Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Pu
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 1
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik:
Perspektif Pelaksanaan Anggaran
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi untuk
Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah”
Public Financial Management Reform: Budget
Execution Perspective
“Integration, Digitalization, and Simplification to
Optimize Government’s Performance”
Penulis:
Muhamad Ameer Noor
Seti Gautama Adi Nugroho
Pengarah:
Taufiq Widyantoro
Reviewer:
Wahyu Wijayanto
Agustinus Prasetyo
Gunawan Hartanto
Tanjungpinang, 2017
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 2
Abstrak
Public fnance reform since 2002 had transform government fnancial management into
specialized units. The separation of function for budget planning and execution,
establishment of procurement units, and business process modernization had become
the milestones. One question arises, “has the reform maximize the eficiencc of
government’s business process and the outcome of fscal policc”, considering that in
2016, President Jokowi stated “manc government units spent 70% of it’s time for
fnancial reports while main functions were neglected”.
To answer the question, this paper evaluates the weaknesses of existing business
processes which include, ineficient bureaucracc of fnancial management, digital
authorization shortage, inefectiveness of “Let The Managers Manage” principle, high
corruption in procurement, and insignifcant fscal spending preference beneft.
The evaluation were benchmarked to best practices on Bureau of Fiscal Service, HM
Treasurc, and Mckinsec-led Blueprint of Indonesian Ministrc of Finance. Benchmarking
results were formulated into budget execution model alternatives which are:
1. Integrated Financial Service Model which combines ULP, DJPB and DJKN Regional
Ofice, KPPN, and KPKNL so that the functions of procurement, pacment, asset
management, and fnancial reporting will be integrated. This model is expected to be
fullc operational within 15 cears.
2. Establishing new units that serve disbursement, procurement, and fnancial
reporting based on Principal-Agent Model. The model promotes conformitc with
existing legal and structural grounds which will enhance eficiencc and can be
implemented in 5 cears.
The implementation of the new budget execution model will likelc change aspects of
budget planning, fnancial reporting, audit, cash planning, service qualitc assurance,
central-level organizational structure, IT infrastructure, HR structures, and fnancial
document archiving. All these changes will improve the eficiencc, specialization, and
signifcance of fscal spending in public fnancial management and optimize line
ministries’ performance.
Reformasi pengelolaan keuangan publik sejak 2002 berkembang menjadi era
spesialisasi organisasi. Pemisahan fungsi perencanaan dan pelaksanaan anggaran,
pembentukan instansi-instansi bidang pengadaan, serta modernisasi proses bisnis
menjadi tanda berjalannya reformasi tersebut. Sebuah pertanyaan yang muncul yakni,
“apakah reformasi tersebut telah memaksimalkan efsiensi proses bisnis dan manfaat
kebijakan fskal bagi masyarakat”, mengingat di tahun 2016, Presiden Jokowi
menyatakan
“banyak
unit
pemerintah
70%
waktunya
habis
mengurus
pertanggungjawaban keuangan sehingga fungsi utamanya tidak optimal.”
Menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini mengevaluasi dan mengidentifkasi
kelemahan proses bisnis existing yang meliputi inefsiensi birokrasi pengelolaan
keuangan publik, penggunaan otorisasi digital belum maksimal, penerapan prinsip Let
The Managers Manage belum optimal, tingginya korupsi pengadaan, serta dampak
preferensi belanja fskal yang tidak signifkan.
Selanjutnya, hasil evaluasi dikomparasi dengan best practice seperti Bureau of Fiscal
Service, HM Treasury, dan Blueprint Kementerian Keuangan yang disusun bersama
Mckinsey. Hasil komparasi dirumuskan menjadi alternatif model pelaksanaan anggaran
yakni:
1. Model Pelayanan Keuangan Terpadu yang menggabungkan ULP, Kanwil DJPB dan
DJKN, KPPN, dan KPKNL sehingga fungsi pengadaan, pembayaran, pengelolaan
aset, serta pelaporan keuangan akan terintegrasi. Model ini diperkirakan dapat
beroperasi penuh dalam kurun waktu 15 tahun.
2. Membentuk unit baru yang melayani pencairan, pengadaan, dan pelaporan keuangan
berdasarkan Model Principal-Agent. Model ini mengedepankan kesesuaian dengan
dasar hukum dan struktur yang ada untuk meningkatkan efsiensi dalam kurun waktu
5 tahun.
Penerapan model pelaksanaan anggaran baru berpotensi merubah aspek perencanaan
anggaran, pelaporan keuangan, audit, perencanaan kas, penjaminan mutu layanan,
struktur organisasi tingkat pusat, infrastruktur IT, SDM organisasi, dan pengarsipan
dokumen keuangan. Seluruh perubahan tersebut akan meningkatkan efsiensi,
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 3
spesialisasi, serta signifkansi belanja fskal dalam pengelolaan keuangan publik dan
mengoptimalkan kinerja Kementerian/Lembaga teknis.
Kata Kunci: Keuangan Publik, Public Finance, Pelaksanaan Anggaran, Budget
Execution, Administrasi Publik, Public Administration, Good Governance, Clean
Government, Proses Bisnis Pemerintah, Government Business Process, Layanan
Keuangan, Financial Service, Kementerian Keuangan, Ministrc of Finance, Department
of Treasurc, Bureau of Fiscal Service, Reformasi Birokrasi, Bureaucratic Reform,
Pengadaan, Procurement, Electronic Government, Perbendaharan, Treasurc, Direktorat
Jenderal Perbendaharaan, Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik, Eficient
Government, Keuangan Negara, Preferensi Belanja Fiskal, Akuntabilitas, Reformasi
Keuangan
DAFTAR ISI
ABSTRAK
........................................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................................7
BAB II. TINJAUAN MODEL PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
INDONESIA
......................................................................................................................12
Sub Bab II.I. Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia............12
Sub Bab II.II. Review Model Pelaksanaan Anggaran Indonesia......................................................15
Sub Bab II.II.I. Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA) Review...........................15
Sub Bab II.II.II. French Execution Budget System Review...............................................................16
Sub Bab II.II.III. Hasil Observasi Model Pelaksanaan Anggaran Existing........................................19
BAB III. KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK IDEAL.........23
Sub Bab III.I. Benchmarking Model dan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Publik.....................23
Sub Bab III.I.I. Benchmarking dengan Bureau of Fiscal Service.......................................................23
Sub Bab III.I.II. Benchmarking dengan Blueprint Kementerian Keuangan dari Mckinsey...............24
Sub Bab III.I.III. Benchmarking Praktik Preferensi Belanja Fiskal....................................................26
Sub Bab III.II. Gambaran Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Ideal..............................27
BAB IV. KONSEPSI MODEL PELAKSANAAN ANGGARAN BARU..........................29
BAB V. ALTERNATIF IMPLEMENTASI MODEL PELAKSANAAN ANGGARAN
BARU
......................................................................................................................35
Sub Bab V.I. Model Layanan Keuangan Terpadu..............................................................................35
Sub Bab V.I.I. Struktur Organisasi......................................................................................................36
Sub Bab V.I.II. Perubahan Proses Bisnis............................................................................................40
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 4
Sub Bab V.I.III. Keunggulan Model Layanan Keuangan Terpadu.....................................................41
Sub Bab V.I.IV. Kebutuhan SDM.......................................................................................................45
Sub Bab V.I.V. Tahapan Implementasi................................................................................................46
Sub Bab V.I.VI. Tantangan Implementasi Dan Mitigasinya...............................................................48
Sub Bab V.II. Model Principal-Agent...................................................................................................51
Sub Bab V.II.I. Proses Bisnis dan Struktur Organisasi.......................................................................52
Sub Bab V.II.II. Keunggulan Model Principal-Agent.........................................................................56
Sub Bab V.II.III. Kebutuhan SDM......................................................................................................58
Sub Bab V.II.IV. Tahapan Implementasi.............................................................................................59
Sub Bab V.II.V. Tantangan Implementasi Dan Mitigasinya................................................................61
BAB VI. DAMPAK REFORMASI PELAKSANAAN ANGGARAN TERHADAP
ASPEK PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK LAINNYA.......................64
Sub Bab VI.I. Perencanaan Anggaran.................................................................................................64
Sub Bab VI.II. Pelaporan Keuangan...................................................................................................65
Sub Bab VI.III. Audit............................................................................................................................66
Sub Bab VI.IV. Perencanaan Kas.........................................................................................................67
Sub Bab VI.V. Penjaminan Mutu Layanan.........................................................................................67
Sub Bab VI.VI. Infrastruktur TIK.......................................................................................................68
BAB VII. KESIMPULAN......................................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................72
LAMPIRAN
......................................................................................................................79
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 5
DAFTAR GAMBAR
Gambar II-1 Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia.......13
Gambar II-2 Gambaran Model Pelaksanaan Anggaran Existing.............................................20
Gambar II-3 Kategori dan sub-kategori kelemahan model pelaksanaan anggaran existing....22
Gambar III-1 Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Ideal..............27
Gambar IV-1 Flow Diagram Proses Bisnis Pelaksanaan Anggaran Baru..............................30
Gambar IV-2 Alur Dokumen Administrasi Pengelolaan Keuangan dalam Pengadaan
Barang/Jasa..............................................................................................................................33
Gambar IV-3 Alur Barang/Jasa dalam Pengadaan Barang/Jasa...........................................33
Gambar V-1 Struktur Organisasi Tingkat Pusat.......................................................................36
Gambar V-2 Struktur Organisasi Pusat Layanan Keuangan Provinsi (34 Unit)......................38
Gambar V-3 Struktur Organisasi Pusat Layanan Keuangan Khusus (1 Unit).........................39
Gambar V-4 Kategori dan Sub-kategori Kelebihan Model Pelayanan Keuangan Terpadu.....45
Gambar V-5 Struktur Organisasi Pusat Layanan Keuangan Model Principal-Agent (1 Unit) 54
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 6
DAFTAR TABEL
Tabel II-1 Otorisator dalam Sistem Pelaksanaan Anggaran Perancis......................................16
Tabel V-1 Sentralisasi, Digitalisasi, dan Simplifikasi Dokumen Keuangan............................44
Tabel V-2 Rincian Kebutuhan SDM........................................................................................45
Tabel V-3 Timeframe Tahapan Implementasi Model Layanan Keuangan Terpadu.................48
Tabel V-4 Perbandingan komposisi pegawai kementerian keuangan Indonesia dan Amerika
serikat.......................................................................................................................................51
Tabel VII-1 Ikhtisar Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Sektor Publik..............................79
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 7
BAB I. PENDAHULUAN
Perubahan teknologi dan kebutuhan masyarakat menjadi alasan utama perlunya
reformasi pengelolaan keuangan sektor publik secara berkelanjutan. Dalam satu dekade
terakhir, pesatnya perkembangan teknologi menghasilkan integrasi teknologi informasi dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Didorong oleh mekanisme pasar, sektor swasta
menjadi pemimpin dalam integrasi tersebut sebagaimana tercermin dari merebaknya fintech,
e-commerce, e-money, dan lain sebagainya. Perkembangan tersebut memberikan perspektif
baru bagi masyarakat, masyarakat menginginkan pemerintahan yang bisa berinovasi
mengimbangi efisiensi yang dihasilkan perkembangan teknologi di sektor swasta. Dalam
konteks pemerintahan, efisiensi dengan teknologi dibuat dengan penerapan e-procurement, ebudgeting, e-government, e-filing, e-reporting dan lain sebagainya.
