PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSI
PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSIN
PADA SUSU SAPI SEGAR SECARA KCKT
DI BPMSPH BOGOR
DINA CROWNIA
PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
i
PERNYATAAN MENGENAI LAPORAN TUGAS AKHIR DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan laporan Tugas Akhir dengan judul Penentuan Kadar
Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing serta pembimbing
lapang dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir laporan ini.
Bogor, Juli 2014
Dina Crownia
J3E111087
ii
iii
RINGKASAN
DINA CROWNIA. Penentuan Kadar Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor. Dibimbing oleh PURANA
INDRAWAN.
Susu merupakan bahan makanan utama dengan nilai gizi yang tinggi, karena
mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh. Kualitas susu akan
berkurang jika susu mengandung bahan lain yang dapat menganggu kesehatan,
contohnya residu antibiotik tilosin. Tilosin merupakan salah satu antibiotik
golongan makrolida yang sering ditambahkan pada hewan ternak sebagai
pengobatan dan bahan tambahan pakan untuk pemacu pertumbuhan atau growth
promotor.
Pemakaian obat-obatan antibiotik pada hewan ternak yang terus menerus
akan menyebabkan residu antibiotik dalam produk hewan. Residu antibiotik dapat
menyebabkan reaksi alergi, resistensi, keracunan, kegagalan dan penolakan
produk. Penentuan kadar residu antibiotik tilosin pada susu segar dilakukan
dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Berdasarkan hasil analisis, terdapat 10 sampel positif mengandung residu
antibiotik tilosin dan hanya terdapat 1 sampel yang negatif mengandung residu
antibiotik tilosin. Apabila dibandingkan dengan Maximum Residue Limit (MRL)
yang ditentukan oleh Codex Alimentarius Commision yaitu 100 g/kg, terdapat 7
dari 10 sampel positif residu antibiotik tilosin yang melebihi MRL yang telah
ditetapkan. Hal ini menyebabkan sampel susu segar tersebut tidak layak untuk
dikonsumsi oleh masyarakat atau diolah kembali menjadi produk olahan susu.
Residu antibiotik yang terdapat pada susu dapat disebabkanpeternak belum
paham mengenai waktu henti obat (withdrawal time) antibiotik tilosin,
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan spesies ternak dan dosis
antibiotik yang digunakan pada hewan ternak melebihi dosis yang telah ditetapkan
sehingga menyebabkan timbulnya residu pada susu. Residu antibiotik tilosin pada
susu sapi segar dapat dicegah dengan cara menerapkan Good Farming Practices
(GFP), pengawasan dari pemerintah dan penerapan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) pada industri pengolahan susu.
Kurva standar tilosin dengan konsentrasi 5 ppm, 2.5 ppm, 1.25 ppm, 0.625
ppm dan 0.3125 ppm menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0.9998999.
Penentuan persen recovery pada sampel recovery menghasilkan nilai sebesar
88.41% yang menandakan bahwa metode penentuan kadar residu tilosin memiliki
linearitas dan persen recovery yang baik.
Kata kunci: antibiotik, tilosin, susu, KCKT
iv
v
PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSIN
PADA SUSU SAPI SEGAR SECARA KCKT
DI BPMSPH BOGOR
DINA CROWNIA
Laporan Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ahli Madya pada
Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan
PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
vi
vii
Judul Tugas Akhir : Penentuan Kadar Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor
Nama
: Dina Crownia
NIM
: J3E111087
Disetujui oleh
Ir Purana Indrawan, MP
Pembimbing I
Dr. drh. Puji Rahayu
Pembimbing II
Diketahui oleh
Ir CC Nurwitri, DAA
Koodinator Program Keahlian
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir
(TA) dengan judul “Penentuan Kadar Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor”. Laporan Tugas Akhir ini disusun
berdasarkan hasil Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan pada 3 Maret
2014 sampai 31 Mei 2014 di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan
(BPMSPH). Pembuatan laporan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mendapatkan
gelar Ahli Madya pada Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan.
Selama penyusunan laporan ini, penulis telah mendapat berbagai ilmu
pengetahuan terkait pengujian mutu produk hewan dan berbagai bantuan baik
berupa informasi, saran maupun dukungan moral dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan keluarga yang telah
memberikan doa dan dukungan penuh kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada bapak Ir. Purana Indrawan, MP sebagai dosen pembimbing
dan ibu Dr. drh. Puji Rahayu sebagai pembimbing lapangan yang telah
mengarahkan dan memberikan banyak saran dan bimbingan dalam penulisan
laporan Tugas Akhir. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh
staff Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) atas
bimbingan, arahan dan kerjasamanya selama kegiatan Praktik Kerja Lapangan.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Devi Ratnaningrum dan Dwi
Herlambang selaku teman satu tempat PKL, kepada Tressa, Elza, Rika, Destry,
Yudith, Raden Harya, Zulvana, Yolanda, Intan, Ica, Novi dan rekan-rekan
Supervisor Jaminan Mutu Pangan 48 yang selalu memberikan motivasi dan
dukungan selama kegiatan PKL sampai penyusunan Laporan Tugas Akhir.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan, baik dalam penyusunan maupun penulisan. Oleh
karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Bogor, Juni 2014
Dina Crownia
ix
x
DAFTAR ISI
1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Tujuan...................................................................................................2
2
METODE KAJIAN........................................................................................2
2.1 Lokasi dan Waktu Praktik Kerja Lapangan..........................................2
2.2 Teknik Pengumpulan Data....................................................................2
2.2.1 Pengumpulan Data Primer...........................................................2
2.2.2 Pengumpulan Data Sekunder.......................................................3
2.3 Metode Analisa.....................................................................................3
2.3.1 Alat dan Bahan............................................................................3
2.3.2 Metode Percobaan.......................................................................3
3
KEADAAN UMUM BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI
PRODUK HEWAN........................................................................................5
3.1 Sejarah...................................................................................................5
3.2 Visi dan Misi.........................................................................................6
3.2.1 Visi...............................................................................................6
3.2.2 Misi..............................................................................................6
3.3 Kegiatan................................................................................................6
3.4 Tugas dan Fungsi..................................................................................7
3.4.1 Tugas...........................................................................................7
3.4.2 Fungsi..........................................................................................7
3.5 Lokasi....................................................................................................7
3.6 Susunan Organisasi...............................................................................7
4
PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSIN PADA SUSU
SAPI SEGAR SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
(KCKT)...........................................................................................................8
4.1 Antibiotik Tilosin...............................................................................................8
4.2 Susu Sapi Segar..................................................................................................9
4.3 Preparasi dan ekstraksi sampel...........................................................10
4.4 Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).............11
4.4.1 Komponen Alat KCKT..............................................................11
4.4.2 Prinsip Kerja KCKT..................................................................13
4.4.3 Kurva Standar Tilosin................................................................13
4.4.4
Persen Recovery........................................................................14
4.4.5 Hasil Penentuan Kadar Residu Tilosin......................................15
4.5 Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi Segar................................17
4.6 Dampak Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi............................18
4.7 Upaya Pencegahan Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi...........19
5
SIMPULAN DAN SARAN.........................................................................20
5.1 Simpulan.............................................................................................20
5.2 Saran...................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
xi
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
Logo BPMSPH
Struktur Tilosin
Rotary evaporator
Skema Alat KCKT
Kurva Kalibrasi Tilosin
Kadar Residu Tilosin pada Susu Sapi Segar
Kromatogram sampel recovery
5
8
11
12
14
16
14
DAFTAR TABEL
1
2
3
Komposisi Rata-Rata dan Kisaran Normal Susu Sapi
Hasil pengukuran kadar residu tilosin pada susu sapi segar
Persen recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
9
16
15
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Struktur Organisasi Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk
Pembuatan Larutan Standar Tilosin dan Fase Gerak
Hasil Pengukuran Standar Tilosin 5 ppm, 2.5 ppm, 1.25 ppm, 3.125 ppm
dan 0,625 ppm
Kromatogram Sampel Susu Sapi Segar
Contoh Perhitungan Konsentrasi Sampel
Contoh Perhitungan Kadar Residu Tilosin
Penentuan Persen Recovery
25
26
28
29
29
29
30
xii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Susu merupakan bahan makanan utama dengan nilai gizi yang tinggi, karena
mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh. Susu mengandung
komponen yang sangat penting seperti lemak, protein susu, laktosa, mineral, dan
vitamin. Susu mengandung vitamin yang larut air (vitamin B dan C) dan vitamin
yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K). Susu harus tetap dijaga
kualitasnya dan perlu perhatian yang intensif untuk keamanan produk susu agar
dapat memenuhi ketersediaan susu dan kelayakan untuk dikonsumsi.
Kualitas susu akan berkurang jika susu mengandung bahan lain yang dapat
mengganggu kesehatan. Hal ini membutuhkan perhatian khusus karena susu
merupakan sumber utama yang rentan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh
gangguan tersebut. Gangguan kesehatan pada susu dapat disebabkan oleh cemaran
mikrobiologi dan residu antibiotik.
Menurut Subronto dan Tjahajati (2008), antibiotik adalah senyawa kimia
yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang memiliki khasiat untuk menghentikan
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lainnya. Antibiotik dipakai secara
luas dalam industri peternakan dengan tujuan untuk pengobatan, sehingga dapat
mengembalikan kondisi ternak menjadi normal kembali (sehat). Antibiotik juga
dapat digunakan sebagai bahan tambahan pakan (feed additives) untuk memacu
pertumbuhan pada hewan ternak (growth promotor). Berdasarkan struktur
kimianya, antibiotik dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu
golongan β laktam, golongan aminoglikosida, golongan tetrasiklin, golongan
kloramfenikol dan golongan makrolida.
Salah satu antibiotik golongan makrolida yang sering digunakan adalah
tilosin. Tilosin merupakan salah satu antibiotik golongan makrolida yang sering
ditambahkan pada hewan ternak sebagai pengobatan dan growth promotor.
Pemakaian obat-obatan antibiotik pada hewan ternak yang terus menerus dan
tidak memperhatikan waktu henti antibiotik (withdrawal time) dalam industri
peternakan akan menyebabkan residu antibiotik dalam produk hewan. Residu
antibiotik dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan kemungkinan
keracunan (Yuningsih 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan penentuan kadar
residu antibiotik tilosin pada susu segar.
Sampel yang digunakan adalah sampel susu sapi segar dari beberapa
Tempat Penampungan Susu (TPS) di Kabupaten Bogor. Residu antibiotik pada
susu segar dapat diukur dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan suatu metode
pemisahan komponen yang digunakan secara luas dalam berbagai bidang di
antaranya bidang farmasi, lingkungan, dan industri makanan.
2
1.2 Tujuan
Tujuan umum dalam melakukan Praktik Kerja Lapangan adalah untuk
memberikan gambaran nyata aplikasi ilmu yang diperoleh selama kuliah dan
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar, bekerja dan
berinteraksi secara profesional dalam suasana kerja. Selain itu, Praktik Kerja
Lapangan dilakukan untuk memberikan pengalaman bagi mahasiswa mengenai
gambaran langsung kegiatan pengujian fisiko kimia pada produk hewan. Tujuan
khusus dalam melakukan Paraktik Kerja Lapangan adalah untuk mempelajari,
mengetahui serta menentukan kadar residu antibiotik tilosin pada susu sapi segar
secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
2 METODE KAJIAN
2.1 Lokasi dan Waktu Praktik Kerja Lapangan
Kegiatan Praktik Kerja Lapangan ini dilaksanakan di Balai Pengujian Mutu
dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) yang beralamat di Jalan Pemuda No.
29A Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi
Jawa Barat 16161. Pelaksanaan waktu Praktik Kerja Lapangan dilakukan mulai
tanggal 3 Maret 2014 sampai dengan 31 Mei 2014.
2.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang bersifat objektif maka digunakan suatu
metode atau teknik yang bertujuan agar didapat data-data yang sesuai dengan apa
yang diharapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
2.2.1 Pengumpulan Data Primer
Data primer adalah data yang didapatkan dari sumbernya secara langsung.
Metode pengumpulan data primer ini akan dilakukan dengan cara terjun langsung
dalam kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) diantaranya:
1.
2.
Terjun langsung bekerja dalam kegiatan pengujian mutu pada produk hewan
secara fisiko kimia.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengobservasi kegiatan di lapangan
mengenai aspek pengujian kadar residu tilosin pada susu sapi segar secara
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
3
3.
Data yang diperoleh dalam metode ini berdasarkan wawancara langsung
dengan pimpinan, pembimbing, teknisi laboratorium, pekerja dan juga pihak
terkait untuk mengetahui data yang berkaitan dengan penentuan kadar residu
tilosin pada susu sapi segar.
