BUDAYA IBU SUKU REJANG MENGANCAM KELANGS

BUDAYA IBU SUKU REJANG MENGANCAM KELANGSUNGAN HIDUP
BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH
(MOTHER CULTURE THREATEN LOW BIRTH WEIGHT SURVIVAL RATE)
Demsa Simbolon
ABSTRAK
Bayi BBLR berisiko tinggi mengalami kesakitan dan kematian, sehingga dibutuhkan upaya
perawatan khusus. Sementara di masyarakat masih ditemukan praktek budaya yang dapat
mengancam kelangsungan hidup bayi. Penelitian pendekatan kualitatif secara Rapid
Assement Prosedur bertujuan menggali informasi mendalam mengenai praktek budaya ibu
suku Rejang dalam perawatan BBLR. Informan adalah ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi
BBLR < 1 tahun di pilih dengan purposif sampling dengan prinsip kesesuaian dan
kecukupan. Informan kunci adalah kepala puskesmas, bidan desa, orang tua informan, dukun
bersalin, dan ketua adat. Dengan metode wawancara mendalam dan observasi, pengumpulan
data mulai dengan pencatatan lapangan (field notes) kemudian dikembangkan menjadi
expanded filed notes (transkrip). Data diolah dengan program EZ-TEXT dan dilakuan
content analysis. Hasil penelitian menemukan pengetahuan ibu masih rendah, sikap
unfavorable, dan praktek budaya yang tidak tepat dalam merawat bayi BBLR sehingga
mengancam kelangsungan hidup bayi, seperti pemberian ASI yang tidak adekuat, MP-ASI
yang kurang kandungan gizi, pencegahan hipotermia yang berbahaya, perawatan tali pusat
yang tidak tepat, dan upaya pengobatan saat bayi sakit ke dukun dan pemberian ramuanramuan tradisonal. Perlu upaya promosi kesehatan yang lebih intensif untuk memperbaiki
pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam perawatan bayi BBLR.

Kata kunci: BBLR, kelangsungan hidup, praktek budaya
ABSTRACT
Low birth weight high riks to morbidity and mortality, need a special treatment effort. While
society still found a cultural practice which can menace the continuity of survival. With the
approach qualitative by Rapid Assement Procedure aim to dig the information exhaustively
hit the cultural practice of mother of etnis Rejang in treatment low bird weight. Informans
are mother which have low birt weight less than one year which selecting with purposif
sampling principally according and sufficiency. Key informan is head community health
centre, countryside midwife, parent (mother), quack maternity, and custom chief. With indep
interview method and observation, data collecting start with make field note, then developed
to become the transkrip), coding, category, making of matrix and data interpretation. Data
processed with the EZ-TEXT program, and used content analysis. Mother knowledge about
treatment of low birth weght still lower, found attitude not support and a imprecise culture
practices in taking care of low bith weight which can menace the continuity of survival, like
gift breastfeeding which not adequat, MP-ASI which less nutrition, dangerous hypothermia
prevention, imprecise center string treatment, and strive the ill baby moment medication to
soothsayer and gift of ingredient tradisional. Need the more intensive health promotion effort
to improve the knowledge, attitude and mother practice in treatment of baby low birth weigth.
Key words: LBW, survival, cultural practice.


1

Pendahuluan
Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin tumbuh kembang anak
yang optimal. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang dipraktekkan sehari-hari seperti
pemberian makan, pemeliharaan kesehatan, dan stimulasi mental serta dukungan emosional
dan kasih sayang akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan dan
perkembangan intelektual anak.1,2 Seorang ibu mempunyai peran dan andil yang sangat besar
dalam pembinaan anak. Untuk mempersiapkan anak tersebut menjadi manusia yang berguna
maka harus dimulai sejak usia dini melalui peran ibu dan pola asuh yang baik.3 Pola asuh
yang tidak tepat akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah kesehatan yang akan
meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi dan balita.
Masalah kesehatan bayi di Indonesia masih memprihatinkan, yang dapat dilihat dari
masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan sangat bervariasi antara perkotaan dan
pedesaan serta menurut status ekonomi. Penyumbang terbesar AKB Indonesia adalah
tingginga kematian neonatal, sekitar 60% kematian bayi terjadi saat neonatal.4 BBLR
merupakan salah satu faktor penting penyebab kematian neonatal dan juga sebagai
determinan yang cukup bermakna bagi kematian bayi dan balita. Risiko kematian bayi BBLR
mencapai 17 kali jika dibandingkan dengan bayi berat lahir lebih dari 2500 gram.5 Disamping
itu bayi BBLR sering juga disertai asfiksia dan lebih mudah mendapat infeksi. BBLR juga

dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh terhadap penurunan
kecerdasan.6 Bayi dengan berat lahir yang normal terbukti mempunyai kualitas fisik,
integensia maupun mental yang lebih baik dibanding bayi dengan berat lahir rendah,
sebaliknya BBLR akan mengalami hambatan perkembangan dan kemunduran pada fungsi
intelektualnya. Hal ini karena bayi BBLR memiliki otak yang lebih rendah menunjukan
defisit sel-sel otot sebanyak 8-14% dari normal, yang merupakan pertanda anak kurang
cerdas dari seharusnya.7

