USHUL FIQIH Pengertian ruang lingkup dst
USHUL FIQIH
Untuk memenuhi materi kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Fatimatuz Zahro
Oleh :
RANY SILVIA PEBRIAN
NIM. 931307116
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
STAIN KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang pastinya membutuhkan interaksi dengan
orang lain, baik dalam urusan umum atau keagamaan. Di saat berhubungan
dengan orang lain itu, ada aturan-aturan yang harus dilakukan dan dijaga agar
hubungan dengan orang lain itu terjaga kebaikannya.
Selain berhubungan dengan orang lain, pastilah berhubungan juga dengan Tuhan
melalui ibadah yang dilakukan setiap hari. Islam dalam hal ini telah diatur
semuanya dalam ilmu fiqh dengan segala ketentuannya yang berlaku. Ilmu fiqh
telah membahas semua tanpa kecuali, akan tetapi pada masalah yang dahulu
belum ada dan belum terpikirkan, fiqh tidak membahasnya, begitu pula syar’i
juga tidak menyebutkannya. Terus bagaimana hukum ? itulah pembahasan pada
makalah ini, pemakalah akan membahas ilmu ushul fiqh, seperti membahas
dasar-dasar hukum itu bisa ada dan bagaimana cara mendapatkan hukum .
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Ushul Fiqh ?
2.
Apa Tujuan Mempealajari Ushul Fiqh ?
3.
Apa saja Ruang Lingkup dalam Pembahasan Ushul Fiqh ?
4.
Bagaimana Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh ?
5.
Apa saja Aliran-Aliran yang ada dalam Ushul Fiqh ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqih
Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul (”)أصول
dan kata “fiqh (”)الفقه. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal (”)الصل
secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti
etimologi ini tidak jauh dari maksud definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu
ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”.
Kata “fiqh ( ”)الفقهsecara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti
fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi
sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”. Dari arti fiqh
secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu
bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua tentang dalildalil tafsili.1
Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’
secara global dengan seluk beluknya dan metode pengaliannya.2
B. Ruang Lingkup Ushul Fiqih
1. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum
syara’, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahiriyah dianggap
bertentangan.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukannya
(mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat
khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macammacamnya.
1
Kumpulan Makalah, Makalah Ushul Fiqih, makalahe.19.blogspot.co.id, 13 September 2016,
04.30 WIB
2
5. Pembahasan
tentang
kaidah-kaidah
yang
digunakan
dengan
cara
menggunakannya dalam mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui
kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai
oleh suatunash(ayat atau hadist).Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat
yang mendasar dari dalil-dalil syara’dan sifat-sifat itu dirumuskan dalam bentuk
dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global (umum). Dalil-dalil yang secara
global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan
diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i (terinci) yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam
ijtihadnya itu akan membuahkan hukum fikih yang langsung dikaitkan dengan
perbuatan mukallaf. 3
Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah menganalisis satu persatu dalil
dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum syara’ berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Empat
persoalan objek pembahasan Fiqih:
1.
Hukum Syara’
2.
Hakim dan dalil-dalilnya;
3.
Perbuatan mukalaf, dan
4.
Mukalaf. 4
C. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi penunjukan atas suatu ketentuan
hukum. Sedangkan Fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Walau ada
titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil.5
Dengan demikian, dapat dikatakan dalil sebagai pohon yang melahirkan
buah, sedangkan fikih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.6
D. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fiqih
1.
3
4
5
6
Masa Nabi Muhammad SAW
Benih-benih ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa
Rasulullah. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan
ilmu fiqh dikembalikan kepada Rasul. Selain itu, dalam pertumbuhan dan
pembentukannya ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Namun ijtihad Nabi tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in
dan lainnya, karena ijtihad Nabi terjamin kebenarannya, dan bila salah,
seketika itu juga datang wahyu untuk membetulkannya. Demikian demi
terjaganya syariat.[6]
2.
Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam
pembentukan hukum Islam adalah para Sahabat Nabi. Pada masa ini para
Sahabat banyak melakukan ijtihad ketika suatu masalah tidak dijumpai di
dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat berijtihad, para sahabat telah
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam
suatu disiplin ilmu.[7] Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan
maupun secara bermusyawarah. Keputusan atau kesepakatan mereka dari
musyawarah tersebut dikenal denganijma’ Sahabat. Selain itu, mereka
melakukan ijtihad dengan metode qiyas (analogi) dan mereka juga berijtihad
dengan metode istishlah. Praktik ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan
metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada
saat itu.
3.
Masa Tabi’in
Pada masa Tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas
disebabkan tambah meluasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan
baru yang muncul.[8] Para Tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam.
Di Madinah, di Irak dan di Basrah. Titik tolak para ulama dalam menetapkan
hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari suatu maslahat, sementara yang
lain
menetapkan
hukumnya
melalui Qiyas.
Dari
perbedaan
dalam
mengistinbatkan hukum inilah, akibatnya muncul tiga kelompok ulama,
yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah Al-Kaufah yang lebih dikenal dengan
sebutan Madrasah
Al-Ra’yudan Madrasah
Al-Madinah dikenal
dengan
sebutan Madrasah Al-Hadits. Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh masih
belum terbukukan.
4.
MasaImam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan
demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbath hukum dan teknis
penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-Nu’man (80-150 H) pendiri mazhab
Hanafi. Dasar-dasar istinbathnya yaitu : Kitabullah, Sunnah, fatwa (pendapat
Sahabat
yang
disepakati),
tidak
berpegang
dengan
pendapat
Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179 H)
pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
beliau juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk
Madinah.[9] Pada masa ini, Abu Hanifah dan Imam Malik tidak meninggalkan
buku ushul fiqh.
5.
Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad
bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H) pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam
meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai
didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad
pada masa itu.[10] Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam
Syafi’i yang datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbath
para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan
dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan
metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam,
untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil
ijtihad di masa sebelumnya.
Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh.
Kitabnya yang berjudul Al-Risalah(sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau
telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’i berusaha
memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah
melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya
tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh.
6.
Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i
menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang
membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi
yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang
membahas bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.
Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah
dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad
bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat
ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan
pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab
baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para
ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab
tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasigenerasi sesudahnya cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai
dengan kasus yang dihadapi pada zaman masing-masing.[11]
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan Ushul Fiqih adalah
perkembangan wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang
menimbulkan berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya.
Para ulama islam sangat membutuhakn kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Jika dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqih
sebelum dibukukan adalah para sahabat dan tabi’in. Yang diperselisihkan
adalah orang pertama yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqih, untuk itu
perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisanya. Ada dua teori yang
digunakan, yakni :
a.
Merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih
dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidahkidahnya.
b.
Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong mujtahid untuk mengistinbath, tanpa terkait oleh pendapat atau pemahaman sejalan maupun
yang bertentangan.
Jalaluddin As-syuti berkata : “disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak
batu pertama pada ilmu Ushul Fiqih. Adapun Maliki hanya menunjukan
sebagian kaidah-kaidahnya, demikian ulama-ulama lain, seperti Abu
Yusuf dan Muhammad Al-Hasan” (Al-Hawaji, II : 404).
Dapat disimpulkan bahwa kitab Al-Risalah merupakan kitab yang
pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih.7
2.
Tahap-Tahap Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besar Perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga
tahapan, yaitu :
a.
