Tugas makalah agama jadi perbaikan nilai
BAB I
PENDAHULUAN
I.A latar belakang masalah
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan
sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki
kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah
kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan,
spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini,
banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan
misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis
yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran
diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai
sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih
supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan
seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang
tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu
yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan
pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi
dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni
pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim
memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi
Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar
pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini
terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam
memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem
pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki
paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan pendidikan
1
dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam alQur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat
secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan dalam Islam
dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.
I.B RUMUSAN MASALAH
Didalaam makalah ini akan kami bahas beberapa rumusan masalah berkaitan dengan
pendidikan dalam Al-Qur’an, yaitu :
a. Apakah pengertian dari pendidikan ?
b. Apakah tujuan Pendidikan dalam Al-Qur’an?
c. Bagaimana pendidikan sebagai proses humanisasi?
d. Bagaimanakah sifat pendidik yang baik ?
e. Bagaimanakah sifat peserta didik yang baik ?
I.C PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan
Pengertian Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur'an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’,‘atTa’lim’, dan ‘at-Tadhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’,
kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai
pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur'an tidak
ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb,
rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani.
Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata di atas. Sebagaimana
dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata
tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiyayarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai
urusan, menuntun, menjaga, memelihara.
2
2. Tujuan Pendidikan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi/beribadah
kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56).
Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan jin dan
manusia tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah
dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah. Tujuan
pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan
yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu
sebagai abid. Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik
atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan beribadah. Ibadah bukan
sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan
yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap
siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa
pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak
terbatas. Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqih ada dua yaitu ibadah mahdloh dan ibadah
ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk,
kadar atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru
mahdloh adalah sebaliknya, kurang lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang
diniatkan untuk memperoleh ridho dari Allah SWT.
Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah termasuk dalam
kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
(طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة )رواه ابن عبد البر
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan perempuan”
(H.R Ibn Abdulbari)
(من خرج فى طلب العلم ففى فى لبال ل حتى يرجع )رواه الترمذى
“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan
sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”. (H.R.
3
Tirmidzi)
Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup individu termasuk
akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku. Melalui pendidikan, setiap potensi
yang di anugerahkan oleh Allah SWT dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk
menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu
proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun
juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada
zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.
Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua fungsi,
yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai makhluk Allah
yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi tersebut juga dijelaskan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut:
“…’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…” [Q.S AlBaqarah(2): 30].
Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan dengannya Allah
SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya kepada manusia, maka manusia
merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai pemimpin dibumi Allah.
Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk
akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu
yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat
bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT”. Kalau
dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan
Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan
untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha
mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa
(waj’alna li al-muttaqina imaama).
4
Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu
mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu; itba’
syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits) dan
sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam ini),
Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan
kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi orang-orang
yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil sebagai itba’
syaria’tillah sekaligus itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak,
pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.
3. Pendidikan Sebagai Proses Humanisasi
Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah Telah mengangkat
Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak
diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah
memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah
memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2] : 247).
Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai raja Bani Israil. Allah
menceritakan kisah ini dengan sangat indah, dimana orang yang berpendidikan dan
mempunyai fisik kuatlah yang pantas menjadi pemimpin dan melaksanakan titah sebagai
khalifah fil ardl.
5
Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah mengangkat Thalut
sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau menerima Thalut sebagai raja dengan
alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja itu hanyalah dari kabilah Yahudi,
sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah Bunyamin. Lagi pula disyaratkan yang boleh
menjadi raja itu harus seorang hartawan, sedang Thalut sendiri bukan seorang hartawan.
Oleh karena itu secara spontan mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah
kami, padahal kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang
dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?”
Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja atas pilihan Allah SWT
karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa
sehingga ia mampu untuk memimpin Bani Israil. Dari ayat ini diambil pengertian bahwa
seorang yang akan dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara.
2. Ilmu pengetahuan yang luas, mengetahui di mana letaknya kekuatan umat dan
kelemahannya, sehingga dapat memimpinnya dengan penuh kebijaksanaan.
3. Kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran.
4. Bertakwa kepada Allah supaya mendapat taufik daripada-Nya untuk mengatasi segala
kesulitan yang tidak mungkin diatasinya sendiri kecuali dengan taufik dan hidayah-Nya.
Manusia sebagai khalifah di bumi bisa melaksanakan amanah memakmurkan bumi jika
manusia tersebut mempunyai 4 karakter diatas. Karakter-karakter tersebut hanya bisa
diperoleh dengan pendidikan yang baik dan usaha yang terus menerus. Pendidikan jasmani
akan menghasilkan raga yang sehat, kuat dan tangguh. Pendidikan rohani akan
menghasilkan pengetahuan yang luas, akhlak yang baik dan ketaqwaan kepada Sang
Kholik. Kedua jenis pendidikan ini saling terkait dan sama pentingnya untuk
menghasilkan manusia-manusia paripurna yang bisa mengemban amanat sebagai khalifah.
Adapun harta kekayaan tidak dimasukkan menjadi syarat untuk menjadi raja (pemimpin)
karena bila syarat-syarat yang empat tersebut telah dipenuhi, maka mudahlah baginya
untuk mendapatkan harta yang diperlukan sebab Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi
Maha Mengetahui.
Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi
pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi
yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis
6
pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional,
yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih
khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan
dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah
dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya
adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang
makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.
4. Sifat Pendidik Yang Baik
Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” al-qashash(28:26).
Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak pula
mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus semua urusan keluarga itu hanyalah
kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, di
samping mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk memintanya
supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah baiknya kalau Musa yang
nampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya diangkat menjadi
pembantu di rumah ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya angkatlah Musa itu
sebagai pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita sebagai penggembala
kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya lihat dia seorang yang jujur dapat dipercaya
dan kuat juga tenaganya. Usul itu berkenan di hati bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja
ingin mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan putrinya itu
dengan Musa dan sebagai maharnya Musa harus bekerja di sana selama delapan tahun dan
bila Musa menyanggupi sepuluh tahun dengan suka rela itulah yang lebih baik.
Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun untuk
dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua putri dari Nabi Syuaib dan membantunya
mengambilkan air minum untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah seorang pemuka agama
7
dan masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah seorang yang gagah perkasa,
kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya. Karena sifat-sifat terpuji itulah
yang membuat anak gadis Nabi Syuaib terkesima dan Nabi Syuaib juga berencana
menikahkan salah satu diantara anak gadisnya dengan Nabi Musa.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk pada ayat di atas, demikian
juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan mengangkat Nabi Yusuf A.S sebagai
kepala badan logistik negara. Dalam firman alloh menyebut:
“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), dia berkata: “Sesungguhnya
kamu (mulai) hari Ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi
kami” (Q.S. Yusuf [12] : 54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut,
yaitu kuat dan dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat mengemban tugas
berat.
Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan bidang. Oleh karena itu
terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang dipilih.
Sedangkan kepercayaan tersebut diatas yang dimaksud adalah integritas pribadi dari orang
yang diberi amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan orang-orang yang ahli di
bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas pribadi yang unggul dan terpuji guna
mengembangkan segala aspek kehidupan yang lebih bermakna. Diharapkan orang
mukmin mempunyai spesialisasi tertentu di bidang iptek dan punya integritas pribadi
tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju kejayaan. Mukmin kuat dalam
berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan mukmin lemah, hal ini sesuai dengan
sabda Nabi SAW :
“Dari Abu Hurairah R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masingmasing mempunyai kebaikan. Gemarlah kepada hal-hal yang berguna bagimu. Mintalah
pertolongan kepada Allah dan janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu,
jangan berkata: Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu. Tetapi
katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah Allah dengan apa yang Dia perbuat.
Sebab kata-kata seandainya membuat pekerjaan setan.” (H.R. Muslim).
8
E. Sifat Peserta Didik Yang Baik
Al-Qur’an Surat Ali Imron [3] ayat 19
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orangorang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Ayat diatas menunjukkan sebagai berita dari Allah SWT yang menyatakan bahwa tidak
ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu mengikuti para
Rasul yang diutus oleh Allah SWT di setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi
Muhammad SAW yang membawa agama yang menutup semua jalan lain kecuali jalan
yang telah ditempuhnya. Karena itu, barangsiapa yang menghadap kepada Allah – sesudah
Nabi Muhammad SAW diutus – dengan membawa agama yang bukan syariatnya, maka
hal itu tidak diterima oleh Allah.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman Allah diatas dengan innahu
yang di-kasrah-kan dan anna di-fathah-kan, artinya “Allah telah menyatakan, begitu pula
para malaikat dan orang-orang berilmu, bahwa agama yang diridloi di sisi Allah adalah
Islam”. Sedangkan menurut jumhur ulama’, mereka membacanya kasrah, yaitu ‘innad
diina’ sebagai kalimat berita. Bacaan tersebut kedua-duanya benar, tetapi menurut bacaan
9
jumhur ulama lebih kuat.
Kemudian Allah SWT memberitakan bahwa orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab
kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka berselisih pendapat hanya setelah hujjah
ditegakkan atas mereka, yakni sesudah para Rasul diutus kepada mereka dan kitab-kitab
samawi diturunkan buat mereka. Sebagian dari mereka merasa dengki terhadap sebagian
yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat dalam perkara kebenaran. Hal tersebut
terjadi karena terdorong oleh rasa dengki, benci dan saling menjatuhkan, hingga sebagian
dari mereka berusaha menjatuhkan sebagian yang lain dengan menentangnya dalam semua
ucapan dan perbuatannya, sekalipun benar. Terhadap orang-orang yang ingkar kepada
ayat-ayat Allah yang telah diturunkan, maka sesungguhnya Allah akan membalas
perbuatannya dan melakukan perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan
menghukumnya akibat ia menentang Kitab-Nya.
Keterangan di atas menunjukkan kedengkian dan kebencian umat Yahudi dan Nasrani
terhadap umat Islam pada zaman sekarang setelah hujjah dan penjelasan datang pada
mereka tentang kebenaran Islam. Walaupun mereka diberi akal dan pengetahuan oleh
Allah SWT, tetapi karena hatinya tertutup oleh rasa sombong dan dengki terhadap Islam
sehingga tidak mau menerima kebenaran Islam. Pengetahuan yang mereka peroleh
digunakan untuk menuruti hawa nafsu mereka belaka, seperti dapat kita lihat di negaranegara yang mayoritas penduduknya Yahudi dan Nasrani. Pengetahuan yang telah
diperoleh untuk memperkaya diri, menyombongkan diri bahkan saling berusaha
menguasai dan menjajah diantara satu dengan lainnya dalam segala bidang kehidupan.
Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kering dari makna serta membuat semakin
kehilangan arah ke-ilahi-an dan miskin dimensi transendental.
Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep pendidikan di Barat yang
mengedepankan materialistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang didapat
dari proses belajar-mengajar secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim yang lebih
tangguh, berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam. Pengetahuan yang
didapatpun akan lebih didayagunakan untuk kemaslahatan umat Islam pada khususnya dan
rahmatan lil alamin pada umumnya.
