Kapolri Masa Depan.

KAPOLRI MASA DEPAN
Oleh: Muradi


Rencana percepatan pergantian Kapolri sebagai antisipasi
pengamanan Pemilu 2014 mendapat respon beragam dari publik dan elit
politik. Selain karena masih relatif panjangnya masa pensiun Timur Pradopo,
juga yang lebih mendesak adalah pergantian Wakapolri yang akan memasuki
masa pensiun pada pertengahan tahun 2013 ini. di samping itu, sejumlah
problematika yang dihadapi Polri masih menjadi bagian yang sulit untuk
diurai dan diselesaikan. Apalagi era kepimpinan Timur Pradopo sejak
Oktober 2010 dianggap oleh sejumlah kalangan tidak cukup mampu
menuntaskan masalah tersebut. Adapun tiga masalah tersebut adalah kasus
korupsi di internal Polri, pola hubungan Polri dengan instansi lain, seperti
TNI dan KPK, serta kinerja Polri yang tak kunjung membaik setelah hampir
15 tahun berpisah dari TNI.
Agaknya apa yang menjadi pemikiran Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk segera mengganti Kapolri saat ini bisa jadi tepat karena
bila tiga permasalahan tersebut tidak tertuntaskan, maka kinerja Polri akan
tersandera dan terus terinterupsi dari pada fokus pada pengamanan
pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2014 mendatang. Hal yang mana

secara telanjang dipraktikkan oleh Timur Pradopo saat terus menerus
berupaya membela Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi saat menjabat
sebagai Kepala Korps Lantas Mabes Polri.
Masalah yang kemudian muncul adalah apakah masih ada perwira
Polri yang bersih dan bervisi membangun organisasi dan selaras dengan
semangat keinginan publik? Pertanyaan retoris tersebut memang sulit
dijawab apabila melihat kompleksitas permasalahan di Polri. Sebab, tugas
berat dari Kapolri baru sebelum memasuki tahun 2014 adalah menyelesaikan
tiga permasalahan tersebut. Makin kronisnya korupsi di internal Polri
mencerminkan bahwa secara organisasi, Polri butuh kepemimpinan yang
tidak biasa dan memiliki komitmen untuk membawa Polri pada tingkatan
yang lebih maju dari sebelumnya. Dengan kata lain menuntaskan kasus
korupsi di internal Polri akan membawa efek positif bagi kinerja Polri dan
hubungan Polri dengan instansi terkait lainnya, khususnya KPK dan TNI.
Untuk mendapatkan calon Kapolri yang dapat menjamin langkahlangkah pembersihan internal dan penguatan kelembagaan sebagaimana
yang dilakukan oleh Hoegeng dan Awaloeddin Djamin ketika mereka
memimpin Polri pada dua periode yang berbeda tentu tidak mudah. Bila
Hoegeng memimpin Polri di awal Orde Baru dan mendapatkan tantangan
tidak saja dari internal, tapi juga eksternal era itu, maka Awaloeddin Djamin
melakukan bersih-bersih di Polri dengan menangkap dan menghukum

Wakapolri ketika itu yang terlibat korupsi di internal Polri pada awal tahun
80-an.
Penulis adalah Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP UNPAD, Bandung dan Penulis Buku
Polri, Politik dan Korupsi. Alamat:, Jl. Saturnus Utara XIV No.1, Margahayu Raya Bandung.
Phone: 022 7500371 Mobile: 081384330813. Email: muradi_clark@unpad.ac.id, No. Acc BCA:
111-111-0781


Permasalahan yang dihadapi oleh Presiden Yudhoyono dan internal
Polri sesungguhnya tergantung pada kepentingan masing-masing yang kerap
kali tidak sinergis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi
Kapolri harus dekat dengan penguasa dan mendukung kepentingan
pemerintah. Situasi tersebut berbanding terbalik dengan kepentingan internal
Polri yang menginginkan agar Presiden dapat memilih figur terbaik internal
yang diusulkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Mabes
Polri. Hal tersebut setidaknya tercermin dari pemilihan Kapolri Timur
Pradopo oleh Presiden Yudhoyono yang tidak sesuai dengan harapan dari
internal.
Di samping itu, masalah klasik yang terus muncul dalam pemilihan
Kapolri dan memicu pertentangan di internal adalah masalah angkatan dan

koprs di internal Polri. Bila masalah angkatan lebih banyak terselesaikan
dengan pendistribusian posisi jabatan apabila salah satu angkatan menjadi
Kapolri. Maka masalah ke-koprs-an cenderung mengarah pada seberapa
besar akses kekuasaan untuk mendapat dukungan dan dipilih oleh Presiden.
Sekedar ilustrasi, dua korps yang dinilai memiliki akses ekonomi yang lebih
besar seperti Bareskrim dan Korps Lantas cenderung tidak memiliki masalah
dengan dukungan finansial apabila terpilih menjadi Kapolri. Sebaliknya
korps lain seperti Brimob, Baintelkam, Baharkam dan sebagainya lebih
banyak mengandalkan dukungan kepercayaan dan loyalitas dari pada
dukungan finansial. Tak heran apabila komposisi pimpinan Polri yang ideal
adalah gabungan dari dua kutub korps tersebut; kemampuan finansial dan
loyalitas, selain yang memiliki komitmen bersih dan integritas personal yang
dapat dipertanggung jawabkan.
Selain itu, keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang
periode kali ini memiliki kewenangan yang lebih baik untuk menyampaikan
figur-figur calon Kapolri kepada Presiden. Kewenangan tersebut sedikit
banyak memberikan berbagai alternatif bagi Presiden untuk mengajukan
calon Kapolri ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Dalam konteks ini,
Kompolnas tentu dapat menjadi salah satu penyaring dari figur-figur yang
layak untuk dicalonkan ke Presiden untuk dipilih.

Dari uraian tersebut, maka Kapolri masa depan adalah figur yang
setidaknya memiliki komitmen dan dapat menuntaskan masalah korupsi di
internal Polri. Hal ini akan berkorelasi pada meningkatkan kinerja dan
koordinasi dengan instansi terkait; dengan KPK, Polri secara terencana dapat
bersama-sama melakukan pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan
kewenangan. Sedangkan dengan TNI, Polri dapat bergandengan tangan
dengan hubungan yang setara dalam pengamanan keamanan, yang mana
selama ini belum dapat dikatakan sinergis.
Berkaitan dengan pengajuan dan keterpilihan figur Kapolri oleh
Presiden kepada DPR, penting sekali untuk diperhatikan terkait dengan
dinamika internal Polri. Sebab apabila salah pilih, maka soliditas internal
Polri dapat terkoreksi, yang pengaruhnya akan mengkoreksi pula kinerja dan
fokus Polri dalam pengamanan Pemilu 2014 mendatang. Dan salah satu cara
untuk memahami dinamika internal Polri adalah, Presiden harus benar-benar
memperhatikan rekomendasi dari Wanjakti Mabes Polri dan juga Kompolnas.
Dan tentu saja hal tersebut tergantung dari kemauan politik Presiden

Yudhoyono dalam memilih Kapolri. Karena memilih calon Kapolri yang
memiliki hubungan baik saja tidak menjamin kinerjanya akan menopang
pemerintahannya, sebagaimana pilihannya pada Kapolri saat ini.