Tahap awal (abad 3 H)
Di bawah pemerintahan Abbasyiah Wilayah islam semakin meluas ke
bagian Timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa pada abad ini adalah: AlMa’mun (w.218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H) Al-Wasiq (w. 232 H), dan
Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa inilah terjadi suatu kebangkitan
ilmiah dikalangan islam, yang dimulai pada masa pemerintahan Khalifah
Ar-Rasyid. Ditandai dengan timbulnya semangat penerjemah dikalangan
Ilmuan muslim. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa
Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). Ilmu-ilmu keagamaan
juga berkembang dan semakin meluas pembahasannya. Hasil pemikiran
itu berhasil mengembangkan bidang fiqih, yang mendorong untuk
disusunnya metode berpikir fiqih yaitu Ushul Fiqih.
7
Pada abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang meletakan dasar
berdirinya madzhab-madzhab fiqih, sehingga para pengikut mereka
semakin menunjukan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran Ushul
Fiqih dari para imamnya. Perbedaan-perbedaan pendapat
dan metode
masing-masing aliran semakin mendorong semangat pengkajian ilmiah di
kalangan ulama abad 3 H dan semangat ini berlanjut dan semakin
berkembang pada abad 4 H.
b.
Tahap Perkembangan (Abad 4 H)
Pada abad ini merupakan permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah
dalam bidang politik. Dinasti Abbasyiah terpecah menjadi daulah-daulah
kecil yang dipimpin oleh seorang sultan. Perkembangan ilmu keislaman
pada abad ini jauh lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena
masing-masing penguasa ingin memajukan, memakmurkan dan menopang
perkembangan ilmu pengetahuan di negrinya.
Khusus di
bidang pemikiran fiqih Islam abad ini mempunyai
karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Hal ini
ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan
larangan untuk melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid,
karena karena tiap-tiap pengikut tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
untuk menyempurnakan apa yang dirintis pendahulunya. Usaha mereka
antara lain :
1) Memperjelas ‘illat-illat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam
mereka; mereka itu yang disebut ‘ulama takhriz.
2) Men-tarjih-kan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik
dari segi riwayat dan dirayah
3) Setiap golongan mendukung madzhab-nya sendiri dan men-tarjih-kan
dalam berbagai masalah khilafiyah.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini
telah tertutup. Akibat yang ditimbulkan sebagai berikut :
1) Kegiatan para ulama terbatas, mereka cendrung men-syarah-kan kitabkitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2) Menghimpun maslah-masalah furu’ yang banyak dalam uraian yang
singkat.
3) Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya :
Kitab Ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadilah Ibnu
Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 340 H.).
Kitab Al-Fushul Fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar
Ar-Razim yang dikenal dengan Al-Jashshasa (305-370 H.).
Kitab Bayan Kasf Al-Ahfaz, ditulis oleh Abu Muhammad Badr AdDin Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ciri khas perkembangan Ushul Fiqih pada abad ini, yaitu munculnya
kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh
dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.8
c.
Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H.)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai lahirnya daulah-daulah
kecil, membawa arti pada perkembangan peradaban Islam. Hal ini
disebabkan adanya perhatian lebih dari para pengusanya terhadap
perkembangan ilmu dan peradaban. Salah satu dampak dari perkembangan
itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya ; antara lain AlBaqilani, Al-Qadhi Abd. Al-jabar, Abd. Al-Wahab Al-Bagdhdadi, dan
lain-lain. Mereka lah pelopor keilmuan islam pada zaman itu.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang ditulis pada zaman ini, dismping
mencerminkan adanya adanya kitab ushul fiqih pada tiap madzhab, juga
menunjukan adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran Hanafiyah dikenal
sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakalimin.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang paling penting antara lain :
8
1.
Kitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-Adl wa At-Tahwid, ditulis oleh AlQadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H./1024 H.).
2.
Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Husain AlBashri (w. 436 H./1044 M.).
3.
Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu
Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu
Khalaf Al-Farra (w. 458/1065 M.).
4.
Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Ma’ali Abd.
Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juaini Imam Al-Haramain (w.
478 H./1094 M.).
5.
Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid AlGhazali (w. 505 H./1111 M.).9
2. Objek Kajian Fikih
Ilmu Ushul Fiqih, Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si
Ilmu Ushul Fiqih, Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA.
