kumpulan cerpen dan Kompas 2006

Garis Cahaya Bulan…

Yanusa Nugroho (8 januari 2006)

Sorga itu ada di sini. Kalau kau tak percaya, sesekali datanglah ke mari. Kau akan melihat dan merasakannya sendiri. Aku yakin, kau akan mengatakannya sebagaimana aku mengatakannya padamu.

Ya, sorga itu ada di sini. Di pinggiran kali berwarna cokelat, dengan rumah-rumah kardus atau tripleks, dihiasi jemuran pakaian lusuh di sana-sini, melambai-lambai ditiup angin.

Aku sendiri tak mengerti, bagaimana mungkin bisa sampai di tempat ini. Hampir tiga hari aku berjalan, mengendap-endap, melirik kalau-kalau ada sepasang mata yang mengikutiku. Hampir tiga hari ini semua kulakukan dan … ya, sebagaimana yang kukatakan tadi, aku menemukan sorga itu di sini.

Hidup inilah yang memilih kita. Jangan dibalik, kita tak pernah bisa memilih hidup kita. Jangankan hidup, lahir di rahim siapa pun, kita tak pernah bisa memilih. Kita ditentukan, dan manakala kau mengeluh, atas apa yang kau dapatkan, itu pun tak sepenuhnya salah. Tapi, siapakah yang akan membelamu jika kau mengeluh dan mempertanyakan keadilan? Tidak ada. Tak seorang pun. Oleh karenanya, kawan, lebih baik nikmati sebatang rokok kehidupan ini, tanpa mempersalahkan siapa pun.

Hujan yang turun, di tengah panas terik, sudah biasa terjadi. Tak ada yang aneh di sana. Mungkin dulu sebagai pertanda akan adanya musibah, tetapi saat ini, apakah yang tak bisa kita sebut musibah?

Perintah itu datang begitu saja. Dan dengan enaknya, perintah itu bertengger di pundakku. Begitu saja. Dialah yang memilihku. Apakah aku bisa mengelak? Tidak. Aku tidak bisa mengelak, karena semua sudah ada yang mengatur. Mengelak berarti melompat dari rel, dan melompat dari rel berarti hancur. Aku tak mau hancur. Usiaku masih belum tiga puluh tahun. Aku masih bisa membangun hidupku. Aku tak mau mati sia-sia, konyol dan tak sempat melakukan sesuatu; menziarahi kubur ibuku, misalnya.

Aku harus menjalankan semua yang diperintahkan, persis sama dengan instruksi yang tertulis di lembaran kertas bersegel itu. Jika tugasku selesai, maka 50 persen fee yang disebutkan di kontrak itu langsung diguyurkan ke rekeningku. Ah, mudah sekali mendapatkan uang banyak. Ikuti perintah, dan semuanya beres.

Tunggu dulu, jangan kau pikir aku akan membunuh seseorang. Tidak. Itu pekerjaan kotor. Aku tak akan membiarkan tanganku berlumuran darah. Menjijikkan. Maaf, mungkin aku memang kau kenal sebagai bajingan, tetapi… aku bukan pembunuh. Jangan salah, aku bisa membunuh, kalau aku mau, tetapi, tidak kali ini.

Tugasku sederhana saja: mengikuti ke mana perginya seorang bayi. Gampang, bukan? Ha-ha-ha… kau salah sama sekali. Sekali ini, kukatakan padamu bahwa kau sedikit bodoh. Ah, maaf terlalu kasar kalimatku. Begini saja, kau sedikit lebih pintar daripada keledai… ha-ha-ha-ha….

Bayi. Bayi merah. Bayi merah yang baru saja dilahirkan di rumah besar itu (maaf, aku harus merahasiakan orang yang memberiku kehidupan). Bayi itu, sebagaimana mungkin yang kau duga—kali ini kau jenius—adalah hasil madu gelap antara nyonya rumah dan kekasihnya. Jangan kau tanyakan siapa mereka—tak penting, dan aku tak bernafsu menceritakan aib orang lain.

Yang penting bayi itu lahir dan harus menyingkir, karena si tuan rumah yang sudah lebih dari setahun tak pulang-pulang itu, mendadak akan pulang. Bayi yang cantik, bersih dan menawan hati, tetapi tak diinginkan kehadirannya di rumah besar itu.

Beberapa orang kepercayaan si nyonya rumah yang umurnya baru 23 tahun itu, menasihati agar anak itu diberikan pada orang lain saja. Tetapi nyonya rumah hanya menggeleng. Tentu saja dia tak ingin aibnya ketahuan suaminya, karena dia bisa saja dicerai dan kembali hidup sebagai orang miskin. Hmm… pandangan yang wajar saja, kurasa.

Salah seorang, entah siapa, tiba-tiba teringat akan kisah Musa—ah, terlalu religius kurasa, dia. Belum selesai dia berkata, seorang yang lain menyambungnya dengan kisah Karna—anak Kunti di Mahabarata itu. Jujur saja, aku muak, tetapi bukan urusanku mempertimbangkan semua itu.

Maka, demikianlah. Bayi itu kubungkus dengan kotak kayu yang lumayan jelek, tentu saja aku selimuti, kuberikan sebotol susu, lalu aku letakkan di sudut jalan. Dari jarak tertentu aku mengawasinya. Aku khawatir bayi itu dimakan anjing. Kalau aku mau, bayi itu bisa saja kulempar ke sungai dan mengatakan pada nyonya sialan itu bahwa anaknya sudah dipungut orang, dan semoga saja dia berbahagia selamanya.

Tetapi, entah mengapa aku tidak bisa melakukan itu. Ada sesuatu yang mencegahku melakukan pembunuhan. Sesaat sebelum kutinggalkan dia di sudut jalan itu, aku sempat mengamati wajahnya yang jernih. Tidur lelap tanpa perasaan apa-apa.

Sepi sekali di sekitarku. Hening sekali perasaanku. Siapakah aku, jika mau melakukan perbuatan sejahat itu pada bayi yang bahkan belum bisa melihat apa-apa itu?

Kau tentu berpikir, mengapa tak kupelihara saja bayi itu—Ooo… tidak, tidak.. aku tak ingin menjadi juru rawat. Umurku masih belum tiga puluh, bayangkan jika itu terjadi dan … ah, sudahlah, jangan pernah berpikir tentang itu padaku.

Begitulah, baru saja rokok hendak kunyalakan, ekor mataku menangkap seseorang dengan keranjang di punggung, jongkok di kotak bayi itu. Kuhentikan semua kegiatanku dan mulai menyimak apa yang akan terjadi. Bisa jadi dia orang gila, yang akan membunuh bayi tak berdosa itu. Bisa jadi dia merasa menemukan daging gratis dan akan membuat bayi itu sepotong daging rebus untuk makan malam. Semua itu mungkin bagiku. Aku tahu apa yang akan kuhadapi. Kalau itu yang akan terjadi, maka sebutir timah panas ini akan membuatnya gelap selama-lamanya.

Bayi itu dipungutnya. Digendongnya dengan sukacita. Dia menoleh ke kanan-ke kiri dan rupanya tak melihat siapa-siapa, kecuali gelandangan mabok yang bersandar di bangku taman. Dari sana, dibawanya bayi itu ke sarangnya. Dan aku—mau tak mau, mengikutinya dari jarak tertentu. Dengan pakaian kumuh dan wig sialan ini (bikin gatal kepalaku), juga kantung-kantung plastik yang kujadikan hiasan tubuhku ini, lengkaplah kegilaanku mengikuti ke mana si bayi dibawa.

