BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Secara Teoritis Dan Yuridis Tentang Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan - BAB II KAJIAN PUSTAKA (Repaired) (Repaired)

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Secara Teoritis Dan Yuridis Tentang Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Perkawinan dalam bahasa arab disebut al-Nikah, yang menurut bahasa

  1

  bermakna berkumpul, menindas, dan memasukan Pernikahan (zawaj) Menurut bahasa diartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan ikhtilath (bercampur). Dalam bahasa Arab misalnya dikatakan:

  “Pohon-pohon itu kawin; dimaksudkan ketika bergabung satu dengan yang lain ”. Atau jika dikatakan: “Hujan itu bergabung dengan tanah; maksudnya ketika air hujan

  2 bercampur dengan tanah .

  Makna percampuran bagian dari adh-dhamm karena adh-dhamm meliputi gabungan fisik yang satu dengan yang lain dan gabungan ucapan satu dengan yang lain; yang pertama gabungan dalam bersenggama dan yang kedua gabungan dalam akad. 1 Tim penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, ensiklopedi IslamIndonesia. (Jakarta: Kencana

  prenada Media Grup. 2006) , cet. 2, hlm. 38 2 Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan

  Nikah menurut istilah syara‟adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridlai Allah swt.

  3 Perkawinan suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia

  untuk beranak, berkembangbiak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannnya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Sebagaimana firnan Allah SWT QS . Al-Hujarat ayat 13 :

  4      

           

  

    



   Artinya:

  “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal

5 Sebagian ulama

  ”.

  Syafi‟iyah memandang bahwa akad nikah adalah akad ibahah, yaitu memperbolehkan suami menyutubuhi (menggauli) istrinya.

  6

  3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogakarta: UII Press, 2000), Ed. I, Cet. 9, hlm. 14 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Al Ma‟arif, 1980) cet I, hlm. 7 5 Yayasan Penyelenggara penterjemah/pentafsir Al- Qur‟an , Al-Qur‟an dan terjemahannya , (Jakarta:1971), hlm. 847 6 Chuzaim T. Yanggo dan Hafiz Ashary, Problematika Hukum Islam kontemporer (I),

  Sehubungan dengan pengertian nikah dalam hukum Islam seperti telah diuraikan, tampaknya tidak berbeda dengan pengertian perkawinan dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan. BAB I pasal I berbunyi:

  ”Perkawinan ialah ikatan

  

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

  7 kekal abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa .

  Hakikat perkawinan yang digambarkan dalam UU No I/1974 tersebut sejalan dengan hakekat perkawinan dalam Islam. Karena keduanya tidak hanya memandang dari segi ikatan kontrak lahirnya saja, tapi sekaligus ikatan pertautan kebatinian antara suami-istri yang ditunjukan untuk membina keluarga yang kekal

  .

  dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa 2.

   Anjuran Menikah

  Islam Menganjurkan pernikahan dan mendorong para pemuda agar menikah, sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu M as‟ud bahwa

  Rasulullah SAW bersbda: Artinya:

  ”Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang mampu biaya nikah, menikahlah! Sesungguhnya menikah itu bisa lebih memejamkan pandangan mata dan lebih memelihara farj (alat kelamin). Barang siapa yang tidak mampu, henaklah ia berpuasa. Sesungguhnya ia sebagai perisai baginya.”

  Dalam anjuran nikah diatas disepakati para Ulama. Maksud biaya nikah adalah biaya konsekuensi nikah yakni mempersiapkan tempat tinggal dan 7 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), memberi nafkah hidup. Makna perisai (

  wija‟) adalah mematahkan (qath‟un),

  tidak mampu menikah. Demikian itu karena puasa menyuburkan rohani dalam jiwa dan menguatkan kehendak, yakni mengendalikan hawa nafsu dan hal-hal

  8 yang haram.

3. Hukum Nikah

  Meskipun pada dasarnya Islam mengajurkan kawin, apabila ditinjau dari keadaan yang melaksanakannya, perkawinan dapat dikenai hukum wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.

  a. Pernikahan yang wajib Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran, apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.

  Alasan ketentuan tersebut adalaha sebagai menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib. Apabila seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan kawin, bagi orang itu, melakukan perkawinan hukumnya dalah wajib.