2

Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara 9%-30%, Secara nasional
sekitar 7,5%.4 Angka ini lebih besar dari target BBLR yang di tetapkan pada sasaran program
perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%.8 Di Kabupaten Rejang
Lebong berdasarkan data medical record RSUD Curup tahun 2006-2008 angka kejadian
BBLR mengalami fluktuasi, pada tahun 2006 tercatat 83 (23,15%) kasus BBLR dari 359
kelahiran. Pada tahun 2007 terjadi penurunan, tercatat sebanyak 50 (8,8%) kasus dari 569
kelahiran dan pada tahun 2008 terdapat 55 (12,4%) kasus BBLR dari 443 kelahiran.9
Kebutuhan dasar bayi baru lahir adalah kehangatan, bersih, air susu ibu dan perawatan
secara aman dan waspada. Lebih rinci pelayanan kesehatan perinatal pada bayi baru lahir di

Puskesmas meliputi pemeriksaan kesehatan, pemantauan tanda-tanda vital, pengenalan bayi
baru lahir tidak sehat, penanganan gawat darurat, pemberian kolostrum dan ASI eksklusif,
pengaturan suhu tubuh, perawatan tali pusat, pelaksanaan rawat gabung dan pelaksanaan
rujukan.10 Sementara itu WHO menjelaskan bahwa kesehatan bayi neonatal ditentukan oleh
pelayanan lima prinsip, yaitu: persalinan yang bersih dan aman, mempertahankan suhu tubuh,
dimulainya pernapasan spontan, menyusui segera setelah lahir dan pencegahan dan
tatalaksana penyakit.
Selain karena infeksi bakteri akibat proses persalinan dan perawatan neonatal yang
tidak adekuat, faktor perilaku/kebiasaan yang merugikan seperti tidak boleh dipegang
sebelum plasenta lahir atau tidak boleh menyiapkan pakai selimut/pakaian sebelum bayi baru
lahir menambah risiko hipotermi pada bayi baru lahir termasuk bayi BBLB dan prematur.
Demikian pula halnya dengan tidak memberikan kolostrum merupakan salah satu kebiasaan
merugikan yang sering dijumpai di masyarakat.11 Disamping itu di masyarakat masih
ditemukan kebiasaan menggunakan botol berisi air panas untuk menjaga kehangatan bayi.
Padahal sejak tahun 1992 tidak direkomendasikan lagi penggunaan botol berisi air panas
guna menjaga bayi tetap hangat.12
Data SDKI 2007 menunjukkan AKB dan kematian neonatal banyak terjadi di daerah
pedesaan dan berpenghasilan renah (keluarga miskin). Kementerian Daerah Tertinggal telah
3


menetapkan bahwa seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu adalah daerah tertinggal, ini
adalah satu-satunya provinsi di bagian barat Indonesia dengan predikat demikian. BKKBN
Bengkulu 2004, melaporkan dari 366.506 KK penduduk tersebut, 34,73 persennya hidup di
bawah standar kemiskinan (127,298 KK).4 Bappeda Bengkulu menyatakan bahwa Kabupaten
Rejang Lebong termasuk Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Salah satu suku terbanyak di

Kabupaten Rejang Lebong adalah Suku Rejang, yang banyak tinggal di daerah pedesaan dan
pegunungan dimana masih banyak mempercayai mitos dan kenyakinan-kenyakinan yang
berhubungan dengan kesehatan dan turun temurun diteruskan dari antargenerasi.
Penelitian bertujuan untuk menggali informasi secara mendalam mengenai Faktor
predisposing (pengetahuan, sikap, kepercayaan), faktor pendukung (Ketersediaan Sarana,
Keterjangkauan ke fasilitas, keterampilan merawat bayi), serta

faktor penguat dan

penghambat (keluarga, teman, petugas kesehatan) ibu dalam perilaku ibu dalam pola asuh
makan dan kesehatan pada bayi BBLR.
Metode