2.2.2 Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung. Metode
pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara memperoleh informasi melalui
sumber lain yang berhubungan dengan penentuan kadar residu tilosin secara
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) seperti studi pustaka pada buku, jurnal
dan searching internet.
2.3 Metode Analisa
Metode analisa dapat dilakukan dengan baik dan benar jika alat dan bahan
serta metode kerja dijalankan sesuai dengan ketentuan. Alat dan bahan serta
metode kerja yang dilakukan dalam pengujian kadar residu tilosin pada susu sapi
segar, yaitu:
2.3.1
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah neraca analitik, vortex, tabung sentrifuse,
pipet tetes, pipet mikro 1000 µL, pipet mikro 5000 µL, gelas piala 100 mL,
corong gelas, filter 0.45 µm, syringe berfilter 0.45 µm, botol akuades, botol vial,
rotary evaporator, labu volumetrik 500 ml, labu evaporator, sudip, sonikator,
kolom KCKT fase terbalik dan KCKT Agilent.
Bahan-bahan yang digunakan adalah susu sapi segar, heksana, asetonitril,
standar Tylosin Tartrate serta campuran fase gerak ammonium asetat 0.01 M dan
asetonitril (8:2).
2.3.2
Metode Percobaan
Penentuan kadar residu tilosin ditentukan dengan pemisahan menggunakan
kolom C18, fase gerak campuran ammonium asetat 0.01 M dan asetonitril (8:2),
laju alir 1 mL/menit, volume injeksi 20 µL dan panjang gelombang 280 nm. Hasil
yang diperoleh dibandingkan dengan standar.
1.
Preparasi dan Ekstraksi Sampel Susu Sapi Segar
Sampel susu sapi segar ditimbang sebanyak ± 2 gram, kemudian
ditambahkan dengan 5 mL asetonitril dan disonikasi selama 15 menit. Setelah
itu larutan dikocok dengan menggunakan shaker selama 10 menit dengan
kecepatan 400 rpm dan dikocok dengan menggunakan vortex. Larutan sampel
kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm dengan suhu 5 0C selama
10 menit. Larutan yang telah disentrifus diambil supernatannya.
4
2.
3.
4.
5.
Pellet larutan hasil sentrifugasi kemudian dicampur dengan 2.5 mL
Asetonitril dan disonikasi selama 15 menit. Setelah itu larutan dikocok
dengan shaker selama 10 menit dengan kecepatan 400 rpm dan dikocok
dengan menggunakan vortex. Larutan sampel kemudian disentrifus dengan
kecepatan 3000 rpm dengan suhu 5 0C selama 10 menit. Larutan yang telah
disentrifus diambil supernatannya. Supernatan yang telah diambil kemudian
dicampur dengan supernatan sebelumnya ± 7.5 mL dan ditambah dengan
heksana 5 mL. Campuran supernatan ini kemudian disentrifus dengan
kecepatan 3000 rpm dengan suhu 5 0C selama 10 menit. Larutan yang telah
disentrifus diambil supernatannya (fase heksana).
Larutan hasil ekstraksi kemudian dimasukkan ke dalam labu evaporator
50 mL kemudian dikeringkan menggunakan evaporator. Residu yang telah
kering dilarutkan dengan 1 mL campuran ammonium asetat 0,01 M dan
asetonitril (8:2) kemudian disaring ke dalam vial gelas 1 mL menggunakan
acrodisc 0.45 µL dan diinjeksikan ke dalam kolom KCKT.
Pembuatan Larutan Stok Standar
Pembuatan larutan stok standar dilakukan dengan cara standar Tylosin
Tartrate ditimbang sebanyak 0.0050 gram, kemudian dilarutkan dengan
asetonitril sehingga diperoleh larutan stok standar tilosin dengan konsentrasi
1000 ppm.
Pembuatan Larutan Standar Kerja
Berdasarkan larutan stok standar 1000 ppm, dibuat larutan standar kerja
konsentrasi 100 ppm sebanyak 1 mL dengan cara menambahkan 900 L fase
gerak campuran ammonium asetat dan asetonitril (8:2) ke dalam 100 L
larutan stok standar 1000 ppm.
Pembuatan larutan kurva standar
Berdasarkan larutan standar 1000 ppm dibuat larutan standar dengan
konsentrasi 5 ppm; 2.5 ppm; 1.25 ppm; 0.625 ppm dan 0,3125 ppm. Setelah
itu, larutan standar siap diinjek ke dalam KCKT dengan fase gerak campuran
ammonium asetat dan asetonitril (8:2).
Optimasi Alat
Sebanyak 20 L larutan sampel diinjeksikan ke dalam alat
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan kondisi alat yang digunakan
adalah:
Detektor
: Detektor UV-VIS
Kolom
: C-18 (Octadecyl Silyl)
Laju alir
: 1 ml/menit
Fase Gerak
: Ammonium asetat : Asetonitril (8:2)
Wavelength
: 280 nm
Sistem
: Fase Terbalik
5
3 KEADAAN UMUM BALAI PENGUJIAN MUTU DAN
SERTIFIKASI PRODUK HEWAN
3.1 Sejarah
Awal berdirinya Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan
dimulai dengan terbitnya SK Menteri No. 466/Kpts/OT.210/1994 tentang dan
Tata Kerja Loka Pengujian Produk Peternakan, berkedudukan di Bogor dengan
wilayah kerja seluruh Indonesia. Tahun 1995/1996, loka pengujian Mutu Produk
Peternakan (LPMPP) untuk sementara berlokasi di Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH), Gunung Sindur, Bogor. Pada tanggal 13
Maret 1998, Sekretaris Direktorat Jendral Peternakan memohon kepada
pemerintah Daerah TK. II – Kota Bogor agar dapat menyediakan lahan untuk
pembangunan laboraturium LPMPP, yang direspon dengan persetujuan
pembangunan laboraturium LPMPP di lokasi RPH Jalan Pemuda No. 29 A,
Bogor. Di tahun 1998-2000, pembangunan laboraturium LPMPP tahap pertama
seluas 480 m2 dengan dana APBN dan OECF.
Pada tanggal 29 Mei 2000, ditandatangani perjanjian kerjasama antara
pemerintahan Kota Bogor dengan Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan
tentang pengelolaan laboraturium LPMPP. Pada tanggal 20 Agustus 2001, status
LPMPP berubah menjadi BPMPP (Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan)
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 459/Kpts/OT.210/8/2001, yang ditanda
tangani oleh Menteri Pertanian, Prof.Dr.Ir Bungaran Saragih, M.Ec. Pada bulan
Agustus 2002 dilakukan pembangunan sarana gedung tahap kedua seluas 414
m2 dengan dana APBN. Pada tanggal 24 Mei 2013, BPMPP berubah menjadi
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/OT.140/5/2013, tentang
Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan
Bogor.
Gambar 1 Logo BPMSPH
6
3.2 Visi dan Misi
3.2.1 Visi
Mewujudkan BPMSPH sebagai lembaga pemeriksaan, pengujian dan
sertifikasi keamanan dan mutu produk hewan nasional yang handal dan bertaraf
internasional.
3.2.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Misi
Meningkatkan pelayanan pemeriksaan, pengujian pemantauan dan mutu
produk hewan dengan menerapkan persyaratan laboratorium yang
diakreditasi.
Meningkatkan kompetensi dan kapasitas laboratorium dalam rangka
menjamin keabsahan atau validitas hasil pengujian dan mewujudkan produk
hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
Melaksanakan sertifikasi keamanan dan mutu produk hewan.
Meningkatkan pemantauan, pengamatan, dan pengawasan dalam rangka
mewujudkan penjaminan produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
Meningkatkan pengembangan teknik dan metode pengujian keamanan dan
mutu produk hewan yang didukung dengan peningkatan sarana dan
prasarana.
Meningkatkan jejaring kerja dengan pelanggan dan stakeholders/lembaga
terkait.
3.3 Kegiatan
Kegiatan aktif yaitu mengambil sampel uji yang berada di pasar-pasar
seluruh wilayah Indonesia, selanjutnya dilakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Memantau dan meninjau kontaminasi mikroba residu
2. Memeriksa sampel susu dari peternakan dan industri pengolahan susu
3. Memeriksa daging sapi lokal dan impor
4. Memeriksa produk makanan asal hewan dan produk turunannya
Kegiatan pasif yaitu menerima sampel uji yang datang dari perusahaan
maupun konsumen lain, selanjutnya dilakukan kegiatan seperti:
1. Menguji sampel yang diterima dari pengguna
2. Aktivitas gabungan yang berkaitan dengan institusi atau laboratorium
Cakupan pemeriksaan meliputi kontaminasi mikroba, residu kuantitaif
hormon dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan
semi kuantitatif antibiotik dengan Bio-assay, analisis proksimat, residu hormon
dan kimia seperti pengujian terhadap kandungan cemaran pestisida, logam berat,
7
formalin, pengawet, dan malachit green maupun pengujian yang bersifat
komersil.
3.4 Tugas dan Fungsi
3.4.1
Tugas
Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 60/Permentan/OT.140/5/2013,
BPMSPH memiliki tugas dalam melakukan pemeriksaan, pengujian dan
sertifikasi, keamanan dan mutu produk hewan.
3.4.2 Fungsi
BPMSPH menjalankan beberapa fungsi dalam pelaksanaan tugasnya, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Penyiapan sampel produk peternakan
Pengujian keamanan produk peternakan
Perumusan hasil-hasil pengujian mutu produk peternakan
Pengembangan teknik dan metode pemeriksaan dan pengujian mutu produk
peternakan. Pelayanan teknik pemeriksaa dan pengujian mutu produk
peternakan
Monitoring dan surveilans mutu produk peternakan
3.5 Lokasi
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan bertempat di Jl.
Pemuda No 29A Tanah Sereal Bogor. Lokasi balai terletak di pinggir dari jalan
raya, berada di sekitar lingkungan kantor pemerintahan. Bangunan balai ini terdiri
atas kantor ruang tamu, mushola, ruang seminar, perpustakaan, ruang penerimaan
sampel, ruang penyimpanan sampel, ruang supply guna mencuci dan sterilisasi
peralatan laboratorium, dan laboratorium yang terdiri atas laboratorium cemaran
mikroba, laboratorium residu bioassay dan laboratorium fisiko kimia.
3.6 Susunan Organisasi
Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 459 /Kpts/OT.210/8/2001 tanggal
20 Agustus 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengujian Mutu Produk
Peternakan. mempunyai susunan organisasi yang terdiri dari:
1.
2.
3.
4.
5.
Kepala balai
Sub Bagian Tata Usaha
Seksi Penyiapan Sampel
Seksi Pelayanan Teknik
Kelompok Jabatan Fungsional
8
Menurut organisasi dan tenaga kerja Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi
Produk Hewan, kepala Balai dalam menjalankan tugasnya melakukan koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi kegiatan di lingkungan masing-masing maupun antar
unit kerja di lingkungan Departemen Pertanian serta dengan instansi lain di luar
Departemen Pertanian sesuai dengan tugas masing-masing.
Sub bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian,
keuangan, surat-menyurat, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga Balai. Seksi
penyiapan sampel mempunyai tugas melakukan penerimaan sampel, pencatatan,
pengemasan, pelabelan, pendistribusian, dokumentasi hasil uji dan pengamatan
sampel produk peternakan. Seksi pelayanan teknik mempunyai tugas melakukan
pelayanan teknik kegiatan pemeriksaan dan pengujian mutu produk peternakan.
Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai
dengan jabatan fungsional masing-masing berdarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kelompok jabatan fungsional yang ada di BPMSPH
terdiri dari Tenaga Kesehatan Dokter Hewan (TKDH), Medik Veteriner,
Paramedik Veteriner, Pengawas Mutu Hasil Pertanian tingkat Terampil dan
Pengawas Mutu Hasil Pertanian tingkat Ahli. Bagan struktur organisasi Balai
Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan dapat dilihat pada Lampiran 1.
4
PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSIN
PADA SUSU SAPI SEGAR SECARA KROMATOGRAFI
CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)
4.1 Antibiotik Tilosin
Penentuan kadar residu antibiotik tilosin dengan KCKT ini dilakukan untuk
mengetahui banyaknya residu tilosin yang masih tertinggal di dalam sampel.
Menurut Yuningsih et al. (2005), tilosin merupakan salah satu antibiotik yang
mempunyai bahan aktif yang efektif dalam pencegahan dan pengobatan pada
hewan sehingga banyak dipergunakan oleh peternak. Antibiotik tilosin juga
merupakan antibiotik yang banyak ditambahkan dalam pakan (feed additives),
untuk meningkatkan produktivitas, disamping untuk pengobatan. Struktur kimia
tilosin dapat dilihat pada Gambar 2.