  Qa‟idah fiqqiyah mengatakan : “sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya dalah wajib”. Atau dengan kata lain, “ Apabila suatu 8 kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu wajib pula

  Ibnu Hajar Al Imam Al Hafidz, Fathul Barri 25 diterjemah oleh Amiruddin, (Jakarta:

  hukumnya.” Penerapan kaidah itu dalam masalah perkawinan adalah

  apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan pernikahan, baginya pernikahan itu wajib hukumnya.

  b. Pernikahan yang sunnah Pernikahan sunnah hukumnya bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam pernikahan, tetapi apabila tidak

  9 nikah juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.

  Alasan hukum sunah ini diperoleh dari ayat-ayat al-Q ur‟an dan hadits-hadits Nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal Islam mengajurkan pernikahan diatas. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa beralasan ayat-ayat al-Q ur‟an dan hadits-hadits Nabi saw itu, hukum dasar pernikahan adalah sunnah.

  Ulama mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa hukum asal pernikahan adalah mubah. Ulama-ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan bagi orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak nikah.

  c. Pernikahan yang Haram Pernikahan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

  9 kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan

  

10

berakibat menyusahkan istrinya.

  Al-Qurtubi, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (mas kawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal mengawini seorang kecuali apabila ia menjelaskan keadaannya itu calon istri; atau ia bersabar sampai merasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah ia boleh melakukan pernikahan.

  Beliau juga mengatakan bahwa orang yang mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri tidak akan merasa tertipu.

  d. Pernikahan yang makruh Pernikahan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi materil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap istrinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri; misalnya, calan istri tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin.

  Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu pernikahan 10 dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada

  Ibid . hlm. 15 Allah dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh dari pada yang telah disebutkan di atas.

  e. Pernikahan yang mubah Pernikahan hukumnya mubah bagi yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak nikah tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata nikah pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istri. Pernikahan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga

  11 keselamatan.

4. Tujuan pernikahan

  Pernikahan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Hal ini kita temukan dalam firman Allah: QS. Adz-Dzariyat : 49.

  

   

 



  Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu

  12 mengingat akan kebesaran Allah ”.

  Menurut Asaf A.A., fyzee, tujuan pernikahan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 11 12 Ibid . hlm 16

  a.

  Aspek Agama ( Ibadah ) 1)

  Pernikahan merupakan pertalian yang teguh antara suami-istri dan turunan, pertalian yang dalam hidup dan kehidupan merupakan perpaduan yang suci dan kebiasaan yang bermutu tinggi dalam perkembangbiakan manusia sebagai karunia Tuhan. Allah sudah berfirman dalam QS. An Nahl (16): 72

                     

  

  Artinya

  :

” Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan

menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-

cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah

  13 mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.

  2). Pernikahan merupakan salah satu sunah Nabi dan mereka dijadikan tauladan dalam kehidupan.

  HR Turmudzi dari Abu Ayyub, Sabda Rasullah SAW:

  “Empat

perkara yang merupakan suatu sunnah para Nabi, celak, wangi-

wangian, bersugi dan nikah ”.

  13

  HR. Bukhari dan Muslim, yang menceritakan tiga orang sahabat telah bersumpah, masing-masing ada yang tidak akan menikah selamanya, ada pula yang mau shalat terus menerus sepanjang malam, dan ada pula yang akan puasa siang hari untuk selama-lamanya, berita itu sampai kepada Nabi lalu bersabda:

  ”Tetapi saya shalat, tidur, puasa berbuka dan kawin. Barang siapa

  yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan umat ku”.

  3). Perkawinan membawa rizki dan menghilangkan kesulitan-kesulitan: Q.S Al-Nur (24) : 32

                   

  

  Artinya:

  “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya.

  14 Dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi maha mengetahui ”.

  Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

  H.R. Turmudzi dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah SAW, yang Artinya:

  14

  “Tiga golongan yang berhak mendapat bantuan Allah; pejuang di jalan Allah, Mukatab (budak yang membebaskan dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang kawin mau menjauhkan dirinya dari yang haram

  ”.

  4). Isteri merupakan simpanan yang paling baik.

  H.R. Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Tsauban, kata Tsauban ketika turun QS. At-Taubah(9) : 34,

                              

  Artinya:

  “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang „alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang- halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan

  15 mendapat) siksa yang pedih,”

  Ketika itu kami bersama Rasulullah SAW dalam salah satu perjalanan, lalu sebagian sahabat ada yang berkata: “Telah ada ayat 15 turun tentang emas dan perak. Dan anda kata kami ada yang lain lebih baik, tentu akan kami simpan. Nabi saw menyebut: “Lisan yang selalu

  berdzikir, hati yang selalu bersyukur dan isteri yang mukminah yang menunjang iman suaminya ”.

