Perbedaan tingkat empati antara pemain teater dan bukan pemain teater - USD Repository

  

PERBEDAAN TINGKAT EMPATI ANTARA PEMAIN TEATER DAN

BUKAN PEMAIN TEATER

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Oleh:

  

Nenis Susianti

NIM: 079114061

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2012

  

MOTTO

  Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan

  (Yeremia 29 : 11) Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu;

  Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan

  (Yesaya 41 : 10)

  

PERSEMBAHAN

Karya ini ku persembahkan untuk:

  Tuhan Yesus yang selalu menyertai, menolong, dan memberi kekuatan dalam hidupku, Bapak & Ibu yang selalu mendorong dan menjadi motivasi dalam pembuatan tugas akhir ini,

  Kakakku, Sahabat-sahabatku,

  Dan semua orang yang aku sayangi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 28 Juni 2012 Penulis,

  Nenis Susianti

  

PERBEDAAN TINGKAT EMPATI ANTARA PEMAIN TEATER DAN

BUKAN PEMAIN TEATER

Nenis Susianti

  

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat empati antara pemain teater dan

bukan pemain teater. Hipotesis yang diajukan adalah tingkat empati pemain teater lebih tinggi

daripada yang bukan pemain teater. Subjek penelitian ini adalah 120 orang yang terdiri dari 60

mahasiswa jurusan teater dan 60 mahasiswa jurusan non teater. Pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini menggunakan skala empati. Reliabilitas skala empati diuji dengan

menggunakan metode koefisien reliabilitas Alpha Cronbach dan diperoleh hasil 0,867 dari 26 item

dengan rentang korelasi item total antara 0,249 sampai dengan 0,629. Data dianalisis dengan

menggunakan independent sample t-test. Hasil analisis data menghasilkan nilai t sebesar 3,043

(p<0,05). Artinya pemain teater memiliki tingkat empati yang lebih tinggi daripada yang bukan

pemain teater. Pada uji beda tiap aspek dihasilkan nilai t=1.899 (p<0,05) pada aspek fantasy, nilai

t=5.007 (p<0,05) pada aspek perspective taking, nilai t=1.855 (p<0,05) pada aspek empathic

concern , dan nilai t=1.384 (p>0,05) pada aspek personal distress. Nilai tersebut menunjukkan

bahwa perbedaan tingkat empati antara pemain teater dan bukan pemain teater terletak pada aspek

fantasy, perspective taking, dan empathic concern.

  Kata kunci : empati, pemain teater, bukan pemain teater

  

THE DIFFERENCE OF EMPATHY DEGREE BETWEEN THEATRE

ACTORS AND NON-THEATRE ACTORS

Nenis Susianti

ABSTRACT

  This research is aimed to seek for the difference of empathy degree between theatre

actors and non-theatre actors. The hypothesis proposed is that the empathy degree between

theater actors is higher than that of non-theater actors. Subject of this research is 120 people,

which consists of 60 university students majoring theater studies and 60 university students

majoring non-theater studies. Empathy scale is used as the data collection in this research. The

realibility of the empathy scale is verified by using reliability coefficient method Alpha Cronbach

and the result found is 0,867 from 26 item with total item correlation ranges from 0,249 to 0,629.

Data is analyzed using independent sample t-test. The result found is t equals 3,043 (p<0,05). It

means that theater actors have empathy degree which is higher than that of non-theater actors. In

each aspect differences verification, it is resulted that t=1.899 (p<0,05) on the fantasy aspect,

t=5.007 (p<0,05) on the perspective taking aspect, t=1.855 (p<0,05) on the emphatic concern

aspect, and t=1.384 (p>0,05) on the personal distress aspect. Those values show that the

difference of empathy degree between theater actors and non-theater actors is based on the

fantasy, perspective taking, and empathic concern aspects.

  Keywords : empathy, theater actors, non-theater actors

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Nenis Susianti NIM : 079114061

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, karya ilmiah saya yang berjudul:

  

“Perbedaan Tingkat Empati Antara Pemain Teater dan Bukan Pemain

Teater

  Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 28 Juni 2012 Yang menyatakan, Nenis Susianti

KATA PENGANTAR

  Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME yang sudah memberikan kasih setianya sampai pada saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Tingkat Empati Antara Pemain Teater dan Bukan Pemain Teater ”.

  Penulis juga menyadari banyak pihak yang telah berperan serta baik dalam memberikan waktu, tenaga dan pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

  1. Tuhan Yesus yang sudah memberikan kekuatan, kesehatan, dan akal sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing yang sudah membimbing saya dengan penuh kesabaran dari awal sampai akhir dalam pembuatan skripsi ini.