Si bodoh itu tak menyadari juga kehadiranku. Dia tiba di gubuknya, di pinggiran kali ini, tepat ketika matahari tenggelam. Aku duduk di antara sampah dan bau busuk, hanya untuk menyelidiki apa yang akan terjadi di gubuk kardus dan tripleks itu.

Kubayangkan, besok pagi dia akan digendong oleh istri gembel busuk itu, lalu dibawanya ke perempatan jalan untuk memeras belas kasihan manusia-manusia bermobil itu. Atau, lebih buruk lagi, bayi itu akan disewakannya kepada perempuan lain, untuk pemerasan yang sama. Tidak, sebaiknya mereka tidak merencanakan itu, karena jika sampai itu terjadi—bila malam ini kudengar kata-kata itu, akan kuhabisi mereka semuanya.

Aku tersentak oleh gelak tawa dari gubuk itu. Tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan… dan anak-anak. Mereka gembira. Mereka bahagia, bahkan kudengar mereka berebutan memberi nama pada si mungil. Tangisan si kecil membuat mereka kian bahagia. Sempat kudengar ada suara anak kecil, bahkan lidahnya belum fasih mengucapkan ”r”, mencoba menguasai keadaan dengan teriakannya yang lantang, bahwa dialah yang paling berhak memberi nama si adik kecil.

Adik? Aku tersenyum di tengah sampah. Bulan di atas sana membulat putih, bagai piring perak, membentuk garus-garis cahaya di permukaan daun, air, gedung, bahkan sampah. Sejenak terlintas ingin melongok ke gubuk itu, penasaran apa yang terjadi di sana. Tetapi, tentu saja kuurungkan, karena itu akan mengganggu kegembiraan mereka.

Pagi itu, aku duduk di ruang tunggu. Lantai marmer menelanku dalam kesendirian. Kopi sudah separo kuhirup. Aku hanya melaporkan apa yang terjadi dan selesailah semuanya.

Detak sepatu mengisi sunyiku. Asisten si nyonya datang. Tanpa bicara dia menatapku. Aku pun tahu, lalu menyebut siapa dan di mana bayi itu kini berada. Ada senyum tersudut di bibir. Begitu tajam rasanya di mataku. Entah mengapa aku muak melihatnya begitu. Siapakah dia yang mampu tersenyum setajam itu.

Aku beranjak, setelah menerima sesuatu. ”… semoga sudah masuk hari ini,” ucapnya dingin tentang sisa fee yang akan kuterima.

Aku tak peduli. Aku mulai gelisah karena amplop itu berarti tugas lagi. Malam ini, masih bisa kusaksikan bulan purnama. Bulat penuh. Bercahaya penuh.

Langit tanpa awan, bersih. Aku membayangkan bayi itu tengah disusui ibu angkatnya— seorang perempuan yang mungkin sudah punya anak tiga atau empat. Seorang perempuan yang bersuamikan gelandangan. Seorang perempuan yang tak mampu menentukan nasib, dan tergilas zaman, teronggok di balik gubuk tripleks di tengah sampah. Tetapi, dengan semuanya, dia masih memiliki kasih sayang, yang saat ini digelimangkan kepada si bayi merah itu.

Siapakah orang-orang itu? Aku bahkan tak mengenalnya. Hidupku membuatku harus tak mengenal wajah siapa pun, karena memang tak penting. Hidupku membuatku harus terbebas dari segala ikatan.

Kubayangkan, betapa bahagianya si kecil itu. Dia memiliki keluarga. Dia dilahirkan dari rahim yang tak menghendakinya, yang menganggapnya ancaman, kesialan, namun dia akan dibesarkan oleh kegembiraan yang tulus dari penghuni rumah tripleks itu.

Yang aneh, mengapa semuanya harus kusaksikan? Tak pernah terbayangkan bahwa ini adalah sebuah kisah yang harus kujalani. Kujalani? Bukankah ini sebetulnya kisah si bayi? Mengapa aku merasa terlibat? Mengapa dia mampu membagi dan aku sanggup merasakan kebahagiaan bayi itu? Aku belum pernah mengalami hal semacam ini.

Tidak. Tidak mungkin. Ruang apartemenku harum. Lampu penerangnya kuatur dengan komputer. Aku mampu menikmati apa pun yang kuinginkan, jadi tak mungkin— seharusnya—aku menyisakan ruang untuk orang lain. Tetapi, ah, wajahnya, tangisnya, dan tiba-tiba aku menilai bahwa nasibnya sunguh aneh.

Ini aneh, karena aku bisa menilai keanehan yang menimpa orang lain. Aku terbangun oleh dering telepon. Kepalaku masih berat. Sekilas kulihat beberapa

botol minuman menganga, tergeletak di meja dan di karpet. Alkohol menebar. Aku tak bisa melupakan hantu yang mulai menerjang hidupku. Apalagi ketika pembicaraan dari telepon terdengar, kepalaku rasanya mau pecah.

Aku banting telepon itu. Masih terngiang sisa ucapan seseorang dari seberang sana. Dia tertawa penuh kemenangan, karena meskipun aku menolaknya—ini aneh sekali, aku bisa menolak permintaan, kali ini—orang lain tetap melakukan tugas itu. Dan sudah terlaksana.

Sudahlah, kau tak akan mengerti apa yang terjadi dengan hidupku. Maafkan, mungkin aku memang tak bisa menguraikannya secara detail, karena mungkin memang tak ada gunanya bagimu.

Aku duduk di tengah sampah ini, di pinggiran kali ini. Sunyi. Gelap. Dan seperti kataku, ini adalah sorga. Di tempat ini melimpah kebahagiaan. Di tempat ini, bergelimang kasih sayang dan gelak tawa yang tulus. Aku pernah menyaksikannya, merasakannya dan karenanya aku berani mengatakan padamu bahwa inilah sorga itu.

Kurebahkan diriku di sisa sampah yang harum ini. Aroma sangit pembakaran. Kubayangkan bulan. Kutanyakan apa yang disaksikannya di sini, kemarin malam. Kurasa dia tak akan sanggup menceritakannya. Ya, kemarin malam, di sini, di pinggiran kali ini, semua penghuni gubuk merayakan pesta. Mereka menyaksikan bunga api yang sangat besar, menjilat dan menari-nari di rumah-rumah mereka. Bantaran kali ini akan dijadikan taman rekreasi yang indah. Semua sampah harus dibersihkan.

Semua sampah harus dibersihkan, dan kini menyisakan kesepian yang menusukku. Kapan-kapan, jika kau ada waktu, cobalah ke tempat ini. Ini sorga, dulu.

Bukit Nusa Indah, 982

Si Gila dari Dusun nCuni

M Dawam Rahardjo (15 januari 2006)

Patek dan Jali adalah dua orang yang bersahabat dalam pola hubungan yang mungkin bisa dianggap aneh. Jali, panggilan akrab Gazali, mulai tinggal di Dusun nCuni, Desa Kwangko, sebuah permukiman nelayan di Kabupaten Dompu, sejak ia ditugaskan memimpin base-camp proyek budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba milik PT Solar Sahara Mina atau sering disebut SSM yang berkantor pusat di Jakarta. Tapi Patek, seorang warga dusun di tepi pantai Teluk Dompu itu sudah lebih lama menjadi warga dusun yang dikenal banyak orang. Berbeda dengan Jali yang dikenal sebagai manajer perusahaan, Patek dikenal sebagai seorang gila, karena perilakunya yang aneh. Sebagian warga yang lain menganggapnya orang yang terbelakang mentalnya, seorang idiot. Namun sebaliknya, ada juga sebagian kecil orang yang menganggapnya pula sebagai semacam orang suci karena ia sangat rajin beribadah, hampir tidak pernah ketinggalan shalat lima waktu berjamaah, di masjid yang berbeda-beda, dengan wirid yang lama. Paling tidak Patek dianggap sebagai seorang yang penuh misteri.