9
Gambar 2 Struktur Tilosin
Sumber: Martos et al. 2008
Tilosin merupakan antibiotik golongan makrolida yang dihasilkan oleh
Streptomyces fradiae. Makrolida merupakan antibiotik yang biasa digunakan
sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) dan pengobatan penyakit pada
hewan ternak. Makrolida merupakan antibiotik yang efektif untuk membunuh
bakteri gram positif, beberapa bakteri gram negatif dan mikroplasma. Makrolida
bekerja dengan mengganggu proses sintesis protein pada bakteri yang dapat
menganggu pertumbuhan bakteri.
Residu antibiotik golongan tetrasiklin dan penisilin yang terdapat pada
produk asal hewan telah banyak dilaporkan, namun residu antibiotik golongan
makrolida belum banyak dilaporkan, kecuali dari luar negeri (Yuningsih et al.
2005). Padahal antibiotik golongan makrolida termasuk tilosin cukup sering
digunakan oleh peternak. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui adanya
residu antibiotik tilosin pada produk asal hewan, salah satunya adalah susu segar.
4.2 Susu Sapi Segar
Susu merupakan bahan makanan dengan komposisi yang ideal karena susu
mengandung hampir semua zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh dan dapat
diserap oleh darah dengan sempurna. Komposisi susu dapat sangat beragam
tergantung pada beberapa faktor, namun angka rata-rata dan kisaran normal untuk
semua jenis kondisi dan jenis sapi perah adalah sebagai berikut
Tabel 1 Komposisi Rata-Rata dan Kisaran Normal Susu Sapi
Komposisi
Air
Lemak
Protein
Laktosa
Mineral
Jumlah Rata-rata
(%)
87.25
3.80
3.50
4.80
0.65
Jumlah Kisaran
Normal (%)
84.00 – 89.50
2.60 – 6.00
2.80 – 4.00
4.50 – 5.20
0.60 – 0.80
Sumber: Anjarsari 2010
Penanganan susu diperlukan tidak hanya pada produk olahannya saja,
namun sejak proses pemerahan, distribusi, hingga olahannya (Buckle et al. 2009).
10
Susu merupakan hasil utama pada usaha budidaya ternak perah. Susu yang
dihasilkan harus memenuhi syarat ASUH yaitu aman, sehat, utuh, dan halal. Susu
yang baik adalah susu yang mengandung sedikit bakteri, tidak mengandung spora
mikroba patogen, bersih dari debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa
(flavour) yang baik, tidak dipalsukan, dan tidak mengandung residu antibiotik.
Oleh karena itu, penentuan kadar residu tilosin dilakukan untuk memastikan
kualitas susu agar memenuhi syarat ASUH.
Sampel susu segar yang digunakan untuk penentuan kadar residu tilosin
berasal dari beberapa TPS (Tempat Pengumpul Susu) di Kabupaten Bogor.
Penentuan kadar residu antibiotik tilosin pada sampel susu segar terdiri dari
beberapa tahap yaitu proses preparasi dan ekstraksi sampel, pembuatan larutan
standar tilosin, dan analisis sampel ke dalam KCKT.
4.3 Preparasi dan ekstraksi sampel
Tujuan proses ekstraksi adalah untuk memisahkan suatu komponen dari
campurannya dengan menggunakan pelarut. Pada pengujian ini dilakukan proses
ekstraksi pada sampel susu untuk memisahkan komponen tilosin yang akan
dianalisis. Selain itu ekstraksi juga dilakukan untuk menghilangkan bahan-bahan
yang dapat mengganggu analisis.
Pada tahap ekstraksi sampel, sampel susu segar ditimbang kemudian
ditambahkan dengan pelarut organik asetonitril. Asetonitril bersifat polar dan
dapat melarutkan senyawa organik pada susu. Sampel kemudian disonikasi
selama 15 menit untuk memecah interaksi antara komponen sampel sehingga
mampu meningkatkan kelarutan dan dikocok dengan menggunakan shaker selama
10 menit untuk memaksimalkan proses ekstraksi sampel. Larutan sampel
kemudian disentrifus selama 10 menit pada suhu 5 0C. Proses sentrifus dilakukan
untuk memisahkan antara ekstrak tilosin dengan matriks padatan lain yang dapat
mengganggu selama analisis dengan KCKT. Metode ini digunakan untuk
mempercepat proses pengendapan dengan memberikan gaya sentrifugasi pada
partikel-partikelnya. Substansi hasil sentrifugasi terbagi menjadi dua yaitu
supernatan dan pellet. Supernatan adalah substansi hasil sentrifugasi yang
berbobot ringan dan berwarna lebih jernih, sedangkan pellet adalah substansi hasil
sentrifugasi yang berbobot jenis lebih tinggi dan berada dibawah serta berwarna
lebih keruh. Pada tahap ini protein dan sebagian besar lemak pada susu
diendapkan ke bawah sehingga meninggalkan filtrat yang jenih (Dudrikova et al.
1999).
Supernatan yang telah diambil ditambahkan kembali dengan pelarut
asetonitril, disonikasi, dishaker dan disentrifus kembali untuk memaksimalkan
proses ekstraksi dan memastikan seluruh protein dan lemak telah terendapkan.
Supernatan hasil sentrifugasi dicampur dengan supernatan sebelumnya dan
ditambahkan dengan larutan heksana. Larutan heksana digunakan untuk mengikat
lemak yang masih tersisa sehingga tidak mengganggu analisis dengan KCKT.
Setelah dilakukan proses sentrifus, fase asetonitril hasil sentrifus diambil
sedangkan fase heksana dibuang.
11
Larutan hasil ekstraksi kemudian dimasukkan ke dalam labu evaporator dan
dikeringkan dengan menggunakan rotary evaporator. Rotary evaporator bekerja
seperti alat destilasi. Prinsip dari alat tersebut yaitu penurunan tekanan sehingga
pelarut dapat menguap pada suhu di bawah titik didihnya. Evaporasi
menyebabkan suatu pelarut akan menguap dan senyawa yang larut dalam pelarut
tersebut tidak ikut menguap namun mengendap. Senyawa yang terkandung dalam
pelarut tidak rusak oleh suhu tinggi karena pemanasan yang dilakukan di bawah
titik didih pelarut.
Gambar 3 Rotary evaporator
Setelah evaporasi, ekstrak yang telah kering dilarutkan dengan 1 ml
campuran fase gerak ammonium asetat 0,01 M dan asetonitril (8:2). Sebelum
digunakan, gelembung udara pada fase gerak harus dihilangkan dengan cara
sonikasi. Hal ini disebabkan gelembung gas kecil dalam fase gerak dapat
terkumpul di kolom sehingga akan mengganggu analisis. Ekstrak disaring ke
dalam vial gelas 1 ml menggunakan acrodisc 0,45 µl untuk menghilangkan
endapan dari ekstrak dan diinjeksikan ke dalam kolom Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT).
4.4 Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa disebut juga dengan
HighPerformance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan suatu metode
pemisahan suatu campuran menjadi komponen-komponennya diantara fase gerak
dan fase diam (Hendayana S 2006). Berdasarkan fase diamnya, KCKT terbagi
menjadi dua jenis, yaitu fase normal dan fase terbalik. Fase normal menggunakan
fase diam polar dan fase gerak non polar sedangkan fase terbalik menggunakan
fase diam non polar dan fase gerak polar (Harvey 2000).
Fase gerak dan fase diam yang digunakan pada analisis menggunakan
KCKT menggunakan fase yang berupa cairan (liquid). Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT) merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk
analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah
bidang yaitu bidang farmasi, lingkungan, bioteknologi dan industri-industri
12
makanan. KCKT memiliki beberapa keuntungan antara lain analisis yang cepat,
memiliki kepekaan yang tinggi dan daya pisah yang baik (Johnson dan Stevenson
1991). Pada analisis residu tilosin, jenis KCKT yang digunakan adalah KCKT
Agilent 1100 series.
4.4.1 Komponen Alat KCKT
Instrumen KCKT terdiri atas 6 bagian, yaitu wadah fase gerak (reservoir),
pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (coloumn), detektor
(detector) dan perekam (recorder). Masing-masing bagian instrumen KCKT
memiliki sifat dan fungsi yang sangat berpengaruh terhadap analisis suatu
senyawa. Skema alat KCKT dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Skema Alat KCKT
Sumber: McMaster, 2007
1.
2.
3.
4.
Wadah fase gerak
Wadah fase gerak berfungsi untuk menampung fase gerak yang
digunakan untuk membawa komponen campuran menuju ke detektor. Wadah
fase gerak yang digunakan harus bersifat bersih dan inert terhadap fase gerak.
Pelarut atau fase gerak yang digunakan pada analisis residu tilosin adalah
Ammonium asetat dan Asetonitril yang bersifat polar. Hal ini disebabkan
senyawa antibiotik tilosin akan lebih terikat pada senyawa yang polar.
Pompa
Pompa berfungsi untuk mengalirkan fase gerak cair menuju kolom.
Pompa yang digunakan bertekanan tinggi agar zat cair dapat melewati kolom
secara tepat dan harus bersifat inert terhadap fase gerak. Pada analisis residu
tilosin, pompa yang digunakan bertekanan maksimal 400 bar.
Tempat Injeksi Sampel
Sampel-sampel cair disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak
yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik
(injektor). Injektor yang digunakan pada analisis kadar residu tilosin adalah
tempat injeksi secara otomatis (automatic injector).
Kolom
13
5.
6.
Kolom HPLC terdiri dari kolom utama dan kolom pelindung (guard
coloumn). Kolom utama berisi fase diam untuk melakukan pemisahan
campuran menjadi komponen-komponen. Pada pengujian ini digunakan fase
terbalik yaitu fase diam non polar (C 18). Selain kolom utama, terdapat juga
kolom pelindung (guard coloumn) yang merupakan kolom pendek (2-10 cm)
yang dipasang antara injektor dan kolom analitik (Johnson dan Stevenson
1991). Kolom pelindung (guard coloumn) memiliki fungsi untuk menyaring
kotoran yang terbawa oleh fase gerak sebelum masuk ke dalam kolom.
Detektor
Detektor berfungsi untuk mendeteksi komponen-komponen yang telah
dipisahkan oleh kolom. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi
yakni mampu mendeteksi solut dalam jumlah yang kecil, mempunyai respon
yang cepat terhadap solut yang dianalisis, dan tidak peka terhadap perubahan
suhu dan kecepatan alir fase gerak. Detektor UV-Vis merupakan detektor
yang paling luas digunakan karena sensitivitasnya yang tinggi serta mudah
operasinya. Detektor UV–Vis terutama digunakan untuk pendeteksian
senyawa-senyawa organik. Menurut (Martos et al 2008), antibiotik tilosin
memiliki karakteristik serapan UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm.
Perekam
Perekam berfungsi untuk menunjukkan hasil pemisahan komponen
yang telah dideteksi oleh detektor. Perekam (recorder) akan menangkap
sinyal elektronik dari detektor dan menghasilkan kromatogram zat-zat yang
dipisahkan dari suatu sampel.
4.4.2
Prinsip Kerja KCKT
Prinsip dasar KCKT adalah pemisahan komponen-komponen dalam
senyawa berdasarkan interaksi antara fase gerak dan fase diam. Prinsip kerja
KCKT yaitu sampel dialirkan oleh fase gerak cair dengan bantuan pompa melalui
kolom dan menuju ke detektor. Sampel dimasukkan ke dalam aliran fase gerak
dengan cara penyuntikan oleh injektor. Di dalam kolom akan terjadi pemisahan
komponen-komponen campuran karena perbedaan kekuatan interaksi antara
senyawa terhadap fase diam. Senyawa yang kurang kuat interaksinya dengan fase
diam akan keluar dari kolom terlebih dahulu. Sebaliknya, senyawa yang kuat
berinteraksi dengan fase diam akan keluar dari kolom lebih lama. Setiap
komponen campuran yang keluar dari kolom dideteksi oleh detektor kemudian
direkam dalam bentuk kromatogram (Hendayana S 2006). Kromatogram yang
dihasilkan berupa pita-pita dengan puncak yang memiliki luas area dan waktu
retensi.
4.4.3
Kurva Standar Tilosin
Standar Tylosin Tartrate ditimbang dan dibuat standar dengan konsentrasi
5 ppm, 2.5 ppm, 1.25 ppm, 0.625 ppm dan 0.3125 ppm. Larutan diimpitkan
dengan menggunakan fase gerak campuran Ammonium asetat dan Asetonitril
(8:2). Setelah itu, larutan standar siap diinjek ke dalam KCKT. Kromatogram
yang dihasilkan oleh standar Tilosin menghasilkan waktu retensi sebesar 4.865
14
menit. Setelah didapatkan luas puncak dari masing-masing konsentrasi, dibuatlah
kurva standar tilosin seperti pada Gambar 5. Kurva standar tilosin digunakan
untuk menentukan persamaan regresi tilosin untuk menghitung konsentrasi residu
pada sampel. Kurva standar juga digunakan untuk menguji linearitas.
