 9.1.3 214

7 Hasil Validasi Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 pada Daerah PDRB Sektor Pertanian Rendah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN dan Software SAS/ETS

9.1.3 218

8 Gambar Actual Mean dan Predicted Mean beberapa Variabel

Endogen Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun

2003-2011 224

9 Program Simulasi Historis Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 dengan Metode Newton, Prosedur

SIMNLIN dan Software SAS/ETS 9.1.3 228

10 Hasil Simulasi Historis Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 dengan Metode Newton, Prosedur

SIMNLIN dan Software SAS/ETS 9.1.3 235

11 Program Simulasi Historis Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 dengan Metode Newton, Prosedur

SIMNLIN dan Software SAS/ETS 9.1.3 237

12 Hasil Simulasi Historis Model Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2011 dengan Metode Newton, Prosedur

SIMNLIN dan Software SAS/ETS 9.1.3 244

13 Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2014 – 2018

dengan Prosedur FORECAST dan Software SAS/ETS 9.1.3 246 14 Hasil Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2014 – 2018 dengan


(18)

xviii

Metode Newton, Prosedur SIMNLIN dan Software SAS/ETS 9.1.3 251


(19)

Latar Belakang

Kebijakan fiskal adalah suatu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian dengan maksud agar perekonomian tidak menyimpang dari kondisi yang diinginkan. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pengeluaran atau

belanja pemerintah (government expenditure), yang mana di Indonesia, secara

nasional jumlah dan struktur pengeluaran pemerintah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedang untuk di daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal, anggaran belanja pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional. Hal ini terutama karena besaran dan komposisi anggaran belanja pemerintah, dalam operasi fiskal, mempunyai dampak signifikan pada

permintaan agregat dan output nasional, serta mempengaruhi alokasi sumberdaya

dalam perekonomian (Departemen Keuangan RI, 2010). Menurut Jhingan (2008), peranan belanja pemerintah dalam pembangunan ekonomi terletak dalam peningkatan laju pertumbuhan perekonomian, penyediaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan standar kehidupan, penurunan kesenjangan pendapatan dan kemakmuran, mendorong inisiatif dan usaha swasta, dan mewujudkan keseimbangan perekonomian regional. Oleh karena itu jika tujuan pembangunan ekonomi di suatu negara adalah untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakat maka penetapan kebijakan belanja pemerintah harus dilakukan sebaik-sebaiknya.

Kebijakan pembangunan di Indonesia pada masa Orde Baru yang sentralistik, dinilai mempunyai banyak kelemahan. Di antaranya, pengeluaran pembangunan yang menggunakan pendekatan vertikal-sektoral-departemental untuk dana DIP (Daftar Isian Proyek) membuat penyusunan program pembangunan menjadi tidak aspiratif. Akibatnya program-program pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat kurang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh daerah (Rahmanta, 2006).

Pembangunan perekonomian Indonesia mulai Pelita I (April 1968-1974) sampai dengan Pelita III (April 1979-1984) memprioritaskan sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan, sedangkan mulai Pelita IV, prioritas utama dialihkan pada sektor industri dan jasa. Pada saat itu pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, yaitu 5 - 7 persen, tetapi kemudian Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997-1998. Banyak ahli ekonomi menilai bahwa pembangunan industri yang dikembangkan sejak Pelita IV tersebut adalah industri-industri yang bersifat


(20)

sumberdaya yang tersedia di dalam negeri, dan banyak tidak terkait dan tidak mendukung sektor pertanian.

Halwani (2002) menyatakan bahwa selama periode tahun 1980-an, pemerintah telah melakukan proteksi di sektor industri yang biaya-nya 10 kali lebih tinggi daripada proteksi terhadap sektor pertanian. Kebijakan ini memunculkan keengganan berinvestasi di sektor pertanian dikarenakan keuntungan investasi pada sektor pertanian kurang dari setengah kali daripada keuntungan berinvestasi di sektor industri. Selain itu Masyhuri (2006) menyatakan bahwa sejak Pelita IV perhatian dan anggaran pembangunan

pertanian mulai dikurangi dan dialihkan ke sektor industri (broad based

industry) yang tidak berdasarkan sumberdaya domestik, termasuk

mengembangkan teknologi tinggi yang menguras keuangan negara, devisa dan hutang luar negeri.

Dominannya paradigma pembangunan dengan prioritas utama industrialisasi menyebabkan sektor pertanian menjadi sektor yang hanya mendapat prioritas kedua (Subejo, 2005). Infrastruktur sektor pertanian terabaikan, akses terhadap pasar rendah, akses terhadap lembaga keuangan lemah, investasi rendah, dan organisasi petani kurang berfungsi sehingga impor produk pertanian menjadi tinggi.

Di lain pihak, berdasarkan kontibusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan proporsi jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan perekonomian di Indonesia selama ini menunjukkan adanya ketidak-merataan dalam distribusi pendapatan. Badan Pusat Statistik menunjuk-kan bahwa pada tahun 2009 tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 41.18 persen hanya memperoleh pendapatan sekitar 13.61 persen dari PDB. Dengan kata lain, tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian memperoleh pendapatan yang relatif rendah.

Menurut Nainggolan (2006), pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin sebesar 39.05 juta jiwa (17.75 persen), dan sebagian besar penduduk miskin tersebut berada di perdesaan yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin, sekitar 75 persen di antaranya pada sub sektor tanaman pangan, 7.4 persen pada perikanan laut dan 4.6 persen pada peternakan.

Sementara itu, sejak diimplementasikan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, maka telah mengubah sistem sentralisasi yang mendominasi selama 32 tahun menjadi sistem desentralisasi (Departemen Dalam Negeri, 2002). Dengan sistem baru ini pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengalokasikan anggaran belanja pembangunan untuk daerahnya. Pemerintah daerah dapat menentukan proporsi alokasi anggaran belanja (pengeluaran pemerintah) untuk pembangunan tiap-tiap sektor sesuai kebutuhan daerahnya.


(21)

Dengan kata lain, pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran belanja sesuai skala prioritas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan.

Dengan desentralisasi fiskal maka pemerintah daerah ditantang untuk dapat mengalokasikan anggaran belanja pembangunan secara tepat atau optimal pada masing-masing sektor agar dapat menunjang untuk tercapainya tujuan pembangunan ekonomi, yaitu salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi yang maksimal.

Permasalahan

Sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal maka peluang pemerintah daerah untuk lebih menggali potensi daerah dalam meningkatkan penerimaannya semakin besar. Dari sisi pengeluaran, dengan ketersediaan anggaran yang ada, pemerintah daerah diharapkan mampu mengalokasikan anggaran pada sektor-sektor yang tepat, dan membelanjakan pada hal-hal yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat. Dengan demikian pengeluaran pemerintah tersebut diharapkan bisa memberikan eksternalitas terhadap tumbuhnya investasi swasta dan kegiatan ekonomi masyarakat serta berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.

Dalam desentralisasi fiskal, Dana Alokasi Umum (DAU) yang bersifat

block grant, lebih memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk

membelanjakan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang akan berpengaruh pada kegiatan perekonomian daerah, pendapatan masyarakat dan kemiskinan.

Selama ini dalam penetapan jumlah maupun struktur alokasi pengeluaran belanja pada masing-masing sektor pembangunan, sebagian pemerintah daerah tidak melakukan kajian mendalam tentang dampaknya terhadap perekonomian. Alokasi pengeluaran belanja pada tiap-tiap sektor pembangunan lebih didasarkan pada pemerataan pada masing-masing sektor atau kepentingan politik pejabat-pejabat daerah (Rindayati, 2009).

