Melawan Budaya Patriarki atau Setidaknya

Melawan Budaya Patriarki –atau Setidaknya Apa yang Bisa Kita dan
Negara Lakukan?

Kekerasan Seksual Hari Ini
Gadis kecil siswi SMP itu tidak pernah tahu, siang itu setelah pulang dari sekolah,
kematian akan menghampirinya. Nyawanya akan direnggut paksa oleh 14 manusia berhasrat
bejat yang ingin mengambil alih kehormatannya, kehormatan sebagai perempuan yang baru
saja beranjak remaja. Siang itu, di tepi jalan perkebunan karet yang sepi, 14 manusia
berhasrat bejat itu mengintai dari jarak jauh, bersiap memangsa Yuyun yang membawa
bendera merah putih di ranselnya, hendak mencucinya untuk pengibaran senin mendatang di
sekolah.
Ya, Yuyun nama gadis itu, remaja asal Bengkulu itu sempat menghebohkan Indonesia
tengah tahun 2016 lalu tentang kabar kematiannya. Dia meninggal dengan sangat
menyedihkan. Dia diperkosa bergilir, dipukuli, diikat, dan saat nyawanya ditarik dari
kerongkongan secara paksa, jasadnya sudah berada di jurang –dibuang oleh 14 laki-laki
berhasrat bejat itu dengan tulang punggung yang remuk. Siang itu, kehidupan tega merenggut
semua mimpi-mimpinya, merenggut harta satu-satunya yang ibu Yuyun miliki.
Ya, kasus Yuyun adalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang
dialami perempuan Indonesia saat ini. Tidak lama berselang dari kasus Yuyun, perempuan
pegawai pabrik berusia 18 tahun di Tangerang ditemukan tewas mengenaskan. Di kamar
kosnya ia ditemukan dalam keadaan telanjang dengan gagang cangkul tertancap di

kemaluannya. Tiga orang pelakunya sudah diamankan polisi dan salah satu dari mereka
masih berusia 14 tahun.
Catatan memilukan ini berpilin bergantian, memaksa kita harus mendengar lebih
banyak tangis kesedihan korban kekerasan seksual. Baru-baru ini, Januari 2017 lalu, terjadi
kasus pembunuhan disertai pemerkosaan terhadap seorang balita berusia 4 tahun di Sorong,
Papua Barat. Seperti bangkai yang membusuk, tindak kekerasan seksual terhadap perempuan
semakin hari semakin tercium dan terbuka dihadapan umum. Tidak hanya pada orang
dewasa, anak-anak dan remaja tak luput dari sesaran nafsu birahi laki-laki bejat ini.
Kemudian, secara lebih detail, data statistiklah yang angkat bicara.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mencatat pada tahun 2015 lalu terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan
termasuk di dalamnya kasus kekerasan seksual, pelecehan, KDRT, pencabulan, pembunuhan,
dan lain sebagainya. Itu bearti ada 881 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi setiap
harinya. Angka tersebut di dapat dari Pengadilan Agama sejumlah 305.535 kasus dan
lembaga mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Menurut pengamatan Komnas
Perempuan pula, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun 2014 ke
2015, kemudian terjadi peningkatan lagi pada 2016. Pada tahun 2015 kekerasan seksual
berada pada tingkat ketiga. Namun, pada tahun 2016 meningkat menjadi peringkat kedua.
Perkosaan menjadi kasus yang paling banyak terjadi dengan 72% atau 2399 kasus,

pencabulan 18% atau 601 kasus, pelecehan seksual sebesar 5% atau 166 kasus, dan sisanya
beragam. Data statistik dari kumparan.com di bawah ini setidaknya memberi gambaran yang
signifikan terkait kenaikan jumlah kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya di
Indonesia.

Gambar 1. Infografis Kekerasan pada Perempuan (kumparan.com)

Melihat data statistik di atas, kami berkesimpulan bahwa permasalahan terhadap
kekerasan perempuan bukan lagi hanya sebatas masalah personal –masalah antar pelaku dan
korban. Akan tetapi, masalah ini pada akhirnya menjadi masalah bersama, masalah publik,
yang jika dibiarkan akan berdampak pada merosotnya moral dan martabat bangsa kita. Oleh
karena itu, untuk menghentikan kekerasan ini secara periodik hingga benar-benar hilang dari
Bumi Pertiwi, pemerintahlah sebagai institusi legal formal yang memiliki kuasa untuk
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang memiliki tanggung jawab besar
disini. Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, tidak ada cara lain,
pemerintah harus benar-benar serius menangani ini, sama seriusnya seperti menenggelamkan
kapal ilegal pencuri ikan laut di perairan Indonesia.
Menguatkan Peran Hukum
Selama ini, peran hukum masih di pandang kurang memuaskan menghukum pelaku
kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia. Problem lain yang dihadapi adalah