Linearitas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk
memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam contoh
pada kisaran konsentrasi tertentu (AOAC 2002). Linearitas suatu metode analisis
adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian atau korelasi antara respons
detektor dan konsentrasi analit yang beragam, yang dinyatakan sebagai koefisien
korelasi (r). Respons detektor yang digunakan adalah luas area puncak untuk
instrumen KCKT.
Kurva Kalibrasi Tilosin
600
L 500
u
a 400
s 300
f(x) = 102.23 x + 7.3
R² = 1
A 200
r
e 100
a
0
0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Gambar 5 Kurva Kalibrasi Tilosin
Menurut AOAC (2002), nilai koefisien korelasi yang baik adalah lebih besar
dari 0.9900. Berdasarkan data pada Gambar 5, nilai koefisien korelasi yang
diperoleh dari pengukuran adalah r = 0.9998999. Hal ini menandakan bahwa nilai
yang diperoleh telah memenuhi syarat yang ditetapkan dan menunjukkan adanya
hubungan linier antara konsentrasi analit dengan luas puncak sehingga dapat
diketahui juga bahwa detektor yang digunakan memberi respon yang baik.
4.4.4 Persen Recovery
Penentuan persen recovery digunakan untuk mengetahui berapa banyak
komponen analisis yang dapat hilang akibat proses preparasi sehingga dapat
menyatakan keakuratan metode. Nilai persen recovery yang besar menyatakan
semakin sedikit komponen yang hilang akibat preparasi yang dilakukan sehingga
hasil yang diperoleh lebih akurat. Penentuan persen recovery dapat dilakukan
dengan menambahkan sejumlah tertentu analit ke dalam sampel kemudian
diperiksa dengan menggunakan metode analisis. Hasil tersebut kemudian
dibandingkan dengan hasil analisis tanpa penambahan analit. Persen recovery
dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang
sebenarnya. Kromatogram sampel recovery dapat dilihat pada Gambar 6.
Luas Area (mAU)
15
waktu retensi (menit)
Gambar 6 Kromatogram sampel recovery
Persen recovery ditentukan berdasarkan hasil analisis dari sampel recovery.
Sampel recovery merupakan suatu sampel yang ditambahkan standar tilosin
dengan konsentrasi tertentu. Percobaan ini menggunakan penambahan larutan
standar tilosin 1 ppm pada sampel recovery. Sampel recovery diberi perlakuan
yang sama dengan sampel lain dan diinjek ke dalam KCKT.
Tabel 2 Persen recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
Konsentrasi Analit
100 %
10 %
1%
0.1 %
0.01 %
10 ppm
1 ppm
10 ppb
Persen recovery (%)
98-101
95-102
92-105
90-108
85-110
80-115
75-120
70-125
Sumber: AOAC 2002
Persen recovery yang diperoleh pada pengentuan kadar residu tilosin pada
susu sapi segar adalah 88.41 %. Menurut AOAC (2002), nilai persen recovery
ditentukan berdasarkan konsentrasi analit pada matrik sampel, untuk konsentrasi
analit yang ditambahkan 1 ppm berada dalam kisaran 75-120%. Nilai persen
recovery yang mendekati 100% menunjukkan bahwa metode tersebut memiliki
ketepatan yang baik dalam menunjukkan tingkat kesesuaian dari rata-rata suatu
pengukuran yang sebanding dengan nilai sebenarnya
4.4.5 Hasil Penentuan Kadar Residu Tilosin
Selain larutan standar tilosin, sebanyak 11 sampel susu sapi segar dan 1
sampel+standar untuk recovery diinjek ke dalam KCKT. Penentuan kadar residu
tilosin pada sampel susu sapi segar ini digunakan berdasarkan acuan dari Batas
Maksimum Residu/Maximum Residu Limit (MRL) yaitu sebesar 100 g/kg untuk
susu sapi. Hasil analisis tidak digunakan berdasarkan acuan Batas Maksimum
16
Residu (BMR) pada SNI 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Residu dalam
Bahan Makanan Asal Hewan. Hal ini disebabkan pada SNI 01-6366-2000 hanya
terdapat batas maksimum residu tilosin daging dan telur pada produk hewan.
Hasil penentuan kadar residu tilosin pada susu sapi segar dapat dilihat pada
Gambar 7.
Kadar Residu Tilosin pada Susu Sapi Segar
400
Konsentrasi (g/kg)
350
300
250
Tilosin sampel (ug/kg)
MRL Tilosin Codex (ug/
kg)
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sampel
Gambar 7 Kadar Residu Tilosin pada Susu Sapi Segar
Berdasarkan hasil pada Gambar 7, terdapat 10 sampel positif mengandung
residu antibiotik tilosin dan hanya terdapat 1 sampel yang negatif mengandung
residu antibiotik tilosin. Apabila dibandingkan dengan Maximum Residue Limit
(MRL) yang ditentukan oleh Codex Alimentarius Commision, terdapat 7 dari 10
sampel positif residu antibiotik tilosin yang melebihi MRL yang telah ditetapkan.
Hal ini menyebabkan sampel susu segar tersebut tidak layak untuk dikonsumsi
oleh masyarakat atau diolah kembali menjadi produk olahan susu. Hasil
pengukuran kadar residu tilosin pada susu sapi segar yang mencakup waktu
retensi (menit), luas area (mAU), konsentrasi (ppm) dan kadar residu ¿/kg) dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil pengukuran kadar residu tilosin pada susu sapi segar
Sampel
1
2
3
4
5
6
7
Waktu Retensi
(menit)
4.858
4.825
4.812
4.806
4.812
4.845
4.853
Luas Area
(mAU)
73.28021
59.03197
59.86490
33.64970
28.60169
85.86108
56.40864
Konsentrasi
(ppm)
0.6453
0.5060
0.5141
0.2577
0.2083
0.7684
0.4803
Kadar Residu
(ug/kg)
320.1369
240.0152
245.2299
121.5509
102.8083
379.5208
229.6208
Ket
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
17
8
9
10
11
4.867
4.869
4.859
4.865
13.87305
7.38930
8.61280
-
0.0643
0.0008
0.0128
-
30.4641
0.3795
6.0729
-
Positif
Positif
Positif
Negatif
4.5 Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi Segar
Residu antibiotik tilosin yang ditemukan pada susu sapi dipengaruhi oleh
penggunaan tilosin pada hewan ternak. Tilosin sering ditambahkan ke dalam
pakan (feed additive) sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan (growth
promotor). Selain digunakan sebagai growth promotor, tilosin juga sering
digunakan sebagai pengobatan yang akan berpengaruh terhadap kuman penyebab
penyakit. Kematian kuman oleh antibiotik dapat disebabkan oleh terikatnya
antibiotik dengan dinding sel, membran sel atau pada reseptor di dalam kuman.
Hal ini terjadi karena antibiotik mampu menghambat sintesis dinding sel kuman
atau mengubah struktur (susunan) dinding sel, mengganggu fungsi sel membran,
dan mempengaruhi sintesis protein atau metabolisme asam nukleat (Subronto dan
Tjahajati 2008). Berdasarkan cara kerjanya, tilosin termasuk ke dalam golongan
antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis protein pada bakteri.
Food and Drug Administation atau FDA (2009) menyatakan bahwa
penggunaan tilosin untuk pengobatan digunakan untuk penyakit pernafasan, footrot (infeksi pada kulit dan jaringan lunak di sekitar belahan kuku sapi) dan
penyakit metritis pada sapi potong dan sapi perah. Metritis merupakan penyakit
infeksi pada rahim yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada sapi perah, tilosin
juga kadang-kadang digunakan secara topikal untuk mengatasi infeksi saluran
kelamin dan penyakit mata pink eye (Subronto dan Tjahajati 2008).
Keberadaan antibiotik di dalam susu juga biasanya dihubungkan dengan
pengobatan mastitis pada sapi. Hal ini disebabkan tingkat prevalensi penyakit
mastitis cukup tinggi di Indonesia. Mastitis merupakan penyakit radang pada
kelenjar mammae hewan betina yang disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut
Jayarao dan Wolfgang (2004), bakteri patogen penyebab mastitis terdiri atas tiga
jenis bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan
Mycoplasma bovis. Tilosin merupakan antibiotik makrolida berspektrum luas
yang juga dapat digunakan sebagai pengobatan mastitis pada sapi (Dudrikova et
al. 1999).
Pengobatan tilosin dapat dilakukan secara oral dan parental. Setelah
melewati proses absorbsi dan transportasi, tilosin akan didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh termasuk otot, hati dan ginjal. Antibiotik yang diberikan pada
hewan ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah. Sebagian obat akan mencapai
organ tubuh yang menjadi sasaran kerja dari obat di dalam sirkulasi darah tersebut
sehingga penyakit dapat diobati.
Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses eliminasi yang berlangsung
lama. Apabila antibiotik yang telah diberikan masih tersisa dalam bentuk
metabolit atau bahan aktifnya, antibiotik akan menimbun pada produk hewan
ternak seperti daging, hati, ginjal, dan paru-paru. Timbunan dari senyawa atau
metabolit dari antibiotik dalam tubuh dapat menyebabkan residu. Tilosin
18
didisitribusikan ke seluruh tubuh terutama melalui cairan dan jaringan. Adanya
tilosin dalam susu dapat disebabkan karena tilosin lebih banyak diekskresikan
bersamaan dengan susu pada sapi yang sedang mengalami masa laktasi. Tilosin
merupakan antibiotik golongan makrolida yang dieksreksikan terutama melalui
empedu namun sekitar 50% dapat ditemukan di dalam susu.
Residu antibiotik yang terdapat pada susu dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, peternak belum paham mengenai waktu henti obat (withdrawal
time) antibiotik tilosin, artinya ternak dipotong sebelum waktu henti antibiotik
habis di dalam tubuh ternak dan belum dieksresikan secara sempurna. Selain itu,
banyak peternak yang dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhannya atau karena
desakan ekonomi, padahal peternak itu mengetahui tentang ilmu dan cara
penggunaan antibiotik (Murdiati dan Bahri 1991).Waktu henti adalah kurun waktu
dari saat pemberian obat yang terakhir hingga ternak boleh dipotong atau
produknya seperti daging, telur dan susu boleh dikonsumsi. Menurut Subronto
dan Tjahajati (2008), waktu henti antibiotik tilosin yang diberikan pada sapi
adalah 8 hari sehingga peternak dapat menggunakan susu sapi untuk digunakan
atau dijual ke koperasi setelah 8 hari dari pemberian antibiotik tilosin. Kedua,
adanya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan spesies ternak. Beberapa
peternak menggunakan antibiotik pada semua spesies ternak, tanpa
memperhatikan kesesuaian antara jenis antibiotik dan spesies ternak. Ketiga, dosis
antibiotik yang digunakan pada hewan ternak melebihi dosis yang telah ditetapkan
sehingga menyebabkan timbulnya residu pada susu.
Kusumaningsih et al. (1996) mengungkapkan hanya 20% peternak sapi
perah di Jawa Barat yang mengetahui jenis obat yang digunakan oleh petugas
Dinas Peternakan atau koperasi. Setelah itu, dari 20% tersebut hanya 14.28% yang
mengetahui waktu henti obat (withdrawal time), dan yang mematuhi waktu henti
obat dengan tidak menjual susu ke koperasi setelah pengobatan hanya 8.16%.
Kesalahan penggunaan antibiotik yang dilakukan oleh peternak dapat disebabkan
oleh pengetahuan peternak yang kurang akan dampak akan kesehatan masyarakat
akibat mengkonsumsi produk hewan yang mengandung residu antibiotik dan tidak
ada pengawasan atau penyuluhan dalam penggunaan antibiotika di peternakan.
4.6 Dampak Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Kehadiran residu antibiotik tilosin pada susu dapat menjadi perhatian
besar karena berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan
kerugian pada peternak. Semakin besar penggunaan antibiotik, baik untuk
pengobatan maupun sebagai imbuhan pakan, semakin besar pula manfaat yang
diperoleh namun semakin besar resiko dalam keamanan pangan. Kehadiran residu
antibiotik tilosin pada susu dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang
mengkonsumsi produk tersebut. Residu antibiotik dalam makanan dan
penggunaannya dalam bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek
kesehatan masyarakat veteriner dan aspek ekonomi.
Ancaman potensial residu antibiotik pada susu sapi segar terhadap dampak
kesehatan dibagi tiga kategori, yaitu aspek toksikologis, aspek mikrobiologis dan
19
aspek imunopatologis. Berdasarkan aspek toksikologis, residu antibiotik ber
PADA SUSU SAPI SEGAR SECARA KCKT
DI BPMSPH BOGOR
DINA CROWNIA
PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
i
PERNYATAAN MENGENAI LAPORAN TUGAS AKHIR DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan laporan Tugas Akhir dengan judul Penentuan Kadar
Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing serta pembimbing
lapang dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir laporan ini.
