BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Aeromonas hydrophila 2.1.1 Klasifikasi Aeromonas hydrophila - EFEKTIVITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Aeromonas hydrophila GPl-04 SECARA IN VITRO - repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Aeromonas hydrophila

  2.1.1 Klasifikasi Aeromonas hydrophila

  Klasifikasi Aeromonas hydrophila menurut Holt dkk, (1994) adalah sebagai berikut : Phylum : Protophyta Classis : Schizomycetes Ordo : Pseudomonadales Familia : Vibrionaceae Genus : Aeromonas Species : Aeromonas hydrophila

  2.1.2 Morfologi Aeromonas hydrophila

  Bakteri A. hydrophila memiliki ciri utama yaitu berbentuk seperti batang yang berukuran 0,8-1 x 1-3,5 µm, bersifat Gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak mempunyai spora, dan bersifat motil (bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel yang keluar dari salah satu kutubnya, serta hidup pada suhu 15 – 30 °C (Kordi, 2004). Bakteri ini juga resisten terhadap chlorine serta suhu dingin (faktanya A. hydrophila mampu

  o

  bertahan hidup pada temperatur rendah ± 4

  C), tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1 bulan. Sebagian besar bakteri A. hydrophila mampu tumbuh dan

  o

  berkembang biak pada suhu 37 C dan tetap motil pada suhu tersebut. Di samping

  6 itu, pada kisaran pH 4,7 – 11 bakteri ini masih dapat tumbuh. Perkembangbiakkan bakteri ini dapat dilakukan secara aseksual, yaitu dengan memanjangkan sel diikuti dengan pembelahan inti atau pembelahan biner. Waktu yang diperlukan untuk pembelahan satu sel menjadi dua sel bakteri ± 10 menit (Laili, 2007).

Gambar 2.1 Bakteri A. hydrophila Hasil Pewarnaan Gram, Perbesaran 1000X

  ukuran 1 x 3,5 µm (Yulita, 2002)

2.1.3 Habitat dan Penyebaran Bakteri Aeromonas hydrophila Bakteri A. hydrophila dapat hidup di air tawar, air laut, maupun air payau.

  Pada umumnya bakteri ini hidup pada air tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Bakteri ini juga diakui sebagai patogen dari hewan akuatik yang berdarah dingin. Di daerah tropik dan sub tropik, pendarahan pada organ dalam pada ikan yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila pada umumnya muncul pada musim panas (kemarau) karena pada saat itu konsentrasi bahan organik tinggi dalam kolam air. Pada ikan, bakteri ini banyak ditemukan pada bagian insang, kulit, hati, dan ginjal. Ada pula yang berpendapat bakteri ini dapat hidup pada saluran pencernaan (Irianto, 2005).

2.1.4 Penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS)

  Bakteri A. hydrophila merupakan salah satu bakteri oportunis yang dapat menyebabkan penyakit bakterial. Penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri tersebut adalah penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). Keberadaan bakteri ini sangat berpengaruh terhadap budidaya ikan air tawar karena sering menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian yang tinggi yaitu 80 – 100% dalam kurun waktu yang relatif singkat (1 – 2 minggu) (Irianto, 2005).

  Serangan bakteri ini bersifat laten (berkepanjangan) sehingga tidak memperlihatkan gejala penyakit meskipun telah dijumpai pada tubuh ikan.

  Serangan bakteri ini baru terlihat apabila ketahanan tubuh ikan menurun akibat stres yang disebabkan oleh penurunan kualitas air, kekurangan pakan, atau penanganan ikan yang kurang baik. Penularan bakteri ini dapat langsung melalui air, kontak badan, kontak dengan peralatan yang tercemar atau karena pemindahan ikan yang telah terinfeksi A. hydrophila dari satu tempat ke tempat lain (Kordi, 2004).

  Ikan yang terinfeksi bakteri A.hydrophila memperlihatkan tanda-tanda berupa tingkah laku ikan tidak normal, berenang lambat, megap-megap di permukaan air, dan nafsu makan menurun. Tanda lainnya seperti sirip ikan rusak, kulit kering dan kasar, lesi yang berkembang menjadi tukak, dan mata menonjol (exophthalmus), serta terkadang perut menggembung berisi cairan kemerahan. Penyakit ini bersifat musiman dan meningkat selama musim panas serta berhubungan dengan populasi ikan yang mengalami stres (Kabata, 1985).