Secara garis besar, perekonomian suatu negara atau wilayah dapat dibagi ke dalam sektor-sektor pertanian, pengumpulan, penggalian/ pertambangan, industri dan jasa. Tiap-tiap sektor ini memiliki peranan penting dalam perekonomian, yang ditunjukkan oleh kontribusi relatif masing-masing sektor tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pembangunan memang harus dilakukan pada seluruh sektor perekonomian, tetapi mengingat pertimbangan keterbatasan sumberdaya dan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi maka perlu dilakukan skala prioritas untuk suatu sektor tertentu.


(22)

Hipotesis Kaldor (1966) menyatakan bahwa manufaktur merupakan mesin pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah, sementara itu Mellor (1995) mengemukakan bahwa secara empirik negara yang mengadopsi kebijakan pembangunan yang berfokus pada sektor pertanian justru cenderung lebih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dibanding strategi pembangunan yang menekankan sektor non-pertanian. Rostow (1960) menyatakan bahwa sektor pertanian yang handal merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Pengamatan empiris menunjukkan bahwa sebagian besar negara hanya dapat mencapai tahapan tinggal landas menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan yang digerakkan oleh sektor industri dan jasa setelah didahului oleh kemajuan di sektor pertanian. Dengan demikian timbul pertanyaan, dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, kebijakan pembangunan di Indonesia saat ini harus menitikberatkan sektor pertanian atau non-pertanian?.

Dalam perkembangan ekonomi di negara-negara maju tampak bahwa pada tahap awal pembangunan, kontribusi relatif sektor pertanian sangat dominan, dan selanjutnya akan terus menurun sampai pada tahap tertentu. Di sisi lain, kemampuan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja juga akan menurun yang diimbangi oleh peningkatan peran sektor industri dan jasa. Fenomena seperti ini oleh Todaro (2000), Hayami dan Ruttan (1981) disebut dengan proses transformasi struktural.

Priyarsono (2011) menafsirkan hipotesis Mellor bahwa semakin tinggi pertumbuhan sektor pertanian, semakin tinggi pula pertumbuhan sektor non-pertanian. Hal ini dapat diartikan juga bahwa pertumbuhan sektor pertanian dapat mendorong atau akan diikuti oleh pertumbuhan sektor non-pertanian yang lebih besar. Oleh karena itu sektor pertanian perlu dipacu pertumbuhannya, baik melalui investasi publik maupun privat. Tetapi tentunya tidak semua daerah mempunyai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan output pertanian.

Selain itu, dengan menggunakan data SNSE (Survei Nasional Sosial Ekonomi) Indonesia tahun 1999, Priyarsono (2011) menyatakan bahwa koefisien-koefisien pengganda sektor pertanian secara umum lebih besar daripada pada sektor lainnya. Secara teoritis, sektor-sektor yang berkoefisien pengganda tinggi semestinya memperoleh prioritas lebih tinggi untuk menerima injeksi, seperti investasi publik berupa perbaikan produktivitas melalui pembangunan

infrastruktur maupun upaya lainnya.

Indonesia, secara administrasi pemerintahan terdiri dari 33 provinsi dengan 497 kabupaten/kota, yang mana memiliki potensi sumberdaya alam dan manusia yang beragam. Sektor pertanian di sebagian besar daerah masih mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian, baik dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB, pertumbuhan ekonomi, penerimaan devisa negara, pemenuhan kebutuhan pangan, maupun penyerapan tenaga kerja. Tetapi sebagian daerah lainnya, sektor pertanian kurang dominan dalam perekonomian.


(23)

Jika dikaitkan antara kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dengan indikator-indikator keberhasilan pembangunan ekonomi (Tabel 1), maka secara umum dapat disampaikan bahwa provinsi-provinsi yang kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB relatif tinggi memiliki indikator-indikator keberhasilan pembangunan ekonomi relatif baik pada jumlah pengangguran (kesempatan kerja), sedangkan provinsi-provinsi yang kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB relatif rendah, memiliki indikator-indikator keberhasilan pembangunan ekonomi relatif baik pada persentase jumlah penduduk miskin. Di lain pihak, beberapa kajian menyimpulkan bahwa pertanian merupakan sektor yang efektif untuk mengurangi kemiskinan.

Tabel 1 PDRB, Pertumbuhan PDRB, Persentase Pengangguran Terbuka, dan Persentase Penduduk Miskin di 6 (enam) Provinsi yang Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDRB Tertinggi dan Terendah Tahun 2010 No. Provinsi (Rp miliar) PDRB

Persentase PDRB Sektor Pertanian (%)

Pertumbuh PDRB

(%)

Persentase Penganggur Terbuka (%)

Persentase Penduduk Miskin (%)

1 Sulawesi Barat 4 744 47.30 11.91 3.25 13.6

2 Sulawesi

Tengah 17 091 40.44 7.79 4.61 18.1

3 Lampung 38 305 38.53 5.75 5.57 18.9

4 Bengkulu 8 330 37.73 5.14 4.59 18.3

5 Nusa Tenggara

Timur 12 532 37.59 5.13 3.34 23.0

6 Maluku Utara 3 035 34.56 7.96 6.03 9.4

7 DKI Jakarta 395 664 0.08 6.51 11.05 3.5

8 Kepulauan Riau 41 083 4.38 7.21 6.09 8.1

9 Kalimantan

Timur 110 580 6.47 4.95 10.10 7.7

10 Banten 76 037 7.83 5.94 13.68 7.2

11 Jawa Barat 321 876 13.09 6.09 10.33 11.3

12 Jawa Timur 342 281 14.99 6.68 4.25 15.3

Indonesia 2 310 690 14.60 6.10 7.14 13.3

Sumber : BPS

Keterangan: PDRB harga konstan tahun 2000

Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: apakah daerah atau provinsi-provinsi yang kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB relatif tinggi perlu menambah atau mengurangi proporsi pengeluaran publik (belanja pemerintah) untuk sektor pertanian dan/atau sektor industri agar lebih efektif dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi, begitu juga daerah atau provinsi-provinsi yang kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB relatif rendah. Secara nasional, sektor pertanian pada tahun tahun 2010 hanya mendapatkan anggaran belanja pemerintah sekitar 4.45 persen (Departemen Keuangan RI), dan pada tahun 2001-2007 hanya sekitar 3-4 persen dari total anggaran belanja pemerintah pusat maupun daerah (World Bank, 2009). Sementara itu menurut


(24)

World Bank (2008) bahwa negara-negara yang berhasil mengalami transformasi, yaitu ketika pertanian masih memberikan sumbangan besar bagi PDB, belanja publik sektor pertanian di negara-negara tersebut sekitar 10 persen dari total belanja publik pada tahun 1980. Dengan demikian permasalahan dalam kajian ini adalah :

1. Bagaimana dampak anggaran belanja (pengeluaran) pemerintah untuk sektor

pertanian terhadap kinerja perekonomian di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah?,

2. Bagaimana dampak anggaran belanja pemerintah untuk sektor industri

terhadap kinerja perekonomian di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah?, dan

3. Alternatif kebijakan apakah yang perlu ditempuh pemerintah daerah pada

masa datang dalam mengalokasikan anggaran belanja (pengeluaran pemerintah) guna memperbaiki indikator-indikator perekonomian daerah ?.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak belanja (pengeluaran) pemerintah untuk sektor pertanian dan sektor industri terhadap kinerja perekonomian di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Sedangkan secara khusus, penelitian bertujuan untuk :

1. Mengetahui dampak pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terhadap

kinerja perekonomian provinsi, meliputi : investasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah,

2. Mengetahui dampak pengeluaran pemerintah untuk sektor industri terhadap

indikator-indikator keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah,

3. Melakukan simulasi kebijakan yang terkait dengan pengeluaran pemerintah

daerah untuk sektor pertanian dan industri dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi, baik di derah yang PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah.