minimnya rujukan bagi kasus ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya
mengatur dua jenis kekerasan seksual terhadap perempuan yang masuk ranah tindak pidana,
yeitu pemerkosaan dan pencabulan, padahal ada banyak jenis kekerasan terhadap perempuan
selain dua ruang lingkup itu. Betul memang, sudah ada UU PDKRT, UU Perlindungan Anak,
dan UU Trafficking, tetapi implementasinya masih berjalan tertatih-tatih. Bahkan, sebagian
aparat penegak hukum belum tahu keberadaan UU tersebut, apalagi tahu implementasinya.
Implikasinya yaitu minimnya tindakan hukum bagi pelaku. Forum Lembaga Pengada
Layanan menyebutkan hanya 50% dari kasus pemerkosaan yang ditindaklanjuti proses
hukumnya. Kemudian, dari 50% itu pula hanya 10% yang sampai pada putusan peradilan,
sisanya mangkrak di tengah jalan.
Oleh karena itu, aktivis perempuan, aktor legislatif yang didominasi perempuan di
DPR, dan banyaknya tuntutan dari keluarga korban membuat pemerintah harus lebih cepat
menangani kasus ini hingga pada akhirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap
Perempuan masuk Prolegnas 2016 lalu di DPR dan dijadikan isu prioritas. Walaupun begitu,
hasilnya belum juga ada, atau bisa dibilang mandeg sementara. Mengingat RUU ini sebagai
upaya penguatan payung hukum yang jelas bagi pelaku dan korban kekerasan seksual,
memiliki filosofi dan nilai sosiologis yang jelas, dan sudah dibedakan 15 jenis kekerasan
seksual yang ada dalam 9 bentuk tindak pidana kekerasan seksual, (tidak hanya 2 ruang

lingkup seperti di KUHP), maka urgensi dipercepatnya penyelesaiian RUU menjadi UU

dinilai sangat penting. Pemerintah selaku DPR harus bertindak serius menangani hal ini.

Meningkatkan Akses Pelayanan Pengaduan dan Konseling
Pernahkah kalian melihat tumpukan Gunung Es? Berapa persen yang muncul ke
permukaan? Sangat sedikit bukan? Begitulah kiranya gambaran kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan yang ada di negara kita saat ini. Yang ada di permukaan sangat sedikit
dibanding yang tidak diketahui. Korban disuruh diam, diintimidasi, disumpal dengan segala
cara oleh pelaku. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Frenia Nababan selaku
Koordinator Advokasi dan Komunikasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
saat diwawancarai wartawan BBC Mei 2016 silam, dia mengatakan bahwa seberat apapun
hukuman yang di desain pemerintah untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, kalau
pelaporannya saja sulit, maka hanya akan memunculkan masalah baru.
Boleh jadi hal ini seperti yang sering kita lihat di televisi, kerabat dekat menyumpal
mulut korban dengan ancaman, mengatakan kalau korban coba-coba melapor maka
nyawanya yang jadi taruhan. Alhasil, korban hanya bisa pasrah bertahun menanggung
menjadi korban kekerasan seksual. Dengan melihat kejadian yang ada, tidak jarang bahkan
itu keluarga korban sendiri. Seperti data statistik yang dibuat rappler.com di bawah ini, ada
lebih dari 11.207 kasus pada tahun 2016 atau setara 69% pelaku adalah orang terdekat
korban.


Gambar 2. Asal Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan (rappler.com)
Selain faktor tekanan akibat kekerabatan, kebingungan korban akan tempat mengadu
akan kasus yang dideritanya juga menjadi faktor lemahnya pencarian akan data korban
kekerasan. Mereka kebanyakan kebingungan dimana bisa mendapatkan pendampingan. Oleh
karena itu, pemerintah disini hendaknya hadir membuat sistem layanan dan pengaduan kasus
kekerasan terhadap perempuan berbasis teknologi internet. Dengan membuat satu big data
layanan pengaduan dan konseling yang terintegrasi dengan Komnas HAM, LBH, P2TP2A,
UPPA Kepolisian, Women Crisis Center di tingkat Nasional dan Lokal di daerah masingmasing, layanan ini akan mempermudah menghitung setiap aduan dan bimbingan konseling
dari korban. Pemerintah memberikan stimulus pendanaan dari sistem layanan ini hingga
dapat berjalan lancar dengan bekerja sama dengan LBH dan organisasi masyarakat sipil yang
concern dalam isu perempuan.
Dengan adanya sistem ini, korban tidak usah mengisi formulir yang banyak dalam hal
aduan, cukup memberikan deskripsi aduan secara ringkas, detil kejadian, KTP, dan tempat
tinggal, bukan hanya lembaga bantuan hukum atau psikolog yang datang ke rumah korban,
bahkan polisi pun bisa jadi menangkap pelaku kekerasan seksual. Hal ini diwujudkan tidak
hanya menangani kasus kekerasan terhadap perempuan saja, akan tetapi mencegah kasus ini
bertambah besar.
Penutup: Menghapus Stigma Buruk
Sayangnya, produk hukum yang dikeluarkan tidak serta-merta dapat mengubah kultur
dari kehidupan masyarakat Indonesia. Semua itu perlu pendewasaan dan pembiasaan. Peran