2.1.5 Penanggulangan Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)

  Dalam budidaya ikan dibutuhkan pengelolaan yang baik untuk menanggulangi timbulnya penyakit. Penyakit pada ikan yang disebabkan oleh

  

A.hydrophila hendaknya dicegah karena sifat motilnya yang mengakibatkan

  bakteri menyebar dengan cepat dan serangan bakteri ini bersifat berkepanjangan (Kordi, 2004). Pencegahan penyakit MAS yang sudah terbukti efektif adalah dengan menggunakan vaksin dan antibiotik sintetis. Namun, kedua bahan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Vaksin efektif digunakan untuk pencegahan penyakit MAS pada ikan. Adapun jenis-jenis vaksin yang digunakan adalah vaksin monovalen, vaksin multivalen/ polivalen, vaksin polivalen plus, vaksin produk ekstraseluler, dan vaksin produk intraseluler (Mulia, 2012).

  Bahan antibiotik sintetis juga dapat digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit MAS. Antibiotik dapat diberikan dengan cara menyuntikkan antibiotik dengan dosis yang disesuaikan dengan berat tubuh ikan tersebut. Namun, penggunaan antibiotik sintetis juga dapat berdampak buruk karena mengakibatkan resistensi pada bakteri, selain itu juga dapat mencemari lingkungan dan pada residu antibiotik dapat terakumulasi pada tubuh ikan dan manusia yang mengkonsumsinya, sehingga hal tersebut harus dihindari (Calabrase dkk, 2000).

2.1.6 Antibiotik Kloramfenikol

  Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme hidup terutama fungsi bakteri atau melalui sintesis, dan memiliki efek mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri. Kloramfenikol adalah salah satu jenis antimikroba turunan amfenikol yang secara alami diproduksi oleh Stretomyces venezuelae (Ganiswarna, 1995). Senyawa dengan rumus molekul C

  11 H

  12 C

  12 N

  2 O 5 dan nama D (-) treo-2-dikloroasetamido-1- p-notrofenilpropana-1,3-diol, memiliki struktur molekul pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur Bangun Kloramfenikol (Susanti, 2009)

  Mekanisme kerja kloramfenikol sebagai antibakteri bersifat stereospesifik, karena hanya satu steroisomer yang memiliki aktivitas antibakteri, yaitu D (-) treo-isomer. Kloramfenikol bekerja pada spektrum luas, efektif baik terhadap Gram positif maupun Gram negatif. Mekanisme kerja kloramfenikol melalui penghambatan terhadap biosintesis protein pada siklus pemanjangan rantai asam amino, yaitu dengan menghambat pembentukan ikatan peptida. Antibiotika ini mampu mengikat subunit ribosom 50-S sel mikroba terget secara terpulihkan, akibatnya terjadi hambatan pembentukan ikatan peptida dan biosintesis protein. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada konsentrasi tinggi dapat bakterisida terhadap bakteri-bakteri tertentu (Ganiswarna, 1995).

  Spektrum antibakteri kloramfenikol meliputi D. Pneumoniae, Str.

  

Pyogenes, Str. Viridans, Neisseria, Haemophilus, Bacillus sp, Listeria, bartonella,

Brucella, P. Multocida, C. Diphteriae, Chalamydia, Mycoplasma, Rickettsia,

treponema dan kebanyakan mikroba aerob. Senyawa ini juga efektif terhadap

kebanyakan galur E. Coli, K. Pneumoniae, dan Pr. Mirabilis (Ganiswara, 1995).

2.2 Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees)

  2.2.1 Klasifikasi Tumbuhan Sambiloto, menurut (Cronquist, 1981):

  Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Scrophulariales Familia : Acanthaceae Genus : Andrographis Species : Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees

  2.2.2 Deskripsi Tumbuhan Sambiloto

  Bunga berbentuk tabung relatif sempit, panjang sekitar 6 mm, berbibir dua mencolok, bibir atas lonjong, berwarna putih dengan bagian atas kekuningan, panjang sekitar 7-8 mm, bibir bawah lebih tipis, berwarna putih dengan noda ungu, sekitar 6 mm, benang sari terletak di tenggorokan, filamen sempit dengan basis broadned, sekitar 6 mm, bassal anter berjanggut, permukaan yang luas berkerut, perbungaan paten, sering berulang kali bercabang, sering digabungkan dalam melai terminal, tangkai bunga 3-7 mm, kelopak 3-4 mm. Buah seperti kapsul berbentuk jorong. Daun lanset, letak berhadapan bersilangan, ujung meruncing, panjang 3 – 7 cm, lebar 1 – 3 cm, permukaan atas berwarna hijau tua, bagian bawah berwarna hijau muda, tangkai daun 1 – 1 cm. Batang berbentuk segi empat (kuadrangulis) dengan nodus membesar (Backer dan van den Brink, 1965).