Ia dianggap gila karena sangat pendiam dan tidak bergaul dengan orang dan tidak banyak celoteh. Tidak pernah ia berkata-kata kalau tidak karena orang memulainya mengajak bicara atau bertanya. Itu pun ia tidak banyak omong. Jika bicara, ia tidak menatap wajah orang yang mengajaknya berbicara. Ia selalu menundukkan kepala. Agaknya ia tidak bisa menjawab pertanyaan orang mengenai hal-hal yang sulit, misalnya mengenai kepercayaan atau imannya. Walaupun ia menyadari dirinya seorang Muslim, tetapi tidak bisa menjelaskan rukun iman dan rukun Islam umpamanya, padahal ia tahu dan percaya pada nabi. Kitab suci Al Quran atau bahkan kehidupan akhirat yang ia percayai adanya.

Asal-usul Patek juga tidak banyak diketahui. Namanya pun aneh, tidak mengandung arti apa pun. Ia tidak pernah menjelaskan kepada orang lain siapa keluarganya. Hanya saja ia mengatakan dari mana ia sebenarnya berasal sebelum pindah ke Dusun nCuni, yaitu dari Desa Labuhan Jambu, sebelah barat Desa Kwangko, kira-kira delapan puluh kilometer. Namun, ia tidak menjelaskan mengapa ia meninggalkan kampung halaman, tempat tumpah darahnya itu. Ia hanya mengaku sudah tidak punya sanak saudara lagi, hidup sebatang kara. Ia tidak pula punya istri dan tidak punya cita-cita untuk kawin karena ia mengira tidak seorang perempuan pun yang mau ia kawini. Walaupun tidak kawin, ia tidak pernah berbuat zina karena tahu zina adalah perbuatan dosa.

Boleh dibilang, ia tidak pernah menginjak bangku sekolah. Ia hanya belajar mengaji saja dari seorang ustadz di kampung. Ia sebenarnya baru ditinggal mati kedua orangtuanya ketika menjelang dewasa. Mungkin karena sedihnya, dan selalu dihantui kenangan kepada kedua orangtuanya, ia meninggalkan kampung kelahirannya untuk mengembara dan akhirnya terdampar di Dusun nCuni. Rumah warisan orangtuanya dijualnya dan dibelikan sebidang tanah di nCuni yang didirikannya bangunan baru.

Di dusun itu ia tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana yang dibangunnya di tepi pantai teluk yang panjangnya sekitar seratus kilometer menjorok ke darat dari lautan Hindia itu. Teluk itu begitu tenang karena hampir tak ada gelombang, sebagaimana di Laut Hindia. Hanya riak air kecil ditiup angin. Gubuknya itu agak terpisah dari perumahan penduduk, tetapi dekat dengan sebuah masjid kecil, barangkali lebih tepat disebut surau, yang didirikan oleh Jali sebagai pimpinan base- Di dusun itu ia tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana yang dibangunnya di tepi pantai teluk yang panjangnya sekitar seratus kilometer menjorok ke darat dari lautan Hindia itu. Teluk itu begitu tenang karena hampir tak ada gelombang, sebagaimana di Laut Hindia. Hanya riak air kecil ditiup angin. Gubuknya itu agak terpisah dari perumahan penduduk, tetapi dekat dengan sebuah masjid kecil, barangkali lebih tepat disebut surau, yang didirikan oleh Jali sebagai pimpinan base-

Masjid atau surau itu tampak bersih. Tak ada debu, walaupun terbuka tak berdinding. Tapi surau itu cukup makmur karena sering dipakai untuk pengajian, laki-laki dan perempuan bercampur, tanpa hijab. Yang memberi pengajian di surau itu adalah ustadz-ustadz muda dari Desa Kwangko. Kadang kala Jali ikut memberi ceramah berdasar pengetahuan agama yang ia miliki. Tekanan ceramahnya adalah soal-soal akhlak dan muamalat, maklum, Jali adalah seorang profesional pimpinan perusahaan yang sangat berkepentingan dengan masalah-masalah perilaku mencari nafkah di sebuah kampung nelayan. Mereka itu walaupun menjalankan shalat dan pergi ke masjid, namun sulit meninggalkan kebiasaan berjudi dan minum minuman keras buatan lokal. Perilaku itu menurut Jali bisa mengganggu kegiatan ekonomi desa, misalnya merangsang kejahatan dan yang terang menimbulkan perilaku boros.

Kebersihan surau itu, tak ragu lagi, adalah berkat peranan Patek, yang rajin membersihkan masjid. Untuk membersihkan masjid itu, ia tak mau dibayar, walaupun Jali pernah memaksa Patek untuk menerima uang jasa. Patek tentu saja bukan orang kaya, bahkan dapat disebut orang miskin. Tapi ia pantang meminta-minta. Tak ada orang kampung yang punya pengalaman dimintai uang. Bahkan ia tidak mau menerima uang zakat karena ia merasa bukan fakir miskin dan masih sanggup bekerja mencari nafkah. Penghasilannya dari memungut sampah cukup untuk menghidupi dirinya seorang. Bahkan ia sempat menabung di suatu bank di Dompu. Ketika Jali mendirikan koperasi syariah al Amin, Patek mengalihkan dana tabungannya ke koperasi itu. Jali tahu jumlah uang simpanan Patek, tapi ia tidak pernah memberi tahu kepada orang lain karena koperasi harus bisa menjaga rahasia nasabah.

Pekerjaannya sebenarnya adalah pemulung, yaitu memungut botol-botol kosong bekas aqua. Untuk mencari botol-botol itu ia seminggu tiga kali pergi ke Dompu, sebuah kota kabupaten yang jaraknya sekitar seratus kilometer, di sebelah timur. Biasanya subuh- subuh ia sudah berangkat sehingga bisa memungut sampah di pagi hari. Di samping ke masjid-masjid, ia juga pergi ke gereja-gereja, tentu saja dengan izin penjaganya. Kebiasaan yang dilakukannya adalah membersihkan masjid dan bahkan juga gereja, misalnya Gereja Katolik Santa Maria dan St-Joseph, Gereja Masehi Injil atau Gereja Jemaat Syaloon, semuanya di kota Dompu.

Botol-botol yang dipungutnya itu ditampungnya pada sebuah karung dan kemudian disandang di punggungnya untuk di bawa ke tempat-tempat lain guna dijual. Patek menjual botol-botol aqua itu kepada nelayan-nelayan yang memelihara rumput laut di sepanjang pantai teluk itu. Para nelayan memakai botol-botol itu sebagai pelampung yang diikat dengan tali tempat bersandar rumput laut. Jali juga membina nelayan memelihara rumput laut melalui koperasi. Karena itu, Jali selalu membeli botol-botol aqua itu dari Patek. Sering kali Jali mengajar Patek makan sehingga hubungan kedua insan itu sangat akrab. Hanya Jalilah yang mampu menggali pikiran Patek melalui percakapan, walaupun Patek tetap tidak banyak bicara.