10
BAB II
Nasihat Luqman
II.A latar belakang
Mendidik anak adalah tugas yang berat bagi orang tua, karena semakin majunya teknologi
orang tua harus lebih ekstra memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Banyak tokoh
yang bisa di tiru dalam mendidik seorang anak, seperti halnya lukman dalam mendidik
anaknya. Beliau menanam kuat-kuat tentang keimanan kepada Allah, dan selalu
menasehati anaknya, agar selalu berbakti kepada kedua orang tua. Alqur’an pun sering
menyinggung tentang bagaimana seharusnya seorang anak menghormati orang
tuanya.Dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan bagaimana seharusnya menjadi
orang tua yang bisa memberikan yang terbaik kepada anaknya dengan meniru lukman di
dalam mendidik anak.
B. tujuan makalah
Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan seharusnya orang tua mendidik anaknya
dengan melihat kisah lukman dalam medidik anaknya yang terdapat dalam surat lukman
ayat 13-15. Sehingga bisa menjadikan generasi muda yana berakhlak mulia.
11
II.B Penjelasan
1. Surat luqman ayat 13- 15
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: H
" ai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan.
[1180] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua
tahun.
12
2. Asbabul Nuzul
a. Surat Lukman ayat 13
Abdillah mengatakan ayat ini diturunkan berkenaan dengan nasihat Rasulullah kepada
para sahabat tentang wasiat lukman kepada anaknya. Saat turun QS. 6:82. Para sahabat
keberatan. Mereka menghadap Rasulullah dan bertanya. “wahai Rasul, siapa diantara kami
yang dapat membersikan keimanan dari kedzaliman?” “apa kalian telah mendengar wasiat
lukman kepada anaknya. ‘Anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, karena itu
adalah kedzaliman yang sangat besar’. “bersabda” (HR. Bukhari)
b. Surat Lukman ayat 15
Sa’ad bin malik berkata, “ayat ini diturunkan berkenaan denganku. Aku sangat mencintai
dan menghormati ibuku. Saat aku masuk islam ibuku tidak setuju dan berkata, ‘Anakku ,
kamu pilih salah satu, kamu tinggalkan islam atau aku akan mogok makan dan minum
hingga aku mati’. Aku bertekad untuk tetap dalam islam. Namun ibuku melaksanakan
ancamannya selama tiga hari tiga malam. Aku sedih dan berkata,’ibu, jika ibu memiliki
seribu jiwa (nyawa) dan satu persatu meninggal, aku akan tetap dalam islam. Karena itu
terserah ibu mau makan atau tidak. ‘akhirnya, ibuku pun luluh dan mau makan
kembali.”(HR. Thabrani)
3 . Penjelasan surat lukman ayat 13-15
Ayat di atas merupakan nasihat Lukman kepada anaknya. Lukman melarang anaknya dari
berbuat syirik, dia memberikan alasan atas larangan tersebut bahwa kemusyrikan itu
adalah kazaliman. Pernyataan Lukman tentang hakikat ini di perkuat dengan dua tekanan.
Pertama, mengawalinya dengan larangan berbuat syirik dan alasannya. Kedua, dengan
huruf inna “sesungguhnya” dan huruf la “benar-benar”.
13
Nasihat seorang ayah kepada anaknya adalah bebas dari segala syubhat dan jauh dari
segala prasangka. Sesungguhnya perkara tauhid dan larangan berbuat syirik merupakan
perkara lama yang selalu di serukan oleh orang-orang yang di anugrahkan oleh Allah
diantara manusia. Tidak ada kehendak lain di baliknya melainkan kebaikan semata-mata,
dan sama sekali tidak menghendaki selain yang demikian. Inilah pengaruh jiwa yang di
maksudkan dalam ayat di atas. “… Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lamah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun… “.
Ayat ini menggambarkan nuansa pengorbanan yang agung dan dahsyat. Seorang ibu
dengan tabiatnya harus menaggung beban yang amat berat dan lebih kompleks. Namun,
luar biasa, ia tetap menganggungnya dengan senang hati dan cinta yang lebih dalam,
lembut dan halus. Walapun satu tarikan nafas dalam proses kehamilan dan kelahirannya,
tetap tidak dapat di balasoleh seorang anak. Pasalnya, ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah lemah.
Dari sela-sela nuansa gambaran yang di liputi dengan kasih sayang itu, Al- Qur’an
mengarahkan agar bersyukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat yang pertama.
Kemudian berterima kasih kepada kedua orang tua sebagai dua orang yang menjadi sarana
nikmat itu pada urutan berikutnya. Al-Qur’an menggambarkan urutan kewajibankewajiban. Jadi, yang pertama bersyukur kepada Allah kemudian berterima kasih kepada
orang tua. “Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…”.
Hingga bila orang tua menyentuh titik syirik ini, jatuhlah kewajiban taat kepadanya, dan
ikatan aqidah harus mengalahkan dan mendominasi segala ikatan lainnya. Walaupun
kedua orang tua telah mengeluarkan segala upaya, usaha, tenaga, pandangan yang
memuaskan untuk menggoda anaknya agar menyukutukan Allah dimana ia tidak
mengetahui tentang ketuhanannya (dan setiap yang disembah selain Allah pasti tidak
memiliki sifat ketuhanan, karena itu camkanlah), maka pada saat itu anak diperintahkan
agar jangan taat. Dan perintah itu berasal dari Allah sebagai pemilik hak pertama dalam
ketaatan. Namun, perbedaan aqidah dan perintah dari Allah agar tidak taat kepada orang
tua dalam perkara yang melanggar aqidah, tidaklah menjatuhkan hak kedua orang tua
dalam bermuamalah dengan baik dan menjalin hubungan yang memuliakan mereka.