Bogor, Juli 2014
Dina Crownia
J3E111087
ii
iii
RINGKASAN
DINA CROWNIA. Penentuan Kadar Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor. Dibimbing oleh PURANA
INDRAWAN.
Susu merupakan bahan makanan utama dengan nilai gizi yang tinggi, karena
mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh. Kualitas susu akan
berkurang jika susu mengandung bahan lain yang dapat menganggu kesehatan,
contohnya residu antibiotik tilosin. Tilosin merupakan salah satu antibiotik
golongan makrolida yang sering ditambahkan pada hewan ternak sebagai
pengobatan dan bahan tambahan pakan untuk pemacu pertumbuhan atau growth
promotor.
Pemakaian obat-obatan antibiotik pada hewan ternak yang terus menerus
akan menyebabkan residu antibiotik dalam produk hewan. Residu antibiotik dapat
menyebabkan reaksi alergi, resistensi, keracunan, kegagalan dan penolakan
produk. Penentuan kadar residu antibiotik tilosin pada susu segar dilakukan
dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Berdasarkan hasil analisis, terdapat 10 sampel positif mengandung residu
antibiotik tilosin dan hanya terdapat 1 sampel yang negatif mengandung residu
antibiotik tilosin. Apabila dibandingkan dengan Maximum Residue Limit (MRL)
yang ditentukan oleh Codex Alimentarius Commision yaitu 100 g/kg, terdapat 7
dari 10 sampel positif residu antibiotik tilosin yang melebihi MRL yang telah
ditetapkan. Hal ini menyebabkan sampel susu segar tersebut tidak layak untuk
dikonsumsi oleh masyarakat atau diolah kembali menjadi produk olahan susu.
Residu antibiotik yang terdapat pada susu dapat disebabkanpeternak belum
paham mengenai waktu henti obat (withdrawal time) antibiotik tilosin,
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan spesies ternak dan dosis
antibiotik yang digunakan pada hewan ternak melebihi dosis yang telah ditetapkan
sehingga menyebabkan timbulnya residu pada susu. Residu antibiotik tilosin pada
susu sapi segar dapat dicegah dengan cara menerapkan Good Farming Practices
(GFP), pengawasan dari pemerintah dan penerapan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) pada industri pengolahan susu.
Kurva standar tilosin dengan konsentrasi 5 ppm, 2.5 ppm, 1.25 ppm, 0.625
ppm dan 0.3125 ppm menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0.9998999.
Penentuan persen recovery pada sampel recovery menghasilkan nilai sebesar
88.41% yang menandakan bahwa metode penentuan kadar residu tilosin memiliki
linearitas dan persen recovery yang baik.
Kata kunci: antibiotik, tilosin, susu, KCKT
iv
v
PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSIN
PADA SUSU SAPI SEGAR SECARA KCKT
DI BPMSPH BOGOR
DINA CROWNIA
Laporan Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ahli Madya pada
Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan
PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
vi
vii
Judul Tugas Akhir : Penentuan Kadar Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor
Nama
: Dina Crownia
NIM
: J3E111087
Disetujui oleh
Ir Purana Indrawan, MP
Pembimbing I
Dr. drh. Puji Rahayu
Pembimbing II
Diketahui oleh
Ir CC Nurwitri, DAA
Koodinator Program Keahlian
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir
(TA) dengan judul “Penentuan Kadar Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Segar secara KCKT di BPMSPH Bogor”. Laporan Tugas Akhir ini disusun
berdasarkan hasil Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan pada 3 Maret
2014 sampai 31 Mei 2014 di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan
(BPMSPH). Pembuatan laporan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mendapatkan
gelar Ahli Madya pada Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan.
Selama penyusunan laporan ini, penulis telah mendapat berbagai ilmu
pengetahuan terkait pengujian mutu produk hewan dan berbagai bantuan baik
berupa informasi, saran maupun dukungan moral dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan keluarga yang telah
memberikan doa dan dukungan penuh kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada bapak Ir. Purana Indrawan, MP sebagai dosen pembimbing
dan ibu Dr. drh. Puji Rahayu sebagai pembimbing lapangan yang telah
mengarahkan dan memberikan banyak saran dan bimbingan dalam penulisan
laporan Tugas Akhir. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh
staff Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) atas
bimbingan, arahan dan kerjasamanya selama kegiatan Praktik Kerja Lapangan.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Devi Ratnaningrum dan Dwi
Herlambang selaku teman satu tempat PKL, kepada Tressa, Elza, Rika, Destry,
Yudith, Raden Harya, Zulvana, Yolanda, Intan, Ica, Novi dan rekan-rekan
Supervisor Jaminan Mutu Pangan 48 yang selalu memberikan motivasi dan
dukungan selama kegiatan PKL sampai penyusunan Laporan Tugas Akhir.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan, baik dalam penyusunan maupun penulisan. Oleh
karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Bogor, Juni 2014
Dina Crownia
ix
x
DAFTAR ISI
1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Tujuan...................................................................................................2
2
METODE KAJIAN........................................................................................2
2.1 Lokasi dan Waktu Praktik Kerja Lapangan..........................................2
2.2 Teknik Pengumpulan Data....................................................................2
2.2.1 Pengumpulan Data Primer...........................................................2
2.2.2 Pengumpulan Data Sekunder.......................................................3
2.3 Metode Analisa.....................................................................................3
2.3.1 Alat dan Bahan............................................................................3
2.3.2 Metode Percobaan.......................................................................3
3
KEADAAN UMUM BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI
PRODUK HEWAN........................................................................................5
3.1 Sejarah...................................................................................................5
3.2 Visi dan Misi.........................................................................................6
3.2.1 Visi...............................................................................................6
3.2.2 Misi..............................................................................................6
3.3 Kegiatan................................................................................................6
3.4 Tugas dan Fungsi..................................................................................7
3.4.1 Tugas...........................................................................................7
3.4.2 Fungsi..........................................................................................7
3.5 Lokasi....................................................................................................7
3.6 Susunan Organisasi...............................................................................7
4
PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSIN PADA SUSU
SAPI SEGAR SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
(KCKT)...........................................................................................................8
4.1 Antibiotik Tilosin...............................................................................................8
4.2 Susu Sapi Segar..................................................................................................9
4.3 Preparasi dan ekstraksi sampel...........................................................10
4.4 Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).............11
4.4.1 Komponen Alat KCKT..............................................................11
4.4.2 Prinsip Kerja KCKT..................................................................13
4.4.3 Kurva Standar Tilosin................................................................13
4.4.4
Persen Recovery........................................................................14
4.4.5 Hasil Penentuan Kadar Residu Tilosin......................................15
4.5 Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi Segar................................17
4.6 Dampak Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi............................18
4.7 Upaya Pencegahan Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi...........19
5
SIMPULAN DAN SARAN.........................................................................20
5.1 Simpulan.............................................................................................20
5.2 Saran...................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
xi
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
Logo BPMSPH
Struktur Tilosin
Rotary evaporator
Skema Alat KCKT
Kurva Kalibrasi Tilosin
Kadar Residu Tilosin pada Susu Sapi Segar
Kromatogram sampel recovery
5
8
11
12
14
16
14
DAFTAR TABEL
1
2
3
Komposisi Rata-Rata dan Kisaran Normal Susu Sapi
Hasil pengukuran kadar residu tilosin pada susu sapi segar
Persen recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
9
16
15
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Struktur Organisasi Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk
Pembuatan Larutan Standar Tilosin dan Fase Gerak
Hasil Pengukuran Standar Tilosin 5 ppm, 2.5 ppm, 1.25 ppm, 3.125 ppm
dan 0,625 ppm
Kromatogram Sampel Susu Sapi Segar
Contoh Perhitungan Konsentrasi Sampel
Contoh Perhitungan Kadar Residu Tilosin
Penentuan Persen Recovery
25
26
28
29
29
29
30
xii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Susu merupakan bahan makanan utama dengan nilai gizi yang tinggi, karena
mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh. Susu mengandung
komponen yang sangat penting seperti lemak, protein susu, laktosa, mineral, dan
vitamin. Susu mengandung vitamin yang larut air (vitamin B dan C) dan vitamin
yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K). Susu harus tetap dijaga
kualitasnya dan perlu perhatian yang intensif untuk keamanan produk susu agar
dapat memenuhi ketersediaan susu dan kelayakan untuk dikonsumsi.
Kualitas susu akan berkurang jika susu mengandung bahan lain yang dapat
mengganggu kesehatan. Hal ini membutuhkan perhatian khusus karena susu
merupakan sumber utama yang rentan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh
gangguan tersebut. Gangguan kesehatan pada susu dapat disebabkan oleh cemaran
mikrobiologi dan residu antibiotik.
Menurut Subronto dan Tjahajati (2008), antibiotik adalah senyawa kimia
yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang memiliki khasiat untuk menghentikan
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lainnya. Antibiotik dipakai secara
luas dalam industri peternakan dengan tujuan untuk pengobatan, sehingga dapat
mengembalikan kondisi ternak menjadi normal kembali (sehat). Antibiotik juga
dapat digunakan sebagai bahan tambahan pakan (feed additives) untuk memacu
pertumbuhan pada hewan ternak (growth promotor). Berdasarkan struktur
kimianya, antibiotik dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu
golongan β laktam, golongan aminoglikosida, golongan tetrasiklin, golongan
kloramfenikol dan golongan makrolida.
Salah satu antibiotik golongan makrolida yang sering digunakan adalah
tilosin. Tilosin merupakan salah satu antibiotik golongan makrolida yang sering
ditambahkan pada hewan ternak sebagai pengobatan dan growth promotor.
Pemakaian obat-obatan antibiotik pada hewan ternak yang terus menerus dan
tidak memperhatikan waktu henti antibiotik (withdrawal time) dalam industri
peternakan akan menyebabkan residu antibiotik dalam produk hewan. Residu
antibiotik dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan kemungkinan
keracunan (Yuningsih 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan penentuan kadar
residu antibiotik tilosin pada susu segar.
Sampel yang digunakan adalah sampel susu sapi segar dari beberapa
Tempat Penampungan Susu (TPS) di Kabupaten Bogor. Residu antibiotik pada
susu segar dapat diukur dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan suatu metode
pemisahan komponen yang digunakan secara luas dalam berbagai bidang di
antaranya bidang farmasi, lingkungan, dan industri makanan.
2
1.2 Tujuan
Tujuan umum dalam melakukan Praktik Kerja Lapangan adalah untuk
memberikan gambaran nyata aplikasi ilmu yang diperoleh selama kuliah dan
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar, bekerja dan
berinteraksi secara profesional dalam suasana kerja. Selain itu, Praktik Kerja
Lapangan dilakukan untuk memberikan pengalaman bagi mahasiswa mengenai
gambaran langsung kegiatan pengujian fisiko kimia pada produk hewan. Tujuan
khusus dalam melakukan Paraktik Kerja Lapangan adalah untuk mempelajari,
mengetahui serta menentukan kadar residu antibiotik tilosin pada susu sapi segar
secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
2 METODE KAJIAN
2.1 Lokasi dan Waktu Praktik Kerja Lapangan
Kegiatan Praktik Kerja Lapangan ini dilaksanakan di Balai Pengujian Mutu
dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) yang beralamat di Jalan Pemuda No.
29A Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi
Jawa Barat 16161. Pelaksanaan waktu Praktik Kerja Lapangan dilakukan mulai
tanggal 3 Maret 2014 sampai dengan 31 Mei 2014.
2.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang bersifat objektif maka digunakan suatu
metode atau teknik yang bertujuan agar didapat data-data yang sesuai dengan apa
yang diharapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
2.2.1 Pengumpulan Data Primer
Data primer adalah data yang didapatkan dari sumbernya secara langsung.
Metode pengumpulan data primer ini akan dilakukan dengan cara terjun langsung
dalam kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) diantaranya:
1.
2.
Terjun langsung bekerja dalam kegiatan pengujian mutu pada produk hewan
secara fisiko kimia.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengobservasi kegiatan di lapangan
mengenai aspek pengujian kadar residu tilosin pada susu sapi segar secara
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
3
3.
Data yang diperoleh dalam metode ini berdasarkan wawancara langsung
dengan pimpinan, pembimbing, teknisi laboratorium, pekerja dan juga pihak
terkait untuk mengetahui data yang berkaitan dengan penentuan kadar residu
tilosin pada susu sapi segar.
2.2.2 Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung. Metode
pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara memperoleh informasi melalui
sumber lain yang berhubungan dengan penentuan kadar residu tilosin secara
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) seperti studi pustaka pada buku, jurnal
dan searching internet.