Jika pergi ke kota Dompu, Patek tidak pernah naik kendaraan apa pun, walaupun jaraknya cukup jauh. Ia hanya berjalan kaki tanpa istirahat. Suatu ketika ada orang dari Dusun nCuni yang juga hendak pergi ke Dompu, tapi naik kendaraan umum. Dalam pagi yang temaram ia melihat di muka Patek berjalan kaki. Tapi anehnya, ketika orang itu sampai di kota, ia heran melihat Patek telah sampai terlebih dahulu. Pengalaman Jika pergi ke kota Dompu, Patek tidak pernah naik kendaraan apa pun, walaupun jaraknya cukup jauh. Ia hanya berjalan kaki tanpa istirahat. Suatu ketika ada orang dari Dusun nCuni yang juga hendak pergi ke Dompu, tapi naik kendaraan umum. Dalam pagi yang temaram ia melihat di muka Patek berjalan kaki. Tapi anehnya, ketika orang itu sampai di kota, ia heran melihat Patek telah sampai terlebih dahulu. Pengalaman

Ternyata nama Patek juga dikenal luas di kalangan gereja, di samping kalangan masjid di kota Dompu itu, tak lain karena peranannya sebagai pembersih masjid dan gereja, tanpa mau menerima upah. Ia menganggap, peranannya itu sebagai ibadah kepada Tuhan. Pastor Dhakidae, dari Gereja Katolik Santa Maria, pernah tertarik pada Patek dan karena simpatinya, menanyakan apa agamanya dan bahkan menawarinya untuk dibaptis. Tapi Patek tidak mau karena merasa sudah beragama Islam. Namun, Patek minta diizinkan mengikuti misa di geraja di hari Minggu. Ternyata, dengan kemampuannya yang terbatas untuk memahami suatu ajaran agama, ia suka juga mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Pastor Dhakidae yang berasal dari Flores itu. Pastor itu sering berkhotbah tentang kasih sayang yang dicontohkan oleh Yesus Kristus sendiri. Misalnya Yesus sering menghibur orang yang lagi susah, mencintai anak-anak, bahkan juga menyembuhkan orang sakit. Ia bisa menerima khotbah- khotbah itu karena ia mungkin adalah seorang yang haus kasih sayang.

Karena cukup rajin mengikuti misa di gereja-gereja, nama Patek cukup dikenal di kalangan jemaat. Akhirnya cerita mengenai Patek itu terdengar pula hingga ke Desa Kwangko termasuk oleh Jali. Karena sering mendengar cerita itu, maka Ustadz Abdul Rasyid tidak bisa menahan kesalnya. Ia menanyakan kepada Patek, apakah benar ia sering ikut misa di gereja-gereja. Patek yang jujur, hanya menjawab dengan anggukan, tanpa pembelaan diri.

”Tahukah kamu itu perbuatan syirik, Patek?” tanya ustadz yang memelihara janggut itu. ”Jangan lagi pergi ke gereja ya?” Patek hanya diam, tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Tapi dalam kenyataannya, Patek tetap saja sering pergi ke gereja walaupun setiap kali shalat ia pergi ke masjid untuk bisa memelihara kebiasaan berjamaah lima waktu. Akhirnya Ustadz Abdul Rasyid pun tahu juga kelakuan Patek, sehingga ia mengadu kepada Jali. Ia meminta agar Jali mengambil tindakan tegas dengan melarang Patek membersihkan masjid dan ikut shalat berjamaah. Jali yang akrab dengan Patek tidak bisa mengabulkan desakan Ustadz Abdul Rasyid. Sang ustadz pun menyiar-nyiarkan sikap Jali itu kepada penduduk desa. Di samping itu ia pun mengancam Jali, jika tidak melarang Patek seperti yang ia inginkan, ia akan menghimpun massa untuk membakar masjid dan kalau perlu menyiksa Patek untuk meluruskan akidahnya, demi keselamatannya di akhirat nanti.

Tapi Jali tetap tegar melindungi Patek yang rajin shalat itu walaupun Patek dianggap gila. Sebagai akibatnya, Jali dituding sebagai pelindung orang sesat. ”Patek itu sesat, karena berlaku musyrik dan munafik sekaligus,” kata Ustadz Abdul Rasyid. ”Sebagai pemimpin di Dusun nCuni ini, Pak Jali harus bisa memelihara akidah” kata sang ustadz lantang. ”Kalau Pak Jali tetap melindungi orang sesat dan murtad, maka saya akan mengusulkan kepada Pak Iryanto untuk memecat Anda,” kata ustadz yang sering memakai topi putih itu mengancam Jali. Pak Iryanto adalah bos Jali di Jakarta. ”Saya juga tidak bertanggung jawab jika umat yang resah mengambil tindakan sendiri,” ancamnya.

”Lho kalau dia dilarang pergi ke masjid, malahan ia akan sembahyang di gereja?” jawab Jali. ”Ya itu lebih baik, sekalian pindah agama. Islam tidak memerlukan orang musyrik dan munafik,” sahut sang ustadz. ”Pak Jali,” lanjut sang ustadz, ”Ini bukan hanya pandangan saya, tetapi telah menjadi kesepakatan bersama dari para ustadz di

Desa Kwanglo di sini. Saya tidak perlu fatwa Majelis Ulama di Dompu untuk mengadili si Patek yang jelas sesatnya itu.” Jali sebenarnya juga memahami pandangan Ustadz Abdul Rasyid dan ustadz-ustadz lainnya itu. Cuma ia tidak bisa memaksa Jali. Malah Jali memandang Patek memendam kecerdasan rohani yang tinggi karena bisa menghargai kebenaran atau kebaikan pada agama lain. Karena itu, Jali merasa bangga bisa tidak mencampuri kepercayaan orang lain.

Tapi, karena ancaman dan sekaligus kasih sayang pada sahabatnya itu, Jali terpaksa berbicara dengan Patek dan memberanikan diri menanyakan perilaku teman dekatnya yang dianggap sesat itu. Tapi Patek tidak banyak bicara. Ia cuma bilang bahwa ia ingin memelihara hubungan dengan pimpinan gereja agar ia dapat terus bisa memungut sampah yang merupakan sumber penghasilannya itu. Lagi pula ia telah telanjur memelihara hubungan baik dengan para pastor dan pendeta. Ia tidak hanya mengunjungi gereja Katolik, tetapi juga Protestan. Tapi ia tidak menjadi anggota gereja. Terhadap keterangan itu Jali menjawab, ”Tapi kamu tak usah menjual agama hanya untuk sesuap nasi dong.” Yang diajak berbicara tidak bisa menjawab. Sulit ia mempertanggungjawabkan perilakunya yang mungkin tidak ia pahami sendiri karena cuma mengikuti perasaan.

Melihat Patek bersikap lugu dan jujur itu, Jali tidak bisa berbuat apa-apa. Malah ia kasihan kepada Patek dan berdoa semoga Patek diberi petunjuk dan diampuni dosanya oleh Tuhan Yang Maha Tahu luar dalam iman, ibadah, dan akhlak seseorang. Karena keteguhan sikap Jali, ustadz yang menyala-nyala jika sedang berbicara mengenai akidah itu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia juga tidak berhasil menghasut masyarakat untuk membakar masjid atau menganiaya Patek, walaupun orang yang dinilai tidak normal itu telah dianggap merusak akidah dan meresahkan masyarakat.

Pada suatu hari terdengar suatu berita yang menggemparkan seluruh penduduk kampung. Patek telah mendaftarkan diri sebagai calon haji dan membayar ONH. Bagi orang Sumbawa, khususnya orang suku Sasak, naik haji adalah puncak cita-cita beribadah di tengah-tengah kemiskinan. Orang yang telah naik haji mendapatkan martabat dan penghormatan yang sangat tinggi.