  2.2.3 Habitat Tumbuhan Sambiloto

  Sambiloto tumbuh secara liar di tempat terbuka, di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau pekarangan. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (Dalimunthe, 2009).

Gambar 2.3 Tumbuhan Sambiloto (Dokumen Pribadi, 2014)

  2.2.4 Kandungan Senyawa Sambiloto

  Tumbuhan sambiloto rasanya sangat pahit karena mengandung senyawa yang disebut andrographolida yang merupakan senyawa keton diterpena. Senyawa ini merupakan salah satu bahan aktif dari daun sambiloto yang juga banyak mengandung unsur-unsur mineral lain seperti kalium, kalsium, natrium, dan asam kersik, dalam daun sambiloto juga terdapat, alkane, ketone, dan aldehide (Lembaga Biologi Nasional, 1978).

2.2.5 Manfaat Sambiloto

  Andrograpolida yang terdapat dalam sambiloto berkhasiat sebagai analgesik dan antiseptik dengan cara meningkatkan kadar betaendorfin dalam plasma, betaendorfin merupakan suatu neurotransmitter yang dapat berefek analgesik (pereda rasa sakit) dan antipiretik (penurun demam), dan andrograpoloida juga berkhasiat sebagai antidiabetes. Sebagai kholeretik andrographolida dapat meningkatkan aliran empedu, garam empedu dan asam empedu, selain itu zat yang terasa pahit ini juga bisa meningkatkan produksi antibodi/ immunostimulan (Prapanza dan Marianto, 2003).

  Sambiloto juga mempunyai mempunyai efek muskarinik pada pembuluh darah, efek pada jantung isemik, efek respirasi pada sel, antiinflamasi dan antibakteri. Herba ini sangat berkhasiat untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri misalnya pada Staphylococcus aureus, Pseudomonas

  

aeruginosa, Proteus vulgaris, Shigella dysenteriae, dan Escherichia coli

(Abadnego, 2012).

2.3 Metabolisme Sekunder

  Di dalam tubuh makhluk hidup terdapat suatu proses kimia yang memungkinkan terdapat suatu kehidupan, proses tersebut disebut dengan metabolisme. Tumbuhan sebagai salah satu makhluk hidup menghasilkan dua senyawa organik hasil metabolisme yaitu metabolit primer dan sekunder.

  Metabolit primer merupakan senyawa utama penyusun yang dibutuhkan untuk proses perkembangan dan pertumbuhan makhluk hidup. Metabolit primer meliputi karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan tumbuhan namun tidak berperan langsung dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Robinson, 1995).

  Metabolit sekunder dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fenolat, terpen, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Fenolat merupakan senyawa aromatik alami yang mengandung gugus fenol. Beberapa senyawa yang termasuk fenolat antara lain selulosa, lignin, flavonoid, dan tanin. Sejumlah metabolit sekunder memiliki aktivitas biologis seperti golongan tanin, saponin, glikosida, terpenoid, flavonoid, tanin, dan alkaloid (Robinson, 1995).

2.4 Senyawa Metabolit Sekunder a. Flavonoid

  Flavonoid yang terdapat di alam antara lain flavon, isoflavon, antosianin, leuko-antosianin, dan kalkon. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru serta sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Beberapa fungsinya untuk tumbuhan yang mengandung flavonoid ialah pengatur tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995).

b. Tanin

  Terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae khusus dalam jaringan kayu. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Secara kimia tanin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi lebih panjang dari segi penyamakan. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam larutan asam klorida encer. Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna cokelat, hijau, kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk alkaloid (Padmawinata dan Soediro, 1996).

  c. Terpenoid

  Terpenoid adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen, atau karbon hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatis. Secara kimia terpenoid larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan dengan memakai eter atau kloroform, dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumunia menggunakan pelarut eter atau kloroform (Harbone, 1996).

  d. Alkaloid

  Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai tumbuhan, tetapi sering kali kadar alkaloid kurang dari 1%, alkaloid dari tanaman kebanyakan amina tersier dan lainnya terdiri dari nitrogen primer, sekunder, dan quartener. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan sebagian atom nitrogen ini merupakan cincin aromatis (Kristanti dkk, 2008).

  e. Saponin

  Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa, jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer, saponin sangat beracun untuk ikan. Tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan. Saponin mempunyai efek antibakteri dan antijamur. Saponin memiliki struktur yang sangat berkaitan dengan molekul hidrofilik dan molekul-molekul organik non polar (lipofilik) sehingga mampu merusak membran sitoplasma dan membunuh bakteri pembentukan busa yang lama pada waktu ekstraksi atau ekstrak tanaman yang pekat menunjukkan adanya saponin (Wagner, 1984).

