MAKALAH AKHLAK TASAWUF TENTANG TASAAWUF (1)

Makalah Tasawuf

TASAWUF AKHLAKI DAN TOKOHNYA
Disusun Oleh:

KELOMPOK VIII
1. M. ILMI ZIKRI FIRDAUS

27133026

2. M. RIZKY ARIF NASUTION

27131028

3. NURSYAM MELINDA

27134031

4. RAHMADANI

27131033


JURUSAN AKUNTANSI DAN KEUANGAN SYARIAH A
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SU
TA. 2014

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta Alam. yang telah menganugerahkan AlQur’an sebagai petunjuk bagi kita semua. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman
nanti.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca karena telah memberikan
masukan dan inspirasi untuk dapat lebih efektif menyampaikan ide dalam makalah ini.
Makalah ini disusun dengan harapan dapat bermanfaat dan sebagai bahan kuliah.
Makalah ini berisi tentang Tasawuf Akhlaki dan Tokoh-tokohnya. Disadari tentunya
banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Di samping itu juga masih perlu
penambahan bahan-bahan yang diperlukan untuk memenuhi materi ini. Akan tetapi kiranya
materi ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan serta bermanfaat bagi kita.

Medan,


Desember 2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
BAB II...........................................................................................................2
PEMBAHASAN.................................................................................................... 2
A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi..............................................................2
B. Tokoh – Tokoh Tasawuf Akhlaqi........................................................3
C. Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi............................................13
BAB III........................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 15

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam mendekatkan diri kepada Allah, diperlukan akhlak-akhlak
terpuji terlebih dahulu karena ilmu tasawuf adalah cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin. Namun kebanyakan
sekarang ini banyak sekali penulis melihat orang yang berakhlak
mazmumah (tercela). Jadi, untuk itu hal utama yang harus dilakukan
adalah dengan memperbaiki akhlaknya terlebih dahulu, melalui beberapa
tahapan-tahapan.
Akhlak menurut bahasa berarti tingkah laku, perangai atau tabi’at.
Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan yang menjelaskan
tentang baik dan buruk. Mengatur pergaulan manusia, dan menentukan
tujuan akhir usaha dan pekerjaan. Sedangkan tasawuf ialah berasal dari
bahasa arab yaitu : shufa-yashufa-shafa artinya mempunyai bulu banyak.
Kemudian kata itu terjadi perubahan kata kepada mazid (tambahan) 2
huruf “Ta” dan tasdid waw, sehingga menjadi : tashufa-yashufa-tashufa.
Yang artinya menjadi suf.
Secara umum tasawuf akhlaqi ialah mendekatkan diri kepada Allah
dengan cara membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela
dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji. Dengan demikian dalam

proses pencapaian tasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak
mulia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi
Taswuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada
perbaikan akhlak. Dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan. Tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya
menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah) sekaligus
mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri para suf.
Dalam pandangan para suf berpendapat bahwa untuk
merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang
tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap
awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan
melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat
tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu,
sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu
sama sekali. Oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai
tahap, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh
seorang suf. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku
dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling
banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan
yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.
Tahapan tahalli dilakukan kaum suf setelah mengosongkan jiwa
dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama
baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang
disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal
seperti sholat, puasa, haji dan lain-lain. Dan adapun yang bersifat

dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada
Tuhan
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui
pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya

adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.
Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang
telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka
rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang
dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang
mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.
B. Tokoh – Tokoh Tasawuf Akhlaqi
1.

Hasan Al-Bashri (21-110 H)
a. Biografi Singkat

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al Hasan
bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan
tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat
pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M.). Ia
dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khaththab wafat.
Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut

menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.
Dialah yang mula – mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu – ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq, dan
usaha menyucikan jiwa di Mesjid Bashrah. Ajaran – ajarannya
tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi.
Sahabat – sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun
mengakui kebesarannya. Bahkan, ketika ada orang datang kepada
Anas bin Malik, sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan
persoalan
agama,
Anas
memerintahkan
orang
itu
agar
menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan Hasan, Abu Qatadah
pernah berkata, “bergurulah kepada Syekh ini. Saya sudah saksikan
sendiri keistimewaannya. Tidak ada seorang tabiin pun menyerupai
sahabat Nabi selainnya.
Karier