Uang pembayaran ONH Patek sesungguhnya berasal dari tabungannya di Koperasi al Amin. Orang-orang pada umumnya tidak percaya terhadap hal itu dan karena itu menyangka dan menuduh Jali berdiri di belakang Patek dengan telah membiayai Patek membayar ONH. Tapi Jali mengetahui betul berapa uang simpanan Patek di Koperasi al Amin. Ia telah bertahun-tahun menabung sebagian penghasilannya. Ia tidak merasa perlu membantah tuduhan atau kecurigaan orang. Karena Tuhan Yang Maha Tahu.

Akhirnya dalam suatu ceramahnya, Jali mengusulkan suatu program baru Koperasi al Amin, yaitu program Tabung Haji untuk kaum nelayan. Patek seorang pemulung sampah saja mampu menabung, apalagi nelayan yang mampu menangkap ikan kerapu atau ikut dalam program pembudidayaan ikan kerapu yang diorganisasikan oleh SSM. Ia menjadikan Patek sebagai tokoh teladan, sekalipun masyarakat menganggapnya penuh misteri dan tokoh kontroversial.

Dendang Perempuan Pendendam

Martin Aleida (22 januari 2006)

Laksana gagak lapar, sudah sejak lama aku menunggu kematiannya, untuk mengobati kepedihan hatiku. Dendamku takkan pernah kehilangan isi, meskipun dia masih punya hubungan darah dengan kami. Dia adik Ayah kami semua. Namun, aku ingin melihat jasad Pakde Suto tak bisa dimasukkan ke dalam keranda. Peti matinya beberapa kali harus dibongkar-pasang karena kurang panjang. Dan, di pemakaman, aku ingin menyaksikan kutuk terhadap dia yang merampas tanah keluarga kami yang tak berayah, dengan menggeser pematang secara licik.

Kejahatan itu berlangsung sangat perlahan, seperti tak pernah terjadi. Namun, pematang sawah tak pernah lupa mencatat kelakuan busuknya itu. Pakde Suto telah mencaplok sawah Ibuku dua kali seratus meter bujur sangkar dalam masa hampir empat puluh tahun. Empat puluh tahun!

Dia menelan kekayaan Ibu satu-satunya separtikel lumpur demi separtikel lumpur. Saat menyiangi sawah, dengan liciknya Pakde membiarkan lumpur yang dia lemparkan ke atas pematang melimpah ke sawah Ibu. Diganggang matahari, limpahan lumpur itu lantas mengering, dan dengan begitu menggeser pematang.

Ibu tak mau mengadukan penjarahan itu dalam rapat desa. Juga tak pernah mau mengungkit-ungkitnya dalam percakapan di rumah. Dia selalu berusaha menenteramkan perasaan kehilangan yang bergejolak di dalam hati anak-anaknya. Juga di dalam hatinya sendiri. Dia memilih diam untuk menghindari pertikaian, karena dia tahu, kematian suaminya, Ayah kami, masih saja dianggap sebagai keniscayaan, karena keterlibatan Ayah dalam pematokan tanah para tuan tanah dengan berlindung di balik undang-undang pokok agraria yang berlaku ketika itu. Ketika aku berusia belasan.

Gerimis menyudahi dirinya. Membuat malam membeku sendiri. Emprit ganthil, yang sejak subuh menyayat-nyayatkan isyarat kemalangan, sudah terbang meninggalkan bubungan rumah Pakde Suto. Kudengar suara seperti daun yang gemersik di pekarangan. Kemudian isak tangis yang mengalun dari mereka yang tak kuasa menampik kematian. ”Mengucaplah Suto…!” kata-kata itu diulang berkali-kali, diiringi sedu-sedan, dilantunkan ke kuping Pakde yang meregang dikepung maut.

Raung kematian kemudian menggunung dari rumah Pakde. ”Oh, Gusti….” Para pelayat menyelinap ke ruang tengah, tempat jasad Pakde terkapar. Di jalan terdengar langkah yang tergopoh menuju rumah kematian. Kentongan titir di persimpangan jalan ditalu satu-satu.

Dia sudah mati. Tapi, apakah nasib Ibu kami akan berubah? Kalaupun nanti pematang yang menjarah sawah Ibu sudah digempur, dan Ibu bisa menuai panen di sawah seluas ketika dia baru menikah dengan Ayah, namun sakit hati ini tetap tak terdamaikan. Sakit hatiku, hati kami semua, tidak hanya sebatas pematang itu. Karena Pakde Suto- lah Ayah kami mati bukan dengan jalan sebagaimana halnya dia sendiri menemui maut di ruang tengah rumahnya, tetapi dengan kepala dipenggal dan dicampakkan seperti bangkai tikus.

Takkan terkikis dari ingatanku. Di akhir tahun kekacauan, kebingungan, dan penuh ketakutan, 1965, Ayah tinggal berpindah-pindah, menghindar dari kejaran benggolan- benggolan yang dikirimkan kaum tuan tanah, yang tanahnya dipatok dan dibagi- bagikan Ayah kepada petani tak bertanah. Tentara, dengan diiringi gerombolan pemuda, tiada terhitung berapa kali menggeledah rumah kami seraya membentak dan mengancam Ibu. Penampungan kotoran yang baru dibuat Ayah, dituduhkan tentara sebagai lubang penguburan manusia.

Suatu malam, Ayah menginap di rumah Pakde Samin. Paginya, setelah Ayah berangkat entah ke mana, Pakde Suto mendatangi rumah adiknya itu dan mengancam, ”Kalau koé lain kali berani menyimpan Paijan, koé akan kubunuh!” Siangnya, tentara menggedor rumah Pakde Samin, dan dia digelandang ke dalam jip. Di markas tentara dia disiksa hingga beberapa kali tak sadarkan diri. Dia selamat dari maut setelah menceritakan bahwa dari rumahnya Ayah berangkat ke Semarang, berjualan kacang tanah di salah satu pasar di kota itu. Selang beberapa hari kemudian, dua jip tentara datang membawa ketakutan yang mencekam. Dengan cara yang sangat menghinakan, mereka mendorongkan Ayah yang matanya tertutup kain merah, turun dari jip. Ayah dipertontonkan di depan rumah Pakde Samin, dan orang sedesa diperingatkan tentara yang mengacungkan pistol, ”Barangsiapa yang berani menyimpan orang macam ini, mati!”

Ayah diarak ke rumah kami. Kesembilan penghuni rumah dipaksa keluar. Ah, betapa pedih melihat Ayah dengan tangan terikat ke belakang, mata tertutup. Ibu, sambil menggendong adikku yang terkecil, dan kami anak- anak yang lain, hanya merunduk menatap kerikil-kerikil kecil di pekarangan, mencari kekuatan di situ, tak kuasa melihat orang yang kami cintai diperlakukan sebagai seorang yang bejat.

Berminggu-minggu kemudian, sampailah berita yang tak bisa dipastikan kebenarannya, tapi karena Ayah tak pernah kami lihat lagi, maka kami memercayai kabar burung itu. Konon, Ayah digiring ke atas jembatan yang menghubungkan kedua tebing Bengawan Solo. Di bawah todongan pistol, Ayah diperintahkan bersujud, mata tertutup. Begitu dia dibentak supaya duduk kembali, dan manakala dadanya belum tegak benar, seorang pemuda melayangkan sebilah parang panjang ke tengkuknya, dan kepala Ayah, (Oh, Tuhan… aku takkan bisa memberikan ampun kepada mereka yang terlibat dalam pembantaian tiada tara dosanya itu!) kepala Ayah terpelanting ke bawah, dan dengan cepat tubuhnya ditendang menyusul kepalanya yang lebih dulu mencebur…. Ah, pantaskah sebuah peradaban memberikan ajal serupa itu kepada Ayah kami?!