  3. Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan yang sudah membantu kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.

  4. M. M. Nimas E. S., S.Psi., Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjalankan studi.

  5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang selama ini telah memberikan ilmu dan pengetahuannya selama penulis menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  6. Bapak Widodo dan Ibu Yulia yang sudah memotivasi dan mendorong penulis untuk menyelesaikan skripsi.

  7. Kakakku Rama yang terkadang mau bertukar pikiran selama proses pembuatan skripsi ini.

  8. Sahabat-sahabatku Ita, Anggi, Oppie, Ina, Erin, Nyak, Bundo, Nenek, Stella, Katie, Gallo, Ringgo, Intan yang saling memberikan dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

  9. Pacarku Jonathan si Onta yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam proses pembuatan skripsi ini.

  10. Teman-teman ISI Jurusan Teater Mas Sammy, Mas Zain, Mbak Titis, Krisna, dan para responden yang sudah ikut berpartisipasi membantu penyebaran dan mengisi skala penelitian.

  11. Iren (S.Ing), Ida (S.Ing), dan Satria (S. Ing) terima kasih sudah menjadi translator.

  Penulis menyadari juga bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua. AMIN.

  Yogyakarta, 28 Juni 2012 Nenis Susianti

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii HALAMAN MOTTO ...............................................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................. v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................vi ABSTRAK ............................................................................................................. vii ABSTRACT .......................................................................................................... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.....ix KATA PENGANTAR ............................................................................................... x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xvii

  BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 5 BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................................... 7 A. Empati .......................................................................................................... 7

  1. Definisi..................................................................................................... 7

  2. Aspek Empati ........................................................................................... 8

  3. Proses Pembentukan Empati ................................................................... 12

  4. Faktor yang Mempengaruhi Empati ........................................................ 14

  B. Teater ......................................................................................................... 17

  1. Pengertian Teater .................................................................................... 17

  2. Proses Latihan Teater ............................................................................. 18

  C. Mahasiswa .................................................................................................. 21

  D. Empati pada Latihan Teater ........................................................................ 22

  E. Hipotesis ..................................................................................................... 28

  BAB III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 29 A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 29 B. Identifikasi Variabel Penelitian .................................................................. 29 C. Definisi Operasional .................................................................................. 29 D. Subjek Penelitian ....................................................................................... 31 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data .......................................................... 32 F. Kredibilitas Alat Ukur ................................................................................ 33

  1. Validitas ................................................................................................ 33

  2. Seleksi Item ........................................................................................... 34

  3. Reliabilitas ............................................................................................ 37

  G. Metode Analisis Data ................................................................................ 38

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 39 A. Pelaksanaan Penelitian .............................................................................. 39

  B. Deskripsi Hasil Penelitian ......................................................................... 39

  1. Deskripsi Subjek Penelitian ................................................................... 39

  C. Hasil Penelitian ......................................................................................... 41

  1. Deskripsi Data Penelitian ....................................................................... 41

  2. Uji Asumsi ............................................................................................ 42 a . Uji Normalitas .................................................................................. 42 b. Uji Homogenitas ............................................................................... 43

  3. Uji Hipotesis ......................................................................................... 44

  D. Pembahasan ............................................................................................... 46

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 52 A. Kesimpulan ............................................................................................... 52 B. Saran ......................................................................................................... 52 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 55 LAMPIRAN ............................................................................................................ 60

  DAFTAR TABEL Tabel 1. Perkembangan Empati Secara Alami pada Anak-anak ................................ 12 Tabel 2. Blue Print Skala Empati ............................................................................. 32 Tabel 3. Distribusi Item Skala Empati ...................................................................... 33 Tabel 4. Penyebaran Item yang Sahih dan yang Gugur pada Skala Empati ............... 36 Tabel 5. Blue Print Skala Empati Setelah Seleksi Item ............................................. 38 Tabel 6. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ..................................... 40 Tabel 7. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia .................................................... 40 Tabel 8. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Semester ............................................. 40 Tabel 9. Mean Empiris dan Mean Teoritis ................................................................ 42 Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ................................................................................. 43 Tabel 11. Hasil Uji Homogenitas ............................................................................. 43 Tabel 12. Hasil Uji Hipotesis ................................................................................... 44 Tabel 13. Hasil Uji-t Tiap Aspek .............................................................................. 45

  DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema Empati pada Latihan Teater ......................................................... 28