Surat Luqman ayat 15 berisi bahwa Allah menyuruh supaya berbuat baik kepada ibu
bapak dan menurut apa-apa perintahnya, tetapi jika keduanya menyuruh kamu, supaya
kafir (mempersekutukan) Allah, maka janganlah turuti perintahnya itu. Dalam pada itu
hendaklah kamu bergaul dengan dia menurutnya patutnya juga, dan tidak boleh kamu
14
memusuhinya atau durhaka kepadanya. Pendeknya perkataan ibu, bapak itu wajib untuk
dituruti, selama tidak melanggar peraturan agama Islam.
4. Implikasi surat lukman ayat 13-15
Islam sangat memperhatikan pendidikan anak, sehingga diceritakan kisah lukman dan
anaknya. Yang perlu kita tiru dari kisah lukman dalam mendidik anak ialah:
a. Menanamkan keimanan kepada anak sejak dini untuk selalu iman kepada Allah, dan
melarang untuk menyekutukanNya.
b. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya.
c. Selalu bersyukur kepada kedua orang tua atas kasih sayangnya.
d. Mentaati kedua orang tua selagi tidak melanggar peraturan agama islam.
e. Tidak melawan kedua orang tua ketika mereka memaksa untuk menyekutukan Allah,
akan tetapi tetap memperlakukan mereka dengan baik.
Akan tetapi didalam mendidik perlu ada beberapa unsur untuk bisa menjadikan anak itu
menjalankan apa yang diperintahkan orang tua.
Menurut Abbudin nata ada enam komponen di dalam mendidik anak, yaitu:
1. Komponen pendidik yang didalam hal ini adalah orang tua khususnya luqman (ayah)
sebagai kepala keluarga.
2. Komponen anak didik (murid) dalam hal ini adalah anaknya luqman sendiri.
3. Komponen lingkungan dimana kegiatan pendidik tersebut berlangsung yang dalam hal
ini adalah lingkungan keluarga.
4. Komponen materi (kurikulum) pendidikan yang dalam ayat-ayat tersebut mencakup
materi pendidikan tentang keimanan atau akidah yang kokoh. Antara lain dengan
menjauhi perbuatan syirik; aklhak mulia anytara lain memuliakan kedua orang tua,
mendirikan shalat, memerintah peruatan baik dan menjauhi prbuatan munkar, berrsikap
tabah dan tidak menyombongkan diri ddan bersikap rendah hati.
5. Komponan hubungan, pendekatan dalam proses belajar mengajar yang dalam hal ini
mengembangkan pola hubungan yang demokratis menghargai pendapat orang lain,
manusiawi, berorientasi kepada kebenaran ilmiah, dan profesional.
6. Komponen metode, yang dalam hal ini dengan ceramah (mauidzah) dan perintah.
15
Dengan mengikuti iuran tersebut diatas tampak dengan jelas bahwa ajaran islam (AlQur’an) amat memperhatikan pembinaan generasi muda. Pembinaan tersebut dilakukan
melalui kegiatan pendidikan yang dimulai dari rumah tangga atau pendidikan keluarga.
Yang selanjutnya dilanjutkan oleh sekolah denga biaya ditanggung keluarga.
Untuk menghasilkan generasi muda yang baik yaitu generasi muda yang sehat fisiknya
berilmu pengetahuan, berketerampilan, berakidah yang kokoh, taat menjalankan ibadah
dan berakhlak yang mulia dan seterusnya terdapat pula petunjuk yang dapat dilakukan
kedua orang tua.
III
KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan di atas, pemakalah menyimpulkan :
a. Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sadar
akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Sehingga dalam
melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari
sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata, selain itu dalam setiap gerak langkahnya
selalu bertujuan memperoleh ridho dari Yang Maha Kuasa.
b. Pendidikan Islam mempunyai misi membentuk kader-kader khalifah fil ardl yang
mempunyai sifat-sifat terpuji seperti amanah, jujur, kuat jasmani dan mempunyai
pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang. Diharapkan akan terbentuk muslim yang
mampu mengemban tugas sebagai pembawa kemakmuran di bumi dan “Rahmatan Lil
Alamin“.
c. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani
dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik
sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Islam sangat memperhatikan pendidikan anak, sehingga diceritakan kisah lukman dan
anaknya. Yang perlu kita tiru dari kisah lukman dalam mendidik anak ialah:
1. Menanamkan keimanan kepada anak sejak dini untuk selalu iman kepada Allah, dan
melarang untuk menyekutukanNya.
2. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya.
16
3. Selalu bersyukur kepada kedua orang tua atas kasih sayangnya.
4. Mentaati kedua orang tua selagi tidak melanggar peraturan agama islam.
5. Tidak melawan kedua orang tua ketika mereka memaksa untuk menyekutukan Allah,
akan tetapi tetap memperlakukan mereka dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasy M. Athiyah, 1968, At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj; Bustami A.Goni, dan Djohar
Bakry) , Jakarta : Bulan Bintang.
Al-Attas An Naquib, 1988, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung : Mizan.
Ali Ashraf, 1989, Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Pustaka Firdaus.
Syahminan Zaini, 1986, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta :
Pustaka al-Husna.
Drs. H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang : PT. Karya Toha Putra, hlm 13
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002
Al-Attas An Naquib, . Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung, Mizan, 1988)
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tafsir per kata,2011,Banten, Kalim
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Tafsirnya,2010,Jakarta, Lentera abadi
Mustafa Ahmad Al- Muroghy, tafsir Al-Muroghy,tt,beirut,darul ihya' at- turats algozali
Nata Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan 2009,Jakarta, rajawali pers.