2.5 Penapisan Fitokimia Simplisia Sambiloto

  Penapisan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, dan biji). Terutama kandungan metabolit sekunder yang bioaktif yaitu alkaloid, antrakinon, flavonoid, kumarin, glikosida jantung, saponin (steroid dan triterpenoid), pilifenol, tanin, dan minyak atsiri. Adapun tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif atau kandungan yang berguna untuk pengobatan (Pedrosa, 1987). Teknik yang digunakan untuk melakukan penapisan fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain, sederhana, cepat dan dapat dilakukan dengan peralatan minimal, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari, semikualitatif dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa tertentu dari golongan senyawa yang dipelajari (Pedrosa, 1987).

  Uji flavonoid digunakan untuk mendeteksi senyawa yang mempunyai inti benzopiranon. Warna merah atau ungu yang terbentuk merupakan garam benzopirilum, yang disebutkan juga garam flavilium (Kristanti dkk, 2008).

  3+

  Tanin terdeteksi dalam ekstrak karena kemampuan ion Fe dari reagen membentuk kompleks dengan senyawa tanin. Kompleks terbentuk karena ikatan

  3+

  kovalen antara ion Fe dengan atom O dari gugus fungsi OH senyawa tanin melepaskan atom H.

  Uji saponin menunjukan hasil positif apabila memiliki kemampuan membentuk buih dalam air. Senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon (Kristanti dkk, 2008)

  Terpenoid terdeteksi apabila ada warna merah bata setelah ditetesi pereaksi asetat anhidrat dan asam sulfat. Senyawa terpenoid akan mengalami dehidrasi dengan penambahan asam kuat dan membentuk garam yang memberikan reaksi warna merah tua (Robinson, 1995)

  Saponin terdeteksi apabila terbentuk endapan putih dipermukaan setelah didiamkan 3 menit. Saponin mempunyai sifat seperti sabun ketika dilarutkan dalam air yaitu akan membentuk busa. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995).

2.6 Uji Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Sambiloto

  Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan pemisahan komponen kimia yang sering digunakan dalam kimia organik bahan alam. Fenomena yang terjadi pada KLT adalah berdasarkan prinsip adsorbsi. Pada KLT, secara umum senyawa-senyawa yang memiliki kepolaran rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa-senyawa polar (Kristanti dkk, 2008)

  KLT merupakan teknik pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, karotenoid, steroid, kuinon sederhana, dan klorofil (Harbone, 1996). Proses KLT mudah dan cepat, sehingga banyak digunakan untuk melihat kemurnian suatu senyawa organik. Ada dua macam fase dalam KLT yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam yang digunakan dalam KLT berupa zat padat silika atau alumunia yang mempunyai kemampuan mengabsorpsi bahan-bahan yang akan dipisahkan sebagai absorben (Kristanti dkk, 2008). Fase gerak yang diapakai adalah pelarut tunggal atau campuran pelarut dengan perbandingan tertentu. Pendeteksian noda dapat dilakukan dengan pengamatan langsung, dibawah sinar UV dan disemprot dengan reagen spesifik (Wagner, 1984).

2.7 Ekstraksi

  Ekstrak adalah sedian padat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi buku yang ditetapkan. Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang mengandung etanol sebagai pelarut dan pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap mili ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 gram simplisia yang memenuhi syarat (Depkes RI, 1996).

  Tumbuhan segar yang telah diperoleh dihaluskan yang kemudian dikeringkan kemudian diproses dengan cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi dan bahan ekstraksi (cairan, ekstraksi, menstruum) yang sebaiknya digunakan, sangat tergantung kelarutan dan stabilitasnya. Untuk memperoleh sediaan yang cocok umumnya digunakan campuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Depkes RI, 1996).

2.8 Maserasi

  Maserasi adalah tekhnik penyaringan yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dalam masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dengan di dalam sel. (Depkes RI, 1986).

  Maserasi umumnya dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukan kedalam bejana, kemudian dituangi dengan bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan 5 hari diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindungi dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan (Depkes RI, 1986).

  Pada penyaringan dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan dilakukan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekcil-kecilnya antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Depkes RI, 1986).

  Hasil penyaringan dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mendapatkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi terlarut didalam cairan penyari seperti malam dan lilin-lilin (Depkes RI, 1986).

  Remaserasi dilakukan dengan cara cairan penyari dibagi 2. Seluruh serbuk simplisia dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah itu tuangakan dan peras, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang kedua (Depkes RI, 1986).