9
Untuk memenuhi materi kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Fatimatuz Zahro
Oleh :
RANY SILVIA PEBRIAN
NIM. 931307116
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
STAIN KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang pastinya membutuhkan interaksi dengan
orang lain, baik dalam urusan umum atau keagamaan. Di saat berhubungan
dengan orang lain itu, ada aturan-aturan yang harus dilakukan dan dijaga agar
hubungan dengan orang lain itu terjaga kebaikannya.
Selain berhubungan dengan orang lain, pastilah berhubungan juga dengan Tuhan
melalui ibadah yang dilakukan setiap hari. Islam dalam hal ini telah diatur
semuanya dalam ilmu fiqh dengan segala ketentuannya yang berlaku. Ilmu fiqh
telah membahas semua tanpa kecuali, akan tetapi pada masalah yang dahulu
belum ada dan belum terpikirkan, fiqh tidak membahasnya, begitu pula syar’i
juga tidak menyebutkannya. Terus bagaimana hukum ? itulah pembahasan pada
makalah ini, pemakalah akan membahas ilmu ushul fiqh, seperti membahas
dasar-dasar hukum itu bisa ada dan bagaimana cara mendapatkan hukum .
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Ushul Fiqh ?
2.
Apa Tujuan Mempealajari Ushul Fiqh ?
3.
Apa saja Ruang Lingkup dalam Pembahasan Ushul Fiqh ?
4.
Bagaimana Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh ?
5.
Apa saja Aliran-Aliran yang ada dalam Ushul Fiqh ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqih
Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul (”)أصول
dan kata “fiqh (”)الفقه. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal (”)الصل
secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti
etimologi ini tidak jauh dari maksud definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu
ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”.
Kata “fiqh ( ”)الفقهsecara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti
fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi
sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”. Dari arti fiqh
secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu
bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua tentang dalildalil tafsili.1
Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’
secara global dengan seluk beluknya dan metode pengaliannya.2
B. Ruang Lingkup Ushul Fiqih
1. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum
syara’, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahiriyah dianggap
bertentangan.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukannya
(mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat
khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macammacamnya.
1
Kumpulan Makalah, Makalah Ushul Fiqih, makalahe.19.blogspot.co.id, 13 September 2016,
04.30 WIB
2
5. Pembahasan
tentang
kaidah-kaidah
yang
digunakan
dengan
cara
menggunakannya dalam mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui
kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai
oleh suatunash(ayat atau hadist).Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat
yang mendasar dari dalil-dalil syara’dan sifat-sifat itu dirumuskan dalam bentuk
dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global (umum). Dalil-dalil yang secara
global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan
diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i (terinci) yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam
ijtihadnya itu akan membuahkan hukum fikih yang langsung dikaitkan dengan
perbuatan mukallaf. 3
Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah menganalisis satu persatu dalil
dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum syara’ berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Empat
persoalan objek pembahasan Fiqih:
1.
Hukum Syara’
2.
Hakim dan dalil-dalilnya;
3.
Perbuatan mukalaf, dan
4.
Mukalaf. 4
C. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi penunjukan atas suatu ketentuan
hukum. Sedangkan Fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Walau ada
titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil.5
Dengan demikian, dapat dikatakan dalil sebagai pohon yang melahirkan
buah, sedangkan fikih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.6
D. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fiqih
1.
3
4
5
6
Masa Nabi Muhammad SAW
Benih-benih ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa
Rasulullah. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan
ilmu fiqh dikembalikan kepada Rasul. Selain itu, dalam pertumbuhan dan
pembentukannya ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Namun ijtihad Nabi tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in
dan lainnya, karena ijtihad Nabi terjamin kebenarannya, dan bila salah,
seketika itu juga datang wahyu untuk membetulkannya. Demikian demi
terjaganya syariat.[6]
2.
Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam
pembentukan hukum Islam adalah para Sahabat Nabi. Pada masa ini para
Sahabat banyak melakukan ijtihad ketika suatu masalah tidak dijumpai di
dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat berijtihad, para sahabat telah
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam
suatu disiplin ilmu.[7] Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan
maupun secara bermusyawarah. Keputusan atau kesepakatan mereka dari
musyawarah tersebut dikenal denganijma’ Sahabat. Selain itu, mereka
melakukan ijtihad dengan metode qiyas (analogi) dan mereka juga berijtihad
dengan metode istishlah. Praktik ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan
metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada
saat itu.
3.
Masa Tabi’in
Pada masa Tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas
disebabkan tambah meluasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan
baru yang muncul.[8] Para Tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam.
Di Madinah, di Irak dan di Basrah. Titik tolak para ulama dalam menetapkan
hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari suatu maslahat, sementara yang
lain
menetapkan
hukumnya
melalui Qiyas.
Dari
perbedaan
dalam
mengistinbatkan hukum inilah, akibatnya muncul tiga kelompok ulama,
yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah Al-Kaufah yang lebih dikenal dengan
sebutan Madrasah
Al-Ra’yudan Madrasah
Al-Madinah dikenal
dengan
sebutan Madrasah Al-Hadits. Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh masih
belum terbukukan.
4.
MasaImam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan
demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbath hukum dan teknis
penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-Nu’man (80-150 H) pendiri mazhab
Hanafi. Dasar-dasar istinbathnya yaitu : Kitabullah, Sunnah, fatwa (pendapat
Sahabat
yang
disepakati),
tidak
berpegang
dengan
pendapat
Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179 H)
pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
beliau juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk
Madinah.[9] Pada masa ini, Abu Hanifah dan Imam Malik tidak meninggalkan
buku ushul fiqh.
5.
Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad
bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H) pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam
meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai
didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad
pada masa itu.[10] Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam
Syafi’i yang datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbath
para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan
dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan
metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam,
untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil
ijtihad di masa sebelumnya.
Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh.
Kitabnya yang berjudul Al-Risalah(sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau
telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’i berusaha
memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah
melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya
tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh.
6.
Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i
menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang
membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi
yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang
membahas bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.
Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah
dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad
bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat
ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan
pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab
baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para
ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab
tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasigenerasi sesudahnya cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai
dengan kasus yang dihadapi pada zaman masing-masing.[11]
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan Ushul Fiqih adalah
perkembangan wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang
menimbulkan berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya.
Para ulama islam sangat membutuhakn kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Jika dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqih
sebelum dibukukan adalah para sahabat dan tabi’in. Yang diperselisihkan
adalah orang pertama yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqih, untuk itu
perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisanya. Ada dua teori yang
digunakan, yakni :
a.
Merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih
dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidahkidahnya.
b.
Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong mujtahid untuk mengistinbath, tanpa terkait oleh pendapat atau pemahaman sejalan maupun
yang bertentangan.
Jalaluddin As-syuti berkata : “disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak
batu pertama pada ilmu Ushul Fiqih. Adapun Maliki hanya menunjukan
sebagian kaidah-kaidahnya, demikian ulama-ulama lain, seperti Abu
Yusuf dan Muhammad Al-Hasan” (Al-Hawaji, II : 404).
Dapat disimpulkan bahwa kitab Al-Risalah merupakan kitab yang
pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih.7
2.
Tahap-Tahap Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besar Perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga
tahapan, yaitu :
a.
Tahap awal (abad 3 H)
Di bawah pemerintahan Abbasyiah Wilayah islam semakin meluas ke
bagian Timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa pada abad ini adalah: AlMa’mun (w.218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H) Al-Wasiq (w. 232 H), dan
Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa inilah terjadi suatu kebangkitan
ilmiah dikalangan islam, yang dimulai pada masa pemerintahan Khalifah
Ar-Rasyid. Ditandai dengan timbulnya semangat penerjemah dikalangan
Ilmuan muslim. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa
Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). Ilmu-ilmu keagamaan
juga berkembang dan semakin meluas pembahasannya. Hasil pemikiran
itu berhasil mengembangkan bidang fiqih, yang mendorong untuk
disusunnya metode berpikir fiqih yaitu Ushul Fiqih.