Ibu, kami anak-anak, sembunyi-sembunyi membeli bunga ke pasar, supaya tak ada orang desa yang melihat, dan kami pergi ke jembatan di mana Ayah kami yakini menemukan kematiannya. Kami larungkanlah bunga yang kami bawa agar aromanya membuat semerbak dunia di mana Ayah sekarang berada. Bunga-bunga itu mengambang, cepat dilarikan arus, mencari Ayah, kami kira.

Tak pernah kubayangkan ziarah akan mencambuk hidupku. Setelah menikah, suamiku mengajak aku ke kampung kelahirannya di Sumatera. Dituntunnya aku berziarah ke makam orangtuanya. Sepulangnya dari ziarah di pulau seberang itu, dia mendesak, mengapa aku tak pernah bertanya, bukankah dia juga ingin berziarah, meminta berkah, ke makam Ayahku. Bukannya tak kuberitahukan kepadanya bahwa Ayahku mati terbunuh pada tahun yang membingungkan, menakutkan. Tak punya kuburan, tak punya nisan. Suamiku menjawab dengan kata-kata bersayap, mengharukan. Dia, Tak pernah kubayangkan ziarah akan mencambuk hidupku. Setelah menikah, suamiku mengajak aku ke kampung kelahirannya di Sumatera. Dituntunnya aku berziarah ke makam orangtuanya. Sepulangnya dari ziarah di pulau seberang itu, dia mendesak, mengapa aku tak pernah bertanya, bukankah dia juga ingin berziarah, meminta berkah, ke makam Ayahku. Bukannya tak kuberitahukan kepadanya bahwa Ayahku mati terbunuh pada tahun yang membingungkan, menakutkan. Tak punya kuburan, tak punya nisan. Suamiku menjawab dengan kata-kata bersayap, mengharukan. Dia,

Begitulah. Dia kuajak menemui Ibuku di desa. Sebelum menuju bengawan, kami terlebih dulu berziarah ke makam kakek-nenekku. Dia terpesona menyaksikan kuburan di pinggir desa itu, di mana salib dan nisan berbaur. Sesuatu, yang katanya, tidak bakal ditemukan di Aceh sana. Katanya, sepantasnyalah nisan Ayahku berada di tengah pemakaman itu, makam yang mempersatukan manakala orang memaknai agama untuk memecah belah.

Ketika tiba di jembatan tempat Ayah dipancung, suamiku berjalan dengan teguh di sampingku. Cuma, ketika kami menuruni tebing, menghampiri bengawan, beberapa kali dia tertegun. Mengikuti aku, dengan tangan gemetar, dia taburkan bunga ke permukaan bengawan. Setelah itu, kami pulang, dan, Oh Tuhan, itulah akhir perkawinan kami. Walaupun tidak dikatakannya, aku tahu nisan bagi suku bangsanya adalah tanda bagi pokok kehidupan satu keturunan. Tanpa itu, ada semacam nista yang akan selalu melekat. Diperparah lagi dengan kenyataan bahwa setelah perkawinan kami yang memasuki tahun kelima, dan aku belum hamil juga, maka lengkaplah alasan suamiku untuk dengan baik-baik meminta maaf, karena dia terpaksa pergi meninggalkanku.

Pukul dua siang sekarang. Sama seperti ketika menjemput maut, maka pada saat jasad Pakde Suto diberangkatkan ke pemakaman pun, gerimis mendesah dari langit.

Peti matinya diusung menuju pemakaman, dua ratus meter ke arah bengawan. Angin yang menerabas gerimis membisikkan ke kupingku tentang awal dari keributan di

antara penggali liang kubur. Suara-suara itu kemudian semakin nyata. ”Turunkan dulu. Letakkan di tanah. Gali lagi tanah di sebelah kepala…” Pacul, linggis, bertubi-tubi ditancapkan ke tanah. ”Coba angkat! Letakkan! Cukup…?” kaki-kaki berkecipak di tanah liat. Bagian kaki dari liang lahat itu sekarang dapat giliran digali, diperlebar, membukakan gerbang petala bumi bagi sesosok jasad yang sedang menelan sumpah. Kedua sisi, dari mana mayat akan diluncurkan, juga dicangkuli, diperlebar nganganya. Setelah berkali-kali liang itu diperbesar, dan peti mati tetap saja tak bisa diturunkan, maka mendengunglah keputusasaan: ”Gusti… Engkau yang maha pengampun, maafkanlah umatmu ini. Tunjukkan apa yang harus kami lakukan. Tolong, terimalah saudara kami ini….” Keranda diangkat dan diamangkan lagi di mulut liang lahat yang sudah diperlebar. Sia-sia.

”Sudah berapa kali kami menggali, tapi tak bisa juga, Gusti…! Ingin berapa kali lagi Gusti? Ampun… ” Bingung, juga panik, sarat di wajah para pengantar, terutama mereka yang menggali berlumur tanah.

Dua orang pengantar jenazah melepaskan diri dari kebingungan dan kecemasan yang mengerubung di mulut liang lahat. Mereka bergegas ke perempatan jalan desa. Seperti mengutuk diri sendiri, mereka berbicara dengan keras ke arah sekeliling. ”Ampun…. Barangsiapa yang pernah dirugikan Pakde Suto, sudilah kiranya memaafkan. Ampunilah, biar Gusti mau menerimanya.”

Kuhela nafas. Dari celah dinding tepas, kulihat sekelompok perempuan merapat ke rumah. Ibu keluar menemui mereka di beranda. Kudengar kata-kata permohonan yang mereka ucapkan dengan nada begitu rendah, seperti berbisik, mengiba-iba, diiringi Kuhela nafas. Dari celah dinding tepas, kulihat sekelompok perempuan merapat ke rumah. Ibu keluar menemui mereka di beranda. Kudengar kata-kata permohonan yang mereka ucapkan dengan nada begitu rendah, seperti berbisik, mengiba-iba, diiringi

”Las…,” bujuk Ibu lunglai di bendul pintu kamarku. ”Orang-orang menunggumu di pekuburan,” katanya menunduk. Aku tahu dia ingin aku yang datang ke tengah kerumunan orang yang kebingungan untuk membukakan pintu maaf buat mayat seorang musuh yang masih sedarah dengan Ayah. ”Kami pasrah. Kau yang jadi kunci. Kalau kau maafkan, orang sedesa akan tahu siapa kita.” Kata-kata Ibu itu membuatku melangkah menyibak gerimis.

Laki-laki yang memonopoli kehormatan tunggal dalam mengantar jenazah, terpaksa mendobrak adat kebiasaan, menguak membukakan jalan untukku. Aku maju dengan dada tegak, mendekati peti mati, meminta pengusung jenazah membukakan tutup keranda. Dengan jijik kucabik kafan penutup muka Pakde Suto, dan dengan sebal, ”cuih…,” kusemburkan ludahku ke mulutnya. Kain kafan kubebat kembali menutup wajahnya yang pucat kehitaman, beku.

Aku membalik, meninggalkan jejak di tanah basah. Beberapa saat kemudian, kudengar lenguh nafas lega serta gemuruh gumpalan tanah menghujani peti mati yang sudah tertidur di dasar kubur.

”Jeng, atas nama jenazah dan keluarganya, kami minta maaf kepadamu.” Itu diucapkan beberapa orang dari keruman manusia yang kupapasi.