Keinginan masyarakat tersebut menjadi sangat relevan ketika dikaitkan dengan
pengelolaan keuangan sektor publik yang seharusnya dilaksanakan secara “efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan” [CITATION UU1 \n \y \l 1033 ]. Reformasi pengelolaan keuangan yang berfokus
pada pembenahan ketertiban administrasi tanpa merubah proses bisnis secara holistik tidaklah
cukup, khususnya karena aspek efisien, ekonomis, dan efektif kurang tersentuh.
Pemerintah sendiri telah mengakomodir perkembangan teknologi tersebut dalam
modernisasi proses bisnisnya1. Namun demikian, proses modernisasi tersebut seringkali
dilakukan secara parsial (digitalisasi yang tidak terintegrasi, modernisasi unit tanpa
melibatkan unit lain yang berkaitan, atau modernisasi dengan koordinasi antar unit yang
terbatas) tanpa melihat potensi efisiensi yang lebih apabila modernisasi dilaksanakan secara
holistik.
1
Beberapa hasil modernisasi pemerintah dengan menggunakan teknologi antara lain adalah SPAN, MPN, TSA, dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 8
Penyelesaian usaha penurunan dwelling time2 dan waktu izin investasi3 menjadi salah
satu contoh terbaru mengenai pentingnya koordinasi antar unit pemerintah untuk
menciptakan modernisasi yang komprehensif. Dalam konteks pengelolaan keuangan sektor
publik, indikasi terjadinya mordernisasi yang kurang holistik muncul ketika pada tahun 2016,
Presiden Joko Widodo menemukan banyak instansi pemerintah yang 70% waktunya tersita
untuk mengurus pertanggungjawaban keuangan sehingga fungsi utamanya tidak berjalan
optimal4.
Pengelolaan Keuangan Sektor Publik sendiri sangat krusial dalam pembangunan suatu
negara sebagaimana dijabarkan oleh World Bank sebagai berikut:
“Public financial management (PFM) is an essential part of the development process.
Sound PFM supports aggregate control, prioritization, accountability and efficiency
in the management of public resources and delivery of services, which are critical to
the achievement of public policy objectives, including achievement of the Millennium
Development Goals (MDGs). In addition, sound public financial management systems
are fundamental to the appropriate use and effectiveness of donor assistance since
aid is increasingly provided through modalities that rely on well-functioning systems
for budget development, execution and control” [CITATION Wor17 \l 1033 ]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan keuangan sektor
publik yang baik membantu memastikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya
pemerintah. Efisiensi dan efektifitas memegang peranan krusial dalam pencapaian kebijakan
pembangunan. Dengan kata lain, sebaik apapun kebijakan pembangunan yang dibuat
2
Dilansir oleh beberapa media termasuk okezone
3
Dilansir oleh beberapa media termasuk detik
4
Dilansir oleh beberapa media antara lain tribunnews, sindonews, liputan6, dan okezone
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 9
pemerintah, sulit untuk mewujudkannya apabila pengelolaan keuangan sektor publiknya
belum efisien dan efektif.
Siklus tahunan Pengelolaan Keuangan Sektor Publik dapat dibagi ke dalam enam
tahap yang meliputi perencanaan strategis, proyeksi makro-fiskal, perencanaan anggaran,
reviu dan pengesahan anggaran, pelaksanaan anggaran, pelaporan anggaran, serta audit
internal dan eksternal[CITATION Int16 \p 2 \l 1033 ]. Adapun penganggaran yang
merupakan salah satu bagian terpenting dalam Pengelolaan Keuangan Sektor Publik dapat
dibagi ke dalam empat tahap yang meliputi perencanaan, pengesahan, pelaksanaan, dan
pengawasan [CITATION Int \y \l 1033 ].
Guna menjawab permasalahan inefisiensi pengelolaan keuangan yang menyebabkan
tidak optimalnya pelaksanaan fungsi unit pemerintah, tulisan ini membahas reformasi
pengelolaan keuangan sektor publik dengan fokus pada sisi pelaksanaan anggaran belanja.
Adapun tingginya keterkaitan antar tahap dalam pengelolaan keuangan sektor publik,
menyebabkan potensi timbulnya perubahan dalam aspek-aspek pengelolaan keuangan sektor
publik lainnya. Untuk itu, potensi perubahan pada aspek pengelolaan keuangan sektor publik
selain pelaksanaan anggaran dibahas pada bagian akhir tulisan ini.
Tujuan yang ingin dicapai dari reformasi pelaksanaan anggaran antara lain:
1. Efisiensi proses bisnis pelaksanaan anggaran untuk meningkatkan fiscal space yang
dapat digunakan pada belanja pemerintah yang lebih produktif seperti infrastruktur5
2. Meminimalisir beban administrasi pengelolaan keuangan pada satuan kerja (satker)
Kementerian/Lembaga teknis
3. Meningkatkan kinerja Kementerian/Lembaga teknis dalam menjalankan fungsinya
4. Meminimalisir risiko korupsi di bidang pengadaan barang/jasa
5
Menurut estimasi IMF, rata-rata belanja infrastruktur Indonesia pada tahun 2011-2014 baru mencapai ± 3% dari PDB, sementara negara-negara seperti Thailand,
Mexico India, Vietnam, Malaysia, dan China membelanjakan 5-17% dari PDB pada periode yang sama.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 10
5. Spesialisasi Aparatur Sipil Negara (ASN)
6. Peningkatan dampak belanja fiskal terhadap perekonomian masyarakat melalui
preferensi belanja fiskal6
Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini merumuskan dua alternatif model
pelaksanaan anggaran ideal yaitu model Model Pelayanan Keuangan Terpadu dan Model
Principal-Agent. Kedua model saling mensubstitusi namun memiliki prinsip kerja yang
sama. Pendekatan manapun dari kedua model menempatkan kantor vertikal Ditjen
Perbendaharaan sebagai aktor terpenting suksesnya program reformasi pengelolaan sektor
publik sisi pelaksanaan anggaran.
Hal-hal yang menjadi dasar perumusan kedua model tersebut meliputi:
1. Efisiensi proses bisnis (simplifikasi prosedur, integrasi layanan dan perampingan
organisasi)
2. Spesialisasi pegawai satker K/L teknis dan pegawai Kementerian Keuangan (pengelolaan
keuangan cukup di Kementerian Keuangan sehingga pegawai Satker K/L teknis dapat
fokus pada fungsinya masing-masing)
3. Digitalisasi proses bisnis dan otorisasi eksekusi (dokumen hardcopy diganti digital;
otorisasi tanda tangan diganti dengan user ID atau pembicaraan telpon yang direkam)
4. Model organisasi dan proses bisnis Bureau of Fiscal Service (Padanan Direktorat
Jenderal Perbendaharaan di Amerika Serikat)
5. Kebijakan fiskal pro-UMKM Her Majesty’s Treasury United Kingdom [ CITATION
Her14 \l 1033 ]
6
Penulis mendefinisikan preferensi belanja fiskal sebagai praktik belanja pemerintah untuk
memprioritaskan penyedia barang/jasa yang memenuhi kriteria tertentu seperti berwawasan
lingkungan, UMKM, industri strategis, industri dalam negeri yang diproteksi, kepatuhan perpajakan,
dan/atau lain sebagainya. Preferensi belanja fiskal bertujuan untuk memberikan insentif atau dorongan
dari segi konsumsi bagi pihak-pihak tertentu yang menjadi prioritas kebijakan suatu Pemerintahan.
Definisi ini dibuat berdasarkan ikhtisar dari pasal 96, 98, 100, dan 105 Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 11
6. Persentase pengadaan yang dibelanjakan pada UMKM menjadi salah satu Indikator
Kinerja Utama Departmental Offices Amerika Serikat [CITATION USD14 \p 17 \l
1033 ]
7. Fungsi pemerintah
dalam
mendorong
praktik bisnis
berwawasan lingkungan
(sustainable). pemberdayaan masyarakat lokal dan industri strategis
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 12
BAB II. TINJAUAN MODEL PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
INDONESIA
Bab ini meninjau mengenai model pengelolaan keuangan sektor publik yang saat ini
digunakan di Indonesia. Diskusi utama dalam bab ini untuk menanggapi permasalahan
terbebaninya Satker Kementerian/Lembaga teknis oleh administrasi pengelolaan keuangan
sektor publik yang menyebabkan tugas dan fungsi-nya sendiri menjadi tidak optimal.
Sub Bab II-I membahas beberapa peraturan yang berkaitan dan digambarkan menjadi
model umum pengelolaan keuangan sektor publik di Indonesia. Selanjutnya, dilakukan
identifikasi awal mengenai beberapa poin yang menjadi risiko terbebaninya Satker oleh
administrasi pengelolaan keuangan.
Sub Bab II-II membahas reviu model pengelolaan keuangan sektor publik di
Indonesia dengan fokus pada aspek pelaksanaan anggaran belanja. Diskusi menggunakan
hasil reviu berupa Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA) Review dari
World Bank, French Execution Budget System oleh Pierre Messali, hasil observasi penulis
sebagai pegawai Ditjen Perbendaharaan, serta hasil diskusi dengan beberapa pegawai yang
berkecimpung di bidang pengelolaan keuangan sektor publik di Indonesia. Pada tahapan ini,
dirumuskan beberapa potensi kelemahan baik yang inheren dari derivasi model Perancis,
maupun yang spesifik terjadi di Indonesia untuk ditinjau lebih lanjut.
Sub Bab II.I. Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia
Dasar hukum yang menjadi acuan pengelolaan keuangan sektor publik yang berjalan
di Indonesia saat ini antara lain meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 13
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
5. Peraturan Presiden 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran
Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta
7. Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-287/PB/2015 tentang Standar
Operasional Prosedur pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Dalam konteks reformasi pengelolaan keuangan sektor publik sisi pelaksanaan
anggaran belanja, ikhtisar beberapa poin penting dalam peraturan dipaparkan pada Lampiran
I. Berdasarkan poin-poin dalam peraturan tersebut, pengelolaan keuangan sektor publik di
Indonesia secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 14
Gambar II-1 Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia
Secara umum proses bisnis yang dihasilkan dari peraturan-peraturan tersebut sudah
baik, khususnya dilihat dari perspektif akuntabilitas pengelolaan keuangan karena proses
pengujian dan pengadministrasian yang sangat rinci, dan diseimbangkan melalui beberapa
otoritas pada masing-masing pihak, baik di Satker (satuan kerja) maupun di KPPN sebagai
Kuasa BUN. Namun demikian, proses bisnis pengelolaan keuangan sektor publik yang
berlaku turut berkontribusi terhadap tingginya beban kerja overhead/supporting (bagian
umum)
karena
satker
harus
mengurus
komitmen,
pengadaan,
pencairan
dana,
pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan. Beberapa poin yang teridentifikasi sebagai
resiko penyebab permasalahan tersebut adalah:
1. Pengelolaan keuangan sebagai proses bisnis yang bersifat supporting akan menjadi beban
kerja overhead. Beban kerja overhead yang berat akan mengambil porsi dari pekerjaan
utamanya terutama pada Satker yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas
(Contoh: Sekolah, Madrasah, UPT). Proses bisnis pengelolaan keuangan sendiri saat ini
memiliki beban kerja overhead yang berat karena:
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 15
a. Satker harus menyediakan SDM untuk melakukan rekonsiliasi data keuangan antara
Satker dengan Ditjen Perbendaharaan dan antara Satker dengan Ditjen Kekayaan
Negara. Pada dasarnya sumber dan bentuk data keuangan dan aset tersebut sama
sehingga Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Kekayaan Negara sebagai instansi
Kementerian Keuangan bisa saja melakukan sharing data internal Kementerian
keuangan untuk mengurangi beban kerja Satker. Adanya perbedaan lokasi pada
sebagian besar instansi vertikal Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Kekayaan Negara
(berbeda gedung, daerah, atau bahkan kota/kabupaten) juga turut meningkatkan
inefisiensi karena SDM Satker harus meluangkan waktu untuk mengunjungi
keduanya.
b. Satker harus menyediakan satu SDM untuk penyusunan laporan keuangan dan satu
SDM untuk laporan aset. Pada dasarnya sebagian besar item yang dilaporkan dalam
kedua laporan tersebut sama dengan sedikit perbedaan pada detailnya, sehingga
laporan bisa saja digabungkan untuk mengurangi beban kerja satker maupun
mengurangi kebutuhan penggunaan anggaran untuk menyusun dan mencetaknya.
c. Redundansi sebagian fungsi Bendahara Pengeluaran, PPK, PPSPM, dan KPPN
dalam pencatatan keuangan, pengelolaan dokumen keuangan, dan pengujian
keabsahan SPBy, SPP, SPM, SPPT, SP2D, dan dokumen lainnya (misalnya Rencana
Penarikan Dana, ADK Supplier, ADK Kontrak).