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memperkaya pengembangan ilmu ekonomi pertanian dengan telaah yang lebih mendalam pada alokasi pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian dan industri sebagai penggerak kegiatan perekonomian. Di sisi lain, penelitian juga diharapkan dapat berguna sebagai masukan para pengambil keputusan yang terkait dengan penetapan alokasi pengeluaran pemerintah.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Model Kinerja Perekonomian Provinsi didasarkan dari abstraksi fenomena yang menjelaskan kinerja perekonomian di daerah PDRB sektor pertanian tinggi


(25)

dan rendah yang diketahui melalui indikator-indikator keberhasilan pembangunan ekonomi, yaitu investasi privat, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan. Studi menggunakan pendekatan ekonometrika dalam sistem persamaan simultan.

Model Kinerja Perekonomian Provinsi yang dibangun mempunyai keterbatasan sebagai berikut :

1. Belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian dibatasi sebagai belanja

langsung yang dialokasikan pada Dinas atau Satuan Kerja Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kelautan, dan Kehutanan.

2. Belanja pemerintah daerah untuk sektor industri dibatasi sebagai belanja

langsung yang dialokasikan pada Dinas atau Satuan Kerja Perindustrian.

3. Sektor pertanian yang dipilih untuk diteliti adalah sub sektor tanaman pangan

dan peternakan, sub-sektor perkebunan dan kehutanan, serta sub-sektor perikanan yang tersedia datanya.

4. Kinerja perekonomian yang diteliti dibatasi pada indikator-idikator

keberhasilan pembangunan ekonomi, antara lain: investasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan.

5. Daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi adalah provinsi di Indonesia yang

memiliki persentase sumbangan Produk Domestik Regional Bruto dari sektor pertanian relatif besar, yaitu lebih besar dari rata-rata persentase sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB seluruh provinsi di Indonesia.

6. Daerah yang PDRB sektor pertanian rendah adalah provinsi di Indonesia yang

memiliki persentase sumbangan Produk Domestik Regional Bruto dari sektor pertanian relatif kecil, yaitu lebih kecil dari rata-rata persentase sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB seluruh provinsi di Indonesia.

7. Klasifikasi daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah tidak

membeda-kan faktor lain, misalnya ketersediaan dan kondisi infrastrukur daerah, tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan sebagainya, sementara faktor-faktor tersebut dapat menentukan keberhasilan pembangunan perekonomian provinsi.


(26)

(27)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi

Peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi telah lama menjadi objek pembahasan yang menarik di antara ahli ekonomi. Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar berpendapat bahwa campurtangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat

kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem

demokrasi.

Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik, John M. Keynes seorang ahli ekonomi terkemuka menganggap bahwa kebebasan pasar, tanpa ada campur

tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan output

secara optimal (full employment of outputs). Tanpa campur tangan pemerintah

dalam perekonomian, akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya terjadi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan dayabeli dan mendorong adanya kegiatan bisnis.

Walaupun mekanisme pasar benar-benar beroperasi lebih efisien dalam rangka mengalokasikan sumberdaya yang ada dibandingkan mekanisme sektor publik, tetapi tidak berarti bahwa peranan sektor publik atau pemerintah dalam pengelolaan ekonomi nasional bisa dihilangkan sama sekali. Pembentukan modal

(capital formation) adalah kebutuhan mendasar bagi pembangunan ekonomi. Pada

tahap awal pembangunan ekonomi, tabungan privat di negara-negara berkembang sangat rendah maka pemerintahlah yang harus memainkan peranan utama dalam upaya mengakumulasi modal. Selain itu, pemerintah juga masih harus menciptakan suatu keterkaitan tertentu dengan sektor swasta, agar sektor swasta tersebut dapat tumbuh dengan subur. Peranan penting lain yang dijalankan pemerintah adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan dan latihan (yang tidak bisa diharapkan akan digarap oleh pihak swasta mengingat biayanya yang besar dan tidak adanya keuntungan seketika). Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga bisa menciptakan distribusi pendapatan yang sangat timpang sehingga diperlukan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah untuk memperbaiki distribusi pendapatan (Todaro, 2000).

Menurut Jhingan (2008), dalam rangka mengatasi sifat kaku yang melekat di negara berkembang, pemerintah harus memegang peranan positif dan tidak boleh berlaku sebagai penonton pasif. Problema di negara berkembang adalah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat diserahkan begitu saja kepada


(28)

mekanisme pasar (kekuatan-kekuatan ekonomi). Untuk mengangkat negara keluar dari titik-titik stagnasi diperlukan adanya pembaharuan rasio ekonomi secara cepat. Pada fase awal pembangunan, investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang meningkatkan ekonomi eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan

overhead sosial dan ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan,

kesehatan dan lainnya.

Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut karena risikonya besar dan keuntungannya kecil. Dari sini timbul kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga penawaran sesuai dengan permintaannya. Oleh karena itu pengawasan dan pengaturan oleh negara menjadi penting dalam rangka mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan memerlu-kan pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Untuk tujuan ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan, untuk mengurangi ketidak-seimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam negara berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi merupakan tugas terpenting pemerintah. Karena itu ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh. Menurut Lewis lingkup itu mencakup penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah

uang, mengendalikan fluktuasi ekonomi, menjamin full employment, dan

menentukan laju investasi (Norton, 2004; Jhingan, 2008).

Pemerintah dapat mendorong pembangunan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, pemerintah mampu menyingkirkan hambatan-hamabatan ekonomis, kelembagaan dan sosial di negara berkembang. Kebijakan moneter memainkan peranan penting dalam mempercepat pembangunan dengan memengaruhi biaya dan ketersediaan kredit, pengendalian inflasi, dan menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah berusaha memperbaiki ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan yang melebar dengan adanya pembangunan, memperluas pasar internal, mengurangi impor yang tidak penting, meniadakan tekanan inflasi, dan merangsang berbagai jenis proyek pembangunan yang diinginkan (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Jhingan 2008)

Dalam mengelola perekonomian guna mencapai tujuan pembangunan, pemerintah dapat menggunakan kebijakan di bidang ekonomi. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya kesempatan kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan neraca pembayaran, dan pada tingkat mikro terjadinya pemakaian sumberdaya yang efisien. Dalam praktik, pada kondisi kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya perekonomian pada pengaruh-pengaruh internasional, pencapaian semua tujuan ini sekaligus secara


(29)

berkesinambungan sering kali tidak mungkin, sehingga dibutuhkan skala prioritas serta pertimbangan politik dan ekonomi. (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Norton, 2004).

Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian

Peran pemerintah (sektor publik) dalam pembangunan pertanian, khususnya aktivitas privat, adalah untuk menciptakan kondisi/lingkungan yang memungkinkan di mana aktivitas sektor pertanian privat dapat berjalan secara baik, memperbaiki hal-hal yang mana pasar gagal dalam mengalokasikan

sumberdaya secara efisien, meminimumkan price distortions yang dihadapi oleh

petani dan konsumen. Dalam praktik, hal ini dijabarkan kedalam beberapa dimensi: (1) perbaikan eksternalitas, (2) penyediaan barang publik, (3) memperbaiki asimetri informasi, (4) regulasi perlawanan aktivitas monopolistik yang mengurangi/menurunkan kesejahteraan sosial (World Bank, 2009).

1. Perbaikan eksternalitas

Eksternalitas adalah pengaruh yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat dari kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi atau pertukaran, yang

dilakukan pihak lain. Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive

externalities) atau bersifat merugikan (negative externalities). Eksternalitas

positif menyebabkan pihak lain memperoleh manfaat dari aktivitas tersebut, sedangkan eksternalitas negatif mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Dengan adanya eksternalitas, tidak dapat dicapai kondisi-kondisi optimalitas Pareto.

Aktivitas sektor pertanian privat juga dapat memiliki dampak (eksternalitas) positif atau negatif. Oleh karena itu pemerintah harus mengambil peran untuk perbaikan eksternalitas, yang mana membuat orang membayar biaya dan memperoleh manfaat atas tindakannya, atau mengembangkan eksternalitas positif dan menekan sekecil mungkin eksternalitas negatif. seperti mengurungkan penggunaan pupuk berlebih yang

mengakibatkan polusi, atau pemberian insentif (reward) dalam R and D

(Research and Development) dalam pertanian dengan hak paten.