  H.R. Muslim dari Abdullah Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda, yang Artinya: “Dunia ini laksana perhiasan dan perhiasan yang terbaik adalah

  wanita yan g shalihah”.

  b.

  Aspek Sosial 1)

  Memberikan perlindungan kepada kaum wanita yang secara umum fisiknya lemah karena setelah kawin, ia mendapat perlindungan dari suami, baik masalah nafkah atau gangguan orang lain.

  QS. An- Nisa‟ (4) : 34:

            

    

  Artinya:

  “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah

  16 menafaqahkan sebagian dari harta mereka .

  

  16

  2) Mendatangkan sakinah (ketenteraman batin) bagi suami, menimbulkan

  mawaddah dan wahabbah (cinta kasih) serta rahmah (kasih sayang) antara suami-isteri, anak-anak dan seluruh anggota keluarga.

  QS. Al-Rum (30) : 21,

                      

  Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan

  untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan mersa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-

  17 benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berfikir ”.

  HR Muslim Abu Daud dan Turmudzi dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, bersabda yang Artinya:

  “Sesungguhnya wanita itu menghadap dengan rupa setan, dan membelakangi dengan rupa setan pula, jika ada seseorang diantara mu tertarik kepada seseorang perempuan, hendaklah ia datangi istrinya, agar hawa nafsunya dapat tersalurkan”.

  3) Memelihara kerukunan hidup berumah tangga dan kerukunan, sehingga terciptanya stabilitas keluarga dan masyarakat, tolong menolong menyelesaikan masalah, dan berbagi rasa dalam senang dan duka.

  HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu 17 Mas‟ud, Rasulullah SAW,

  bersabda, yang Artinya:

  “Hai para pemuda, barang siapa diatara kamu telah sanggup memberi nafkah, maka kawinlah, karena kawin itu lebih merundukan mata dan lebih memelihara faraj (kemaluan). Dan barang siapa tidak sanggup member nafkah maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu melemahkan syahwat ”.

  HR. Ahmad dan ditashihkan Ibnu Hibban, Rasulullah SAW bersabda, yang Artinya:

  “Nabi SAW memerintahkan kita nikah dan mencegah kita beribadah saja tanpa nikah, beliau bersabda: “kawinlah wanita yang simpatik (banyak kasih sayangnya) dan yang peranak, karena aku bangga dengan banyaknya kamu pada hari kiamat”.

  c.

  Aspek Hukum Pernikahan sebagai akad, yaitu perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami-istri untuk membina rumah tangga bahagia.

  Sebagaimana Allah berfirman Dalam QS. An- Nisa‟ (4) : 21.

            

  Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, sebagian

  kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan merekan (istri-istrimu) telah mengambil dari

  18 kamu perjanjian yang kuat ”.

  Dari uraian diatas, tampak secara nyata tujuan pernikahan, antara lain :

  18 a.

  Menyalurkan naluri seksual secara halal dan sah; b. Melestarikan keturunan dan terpeliharanya nasab dengan jelas; c. Menimbulkan rasa cinta, kasih sayang dan ramah tamah diantara kelompok kelurga dalam rumah tangga; d.

  Mendorong adanya tanggung jawab untuk membiayai dan memelihara anggota keluarga; e.

  Timbulnya sikap tolong menolong, toleransi dan saling menghargai diantara kedua belah pihak, timbulnya pembagian tugas-tugas diantara suami istri, ada yang berupaya mencari nafkah, dan ada yang menjaga serta mendidik dan menjaga anak.

  Bila disimak pula tujuan pernikahan dalam UU No.I/1974 tentang perkawinan, bahwa perkawinan ialah untuk membentuk keluarga bahagia yang kekal, ini berarti : a.

  Suami istri saling membantu serta saling melengkapi.

  b.

  Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk mengembangkan kepribadian itu, suami-istri harus saling membantu.

  c.

  Dan tujuan akhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah

  19 keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.