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan Rapid Assement Prosedur,
dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskemas Tunas Harapan Kabupaten Rejang Lebong, dengan
alasan penduduk pada umumnya adalah asli suku Rejang, dan merupakan wilayah kasus
BBLR terbanyak. Informan di pilih secara purposif sampling dengan prinsip kesesuaian dan
kecukupan.13 Kesesuaian artinya informan dipilih berdasarkan pengetahuannnya mengenai
perilaku ibu perawatan bayi BBLR dianggap dapat memberikan informasi yang sesuai
dengan topik penelitian. Kecukupan berarti jumlah sampel yang dipilih disesuaikan dengan
jenis dan kedalaman informasi yang dibutuhkan berdasarkan kategori umur dan pekerjaan
ibu. Informan kunci adalah informan yang dianggap mengetahui banyak tentang perilaku ibu
dalam pola asuh makan dan kesehatan bayi BBLR. Informan kunci adalah kepala puskesmas,
bidan desa (2 bidan), orang tua informan (4 ibu), dukun bersalin, dan ketua adat. Informan
dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi BBLR kurang dari satu
tahun. Kategori informan berdasarkan umur muda dan tua serta berdasarkan status bekerja
4

dan tidak bekerja, setiap kategori dibutuhkan 2 informan, sehingga jumlah informan
sebanyak 8 orang. Metode Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan
observasi untuk melihat dokumen pengobatan dan riwayat imunisasi bayi. Semua informasi
yang terkumpul dari hasil wawancara mendalam segera dianalisis tanpa menunggu semua
data terkumpul. Mula-mula dilakukan pencatatan lapangan (field notes). Segera setelah

kembali dari lapangan, field notes dikembangkan menjadi expanded filed notes (transkrip).
Kemudian di koding, dikategorikan, dibuat matriks dan selanjutnya dilakukan interpretasi
data. Data diolah dengan

program EZ-TEXT kemudian dilakukan analisis isi (content

analysis).
Hasil Penelitian
Rata-rata umur ibu 25,6 tahun dengan rentang umur 17 sampai 36 tahun. Umur
petugas kesehatan antara 33 sampai 45 tahun. Ketua adat berumur 70 tahun dan dukun
berumur 87 tahun. Pendidikan ibu sebagian besar pendidikan rendah (tidak sekolah, SD dan
SMP) dan

sebagian kecil ibu yang berpendidikan tinggi (SMA). Pendidikan petugas

kesehatan adalah SKM dan DIII kebidanan. Sedangkan pendidikan ketua adat tamat SMP dan
dukun tidak pernah sekolah. Sebagian besar ibu berstatus sebagai ibu rumah tangga dan
membantu suami dikebun, hanya 2 ibu bekerja sebagai PNS dan artis sebuah organ tunggal di
desa. Ketua adat bekerja wiraswasta. Jumlah anak ibu rata-rata 2 anak dengan range 1
sampai 5 anak. Berat badan lahir bayi berkisar antara 1300 gram sampai 2400 gram dengan

rata-rata 1875 gram. Persalinan bayi hampir seluruhnya ditolong oleh bidan. Umur bayi
berkisar 3 sampai 8 bulan dengan rata-rata 5,75 bulan.
Istilah lokal bayi BBLR antara ibu dengan informan kunci (ketua adat, dukun, bidan,
ibu informan) hampir sama. Istilah local yang digunakan di masyarakat Suku Rejang adalah
“bayi kecil” atau “bayi kurang bulan”, “bayi kurang gizi” “prematur”. Menurut kedua adat
tidak ada istilah khusus untuk bayi BBLR, sementara menurut dukun setempat istilah untuk
bayi BBLR adalah cupik didik (bayi kecil).

5

Pengetahuan mengenai ukuran bayi BBLR sebagian besar sudah baik, seorang ibu
menyatakan bayi BBLR bila timbangannya di bawah 2500 gram. Namun terdapat 2 ibu
menyatakan bayi BBLR bila beratnya kurang dari 2000 gram dan ada ibu yang menyatakan
bayi BBLR bila beratnya kurang dari 3000 gram. Penyebab BBLR menurut ibu disebabkan
karena kurang gizi, kelelahan, keturunan dan takdir, ngidam yang lama. Demikian juga orang
tua informan dan dukun menyatakan bahwa penyebab bayi BBLR adalah keturunan, kurang
gerak, dan kelelahan, Sementara Petugas kesehatan menyatakan bahwa penyebab BBLR
adalah umur ibu yang terlalu muda, sosial ekonomi rendah, jarang periksa kehamilan.
Kepercayaan ibu tentang penyebab BBLR menyatakan bahwa BBLR disebabkan karena
takdir, keturunan, mitos terlalu cepat meminta langir (jeruk nipis yang dijampi dukun) untuk