2. SDM pada Kementerian/Lembaga teknis terbagi untuk melaksanakan tugas pengelolaan
kinerja dan pengelolaan keuangan. Hal tersebut menyulitkan terjadinya spesialisasi dalam
Kementerian/Lembaga teknis karena seringkali SDM harus menjadi pejabat pengelola
keuangan tanpa latar belakang di bidang tersebut.
Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut di atas, satker dengan jumlah SDM yang
terbatas akan mengalami trade-off prioritas antara pencapaian kinerja dengan administrasi
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 16
keuangan. Satker sendiri akan cenderung memprioritaskan administrasi keuangan mengingat
pelaksanaan kegiatan untuk pencapaian kinerja tidak akan bisa berjalan tanpa adanya
penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Sub Bab II.II. Review Model Pelaksanaan Anggaran Indonesia
Sub Bab II.II.I. Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA) Review
Proses pelaksanaan anggaran di Indonesia saat ini masih lambat karena prosedur yang
berat dan kaku, serta proses pengadaan yang panjang. Pada PEFA review yang dibuat oleh
World Bank tentang perkembangan pengelolaan keuangan sektor publik Indonesia tahun
2010 dibandingkan dengan tahun 2007 disebutkan bahwa “There have been some significant
improvements in budget execution control processes since the last assessment. However, in
practice budget execution continues to be plagued by delays because of cumbersome and
rigid procedures and lengthy procurement processes” [CITATION Wor16 \l 1033 ].
Apabila dirinci berdasarkan komponen, beberapa komponen penilaian aspek
pelaksanaan anggaran sisi belanja dengan nilai di bawah B (skala E-A) adalah:
1. Prediktabilitas ketersediaan dana untuk komitmen pembayaran (C+);
2. Kompetisi, value for money, dan pengendalian pengadaan barang/jasa (C);
3. Efektifitas pengendalian internal untuk belanja selain gaji (C+), dan;
4. Efektifitas audit internal (D+).
Hasil PEFA review tersebut menjadi sangat relevan sebagai suatu indikator bahwa
sistem pelaksanaan anggaran di Indonesia masih memerlukan perbaikan, khususnya bila
dikaitkan dengan keluhan mengenai kurang optimalnya kinerja Satker Kementerian/Lembaga
teknis yang tersita waktunya untuk mengurusi pertanggungjawaban anggaran.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 17
Sub Bab II.II.II. French Execution Budget System Review
Pada dasarnya terdapat inefisiensi yang melekat pada model pelaksanaan anggaran di
Perancis yang kemudian diadopsi oleh Indonesia. Salah satu ciri khas sistem pelaksanaan
anggaran Perancis ditandai dengan adanya 4 tahapan dan 3 pemegang otorisasi sebagaimana
dijabarkan dalam tabel berikut [CITATION Pie03 \l 1033 ]:
TABEL II-1 OTORISATOR DALAM SISTEM PELAKSANAAN ANGGARAN
PERANCIS
Ordonnateur
Contrôleur
Comptable
Engagement (commitment)
*
*
-
Liquidation (service delivery)
*
-
-
Ordonnancement (payment order)
*
(*)
-
Paiement (payment)
-
-
*
Sumber: Pierre Messali, French Execution Budget System (2003)
*) Otorisator yang mengerjakan fungsi terkait
Warna merah menunjukkan kekhasan pada sistem perancis
(*) Pengulangan pekerjaan
Dalam pelaksanaan anggaran di Indonesia istilah Ordonnateur diganti menjadi
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Contrôleur menjadi Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar (PPSPM), dan Comptable menjadi Kuasa BUN c.q. Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN).
Pierre Messali, Public Financial Management Expert World Bank, melakukan reviu
sistem pelaksanaan anggaran model Perancis dan beberapa Negara Francophone yang
mengadopsinya. Dalam tulisan tersebut, ditemukan beberapa poin yang mengindikasikan
bahwa pada dasarnya model pelaksanaan anggaran Perancis dapat membebani kinerja Satker
Kementerian/Lembaga. Poin-poin tersebut meliputi:
1. Banyaknya pengendalian dan adanya prinsip pemisahan kekuasaan (bukan prinsip
pemisahan tugas) dalam sistem pelaksanaan anggaran Perancis berpotensi menciptakan
redundansi. Redundansi tersebut tercipta dari adanya beberapa orang yang diharuskan
untuk melaksanakan pekerjaan serupa dalam rangka pengendalian. Indikasi tersebut
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 18
ditemukan dalam penjelasan mengenai empat tahapan pencairan dana yang menyebutkan
bahwa “Indeed, that’s a lot of controls!, French system is built on the principle of
separation of powers (actors) but not on the principle of separation of duties (steps of the
expense)”. Pada akhirnya hal tersebut menyulitkan spesialisasi dan berpotensi
menciptakan situasi dimana Satker terbebani dengan beban kerja administratif
pengelolaan keuangan.
2. Penulis memperkirakan adanya hubungan kuat antara Corruption Perception Index (CPI)
dan Human Development Index (HDI) dengan keberhasilan atau kegagalan implementasi
model pelaksanaan anggaran Perancis di beberapa Negara. Dengan ranking CPI 7 23 dunia
dan ranking HDI8 22 dunia, keberhasilan sistem pelaksanaan anggaran Perancis di
Negaranya sendiri disebabkan oleh faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan SDM
yang lebih berkualitas dan berintegritas, Perancis tentu dapat menerapkan sistem tersebut
se-efektif dan se-efisien mungkin. Sementara itu, di negara-negara francophone yang
mengadopsi sistem serupa seperti Benin (CPI Ranking 95, HDI Ranking 166), Maroko
(CPI Ranking 90 dunia, HDI Ranking 126), Gabon (CPI Ranking 101, HDI Ranking
110), Kamerun (CPI Ranking 131, HDI Ranking 153), Madagaskar (CPI Ranking 145,
HDI Ranking 154), banyaknya pengendalian tidak mampu menghindarkan praktek
pengelolaan keuangan publik dari korupsi atau bahkan malah meningkatkan korupsi
karena SDM yang kurang berintegritas dan kurang berkualitas mengeksploitasi setiap
pembagian kewenangan menjadi lahan korupsi.
Indonesia memiliki ranking CPI 90 dunia dan ranking HDI 110 dunia. Dengan
ranking yang tidak berbeda jauh dengan negara francophone tersebut, implementasi
7
CPI 2016
8
HDI 2014
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 19
model pelaksanaan Perancis di Indonesia juga diperkirakan mengalami hal serupa. Alihalih menekan korupsi, sistem tersebut beresiko meningkatkan biaya yang harus
ditanggung pemerintah dari panjangnya birokrasi dan korupsi yang tidak teratasi.
Mendukung dugaan tersebut, pengamatan penulis sebagai birokrat di Indonesia dan hasil
diskusi penulis dengan beberapa birokrat yang berkecimpung di bidang pengelolaan
keuangan sektor publik menyimpulkan bahwa saat ini perhatian sebagian besar birokat di
Indonesia terhadap pengelolaan keuangan sektor publik masih terpaku terhadap
keabsahan formal dari dokumen keuangan sementara substansi atau manfaat sebenarnya
dari penggunaan anggaran tersebut bagi masyarakat cenderung terabaikan.
Dalam konteks pembahasan keberhasilan implementasi sistem pelaksanaan
anggaran Perancis tersebut disebutkan bahwa “In France, the system works well and, in
fact, the controller is closely implicated in the chain of the expense meanwhile the
accountant is focused on logistical problems of payment and accounting and reporting.
In francophone developing countries, this system has not avoided corruption but
probably limits it. Yet, in some countries highly corrupted, it might increase corruption
because each step of control is becoming highly valuable”.
3. Banyaknya pengendalian dalam sistem pelaksanaan anggaran Perancis juga tidak serta
merta meningkatkan keandalan atau akuntabilitas pembayaran yang dilaksanakan
sebagaimana disebutkan bahwa “Nothing in the french configuration of payment is
specific enough for improving or deteriorating the system of payment itself” dan “No
specific cause of reliability in the payment itself is attached to the french system”.
4. Indikasi adanya redundansi yang melekat pada sistem pelaksanaan anggaran Perancis
juga terlihat dari adanya beberapa otorisator yang tentunya harus memiliki pencatatan dan
dokumentasi masing-masing. Mendukung indikasi tersebut, Pierre Messali juga
menyebutkan bahwa “Each actor must book operations in financial statements” dan
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 20
“Each book needs to be re-conciled with others” dalam penjelasannya mengenai cara
kerja otorisator-otorisator yang ada dalam sistem pelaksanaan anggaran Perancis.