5. Syarat dan rukun pernikahan

  19 Syarat-syarat sahnya nikah ada empat hal, yaitu: a.

  Calon kedua mempelai sudah diketahui dengan jelas. Tidak cukup hany a dengan mengatakan, ”saya nikahkan anak saya,” sedang memiliki banyak anak. Atau dengan mengatakan, ”saya nikahkan anak

  laki-laki saya

  ,” sedangkan ia memiliki beberapa anak laki-laki. Maka, akan menjadi jelas jika orang tua yang bersangkutan memakai isyarat dengan menunjuk seseorang yang dimaksud atau menyebut namanya atau menyebut sifat-sifat istimewanya.

  b.

  Kedua calon mempelai telah ikhlas atau ridla satu sama lain. Nikah tidak akan menjadi sah jika ada unsur paksaan dari salah satu pihak, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.,

  ”janganlah kamu menikahi seorang janda sebelum ia diajak berunding dan janganlah kamu menikahi seoranga gadis kecuali ia ia telah memberi izin dan rela.” (Muttafaqun ’Alaih)

  Namun, disana ada pengecualian bagi calon mempelai yang masih kecil dan belum baligh atau ia bodoh dan idiot, maka bagi walinya ada hak untuk menikahkannya, meski secara paksa.

  c.

  Adanya wali bagi wanita untuk memenikahkannya, sebagaimana sabda Nabi saw., Artinya:

  

”Tidak sah nikahnya seorang wanita tanpa adanya wali.” (HR lima

Imam Hadits kecuali an-N asa’i)

  Diantara orang yang dapat menjadi wali bagi calon mempelai wanita adalah sebagai berikut:

  1. Ayahnya.

  2. Kakeknya atau ayah dari ayahnya terus keatas.

  3. Anak laki-lakinya, cucunya terus kebawah.

  4. Saudara laki-laki sekandung (seayah dan seibu).

  5. Saudara laki-laki seayah.

  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung maupun seayah saja.

  7. Paman (saudara kandung ayah) 8.

  Paman dari saudara seayah dengan ayahnya.

  9. Anak laki-laki dari paman (sekandung dengan ayah atau hanya seayah dengan ayahnya)

  10. Laki-laki terdekat dari saudaranya yang ada, dilihat dari garis ahli warisnya.

  11. Majikan yang memerdekaannya.

  12. d.

  Adanya dua orang saksi dalam pelaksanaan akad nikah, sebagaimana yang disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir (hadits marfu‟),

  ”tidak sah suatu akad tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil.”

  Hadits ini mengindikasikan bahwa tidak sah suatu pernikahan bila tidak ada dua orang saksi yang adil.

  Imam T urmudzi, ”ini adalah amalan yang telah diamalkan para sahabat Nabi saw. Dan orang-orang setelah mereka dari par a tabi‟in dan yang mengikutinya. Mereka berkata, tidak sah suatu nikah tanpa ada saksi. Dan tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, kecuali

  20

  hanya sekelompok ulama pada zaman ini .”

  Dalam UU Perkawinan No I tahun 1974, mengenai syarat- syarat perkawinan diuraikan dalam BAB II pasal 6, sebagai berikut:

  1. Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai.

  2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

  3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud 20 ayat (2) pasal ini cukup memperoleh dari orang tua yang mampu

  21 menyatakan kehendaknya.

  Rukun-rukun Nikah, berdasarkan Hadits Nabi saw. Dalam kitab al-Bahr dari Nashir, Syafi‟i dan Zuhar, sebagaimana dikutip dalam kitab Nailul Authar jilid 5, bahwa:”setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat (unsur), yaitu

  

mempelai laki-laki, akid yang mengakadkan, dan dua orang saksi, maka

  22 perkawinan itu tidak sah.”

  Oleh karena itu, rukun perkawinan dalam Hukum Islam adalah wajib dipenuhi oleh orang-orang Islam yang akan melangsungkan perkawinan. Dampak dari sah atau tidaknya perkawinan adalah mempengaruhi atau menentukan hukum kekeluargaan lainnya, baik dalam bidang hukum perkawinan itu sendiri, maupun di bidang hukum kewarisan.

  Salah satu contoh dampak sahnya atau tidak sahnya hubungan hukum antara anak, yang melahirkan sebagai hasil dari perkawinan ibu dan ayahnya yang mempengaruhi hukum perkawinan maupun hukum kewarisan. Dalam perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang dilaksanakan menurut Agama sesuai pasal 2 ayat (1) UU perkawinan berakibat terhadap hubungan hukum antara anak yang dilahirkan hasil perkawinan yang sah dengan ibu dan ayahnya adalah menjadi sah pula.

  a.