pendidikan
Hasan
Al-Bashri
terkenal
dengan
keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam
di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum.
Tak heran pula kalau ceramah-ceramahnya dihadiri seluruh
kelompok masyarakat. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun

dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam
memperjuangkan kebenaran. Di antara karya tulisnya berisi
kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir AlQuran.
b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan
tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, ”Sahabat takut (khauf) dan
pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan;
tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.”
Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap
orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu

melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh
larangan-Nya.
Lebih jauh lagi, Hamka telah mengemukakan sebagian ajaranajaran tasawuf Hasan Al-Basri berikut ini:
1. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik
daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut.
2.

Dunia adalah negeri tempat beramal.

3. Tafakur

membawa

kita

pada

kebaikan

dan


berusaha

mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan
kita

mengulanginya

lagi.

Sesuatu

yang

fana’

betapa

pun


banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapa pun
banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapa pun
sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan
pergi serta penuh tipuan
4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan
berapa kali ditinggalkan mati suaminya.
5.

Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi
dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut : Takut
mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal
yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.

6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.
7. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.

Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad
Mustafa, guru besar flsafat Islam, menyatakan bahwa tasawuf
Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam
neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti, ternyata bukan
perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya,
tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalian dirinya yang
mendasari tasawufnya itu.
Di antara ajarn tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa
menjadi buah bibir kaum suf adalah :
“Anak Adam!
Dirimu, diriku!
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolong mu.
Tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina.
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.

2. Al–Muhasibi (165–243 H)
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al–Harits bin Asad Al–
Bashri Al–Baghdadi Al–Muhasibi. Tokoh suf ini lebih dikenal dengan
sebutan Al–Muhasibi. Tokoh suf ini lebih dikenal dengan sebutan Al–
Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. Dan
meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah
suf dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti
tasawuf, hadis, dan fqh. Ia merupakan fgur suf yang dikenal
senang tiada menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia
juga sering kali mengintrospeksi diri menurut amal yang
dilakukannya.
Al–Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar
dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala menghadapi madzhab–
madzhab yang dianut umat Islam, Al–Muhasibi menemukan
kelompok–kelompk. Di antara mereka ada sekelompok orang yang
tahu benar tentang keakhiratan. Namun jumlah mereka sangat
sedikit.
Al–Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya
dapat di tempuh melalui ketakwaan terhadap Allah, melaksanakan

kewajiban–kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Tatkala
sudah melaksanakan hal–hal di atas, menurut Al–Muhasibi,
seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara
fqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan lebih
mementingkan akhirat daripada dunia.

b.Ajaran – Ajaran Tasawuf
1.

Makrifat

Al–Muhasibi menjelaskan tahapan–tahapan makrifat sebagai
berikut:
a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Taat
merupakan

wujud

konkret

ketaatan

hamba

kepada

Allah.

Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan
ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan
kecintaan semata sebagaimana dilakukan sebagian orang. Di
antara implementasi kecintaan kepada Allah memenuhi hati
dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan
anggota tubuh yang lain.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang
memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
c. Pada tahad ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah–khazanah
keilmuan

dan

kegaiban

kepada

setiap

orang

yang

telah

menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai
rahasia yang selama ini disimpan oleh Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sebagian suf
dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2. Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al–Muhasibi, khauf(rasa takut) dan
raja’(pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan
seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat
itu dengan etika–etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati pula
dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifati pula
dengan sifat–sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah
ketakwaan, pangkal ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah
introspeksi diri (muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri adalah

khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan
tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan
tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya
dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam
hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah
dan dengan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut
mengatakan bahwa Al-Quran jelas berbicara tentang pembalasan
pahala dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-Quran pun sesungguhnya
dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). AlQuran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan
amal saleh, seseorang berhak mengharap pahala dari Allah. Inilah
yang dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat Nabi
sebagaimana digambarkan oleh ayat:
         