Aku cuma membatu, terus menjauh. Terlalu pendek waktu untuk mempertimbangkan sebuah maaf. Karena terlalu lama aku memendam dendam ini….

Lonceng

Wilson Nadeak (5 Februari 2006)

Pulang dari rantau tanpa harta adalah semacam aib. Tanpa keluarga adalah hidup yang sia-sia. Keluarga mana yang mau mengaku? Semua mata orang kampung memandang dengan curiga. Lelaki tua ini, apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Hanya dengan sebuah koper kecil, ia melenggang masuk desa dan mampir di warung menanyakan seseorang, ya, nama-nama seseorang. Banyak nama yang disebutkan, tetapi orang-orang yang di warung geleng kepala, tidak kenal. ”Tanya saja kepada kepala desa,” kata pemilik warung itu, seorang perempuan usia kira-kira tiga puluh lima tahun.

Lelaki tua yang nyaris berusia enam puluh tahun itu, walaupun rambutnya belum penuh uban, berjalan menuju desa di atas bukit. Belum beberapa langkah ia berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, ”He, bayar dulu!”

”Lho, saya toh tidak makan apa-apa,” kata lelaki tua itu sambil menoleh ke belakang. Melangkah kembali ke warung itu.

”Kalau Bapak dari desa ini, pulang dari rantau pula, mampir di warung ini, ya, Bapak wajib dong mentraktir kita semua yang ada di sini,” kata seseorang yang kemudian mereguk minuman yang berbuih dari gelasnya.

”Oh, ya,” jawab lelaki tua sambil merogoh kantongnya. ”Berapa semua?” Pemilik warung menyebut jumlah harga makanan dan minuman yang dimakan lima

orang yang duduk di warung itu. Lelaki tua itu membayarnya semua. ”Nah, begitu dong. Itu baru namanya orang rantau!” celetuk seorang anak muda.

”Terima kasih,” kata mereka sambil terus mereguk cairan berbuih, putih, dari gelas. Hari masih siang ketika ia tiba di Desa Bukit, begitu nama desa yang terletak di atas

bukit itu. Kepala desa yang ditemuinya, kebetulan baru saja pulang dari kota yang tidak jauh dari bukit itu. Usianya sekitar empat puluhan.

Lelaki tua memperkenalkan diri, bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Meninggalkan desa ini ketika usia dua belas tahun dan baru sekali ini pulang kampung. Ia menyebutkan nama-nama keluarganya, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumah mereka. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil yang pernah dialaminya, sekadar meyakinkan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Betapapun, ia menyadari bahwa logatnya asing bagi penduduk desa ini, terlalu lembut.

Kepala desa lebih banyak mendengar. Sebelum ia memberi komentar, seorang ibu dengan kapur sirih di tangan, sambil mengunyah sesuatu, muncul di pintu. Rupanya dari kamar sebelah ia mendengar percakapan mereka.

”Ibu saya,” kata kepala desa. Lelaki tua itu mengulurkan tangan dan menyebut nama kecilnya. Ibu yang sudah

berambut putih semua menatapnya dengan tajam. Ia memegang dahinya yang sudah mengerut, mencoba mengingat-ingat masa lalu. ”Dari ceritamu,” kata ibu berambut putih itu, ”aku mengingat sesuatu. Masa lalu. Sebagian dari mereka yang kau ceritakan sudah berlalu, sebagian lagi sudah pergi ke rantau. Kaukah salah satu dari mereka itu? Coba sebut namamu sekali lagi, pendengaranku kurang baik.”

”Namaku Barita.” Hening sejenak. Kepala desa mengamati wajah ibunya, silih berganti dengan wajah

lelaki tua. ”Ya, ya. Aku ingat. Ayahmu si anu, bukan?” ”Ya,” jawab Barita, lelaki tua itu. ”Ayah dan ibumu sudah tidak ada. Lama mereka tidak mendengar berita darimu.

Saudara-saudaramu yang lain menyusul mereka, dan katanya, ada yang seorang lagi, adikmu, pergi entah ke mana. Merantau ke seberang lautan. Setelah menjual tanah kalian. Ya, ya, aku ingat kau. Masa sulit waktu itu, masa gerilya. Banyak anak muda yang hilang jejaknya, entah di mana kubur mereka. Dan kau, seorang dari antaranya.

Aku ingat, ayahmu sering menyebut-nyebut namamu, nama yang terekam dalam lubuk hatinya, sampai kepada kematian yang menimpanya…”

Tutur nenek berambut putih itu meluncur begitu saja. Kepala desa, anaknya, semakin larut dalam kisah masa lalu itu. Ada bayang-bayang air mata di pelupuk mata lelaki tua yang duduk di hadapannya.

”Lalu, kau mau apa Barita?” ”Aku mau tinggal di desa ini. Menghabiskan masa tua,” jawabnya pelahan. ”Dengan siapa?” tanya nenek tua, ibu kepala desa itu. ”Sendiri. Tak punya keluarga lagi.” ”Sendiri,” nenek tua itu mengulangi dengan suara lemah. ”Tanahmu?” ”Aku akan menebusnya,” jawab Barita. ”Harus ada saksi, Pak,” kata kepala desa. ”Selain bukti bahwa Bapak ahli waris.” ”Semua sudah berlalu, Nak. Tinggal aku saksi hidup. Biar ibu yang menjadi saksi.” Barita sangat berterima kasih. Masih ada orang yang berbaik hati kepadanya. Atas

bantuan kepala desa, ia menebus sebidang tanah, ladang peninggalan orangtuanya. Sebuah rumah di hari tuakah? Tak lebih dari sebuah pondok yang reyot di tengah

ladang itu. Tapi ia masih melihat perapian, tempat ibunya memasak. Sudut rumah bagian barat tempat dia berbaring dahulu. Di situlah ia dilahirkan. Itu yang penting. Pondok yang reyot itu bagian dari hidupnya. Ia memerlukan waktu untuk membersihkan kuburan keluarga di batas ladang. Ada nisan bertuliskan nama ayahnya, sedangkan kubur yang lain tak bernama, batu-batu berserakan di atasnya.

Sebuah gereja tua masih berdiri di atas bukit, tidak begitu jauh dari pondok lelaki itu. Dulu, ia rajin belajar nyanyi di sana. Berdoa dalam kebaktian yang khusyuk. Dan kini, ia kembali ke sana. Tidak satu wajah pun yang dikenalinya. Minggu pertama, orang- orang bertanya tentang dia. Sesudah itu, tidak seorang pun yang memedulikannya. Kalau berjumpa di jalan, orang- orang melihatnya sekilas, kemudian berlalu tanpa membalas sapaan. Hanya anak-anak SD yang suka mampir ke pondoknya yang reyot. Barangkali anak-anak itu mendengar dari orangtua mereka bahwa lelaki tua yang baru pulang dari rantau itu lama tinggal di seberang. Mereka ingin mendengarkan kisah- kisah dari seberang. Dan Barita, senang bercerita. Banyak cerita dari berbagai kota Pulau Jawa yang diceritakannya. Kisah-kisah menarik dari adat-istiadat suku bangsa yang hidup di Pulau Jawa. Sekali, anak- anak terkejut melihat sebuah sedan parkir di samping gereja tua. Seorang lelaki diikuti lelaki lain, ia belakang sedang menuju tempat mereka yang sedang mendengar kisah dari kakek Barita.

”Sebentar, anak-anak. Ada tamu datang,” katanya sambil berdiri dan menyongsong kedua orang itu. Mereka segera berpelukan.

”Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya Barita dalam bahasa Jawa.