17
PENDAHULUAN
I.A latar belakang masalah
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan
sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki
kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah
kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan,
spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini,
banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan
misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis
yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran
diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai
sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih
supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan
seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang
tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu
yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan
pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi
dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni
pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim
memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi
Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar
pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini
terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam
memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem
pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki
paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan pendidikan
1
dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam alQur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat
secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan dalam Islam
dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.
I.B RUMUSAN MASALAH
Didalaam makalah ini akan kami bahas beberapa rumusan masalah berkaitan dengan
pendidikan dalam Al-Qur’an, yaitu :
a. Apakah pengertian dari pendidikan ?
b. Apakah tujuan Pendidikan dalam Al-Qur’an?
c. Bagaimana pendidikan sebagai proses humanisasi?
d. Bagaimanakah sifat pendidik yang baik ?
e. Bagaimanakah sifat peserta didik yang baik ?
I.C PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan
Pengertian Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur'an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’,‘atTa’lim’, dan ‘at-Tadhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’,
kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai
pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur'an tidak
ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb,
rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani.
Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata di atas. Sebagaimana
dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata
tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiyayarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai
urusan, menuntun, menjaga, memelihara.
2
2. Tujuan Pendidikan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi/beribadah
kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56).
Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan jin dan
manusia tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah
dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah. Tujuan
pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan
yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu
sebagai abid. Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik
atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan beribadah. Ibadah bukan
sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan
yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap
siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa
pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak
terbatas. Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqih ada dua yaitu ibadah mahdloh dan ibadah
ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk,
kadar atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru
mahdloh adalah sebaliknya, kurang lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang
diniatkan untuk memperoleh ridho dari Allah SWT.
Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah termasuk dalam
kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
(طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة )رواه ابن عبد البر
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan perempuan”
(H.R Ibn Abdulbari)
(من خرج فى طلب العلم ففى فى لبال ل حتى يرجع )رواه الترمذى
“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan
sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”. (H.R.
3
Tirmidzi)
Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup individu termasuk
akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku. Melalui pendidikan, setiap potensi
yang di anugerahkan oleh Allah SWT dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk
menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu
proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun
juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada
zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.
Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua fungsi,
yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai makhluk Allah
yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi tersebut juga dijelaskan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut:
“…’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…” [Q.S AlBaqarah(2): 30].
Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan dengannya Allah
SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya kepada manusia, maka manusia
merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai pemimpin dibumi Allah.
Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk
akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu
yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat
bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT”. Kalau
dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan
Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan
untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha
mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa
(waj’alna li al-muttaqina imaama).
4
Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu
mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu; itba’
syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits) dan
sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam ini),
Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan
kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi orang-orang
yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil sebagai itba’
syaria’tillah sekaligus itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak,
pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.
3. Pendidikan Sebagai Proses Humanisasi
Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah Telah mengangkat
Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak
diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah
memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah
memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2] : 247).
Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai raja Bani Israil. Allah
menceritakan kisah ini dengan sangat indah, dimana orang yang berpendidikan dan
mempunyai fisik kuatlah yang pantas menjadi pemimpin dan melaksanakan titah sebagai
khalifah fil ardl.
5
Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah mengangkat Thalut
sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau menerima Thalut sebagai raja dengan
alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja itu hanyalah dari kabilah Yahudi,
sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah Bunyamin. Lagi pula disyaratkan yang boleh
menjadi raja itu harus seorang hartawan, sedang Thalut sendiri bukan seorang hartawan.
Oleh karena itu secara spontan mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah
kami, padahal kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang
dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?”
Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja atas pilihan Allah SWT
karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa
sehingga ia mampu untuk memimpin Bani Israil. Dari ayat ini diambil pengertian bahwa
seorang yang akan dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara.
2. Ilmu pengetahuan yang luas, mengetahui di mana letaknya kekuatan umat dan
kelemahannya, sehingga dapat memimpinnya dengan penuh kebijaksanaan.
3. Kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran.
4. Bertakwa kepada Allah supaya mendapat taufik daripada-Nya untuk mengatasi segala
kesulitan yang tidak mungkin diatasinya sendiri kecuali dengan taufik dan hidayah-Nya.
Manusia sebagai khalifah di bumi bisa melaksanakan amanah memakmurkan bumi jika
manusia tersebut mempunyai 4 karakter diatas. Karakter-karakter tersebut hanya bisa
diperoleh dengan pendidikan yang baik dan usaha yang terus menerus. Pendidikan jasmani
akan menghasilkan raga yang sehat, kuat dan tangguh. Pendidikan rohani akan
menghasilkan pengetahuan yang luas, akhlak yang baik dan ketaqwaan kepada Sang
Kholik. Kedua jenis pendidikan ini saling terkait dan sama pentingnya untuk
menghasilkan manusia-manusia paripurna yang bisa mengemban amanat sebagai khalifah.
Adapun harta kekayaan tidak dimasukkan menjadi syarat untuk menjadi raja (pemimpin)
karena bila syarat-syarat yang empat tersebut telah dipenuhi, maka mudahlah baginya
untuk mendapatkan harta yang diperlukan sebab Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi
Maha Mengetahui.
Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi
pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi
yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis
6
pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional,
yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih
khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan
dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah
dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya
adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang
makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.
4. Sifat Pendidik Yang Baik
Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” al-qashash(28:26).
Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak pula
mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus semua urusan keluarga itu hanyalah
kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, di
samping mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk memintanya
supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah baiknya kalau Musa yang
nampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya diangkat menjadi
pembantu di rumah ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya angkatlah Musa itu
sebagai pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita sebagai penggembala
kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya lihat dia seorang yang jujur dapat dipercaya
dan kuat juga tenaganya. Usul itu berkenan di hati bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja
ingin mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan putrinya itu
dengan Musa dan sebagai maharnya Musa harus bekerja di sana selama delapan tahun dan
bila Musa menyanggupi sepuluh tahun dengan suka rela itulah yang lebih baik.
Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun untuk
dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua putri dari Nabi Syuaib dan membantunya
mengambilkan air minum untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah seorang pemuka agama
7
dan masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah seorang yang gagah perkasa,
kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya. Karena sifat-sifat terpuji itulah
yang membuat anak gadis Nabi Syuaib terkesima dan Nabi Syuaib juga berencana
menikahkan salah satu diantara anak gadisnya dengan Nabi Musa.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk pada ayat di atas, demikian
juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan mengangkat Nabi Yusuf A.S sebagai
kepala badan logistik negara. Dalam firman alloh menyebut:
“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), dia berkata: “Sesungguhnya
kamu (mulai) hari Ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi
kami” (Q.S. Yusuf [12] : 54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut,
yaitu kuat dan dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat mengemban tugas
berat.
Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan bidang. Oleh karena itu
terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang dipilih.
Sedangkan kepercayaan tersebut diatas yang dimaksud adalah integritas pribadi dari orang
yang diberi amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan orang-orang yang ahli di
bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas pribadi yang unggul dan terpuji guna
mengembangkan segala aspek kehidupan yang lebih bermakna. Diharapkan orang
mukmin mempunyai spesialisasi tertentu di bidang iptek dan punya integritas pribadi
tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju kejayaan. Mukmin kuat dalam
berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan mukmin lemah, hal ini sesuai dengan
sabda Nabi SAW :
“Dari Abu Hurairah R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masingmasing mempunyai kebaikan. Gemarlah kepada hal-hal yang berguna bagimu. Mintalah
pertolongan kepada Allah dan janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu,
jangan berkata: Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu. Tetapi
katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah Allah dengan apa yang Dia perbuat.
Sebab kata-kata seandainya membuat pekerjaan setan.” (H.R. Muslim).
8
E. Sifat Peserta Didik Yang Baik
Al-Qur’an Surat Ali Imron [3] ayat 19
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orangorang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Ayat diatas menunjukkan sebagai berita dari Allah SWT yang menyatakan bahwa tidak
ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu mengikuti para
Rasul yang diutus oleh Allah SWT di setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi
Muhammad SAW yang membawa agama yang menutup semua jalan lain kecuali jalan
yang telah ditempuhnya. Karena itu, barangsiapa yang menghadap kepada Allah – sesudah
Nabi Muhammad SAW diutus – dengan membawa agama yang bukan syariatnya, maka
hal itu tidak diterima oleh Allah.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman Allah diatas dengan innahu
yang di-kasrah-kan dan anna di-fathah-kan, artinya “Allah telah menyatakan, begitu pula
para malaikat dan orang-orang berilmu, bahwa agama yang diridloi di sisi Allah adalah
Islam”. Sedangkan menurut jumhur ulama’, mereka membacanya kasrah, yaitu ‘innad
diina’ sebagai kalimat berita. Bacaan tersebut kedua-duanya benar, tetapi menurut bacaan
9
jumhur ulama lebih kuat.
Kemudian Allah SWT memberitakan bahwa orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab
kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka berselisih pendapat hanya setelah hujjah
ditegakkan atas mereka, yakni sesudah para Rasul diutus kepada mereka dan kitab-kitab
samawi diturunkan buat mereka. Sebagian dari mereka merasa dengki terhadap sebagian
yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat dalam perkara kebenaran. Hal tersebut
terjadi karena terdorong oleh rasa dengki, benci dan saling menjatuhkan, hingga sebagian
dari mereka berusaha menjatuhkan sebagian yang lain dengan menentangnya dalam semua
ucapan dan perbuatannya, sekalipun benar. Terhadap orang-orang yang ingkar kepada
ayat-ayat Allah yang telah diturunkan, maka sesungguhnya Allah akan membalas
perbuatannya dan melakukan perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan
menghukumnya akibat ia menentang Kitab-Nya.
Keterangan di atas menunjukkan kedengkian dan kebencian umat Yahudi dan Nasrani
terhadap umat Islam pada zaman sekarang setelah hujjah dan penjelasan datang pada
mereka tentang kebenaran Islam. Walaupun mereka diberi akal dan pengetahuan oleh
Allah SWT, tetapi karena hatinya tertutup oleh rasa sombong dan dengki terhadap Islam
sehingga tidak mau menerima kebenaran Islam. Pengetahuan yang mereka peroleh
digunakan untuk menuruti hawa nafsu mereka belaka, seperti dapat kita lihat di negaranegara yang mayoritas penduduknya Yahudi dan Nasrani. Pengetahuan yang telah
diperoleh untuk memperkaya diri, menyombongkan diri bahkan saling berusaha
menguasai dan menjajah diantara satu dengan lainnya dalam segala bidang kehidupan.
Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kering dari makna serta membuat semakin
kehilangan arah ke-ilahi-an dan miskin dimensi transendental.
Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep pendidikan di Barat yang
mengedepankan materialistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang didapat
dari proses belajar-mengajar secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim yang lebih
tangguh, berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam. Pengetahuan yang
didapatpun akan lebih didayagunakan untuk kemaslahatan umat Islam pada khususnya dan
rahmatan lil alamin pada umumnya.