  Calon mempelai laki-laki 21 22 Tim redaksi nuansa aulia, Op. Cit, hlm. 81-82 Neng Djubaedah, Pencatatan perkawinan dan perkawinan tidak dicatat, cet I (Jakarta:

  Sinar Grafika, 2010), hlm.107

  Calon mempelai laki-laki harus dalam kondisi kerelaannya dan persetujuannya dalam melakukan perkawinan. Hal ini terkait dengan asas kebebasan memilih pasangan hidup dalam perkawinannya. Menurut hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh jama

  ‟ah kecuali Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Nabi saw bersabda: ”perempuan janda itu lebih berhak atas dirinya dari

  23 pada walinya, sedang gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya ”.

  b.

  Calon mempelai permpuan Hukum perkawinan dalam Islam telah menentukan dalam hadits Nabi saw, bahwa calon mempelai perempuan harus dimintakan izinnya atau persetujuannya sebelum dilangsungkannya akad nikah, sebagaimana dimuat dalam asas persetujuan dan asas kebebasan memilih pasangan, serta asas kerelaan.

  c.

  Wali Nikah Ketentan-ketentuan hadits Nabi saw tentang kedudukan wali nikah merupakan dasar hukum perkawinan. Menurut Nabi saw yang diriwayatkan oleh

  Imam yang Lima dari Abu Musa ra. Beliau bersabda: ”Tidak nikah melainkan

  24 dengan adanya wali .

  d.

  Saksi Nikah Dasar hukum saksi nikah ditentukan dalam hadits-hadits Nabi saw yang menentukan bahwa saksi merupakan rukun nikah yang wajib dipenuhi pada setiap pelaksanaan akad perkawinan berlangsung 23 24 Ibid , hlm. 108

  Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Hanbal dari Imran bin Hashain dari Nabi saw, bahwa

  Calon istri.

  27 6.

  Ijab dan kabul.

  e.

  Dua orang saksi.

  d.

  Wali nikah.

  c.

  b.

  ”Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.

  Calon Suami.

  kesatu tentang rukun nikah pasal 14 KHI, yaitu: a.

  26 Dalam Kompilasi Hukum Islam pun disebutkan dalam BAB IV bagian

  ”bertaqwalah kamu sekaliaan kepada Allah dalam menggauli wanita (istri) sesungguhnya kamu mengawininya dengan amanat Allah dan kamu

menghalalkan kehormatannya dengan kalimat Allah (ijab kabul). ”

  Ijab dan Kabul Dasar hukum ijab qabul terdapat dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Nabi saw bersabda:

  25 e.

  Dalam hadits tersebut ditentukan bahwa setiap perkawinan wajib disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.

   Halangan Pernikahan 25 Ibid , hlm. 114 26 Ibid , hlm. 115 27

  Pada dasarnya setiap laki-laki muslim dapat saja menikahi wanita yang ia sukai, tetapi prinsip itu tidak berlaku mutlak, karena ada batasan-batasan dalam pernikahan.

  Pembatasan itu bersifat larangan, dan larangan itu dikategorikan menjadi dua macam: pertama keharaman bersifat selamanya, dan yang kedua adalah keharaman yang bersifat sementara.

  

28

  a. Larangan yang bersifat selamanya Larangan yang bersifat selamanya ini disebabkan: 1.

  Karena hubungan keturunan (mahram nasab) 2. Karena hubungan semenda (mahram musyaharah) yaitu hubungan kekeluargaan yang timbul karena perkawinan yang telah menjadi terlebih dahulu.

  3. Karena hubungan susunan.

  b. Larangan yang bersifat sementara Larangan yang bersifat sementara ini dikarenakan adanya hal-hal tertentu yang pada saat larangan itu bisa hilang:

  1. Istri orang lain, termasuk yang masih dalam status masa tunggu (iddah) 2.

  Bekas istri sendiri yang telah ditalak li‟an dan talak ba‟in 3. Poligami yang sudah mempunyai empat orang istri 4. Poligami yang mana antara istrinya dengan calon istri yang baru mempunyai hubungan mahram

  5. 28 Musyrik dan kafir

  Ibnu Rusd Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih para Ulama, (Jakarta: Pustaka Amanai,

6. Perbedaan agama 7.

  Murtad 8. Pelacur 9. Budak sahaya 10.

  Sedang dalam ihram 7.

   Sebab-sebab dilarangnya pernikahan a.