mendapatkan anak. Masih terdapat ibu yang menganut kepercayaan bahwa penyebab BBLR
karena takdir, keturunan, mitos terlalu cepat meminta langir (jeruk nipis yang dijampi dukun)
untuk mendapatkan anak.
Pemberian ASI Eksklusif dan MP ASI
Pengetahuan ibu tentang pengertian ASI eksklusif masih rendah. Hampir seluruh ibu
tidak mengetahui pengertian ASI eksklusif. Demikian juga pengetahuan ibu tentang manfaat
ASI masih rendah, sebagian besar ibu menyatakan dengan ASI anaknya cepat besar. Hanya
seorang ibu yang menyatakan bahwa ASI bermanfaat untuk kekebalan tubuh dan
perkembangan bayi.
Sikap ibu terhadap pemberian ASI eksklusif hampir sama dengan informan kunci
(ketua adat, dukun, ibu informan). Sebagian besar tidak setuju dengan pemberian ASI
eksklusif sampai 6 bulan dengan alasan ASI sedikit, takut anaknya lapar, takut berat
badannya tidak naik. Hanya sebagian kecil ibu yang setuju dengan pemberian ASI eksklusif
sampai 6 bulan. Informan kunci seperti kedua adat dan dukun menyatakan tidak setuju
dengan pemberian ASI eksklusfif

dengan alasan ASI eksklusif dapat menghambat

perkembangan anak, dan menyatakan bahwa ASI saja sampai 6 bulan tidak mencukupi
kebutuhan gizi. Ibu dan orang tua informan bersikap sama yaitu tidak setuju terhadap

6

pemberian pisang sebagai MP-ASI antara ibu dengan informan kunci karena dapat
menyebabkan keselek, sakit perut dan pencernaannya belum siap. Petugas kesehatan juga
menyatakan tidak setuju dengan pemberian pisang sebagai MP-ASI pada bayi BBLR karena
pencernaan bayi belum siap. Petugas kesehatan menjelaskan bahwa masyarakat Suku Rejang
umumnya tidak berhasil dalam pemberian ASI eksklusif, ibu yang sosial ekonomi rendah
biasanya memberikan ASI eksklusif karena tidak mampu membeli susu formula.
Ketua adat, dukun dan petugas kesehatan menyatakan bahwa biasanya ibu
memberikan madu dan teh manis, air tajin dan susu khusus BBLR bagi ibu dengan sosial
ekonomi tinggi. Sebagian besar ibu memberikan madu dan teh manis dengan alasan madu
dapat mempercepat pengeluaran lendir ditenggorokan, dan adanya kepercayaan tutur kata
anak menjadi baik saat dewasa. Beberapa ibu memberikan teh manis dan susu khusus untuk
bayi
Hampir seluruh ibu menyatakan upaya yang dilakukan agar ASI mencukupi
kebutuhan bayi dengan cara banyak mengkonsumsi sayuran bening seperti jantung pisang,
bayam daun katu dan banyak minum air putih. Ditemukan ibu yang mempercayai bahwa
mengkonsumsi sayuran bening petai dapat memperbanyak ASI. Lama menyusui pada ibu
Suku Rejang biasanya sampai 2 tahun, namun masih terdapat seorang ibu yang menyatakan
bahwa lama menyusui sampai usia 3 tahun.

ASI sedikit, takut menggendong, puting susu tidak menonjol, bayi susah menghisap
merupakan faktor penghambat pemberian ASI. Untuk mengtasinya dilakukan dengan cara
memompa dan memeras susu kemudian diberikan kepada bayi dengan sendok. Kegagalan
pemberian ASI secara eksklusif dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pengaruh ibu
informan yang memberikan madu dan teh manis, pemberian susu BBLR karena ASI tidak
keluar dan bayi susah menghisap. Faktor pendorong pemberian ASI adalah adanya dukungan
dari keluarga seperti ibu, saudara, dan tetangga berupa penyediaan makanan agar jumlah ASI
mencukupi kebutuhan bayi.