”Cerita selintas dari kepala desa, tentang seorang lelaki tua yang pulang dari perantauan, dan kini tinggal di sini.”

”Kau cerita siapa aku?” ”Tidak! Aku ingin lihat sendiri dan berjumpa denganmu. Ajaib, kau ada di sini!” ”Itulah kehidupan.” ”Kau baik-baik saja?” ”Ya.” ”Syukurlah.” Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam

bahasa Jawa, sehingga anak-anak terbengong-bengong. Menanam ubi kayu hanya sekali. Sesudah itu ia tumbuh sendiri. Tidak merepotkan.

Karena itu, ia mau menambah kegiatan dari waktu ke waktu. Ia melamar menjadi koster gereja. Penatua jemaat agak terkejut, tapi tidak lama kemudian mereka menerima lamaran itu, tanpa upah. Barita mengatakan tidak apa-apa. Hanya ada sebuah permohonannya, ingin menghidupkan kembali lonceng gereja dan membunyikannya setiap jam, dari pukul enam pagi sampai pukul enam petang. Pengurus gereja setuju dengan komentar, ”Tapi itu sudah karatan. Puluhan tahun tidak dibunyikan.”

”Tidak apa-apa. Akan saya bersihkan.” Dan lonceng gereja di bukit berdentang setiap jam. Setiap pukulan menunjuk kepada

jam. Dua belas kali berarti pukul dua belas. Satu kali berarti pukul satu. Dan itu telah berjalan enam bulan.

Suatu hari, seorang anak yang suka mendengar cerita Barita, bersama ayahnya duduk di dangau di kebun, di lembah. Mereka hendak menyantap makanan siang ketika mendengar sipongang lonceng gereja. Mereka menghitung dentangan itu, yang memantul dengan jelas, gema di lembah. ”Kau menghitung?” tanya sang ayah kepada anaknya. ”Ya,” jawab anaknya. ”Berapa kali?” tanya ayahnya. ”Tiga belas kali dan disusul dentangan kecil.”

Anak itu berlari ke atas bukit. Ia ingin tahu apa yang terjadi. Sesampai di gereja itu, ia melihat telah banyak juga orang berkerumun. Mereka menggotong tubuh lelaki tua menuruni bukit dan menaikkan ke atas mobil terbuka.

Tiba di rumah sakit, perawat memeriksa denyut jantungnya. Tiada. Tidak banyak orang yang menunggui jenazahnya di pondok yang reyot itu. Lazimnya,

sebelum upacara penguburan, banyak orang yang menunggui. Beberapa orang pengurus gereja membuat peti dan memasukkan tubuh yang sudah kaku itu ke dalamnya. Upacara pemakaman akan segera dilakukan. Anak-anak banyak yang hadir, beberapa orang tua dan orang muda. Upacara singkat diadakan di halaman. Sebelum jenazah diusung ke pekuburan keluarga, tampak ada beberapa bus yang berhenti dekat sebelum upacara penguburan, banyak orang yang menunggui. Beberapa orang pengurus gereja membuat peti dan memasukkan tubuh yang sudah kaku itu ke dalamnya. Upacara pemakaman akan segera dilakukan. Anak-anak banyak yang hadir, beberapa orang tua dan orang muda. Upacara singkat diadakan di halaman. Sebelum jenazah diusung ke pekuburan keluarga, tampak ada beberapa bus yang berhenti dekat

”Saudara-saudara sekalian. Hari ini kita memberangkatkan seorang prajurit pejuang bangsa. Prajurit yang telah

mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum Barita mengembuskan napas terakhir kemarin. Telah kutelepon anaknya di Amerika, tetapi mereka mengatakan bahwa mereka tidak bisa hadir hari ini. Pak Barita tidak mau ikut anaknya ke Amerika karena ia telah berjuang untuk negara ini dan ingin mati di sini, di kampung halamannya, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya.

Sauara-saudara, rakyatku di Desa Bukit, Kalian harus berbahagia karena seorang pejuang lahir dari desa ini, walaupun ia

berjuang di palagan Ambarawa dan sekitarnya. Ia komandanku, saudara- saudara… Seorang komandan yang tidak pernah gentar dan selalu berada di garis depan. Dalam sebuah pertempuran, sebutir peluru bersarang di dadanya. Dokter mengatakan bahwa peluru itu tidak dapat dikeluarkan tanpa membahayakan nyawanya. Ia kembali sehat, dengan peluru di dada. Ia pensiun dari kemiliteran dengan pangkat kolonel. Beberapa waktu yang lalu, ia menitipkan surat-surat penghargaan pemerintah yang diberikan kepadanya. Dan hari ini, kita akan makamkan dia sesuai dengan permintaannya, di makam keluarga. Ia menampik dimakamkan di makam pahlawan. Ia amat mengasihi desa ini.

”Kolonel Barita, terima kasih atas perjuanganmu…” Bupati menghapus air mata dari pipinya. Ia mendekatkan wajah ke peti dan kemudian

undur ketika prajurit membungkus peti itu dengan bendera. Tembakan penghormatan terakhir bergema di udara dari laras senjata prajurit, suara tembakan itu bergema kembali di lembah.

Angin malam yang dingin menyentuh nisan almarhum Kolonel Barita.

Bandung, 31 Oktober 2005

Pengukir Nisan

Dwicipta (12 Februari 2006)

Malam sebelum ia mengukir nisan, Tan Kim Hok bermimpi bertemu dengan seorang lelaki jangkung. Dilihat dari warna kulitnya, ia tentu bukan Belanda totok. Tapi bola matanya biru tajam dan pakaiannya seperti orang Eropa umumnya, kecuali kakinya yang tak bersepatu. Lelaki itu mengajaknya ke salah satu kanal. Berhenti di tepi kanal, ia tudingkan jari telunjuknya ke arah tumpukan sampah dan lumpur menggunung, Malam sebelum ia mengukir nisan, Tan Kim Hok bermimpi bertemu dengan seorang lelaki jangkung. Dilihat dari warna kulitnya, ia tentu bukan Belanda totok. Tapi bola matanya biru tajam dan pakaiannya seperti orang Eropa umumnya, kecuali kakinya yang tak bersepatu. Lelaki itu mengajaknya ke salah satu kanal. Berhenti di tepi kanal, ia tudingkan jari telunjuknya ke arah tumpukan sampah dan lumpur menggunung,

Kiranya matamu terbuka. Dia tidak meninggal karena lumpur dan sampah kanal ini, penyakit malaria, kolera atau sampar. Tidak! Sungguh, dia seorang perempuan halus dan religius. Penyakit tak akan tega mendatanginya, tak mau menyentuh kulit dan bagian dalam tubuhnya. Kiranya matamu terbuka,” katanya berulang-ulang bagai orang linglung.

Tan Kim Hok tak mengerti apa maksud lelaki itu. Ia yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Tapi ajakan lelaki itu bagai tarikan magnet, ia terbawa tanpa perlawanan sedikit pun. Belum pula pikiran menguasai dirinya, tanpa pamit lelaki itu pergi. Tan Kim Hok terbengong memandang punggung laki-laki itu, dan seolah melihat dua sayap mengembang, berkepak-kepak lembut, makin mempercepat langkahnya. Kesiur angin menampar mukanya. Dari tempatnya berdiri, hidungnya mencium aroma aneh, semacam uap amis dari racun binatang mati atau upas tetumbuhan. Dalam ketakjuban semacam itu, Kim Hok lupa ia sedang berdiri di tepian kanal penyebar penyakit yang telah makan banyak korban. Ia mengikuti bayangan lelaki itu sampai hilang sebelum akhirnya tergeragap bangun.