2. Penyediaan barang publik

Penyediaan barang publik penting (diperlukan) dalam pertanian karena jika penyediaan dengan suatu cara pembiayaan yang efektif dan efisien, barang publik akan menghasilkan pengembalian yang lebih tinggi daripada investasi privat. Barang publik akan menciptakan eksternalitas positif dalam perekonomian secara luas (World Bank, 2009).

Barang publik, yaitu barang yang tidak dapat disediakan melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Barang privat adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar, yaitu melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Adanya barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar


(30)

disebabkan karena adanya kegagalan sistem pasar (market failure). Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang/jasa tertentu oleh karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati oleh orang lain. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa sistem pasar gagal menyediakan barang dan jasa yang tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut, pengecualian tidak dapat dilakukan secara teknis. Suatu barang disebut barang publik juga karena secara ekonomis pengecualian dapat dilaksanakan akan tetapi biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari manfaat suatu barang sangat besar. Jadi yang disebut dengan barang publik murni adalah barang yang baik secara teknis maupun secara ekonomis tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian atas barang tersebut (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Berdasarkan Teori Ekonomi Publik, hanya sektor publik yang dapat menyediakan barang publik secara efisien (dan dengan jumlah yang mencukupi) yang mana pasar akan selalu kurang dalam menyediakan-nya. Dikarenakan pemerintah memiliki kapasitas untuk mengumpulkan kontribusi

individu, dapat mencapai economies of scale, memiliki akses pendanaan,

mengelola lebih baik daripada petani, maka pemerintah lebih tepat untuk menyediakan barang publik. yang tidak efisien dan mencukupi jika diproduksi oleh pasar (seperti pembangunan jalan perdesaan dan sistem irigasi, penyediaan penyuluhan pertanian dan pemasaran produk pertanian, dan

pendanaan R and D dalam bidang pertanian yang cukup).

Pertumbuhan sektor publik dapat diukur melalui jumlah pengeluaran publik. Ekspansi sektor publik menghasilkan pertumbuhan pengeluaran publik sehingga membutuhkan sumberdaya yang lebih banyak. Tetapi karena pemerintah kesulitan memperoleh sumberdaya, banyak negara mengalami defisit anggaran. Ekspansi sektor publik juga menyebabkan realokasi sumberdaya dari sektor privat, sehingga dapat menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan sumberdaya (Kim dan Cayer, 1997)

Dengan demikian timbul pertanyaan, yaitu seberapa banyak (ukuran optimum) pemerintah harus menyediakan barang-barang publik, apakah sekarang ini pengeluaran pemerintah untuk sektor publik sudah tepat, dan apakah sektor publik dapat dikontrol? Jawaban pertanyaan-pertanyaan

tersebut tidak dapat ditentukan oleh satu kriteria-pun (Musgrave, 1983 dalam

Kim dan Cayer, 1997). Banyak peneliti berpendapat bahwa sektor publik yang terlalu besar, aktivitasnya tidak dapat dikontrol dan ditentukan oleh pembayar pajak sebagai pembeli barang publik tetapi oleh faktor lain, seperti kekuatan politik atau pegawai pemerintah dengan tujuan untuk memperbesar pendapatannya (Hahm, Kamlet dan Mowery, 1995).

Oleh karena untuk barang-barang publik terdapat masalah pengutaraan nilai kesukaan, maka pembayaran untuk penyediaan barang tersebut tidak


(31)

dapat dilakukan melalui sistem harga melainkan harus melalui sistem pemungutan suara. Dengan sistem pemungutan suara, setiap orang berusaha menggunakan haknya sehingga hasil pemungutan suara tersebut sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Hasil pemungutan suara tidak akan dapat memuaskan setiap orang, akan tetapi dengan menggunakan kriteria tertentu hasil pemungutan suara akan mendekati penyelesaian yang efisien seperti halnya sistem pasar (Musgrave dan Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

3. Memperbaiki asimetri informasi

Dalam praktik, tidak ada satupun bentuk pasar persaingan sempurna. Salah satu syarat yang tidak bisa dipenuhi untuk menjadi pasar persaingan sempurna adalah informasi lengkap dan sempurna dengan biaya murah. Todaro (2000) menyatakan bahwa pasar di negara-negara berkembang seringkali sangat tidak sempurna, sehingga informasi sangat terbatas dan untuk mendapatkannya diperlukan biaya mahal. Dalam kondisi seperti ini, barang, dana, dan sumberdaya sulit menyebar sehingga mengakibat-kan alokasi sumberdaya menjadi tidak tepat.

Para produsen dan konsumen di negara-negara berkembang biasanya kekurangan alat untuk mendapatkan informasi sehingga praktik-praktik pemasaran yang selama ini dilakukan tidak mampu berbuat banyak. Pada kondisi demikian, perilaku maksimalisasi keuntungan dan kepuasan seringkali didasarkan pada informasi yang salah, sehingga pada akhirnya alokasi sumberdaya yang benar-benar efisien tidak akan tercipta (Todaro, 2000). Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah untuk dapat mengeliminasi gap informasi sehingga petani dan konsumen dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang tepat, tentang produksi dengan apa dan berapa input yang digunakan, dan dengan harga berapa dan sebagainya (World Bank, 2009).

4. Regulasi perlawanan aktivitas monopolistik

Produsen bisa menjadi monopolis dikarenakan beberapa hal, diantaranya: produsen tersebut menguasai bahan baku atau teknologi, memperoleh hak

paten, ditetapkan oleh peraturan peemerintah, dan natural monopoly

(memproduksi dalam jumlah besar dengan harga produk sangat rendah sehingga produsen baru tidak sanggup bersaing untuk masuk pasar). Pada

pasar monopoli, produsen akan memproduksi output yang lebih sedikit dengan

harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasar persaingan.

Monopolis mempunyai kekuasaan besar karena mampu mengatur harga dan jumlah barang yang diproduksi. Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa monopoli merupakan sesuatu yang “jelek” karena mengurangi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah perlu mengendalikan pasar monopoli. Regulasi yang biasa dilakukan pemerintah untuk


(32)

mengendalikan monopolis adalah dengan penetapan harga maksimum atau menerapkan pajak yang relatif tinggi.

Peranan pemerintah dalam pembangunan pertanian diaplikasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pembangunan sosial dan ekonomi sektor pertanian. Oleh Ellis (1992), kebijakan di sektor pertanian dibagi menjadi:

1. Kebijakan harga, dirancang untuk mempengaruhi tingkat dan stabilitas

harga output pertanian yang diterima petani agar petani memiliki motivasi

untuk melakukan proses produksi.

2. Kebijakan pemasaran, kebijakan yang memfokuskan pada transfer atau

aliran output pertanian dari petani sampai pada konsumen domestik, atau

pelabuhan ekspor.

3. Kebijakan input, dirancang untuk mempengaruhi harga dan sistem penjual

dan distribusi input variabel yang digunakan dalam proses produksi

pertanian.

4. Kebijakan kredit pertanian, kebijakan yang berkaitan dengan upaya

peningkatan modal kerja untuk pembelian input variabel yang digunakan

dalam produksi pertanian.

5. Kebijakan mekanisasi pertanian, kebijakan yang berkaitan dengan dengan

adopsi teknologi mekanik dalam proses produksi pertanian.

6. Land reform policy, kebijakan yang mencoba mengubah distribusi

kepemilikan lahan sebagai sumberdaya produksi pertanian.

7. Research policy, kebijakan yang memfokuskan pada pengembang-an dan

penyebaran atau difusi teknologi baru yang dirancang untuk peningkatan produktivitas pertanian.