10
BAB II
Nasihat Luqman
II.A latar belakang
Mendidik anak adalah tugas yang berat bagi orang tua, karena semakin majunya teknologi
orang tua harus lebih ekstra memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Banyak tokoh
yang bisa di tiru dalam mendidik seorang anak, seperti halnya lukman dalam mendidik
anaknya. Beliau menanam kuat-kuat tentang keimanan kepada Allah, dan selalu
menasehati anaknya, agar selalu berbakti kepada kedua orang tua. Alqur’an pun sering
menyinggung tentang bagaimana seharusnya seorang anak menghormati orang
tuanya.Dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan bagaimana seharusnya menjadi
orang tua yang bisa memberikan yang terbaik kepada anaknya dengan meniru lukman di
dalam mendidik anak.
B. tujuan makalah
Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan seharusnya orang tua mendidik anaknya
dengan melihat kisah lukman dalam medidik anaknya yang terdapat dalam surat lukman
ayat 13-15. Sehingga bisa menjadikan generasi muda yana berakhlak mulia.
11
II.B Penjelasan
1. Surat luqman ayat 13- 15
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: H
" ai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan.
[1180] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua
tahun.
12
2. Asbabul Nuzul
a. Surat Lukman ayat 13
Abdillah mengatakan ayat ini diturunkan berkenaan dengan nasihat Rasulullah kepada
para sahabat tentang wasiat lukman kepada anaknya. Saat turun QS. 6:82. Para sahabat
keberatan. Mereka menghadap Rasulullah dan bertanya. “wahai Rasul, siapa diantara kami
yang dapat membersikan keimanan dari kedzaliman?” “apa kalian telah mendengar wasiat
lukman kepada anaknya. ‘Anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, karena itu
adalah kedzaliman yang sangat besar’. “bersabda” (HR. Bukhari)
b. Surat Lukman ayat 15
Sa’ad bin malik berkata, “ayat ini diturunkan berkenaan denganku. Aku sangat mencintai
dan menghormati ibuku. Saat aku masuk islam ibuku tidak setuju dan berkata, ‘Anakku ,
kamu pilih salah satu, kamu tinggalkan islam atau aku akan mogok makan dan minum
hingga aku mati’. Aku bertekad untuk tetap dalam islam. Namun ibuku melaksanakan
ancamannya selama tiga hari tiga malam. Aku sedih dan berkata,’ibu, jika ibu memiliki
seribu jiwa (nyawa) dan satu persatu meninggal, aku akan tetap dalam islam. Karena itu
terserah ibu mau makan atau tidak. ‘akhirnya, ibuku pun luluh dan mau makan
kembali.”(HR. Thabrani)
3 . Penjelasan surat lukman ayat 13-15
Ayat di atas merupakan nasihat Lukman kepada anaknya. Lukman melarang anaknya dari
berbuat syirik, dia memberikan alasan atas larangan tersebut bahwa kemusyrikan itu
adalah kazaliman. Pernyataan Lukman tentang hakikat ini di perkuat dengan dua tekanan.
Pertama, mengawalinya dengan larangan berbuat syirik dan alasannya. Kedua, dengan
huruf inna “sesungguhnya” dan huruf la “benar-benar”.
13
Nasihat seorang ayah kepada anaknya adalah bebas dari segala syubhat dan jauh dari
segala prasangka. Sesungguhnya perkara tauhid dan larangan berbuat syirik merupakan
perkara lama yang selalu di serukan oleh orang-orang yang di anugrahkan oleh Allah
diantara manusia. Tidak ada kehendak lain di baliknya melainkan kebaikan semata-mata,
dan sama sekali tidak menghendaki selain yang demikian. Inilah pengaruh jiwa yang di
maksudkan dalam ayat di atas. “… Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lamah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun… “.
Ayat ini menggambarkan nuansa pengorbanan yang agung dan dahsyat. Seorang ibu
dengan tabiatnya harus menaggung beban yang amat berat dan lebih kompleks. Namun,
luar biasa, ia tetap menganggungnya dengan senang hati dan cinta yang lebih dalam,
lembut dan halus. Walapun satu tarikan nafas dalam proses kehamilan dan kelahirannya,
tetap tidak dapat di balasoleh seorang anak. Pasalnya, ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah lemah.
Dari sela-sela nuansa gambaran yang di liputi dengan kasih sayang itu, Al- Qur’an
mengarahkan agar bersyukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat yang pertama.
Kemudian berterima kasih kepada kedua orang tua sebagai dua orang yang menjadi sarana
nikmat itu pada urutan berikutnya. Al-Qur’an menggambarkan urutan kewajibankewajiban. Jadi, yang pertama bersyukur kepada Allah kemudian berterima kasih kepada
orang tua. “Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…”.
Hingga bila orang tua menyentuh titik syirik ini, jatuhlah kewajiban taat kepadanya, dan
ikatan aqidah harus mengalahkan dan mendominasi segala ikatan lainnya. Walaupun
kedua orang tua telah mengeluarkan segala upaya, usaha, tenaga, pandangan yang
memuaskan untuk menggoda anaknya agar menyukutukan Allah dimana ia tidak
mengetahui tentang ketuhanannya (dan setiap yang disembah selain Allah pasti tidak
memiliki sifat ketuhanan, karena itu camkanlah), maka pada saat itu anak diperintahkan
agar jangan taat. Dan perintah itu berasal dari Allah sebagai pemilik hak pertama dalam
ketaatan. Namun, perbedaan aqidah dan perintah dari Allah agar tidak taat kepada orang
tua dalam perkara yang melanggar aqidah, tidaklah menjatuhkan hak kedua orang tua
dalam bermuamalah dengan baik dan menjalin hubungan yang memuliakan mereka.