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Skala Penelitian ................................................................................... 60 Lampiran B Uji Reliabilitas ..................................................................................... 68 Lampiran C Uji Normalitas ..................................................................................... 76 Lampiran D Uji Homogenitas ................................................................................. 78 Lampiran E Hasil Uji-T ........................................................................................... 80 Lampiran F Hasil One-Sample T-Test ...................................................................... 86

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu perlu merasakan apa yang dialami oleh orang lain ketika

  berinteraksi sosial. Hal ini dapat mendorong terbentuknya suatu hubungan sosial yang baik dalam pergaulan. Shapiro (1997) mengatakan bahwa individu yang bersikap empati memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menjalin hubungan akrab dengan orang lain. Pernyataan Shapiro tersebut didukung penelitian Suneni (2006) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi empati yang dimiliki individu, semakin tinggi pula kemampuan interaksi sosialnya dengan orang lain.

  Di sisi lain, individu yang kurang memiliki kemampuan empati dapat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat (Goleman, 2007). Rendahnya empati dapat berdampak secara eksternal maupun internal. Contohnya, pada hasil penelitian Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) tentang rendahnya empati para calon dokter Indonesia. Hampir 60 % mahasiswa fakultas kedokteran tahun pertama tidak layak menjadi dokter karena tidak memiliki kemampuan empati (Jena, 2012). Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa secara eksternal, mahasiswa tidak memiliki kepekaan manusiawi seperti empati, simpati, solidaritas, dan semacamnya. Konsekuensinya dokter yang dihasilkan hanya memperhatikan aspek teknis dalam mendiagnosa dan menyembuhkan tanpa rasa kemanusiaan (Jena,

  2012). Menurut Satria (dalam Anna, 2012) kurangnya empati tidak hanya pada mahasiswa kedokteran saja tapi juga mayoritas mahasiswa masa kini.

  Nurdin (2011) menambahkan bahwa mahasiswa dapat saling mencaci maki, menyerang satu sama lain, dan juga seringkali menjadi pemicu konflik dengan masyarakat. Individu kini cenderung mementingkan diri sendiri dan melupakan kondisi di masyarakat (Wahyuningrum, 2008).

  Selain berdampak secara eksternal terhadap orang lain, kurangmya empati juga dapat berdampak secara internal. Menurut Prihartanti (2004), keberadaan empati pada individu terlihat pada tujuan hidupnya seperti berbuat baik, membahagiakan orang lain, melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Menurut Suryomentaram (dalam Prihartanti, 2004) tujuan hidup seperti itu hanya dimiliki oleh individu yang memahami bahwa masyarakat adalah diri sendiri, maka sikap yang kurang memiliki empati seperti mengganggu orang lain juga berarti mengganggu masyarakat dan dapat pula mengganggu dirinya sendiri.

  Hal tersebut menunjukkan pentingnya individu memiliki empati. Bertens (2001) mengatakan bahwa permasalahan dalam masyarakat dapat dihindari, jika individu memiliki sikap empati terhadap orang lain. Individu yang memiliki empati dapat memposisikan dirinya sebagai orang lain, sehingga tahu apa yang sebaiknya dilakukan kepada orang lain.

  Individu pada dasarnya sudah memiliki empati sejak bayi dan berkembang pada masa-masa selanjutnya (Hoffman dalam Goleman, 2007).

  Janet Strayer (dalam Baron & Byrne, 2005) menambahkan bahwa individu dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik akan menentukan potensi bawaan tersebut dapat berkembang atau tidak.

  Individu dapat memperoleh pengalaman spesifik dari lingkungan sekolah, seperti melalui pendidikan atau pelatihan yang dipelajari. Melalui pelatihan individu dapat mempunyai banyak pengalaman yang mempengaruhi perkembangan empati. Hal itu terlihat pada penelitian Lestarianie (2005) yang menunjukkan adanya perbedaan empati yang signifikan antara siswa sekolah menengah kejuruan musik dengan siswa sekolah menengah umum.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah kejuruan musik memiliki empati yang lebih tinggi daripada siswa sekolah menengah umum. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa latihan musik dapat memberikan peranan dalam perkembangan empati individu.