2.3 Metode Analisa
Metode analisa dapat dilakukan dengan baik dan benar jika alat dan bahan
serta metode kerja dijalankan sesuai dengan ketentuan. Alat dan bahan serta
metode kerja yang dilakukan dalam pengujian kadar residu tilosin pada susu sapi
segar, yaitu:
2.3.1
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah neraca analitik, vortex, tabung sentrifuse,
pipet tetes, pipet mikro 1000 µL, pipet mikro 5000 µL, gelas piala 100 mL,
corong gelas, filter 0.45 µm, syringe berfilter 0.45 µm, botol akuades, botol vial,
rotary evaporator, labu volumetrik 500 ml, labu evaporator, sudip, sonikator,
kolom KCKT fase terbalik dan KCKT Agilent.
Bahan-bahan yang digunakan adalah susu sapi segar, heksana, asetonitril,
standar Tylosin Tartrate serta campuran fase gerak ammonium asetat 0.01 M dan
asetonitril (8:2).
2.3.2
Metode Percobaan
Penentuan kadar residu tilosin ditentukan dengan pemisahan menggunakan
kolom C18, fase gerak campuran ammonium asetat 0.01 M dan asetonitril (8:2),
laju alir 1 mL/menit, volume injeksi 20 µL dan panjang gelombang 280 nm. Hasil
yang diperoleh dibandingkan dengan standar.
1.
Preparasi dan Ekstraksi Sampel Susu Sapi Segar
Sampel susu sapi segar ditimbang sebanyak ± 2 gram, kemudian
ditambahkan dengan 5 mL asetonitril dan disonikasi selama 15 menit. Setelah
itu larutan dikocok dengan menggunakan shaker selama 10 menit dengan
kecepatan 400 rpm dan dikocok dengan menggunakan vortex. Larutan sampel
kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm dengan suhu 5 0C selama
10 menit. Larutan yang telah disentrifus diambil supernatannya.
4
2.
3.
4.
5.
Pellet larutan hasil sentrifugasi kemudian dicampur dengan 2.5 mL
Asetonitril dan disonikasi selama 15 menit. Setelah itu larutan dikocok
dengan shaker selama 10 menit dengan kecepatan 400 rpm dan dikocok
dengan menggunakan vortex. Larutan sampel kemudian disentrifus dengan
kecepatan 3000 rpm dengan suhu 5 0C selama 10 menit. Larutan yang telah
disentrifus diambil supernatannya. Supernatan yang telah diambil kemudian
dicampur dengan supernatan sebelumnya ± 7.5 mL dan ditambah dengan
heksana 5 mL. Campuran supernatan ini kemudian disentrifus dengan
kecepatan 3000 rpm dengan suhu 5 0C selama 10 menit. Larutan yang telah
disentrifus diambil supernatannya (fase heksana).
Larutan hasil ekstraksi kemudian dimasukkan ke dalam labu evaporator
50 mL kemudian dikeringkan menggunakan evaporator. Residu yang telah
kering dilarutkan dengan 1 mL campuran ammonium asetat 0,01 M dan
asetonitril (8:2) kemudian disaring ke dalam vial gelas 1 mL menggunakan
acrodisc 0.45 µL dan diinjeksikan ke dalam kolom KCKT.
Pembuatan Larutan Stok Standar
Pembuatan larutan stok standar dilakukan dengan cara standar Tylosin
Tartrate ditimbang sebanyak 0.0050 gram, kemudian dilarutkan dengan
asetonitril sehingga diperoleh larutan stok standar tilosin dengan konsentrasi
1000 ppm.
Pembuatan Larutan Standar Kerja
Berdasarkan larutan stok standar 1000 ppm, dibuat larutan standar kerja
konsentrasi 100 ppm sebanyak 1 mL dengan cara menambahkan 900 L fase
gerak campuran ammonium asetat dan asetonitril (8:2) ke dalam 100 L
larutan stok standar 1000 ppm.
Pembuatan larutan kurva standar
Berdasarkan larutan standar 1000 ppm dibuat larutan standar dengan
konsentrasi 5 ppm; 2.5 ppm; 1.25 ppm; 0.625 ppm dan 0,3125 ppm. Setelah
itu, larutan standar siap diinjek ke dalam KCKT dengan fase gerak campuran
ammonium asetat dan asetonitril (8:2).
Optimasi Alat
Sebanyak 20 L larutan sampel diinjeksikan ke dalam alat
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan kondisi alat yang digunakan
adalah:
Detektor
: Detektor UV-VIS
Kolom
: C-18 (Octadecyl Silyl)
Laju alir
: 1 ml/menit
Fase Gerak
: Ammonium asetat : Asetonitril (8:2)
Wavelength
: 280 nm
Sistem
: Fase Terbalik
5
3 KEADAAN UMUM BALAI PENGUJIAN MUTU DAN
SERTIFIKASI PRODUK HEWAN
3.1 Sejarah
Awal berdirinya Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan
dimulai dengan terbitnya SK Menteri No. 466/Kpts/OT.210/1994 tentang dan
Tata Kerja Loka Pengujian Produk Peternakan, berkedudukan di Bogor dengan
wilayah kerja seluruh Indonesia. Tahun 1995/1996, loka pengujian Mutu Produk
Peternakan (LPMPP) untuk sementara berlokasi di Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH), Gunung Sindur, Bogor. Pada tanggal 13
Maret 1998, Sekretaris Direktorat Jendral Peternakan memohon kepada
pemerintah Daerah TK. II – Kota Bogor agar dapat menyediakan lahan untuk
pembangunan laboraturium LPMPP, yang direspon dengan persetujuan
pembangunan laboraturium LPMPP di lokasi RPH Jalan Pemuda No. 29 A,
Bogor. Di tahun 1998-2000, pembangunan laboraturium LPMPP tahap pertama
seluas 480 m2 dengan dana APBN dan OECF.
Pada tanggal 29 Mei 2000, ditandatangani perjanjian kerjasama antara
pemerintahan Kota Bogor dengan Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan
tentang pengelolaan laboraturium LPMPP. Pada tanggal 20 Agustus 2001, status
LPMPP berubah menjadi BPMPP (Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan)
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 459/Kpts/OT.210/8/2001, yang ditanda
tangani oleh Menteri Pertanian, Prof.Dr.Ir Bungaran Saragih, M.Ec. Pada bulan
Agustus 2002 dilakukan pembangunan sarana gedung tahap kedua seluas 414
m2 dengan dana APBN. Pada tanggal 24 Mei 2013, BPMPP berubah menjadi
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/OT.140/5/2013, tentang
Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan
Bogor.
Gambar 1 Logo BPMSPH
6
3.2 Visi dan Misi
3.2.1 Visi
Mewujudkan BPMSPH sebagai lembaga pemeriksaan, pengujian dan
sertifikasi keamanan dan mutu produk hewan nasional yang handal dan bertaraf
internasional.
3.2.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Misi
Meningkatkan pelayanan pemeriksaan, pengujian pemantauan dan mutu
produk hewan dengan menerapkan persyaratan laboratorium yang
diakreditasi.
Meningkatkan kompetensi dan kapasitas laboratorium dalam rangka
menjamin keabsahan atau validitas hasil pengujian dan mewujudkan produk
hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
Melaksanakan sertifikasi keamanan dan mutu produk hewan.
Meningkatkan pemantauan, pengamatan, dan pengawasan dalam rangka
mewujudkan penjaminan produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
Meningkatkan pengembangan teknik dan metode pengujian keamanan dan
mutu produk hewan yang didukung dengan peningkatan sarana dan
prasarana.
Meningkatkan jejaring kerja dengan pelanggan dan stakeholders/lembaga
terkait.
3.3 Kegiatan
Kegiatan aktif yaitu mengambil sampel uji yang berada di pasar-pasar
seluruh wilayah Indonesia, selanjutnya dilakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Memantau dan meninjau kontaminasi mikroba residu
2. Memeriksa sampel susu dari peternakan dan industri pengolahan susu
3. Memeriksa daging sapi lokal dan impor
4. Memeriksa produk makanan asal hewan dan produk turunannya
Kegiatan pasif yaitu menerima sampel uji yang datang dari perusahaan
maupun konsumen lain, selanjutnya dilakukan kegiatan seperti:
1. Menguji sampel yang diterima dari pengguna
2. Aktivitas gabungan yang berkaitan dengan institusi atau laboratorium
Cakupan pemeriksaan meliputi kontaminasi mikroba, residu kuantitaif
hormon dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan
semi kuantitatif antibiotik dengan Bio-assay, analisis proksimat, residu hormon
dan kimia seperti pengujian terhadap kandungan cemaran pestisida, logam berat,
7
formalin, pengawet, dan malachit green maupun pengujian yang bersifat
komersil.
3.4 Tugas dan Fungsi
3.4.1
Tugas
Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 60/Permentan/OT.140/5/2013,
BPMSPH memiliki tugas dalam melakukan pemeriksaan, pengujian dan
sertifikasi, keamanan dan mutu produk hewan.
3.4.2 Fungsi
BPMSPH menjalankan beberapa fungsi dalam pelaksanaan tugasnya, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Penyiapan sampel produk peternakan
Pengujian keamanan produk peternakan
Perumusan hasil-hasil pengujian mutu produk peternakan
Pengembangan teknik dan metode pemeriksaan dan pengujian mutu produk
peternakan. Pelayanan teknik pemeriksaa dan pengujian mutu produk
peternakan
Monitoring dan surveilans mutu produk peternakan
3.5 Lokasi
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan bertempat di Jl.
Pemuda No 29A Tanah Sereal Bogor. Lokasi balai terletak di pinggir dari jalan
raya, berada di sekitar lingkungan kantor pemerintahan. Bangunan balai ini terdiri
atas kantor ruang tamu, mushola, ruang seminar, perpustakaan, ruang penerimaan
sampel, ruang penyimpanan sampel, ruang supply guna mencuci dan sterilisasi
peralatan laboratorium, dan laboratorium yang terdiri atas laboratorium cemaran
mikroba, laboratorium residu bioassay dan laboratorium fisiko kimia.
3.6 Susunan Organisasi
Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 459 /Kpts/OT.210/8/2001 tanggal
20 Agustus 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengujian Mutu Produk
Peternakan. mempunyai susunan organisasi yang terdiri dari:
1.
2.
3.
4.
5.
Kepala balai
Sub Bagian Tata Usaha
Seksi Penyiapan Sampel
Seksi Pelayanan Teknik
Kelompok Jabatan Fungsional
8
Menurut organisasi dan tenaga kerja Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi
Produk Hewan, kepala Balai dalam menjalankan tugasnya melakukan koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi kegiatan di lingkungan masing-masing maupun antar
unit kerja di lingkungan Departemen Pertanian serta dengan instansi lain di luar
Departemen Pertanian sesuai dengan tugas masing-masing.
Sub bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian,
keuangan, surat-menyurat, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga Balai. Seksi
penyiapan sampel mempunyai tugas melakukan penerimaan sampel, pencatatan,
pengemasan, pelabelan, pendistribusian, dokumentasi hasil uji dan pengamatan
sampel produk peternakan. Seksi pelayanan teknik mempunyai tugas melakukan
pelayanan teknik kegiatan pemeriksaan dan pengujian mutu produk peternakan.
Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai
dengan jabatan fungsional masing-masing berdarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kelompok jabatan fungsional yang ada di BPMSPH
terdiri dari Tenaga Kesehatan Dokter Hewan (TKDH), Medik Veteriner,
Paramedik Veteriner, Pengawas Mutu Hasil Pertanian tingkat Terampil dan
Pengawas Mutu Hasil Pertanian tingkat Ahli. Bagan struktur organisasi Balai
Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan dapat dilihat pada Lampiran 1.
4
PENENTUAN KADAR RESIDU ANTIBIOTIK TILOSIN
PADA SUSU SAPI SEGAR SECARA KROMATOGRAFI
CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)
4.1 Antibiotik Tilosin
Penentuan kadar residu antibiotik tilosin dengan KCKT ini dilakukan untuk
mengetahui banyaknya residu tilosin yang masih tertinggal di dalam sampel.
Menurut Yuningsih et al. (2005), tilosin merupakan salah satu antibiotik yang
mempunyai bahan aktif yang efektif dalam pencegahan dan pengobatan pada
hewan sehingga banyak dipergunakan oleh peternak. Antibiotik tilosin juga
merupakan antibiotik yang banyak ditambahkan dalam pakan (feed additives),
untuk meningkatkan produktivitas, disamping untuk pengobatan. Struktur kimia
tilosin dapat dilihat pada Gambar 2.