7
Pada abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang meletakan dasar
berdirinya madzhab-madzhab fiqih, sehingga para pengikut mereka
semakin menunjukan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran Ushul
Fiqih dari para imamnya. Perbedaan-perbedaan pendapat
dan metode
masing-masing aliran semakin mendorong semangat pengkajian ilmiah di
kalangan ulama abad 3 H dan semangat ini berlanjut dan semakin
berkembang pada abad 4 H.
b.
Tahap Perkembangan (Abad 4 H)
Pada abad ini merupakan permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah
dalam bidang politik. Dinasti Abbasyiah terpecah menjadi daulah-daulah
kecil yang dipimpin oleh seorang sultan. Perkembangan ilmu keislaman
pada abad ini jauh lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena
masing-masing penguasa ingin memajukan, memakmurkan dan menopang
perkembangan ilmu pengetahuan di negrinya.
Khusus di
bidang pemikiran fiqih Islam abad ini mempunyai
karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Hal ini
ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan
larangan untuk melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid,
karena karena tiap-tiap pengikut tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
untuk menyempurnakan apa yang dirintis pendahulunya. Usaha mereka
antara lain :
1) Memperjelas ‘illat-illat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam
mereka; mereka itu yang disebut ‘ulama takhriz.
2) Men-tarjih-kan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik
dari segi riwayat dan dirayah
3) Setiap golongan mendukung madzhab-nya sendiri dan men-tarjih-kan
dalam berbagai masalah khilafiyah.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini
telah tertutup. Akibat yang ditimbulkan sebagai berikut :
1) Kegiatan para ulama terbatas, mereka cendrung men-syarah-kan kitabkitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2) Menghimpun maslah-masalah furu’ yang banyak dalam uraian yang
singkat.
3) Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya :
Kitab Ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadilah Ibnu
Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 340 H.).
Kitab Al-Fushul Fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar
Ar-Razim yang dikenal dengan Al-Jashshasa (305-370 H.).
Kitab Bayan Kasf Al-Ahfaz, ditulis oleh Abu Muhammad Badr AdDin Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ciri khas perkembangan Ushul Fiqih pada abad ini, yaitu munculnya
kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh
dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.8
c.
Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H.)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai lahirnya daulah-daulah
kecil, membawa arti pada perkembangan peradaban Islam. Hal ini
disebabkan adanya perhatian lebih dari para pengusanya terhadap
perkembangan ilmu dan peradaban. Salah satu dampak dari perkembangan
itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya ; antara lain AlBaqilani, Al-Qadhi Abd. Al-jabar, Abd. Al-Wahab Al-Bagdhdadi, dan
lain-lain. Mereka lah pelopor keilmuan islam pada zaman itu.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang ditulis pada zaman ini, dismping
mencerminkan adanya adanya kitab ushul fiqih pada tiap madzhab, juga
menunjukan adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran Hanafiyah dikenal
sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakalimin.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang paling penting antara lain :
8
1.
Kitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-Adl wa At-Tahwid, ditulis oleh AlQadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H./1024 H.).
2.
Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Husain AlBashri (w. 436 H./1044 M.).
3.
Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu
Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu
Khalaf Al-Farra (w. 458/1065 M.).
4.
Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Ma’ali Abd.
Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juaini Imam Al-Haramain (w.
478 H./1094 M.).
5.
Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid AlGhazali (w. 505 H./1111 M.).9
2. Objek Kajian Fikih
Ilmu Ushul Fiqih, Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si
Ilmu Ushul Fiqih, Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA.
9