  Pelatihan lain yang nampaknya memberikan peranan terhadap perkembangan empati individu adalah teater. Menurut Sumaryadi (2011), teater memberikan kesempatan untuk mempelajari psikologi manusia dan tingkah lakunya dengan memerankan suatu tokoh. Individu dapat mengidentifikasi dirinya dengan tokoh yang diperankannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan May (1967) bahwa empati mudah dikenali pada dunia seni peran karena terjadi identifikasi yang jelas dari para pemain teater dengan karakter fiktif yang diperankan. Blatner (1996) juga menyatakan bahwa identifikasi yang dalam prakteknya mengambil peran orang lain dapat digunakan untuk membangun suatu peningkatan kapasitas berempati. Individu yang mengalami suatu pengalaman dan berakting akan memungkinkan untuk meningkatkan empati (Smeijsters dan Cleven, 2006).

  Pemain teater dapat mengalami pengalaman yang sama dengan orang lain, yaitu dengan cara mempertanyakan situasi mental dirinya ketika dihadapkan pada masalah yang sama dengan tokoh yang diperankan, seperti apakah yang akan dilakukan atau bagaimanakah perasaan yang dirasakannya.

  Hal ini akan menjadikan pemain teater berempati dengan tokoh yang diperankan. Kreitler dan Kreitler (dalam Strongman, 2003) juga menyatakan bahwa seni peran melibatkan empati.

  Berdasarkan penjabaran di atas muncul pertanyaan apakah pembiasaan latihan teater dapat meningkatkan kemampuan empati individu. Pada penelitian sebelumnya, Reilly, Trial, Piver, dan Schaff (2012) mencoba melihat persepsi seseorang mengenai penggunaan teater dalam meningkatkan empati. Metode yang digunakan oleh Reilly, dkk (2012) adalah workshop. Pada workshop tersebut dilakukan serangkaian kegiatan teater. Pada akhir kegiatan pihak aktor, fakultas dan mahasiswa diminta untuk mengisi kuisioner mengenai kegiatan teater yang telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak Fakultas Kedokteran dan aktor mempunyai persepsi positif mengenai kegiatan teater. Menurut pihak Fakultas Kedokteran dan aktor kegiatan teater dapat digunakan untuk meningkatkan empati, namun mahasiswa menunjukkan persepsi yang berbeda.

  Penelitian ini menjadi penting karena pada penelitian sebelumnya oleh Reilly, dkk (2012) hanya melihat persepsi individu saja, sedangkan penelitian kali ini ingin mengukur tingkat empati individu, sehingga diharapkan penelitian ini dapat menyumbang informasi lain mengenai empati pada latihan teater. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin meneliti peranan latihan teater terhadap tingkat empati dengan melihat ada tidaknya perbedaan tingkat empati antara pemain teater dan bukan pemain teater.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan paparan di atas, peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan tingkat empati antara pemain teater dan bukan pemain teater ?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat empati antara pemain teater dan bukan pemain teater.

  D. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi mengenai proses empati yang terdapat pada latihan teater.

2. Manfaat praktis

  Mahasiswa dapat mengetahui adanya proses psikologis dalam pelatihan teater yang dapat meningkatkan kemampuan empati, sehingga mahasiswa dapat mencoba mengikuti kegiatan teater untuk melatih kemampuan empatinya.

  Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi dapat mengetahui adanya proses empati dalam pelatihan teater, maka kegiatan teater dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan empati individu.

BAB II LANDASAN TEORI A. Empati 1. Definisi Empati merupakan kemampuan untuk memahami perspektif

  orang lain dan mempertimbangkannya dahulu sebelum bertindak (Cavner, 2008). Cormier, Nurius dan Osborn (2009) juga menggambarkan empati sebagai kemampuan untuk memahami orang- orang dari sudut pandang mereka bukan dari sudut pandangnya sendiri.

  Menurut APA Dictionary of Psychology (2006 : 327), empati diartikan:

  ”Understanding a person from his or her frame of reference rather than one’s own, so that one vicariously experiences the person’s feeling, perceptions, and thoughts. Empathy does not, of it self, entail motivation to be assistance, although it may turn into sympathy or personal disstress, which may result in action”.

  Hoffman (dalam Lewis, Haviland-Jones, & Barrett L , 2008) mendefinisikan empati sebagai suatu keadaan emosional yang dipicu oleh situasi emosional orang lain yang menyebabkan seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain. Eisenberg (dalam Kaufman, 2011)

  juga

  mendefinisikan empati sebagai

  respon

  afektif, yaitu sebuah respon yang sangat mirip dengan apa yang orang lain rasakan

  yang

  berasal dari ketakutan atau pemahaman tentang keadaan emosi orang lain.