       
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah,
dan Allah Maha
Pengampun
lagi
Maha
Penyayang.”(QS. Al-Baqarah: 218)
3. Al-Qusairy
a. Biografi Singkat
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh suf utama dari abad
kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karyakaryanya tentang para suf dan tasawuf aliran Sunni pada abad
ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat
dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun
praktis.
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin,
lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu
pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya,
Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang suf terkenal. Al-Qusyairi selalu
menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah, Al-Qusyairi
menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankannya untuk
pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, Al-Qusyairi lalu
mempelajari fqh pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu
Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam
serta ushul fqh pada Abu Bakr bin Farauk (wafat tahun 406 H).
Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayni (wafat tahun
418 H) dan menelaah banyak karya Al-Baqillani. Dari situlah, Al-

Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela
paling tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin aliranaliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena
tindakannya itu, ia mendapat serangan keras dan dipenjara selama
sebulan lebih atas perintah Tughul Bek karena hasutan seorang
menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafdhah. Bencana
yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya
dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut Ibnu Khalikan,
Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu “mengompromikan syariat
dengan hakikat,” Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunah
Seandainya karta Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah,
dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi
cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus
Sunnah, sebagaimana pernyataannya.
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para suf)
membina prinsip-prinsip tawawuf atas landasan tauhid yang benar,
sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain
itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus
Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun
tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu diadakan
ketiadaaanya. Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan
bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru.
Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan
bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Abu
Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu
tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat
tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.”
2. Kesehatan Batin
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para suf pada
masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian
orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang
sama bertentangan dengan pakaian mereka ia menekankan bahwa
kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan AsSunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagaimana
perkataannya,
“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian
lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para suf
sezamannya).
Sebab,
ketika
hakikat
realitas-realitas
itu

tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para suf yang mengadaada dalam berpakaian. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan
kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf
palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu
bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang
batin. Dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Quran maupun
As-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan
setiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi
kerendah hatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya
pengenalan terhadap Allah.”
3. Penyimpangan Para Suf
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan pedas, AlQusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para suf
abad kelima Hijriyah.
“Kebanyakan para suf menempuh jalan kebenaran dari
kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang
tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.”
Kemah itu hanya serupa kemah mereka. Kaum wanita itu, kulihat,
bukan mereka.”
Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan.
Namun, apa pun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan
bahwa
tasawuf
pada
masanya
mulai menyimpang dari
perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari
segi-segi moral dan tingkah laku.
4. Al-Ghazali
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Tusi alSyaf’I; dan lebih dikenal dengan nama al-Ghazali. Dia dilahirkan
pada tahun 450 H/1058 M di suatu kampung yang bernama
Gazalah, di daerah Tus yang terletak di wilayah Khurasan.
Ayahnya, Muhammad adalah seorang penenun dan
mempunyai toko tenun di kampungnya. Karena penghasilannya
yang kecil, maka ia tidak dapat menutupi kebutuhan hidup
keluarganya. Sungguhpun hidup sangat miskin, ayahnya itu seorang
pecinta ilmu yang bercita-cita tinggi. Ia selalu berdoa, semoga
Tuhan memberinya putra-putra yang berpengetahuan luas dan
mempunyai ilmu yang banyak. Dan ia adalah seorang muslim yang
saleh yang taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak
memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala

keinginan dan doanya tercapai. Ia meninggal sewaktu Al-Ghazali
dan saudaranya, Ahmad, masih kecil.
Selagi masih kecil, mereka dititipkan kepada seorang suf,
teman ayahnya agar bisa dididik. Karena ayahnya yang tidak
berkecukupan, dan karenanya harta warisan yang ditinggalkannya
untuk kedua anaknya itu tidak banyak jumlahnya, maka tidak
berapa lama penerima titipan yang suf itu lalu menyerahkan
mereka ke sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi
para muridnya. Guru al-Ghazali yang utama di madrasah ini adalah
Yusuf al-Nassaj, seorang suf terkenal.
Pada masa kecilnya, al-Ghazali juga belajar pada salah
seorang faqih di kota kelahirannya, yaitu Ahmad bin Muhammad alRazakani. Lalu dia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr
al-Isma’ili. Setelah itu kemballi ke Tus dan terus pergi ke Nisapur. Di
sini dia belajar pada salah seorang teolog aliran Asy’ariyah yang
terkenal, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, yang bergelar Imam al-Haramain.
Tidak hanya ilmu agama yang dia pelajari di sini, tetapi juga flsafat,
sehingga dia diakui dapat mengimbangi keahlian gurunya yang
dihormatinya itu. Dengan tidak ragu Imam al-Haramain
mengangkatnya sebagai dosen fakultas pada Universitas Nizamiyah.
Bahkan dia sering menggantikan gurunya di kala gurunya
berhalangan, baik untuk mewakilinya dalam memimpin maupun
untuk menggantikannya dalam mengajar.
Setelah gurunya, Imam al-Haramain meninggal (478H/1085
M), al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap di sana selama
kurang lebih lima tahun. Dikatakan, pindahnya al-Ghazali ke sana
adalah atas permintaan Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang sangat
tertarik kepadanya. Dia diminta untuk memberikan pengajian tetap
sekali dua minggu di hadapan para pembesar dan para pakar, di
samping kedudukannya sebagai penasihat Perdana Menteri.
Dalam kesempatan al-Ghazali berada di Mu’askar, dia sering
menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana
Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan
itulah, agaknya, al-Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang
berpengetahuan luas dan dalam, sehingga pada tahun 484 H/1091
M ia diangkat oleh Nizam al-Mulk menjadi Guru Besar di Universitas
Nizamiyah Baghdad. Tetapi kedudukannya ini tidak lama
dipegangnya meskipun dari sana keharuman namanya tersebar ke
mana-mana melalui tulisan-tulisannya, baik dalam ilmu fqh-bidang
keahlian pokoknya maupun melalui tulisan-tulisannya di bidang
flsafat, teologi dan lain sebagainya.
Selama periode Baghdad, al-Ghazali menderita keguncangan
batin sebagai akibat dari sikap keragu-raguannya. Dalam puncak

keragu-raguannya sewaktu berada di Baghdad itu, pertanyaan yang
selalu membentur di hatinya adalah apakah pengetahuan yang
hakiki itu, apakah ia diperoleh melalui indera atau melalui akal,
ataukah dengan jalan lain. pertanyaan-pertanyaan inilah yang pada
akhirnya memaksanya untuk menyelidiki kebenaran pengetahuan
manusia. Pertama-tama, dia meragukan semua pengetahuan yang
telah dicapai manusia pada masanya. Keraguan ini seperti
diceritakannya sendiri di dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dalal,
hampir dua bulan lamanya dan selama itu, katanya, hampir seperti
kaum flosof. Tetapi untunglah akhirnya Allah SWT berkenan
menyembuhkan penyakit keraguan itu. Ini terjadi, demikian
pengakuan al-Ghazali, tidak dengan mengatur alasan atau
menyusun keterangan, tetapi dengan nur yang diberikan Allah ke
dalam kalbunya.
Al-Ghazali meninjau kembali jalan hidup yang selama ini
dilaluinya. Menurutnya, dia telah tenggelam dalam samudera
godaan dan rintangan. Segala pekerjaannya, termasuk mengajar
yang dipandang mulia, dia tinjau sedalam-dalamnya. Jelas, katanya,
dia sedang berada di jalan yang salah, dia perhatikan berbagai ilmu
ynag ridak bermanfaat untuk perjalanan ke akhirat. Niat dan tujuan
dalam mendidik dan mengajar, menurutnya, tidak sebenarnya
ikhlas karena Allah, tetapi dicampuri oleh motivasi ingin kedudukan
dan kemasyhuran. Dia, katanya, sedang berdiri di pinggir jurang
yang curam, di atas tebing yang terjal, dan hampir jatuh atau
jelasnya, dia nyaris jatuh ke dalam neraka dan akan segera
tercampak ke dalamnya, jika tidak mau mengubah sikap.
Di antara karya al-Ghazali yang populer, yaitu; al-Munqiz min
al-Dalal; Tahafut al-Falasifah; al-Iqtishad f al-I’tiqad; al-Wajiz; Ihya’
‘ulum ad-Din; Minhaj al-Anwar; ar-Risalah al-Lauduniyah; Bidayah alHidayah; al-Adab di ad-Din, Raudah at-Talibin wa Umdah as-Salikin
san Kitab Arbain.
b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang
berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin
Ahlussunnah wal Jamah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan
semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para flosof
Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lainlainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan
Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan, sehingga dapat
dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan
pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya nya