Sub Bab II.II.III. Hasil Observasi Model Pelaksanaan Anggaran Existing
Dalam model pelaksanaan anggaran yang berlaku di Indonesia ditemukan 13
kelemahan yang dapat dikategorikan ke dalam 2 kategori dan 3 sub-kategori. Model
pelaksanaan anggaran yang berlaku tersebut dapat digambarkan pada diagram berikut:
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 21
Gambar II-2 Gambaran Model Pelaksanaan Anggaran Existing
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 22
Kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam model tersebut antara lain:
1. Satker dibebani dengan pekerjaan administratif terkait komitmen, pengadaan,
perincian pembeban anggaran, pembebanan akun, SPJ, pencairan dana hingga laporan
keuangan dan laporan aset yang bukan merupakan fungsi utamanya namun dapat
menyita fokus banyak SDM (khususnya PPK & PPSPM beserta staffnya, dan
Bendahara);
2. Laporan keuangan Satker beresiko kurang akuntabel (WDP, Disclaimer, Adverse)
karena keterbatasan SDM Satker dalam akuntansi. Hal ini juga diperburuk dengan
adanya rotasi SDM Satker dimana SDM yang telah menguasai administrasi keuangan
bisa sewaktu-waktu digantikan dengan SDM yang tidak menguasai;
3. PPK/Staff/Pembantu PPK harus mengerti spesifikasi barang/jasa yang seringkali di
luar spesialisasinya (Contoh: ketika pembangunan gedung atau pengadaan barang IT,
seorang bersertifikasi guru mungkin tidak mengerti tentang kebutuhan spek gedung
atau perangkat IT);
4. Terdapat redundansi pada pembuatan SPP (oleh PPK) dan SPM (oleh PPSPM)
dimana proses tersebut dimaksudkan untuk menciptakan check & balance. Namun
demikian, isi dari SPP atau SPM sebenarnya sama, sehingga seringkali check &
balance tidak berjalan dengan baik, terutama karena PPK & PPSPM berada pada 1
kantor dan secara struktural biasanya sama-sama bawahan KPA (Kepala Kantor);
5. Terdapat proses yang dapat sepenunya didigitalisasi/otomatisasi seperti pengarsipan
dan tugas PPSPM (pengecekan ulang pagu dan perhitungan pajak);
6. Penyalahgunaan anggaran rawan terjadi karena PPK masih harus sering berinteraksi
dengan vendor (Perpres Pengadaan Barang dan Jasa sendiri sudah menganjurkan
pengadaan secara elektronik, namun demikian database e-catalogue sendiri masih
belum lengkap dan PPK masih punya keleluasaan untuk tidak mengindahkannya);
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 23
7. Otoritas eksekusi masih menggunakan tanda tangan (Pembuatan SPP, SPM, SPPT).
Penggunaan tanda tangan sebagai otoritas eksekusi sudah kurang relevan dengan
perkembangan teknologi informasi saat ini. Tanda tangan dapat mudah dipalsukan dan
pegawai perbendaharaan tidak memiliki keahlian khusus analisis tanda tangan;
8. Sistem pembayaran menitikberatkan pada validitas otorisasi (tanda tangan) dan
validitas dokumen pekerjaan (sangat banyak dan bervariasi tergantung dari jenis
kegiatannya). Akibatnya, muncul proximity issue dimana untuk meningkatkan layanan
bagi Satker, jumlah KPPN harus banyak dan tersebar hingga wilayah terluar;
9. Terdapat redundansi pekerjaan pada Petugas Konversi, Petugas Validasi, Petugas
Reviewer, Kepala Seksi PD, Pelaksana Seksi Bank, dan Kepala Seksi Bank
(Pekerjaan dapat diringkas menjadi satu jenis pekerjaan saja apabila dilakukan
otomatisasi/digitalisasi dan penegasan tanggungjawab bagi operator-nya);
10. KPA sulit fokus pada tujuan kegiatan (outcomes) karena disibukkan dengan revisi
DIPA untuk dapat menggeser penggunaan anggarannya sehingga prinsip Let The
Managers Manage belum optimal;
11. Preferensi belanja fiskal (dukungan terhadap green industry, UMKM, dan TKDN)
diserahkan pada PPK yang berjumlah puluhan ribu sehingga sulit untuk dikoordinir.
Hasil pemetaan kelemahan tersebut dapat dikelompokkan pada beberapa kategori dan
sub-kategori sebagai berikut (nomor dalam gambar kategori dan sub-kategori sesuai dengan
nomor urutan kelemahan di atas.
Gambar II-3 Kategori dan sub-kategori kelemahan model pelaksanaan anggaran existing
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 24
BAB III. KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK IDEAL
Menindaklanjuti potensi kelemahan baik yang inheren dari model Perancis, maupun
kelemahan yang spesifik terjadi di Indonesia, Bab III memberikan gambaran umum mengenai
kondisi pelaksanaan anggaran yang lebih baik. Untuk itu, pada Sub Bab III-I, dilakukan
benchmarking model pelaksanaan anggaran baik secara praktek maupun konsepsi yang lebih
baik. Pada Sub Bab III-II, poin-poin hasil benchmarking tersebut dirangkum menjadi
gambaran umum model pengelolaan keuangan sektor publik yang ideal.
Sub Bab III.I. Benchmarking Model dan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Publik
Beberapa model dan kebijakan pengelolaan keuangan sektor publik yang dijadikan
benchmarking dalam tulisan ini meliputi proses bisnis pada Bureau of Fiscal Service
(Padanan DJPBN di Amerika Serikat) yang merupakan bagian dari U.S. Department of
Treasury, Blueprint Kementerian Keuangan yang dirumuskan bersama konsultan ternama
internasional Mckinsey, serta preferensi belanja pemerintah pada Her Majesty’s Treasury
Inggris, Department of Treasury Amerika Serikat, dan kebijakan LKPP Indonesia.
Sub Bab III.I.I. Benchmarking dengan Bureau of Fiscal Service
Dari hasil benchmarking dengan Bureau of Fiscal Service (ditjen perbendaharaan di
Amerika Serikat) terdapat beberapa poin yang mengindikasikan terjadinya inefisiensi yang
cukup besar pada praktik pelaksanaan anggaran di Indonesia yakni:
1. Layanan yang dijalankan Bureau of Fiscal Service Amerika Serikat meliputi layanan
pengadaan, pencairan dana, akuntansi dan pelaporan keuangan untuk seluruh unit
pemerintah, serta pembiayaan. Sementara itu, layanan Ditjen Perbendaharaan (DJPBN)
Indonesia hanya pencairan dana, dan akuntansi dan pelaporan keuangan (hanya laporan
konsolidasian, masing-masing satker Kementerian/Lembaga Teknis tetap menyusun
laporan keuangan). Layanan keuangan lainnya di Indonesia masih terpecah pada Ditjen
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 25
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Ditjen Kekayaan Negara (DJKN),
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), serta Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan Unit Layanan Pengadaan (ULP) di masingmasing Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Instansi Lainnya (K/L/D/I);
2. Secara efisiensi penggunaan SDM, Bureau of Fiscal Service Amerika Serikat
menjalankan organisasi yang kaya fungsi tersebut dengan jumlah pegawai ± 2.000 orang.
Sementara Ditjen Perbendaharaan sendiri menggunakan pegawai ± 8.000 orang untuk
menjalankan fungsi yang terbatas. Dalam konteks fungsi treasury (DJPBN, DJPPR,
DJKN), maka jumlah pegawai yang digunakan mencapai ± 12.000 orang, dan apabila
turut memperhitungkan fungsi pengadaan, maka jumlah pegawai tersebut akan jauh lebih
mencerminkan inefisiensi yang terjadi mengingat terdapat banyak sekali ULP dan LPSE
yang tersebar di seluruh Indonesia;
3. Secara efisensi jumlah kantor, Bureau of Fiscal Service melayani pencairan dana hanya
dengan 2 kantor yakni, Kansas City Financial Center dan Philadelphia Financial Center.
Sementara itu, DJPBN melayani pencairan dana dari ±180 Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN). Terlepas dari perbedaan infrastruktur teknologi
informasi dan transportasi yang ada di kedua negara, penulis berpendapat bahwa
perbedaan jumlah kantor tersebut terlalu besar sehingga mengindikasikan terjadinya
inefisiensi pada praktik di Indonesia.
Sub Bab III.I.II. Benchmarking dengan Blueprint Kementerian Keuangan dari
Mckinsey
Dari hasil benchmarking dengan model pelaksanaan anggaran yang dirumuskan oleh
Mckinsey untuk Kementerian Keuangan Indonesia, terdapat beberapa poin yang patut
digarisbawahi yakni:
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 26
1. Serupa dengan proses bisnis di Bureau of Fiscal Service, Mckinsey dalam Blueprint
Kementerian Keuangan telah menangkap potensi integrasi layanan komitmen, penagihan,
serta pelaporan dan merekomendasikannya dalam bentuk shared service layanan K/L di
Kementerian Keuangan;
2. Rekomendasi integrasi Ditjen Perbendaharaan (DJPBN) dan Ditjen Kekayaan Negara
(DJKN) dapat meningkatkan efisiensi dari kebutuhan rekonsiliasi data keuangan dan data
aset (saat ini terpisah pada DJPBN dan DJKN), serta efisiensi dalam pelaporan keuangan
dan pelaporan asset (saat ini dibuat, dicetak, dan dilaporkan secara terpisah oleh masingmasing Satker);
3. Rekomendasi Integrasi dengan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR)
berpotensi menjadikan pengelolaan kas lebih andal sehingga cost of fund dari waktu
penerbitan pembiayaan yang kurang tepat dapat dikurangi. Di Amerika Serikat sendiri,
Bureau of Fiscal Service baru dibentuk pada 7 Oktober 2012 dengan mengkonsolidasikan
Bureau of Public Debt dan Financial Management Service dengan tujuan untuk
meningkatkan efisiensi;
4. Terdapat potensi efisiensi melalui perampingan organisasi dan penajaman fungsi treasury
di daerah sebagaimana tercermin dari usulan Mckinsey mengenai struktur organisasi
instansi vertikal hasil penggabungan DJPBN dan DJKN. Instansi setingkat Kanwil
menjadi ± 30 kantor (saat ini terdapat ± 51 Kanwil DJPBN dan DJKN) dengan Struktur
organisasi masing-masing Kanwil terdiri dari 2 bidang integrasi dari DJPBN, 4 bidang
integrasi dari DJKN, dan 2 bidang Supporting. Untuk tingkat kantor layanan, jumlah
kantor menjadi ± 80 (saat ini terdapat ± 250 KPPN dan KPKNL) dengan struktur
organisasi masing-masing kantor layanan terdiri dari 4 seksi integrasi dari DJKN, 1 seksi
supporting, dan tambahan 1 seksi opsional integrasi dari DJPBN untuk daerah terpencil
yang tidak dapat mengunakan aplikasi SAKTI. Sedikitnya bidang dan seksi yang
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 27
diintegrasikan dari DJPBN juga menguatkan indikasi bahwa DJPBN dapat dibentuk jauh
lebih ramping dan efisien.
Sub Bab III.I.III. Benchmarking Praktik Preferensi Belanja Fiskal
Dalam mendorong suatu praktik bisnis tertentu yang menjadi prioritas kebijakan
pemerintah, seringkali pemerintahan negara-negara maju mengintegrasikannya menjadi suatu
preferensi belanja fiskal yang secara tidak langsung memberikan subsidi produktif. Sebagai
contoh, kebijakan fiskal Her Majesty’s Treasury di Inggris mengarahkan belanja pemerintah
untuk memprioritaskan UMKM sebagaimana tercermin dalam laporan “Central Government
Direct and Indirect Spend with Small and Medium Enterprises 2013-2014”. Hal serupa juga
dilaksanakan di Amerika Serikat dimana persentase pengadaan yang dibelanjakan pada usaha
kecil menjadi salah satu target kinerja Departmental Offices, Department of Treasury
Amerika Serikat.
Dalam pasal 96, 98, 100, dan 105 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pemerintah Indonesia seharusnya memprioritaskan
belanja fiskal untuk produksi dalam negeri, UMKM, koperasi kecil, dan minimalisasi dampak
kerusakan lingkungan dianjurkan. Namun demikian, implementasi preferensi belanja fiskal
tersebut mengalami hambatan karena sangat bergantung pada pemahaman dan kesadaran
35.000 lebih PPK dan Pejabat Pengadaan di masing-masing Satker. Padahal, apabila
diimplementasikan dengan baik, preferensi belanja fiskal juga berpotensi menghasilkan efek
multiplier dengan memberi contoh bagi masyarakat untuk menjadi smart consumer dengan
membeli barang/jasa bersertifikat ramah l
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 1
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik:
Perspektif Pelaksanaan Anggaran
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi untuk
Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah”
Public Financial Management Reform: Budget
Execution Perspective
“Integration, Digitalization, and Simplification to
Optimize Government’s Performance”
Penulis:
Muhamad Ameer Noor
Seti Gautama Adi Nugroho
Pengarah:
Taufiq Widyantoro
Reviewer:
Wahyu Wijayanto
Agustinus Prasetyo
Gunawan Hartanto
Tanjungpinang, 2017
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 2
Abstrak
Public fnance reform since 2002 had transform government fnancial management into
specialized units. The separation of function for budget planning and execution,
establishment of procurement units, and business process modernization had become
the milestones. One question arises, “has the reform maximize the eficiencc of
government’s business process and the outcome of fscal policc”, considering that in
2016, President Jokowi stated “manc government units spent 70% of it’s time for
fnancial reports while main functions were neglected”.