8. Kebijakan irigasi, memfokuskan pada ketersediaan air sebagai sumberdaya

dalam proses produksi pertanian.

Kebijakan-kebijakan pertanian tersebut, secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori intervensi pemerintah, yaitu: (1)

intervensi pada tingkat dan trend harga output dan input pertanian, (2) intervensi

pada institusi, meliputi institusi pemasaran komoditas pertanian dan institusi

penyebaran input dan teknologi pertanian (termasuk lembaga kredit), dan (3)

intervensi pada penciptaan teknolologi dan transmisi-nya ke petani.

Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi

Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang semata. Berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara Barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi identik dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian peran utama pertanian hanya dianggap sebagaai sumber tenaga kerja


(33)

dan bahan-bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektor-sektor industri yang dianggap sebagai sektor unggulan, dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Model pembangunan “dua sektor” Lewis merupakan contoh teori pembangunan yang menitikberatkan pada pengembangan sektor industri secara cepat, dan sektor pertanian dipandang sebagai pelengkap atau penunjang (Todaro, 2000).

Dewasa ini, ahli-ahli ekonomi pembangunan mulai menyadari bahwa daerah pedesaan umumnya dan sektor pertanian khususnya ternyata tidak bersifat pasif, tetapi jauh lebih penting dari sekedar penunjang dalam proses pembangunan ekonomi secara keselurhan. Keduanya, sektor manufaktur dan pertanian, harus ditempatkan pada kedudukan yang sebenarnya, yakni sebagai unsur atau elemen unggulan yang sangat penting, dinamis, dan bahkan sangat menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan.

Peningkatan laju pertumbuhan penduduk akibat kemerosotan tajam angka kematian akan meningkatkan permintaan bahan pangan. Oleh karena itu kenaikan

output pangan di sektor pertanian seharusnya melaju lebih cepat daripada laju

kenaikan permintaan pangan. Jika kenaikan produksi pangan di suatu negara, lebih rendah dari kenaikan permintaan-nya maka dapat terjadi kenaikan harga dan impor pangan. Kondisi ini mungkin akan mengorbankan impor barang-barang modal yang diperlukan untuk pembangunan (Jhingan, 2008).

Pasar bagi barang manufaktur sangat kecil di negara-negara terbelakang, dimana para petani dan keluarganya yang merupakan dua per tiga atau empat per lima dari jumlah penduduk, berpendapatan rendah dan sangat miskin untuk membeli barang-barang manufaktur. Rendahnya daya-beli ini menandakan rendahnya produktivitas pertanian. Hal ini menyebabkan rendahnya hasil investasi sebagai akibat sempitnya pasar. Kenaikan daya-beli daerah pedesaan sebagai akibat kenaikan surplus pertanian, merupakan perangsang kuat terhadap perkembangan industri. Meningkatnya daya-beli daerah pedesaan sebagai hasil

perluasan output dan produktivitas pertanian akan cenderung meningkatkan

permintaan barang manufaktur dan memperluas ukuran pasar. Selanjutnya

permintaan akan input dan peralatan pertanian yang lebih baik akan mendorong

perluasan industri lebih jauh lagi. Disamping itu, sarana transportasi dan perhubungan akan berkembang luas dalam rangka untuk mengangkut surplus pertanian ke kota dan barang manufaktur ke daerah pedesaan. Dampak jangka panjang perluasan sektor sekunder dan tersier akan berbentuk keuntungan di sektor-sektor tersebut sehingga cenderung meningkatkan laju pembentukan modal melalui reinvestasi. Oleh Kuznets, hal ini disebut “kontribusi produk” sektor

pertanian yang memperbesar (1) pertumbuhan output netto total perekonomian,

dan (2) pertumbuhan output per kapita. Jadi dapat disimpulkan bahwa tanpa

pembangunan daerah pedesaan yang integratif (integrated rural development),


(34)

berjalan, pertumbuhan industri tersebut akan menciptakan berbagai ketimpangan internal yang sangat parah dalam perekonomian (Todaro, 2000; Jhingan, 2008).

Peningkatan ekspor output pertanian sebagai akibat meningkatnya

produksi dan produktivitas sektor pertanian, akan memperbesar penerimaan devisa. Dengan demikian surplus pertanian mendorong pembentukan modal jika

barang-barang modal diimpor dengan menggunakan devisa dari ekspor output

pertanian. Produksi pangan dan ekspor hasil pertanian yang semakin besar tidak hanya menghemat dan memperoleh devisa tetapi juga menyebabkan perluasan sektor perekonomian lainnya, dan bisa mengahasilkan barang-barang subtitusi impor (Todaro, 2000; Jhingan, 2008).

Negara terbelakang memerlukan sejumlah modal untuk membiayai pembangunan, perluasan infrastruktur, pengembangan industri dasar dan industri berat. Pada tahap awal pembangunan, modal dapat disediakan dengan meningkatkan surplus sektor pertanian. Selanjutnya, kenaikan pendapatan daerah pedesaan sebagai akibat surplus hasil pertanian cenderung memperbaiki kesejahteraan daerah pedesaan. Petani mulai mengkonsumsi lebih banyak bahan makanan yang memiliki nutrisi tinggi, membangun rumah yang lebih bagus dengan perabotan modern, mendapatkan pelayanan jasa pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya yang lebih baik (Jhingan, 2008).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumbangan atau jasa sektor pertanian pada pembangunan ekonomi, meliputi: (1) menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat, (2) meningkatkan permintaan produk industri dan dengan demikian mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier, (3) menyediakan tambahan pendapatan devisa untuk impor barang-barang modal pembangunan melalui ekspor hasil pertanian yang terus menerus, (4) meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi pemerintah, dan (5) memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan (Jhingan, 2008).

Pertanian sudah lama diakui sebagai suatu instrumen untuk mengurangi kemiskinan, tetapi pertanian juga bisa menjadi sektor terdepan dalam suatu strategi pertumbuhan untuk negara-negara berbasis pertanian. Namun demikian pemanfatan pertanian untuk pembangunan masih sangat kurang. Kebijakan-kebijakan penetapan pajak yang terlampau tinggi dan kurangnya investasi di sektor pertanian dikambing-hitamkan, mencerminkan suatu politik-ekonomi dimana kepentingan kota dianakemaskan. Dibandingkan dengan negara-negara yang berhasil mengalami transformasi, ketika pertanian masih memberikan sumbangan besar bagi PDB, belanja publik sektor pertanian di negara-negara berbasis pertanian sangat rendah, padahal belanja publik di sektor pertanian tersebut akan menyumbang tinggi rendahnya PDB pertanian mereka (4 persen di negara-negara berbasis pertanian pada tahun 2004 dibandingkan dengan 10 persen pada tahun 1980 di negara-negara yang mengalami transformasi) (World Bank, 2008).


(35)

Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi

Kebijaan fiskal terfokus pada segi penerimaan (perpajakan), subsidi, pinjaman masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi. Peranan kebijakan fiskal bagi negara maju adalah untuk menstabilkan laju pertumbuhan. Dalam konteks perekonomian negara terbelakang, peranan kebijakan fiskal adalah untuk memacu laju pembentukan modal yang dirancang sebagai piranti pembangunan ekonomi. Kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan berikut : (1) untuk meningkatkan laju investasi, (2) untuk mendorong investasi optimal secara sosial, (3) meningkatkan kesempatan kerja, (4) untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional, (5) untuk menanggulangi inflasi, dan (6) untuk meningkatkan dan meredistribusikan pendapatan nasional (Jhingan, 2008).

Dengan mengontrol antara 15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan kekuatan utama dalam menggerakkan perekonomian di banyak negara berkembang. Jadi berdasarkan volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua lingkaran ekonomi. Kebijakan fiskal mempengaruhi kegiatan perekonomian melalui : (1) alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan pengeluaran publik, (2) bentuk-bentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah, dan (3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro, 2000; Musgrave and Peggy, 1989; Jhingan, 2008).