seperti Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah
Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan tasawuf baru dapat dicapai dengan
mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri
dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala
sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat
Allah. Ia pun berpendapat bahwa sosok suf adalah menempuh jalan
kepada Allah, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik,
jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah
yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir
maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya
kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu
memberi penerangan.
1. Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun
Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh.
Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali
yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat
segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat
mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan,
qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan
ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah
ketiganya akan menerima illuminasi dari Allah. Pada waktu itu
pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang suf sehingga
yang dilihat sang suf hanyalah Allah. Disini, sampailah ia ke tingkat
makrifat.
Di dalam kitab Ihya’Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan
jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama
dan orang arif(suf). Untuk itu, ia membuat perumpamaan tentang
keyakinan bahwa si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang
awam dibangun atas dasar taklid dengan hanya mengikuti
perkataan orang bahwa si Fulan ada di rumah, tanpa diselidiki lagi.
Bagi ‘ulama, keyakinan adanya si Fulan di rumah dibangun atas
dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar
walaupun tidak kelihatan orangnya. Adapun orang arif tidak hanya
melihat tanda-tandanya melalui suara dibalik dinding. Lebih jauh
dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata
kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.

Makrifat seorang suf tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia
melihat si Fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya
sendiri. Ringkasnya, makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti
makrifat menurut orang awam maupun menurut ulama mutakallim,
tetapi makrifat suf yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan
kasyf ilahi. Makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash
auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana
ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari
segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi
mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali
mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama
memperoleh ilmu dari Allah.
2. As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling
tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kita Kimiya’ AsSa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai
dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan
ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang
bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar
suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masingmasing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat
terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan
paling agung yang tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung
dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatankenikmatan yang lain. Sebagaimana perasaan dapat bertemu
presiden akan lebih bangga dan senang daripada perasaan bertemu
menteri. Hal ini dapat dianalogikan dengan perasaan kalau dapat
berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini, seseorang
tentunya akan lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan
kebahagiaan sejati yang tiada taranya.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan
akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan
kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan
hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati,
malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari
kegelapan menuju cahaya terang.

C. Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi

Adapun manfaat dalam mempelajari tasawuf akhlaki sebagai
berikut :
1.
Seseorang akan dapat memperoleh posisi baik di dalam
masyarakat.
2.

Akan disenangi orang dalam pergaulan.

3.

Akan terhindar dari hukuman yang sifatnya manusiawi
dan sebagai makhluk yang diciptakan Allah.

4.

Orang yang bertakwa dan berakhlak akan mendapatkan
pertolongan

dan

kemudahan

dalam

memperoleh

keluruhan

kehidupan dan sebutan yang baik dalam masyarakat. Jasa
seseorang yang berakhlak mendapatkan perlindungan dari segala
penderitaan dan kesukaran hidup.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
1. Tasawuf akhlaqi ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela
dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji.
2. Dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan
akhlak yaitu tahap Takhalli, tahap Tahalli, dan tahap Tajalli.
3. Tokoh-tokoh dari tasawuf akhlaki ini adalah Hasan Al-Bashri, Al–
Muhasibi, Al-Qusairy dan Al-Ghazali.
4. Pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, ”Sahabat
takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung
kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena
selalu mengingat Allah.”

5. Al–Muhasibi terkesan mengaitkan sifat khauf dan raja’ itu dengan
etika–etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati pula dengan
dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifati pula
dengan sifat–sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah
ketakwaan, pangkal ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah
introspeksi diri (muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri
adalah

khauf

dan

raja’,

pangkal

khauf

dan

raja’

adalah

pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan
pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
6. Tasawuf

pada

masa

Al-Qusairy

mulai

menyimpang

dari

perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari
segi-segi moral dan tingkah laku.
7. Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran dan
Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamah.
Dari

paham

tasawufnya

itu,

ia

menjauhkan

semua

kecenderungan gnostis yang memengaruhi para flosof Islam,
sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lainlainnya.

DAFTAR PUSTAKA
http://tasawufakhlaqi.blogspot.com/
http://ucikasih.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-false-false-enus-x-none.html
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: referensi.
M. Solihin dan Rosihon Anwar.2011. Ilmu Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.

Muzakkir. 2009. Studi Tasawuf. Bandung: Cipta Pustaka.