  Corey (dalam Gunarsa, 2003) menggunakan istilah

  “empathic understanding”, yaitu kemampuan untuk memasuki dunia pribadi

  orang lain, namun tidak kehilangan perasaan atau identitasnya sendiri sehingga individu masih bisa mengambil jarak untuk bertindak.

  Davis (1980) mendefinisikan empati sebagai reaksi terhadap pengalaman orang lain yang teramati dan terdiri dari dua respon yang meliputi kognitif, reaksi intelektual (suatu kemampuan untuk memahami perspektif orang lain) dan reaksi emosional.

  Berdasarkan penjabaran definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa empati merupakan reaksi terhadap pengalaman orang lain yang teramati dan terbagi dalam dua klasifikasi besar respon yaitu kognitif, reaksi intelektual (suatu kemampuan untuk memahami perspektif orang lain) dan reaksi emosional individu yang dipicu oleh situasi emosional orang lain yang menyebabkan individu merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga individu dapat melakukan suatu tindakan yang dapat berupa simpati maupun personal distress, namun individu tetap dapat mengambil jarak untuk bertindak.

2. Aspek Empati

  Para psikolog perkembangan menegaskan bahwa ada dua komponen empati, yaitu komponen afektif dan kognitif (Shapiro, 1997). Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang dirasakan orang lain (Darley dalam Baron & Byrne, 2005). Menurut Dadds, dkk (2009), komponen afektif mengacu pada respon afektif yang sesuai terhadap situasi yang dialami orang lain. Respon afektif itu bisa berupa merasakan stres sebagai respon atas stres yang dialami orang lain, selain itu individu juga dapat merasakan simpatik terhadap penderitaan orang lain dan mengekspresikan kepeduliannya kepada orang lain. Secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang dirasakan orang lain dan mengapa (Azar dalam Baron & Byrne, 2005). Komponen kognitif meliputi kemampuan melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain atau disebut sebagai perspective taking (Santrock, 2003). Mengambil perspektif (perspective taking) merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain (Baron & Byrne, 2005). Salah satu tipe dalam perspective taking yaitu mengambil perspektif dengan melibatkan fantasi yang menyebabkan individu dapat merasa empati terhadap karakter fiktif.

  Berdasarkan uraian di atas, komponen afektif dan kognitif yang dikemukakan oleh Shapiro terdapat pula pada aspek empati Davis.

  Davis (1980) menyatakan aspek-aspek empati sebagai berikut : a.

   Perspective taking Perspective taking adalah pengambilan sudut pandang orang

  lain secara spontan. Mengambil perspektif adalah kemampuan melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain dan menempatkan diri dalam posisi orang lain. Coke (dalam Davis, 1983) menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang lain.

  Ada tiga tipe yang berbeda dari pengambilan perspektif, yaitu mengambil perspektif “membayangkan orang lain”, mengambil perspektif “membayangkan diri”, dan mengambil perspektif dengan melibatkan fantasi yang menyebabkan seseorang merasa empati terhadap karakter fiktif. Akibatnya, terjadi reaksi emosional terhadap kegembiraan, kesedihan, dan ketakutan yang dialami oleh suatu tokoh dalam sebuah buku, film, atau program televisi (Baron & Byrne, 2005).

  b.

   Fantasy Fantasy adalah kecenderungan individu untuk memindahkan

  diri secara imajinatif ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayalan yang terdapat dalam film, buku, maupun permainan.

  Fantasy merupakan salah satu tipe dari pengambilan perspektif yaitu individu dapat merasakan empati pada karakter fiktif.

  Stotland (dalam Davis, 1983) menyatakan bahwa fantasy berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain sehingga menimbulkan perilaku menolong.

  c.

   Empathic concern

  adalah perasaan simpati dan peduli

  Empathic concern

  terhadap orang lain yang tertimpa kemalangan. Empathic concern merupakan unsur afektif empati yang lebih mengarah pada apa yang dirasakan oleh seseorang terhadap keadaan orang lain, termasuk pula didalamnya keadaan simpati dan perhatian penuh terhadap orang lain. Empathic concern berfokus pada simpati terhadap kesulitan orang lain dan motivasi untuk mengurangi kesulitan tersebut.

  d.

   Personal distress Personal distress adalah perasaan cemas dan gelisah ketika

  melihat orang lain mengalami kemalangan. Individu dapat merasakan tekanan emosional yang dirasakan oleh orang lain.