Kebijakan fiskal merupakan wahana utama bagi peran aktif pemerintah dibidang ekonomi. Sebagian besar upaya stabilisasi makro-ekonomi berfokus pada pengendalian atau pemotongan anggaran belanja pemerintah dalam rangka mencapai keseimbangan neraca anggaran. Permasalahan dalam bidang fiskal tidak hanya mencakup kompleksitas dalam memformulasikan besaran penerimaan dan mengatur kombinasi alokasi pengeluaran negara yang optimal, melainkan yang

lebih menonjol adalah kearah upaya menutup kekurangan pembiayaan (financing

gap) berkaitan dengan pembayaran hutang. Dengan demikian tantangan kebijakan

fiskal kedepan tidak hanya dalam penentuan strategi pembiayaan yang tepat, tetapi juga kepada masalah pengendalian defisit anggaran. Pinjaman dalam dan luar negeri dapat digunakan untuk menutupi kesenjangan tabungan. Dalam jangka panjang, salah satu potensi pendapatan yang tersedia bagi pemerintah untuk membiayai segala usaha pembangunan adalah penggalakan pajak. Kemanjuran kebijakan fiskal akan bergantung pada struktur perpajakan negara (Todaro, 2000; Departemen Keuangan, 2004; Jingan, 2008).

Sebenarnya penggunaan secara luas kebijakan fiskal sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi. Pendapatan dan tabungan per kapita di negara-negara terbelakang adalah sangat rendah. Beberapa orang yang kaya justru suka pada konsumsi mewah. Sebagian tabungan disalurkan pada jalur-jalur tidak produktif, seperti perumahan, penimbunan intan, emas, permata, spekulasi dan


(36)

sebagainya. Kebijakan fiskal mengalihkan hal-hal tersebut ke saluran-saluran produktif. Perusahaan swasta di negara berkembang biasanya enggan menanamkan modal dibidang-bidang yang riskan dan tidak cepat menghasilkan. Hanya sedikit orang kaya yang menginvestasikan pada industri barang konsumsi, perkebunan dan pertambangan. Dalam keadaan seperti itu, pembangunan ekonomi yang cepat hanya dimungkinkan melalui pengeluaran negara. Oleh karena itu menjadi tanggungjawab negara untuk menciptakan infrastruktur yang diperlukan bagi pembangunan. Negara memiliki sumber keuangan yang lebih besar dan

berada dalam posisi yang memungkinkan untuk melancarkan overhead sosial dan

ekonomi yang memerlukan jangka waktu persiapan lama. Peranan belanja negara dalam pembangunan ekonomi terletak didalam peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan standar kehidupan, penurunan kesenjangan pendapatan dan kemakmuran, dalam mendorong inisiatif dan usaha swasta dan dalam mewujudkan keseimbangan regional di dalam perekonomian (Jhingan, 2008).

Peran pengeluaran pemerintah (sektor publik) di negara maju terutama ditujukan untuk stabilisasi perekonomian, simulasi aktivitas investasi dan sebagainya. Sedangkan di negara terbelakang pengeluaran pemerintah memainkan

peran aktif dalam mengurangi dispariras regional, pengembangan social

overheads, penciptaan infrastruktur pertumbuhan ekonomi dalam bentuk fasilitas

transportasi dan komunikasi, pendidikan dan latihan, pertumbuhan industri

barang-barang modal, pertumbuhan industri dasar dan utama, research and

development, stimulasi tabungan nasional, pembentukan modal dan sebagainya.

Meskipun secara teori dipercaya bahwa pemerintah kurang efisien dalam menggunakan dana dibanding sektor privat, disamping itu, pengeluaran pemerintah yang terlalu besar akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Tetapi pemerintah menyediakan barang-barang publik yang sangat diperlukan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang mana tidak disediakan oleh sektor privat secara pasti (Tulsidharan, 2006).

Berdasarkan teori ekonomi, defisit anggaran merupakan ekspansi, sedangkan surplus anggaran adalah kontraksi pada perekonomian. Tetapi pendapat yang menyatakan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih merupakan kontroversi (Jiranyakul dan Brahmasrene, 2007). Defisit anggaran merupakan penyebab utama ketidak seimbangan makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan komponen utama pada kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip pengurangan defisit anggaran dapat dilakukan melalui dua hal : (1) pengurangan pengeluaran anggaran, dan (2) peningkatan pendapatan pemerintah Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan, penekanan diberikan kepada pendekatan pertama (Todaro, 2000; Jhingan, 2008).

Defisit anggaran merupakan metode paling mujarab bagi peningkatan pembangunan ekonomi di negara terbelakang. Sifat dasar perekonomian negara


(37)

terbelakang sedemikian rupa sehingga investasi swasta yang besar tidak bisa muncul sebagai akibat berbagai faktor sosial, ekonomi dan kelembagaan. Oleh karena itu tanggungjawab memperbesar laju investasi netto berpindah ke pundak pemerintah. Dengan memperhitungkan kurangnya sumber-sumber yang cukup untuk membiayai investasi negara, pemerintah harus menempuh metode keuangan defisit. Namun demikian defisit anggaran juga mempunyai dampak buruk, yaitu potensi terjadinya inflasi yang tinggi (Jhingan, 2008).

Kinerja Fiskal Daerah di Indonesia

Sejak diaplikasikannya otonomi daerah di Indonesia membawa implikasi adanya penyerahan dan pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk menetapkan kebijakan fiskal daerah. Konsekuensi-nya adalah pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut, dikenal dengan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah distribusi sumberdaya keuangan

(financial sharing) dengan tujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan

kemampuan otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuan membiayai otonominya, dan untuk menciptakan sistem pembayaran yang adil, proporsional, rasional serta kepastian sumber keuangan yang berasal dari wilayah yang bersangkutan (Priyarsono, 2011).

Kinerja fiskal daerah dapat diukur dengan tiga konsep yang merupakan kerangka dasar kinerja fiskal daerah yaitu : (1) kebutuhan fiskal, (2) ketersediaan fiskal yang merupakan proksi dari potensi daerah, dan (3) kesenjangan fiskal. Ketiga konsep ini sangat terkait dengan perekonomian daerah dalam hal pembiayaan pembangunan daerah termasuk pengadaan barang-barang publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Simanjuntak, 2001).

Secara teori kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh penerimaan daerah namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Bila kebutuhan fiskal meningkat maka akan berdampak meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah harus memenuhi kebutuhan publik untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial rakyatnya. Cara pemikiran keuangan negara ini berbeda dengan keuangan rumahtangga dan perusahaan. Pembangunan fasilitas publik merupakan salah satu indikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fasilitas kesehatan, fasilitas jalan, jembatan serta fasilitas lainnya yang menunjang aktivitas masyarakat dan pengelolaannya oleh pemerintah (Stiglitz, 2000; Musgrave and Peggy, 1989).