7

Hampir seluruh ibu memberikan kolostrum kepada bayi, namun bayi juga segera
diberi susu formula khusus untuk BBLR. Petugas kesehatan menyatakan bahwa ibu dengan
sosial ekonomi rendah biasanya memberikan kolostrum, namun sebagian ibu masih ada yang
membuang kolostrumnya. Kendala yang sering di hadapi adalah ibu tidak berpengalaman
dalam mencegah agar anaknya tidak tersedak, kendala lain adanya kebiasaan di masyarakat
memberikan madu dan teh manis pada bayi sebelum ASI keluar.
Ketua adat dan dukun bayi menyatakan bahwa pada umumnya ibu memberikan
makanan pendamping ASI pada saat bayinya berusia 3 bulan. Sebagian besar ibu
memberikan MP ASI pada usia kurang dari 4 bulan, bahkan ada yang mulai memberikan
MP-ASI usia 2 bulan. Hanya dua ibu yang memberikan MP-ASI pada bayinya saat berusia 6
bulan. Sebagian besar ibu menyatakan tidak setuju memberikan MP-ASI pada usia 1 bulan
dengan alasan takut sakit, dan terlalu cepat. Ibu setuju dengan pemberian MP-ASI pada usia 1
bulan karena ASI tidak mencukupi sehingga mengakibatkan berat badan bayi tidak
bertambah. Sebagian ibu setuju memberikan MP-ASI pada usia 6 bulan pada bayi BBLR
dengan alasan pencernaan bayi telah siap menerima MP-ASI pada usia 6 bulan.
Sebagian besar ibu memberikan MP-ASI berupa bubur tim dengan sayuran, dan
memberikan biskuit. Ditemukan ibu memberikan bubur dari tepung yang digongseng
kemudian disimpan, setiap kali makan di tambah gula merah kemudian di seduh air panas,
hal ini sejalan dengan pernyataan bidan desa dan ketua adat. Frekuensi pemberian makanan
tambahan sebagian besar ibu menyatakan dua atau tiga kali sehari. Namun ada juga yang
menyatakan MP-ASI diberikan setiap kali anaknya lapar. Faktor penghambat pemberian MPASI sesuai umur disebabkan karena rasa takut berat badan anaknya tidak naik dan takut ASI
tidak mencukupi kebutuhan bayi.
Imunisasi
Sebagian besar ibu tidak mengetahui pengertian imunisasi, ibu menyatakan bahwa
imunisasi adalah suntikan. Sebagian besar ibu menyatakan manfaat imunisasi agar anaknya
tidak mudah sakit, kebal terhadap penyakit dan tidak cacat. Namun seorang ibu tidak tahu
8

manfaat imunisasi, ibu menyatakan bahwa walaupun anaknya sudah diimunisasi masih
mengalami sakit. Menurut dukun, bayi BBLR tidak perlu diimunisasi, jika hendak
diimunisasi dianjurkan untuk dimunisasi setelah berusia 4 bulan. Pengetahuan ibu tentang
umur bayi mulai diimunisasi masih rendah. Sebagian besar ibu tidak mengetahui umur
pertama pemberian imunisasi. Hanya dua

ibu yang mengetahui bahwa umur pertama

pemberian imunisasi adalah umur satu minggu untuk mendapatkan imunisasi Hepatitis B.
Sebagian besar ibu menyatakan bahwa bayi diimunisasi setelah umur 1 bulan, 40 hari dan 3
bulan. Sebagian besar ibu tidak mengetahui jenis imunisasi dasar yang harus diberikan
kepada bayinya. Hanya 3 ibu yang mengetahui lima jenis imunisasi dasar. Sikap ibu terhadap
imunisasi menemukan bahwa sebagian kecil ibu merasa cemas dan takut kalau anaknya
demam setelah diimunisasi, terdapat seorang ibu yang tidak mengimunisasikan anaknya
karena takut demam setelah diimunisasi dan karena larangan orang tua dan suami.
Hampir seluruh ibu membawa anaknya ke posyandu untuk mendapat imunisasi.
Namun terdapat seorang ibu tidak mengimunisasikan bayinya. Menurut pimpinan puskesmas
pemberian imunisasi di wilayah kerja puskesmas sesuai dengan protap dimana pemberian
imunisasi sejak lahir sebelum berusia 7 hari sampai mendapat imunisasi dasar lengkap. Bidan
desa menyatakan masih terdapat ibu-ibu yang tidak membawa anaknya imunisasi karena
takut melanggar anjuran dukun tempat ibu melakukan periksa hamil dan persalinan. Menurut
dukun bayi BBLR tidak dianjurkan untuk diimunisasi.
Keterjangkauan Fasilitas Kesehatan tidak menjadi kendala karena hampir seluruh ibu
akses terhadap posyandu untuk mendapatkan imunisasi dan akses terhadap puskesmas untuk
pengobatan bayi saat bayi sakit. Faktor penghambat pemberian Imunisasi menurut petugas
kesehatan adalah adanya larangan dari dukun. Menurut dukun, bayi tidak dianjurkan untuk di
imunisasi karena imunisasi dapat mengakibatkan bayi menjadi sakit. Demikian juga menurut
ketua adat menyatakan bahwa ibu Suku Rejang yang tidak mengimunisasikan bayinya karena
takut bayinya demam.
Pencegahan Hipotermia, Infeksi dan Pengobatan
9