  Penghalang Perkawinan Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasang-pasangan.

  Dalam QS. Yasin ayat 36 disebutkan:

             

  

  Artinya: Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan

  semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mer eka ketahui”.

  29 Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan

  kawin dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tertentu karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan yang dalam fiqh munakahat disebut dengan mawani‟ an-nikah. 29

  Dimaksud dengan penghalang perkawinan atau

  mawani‟ an-nikah yaitu hal-

  hal, pertalian-pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menghalangi terjadinya perkawinan dan diharamkan melakukan akad

  30 nikah antara keduanya.

  Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut sy ara‟ dibagi menjadi dua, yaitu larangan sementara dan larangan selamanya. Di antara larangan-larangan selamanya ada yang telah di sepakati

  31

  dan ada pula yang tidak disepakati. Dan yang disepakati ada tiga, yaitu :

  1. Nasab ( keturunan )

  2. Pembesanan ( karena pertalian kerabat semenda )

  3. Sesusuan Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu :

  a. Zina b.

  Li‟an Larangan-larangan sementara ada sembilan, yaitu :

  a. Larangan bilangan

  b. Larangan mengumpulkan

  c. Larangan kehambaan

  d. Larangan kafir

  e. Larangan ihram 30

  f. Larangan kawin karena pertalian nasab 31 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 1995), hlm. 45 Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),

  Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An- Nisa‟ ayat 23 :

             

  Artinya:

  “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara- saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang

  32 perempuan....

  

  Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (larangan selamanya) karena pertalian Nasab adalah :

  • Ibu : yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas)
  • Anak perempuan : yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan ke bawah.
  • Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu

  33 32 saja. 33 Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al Qur‟an, Op. Cit, hlm. 120 Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.

  b. Larangan kawin karena sepersusuan Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Ni sa‟ ayat 23 di atas :

   

 

 

  Artinya:

  “(Diharamkan atas kamu mengawini) dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan ”.

  34

  • Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
  • Saudara susunan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.

  c. Larangan yang bersifat sementara Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya (bersifat sementara) adalah sebagai berikut :

  1. Wanita yang terkait perkawinan dengan laki-laki lain, haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Keharaman ini disebutkan dalam An- Nisa‟ ayat 24 :

         

  Artinya:

34 Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al Qur‟an, Op. Cit, hlm. 710

  “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang

  35 bersuami...

   2.

  Wanita yang sedang dalam „iddah, baik i‟ddah cerai maupun „iddah ditinggal mati.

  3. Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan tel ah habis masa „iddahnya.

B. Landasan Secara Teoritis dan Yuridis Tentang akad nikah 1. Pengertian dan unsur akad nikah

  Akad nikah nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dan perempuan yang dilakukan didepan kedua saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab-kabul. Ijab dikatakan oleh pihak perempuan, yang kebanyakan fukaha dilakukan oleh walinya (wakilnya), dan qabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki, serta disebutkan mas kawin (mahar) yang semestinya sudah ada dalam akad nikah.

  Akad (Shighat) ijab dan qabul. Keduanya menjadi rukun akad. Bergantung pada keduanyalah hakekat suatu dan wujudnya secara syara‟. Disini ada beberapa syarat pada ijab dan qabul, sebagian menetap pada shighat akad nikah dan sebagian yang lain menetap pada lafadz yang menentukan keabsahan akad nikah. Berikut ini penjelasan beberapa syarat akad nikah: 35

  , hlm. 710 Ibid a.

  Shighat akad nikah berbentuk kata kerja Lafadz yang mengungkapkan ijab-qabul yang menunjukan penyelenggaraan akad nikah berbentuk kata kerja (

  fi‟il). Pada dasarnya lafadz

  yang digunakan mengungkap penyelenggara an akad dalam syara‟ hendaknya fi‟il

  

madhi (kata kerja bentuk lampau). Seperti zawwajtu atau tazawwajtu (aku

  nikahkan engkau), ungkapan inilah yang kemudian disebut ijab. Kemudian dijawab, radhitu (aku ridha) dan wafaqtu (aku setuju) dan qabiltu (aku terima),

  36 yang kemudian disebut qabul.

  b.

  Lafadz yang maknanya jelas Hendaknya lafadz yang dugunakan menunjukan pernikahan baik secara materi maupun subtansinya, baik dalam makna yang sebenarnya (makna hakiki) secara bahasa kiasan (majas) yang sudah terkenal, atau sampai ketingkat makna yang sebenarnya dalam bahasa maupun makna kiasan yang disertai indicator.