Kapasitas fiskal atau disebut juga dengan potensi daerah merupakan penjumlahan dari PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan Total Bagi Hasil (TBHS) yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak (BHTX) dan Bagi Hasil Sumberdaya Alam (BHSDA) atau Bagi Hasil Bukan Pajak (BHNT). Formulasi potensi daerah berdasarkan perumusan dalam DAU tahun 2002 adalah : Potensi Daerah = PAD +


(38)

(PBB + BPHTB + BHSDA +PPh), dimana PAD adalah angka estimasi penerimaan PAD yang dihitung dengan mengalikan PAD rata-rata dengan indeks industri daerah tersebut (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Priyarsono (2011) menyebutkan bahwa sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari: (1) Penghasilan Asli Daerah (PAD), (2) transfer dari pemerintah pusat atau dana perimbangan, (3) pinjaman daerah, (4) penerimaan lain-lain yang sah. PAD didefinisikan sebagai sumber yang penguasaan dan pengelolaannya diserahkan oleh negara kepada daerah otonom. Transfer pemerintah pusat didefinisikan sebagai pengalihan dari pendapatan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang berperan penting dalam menentukan tingkat disparitas atau jarak sosial sehingga dalam jangka panjang dapat mengembangkan perekonomian negara. Dana perimbangan dari pemerintah pusat terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum, dan Dana

Alokasi Khusus (DAK). DBH dan DAU bersifat block grant sedangkan DAK

memiliki sifat specific grant. Dana Bagi Hasil meliputi penerimaan pajak pusat,

yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumberdaya alam (minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan). Secara garis besar DBH dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; (1) DBH yang bersumber dari perpajakan, dan (2) DBH yang bersumber

dari dari sumberdaya alam.

Fiscal gap atau kesenjangan fiskal adalah selisih antara ketersedian fiskal

daerah dengan kebutuhan fiskal daerah. Dengan kondisi tersebut maka bila suatu daerah memerlukan pembiayaan kebutuhan daerah yang lebih besar tetapi tidak mampu membiayai sendiri dengan kemampuan atau potensi daerah yang ada, maka akan menyebabkan kesenjangan fiskal yang lebih besar. Dengan demikian pemerintah pusat melalui instrumen dana penyeimbang akan memenuhi kekurangan dari potensi daerah untuk pembiayaan pengeluaran daerah, dengan standar kebutuhan mininum daerah dan berdasarkan besarnya dana untuk DAU yang tersedia untuk provinsi (Brodjonegoro, 2001).

Kesenjangan fiskal yang terjadi di beberapa daerah akan menimbulkan manuver-manuver politik termasuk lobi-lobi dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat untuk meningkatkan penerimaan DAU untuk daerahnya. Bila kondisi tersebut terus terjadi maka kemandirian daerah yang merupakan tujuan dari otonomi daerah, akan semakin jauh untuk dicapai. Pembangunan daerah yang hanya mengandalkan standar mininum tentu saja tidak akan memuaskan masyarakat, sehingga akan berdampak terhadap kinerja perekonomian daerah (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Selama otonomi daerah, terjadi peningkatan PAD kabupaten atau kota di Indonesia, tetapi pada umumnya kinerja keuangan daerah masih rendah.. Dari sisi penerimaan, tingkat kemandirian daerah semakin menurun, yang artinya ketergantungan daerah terahadap pemerintah pusat semakin besar. Sedangkan dari


(1)

Lampiran 15 Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2014 – 2018 dengan Metode

Newton, Prosedur SIMNLIN dan

Software SAS/ETS

9.1.3

Contoh : Provinsi Sumatera Utara

options nodate nonumber;

proc import datafile="D:\Proposal\DataAkhir12.xls"

out=work.disert dbms=excel2002; sheet='disert';

getnames=yes; run;

data DataAkhir12; set disert; if prov=1; run;

proc forecast data=DataAkhir12 method=stepar trend=2 out=ramal outdata lead=8;

id tahun;

var trevd pad trans pdll txd rest bumd padl tge pl ptl plsa plsind plsll pltsnak plkan pltphut jtu lw lahut jnl pop jtb lats latp ttk tksa tksind tksll jgur utkar rutkr tpdrb pdrba pdrbind pdrbll npts nptp npnak npkan nphut tinv invsa invsna tsbr d t pinvsa pjgur fgap ppl nptsnak nptphut jpmk jpmd tjpm lginvsa;

run;

data DataAkhir12; set ramal;

LTXD =lag(txd); LREST =lag(rest); LTRANS =lag(trans); LPLTSNAK =lag(pltsnak); LPLTPHUT =lag(pltphut); LPLKAN =lag(plkan); LPLSIND =lag(plsind); LPLSLL =lag(plsll); LINVSA =lag(invsa); LINVSNA =lag(invsna); LTKSIND =lag(tksind); LTKSLL =lag(tksll); LNPHUT =lag(nphut); LPDRBIND =lag(pdrbind); LJPMD =lag(jpmd); LJPMK =lag(jpmk); run;

proc simnlin data=DataAkhir12 dynamic simulate out=n_endo;

endogenous trevd pad trans txd rest tge pl plsa plsind plsll pltsnak plkan pltphut ttk tksa tksind tksll tpdrb pdrba pdrbind pdrbll npts nptp npnak npkan nphut tinv invsa invsna fgap nptsnak nptphut jpmk jpmd tjpm;

exogenous pdll bumd padl ptl jtu lw lahut jnl pop jtb lats latp jgur utkar rutkr tsbr d t pinvsa pjgur ppl lginvsa stk;

LTXD =lag(txd); LREST =lag(rest); LTRANS =lag(trans);


(2)

LPLTSNAK =lag(pltsnak); LPLTPHUT =lag(pltphut); LPLKAN =lag(plkan); LPLSIND =lag(plsind); LPLSLL =lag(plsll); LINVSA =lag(invsa); LINVSNA =lag(invsna); LTKSIND =lag(tksind); LTKSLL =lag(tksll); LNPHUT =lag(nphut); LPDRBIND =lag(pdrbind); LJPMD =lag(jpmd); LJPMK =lag(jpmk);

parm a0 -67.2978 a1 0.103914 a2 0.002297 a3 -9.24667 a4 -0.63188 a5 0.624050

a6 24.15610

b0 7.654796 b1 0.003563 b2 -0.00044 b3 5.090333 b4 0.798802 b5 -8.27143

c0 640.2669 c1 0.008282 c2 27.86401 c3 3.070498 c4 0.684135 c5 -7.38221

d0 13.37266 d1 -0.00328 d2 0.006109 d3 0.009732 d4 0.504535 d5 16.51775

e0 4.406366 e1 0.008292 e2 0.000718 e3 0.001186 e4 0.540416 e5 3.359179

f0 4.805179 f1 -0.02872 f2 0.002758 f3 0.012082 f4 0.643018 f5 2.422635

g0 1.055061 g1 0.001608 g2 0.629297 g3 -1.47032

h0 -58.8442 h1 0.907860 h2 -39.3412 h3 0.301693 h4 0.379591 h5 -4.78993

i0 -153.294 i1 0.236789 i2 5.304186 i3 -9.16209 i4 0.014069 i5 -1.20896

i6 0.612764 i7 37.31356

j0 -181.082 j1 0.152709 j2 -41.0190 j3 58.92825 j4 -0.36723 j5 0.774761

j6 47.69964

k0 864.1655 k1 0.345733 k2 -2.49159 k3 2.357372 k4 111.3887 k5 85.73236

l0 10.71302 l1 0.013348 l2 -0.03743 l3 0.295095 l4 0.993479 l5 5.622711

m0 43.54898 m1 0.015273 m2 -0.11216 m3 0.025574 m4 0.992697 m5 9.115334

n0 -2542.67 n1 18.34013 n2 0.116106 n3 3.437994 n4 -134.327

o0 48.33447 o1 0.050735 o2 0.584386 o3 1.452905 o4 10.42339 o5 -243.515

p0 -202.987 p1 0.680854 p2 18.84470 p3 0.724791 p4 1318.782

q0 18.68219 q1 0.040381 q2 0.179503 q3 -0.00086 q4 0.974668 q5 -27.8357

r0 -126.325 r1 0.220608 r2 24.68951 r3 0.226150 r4 104.7234

s0 -127.837 s1 0.406691 s2 1.102012 s3 8.639106 s4 0.977817 s5 -61.8814

t0 -4533.31 t1 0.630172 t2 7.658312 t3 12.79200 t4 -5285.68

u0 -2.20414 u1 -0.00154 u2 4.605677 u3 -2.66553 u4 0.969502 u5 -2.97144

v0 8.432299 v1 -0.00075 v2 -0.00011 v3 0.154326 v4 0.908720 v5 -15.2561;