Seluruh ibu tidak mengetahui penyebab hipotermia pada bayi BBLR. Ibu menyatakan
bahwa bayi kedinginan karena udara yang dingin, kulitnya tidak kuat, dan bedongnya kurang
tebal. Sebagian ibu setuju terhadap penggunaan botol air panas untuk mencegah hipotermia
pada bayi BBLR. Ibu yang tidak setuju menggunakan botol air panas karena tidak dianjurkan
petugas kesehatan. Sebagian besar ibu menyatakan setuju terhadap bayi di dekap, namun
terdapat ibu yang tidak setuju untuk mendekap bayi takut anaknya masih terlalu kecil.
Beberapa cara yang dilakukan ibu untuk mencegah hipotermia hampir sama, seperti
menggunakan pakaian tebal, selimut, pembedongan. Beberapa ibu menggunakan lampu 100
watt dikombinasikan dengan cara pembedongan, tempat tidur khusus. Cara lain yang
dilakukan ibu dengan menggunakan botol air panas dan memandikan dengan minyak kelapa
juga dengan menutup pintu dan semua ventilasi. Demikian juga menurut informan kunci
(ketua adat, dukun, bidan). Menurut ketua adat dan dukun masyarakat Suku Rejang biasanya
menggunakan lampu dan pakai kelambu, menggunakan minyak untuk memandikan bayi.
Bidan desa menjelaskan biasanya ibu membuat tempat tidur khusus, pembedongan,
menggunakan botol air panas, dan tidak memandikan bayi tetapi membersihkan bayi dengan
minyak kelapa sampai berat badannya normal. Keterampilan ibu untuk mencegah dan
penanganan hipotermia diperoleh dari bidan, ibu, mertua dan dari tetangga.
Faktor Penghambat dalam pencegahan hipotermia sebagian besar ibu menyatakan
iklim yang terlalu dingin sebagai kendala untuk mencegah hipotermia, sehingga ibu
menggunakan bermacam-macam alat. Setiap hari bayi pada umumnya dibedong, berpakaian
tebal dan diselimuti kemudian dipasang lampu 100 watt dan menggunakan botol air panas.
Kesulitan yang dialami adalah bila ibu harus mengganti air panas. kesulitan mencegah
hipotermia dapat diatasi dengan adanya dukungan dan bantuan dari ibu, mertua dan keluarga
dan membantu menggantikan pakaian, bedong, mengganti air panas di botol.
Pengetahuan ibu tentang upaya pencegahan agar anak tidak sakit masih rendah.
Hampir seluruh ibu menyatakan bahwa untuk mencegah infeksi dengan cara tidak membawa
keluar rumah agar tidak tertular penyakit dari orang lain. Hampir seluruh ibu manyatakan
10

bahwa tanda-tanda anak sakit adalah rewel, demam. Sebagian besar ibu menyatakan bahwa
manfaat mencegah bayi sakit adalah agar anaknya tidak sakit, dan beberapa ibu menyatakan
agar anaknya tidak tertular penyakit. Hampir seluruh ibu menyatakan bahwa untuk mencegah
infeksi dengan tidak membawa keluar rumah agar tidak tertular penyakit dari orang lain.
Seagian ibu setuju untuk melarang keluarga dekat dengan bayi BBLR agar tidak menularkan
penyakit. Ibu yang tidak setuju menyatakan bila larangan keluarga untuk mendekati anaknya
karena takut tersingung.
Hasil triangulasi data menunjukkan terdapat persamaan pendapat antara ibu dengan
informan kunci mengenai perilaku ibu Suku Rejang dalam pengobatan saat bayi sakit.
Sebagian besar ibu menyatakan pertolongan pertama dengan membawa ke petugas kesehatan
seperti bidan dan dokter, setelah beberapa hari tidak mengalami kesembuhan ibu membawa
ke dukun. Seorang ibu menyatakan bila anaknya sakit tidak mendapat pertolongan dari
petugas kesehatan tetapi hanya mendapat pengobatan dari neneknya yang berprofesi sebagai
dukun. Menurut ketua adat perilaku ibu Suku Rejang dalam pengobatan bayi sakit tergantung
pada jenis sakitnya, ketua adat menyatakan ibu-ibu menggunakan kombinasi yaitu dengan
pengobatan medis dan tradisional.
Menurut dukun bayi yang sakit perlu ditimang dan dipakaikan gelang tiga warna
(merah, putih, hitam) agar tidak diganggu roh jahat. Menurut bidan, ibu biasanya melakukan
praktek-praktek tradisional seperti minta jeruk yang telah dijampi dukun. Hampir seluruh ibu
setuju untuk pengobatan bayi sakit di bawa ke puskesmas, namun seorang ibu tidak setuju
bayi BBLR saat sakit di bawa ke puskesmas. Hasil observasi pada status pasien di Puskesmas
Tunas Harapan dan pada catatan Bidan menunjukkan bahwa sebagian besar ibu pernah
berkunjung ke Puskesmas dan Kepelayanan bidan untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Penyakit yang diderita anak biasanya adalah demam dan flu. Seorang ibu tidak pernah
membawa anaknya ke puskesmas saat anaknya sakit, anaknya hanya diobati dengan obat
tradisional dari neneknya. Sebagian besar ibu mempercayai pengobatan pada dukun untuk
penyakit-penyakit yang dinilai tidak dapat disembuhkan oleh petugas kesehatan seperti
11