To answer the question, this paper evaluates the weaknesses of existing business
processes which include, ineficient bureaucracc of fnancial management, digital
authorization shortage, inefectiveness of “Let The Managers Manage” principle, high
corruption in procurement, and insignifcant fscal spending preference beneft.
The evaluation were benchmarked to best practices on Bureau of Fiscal Service, HM
Treasurc, and Mckinsec-led Blueprint of Indonesian Ministrc of Finance. Benchmarking
results were formulated into budget execution model alternatives which are:
1. Integrated Financial Service Model which combines ULP, DJPB and DJKN Regional
Ofice, KPPN, and KPKNL so that the functions of procurement, pacment, asset
management, and fnancial reporting will be integrated. This model is expected to be
fullc operational within 15 cears.
2. Establishing new units that serve disbursement, procurement, and fnancial
reporting based on Principal-Agent Model. The model promotes conformitc with
existing legal and structural grounds which will enhance eficiencc and can be
implemented in 5 cears.
The implementation of the new budget execution model will likelc change aspects of
budget planning, fnancial reporting, audit, cash planning, service qualitc assurance,
central-level organizational structure, IT infrastructure, HR structures, and fnancial
document archiving. All these changes will improve the eficiencc, specialization, and
signifcance of fscal spending in public fnancial management and optimize line
ministries’ performance.
Reformasi pengelolaan keuangan publik sejak 2002 berkembang menjadi era
spesialisasi organisasi. Pemisahan fungsi perencanaan dan pelaksanaan anggaran,
pembentukan instansi-instansi bidang pengadaan, serta modernisasi proses bisnis
menjadi tanda berjalannya reformasi tersebut. Sebuah pertanyaan yang muncul yakni,
“apakah reformasi tersebut telah memaksimalkan efsiensi proses bisnis dan manfaat
kebijakan fskal bagi masyarakat”, mengingat di tahun 2016, Presiden Jokowi
menyatakan
“banyak
unit
pemerintah
70%
waktunya
habis
mengurus
pertanggungjawaban keuangan sehingga fungsi utamanya tidak optimal.”
Menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini mengevaluasi dan mengidentifkasi
kelemahan proses bisnis existing yang meliputi inefsiensi birokrasi pengelolaan
keuangan publik, penggunaan otorisasi digital belum maksimal, penerapan prinsip Let
The Managers Manage belum optimal, tingginya korupsi pengadaan, serta dampak
preferensi belanja fskal yang tidak signifkan.
Selanjutnya, hasil evaluasi dikomparasi dengan best practice seperti Bureau of Fiscal
Service, HM Treasury, dan Blueprint Kementerian Keuangan yang disusun bersama
Mckinsey. Hasil komparasi dirumuskan menjadi alternatif model pelaksanaan anggaran
yakni:
1. Model Pelayanan Keuangan Terpadu yang menggabungkan ULP, Kanwil DJPB dan
DJKN, KPPN, dan KPKNL sehingga fungsi pengadaan, pembayaran, pengelolaan
aset, serta pelaporan keuangan akan terintegrasi. Model ini diperkirakan dapat
beroperasi penuh dalam kurun waktu 15 tahun.
2. Membentuk unit baru yang melayani pencairan, pengadaan, dan pelaporan keuangan
berdasarkan Model Principal-Agent. Model ini mengedepankan kesesuaian dengan
dasar hukum dan struktur yang ada untuk meningkatkan efsiensi dalam kurun waktu
5 tahun.
Penerapan model pelaksanaan anggaran baru berpotensi merubah aspek perencanaan
anggaran, pelaporan keuangan, audit, perencanaan kas, penjaminan mutu layanan,
struktur organisasi tingkat pusat, infrastruktur IT, SDM organisasi, dan pengarsipan
dokumen keuangan. Seluruh perubahan tersebut akan meningkatkan efsiensi,
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 3
spesialisasi, serta signifkansi belanja fskal dalam pengelolaan keuangan publik dan
mengoptimalkan kinerja Kementerian/Lembaga teknis.
Kata Kunci: Keuangan Publik, Public Finance, Pelaksanaan Anggaran, Budget
Execution, Administrasi Publik, Public Administration, Good Governance, Clean
Government, Proses Bisnis Pemerintah, Government Business Process, Layanan
Keuangan, Financial Service, Kementerian Keuangan, Ministrc of Finance, Department
of Treasurc, Bureau of Fiscal Service, Reformasi Birokrasi, Bureaucratic Reform,
Pengadaan, Procurement, Electronic Government, Perbendaharan, Treasurc, Direktorat
Jenderal Perbendaharaan, Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik, Eficient
Government, Keuangan Negara, Preferensi Belanja Fiskal, Akuntabilitas, Reformasi
Keuangan
DAFTAR ISI
ABSTRAK
........................................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................................7
BAB II. TINJAUAN MODEL PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
INDONESIA
......................................................................................................................12
Sub Bab II.I. Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia............12
Sub Bab II.II. Review Model Pelaksanaan Anggaran Indonesia......................................................15
Sub Bab II.II.I. Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA) Review...........................15
Sub Bab II.II.II. French Execution Budget System Review...............................................................16
Sub Bab II.II.III. Hasil Observasi Model Pelaksanaan Anggaran Existing........................................19
BAB III. KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK IDEAL.........23
Sub Bab III.I. Benchmarking Model dan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Publik.....................23
Sub Bab III.I.I. Benchmarking dengan Bureau of Fiscal Service.......................................................23
Sub Bab III.I.II. Benchmarking dengan Blueprint Kementerian Keuangan dari Mckinsey...............24
Sub Bab III.I.III. Benchmarking Praktik Preferensi Belanja Fiskal....................................................26
Sub Bab III.II. Gambaran Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Ideal..............................27
BAB IV. KONSEPSI MODEL PELAKSANAAN ANGGARAN BARU..........................29
BAB V. ALTERNATIF IMPLEMENTASI MODEL PELAKSANAAN ANGGARAN
BARU
......................................................................................................................35
Sub Bab V.I. Model Layanan Keuangan Terpadu..............................................................................35
Sub Bab V.I.I. Struktur Organisasi......................................................................................................36
Sub Bab V.I.II. Perubahan Proses Bisnis............................................................................................40
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 4
Sub Bab V.I.III. Keunggulan Model Layanan Keuangan Terpadu.....................................................41
Sub Bab V.I.IV. Kebutuhan SDM.......................................................................................................45
Sub Bab V.I.V. Tahapan Implementasi................................................................................................46
Sub Bab V.I.VI. Tantangan Implementasi Dan Mitigasinya...............................................................48
Sub Bab V.II. Model Principal-Agent...................................................................................................51
Sub Bab V.II.I. Proses Bisnis dan Struktur Organisasi.......................................................................52
Sub Bab V.II.II. Keunggulan Model Principal-Agent.........................................................................56
Sub Bab V.II.III. Kebutuhan SDM......................................................................................................58
Sub Bab V.II.IV. Tahapan Implementasi.............................................................................................59
Sub Bab V.II.V. Tantangan Implementasi Dan Mitigasinya................................................................61
BAB VI. DAMPAK REFORMASI PELAKSANAAN ANGGARAN TERHADAP
ASPEK PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK LAINNYA.......................64
Sub Bab VI.I. Perencanaan Anggaran.................................................................................................64
Sub Bab VI.II. Pelaporan Keuangan...................................................................................................65
Sub Bab VI.III. Audit............................................................................................................................66
Sub Bab VI.IV. Perencanaan Kas.........................................................................................................67
Sub Bab VI.V. Penjaminan Mutu Layanan.........................................................................................67
Sub Bab VI.VI. Infrastruktur TIK.......................................................................................................68
BAB VII. KESIMPULAN......................................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................72
LAMPIRAN
......................................................................................................................79
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 5
DAFTAR GAMBAR
Gambar II-1 Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia.......13
Gambar II-2 Gambaran Model Pelaksanaan Anggaran Existing.............................................20
Gambar II-3 Kategori dan sub-kategori kelemahan model pelaksanaan anggaran existing....22
Gambar III-1 Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Ideal..............27
Gambar IV-1 Flow Diagram Proses Bisnis Pelaksanaan Anggaran Baru..............................30
Gambar IV-2 Alur Dokumen Administrasi Pengelolaan Keuangan dalam Pengadaan
Barang/Jasa..............................................................................................................................33
Gambar IV-3 Alur Barang/Jasa dalam Pengadaan Barang/Jasa...........................................33
Gambar V-1 Struktur Organisasi Tingkat Pusat.......................................................................36
Gambar V-2 Struktur Organisasi Pusat Layanan Keuangan Provinsi (34 Unit)......................38
Gambar V-3 Struktur Organisasi Pusat Layanan Keuangan Khusus (1 Unit).........................39
Gambar V-4 Kategori dan Sub-kategori Kelebihan Model Pelayanan Keuangan Terpadu.....45
Gambar V-5 Struktur Organisasi Pusat Layanan Keuangan Model Principal-Agent (1 Unit) 54
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 6
DAFTAR TABEL
Tabel II-1 Otorisator dalam Sistem Pelaksanaan Anggaran Perancis......................................16
Tabel V-1 Sentralisasi, Digitalisasi, dan Simplifikasi Dokumen Keuangan............................44
Tabel V-2 Rincian Kebutuhan SDM........................................................................................45
Tabel V-3 Timeframe Tahapan Implementasi Model Layanan Keuangan Terpadu.................48
Tabel V-4 Perbandingan komposisi pegawai kementerian keuangan Indonesia dan Amerika
serikat.......................................................................................................................................51
Tabel VII-1 Ikhtisar Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Sektor Publik..............................79
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 7
BAB I. PENDAHULUAN
Perubahan teknologi dan kebutuhan masyarakat menjadi alasan utama perlunya
reformasi pengelolaan keuangan sektor publik secara berkelanjutan. Dalam satu dekade
terakhir, pesatnya perkembangan teknologi menghasilkan integrasi teknologi informasi dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Didorong oleh mekanisme pasar, sektor swasta
menjadi pemimpin dalam integrasi tersebut sebagaimana tercermin dari merebaknya fintech,
e-commerce, e-money, dan lain sebagainya. Perkembangan tersebut memberikan perspektif
baru bagi masyarakat, masyarakat menginginkan pemerintahan yang bisa berinovasi
mengimbangi efisiensi yang dihasilkan perkembangan teknologi di sektor swasta. Dalam
konteks pemerintahan, efisiensi dengan teknologi dibuat dengan penerapan e-procurement, ebudgeting, e-government, e-filing, e-reporting dan lain sebagainya.