9
Gambar 2 Struktur Tilosin
Sumber: Martos et al. 2008
Tilosin merupakan antibiotik golongan makrolida yang dihasilkan oleh
Streptomyces fradiae. Makrolida merupakan antibiotik yang biasa digunakan
sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) dan pengobatan penyakit pada
hewan ternak. Makrolida merupakan antibiotik yang efektif untuk membunuh
bakteri gram positif, beberapa bakteri gram negatif dan mikroplasma. Makrolida
bekerja dengan mengganggu proses sintesis protein pada bakteri yang dapat
menganggu pertumbuhan bakteri.
Residu antibiotik golongan tetrasiklin dan penisilin yang terdapat pada
produk asal hewan telah banyak dilaporkan, namun residu antibiotik golongan
makrolida belum banyak dilaporkan, kecuali dari luar negeri (Yuningsih et al.
2005). Padahal antibiotik golongan makrolida termasuk tilosin cukup sering
digunakan oleh peternak. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui adanya
residu antibiotik tilosin pada produk asal hewan, salah satunya adalah susu segar.
4.2 Susu Sapi Segar
Susu merupakan bahan makanan dengan komposisi yang ideal karena susu
mengandung hampir semua zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh dan dapat
diserap oleh darah dengan sempurna. Komposisi susu dapat sangat beragam
tergantung pada beberapa faktor, namun angka rata-rata dan kisaran normal untuk
semua jenis kondisi dan jenis sapi perah adalah sebagai berikut
Tabel 1 Komposisi Rata-Rata dan Kisaran Normal Susu Sapi
Komposisi
Air
Lemak
Protein
Laktosa
Mineral
Jumlah Rata-rata
(%)
87.25
3.80
3.50
4.80
0.65
Jumlah Kisaran
Normal (%)
84.00 – 89.50
2.60 – 6.00
2.80 – 4.00
4.50 – 5.20
0.60 – 0.80
Sumber: Anjarsari 2010
Penanganan susu diperlukan tidak hanya pada produk olahannya saja,
namun sejak proses pemerahan, distribusi, hingga olahannya (Buckle et al. 2009).
10
Susu merupakan hasil utama pada usaha budidaya ternak perah. Susu yang
dihasilkan harus memenuhi syarat ASUH yaitu aman, sehat, utuh, dan halal. Susu
yang baik adalah susu yang mengandung sedikit bakteri, tidak mengandung spora
mikroba patogen, bersih dari debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa
(flavour) yang baik, tidak dipalsukan, dan tidak mengandung residu antibiotik.
Oleh karena itu, penentuan kadar residu tilosin dilakukan untuk memastikan
kualitas susu agar memenuhi syarat ASUH.
Sampel susu segar yang digunakan untuk penentuan kadar residu tilosin
berasal dari beberapa TPS (Tempat Pengumpul Susu) di Kabupaten Bogor.
Penentuan kadar residu antibiotik tilosin pada sampel susu segar terdiri dari
beberapa tahap yaitu proses preparasi dan ekstraksi sampel, pembuatan larutan
standar tilosin, dan analisis sampel ke dalam KCKT.
4.3 Preparasi dan ekstraksi sampel
Tujuan proses ekstraksi adalah untuk memisahkan suatu komponen dari
campurannya dengan menggunakan pelarut. Pada pengujian ini dilakukan proses
ekstraksi pada sampel susu untuk memisahkan komponen tilosin yang akan
dianalisis. Selain itu ekstraksi juga dilakukan untuk menghilangkan bahan-bahan
yang dapat mengganggu analisis.
Pada tahap ekstraksi sampel, sampel susu segar ditimbang kemudian
ditambahkan dengan pelarut organik asetonitril. Asetonitril bersifat polar dan
dapat melarutkan senyawa organik pada susu. Sampel kemudian disonikasi
selama 15 menit untuk memecah interaksi antara komponen sampel sehingga
mampu meningkatkan kelarutan dan dikocok dengan menggunakan shaker selama
10 menit untuk memaksimalkan proses ekstraksi sampel. Larutan sampel
kemudian disentrifus selama 10 menit pada suhu 5 0C. Proses sentrifus dilakukan
untuk memisahkan antara ekstrak tilosin dengan matriks padatan lain yang dapat
mengganggu selama analisis dengan KCKT. Metode ini digunakan untuk
mempercepat proses pengendapan dengan memberikan gaya sentrifugasi pada
partikel-partikelnya. Substansi hasil sentrifugasi terbagi menjadi dua yaitu
supernatan dan pellet. Supernatan adalah substansi hasil sentrifugasi yang
berbobot ringan dan berwarna lebih jernih, sedangkan pellet adalah substansi hasil
sentrifugasi yang berbobot jenis lebih tinggi dan berada dibawah serta berwarna
lebih keruh. Pada tahap ini protein dan sebagian besar lemak pada susu
diendapkan ke bawah sehingga meninggalkan filtrat yang jenih (Dudrikova et al.
1999).
Supernatan yang telah diambil ditambahkan kembali dengan pelarut
asetonitril, disonikasi, dishaker dan disentrifus kembali untuk memaksimalkan
proses ekstraksi dan memastikan seluruh protein dan lemak telah terendapkan.
Supernatan hasil sentrifugasi dicampur dengan supernatan sebelumnya dan
ditambahkan dengan larutan heksana. Larutan heksana digunakan untuk mengikat
lemak yang masih tersisa sehingga tidak mengganggu analisis dengan KCKT.
Setelah dilakukan proses sentrifus, fase asetonitril hasil sentrifus diambil
sedangkan fase heksana dibuang.
11
Larutan hasil ekstraksi kemudian dimasukkan ke dalam labu evaporator dan
dikeringkan dengan menggunakan rotary evaporator. Rotary evaporator bekerja
seperti alat destilasi. Prinsip dari alat tersebut yaitu penurunan tekanan sehingga
pelarut dapat menguap pada suhu di bawah titik didihnya. Evaporasi
menyebabkan suatu pelarut akan menguap dan senyawa yang larut dalam pelarut
tersebut tidak ikut menguap namun mengendap. Senyawa yang terkandung dalam
pelarut tidak rusak oleh suhu tinggi karena pemanasan yang dilakukan di bawah
titik didih pelarut.
Gambar 3 Rotary evaporator
Setelah evaporasi, ekstrak yang telah kering dilarutkan dengan 1 ml
campuran fase gerak ammonium asetat 0,01 M dan asetonitril (8:2). Sebelum
digunakan, gelembung udara pada fase gerak harus dihilangkan dengan cara
sonikasi. Hal ini disebabkan gelembung gas kecil dalam fase gerak dapat
terkumpul di kolom sehingga akan mengganggu analisis. Ekstrak disaring ke
dalam vial gelas 1 ml menggunakan acrodisc 0,45 µl untuk menghilangkan
endapan dari ekstrak dan diinjeksikan ke dalam kolom Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT).
4.4 Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa disebut juga dengan
HighPerformance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan suatu metode
pemisahan suatu campuran menjadi komponen-komponennya diantara fase gerak
dan fase diam (Hendayana S 2006). Berdasarkan fase diamnya, KCKT terbagi
menjadi dua jenis, yaitu fase normal dan fase terbalik. Fase normal menggunakan
fase diam polar dan fase gerak non polar sedangkan fase terbalik menggunakan
fase diam non polar dan fase gerak polar (Harvey 2000).
Fase gerak dan fase diam yang digunakan pada analisis menggunakan
KCKT menggunakan fase yang berupa cairan (liquid). Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT) merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk
analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah
bidang yaitu bidang farmasi, lingkungan, bioteknologi dan industri-industri
12
makanan. KCKT memiliki beberapa keuntungan antara lain analisis yang cepat,
memiliki kepekaan yang tinggi dan daya pisah yang baik (Johnson dan Stevenson
1991). Pada analisis residu tilosin, jenis KCKT yang digunakan adalah KCKT
Agilent 1100 series.
4.4.1 Komponen Alat KCKT
Instrumen KCKT terdiri atas 6 bagian, yaitu wadah fase gerak (reservoir),
pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (coloumn), detektor
(detector) dan perekam (recorder). Masing-masing bagian instrumen KCKT
memiliki sifat dan fungsi yang sangat berpengaruh terhadap analisis suatu
senyawa. Skema alat KCKT dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Skema Alat KCKT
Sumber: McMaster, 2007
1.
2.
3.
4.
Wadah fase gerak
Wadah fase gerak berfungsi untuk menampung fase gerak yang
digunakan untuk membawa komponen campuran menuju ke detektor. Wadah
fase gerak yang digunakan harus bersifat bersih dan inert terhadap fase gerak.
Pelarut atau fase gerak yang digunakan pada analisis residu tilosin adalah
Ammonium asetat dan Asetonitril yang bersifat polar. Hal ini disebabkan
senyawa antibiotik tilosin akan lebih terikat pada senyawa yang polar.
Pompa
Pompa berfungsi untuk mengalirkan fase gerak cair menuju kolom.
Pompa yang digunakan bertekanan tinggi agar zat cair dapat melewati kolom
secara tepat dan harus bersifat inert terhadap fase gerak. Pada analisis residu
tilosin, pompa yang digunakan bertekanan maksimal 400 bar.
Tempat Injeksi Sampel
Sampel-sampel cair disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak
yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik
(injektor). Injektor yang digunakan pada analisis kadar residu tilosin adalah
tempat injeksi secara otomatis (automatic injector).
Kolom
13
5.
6.
Kolom HPLC terdiri dari kolom utama dan kolom pelindung (guard
coloumn). Kolom utama berisi fase diam untuk melakukan pemisahan
campuran menjadi komponen-komponen. Pada pengujian ini digunakan fase
terbalik yaitu fase diam non polar (C 18). Selain kolom utama, terdapat juga
kolom pelindung (guard coloumn) yang merupakan kolom pendek (2-10 cm)
yang dipasang antara injektor dan kolom analitik (Johnson dan Stevenson
1991). Kolom pelindung (guard coloumn) memiliki fungsi untuk menyaring
kotoran yang terbawa oleh fase gerak sebelum masuk ke dalam kolom.
Detektor
Detektor berfungsi untuk mendeteksi komponen-komponen yang telah
dipisahkan oleh kolom. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi
yakni mampu mendeteksi solut dalam jumlah yang kecil, mempunyai respon
yang cepat terhadap solut yang dianalisis, dan tidak peka terhadap perubahan
suhu dan kecepatan alir fase gerak. Detektor UV-Vis merupakan detektor
yang paling luas digunakan karena sensitivitasnya yang tinggi serta mudah
operasinya. Detektor UV–Vis terutama digunakan untuk pendeteksian
senyawa-senyawa organik. Menurut (Martos et al 2008), antibiotik tilosin
memiliki karakteristik serapan UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm.
Perekam
Perekam berfungsi untuk menunjukkan hasil pemisahan komponen
yang telah dideteksi oleh detektor. Perekam (recorder) akan menangkap
sinyal elektronik dari detektor dan menghasilkan kromatogram zat-zat yang
dipisahkan dari suatu sampel.
4.4.2
Prinsip Kerja KCKT
Prinsip dasar KCKT adalah pemisahan komponen-komponen dalam
senyawa berdasarkan interaksi antara fase gerak dan fase diam. Prinsip kerja
KCKT yaitu sampel dialirkan oleh fase gerak cair dengan bantuan pompa melalui
kolom dan menuju ke detektor. Sampel dimasukkan ke dalam aliran fase gerak
dengan cara penyuntikan oleh injektor. Di dalam kolom akan terjadi pemisahan
komponen-komponen campuran karena perbedaan kekuatan interaksi antara
senyawa terhadap fase diam. Senyawa yang kurang kuat interaksinya dengan fase
diam akan keluar dari kolom terlebih dahulu. Sebaliknya, senyawa yang kuat
berinteraksi dengan fase diam akan keluar dari kolom lebih lama. Setiap
komponen campuran yang keluar dari kolom dideteksi oleh detektor kemudian
direkam dalam bentuk kromatogram (Hendayana S 2006). Kromatogram yang
dihasilkan berupa pita-pita dengan puncak yang memiliki luas area dan waktu
retensi.
4.4.3
Kurva Standar Tilosin
Standar Tylosin Tartrate ditimbang dan dibuat standar dengan konsentrasi
5 ppm, 2.5 ppm, 1.25 ppm, 0.625 ppm dan 0.3125 ppm. Larutan diimpitkan
dengan menggunakan fase gerak campuran Ammonium asetat dan Asetonitril
(8:2). Setelah itu, larutan standar siap diinjek ke dalam KCKT. Kromatogram
yang dihasilkan oleh standar Tilosin menghasilkan waktu retensi sebesar 4.865
14
menit. Setelah didapatkan luas puncak dari masing-masing konsentrasi, dibuatlah
kurva standar tilosin seperti pada Gambar 5. Kurva standar tilosin digunakan
untuk menentukan persamaan regresi tilosin untuk menghitung konsentrasi residu
pada sampel. Kurva standar juga digunakan untuk menguji linearitas.