“tesapo (ditegur oleh roh halus)” dan “sisik (rewel, badan kurus)”. Sebagian besar ibu
mempercayai beberapa penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh petugas kesehatan
seperti “tesapo” dan “sisik”. Adanya kepercayaan ini disebabkan karena cara pengobatan
dengan menggunakan langir (3 buah jeruk nipis yang telah dijampi kemudian diusapkan
kemuka dan badan bayi) merupakan pengobatan tradisional yang turun-temurun masih
dipraktekkan sampai saat ini.
Perawatan Tali Pusat
Tujuan perawatan tali pusat menurut ibu adalah agar tidak mengalami infeksi, agar
tali pusatnya cepat lepas, cepat sembuh. Namun terdapat seorang ibu yang tidak mengetahui
tujuan perawatan tali pusat. Hampir seluruh ibu melakukan cara yang kurang tepat untuk
merawat tali pusat, diantaranya menggunakan betadin yang tidak dianjurkan lagi. Cara lain
yang juga tidak tepat dengan menggunakan tempurung yang dikikis kemudian di taburkan ke
sekitar pusat yang telah puput dan menggunakan logam agar pusat tidak menonjol. Demikian
juga menurut bidan desa terdapat kebiasaan masyarakat Suku Rejang merawat tali pusat
dengan cara-cara tradisional, seperti penggunaan kunyit dan ramuan tradisional. Ketua adat,
dukun juga menjelaskan terdapat kebiasaan masyarakat memotong tali pusat menggunakan
semilu yang telah dijampi. Penggunaan tempurung yang dikikis kemudian di taburkan di
sekitar pusat setelah puput, menekan logam di atas pusat agar pusat tidak menonjol. Menurut
ibu informan agar tali pusat cepat kering ditaburkan kikisan tempurung di sekitar tali pusat.
Alat dan bahan yang digunakan untuk merawat tali pusat, menurut ibu tidak sulit
didapat yang diperoleh dari bidan, warung dengan harga yang murah, seperti betadin dan kain
kasa. Namun seorang ibu menyatakan tidak membutuhkan sarana khusus untuk merawat tali
pusat hanya membutuhkan tempurung. Faktor yang mendukung dalam perawatan tali pusat
adalah beberapa ibu sudah berpengalaman dalam merawat tali pusat serta adanya dukungan
atau bantuan dari keluarga dan petugas kesehatan.

Faktor yang menghambat dalam

perawatan tali pusat adalah ibu belum berpengalaman dalam merawat tali pusat terutama ibu
yang mempunyai anak 1 orang.
12