Keinginan masyarakat tersebut menjadi sangat relevan ketika dikaitkan dengan
pengelolaan keuangan sektor publik yang seharusnya dilaksanakan secara “efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan” [CITATION UU1 \n \y \l 1033 ]. Reformasi pengelolaan keuangan yang berfokus
pada pembenahan ketertiban administrasi tanpa merubah proses bisnis secara holistik tidaklah
cukup, khususnya karena aspek efisien, ekonomis, dan efektif kurang tersentuh.
Pemerintah sendiri telah mengakomodir perkembangan teknologi tersebut dalam
modernisasi proses bisnisnya1. Namun demikian, proses modernisasi tersebut seringkali
dilakukan secara parsial (digitalisasi yang tidak terintegrasi, modernisasi unit tanpa
melibatkan unit lain yang berkaitan, atau modernisasi dengan koordinasi antar unit yang
terbatas) tanpa melihat potensi efisiensi yang lebih apabila modernisasi dilaksanakan secara
holistik.
1
Beberapa hasil modernisasi pemerintah dengan menggunakan teknologi antara lain adalah SPAN, MPN, TSA, dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 8
Penyelesaian usaha penurunan dwelling time2 dan waktu izin investasi3 menjadi salah
satu contoh terbaru mengenai pentingnya koordinasi antar unit pemerintah untuk
menciptakan modernisasi yang komprehensif. Dalam konteks pengelolaan keuangan sektor
publik, indikasi terjadinya mordernisasi yang kurang holistik muncul ketika pada tahun 2016,
Presiden Joko Widodo menemukan banyak instansi pemerintah yang 70% waktunya tersita
untuk mengurus pertanggungjawaban keuangan sehingga fungsi utamanya tidak berjalan
optimal4.
Pengelolaan Keuangan Sektor Publik sendiri sangat krusial dalam pembangunan suatu
negara sebagaimana dijabarkan oleh World Bank sebagai berikut:
“Public financial management (PFM) is an essential part of the development process.
Sound PFM supports aggregate control, prioritization, accountability and efficiency
in the management of public resources and delivery of services, which are critical to
the achievement of public policy objectives, including achievement of the Millennium
Development Goals (MDGs). In addition, sound public financial management systems
are fundamental to the appropriate use and effectiveness of donor assistance since
aid is increasingly provided through modalities that rely on well-functioning systems
for budget development, execution and control” [CITATION Wor17 \l 1033 ]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan keuangan sektor
publik yang baik membantu memastikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya
pemerintah. Efisiensi dan efektifitas memegang peranan krusial dalam pencapaian kebijakan
pembangunan. Dengan kata lain, sebaik apapun kebijakan pembangunan yang dibuat
2
Dilansir oleh beberapa media termasuk okezone
3
Dilansir oleh beberapa media termasuk detik
4
Dilansir oleh beberapa media antara lain tribunnews, sindonews, liputan6, dan okezone
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 9
pemerintah, sulit untuk mewujudkannya apabila pengelolaan keuangan sektor publiknya
belum efisien dan efektif.
Siklus tahunan Pengelolaan Keuangan Sektor Publik dapat dibagi ke dalam enam
tahap yang meliputi perencanaan strategis, proyeksi makro-fiskal, perencanaan anggaran,
reviu dan pengesahan anggaran, pelaksanaan anggaran, pelaporan anggaran, serta audit
internal dan eksternal[CITATION Int16 \p 2 \l 1033 ]. Adapun penganggaran yang
merupakan salah satu bagian terpenting dalam Pengelolaan Keuangan Sektor Publik dapat
dibagi ke dalam empat tahap yang meliputi perencanaan, pengesahan, pelaksanaan, dan
pengawasan [CITATION Int \y \l 1033 ].
Guna menjawab permasalahan inefisiensi pengelolaan keuangan yang menyebabkan
tidak optimalnya pelaksanaan fungsi unit pemerintah, tulisan ini membahas reformasi
pengelolaan keuangan sektor publik dengan fokus pada sisi pelaksanaan anggaran belanja.
Adapun tingginya keterkaitan antar tahap dalam pengelolaan keuangan sektor publik,
menyebabkan potensi timbulnya perubahan dalam aspek-aspek pengelolaan keuangan sektor
publik lainnya. Untuk itu, potensi perubahan pada aspek pengelolaan keuangan sektor publik
selain pelaksanaan anggaran dibahas pada bagian akhir tulisan ini.
Tujuan yang ingin dicapai dari reformasi pelaksanaan anggaran antara lain:
1. Efisiensi proses bisnis pelaksanaan anggaran untuk meningkatkan fiscal space yang
dapat digunakan pada belanja pemerintah yang lebih produktif seperti infrastruktur5
2. Meminimalisir beban administrasi pengelolaan keuangan pada satuan kerja (satker)
Kementerian/Lembaga teknis
3. Meningkatkan kinerja Kementerian/Lembaga teknis dalam menjalankan fungsinya
4. Meminimalisir risiko korupsi di bidang pengadaan barang/jasa
5
Menurut estimasi IMF, rata-rata belanja infrastruktur Indonesia pada tahun 2011-2014 baru mencapai ± 3% dari PDB, sementara negara-negara seperti Thailand,
Mexico India, Vietnam, Malaysia, dan China membelanjakan 5-17% dari PDB pada periode yang sama.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 10
5. Spesialisasi Aparatur Sipil Negara (ASN)
6. Peningkatan dampak belanja fiskal terhadap perekonomian masyarakat melalui
preferensi belanja fiskal6
Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini merumuskan dua alternatif model
pelaksanaan anggaran ideal yaitu model Model Pelayanan Keuangan Terpadu dan Model
Principal-Agent. Kedua model saling mensubstitusi namun memiliki prinsip kerja yang
sama. Pendekatan manapun dari kedua model menempatkan kantor vertikal Ditjen
Perbendaharaan sebagai aktor terpenting suksesnya program reformasi pengelolaan sektor
publik sisi pelaksanaan anggaran.
Hal-hal yang menjadi dasar perumusan kedua model tersebut meliputi:
1. Efisiensi proses bisnis (simplifikasi prosedur, integrasi layanan dan perampingan
organisasi)
2. Spesialisasi pegawai satker K/L teknis dan pegawai Kementerian Keuangan (pengelolaan
keuangan cukup di Kementerian Keuangan sehingga pegawai Satker K/L teknis dapat
fokus pada fungsinya masing-masing)
3. Digitalisasi proses bisnis dan otorisasi eksekusi (dokumen hardcopy diganti digital;
otorisasi tanda tangan diganti dengan user ID atau pembicaraan telpon yang direkam)
4. Model organisasi dan proses bisnis Bureau of Fiscal Service (Padanan Direktorat
Jenderal Perbendaharaan di Amerika Serikat)
5. Kebijakan fiskal pro-UMKM Her Majesty’s Treasury United Kingdom [ CITATION
Her14 \l 1033 ]
6
Penulis mendefinisikan preferensi belanja fiskal sebagai praktik belanja pemerintah untuk
memprioritaskan penyedia barang/jasa yang memenuhi kriteria tertentu seperti berwawasan
lingkungan, UMKM, industri strategis, industri dalam negeri yang diproteksi, kepatuhan perpajakan,
dan/atau lain sebagainya. Preferensi belanja fiskal bertujuan untuk memberikan insentif atau dorongan
dari segi konsumsi bagi pihak-pihak tertentu yang menjadi prioritas kebijakan suatu Pemerintahan.
Definisi ini dibuat berdasarkan ikhtisar dari pasal 96, 98, 100, dan 105 Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 11
6. Persentase pengadaan yang dibelanjakan pada UMKM menjadi salah satu Indikator
Kinerja Utama Departmental Offices Amerika Serikat [CITATION USD14 \p 17 \l
1033 ]
7. Fungsi pemerintah
dalam
mendorong
praktik bisnis
berwawasan lingkungan
(sustainable). pemberdayaan masyarakat lokal dan industri strategis
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 12
BAB II. TINJAUAN MODEL PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
INDONESIA
Bab ini meninjau mengenai model pengelolaan keuangan sektor publik yang saat ini
digunakan di Indonesia. Diskusi utama dalam bab ini untuk menanggapi permasalahan
terbebaninya Satker Kementerian/Lembaga teknis oleh administrasi pengelolaan keuangan
sektor publik yang menyebabkan tugas dan fungsi-nya sendiri menjadi tidak optimal.
Sub Bab II-I membahas beberapa peraturan yang berkaitan dan digambarkan menjadi
model umum pengelolaan keuangan sektor publik di Indonesia. Selanjutnya, dilakukan
identifikasi awal mengenai beberapa poin yang menjadi risiko terbebaninya Satker oleh
administrasi pengelolaan keuangan.
Sub Bab II-II membahas reviu model pengelolaan keuangan sektor publik di
Indonesia dengan fokus pada aspek pelaksanaan anggaran belanja. Diskusi menggunakan
hasil reviu berupa Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA) Review dari
World Bank, French Execution Budget System oleh Pierre Messali, hasil observasi penulis
sebagai pegawai Ditjen Perbendaharaan, serta hasil diskusi dengan beberapa pegawai yang
berkecimpung di bidang pengelolaan keuangan sektor publik di Indonesia. Pada tahapan ini,
dirumuskan beberapa potensi kelemahan baik yang inheren dari derivasi model Perancis,
maupun yang spesifik terjadi di Indonesia untuk ditinjau lebih lanjut.
Sub Bab II.I. Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia
Dasar hukum yang menjadi acuan pengelolaan keuangan sektor publik yang berjalan
di Indonesia saat ini antara lain meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 13
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
5. Peraturan Presiden 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran
Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta
7. Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-287/PB/2015 tentang Standar
Operasional Prosedur pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Dalam konteks reformasi pengelolaan keuangan sektor publik sisi pelaksanaan
anggaran belanja, ikhtisar beberapa poin penting dalam peraturan dipaparkan pada Lampiran
I. Berdasarkan poin-poin dalam peraturan tersebut, pengelolaan keuangan sektor publik di
Indonesia secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 14
Gambar II-1 Gambaran Umum Model Pengelolaan Keuangan Sektor Publik Indonesia
Secara umum proses bisnis yang dihasilkan dari peraturan-peraturan tersebut sudah
baik, khususnya dilihat dari perspektif akuntabilitas pengelolaan keuangan karena proses
pengujian dan pengadministrasian yang sangat rinci, dan diseimbangkan melalui beberapa
otoritas pada masing-masing pihak, baik di Satker (satuan kerja) maupun di KPPN sebagai
Kuasa BUN. Namun demikian, proses bisnis pengelolaan keuangan sektor publik yang
berlaku turut berkontribusi terhadap tingginya beban kerja overhead/supporting (bagian
umum)
karena
satker
harus
mengurus
komitmen,
pengadaan,
pencairan
dana,
pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan. Beberapa poin yang teridentifikasi sebagai
resiko penyebab permasalahan tersebut adalah:
1. Pengelolaan keuangan sebagai proses bisnis yang bersifat supporting akan menjadi beban
kerja overhead. Beban kerja overhead yang berat akan mengambil porsi dari pekerjaan
utamanya terutama pada Satker yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas
(Contoh: Sekolah, Madrasah, UPT). Proses bisnis pengelolaan keuangan sendiri saat ini
memiliki beban kerja overhead yang berat karena:
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 15
a. Satker harus menyediakan SDM untuk melakukan rekonsiliasi data keuangan antara
Satker dengan Ditjen Perbendaharaan dan antara Satker dengan Ditjen Kekayaan
Negara. Pada dasarnya sumber dan bentuk data keuangan dan aset tersebut sama
sehingga Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Kekayaan Negara sebagai instansi
Kementerian Keuangan bisa saja melakukan sharing data internal Kementerian
keuangan untuk mengurangi beban kerja Satker. Adanya perbedaan lokasi pada
sebagian besar instansi vertikal Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Kekayaan Negara
(berbeda gedung, daerah, atau bahkan kota/kabupaten) juga turut meningkatkan
inefisiensi karena SDM Satker harus meluangkan waktu untuk mengunjungi
keduanya.
b. Satker harus menyediakan satu SDM untuk penyusunan laporan keuangan dan satu
SDM untuk laporan aset. Pada dasarnya sebagian besar item yang dilaporkan dalam
kedua laporan tersebut sama dengan sedikit perbedaan pada detailnya, sehingga
laporan bisa saja digabungkan untuk mengurangi beban kerja satker maupun
mengurangi kebutuhan penggunaan anggaran untuk menyusun dan mencetaknya.
c. Redundansi sebagian fungsi Bendahara Pengeluaran, PPK, PPSPM, dan KPPN
dalam pencatatan keuangan, pengelolaan dokumen keuangan, dan pengujian
keabsahan SPBy, SPP, SPM, SPPT, SP2D, dan dokumen lainnya (misalnya Rencana
Penarikan Dana, ADK Supplier, ADK Kontrak).