  37 Dengan demikian, makna lafadz tersebut menjadi jelas dalam akad pernikahan.

  Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur (rukun) akad nikah, yaitu a.

  Mempelai laki-laki dan perempuan b. Wali mempelai perempuan c. Dua orang saksi laki-laki

  38 d.

  Ijab dan qabul.

  2. Pihak-pihak yang melakukan akad. 36 Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan

  talak , diterjemah oleh Abdul Majid Khon, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), cet. I, hlm. 60 37 38 Ibid , hlm. 62

  Seperti halnya dalam akad nikah secara umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad nikah (mempelai laki-laki dan perempuan) diisyaratkan mempunyai kecakapan sempurna yaitu telah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.

  Men urut pendapat kebanyakan fukaha‟, mempelai perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, harus dilakukan oleh walinya.

  Bahkan atas dasar pertimbangan “maslahah mursalah” dapat pula diadakan ketentuan umur yang melampaui umur baligh (sekitar 15 tahun), apabila terdapat motif yang benar-benar dapat diharapkan akan lebih dapat menyampaikan tercapainya tujuan perkawinan seperti ketentuan UU perkawinan No. I/1974 pasal 7 ayat I, bahwa calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan sekurang-kurangnya

  39 mencapai umur 16 tahun.

  3. Objek Akad Nikah

  Objek dalam akad nikah bukan orang yang terkait dalam perjanjian, tetapi apa yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halalnya melakukan hubungan timbul balik antara suami istri. Hal ini berarti, dengan adanya akad nikah, tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya.

  Oleh karena itu, diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikah oleh calon suami, atau dengan kata lain, tidak

  40 dapat dilarang perkawinan antara calon-calon suami istri.

  4. Shighat akad nikah 39 40 Ibid , hlm 26

  Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh para saksi.

  Di Indonesia sering dipergunakan bahasa Arab dikalangan mereka yang memahami. Mempergunakan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah juga dipandang sah dan tidak dapat dikatakan bahwa menggunakan bahasa yang satu lebih utama dari pada menggunakan bahasa yang lain.

  Pada dasarnya ijab qabul dilakukan secara lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dilakukan karena salah satu pihak buta huruf misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.

  Antara ijab dan qabul disyaratkan terjadi dalam satu majlis, tidak disela- selai dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan. Ulama-ulama mazhab Imam

  Syafi‟i mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan ijab, mempelai laki-laki harus segera menyatakan

  

qabulnya tanpa antara waktu. Peandapat ini yang disering dipraktekan dikalangan

  

41

kebanyakan kaum muslimin di Indonesia.

5. Shighat akad nikah disertai syarat

  Salah satu prinsip perkawinan dalam Islam, seperti diatas, ialah adanya keabsahan mengajukan syarat dalam akad. Syarat yang diajukan dalam akad itu dipandang mengikat apabila tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

  41 ajaran Islam, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.

  Hal ini diajarkan dalam QS. Al-Isra: 34,

  

  

   

  Artinya:

  “….dan penuhilah janji karena janji itu pasti akan diminta pertanggungjawaban.”

  Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan lain- lain dari Uqbah bin Amir mengajarkan:

  “syarat-syarat yang lebih berhak

  42 dipenuhi ialah yang berhubungan dengan perkawinan.”

  Pelaksanaan ijab qabul dalam akad nikah, dalam pasal 27 KHI tentang akad nikah, menentukan bahwa pelaksanaan ijab dan qabul antara wali (dari pihak calon mempelai perempuan) dengan calon mempelai laki-laki harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Akad nikah. Pelaksanaan ucapa ijab nikah ang semestinya dilakukan oleh “wali nikah” dapat diwakilkan kepada orang lain yang memenuhi syarat (pasal 28 KHI).

  Ucapan ijab yang diucapkan pada akad nikah itu dilakukan atas nama “wali nikah” untuk menikahkan calon mempelai perempuan bersangkutan.

  Qabul diucapkan oleh mempelai laki-laki secara pribadi. Akan tetapi,

  dalam kondisi tertentu qabul nikah dapat diwakilikan kepada lelaki lain, dengan ketentuan bahwa calon mempelai lelaki bersangkutan memberi kuasa yang tegas

  42 secara tertulis, bahwa penerimaan wakil atas nama akad nikah (qabul) itu adalah