Surat Luqman ayat 15 berisi bahwa Allah menyuruh supaya berbuat baik kepada ibu
bapak dan menurut apa-apa perintahnya, tetapi jika keduanya menyuruh kamu, supaya
kafir (mempersekutukan) Allah, maka janganlah turuti perintahnya itu. Dalam pada itu
hendaklah kamu bergaul dengan dia menurutnya patutnya juga, dan tidak boleh kamu
14
memusuhinya atau durhaka kepadanya. Pendeknya perkataan ibu, bapak itu wajib untuk
dituruti, selama tidak melanggar peraturan agama Islam.
4. Implikasi surat lukman ayat 13-15
Islam sangat memperhatikan pendidikan anak, sehingga diceritakan kisah lukman dan
anaknya. Yang perlu kita tiru dari kisah lukman dalam mendidik anak ialah:
a. Menanamkan keimanan kepada anak sejak dini untuk selalu iman kepada Allah, dan
melarang untuk menyekutukanNya.
b. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya.
c. Selalu bersyukur kepada kedua orang tua atas kasih sayangnya.
d. Mentaati kedua orang tua selagi tidak melanggar peraturan agama islam.
e. Tidak melawan kedua orang tua ketika mereka memaksa untuk menyekutukan Allah,
akan tetapi tetap memperlakukan mereka dengan baik.
Akan tetapi didalam mendidik perlu ada beberapa unsur untuk bisa menjadikan anak itu
menjalankan apa yang diperintahkan orang tua.
Menurut Abbudin nata ada enam komponen di dalam mendidik anak, yaitu:
1. Komponen pendidik yang didalam hal ini adalah orang tua khususnya luqman (ayah)
sebagai kepala keluarga.
2. Komponen anak didik (murid) dalam hal ini adalah anaknya luqman sendiri.
3. Komponen lingkungan dimana kegiatan pendidik tersebut berlangsung yang dalam hal
ini adalah lingkungan keluarga.
4. Komponen materi (kurikulum) pendidikan yang dalam ayat-ayat tersebut mencakup
materi pendidikan tentang keimanan atau akidah yang kokoh. Antara lain dengan
menjauhi perbuatan syirik; aklhak mulia anytara lain memuliakan kedua orang tua,
mendirikan shalat, memerintah peruatan baik dan menjauhi prbuatan munkar, berrsikap
tabah dan tidak menyombongkan diri ddan bersikap rendah hati.
5. Komponan hubungan, pendekatan dalam proses belajar mengajar yang dalam hal ini
mengembangkan pola hubungan yang demokratis menghargai pendapat orang lain,
manusiawi, berorientasi kepada kebenaran ilmiah, dan profesional.
6. Komponen metode, yang dalam hal ini dengan ceramah (mauidzah) dan perintah.
15
Dengan mengikuti iuran tersebut diatas tampak dengan jelas bahwa ajaran islam (AlQur’an) amat memperhatikan pembinaan generasi muda. Pembinaan tersebut dilakukan
melalui kegiatan pendidikan yang dimulai dari rumah tangga atau pendidikan keluarga.
Yang selanjutnya dilanjutkan oleh sekolah denga biaya ditanggung keluarga.
Untuk menghasilkan generasi muda yang baik yaitu generasi muda yang sehat fisiknya
berilmu pengetahuan, berketerampilan, berakidah yang kokoh, taat menjalankan ibadah
dan berakhlak yang mulia dan seterusnya terdapat pula petunjuk yang dapat dilakukan
kedua orang tua.
III
KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan di atas, pemakalah menyimpulkan :
a. Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sadar
akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Sehingga dalam
melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari
sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata, selain itu dalam setiap gerak langkahnya
selalu bertujuan memperoleh ridho dari Yang Maha Kuasa.
b. Pendidikan Islam mempunyai misi membentuk kader-kader khalifah fil ardl yang
mempunyai sifat-sifat terpuji seperti amanah, jujur, kuat jasmani dan mempunyai
pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang. Diharapkan akan terbentuk muslim yang
mampu mengemban tugas sebagai pembawa kemakmuran di bumi dan “Rahmatan Lil
Alamin“.
c. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani
dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik
sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Islam sangat memperhatikan pendidikan anak, sehingga diceritakan kisah lukman dan
anaknya. Yang perlu kita tiru dari kisah lukman dalam mendidik anak ialah:
1. Menanamkan keimanan kepada anak sejak dini untuk selalu iman kepada Allah, dan
melarang untuk menyekutukanNya.
2. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya.
16
3. Selalu bersyukur kepada kedua orang tua atas kasih sayangnya.
4. Mentaati kedua orang tua selagi tidak melanggar peraturan agama islam.
5. Tidak melawan kedua orang tua ketika mereka memaksa untuk menyekutukan Allah,
akan tetapi tetap memperlakukan mereka dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasy M. Athiyah, 1968, At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj; Bustami A.Goni, dan Djohar
Bakry) , Jakarta : Bulan Bintang.
Al-Attas An Naquib, 1988, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung : Mizan.
Ali Ashraf, 1989, Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Pustaka Firdaus.
Syahminan Zaini, 1986, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta :
Pustaka al-Husna.
Drs. H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang : PT. Karya Toha Putra, hlm 13
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002
Al-Attas An Naquib, . Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung, Mizan, 1988)
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tafsir per kata,2011,Banten, Kalim
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Tafsirnya,2010,Jakarta, Lentera abadi
Mustafa Ahmad Al- Muroghy, tafsir Al-Muroghy,tt,beirut,darul ihya' at- turats algozali
Nata Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan 2009,Jakarta, rajawali pers.
17