hukum yang dikuatkan serta meningkatnya akses layanan aduan dan konseling bagi korban
kekerasan seksual hanya akan menjadi program di atas angin yang tidak dapat berjalan baik
jika masyarakat itu sendiri enggan dalam melakukan perubahan. Keluar dari zona nyaman
masing-masing.
Hari ini, memang tidak mudah menghapus bayang-bayang patriarki yang sudah
mengakar kuat dalam kehidupan bermasyrakat kita. Pandangan yang mengatakan bahwa

perempuan tugasnya hanya di dapur, sumur, dan kasur harus terlebih dahulu kita singkirkan.
Membaca perempuan haruslah secara holistik, artinya memahami perempuan sama seperti
laki-laki atas dasar haknya sebagai manusia yang sama dalam pandangan hukum dan
pandangan hidup bermasayarakat, tidak memandangnya hanya sebagai objek eksploitasi
untuk menyalurkan syahwat dan kepentingan diri pribadi.
Pada akhirnya kita sama-sama menyadari, sejatinya pemerintah hanya memberikan
jalur pintas pemberantasan kekerasan seksual dan pelecehan lainnya terhadap perempuan
dengan produk kebijakan yang mereka keluarkan. Tidak langsung simsalabim masyarakat
tersadarkan akan pentingnya menjaga kehormatan seorang perempuan. Semua itu perlu
proses pendewasaan dan pembiasaan dari diri kita sendiri.
Semoga saja lewat ini, besok lusa tingkat kekerasan terhadap perempuan semakin
menurun dan pada titik tertentu, benar-benar hilang dari Bumi Pertiwi. Jangan biarkan tagar
#NyalaUntukYuyun berhenti ketika ke-14 pelaku bejat laki-laki itu dihukum dan

dipenjarakan. Nyalakanlah terus lilin-lilin kecil itu untuk menerangi setiap langkah negeri ini
agar benar mengambil jalan. Hari ini memang tidak ada lagi sosok Yuyun, dia tidak sempat
mencuci bendera merah putih dan mengibarkannya di upacara senin pagi di sekolah. Tapi,
pengorbanannya sungguh luar biasa. Di penghujung hidupnya, dia mengajarkan pada kita
bahwa hidup dengan aman dan bebas dari tindak kekerasan haruslah diperjuangkan, walau
bayarannya sangat mahal.

Referensi

BBC. 2016. Kasus kekerasan seksual masih bermunculan. May 16. Accessed
February 15, 2017.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160516_indonesi
a_kekerasan_seksual.
Fajri, Demon. 2016. Ini Kronologi Pemerkosaan Yuyun di Bengkulu. May 4.
Accessed February 15, 2017.
http://news.okezone.com/read/2016/05/04/340/1380243/ini-kronologipemerkosaan-yuyun-di-bengkulu.
Firdaus, Febriana. 2016. Infografis: Indonesia aaryrad Kekerasan Terhada
Perem uan. May 3. Accessed February 15, 2017.
http://www.rappler.com/indonesia/131581-infografs-indonesia-daruratkekerasan-terhadap-perempuan.
Komnas Perempuan. 2016. LEMBAR FAKTA Kekerasan Seksual, U aya

Penanganan Kom rehensif dan aorongan Rancangan Undang-Undang
Pengha usan Kekerasan Seksual (Komnas Perem uan. Jakarda, 19
Se dember 2016). September 19. Accessed February 15, 2017.
http://www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-kekerasan-seksualupaya-penanganan-komprehensif-dan-dorongan-rancangan-undangundang-penghapusan-kekerasan-seksual-komnas-perempuan-jakarta-19september-2016/.
Kumparan. 2017. Infografis: Indonesia aarurad Kekerasan ada Perem uanś
January 27. Accessed February 15, 2017. https://kumparan.com/mariaduhita/infografs-indonesia-darurat-kekerasan-pada-perempuan.
Satria, Bima. 2017. Kekerasan Seksual ada Perem uan Masih Tinggi. January
27. Accessed February 15, 2017. http://www.rappler.com/indonesia/berita/
159494-kekerasan-seksual-perempuan.
Yuniasari, Melati. 2016. Angka Kekerasan Terhada Perem uan Masih Tinggi.
March 7. Accessed February 15, 2017.
http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/32844/angkakekerasan-terhadap-perempuan-masih-tinggi/2016-03-07.