2. SDM pada Kementerian/Lembaga teknis terbagi untuk melaksanakan tugas pengelolaan
kinerja dan pengelolaan keuangan. Hal tersebut menyulitkan terjadinya spesialisasi dalam
Kementerian/Lembaga teknis karena seringkali SDM harus menjadi pejabat pengelola
keuangan tanpa latar belakang di bidang tersebut.
Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut di atas, satker dengan jumlah SDM yang
terbatas akan mengalami trade-off prioritas antara pencapaian kinerja dengan administrasi
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 16
keuangan. Satker sendiri akan cenderung memprioritaskan administrasi keuangan mengingat
pelaksanaan kegiatan untuk pencapaian kinerja tidak akan bisa berjalan tanpa adanya
penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Sub Bab II.II. Review Model Pelaksanaan Anggaran Indonesia
Sub Bab II.II.I. Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA) Review
Proses pelaksanaan anggaran di Indonesia saat ini masih lambat karena prosedur yang
berat dan kaku, serta proses pengadaan yang panjang. Pada PEFA review yang dibuat oleh
World Bank tentang perkembangan pengelolaan keuangan sektor publik Indonesia tahun
2010 dibandingkan dengan tahun 2007 disebutkan bahwa “There have been some significant
improvements in budget execution control processes since the last assessment. However, in
practice budget execution continues to be plagued by delays because of cumbersome and
rigid procedures and lengthy procurement processes” [CITATION Wor16 \l 1033 ].
Apabila dirinci berdasarkan komponen, beberapa komponen penilaian aspek
pelaksanaan anggaran sisi belanja dengan nilai di bawah B (skala E-A) adalah:
1. Prediktabilitas ketersediaan dana untuk komitmen pembayaran (C+);
2. Kompetisi, value for money, dan pengendalian pengadaan barang/jasa (C);
3. Efektifitas pengendalian internal untuk belanja selain gaji (C+), dan;
4. Efektifitas audit internal (D+).
Hasil PEFA review tersebut menjadi sangat relevan sebagai suatu indikator bahwa
sistem pelaksanaan anggaran di Indonesia masih memerlukan perbaikan, khususnya bila
dikaitkan dengan keluhan mengenai kurang optimalnya kinerja Satker Kementerian/Lembaga
teknis yang tersita waktunya untuk mengurusi pertanggungjawaban anggaran.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 17
Sub Bab II.II.II. French Execution Budget System Review
Pada dasarnya terdapat inefisiensi yang melekat pada model pelaksanaan anggaran di
Perancis yang kemudian diadopsi oleh Indonesia. Salah satu ciri khas sistem pelaksanaan
anggaran Perancis ditandai dengan adanya 4 tahapan dan 3 pemegang otorisasi sebagaimana
dijabarkan dalam tabel berikut [CITATION Pie03 \l 1033 ]:
TABEL II-1 OTORISATOR DALAM SISTEM PELAKSANAAN ANGGARAN
PERANCIS
Ordonnateur
Contrôleur
Comptable
Engagement (commitment)
*
*
-
Liquidation (service delivery)
*
-
-
Ordonnancement (payment order)
*
(*)
-
Paiement (payment)
-
-
*
Sumber: Pierre Messali, French Execution Budget System (2003)
*) Otorisator yang mengerjakan fungsi terkait
Warna merah menunjukkan kekhasan pada sistem perancis
(*) Pengulangan pekerjaan
Dalam pelaksanaan anggaran di Indonesia istilah Ordonnateur diganti menjadi
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Contrôleur menjadi Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar (PPSPM), dan Comptable menjadi Kuasa BUN c.q. Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN).
Pierre Messali, Public Financial Management Expert World Bank, melakukan reviu
sistem pelaksanaan anggaran model Perancis dan beberapa Negara Francophone yang
mengadopsinya. Dalam tulisan tersebut, ditemukan beberapa poin yang mengindikasikan
bahwa pada dasarnya model pelaksanaan anggaran Perancis dapat membebani kinerja Satker
Kementerian/Lembaga. Poin-poin tersebut meliputi:
1. Banyaknya pengendalian dan adanya prinsip pemisahan kekuasaan (bukan prinsip
pemisahan tugas) dalam sistem pelaksanaan anggaran Perancis berpotensi menciptakan
redundansi. Redundansi tersebut tercipta dari adanya beberapa orang yang diharuskan
untuk melaksanakan pekerjaan serupa dalam rangka pengendalian. Indikasi tersebut
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 18
ditemukan dalam penjelasan mengenai empat tahapan pencairan dana yang menyebutkan
bahwa “Indeed, that’s a lot of controls!, French system is built on the principle of
separation of powers (actors) but not on the principle of separation of duties (steps of the
expense)”. Pada akhirnya hal tersebut menyulitkan spesialisasi dan berpotensi
menciptakan situasi dimana Satker terbebani dengan beban kerja administratif
pengelolaan keuangan.
2. Penulis memperkirakan adanya hubungan kuat antara Corruption Perception Index (CPI)
dan Human Development Index (HDI) dengan keberhasilan atau kegagalan implementasi
model pelaksanaan anggaran Perancis di beberapa Negara. Dengan ranking CPI 7 23 dunia
dan ranking HDI8 22 dunia, keberhasilan sistem pelaksanaan anggaran Perancis di
Negaranya sendiri disebabkan oleh faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan SDM
yang lebih berkualitas dan berintegritas, Perancis tentu dapat menerapkan sistem tersebut
se-efektif dan se-efisien mungkin. Sementara itu, di negara-negara francophone yang
mengadopsi sistem serupa seperti Benin (CPI Ranking 95, HDI Ranking 166), Maroko
(CPI Ranking 90 dunia, HDI Ranking 126), Gabon (CPI Ranking 101, HDI Ranking
110), Kamerun (CPI Ranking 131, HDI Ranking 153), Madagaskar (CPI Ranking 145,
HDI Ranking 154), banyaknya pengendalian tidak mampu menghindarkan praktek
pengelolaan keuangan publik dari korupsi atau bahkan malah meningkatkan korupsi
karena SDM yang kurang berintegritas dan kurang berkualitas mengeksploitasi setiap
pembagian kewenangan menjadi lahan korupsi.
Indonesia memiliki ranking CPI 90 dunia dan ranking HDI 110 dunia. Dengan
ranking yang tidak berbeda jauh dengan negara francophone tersebut, implementasi
7
CPI 2016
8
HDI 2014
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 19
model pelaksanaan Perancis di Indonesia juga diperkirakan mengalami hal serupa. Alihalih menekan korupsi, sistem tersebut beresiko meningkatkan biaya yang harus
ditanggung pemerintah dari panjangnya birokrasi dan korupsi yang tidak teratasi.
Mendukung dugaan tersebut, pengamatan penulis sebagai birokrat di Indonesia dan hasil
diskusi penulis dengan beberapa birokrat yang berkecimpung di bidang pengelolaan
keuangan sektor publik menyimpulkan bahwa saat ini perhatian sebagian besar birokat di
Indonesia terhadap pengelolaan keuangan sektor publik masih terpaku terhadap
keabsahan formal dari dokumen keuangan sementara substansi atau manfaat sebenarnya
dari penggunaan anggaran tersebut bagi masyarakat cenderung terabaikan.
Dalam konteks pembahasan keberhasilan implementasi sistem pelaksanaan
anggaran Perancis tersebut disebutkan bahwa “In France, the system works well and, in
fact, the controller is closely implicated in the chain of the expense meanwhile the
accountant is focused on logistical problems of payment and accounting and reporting.
In francophone developing countries, this system has not avoided corruption but
probably limits it. Yet, in some countries highly corrupted, it might increase corruption
because each step of control is becoming highly valuable”.
3. Banyaknya pengendalian dalam sistem pelaksanaan anggaran Perancis juga tidak serta
merta meningkatkan keandalan atau akuntabilitas pembayaran yang dilaksanakan
sebagaimana disebutkan bahwa “Nothing in the french configuration of payment is
specific enough for improving or deteriorating the system of payment itself” dan “No
specific cause of reliability in the payment itself is attached to the french system”.
4. Indikasi adanya redundansi yang melekat pada sistem pelaksanaan anggaran Perancis
juga terlihat dari adanya beberapa otorisator yang tentunya harus memiliki pencatatan dan
dokumentasi masing-masing. Mendukung indikasi tersebut, Pierre Messali juga
menyebutkan bahwa “Each actor must book operations in financial statements” dan
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 20
“Each book needs to be re-conciled with others” dalam penjelasannya mengenai cara
kerja otorisator-otorisator yang ada dalam sistem pelaksanaan anggaran Perancis.