  Berbeda dengan empathic concern, aspek personal distress berfokus pada kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi kesulitan orang lain, sehingga muncul motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

  Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek yang telah dikemukakan oleh Davis (1980) yaitu perspective taking, fantasy,

  empathic concern, dan personal distress. Aspek tersebut dipilih

  karena dapat digunakan untuk melihat proses empati individu pada komponen afektif dan kognitif, sehingga sesuai dengan penelitian yang akan dijalankan.

3. Proses Pembentukan Empati

  Hoffman (dalam Borba, 2008) meyakini bahwa anak-anak mengembangkan empati mereka dalam beberapa tahapan. Berikut ini merupakan tabel perkembangan empati secara alami pada anak-anak menurut Hoffman:

  Tabel 1. Perkembangan Empati Secara Alami pada Anak-anak Tahap Perkembangan Empati

  Tahap 1: bulan-bulan pertama Seorang anak tidak dapat kelahiran membedakan dengan tegas antara dirinya dan lingkungannya, sehingga ia tidak dapat memahami penderitaan orang lain. Tahap 2: mulai usia 1 tahun Seorang anak memahami ketidaknyamanan orang lain bukan bagian dari dirinya. Tahap 3: tahun-tahun pertama Pada saat usia sekitar 2 atau 3 prasekolah tahun, seorang anak mengenali bahwa perasaan seseorang mungkin berbeda dari perasaannya dan anak dapat menemukan cara sederhana memberikan bantuan atau menunjukkan dukungan. Seorang anak dapat memahami persoalan dari sudut pandang

  Tahap 4: tahun-tahun pertama orang lain, sehingga ada sekolah dasar, mulai usia 6 tahun peningkatan dalam membantu orang lain. Tahap 5: tahun-tahun akhir masa Seorang anak dapat mengamati kanak-kanak, usia 10 sampai 12 langsung kelompok masyarakat tahun yang belum pernah ditemuinya.

  Hoffman (dalam Goleman, 2007) melihat bahwa ada proses alamiah empati sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Beberapa bulan setelah dilahirkan, bayi memberi reaksi akan adanya gangguan terhadap orang-orang di sekitarnya seolah-olah gangguan itu ditujukan padanya. Anak-anak akan merasakan sakit pada dirinya sendiri ketika melihat anak lain terjatuh dan menangis.

  Pada usia kurang lebih satu tahun, anak-anak mulai menyadari bahwa kemalangan orang lain bukan merupakan kemalangannya sendiri, meskipun mereka masih bingung bagaimana cara untuk mengatasinya. Pada umur sekitar dua setengah tahun, anak-anak menyadari bahwa kepedihan orang lain juga bukan merupakan kepedihan mereka sendiri, tetapi pada usia ini mereka lebih pandai dalam memberikan penghiburan (Goleman, 2007).

  Shapiro (1997) mengungkapkan bahwa anak-anak pada usia enam tahun memulai tahapan empati kognitif, yaitu kemampuan untuk memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain. Kemampuan ini memungkinkan seorang anak dapat mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mendekati teman yang sedang sedih atau membiarkannya sendirian.

  Berikutnya pada akhir masa kanak-kanak, anak-anak mengembangkan empati abstrak, yaitu anak-anak berempati tidak hanya kepada orang yang dikenal tetapi juga kepada orang-orang yang tidak pernah dijumpai sebelumnya. Anak-anak mengungkapkan kepedulian kepada orang yang kurang beruntung dibanding mereka (Shapiro, 1997). Anak-anak dapat merasakan kesengsaraan suatu golongan, seperti kaum miskin, kaum tertindas atau orang-orang yang terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu, pada masa remaja dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan (Goleman, 2007).

4. Faktor yang Mempengaruhi Empati

  Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan empati individu yaitu: a.

  Pengaruh genetis Penelitian Knafo, dkk (2008) menemukan bahwa tingkat empati dan prososial anak-anak meningkat dari umur 14 sampai 36 bulan. Efek genetis meningkat seiring dengan usia anak. Efek genetis berkontribusi pada perubahan dan kesinambungan empati pada anak-anak.

  b.

  Pengalaman spesifik yang dialami individu Psikolog Janet Strayer (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa setiap individu dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik menentukan apakah potensi bawaan tersebut dihambat atau dapat berkembang. Dapat dikatakan, lingkungan memiliki andil dalam menentukan apakah empati individu dapat berkembang atau terhambat perkembangannya. Pengalaman spesifik bisa didapat melalui: 1)

  Lingkungan keluarga Menurut Coles (dalam Baron & Byrne, 2005) anak-anak belajar dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan dikatakan orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Coles menekankan pentingnya ibu dan ayah untuk membentuk perilaku-perilaku prososial dan menjadi model yang bisa ditiru oleh anak-anak. Contoh lain pengalaman spesifik dalam keluarga yang dapat meningkatkan perkembangan empati adalah kehangatan ibu. Carlo (dalam Baron & Byrne, 2005) menyampaikan bahwa anak-anak yang berkarakter simpatik biasanya berasal dari lingkungan yang hangat dan suportif.