Linearitas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk
memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam contoh
pada kisaran konsentrasi tertentu (AOAC 2002). Linearitas suatu metode analisis
adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian atau korelasi antara respons
detektor dan konsentrasi analit yang beragam, yang dinyatakan sebagai koefisien
korelasi (r). Respons detektor yang digunakan adalah luas area puncak untuk
instrumen KCKT.
Kurva Kalibrasi Tilosin
600
L 500
u
a 400
s 300
f(x) = 102.23 x + 7.3
R² = 1
A 200
r
e 100
a
0
0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Gambar 5 Kurva Kalibrasi Tilosin
Menurut AOAC (2002), nilai koefisien korelasi yang baik adalah lebih besar
dari 0.9900. Berdasarkan data pada Gambar 5, nilai koefisien korelasi yang
diperoleh dari pengukuran adalah r = 0.9998999. Hal ini menandakan bahwa nilai
yang diperoleh telah memenuhi syarat yang ditetapkan dan menunjukkan adanya
hubungan linier antara konsentrasi analit dengan luas puncak sehingga dapat
diketahui juga bahwa detektor yang digunakan memberi respon yang baik.
4.4.4 Persen Recovery
Penentuan persen recovery digunakan untuk mengetahui berapa banyak
komponen analisis yang dapat hilang akibat proses preparasi sehingga dapat
menyatakan keakuratan metode. Nilai persen recovery yang besar menyatakan
semakin sedikit komponen yang hilang akibat preparasi yang dilakukan sehingga
hasil yang diperoleh lebih akurat. Penentuan persen recovery dapat dilakukan
dengan menambahkan sejumlah tertentu analit ke dalam sampel kemudian
diperiksa dengan menggunakan metode analisis. Hasil tersebut kemudian
dibandingkan dengan hasil analisis tanpa penambahan analit. Persen recovery
dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang
sebenarnya. Kromatogram sampel recovery dapat dilihat pada Gambar 6.
Luas Area (mAU)
15
waktu retensi (menit)
Gambar 6 Kromatogram sampel recovery
Persen recovery ditentukan berdasarkan hasil analisis dari sampel recovery.
Sampel recovery merupakan suatu sampel yang ditambahkan standar tilosin
dengan konsentrasi tertentu. Percobaan ini menggunakan penambahan larutan
standar tilosin 1 ppm pada sampel recovery. Sampel recovery diberi perlakuan
yang sama dengan sampel lain dan diinjek ke dalam KCKT.
Tabel 2 Persen recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
Konsentrasi Analit
100 %
10 %
1%
0.1 %
0.01 %
10 ppm
1 ppm
10 ppb
Persen recovery (%)
98-101
95-102
92-105
90-108
85-110
80-115
75-120
70-125
Sumber: AOAC 2002
Persen recovery yang diperoleh pada pengentuan kadar residu tilosin pada
susu sapi segar adalah 88.41 %. Menurut AOAC (2002), nilai persen recovery
ditentukan berdasarkan konsentrasi analit pada matrik sampel, untuk konsentrasi
analit yang ditambahkan 1 ppm berada dalam kisaran 75-120%. Nilai persen
recovery yang mendekati 100% menunjukkan bahwa metode tersebut memiliki
ketepatan yang baik dalam menunjukkan tingkat kesesuaian dari rata-rata suatu
pengukuran yang sebanding dengan nilai sebenarnya
4.4.5 Hasil Penentuan Kadar Residu Tilosin
Selain larutan standar tilosin, sebanyak 11 sampel susu sapi segar dan 1
sampel+standar untuk recovery diinjek ke dalam KCKT. Penentuan kadar residu
tilosin pada sampel susu sapi segar ini digunakan berdasarkan acuan dari Batas
Maksimum Residu/Maximum Residu Limit (MRL) yaitu sebesar 100 g/kg untuk
susu sapi. Hasil analisis tidak digunakan berdasarkan acuan Batas Maksimum
16
Residu (BMR) pada SNI 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Residu dalam
Bahan Makanan Asal Hewan. Hal ini disebabkan pada SNI 01-6366-2000 hanya
terdapat batas maksimum residu tilosin daging dan telur pada produk hewan.
Hasil penentuan kadar residu tilosin pada susu sapi segar dapat dilihat pada
Gambar 7.
Kadar Residu Tilosin pada Susu Sapi Segar
400
Konsentrasi (g/kg)
350
300
250
Tilosin sampel (ug/kg)
MRL Tilosin Codex (ug/
kg)
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sampel
Gambar 7 Kadar Residu Tilosin pada Susu Sapi Segar
Berdasarkan hasil pada Gambar 7, terdapat 10 sampel positif mengandung
residu antibiotik tilosin dan hanya terdapat 1 sampel yang negatif mengandung
residu antibiotik tilosin. Apabila dibandingkan dengan Maximum Residue Limit
(MRL) yang ditentukan oleh Codex Alimentarius Commision, terdapat 7 dari 10
sampel positif residu antibiotik tilosin yang melebihi MRL yang telah ditetapkan.
Hal ini menyebabkan sampel susu segar tersebut tidak layak untuk dikonsumsi
oleh masyarakat atau diolah kembali menjadi produk olahan susu. Hasil
pengukuran kadar residu tilosin pada susu sapi segar yang mencakup waktu
retensi (menit), luas area (mAU), konsentrasi (ppm) dan kadar residu ¿/kg) dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil pengukuran kadar residu tilosin pada susu sapi segar
Sampel
1
2
3
4
5
6
7
Waktu Retensi
(menit)
4.858
4.825
4.812
4.806
4.812
4.845
4.853
Luas Area
(mAU)
73.28021
59.03197
59.86490
33.64970
28.60169
85.86108
56.40864
Konsentrasi
(ppm)
0.6453
0.5060
0.5141
0.2577
0.2083
0.7684
0.4803
Kadar Residu
(ug/kg)
320.1369
240.0152
245.2299
121.5509
102.8083
379.5208
229.6208
Ket
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
17
8
9
10
11
4.867
4.869
4.859
4.865
13.87305
7.38930
8.61280
-
0.0643
0.0008
0.0128
-
30.4641
0.3795
6.0729
-
Positif
Positif
Positif
Negatif
4.5 Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi Segar
Residu antibiotik tilosin yang ditemukan pada susu sapi dipengaruhi oleh
penggunaan tilosin pada hewan ternak. Tilosin sering ditambahkan ke dalam
pakan (feed additive) sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan (growth
promotor). Selain digunakan sebagai growth promotor, tilosin juga sering
digunakan sebagai pengobatan yang akan berpengaruh terhadap kuman penyebab
penyakit. Kematian kuman oleh antibiotik dapat disebabkan oleh terikatnya
antibiotik dengan dinding sel, membran sel atau pada reseptor di dalam kuman.
Hal ini terjadi karena antibiotik mampu menghambat sintesis dinding sel kuman
atau mengubah struktur (susunan) dinding sel, mengganggu fungsi sel membran,
dan mempengaruhi sintesis protein atau metabolisme asam nukleat (Subronto dan
Tjahajati 2008). Berdasarkan cara kerjanya, tilosin termasuk ke dalam golongan
antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis protein pada bakteri.
Food and Drug Administation atau FDA (2009) menyatakan bahwa
penggunaan tilosin untuk pengobatan digunakan untuk penyakit pernafasan, footrot (infeksi pada kulit dan jaringan lunak di sekitar belahan kuku sapi) dan
penyakit metritis pada sapi potong dan sapi perah. Metritis merupakan penyakit
infeksi pada rahim yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada sapi perah, tilosin
juga kadang-kadang digunakan secara topikal untuk mengatasi infeksi saluran
kelamin dan penyakit mata pink eye (Subronto dan Tjahajati 2008).
Keberadaan antibiotik di dalam susu juga biasanya dihubungkan dengan
pengobatan mastitis pada sapi. Hal ini disebabkan tingkat prevalensi penyakit
mastitis cukup tinggi di Indonesia. Mastitis merupakan penyakit radang pada
kelenjar mammae hewan betina yang disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut
Jayarao dan Wolfgang (2004), bakteri patogen penyebab mastitis terdiri atas tiga
jenis bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan
Mycoplasma bovis. Tilosin merupakan antibiotik makrolida berspektrum luas
yang juga dapat digunakan sebagai pengobatan mastitis pada sapi (Dudrikova et
al. 1999).
Pengobatan tilosin dapat dilakukan secara oral dan parental. Setelah
melewati proses absorbsi dan transportasi, tilosin akan didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh termasuk otot, hati dan ginjal. Antibiotik yang diberikan pada
hewan ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah. Sebagian obat akan mencapai
organ tubuh yang menjadi sasaran kerja dari obat di dalam sirkulasi darah tersebut
sehingga penyakit dapat diobati.
Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses eliminasi yang berlangsung
lama. Apabila antibiotik yang telah diberikan masih tersisa dalam bentuk
metabolit atau bahan aktifnya, antibiotik akan menimbun pada produk hewan
ternak seperti daging, hati, ginjal, dan paru-paru. Timbunan dari senyawa atau
metabolit dari antibiotik dalam tubuh dapat menyebabkan residu. Tilosin
18
didisitribusikan ke seluruh tubuh terutama melalui cairan dan jaringan. Adanya
tilosin dalam susu dapat disebabkan karena tilosin lebih banyak diekskresikan
bersamaan dengan susu pada sapi yang sedang mengalami masa laktasi. Tilosin
merupakan antibiotik golongan makrolida yang dieksreksikan terutama melalui
empedu namun sekitar 50% dapat ditemukan di dalam susu.
Residu antibiotik yang terdapat pada susu dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, peternak belum paham mengenai waktu henti obat (withdrawal
time) antibiotik tilosin, artinya ternak dipotong sebelum waktu henti antibiotik
habis di dalam tubuh ternak dan belum dieksresikan secara sempurna. Selain itu,
banyak peternak yang dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhannya atau karena
desakan ekonomi, padahal peternak itu mengetahui tentang ilmu dan cara
penggunaan antibiotik (Murdiati dan Bahri 1991).Waktu henti adalah kurun waktu
dari saat pemberian obat yang terakhir hingga ternak boleh dipotong atau
produknya seperti daging, telur dan susu boleh dikonsumsi. Menurut Subronto
dan Tjahajati (2008), waktu henti antibiotik tilosin yang diberikan pada sapi
adalah 8 hari sehingga peternak dapat menggunakan susu sapi untuk digunakan
atau dijual ke koperasi setelah 8 hari dari pemberian antibiotik tilosin. Kedua,
adanya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan spesies ternak. Beberapa
peternak menggunakan antibiotik pada semua spesies ternak, tanpa
memperhatikan kesesuaian antara jenis antibiotik dan spesies ternak. Ketiga, dosis
antibiotik yang digunakan pada hewan ternak melebihi dosis yang telah ditetapkan
sehingga menyebabkan timbulnya residu pada susu.
Kusumaningsih et al. (1996) mengungkapkan hanya 20% peternak sapi
perah di Jawa Barat yang mengetahui jenis obat yang digunakan oleh petugas
Dinas Peternakan atau koperasi. Setelah itu, dari 20% tersebut hanya 14.28% yang
mengetahui waktu henti obat (withdrawal time), dan yang mematuhi waktu henti
obat dengan tidak menjual susu ke koperasi setelah pengobatan hanya 8.16%.
Kesalahan penggunaan antibiotik yang dilakukan oleh peternak dapat disebabkan
oleh pengetahuan peternak yang kurang akan dampak akan kesehatan masyarakat
akibat mengkonsumsi produk hewan yang mengandung residu antibiotik dan tidak
ada pengawasan atau penyuluhan dalam penggunaan antibiotika di peternakan.
4.6 Dampak Residu Antibiotik Tilosin pada Susu Sapi
Kehadiran residu antibiotik tilosin pada susu dapat menjadi perhatian
besar karena berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan
kerugian pada peternak. Semakin besar penggunaan antibiotik, baik untuk
pengobatan maupun sebagai imbuhan pakan, semakin besar pula manfaat yang
diperoleh namun semakin besar resiko dalam keamanan pangan. Kehadiran residu
antibiotik tilosin pada susu dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang
mengkonsumsi produk tersebut. Residu antibiotik dalam makanan dan
penggunaannya dalam bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek
kesehatan masyarakat veteriner dan aspek ekonomi.
Ancaman potensial residu antibiotik pada susu sapi segar terhadap dampak
kesehatan dibagi tiga kategori, yaitu aspek toksikologis, aspek mikrobiologis dan
19
aspek imunopatologis. Berdasarkan aspek toksikologis, residu antibiotik ber