Sub Bab II.II.III. Hasil Observasi Model Pelaksanaan Anggaran Existing
Dalam model pelaksanaan anggaran yang berlaku di Indonesia ditemukan 13
kelemahan yang dapat dikategorikan ke dalam 2 kategori dan 3 sub-kategori. Model
pelaksanaan anggaran yang berlaku tersebut dapat digambarkan pada diagram berikut:
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 21
Gambar II-2 Gambaran Model Pelaksanaan Anggaran Existing
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 22
Kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam model tersebut antara lain:
1. Satker dibebani dengan pekerjaan administratif terkait komitmen, pengadaan,
perincian pembeban anggaran, pembebanan akun, SPJ, pencairan dana hingga laporan
keuangan dan laporan aset yang bukan merupakan fungsi utamanya namun dapat
menyita fokus banyak SDM (khususnya PPK & PPSPM beserta staffnya, dan
Bendahara);
2. Laporan keuangan Satker beresiko kurang akuntabel (WDP, Disclaimer, Adverse)
karena keterbatasan SDM Satker dalam akuntansi. Hal ini juga diperburuk dengan
adanya rotasi SDM Satker dimana SDM yang telah menguasai administrasi keuangan
bisa sewaktu-waktu digantikan dengan SDM yang tidak menguasai;
3. PPK/Staff/Pembantu PPK harus mengerti spesifikasi barang/jasa yang seringkali di
luar spesialisasinya (Contoh: ketika pembangunan gedung atau pengadaan barang IT,
seorang bersertifikasi guru mungkin tidak mengerti tentang kebutuhan spek gedung
atau perangkat IT);
4. Terdapat redundansi pada pembuatan SPP (oleh PPK) dan SPM (oleh PPSPM)
dimana proses tersebut dimaksudkan untuk menciptakan check & balance. Namun
demikian, isi dari SPP atau SPM sebenarnya sama, sehingga seringkali check &
balance tidak berjalan dengan baik, terutama karena PPK & PPSPM berada pada 1
kantor dan secara struktural biasanya sama-sama bawahan KPA (Kepala Kantor);
5. Terdapat proses yang dapat sepenunya didigitalisasi/otomatisasi seperti pengarsipan
dan tugas PPSPM (pengecekan ulang pagu dan perhitungan pajak);
6. Penyalahgunaan anggaran rawan terjadi karena PPK masih harus sering berinteraksi
dengan vendor (Perpres Pengadaan Barang dan Jasa sendiri sudah menganjurkan
pengadaan secara elektronik, namun demikian database e-catalogue sendiri masih
belum lengkap dan PPK masih punya keleluasaan untuk tidak mengindahkannya);
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 23
7. Otoritas eksekusi masih menggunakan tanda tangan (Pembuatan SPP, SPM, SPPT).
Penggunaan tanda tangan sebagai otoritas eksekusi sudah kurang relevan dengan
perkembangan teknologi informasi saat ini. Tanda tangan dapat mudah dipalsukan dan
pegawai perbendaharaan tidak memiliki keahlian khusus analisis tanda tangan;
8. Sistem pembayaran menitikberatkan pada validitas otorisasi (tanda tangan) dan
validitas dokumen pekerjaan (sangat banyak dan bervariasi tergantung dari jenis
kegiatannya). Akibatnya, muncul proximity issue dimana untuk meningkatkan layanan
bagi Satker, jumlah KPPN harus banyak dan tersebar hingga wilayah terluar;
9. Terdapat redundansi pekerjaan pada Petugas Konversi, Petugas Validasi, Petugas
Reviewer, Kepala Seksi PD, Pelaksana Seksi Bank, dan Kepala Seksi Bank
(Pekerjaan dapat diringkas menjadi satu jenis pekerjaan saja apabila dilakukan
otomatisasi/digitalisasi dan penegasan tanggungjawab bagi operator-nya);
10. KPA sulit fokus pada tujuan kegiatan (outcomes) karena disibukkan dengan revisi
DIPA untuk dapat menggeser penggunaan anggarannya sehingga prinsip Let The
Managers Manage belum optimal;
11. Preferensi belanja fiskal (dukungan terhadap green industry, UMKM, dan TKDN)
diserahkan pada PPK yang berjumlah puluhan ribu sehingga sulit untuk dikoordinir.
Hasil pemetaan kelemahan tersebut dapat dikelompokkan pada beberapa kategori dan
sub-kategori sebagai berikut (nomor dalam gambar kategori dan sub-kategori sesuai dengan
nomor urutan kelemahan di atas.
Gambar II-3 Kategori dan sub-kategori kelemahan model pelaksanaan anggaran existing
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 24
BAB III. KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK IDEAL
Menindaklanjuti potensi kelemahan baik yang inheren dari model Perancis, maupun
kelemahan yang spesifik terjadi di Indonesia, Bab III memberikan gambaran umum mengenai
kondisi pelaksanaan anggaran yang lebih baik. Untuk itu, pada Sub Bab III-I, dilakukan
benchmarking model pelaksanaan anggaran baik secara praktek maupun konsepsi yang lebih
baik. Pada Sub Bab III-II, poin-poin hasil benchmarking tersebut dirangkum menjadi
gambaran umum model pengelolaan keuangan sektor publik yang ideal.
Sub Bab III.I. Benchmarking Model dan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Publik
Beberapa model dan kebijakan pengelolaan keuangan sektor publik yang dijadikan
benchmarking dalam tulisan ini meliputi proses bisnis pada Bureau of Fiscal Service
(Padanan DJPBN di Amerika Serikat) yang merupakan bagian dari U.S. Department of
Treasury, Blueprint Kementerian Keuangan yang dirumuskan bersama konsultan ternama
internasional Mckinsey, serta preferensi belanja pemerintah pada Her Majesty’s Treasury
Inggris, Department of Treasury Amerika Serikat, dan kebijakan LKPP Indonesia.
Sub Bab III.I.I. Benchmarking dengan Bureau of Fiscal Service
Dari hasil benchmarking dengan Bureau of Fiscal Service (ditjen perbendaharaan di
Amerika Serikat) terdapat beberapa poin yang mengindikasikan terjadinya inefisiensi yang
cukup besar pada praktik pelaksanaan anggaran di Indonesia yakni:
1. Layanan yang dijalankan Bureau of Fiscal Service Amerika Serikat meliputi layanan
pengadaan, pencairan dana, akuntansi dan pelaporan keuangan untuk seluruh unit
pemerintah, serta pembiayaan. Sementara itu, layanan Ditjen Perbendaharaan (DJPBN)
Indonesia hanya pencairan dana, dan akuntansi dan pelaporan keuangan (hanya laporan
konsolidasian, masing-masing satker Kementerian/Lembaga Teknis tetap menyusun
laporan keuangan). Layanan keuangan lainnya di Indonesia masih terpecah pada Ditjen
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 25
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Ditjen Kekayaan Negara (DJKN),
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), serta Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan Unit Layanan Pengadaan (ULP) di masingmasing Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Instansi Lainnya (K/L/D/I);
2. Secara efisiensi penggunaan SDM, Bureau of Fiscal Service Amerika Serikat
menjalankan organisasi yang kaya fungsi tersebut dengan jumlah pegawai ± 2.000 orang.
Sementara Ditjen Perbendaharaan sendiri menggunakan pegawai ± 8.000 orang untuk
menjalankan fungsi yang terbatas. Dalam konteks fungsi treasury (DJPBN, DJPPR,
DJKN), maka jumlah pegawai yang digunakan mencapai ± 12.000 orang, dan apabila
turut memperhitungkan fungsi pengadaan, maka jumlah pegawai tersebut akan jauh lebih
mencerminkan inefisiensi yang terjadi mengingat terdapat banyak sekali ULP dan LPSE
yang tersebar di seluruh Indonesia;
3. Secara efisensi jumlah kantor, Bureau of Fiscal Service melayani pencairan dana hanya
dengan 2 kantor yakni, Kansas City Financial Center dan Philadelphia Financial Center.
Sementara itu, DJPBN melayani pencairan dana dari ±180 Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN). Terlepas dari perbedaan infrastruktur teknologi
informasi dan transportasi yang ada di kedua negara, penulis berpendapat bahwa
perbedaan jumlah kantor tersebut terlalu besar sehingga mengindikasikan terjadinya
inefisiensi pada praktik di Indonesia.
Sub Bab III.I.II. Benchmarking dengan Blueprint Kementerian Keuangan dari
Mckinsey
Dari hasil benchmarking dengan model pelaksanaan anggaran yang dirumuskan oleh
Mckinsey untuk Kementerian Keuangan Indonesia, terdapat beberapa poin yang patut
digarisbawahi yakni:
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 26
1. Serupa dengan proses bisnis di Bureau of Fiscal Service, Mckinsey dalam Blueprint
Kementerian Keuangan telah menangkap potensi integrasi layanan komitmen, penagihan,
serta pelaporan dan merekomendasikannya dalam bentuk shared service layanan K/L di
Kementerian Keuangan;
2. Rekomendasi integrasi Ditjen Perbendaharaan (DJPBN) dan Ditjen Kekayaan Negara
(DJKN) dapat meningkatkan efisiensi dari kebutuhan rekonsiliasi data keuangan dan data
aset (saat ini terpisah pada DJPBN dan DJKN), serta efisiensi dalam pelaporan keuangan
dan pelaporan asset (saat ini dibuat, dicetak, dan dilaporkan secara terpisah oleh masingmasing Satker);
3. Rekomendasi Integrasi dengan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR)
berpotensi menjadikan pengelolaan kas lebih andal sehingga cost of fund dari waktu
penerbitan pembiayaan yang kurang tepat dapat dikurangi. Di Amerika Serikat sendiri,
Bureau of Fiscal Service baru dibentuk pada 7 Oktober 2012 dengan mengkonsolidasikan
Bureau of Public Debt dan Financial Management Service dengan tujuan untuk
meningkatkan efisiensi;
4. Terdapat potensi efisiensi melalui perampingan organisasi dan penajaman fungsi treasury
di daerah sebagaimana tercermin dari usulan Mckinsey mengenai struktur organisasi
instansi vertikal hasil penggabungan DJPBN dan DJKN. Instansi setingkat Kanwil
menjadi ± 30 kantor (saat ini terdapat ± 51 Kanwil DJPBN dan DJKN) dengan Struktur
organisasi masing-masing Kanwil terdiri dari 2 bidang integrasi dari DJPBN, 4 bidang
integrasi dari DJKN, dan 2 bidang Supporting. Untuk tingkat kantor layanan, jumlah
kantor menjadi ± 80 (saat ini terdapat ± 250 KPPN dan KPKNL) dengan struktur
organisasi masing-masing kantor layanan terdiri dari 4 seksi integrasi dari DJKN, 1 seksi
supporting, dan tambahan 1 seksi opsional integrasi dari DJPBN untuk daerah terpencil
yang tidak dapat mengunakan aplikasi SAKTI. Sedikitnya bidang dan seksi yang
Reformasi Pengelolaan Keuangan Sektor Publik: Perspektif Pelaksanaan Anggaran Belanja
“Integrasi, Digitalisasi dan Simplifikasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Untuk Mengoptimalkan Kinerja Pemerintah” 27
diintegrasikan dari DJPBN juga menguatkan indikasi bahwa DJPBN dapat dibentuk jauh
lebih ramping dan efisien.
Sub Bab III.I.III. Benchmarking Praktik Preferensi Belanja Fiskal
Dalam mendorong suatu praktik bisnis tertentu yang menjadi prioritas kebijakan
pemerintah, seringkali pemerintahan negara-negara maju mengintegrasikannya menjadi suatu
preferensi belanja fiskal yang secara tidak langsung memberikan subsidi produktif. Sebagai
contoh, kebijakan fiskal Her Majesty’s Treasury di Inggris mengarahkan belanja pemerintah
untuk memprioritaskan UMKM sebagaimana tercermin dalam laporan “Central Government
Direct and Indirect Spend with Small and Medium Enterprises 2013-2014”. Hal serupa juga
dilaksanakan di Amerika Serikat dimana persentase pengadaan yang dibelanjakan pada usaha
kecil menjadi salah satu target kinerja Departmental Offices, Department of Treasury
Amerika Serikat.
Dalam pasal 96, 98, 100, dan 105 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pemerintah Indonesia seharusnya memprioritaskan
belanja fiskal untuk produksi dalam negeri, UMKM, koperasi kecil, dan minimalisasi dampak
kerusakan lingkungan dianjurkan. Namun demikian, implementasi preferensi belanja fiskal
tersebut mengalami hambatan karena sangat bergantung pada pemahaman dan kesadaran
35.000 lebih PPK dan Pejabat Pengadaan di masing-masing Satker. Padahal, apabila
diimplementasikan dengan baik, preferensi belanja fiskal juga berpotensi menghasilkan efek
multiplier dengan memberi contoh bagi masyarakat untuk menjadi smart consumer dengan
membeli barang/jasa bersertifikat ramah l