  2) Lingkungan pendidikan

  Pendidikan di sekolah mempunyai peranan dalam meningkatkan kemampuan manusia, salah satunya seperti empati. Di sekolah individu belajar berinteraksi secara langsung dengan orang lain, baik dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua yaitu guru mereka. Melalui pendidikan di sekolah individu akan memperoleh banyak informasi dan pengertian akan nilai-nilai baru baik dari sekolah maupun dari hubungan dengan teman sebaya (Mappiare, 1982).

  Individu juga mendapatkan berbagai pendidikan atau pelatihan yang dapat meningkatkan empati, seperti pelatihan teater. Reilly, dkk (2012) melakukan workshop dengan menggunakan teater sebagai metode inovatif untuk mendorong empati mahasiswa kedokteran. Pada workshop tersebut dilakukan serangkaian kegiatan teater dan diakhir kegiatan pihak aktor, fakultas dan mahasiswa diminta untuk mengisi kuisioner mengenai kegiatan teater yang telah dilakukan. Hasil menunjukkan bahwa pihak Fakultas Kedokteran dan aktor mempunyai persepsi positif bahwa penggunaan teater dapat menjadi metode yang inovatif untuk meningkatkan empati.

  c.

  Perbedaan jenis kelamin Wanita biasanya mengekspresikan tingkat empati yang lebih tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik oleh perbedaan genetis atau perbedaan pengalaman sosialisasi (Trobst, Collins, & Embree dalam Baron & Byrne, 2005). Goleman (2007) menunjukkan bahwa pada umumnya wanita lebih baik daripada pria dalam hal empati seperti penyesuaian diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka.

  d.

  Faktor kemiripan terhadap objek empati Umumnya empati yang paling besar ditujukan kepada orang lain yang mirip dengan diri sendiri, baik kemiripan secara fisik maupun karakteristik. Manusia paling empati pada manusia lain yang mirip dengan diri sendiri (Baron & Byrne, 2005)

B. Teater 1. Pengertian Teater

  Teater merupakan kesatuan dari berbagai disiplin seni yang melibatkan berbagai macam keahlian dan keterampilan. Seni teater menggabungkan unsur-unsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang meliputi bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa. Seni teater merupakan suatu kesatuan seni yang diciptakan oleh penulis lakon, sutradara, pemain (pemeran), penata artistik, pekerja teknik, dan diproduksi oleh sekelompok orang produksi (Santosa, 2008).

  Aryani (2010) juga mengungkapkan pengertian teater sebagai suatu komunitas sekelompok orang yang beraktivitas dalam bidang seni sastra (drama) yang merupakan satu kesatuan utuh antara manusia (pemeran) sebagai media utama dengan sebagian atau keseluruhan unsur-unsur penunjangnya berupa gerak, unsur suara, serta unsur rupa.

  Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa teater adalah salah satu bentuk aktivitas sekelompok orang dalam bidang seni sastra (drama) dengan manusia (pemeran) sebagai media utama yang diwujudkan dalam suatu karya seni pertunjukkan yang diciptakan oleh penulis lakon, sutradara, pemain, penata artistik, pekerja teknik, dan diproduksi oleh sekelompok orang produksi dengan menggabungkan unsur-unsur bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa.

2. Proses Latihan Teater

  Wiyanto (2002) mengungkapkan bahwa karya seni teater diciptakan oleh pemain teater sendiri melalui tubuhnya, suaranya, dan jiwanya sendiri, maka pemain teater perlu melatih dirinya dengan giat. Latihan dan pengalaman akan membuat matang seorang pemain teater.

  Seorang pemain teater yang baik mampu menjelmakan sosok tokoh yang diperankan. Berdasarkan hal itu, pemain teater harus mampu menguasai berbagai hal, salah satunya adalah teknik bermain drama. Richard Boleslavsky (Harymawan, 1988) memberikan beberapa ajaran teknik pemeranan, yaitu : a.