txd =a0 + a1*ptl + a2*tpdrb + a3*pop + a4*lw + a5*ltxd + a6*d; rest =b0 + b1*pl + b2*tpdrb + b3*pop + b4*lrest + b5*d; trans =c0 + c1*tpdrb + c2*pop + c3*lw + c4*ltrans + c5*d; pltsnak =d0 + d1*lats + d2*jtb + d3*trevd + d4*lpltsnak + d5*d; pltphut =e0 + e1*latp + e2*lahut + e3*trevd + e4*lpltphut + e5*d; plkan =f0 + f1*jnl + f2*trevd + f3*lw + f4*lplkan + f5*d;

plsind =g0 + g1*trevd + g2*lplsind + g3*d;

plsll =h0 + h1*lw + h2*pop + h3*trevd + h4*lplsll + h5*d;

invsa =i0 + i1*plsa + i2*ppl + i3*tsbr + i4*lw + i5*pop + i6*linvsa + i7*d; invsna =j0 + j1*plsll + j2*tsbr + j3*pop + j4*lw + j5*linvsna + j6*d; tksa =k0 + k1*pinvsa + k2*utkar + k3*plsa + k4*pop + k5*d;

tksind =l0 + l1*invsna + l2*rutkr + l3*plsind + l4*ltksind + l5*d; tksll =m0 + m1*invsna + m2*rutkr + m3*plsll + m4*ltksll + m5*d; npts =n0 + n1*pltsnak + n2*lats + n3*tksa + n4*d;

npnak =o0 + o1*linvsa + o2*pltsnak + o3*jtb + o4*jtu + o5*d; nptp =p0 + p1*lginvsa + p2*pltphut + p3*tksa + p4*d;

nphut =q0 + q1*invsa + q2*pltphut + q3*lahut + q4*lnphut + q5*d; npkan =r0 + r1*invsa + r2*plkan + r3*tksa + r4*d;

pdrbind =s0 + s1*invsna + s2*tksind + s3*plsind + s4*lpdrbind + s5*d; pdrbll =t0 + t1*invsna + t2*tksll + t3*plsll + t4*d;

jpmd =u0 + u1*pdrba + u2*pjgur + u3*t + u4*ljpmd + u5*d; jpmk =v0 + v1*pdrbind + v2*pdrbll + v3*jgur + v4*ljpmk + v5*d;


(3)

tge = pl + ptl;

pl = plsa + plsind + plsll; plsa = pltsnak + pltphut + plkan; trevd = pad + trans + pdll; pad = txd + rest + bumd + padl; fgap = tge - pad;

tinv = invsa + invsna; ttk = tksa + tksind + tksll; nptsnak = npts + npnak; nptphut = nptp + nphut;

pdrba = nptsnak + nptphut + npkan; tpdrb = pdrba + pdrbind + pdrbll; tjpm = jpmd + jpmk;

Range tahun = 2014 to 2018;

run;

proc print data=n_endo;

var trevd pad trans txd rest tge pl plsa plsind plsll pltsnak plkan pltphut fgap tinv invsa invsna ttk tksa tksind tksll tpdrb pdrba pdrbind pdrbll npts nptp npnak npkan nphut nptsnak nptphut tjpm jpmk jpmd;


(4)

Lampiran 16 Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2014 – 2018 dengan Metode

Newton, Prosedur SIMNLIN dan

Software SAS/ETS

9.1.3

Contoh : Provinsi Sumatera Utara

The SAS System

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 58

Endogenous 35

Exogenous 23

Parameters 130

Range Variable TAHUN Equations 35

Number of Statements 51

Program Lag Length 1

The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= DATAAKHIR12 OUT= N_ENDO Solution Summary Variables Solved 35

Simulation Lag Length 1

Solution Range TAHUN First 2014

Last 2018

Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 3.02E-15 Maximum Iterations 1

Total Iterations 5

Average Iterations 1

Observations Processed Read 6

Lagged 1

Solved 5

First 12


(5)

The SAS System

Obs TREVD PAD TRANS TXD REST TGE PL PLSA PLSIND

1 10835.25 2253.26 8347.36 1733.69 171.391 11766.51 4850.71 491.973 49.0630 2 10662.76 2457.51 8001.08 1915.53 167.419 12132.59 4838.72 474.803 47.6056 3 10600.05 2637.52 7788.82 2072.88 163.687 12479.12 4807.18 465.822 46.5877 4 10618.93 2803.40 7672.27 2216.07 160.002 12845.18 4795.18 462.041 45.9775 5 10700.17 2961.61 7625.76 2351.69 156.212 13239.18 4811.11 461.744 45.7241

Obs PLSLL PLTSNAK PLKAN PLTPHUT FGAP TINV INVSA INVSNA TTK

1 4309.67 306.891 98.5447 86.5375 9513.25 2275.41 317.659 1957.75 6514.99 2 4316.31 287.507 98.5508 88.7454 9675.08 2885.46 336.115 2549.35 6692.29 3 4294.77 277.088 98.3795 90.3539 9841.60 3359.04 345.052 3013.98 6901.55 4 4287.16 271.986 98.3190 91.7351 10041.78 3731.78 349.387 3382.39 7133.43 5 4303.65 270.174 98.5018 93.0676 10277.57 4031.65 351.728 3679.92 7382.56

Obs TKSA TKSIND TKSLL TPDRB PDRBA PDRBIND PDRBLL NPTS NPTP

1 2717.03 567.214 3230.74 124491.94 23422.06 29783.78 71286.09 12466.20 4817.13 2 2700.86 608.425 3383.00 126969.23 23007.48 31051.93 72909.81 12058.74 4846.70 3 2704.00 655.284 3542.26 129500.32 22829.72 32523.75 74146.84 11882.07 4878.97 4 2719.40 706.592 3707.43 132514.83 22804.26 34164.02 75546.55 11845.07 4915.84 5 2743.02 761.477 3878.06 136081.17 22882.31 35947.21 77251.65 11896.64 4957.75

Obs NPNAK NPKAN NPHUT NPTSNAK NPTPHUT TJPM JPMK JPMD

1 1545.64 3095.95 1497.14 14011.84 6314.27 1233.67 696.460 537.205 2 1529.26 3096.52 1476.26 13588.00 6322.96 1116.37 650.170 466.200 3 1517.16 3094.97 1456.54 13399.23 6335.51 994.92 602.936 391.986 4 1507.69 3097.92 1437.73 13352.76 6353.58 869.13 554.701 314.426 5 1499.91 3108.29 1419.72 13396.55 6377.47 738.88 505.414 233.462


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blora - Jawa Tengah pada tanggal 23 Desember 1963 dari

pasangan Bapak Soepardi dan Ibu Soemiyatun. Penulis sebagai anak pertama dari 3 (tiga)

bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah

Menengah Atas (SMA) di Blora, yaitu SD Negeri Bradag, Sekolah Menengah Pertama

(SMP) Negeri 1 Blora, dan SMA Negeri Blora. Selanjutnya pada tahun 1988, penulis

menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada tahun 1989, penulis melaksanakan Ikatan Dinas

(ID) pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia sebagai Tenaga Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo

Kendari.

Kemudian pada tahun 1989, penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana (S2)

di Program Studi Agribisnis Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian Program Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 2009 dengan bantuan beasiswa dari BPPS

DIKTI, penulis melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN)

Sekolah Pascarsarjana (SPS) Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sejak tahun 1989 hingga sekarang, penulis adalah sebagai Tenaga Pengajar pada

Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Penulis telah menikah dengan Hertin

Dewi Sulistyani, SE dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang putra, yaitu: Gadhang Tapak

Muhammad Budiyanto, Galang Jejak Muhammad Budiyanto, dan Gemilang Kawruh

Muhammad Budiyanto.