  Konsentrasi Konsentrasi melatih pemain teater agar mampu mengubah dirinya ke dalam watak dan pribadi tokoh yang dibawakan. Pemain teater yang mampu melupakan dirinya sendiri kemudian menjadi tokoh lain memerlukan kosentrasi yang kuat (Doyin, 2001). Pemain teater dapat berlatih memusatkan perhatian mulai dari lingkaran yang besar, menyempit, kemudian membesar lagi (Nugroho, 2009).

  Hal ini dimaksudkan untuk melatih konsentrasi pemain teater ketika berperan di tempat yang ramai. Lakon dapat berjalan dengan baik apabila konsentrasi pemain teater kuat dan tidak terpengaruh oleh penonton. Stanislavsky (1980) mengatakan bahwa pusat perhatian pemain teater bukan pada penonton, tetapi pada lakon yang dibawakan.

  b.

  Ingatan emosi Pada latihan ingatan emosi, pemain teater menghayati suasana emosi peran secara wajar dan nyata, seperti suasana sedih dan gembira dihayati dengan tidak over acting atau berlebihan. Pemain teater dapat menghayati emosi dengan baik perlu berlatih untuk mengingat-ingat segala emosi yang ada pada masa lalunya.

  Stanislavsky (1980) menambahkan bahwa latihan ini bisa juga dilakukan dengan mengingat kembali kejadian sepanjang hari termasuk hal-hal kecil yang dialami. Sitorus (2003) mengatakan bahwa otak manusia sering merekam peristiwa-peristiwa yang sangat emosional. Rekaman ini disimpan dalam pikirannya dan dipergunakan jika muncul peristiwa emosional yang serupa.

  c.

  Laku dramatis Laku dramatis merupakan perbuatan yang bersifat ekspresif dari emosi. Pada latihan ini, pemain teater bertingkah laku dan berbicara bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai pemeran. Pemain teater harus mewujudkan apa yang diutarakan oleh pengarang dengan kata-kata di dalam laku dramatisnya (Harymawan, 1988).

  Doyin (2001) mengungkapkan agar pemain teater dapat mengkomunikasikan permainannya kepada penonton secara tepat, maka diperlukan pelatihan ekspresi, vokal, dan gestur yang muncul dari penghayatan terhadap suatu tokoh. Pelatihan vokal digunakan untuk memperoleh kejelasan dalam ucapan supaya dapat menjangkau seluruh penonton dalam gedung pertunjukan.

  Pelatihan ekspresi melatih pemain teater untuk memperlihatkan karakter dan sifat tokoh melalui emosinya, seperti marah, sedih, dan senang. Pelatihan gestur bertujuan untuk membentuk tubuh yang lentur dan mampu mengekspresikan perilaku-perilaku tokoh secara tepat.

  d.

  Pembangunan watak Pemain teater harus mendapatkan gambaran watak yang jelas dari tokoh yang akan dimainkannya. Pemain teater dapat memulai dengan cara menelaah struktur psikis, peran intelegensinya, sikap ke luar dan ke dalam, pengaruh masa lampaunya, kedudukan sosialnya; kemudian mengidentifikasikan perilakunya seperti cara berjalan, cara berbicara, dsb. Selanjutnya, pemain teater menghidupkan watak tokoh seperti halnya watak sendiri (Harymawan, 1988). e.

  Observasi atau pengamatan Boleslavsky (dalam Harymawan, 1988) menyatakan bahwa seorang aktor atau pemain teater merupakan seorang observator kehidupan. Pemain teater harus dapat mengamati segala yang terjadi disekitarnya, mulai dari hal yang umum sampai pada hal yang paling detail. Observasi ini akan membantu pemain teater dalam membentuk watak tokoh yang ia perankan. Pemain teater mulai dengan belajar mengamati dan memahami setiap watak, tingkah laku dan motivasi orang-orang yang dijumpainya.

  f.

  Irama Permainan teater harus menggunakan irama agar sebuah lakon dapat menghanyutkan penonton ke arah yang dituju. Pada teater, irama terwujud dalam bentuk tempo atau kecepatan (Doyin, 2001). Santosa (2008) mengungkapkan irama sebagai gelombang naik-turun, longgar kencangnya gerakan atau suara yang berjalan dengan teratur. Pada latihan ini pemain teater harus melatih diri perasa terhadap segala irama misalnya seperti irama musik, tarian, khotbah, dsb.

C. Mahasiswa

  Susantoro (dalam Rahmawati, 2006) menyatakan bahwa mahasiswa merupakan kalangan muda berusia antara 19 sampai 28 tahun yang mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang yang telah terdaftar di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Pada peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.