Pembahasan
Dengan pendekatan kualitatif hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan ke
populasi lain. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan melakukan
wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah di uji coba.
Sumber data adalah informasi yang dikemukakan oleh informan sehingga kemungkinan bias
atau lupa karena informasi yang diberikan mengandalkan daya ingat dan perasaan informan.
Situasi saat pengumpulan data sangat mempengaruhi informasi yang disampaikan ibu, seperti
kehadiran anak-anak yang berisik dan anggota keluarga lain yang terkadang ikut menjawab
saat ibu menyampaikan pendapatnya.
Karakteristik ibu menunjukkan bahwa kejadian BBLR tidak hanya terjadi pada ibu
yang berusia muda (< 20 tahun) dan usia yang terlalu tua (> 35 tahun) bahkan lebih banyak
terjadi pada usia 20-35 tahun. Rendahnya pendidikan ibu berdampak pada rendahnya
pengetahuan ibu dalam pola asuh makan dan kesehatan bayi BBLR, sehingga terdapat sikap
dan praktek budaya yang tidak sesuai dengan kesehatan. Banyaknya ibu yang tidak bekerja
merupakan pendukung adanya waktu yang lebih luang untuk mengasuh anak dalam
pemberian makan dan perawatan anak. Jumlah anak ibu rata-rata adalah 2 anak memberi
peluang kepada ibu untuk merawat bayinya dengan baik. Hampir seluruh persalinan di tolong
oleh bidan desa, hanya seorang ibu yang persalinannya ditolong oleh dukun.
Istilah bayi kecil dan bayi kurang bulan sama dengan istilah di wilayah Kairatu dan
Piru yang menyebut bayi BBLR dengan istilah bayi kecil dan di wilayah Taniwel
menyebutnya dengan sebutan bayi kurang bulan,12 demikian juga istilah di Kabupaten Bogor
menggunakan istilah bayi kecil, bayi kurang bulan dan bayi prematur. Istilah lokal yang sama
akan mempermudah dalam pemberian informasi dalam perawatan bayi BBLR. Masih
terdapatnya perbedaan pengetahuan ibu tentang pengertian BBLR kemungkinan berhubungan
dengan banyaknya ibu yang berpendidikan rendah. Penyebab bayi BBLR yang dihubungkan
dengan adanya kepercayaan pada mitos-mitos yang dianut masyarakat dapat menjadi
penghambat dalam pencegahan bayi lahir BBLR. Masih terdapat ibu percaya bahwa BBLR
13

karena keturunan dan takdir, hal ini juga ditemukan pada ibu di Bogor menemukan masih ada
ibu yang percaya bahwa BBLR disebabkan karena keturunan.14
Pemberian ASI dan MP ASI
Pengetahuan ibu tentang pengertian ASI eksklusif, manfaat ASI, umur yang tepat dalam
pemberian MP ASI masih rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian di Bogor.14 Hal
ini berdampak pada praktek pemberian MP ASI dini sehingga gagal dalam pemberian ASI
eksklusif. Keadaan ini diperberat dengan banyaknya ibu yang tidak setuju dengan pemberian
ASI eksklusif dengan alasan ASI eksklusif dapat menghambat perkembangan anak, dan
menyatakan bahwa ASI saja sampai 6 bulan tidak mencukupi kebutuhan gizi sehingga
hampir seluruh ibu memberikan susu formula khusus untuk bayi BBLR, apalagi bayi yang
lahir di rumah sakit telah disediakan susu formula untuk BBLR.
Ditemukannya sebagian besar ibu tidak setuju memberikan pisang sebagai makanan
tambahan pada bayi BBLR merupakan hal yang positif, namun adanya peran orang tua ibu
yang menyarankan pemberian makanan tambahan diusia 3 atau 4 bulan merupakan faktor
penghambat pemberian ASI. Hasil penelitian Sutomo (2002) juga menemukan bahwa ibu
BBLR dikabupaten Bogor tidak setuju terhadap bayi yang diberi makanan (pisang) terlalu
cepat karena bayi masih kecil dan pencernaannya belum kuat. Mereka menyatakan bayi
boleh diberi pisang setelah berusia 4 bulan. Sebagian besar ibu tidak setuju memberikan MPASI pada usia 1 bulan pada bayi BBLR dengan alasan takun sakit, terlalu cepat. Terdapat 2
ibu yang setuju dengan pemberian MP-ASI pada usia 1 bulan bila ASInya tidak mencukupi.
Sebagian besar ibu setuju memberikan MP-ASI pada usia 6 bulan pada bayi BBLR dengan
alasan pencernaan bayi telah siap pada usia tersebut. Terdapat beberapa ibu yang tidak setuju
dengan pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan dengan alasan takut bila berat badan bayi tidak
bertambah.
Hasil penelitian menemukan bahwa bahwa hampir seluruh ibu memberikan kolostrum
pada bayinya atas anjuran bidan dan dukun. Dalam pemberian makanan pralaktal (sebelum
ASI keluar) pada umumnya masyarakat Suku Rejang masih mempraktekkan pemberian madu
14

dan teh manis dengan alasan agar kelenzar di tenggorokan bayi cepat keluar. Perilaku ini
tidak sesuai dengan petunjuk Departeman Kesehatan

yang melarang pemberian

makanan/minuman secara dini selain ASI. Ibu biasanya memberikan ASI sejak ASInya
keluar sampai usia 2 tahun.11 Perilaku dalam upaya untuk mencukupi kebutuhan ASI Pada
umumnya ibu menyatakan upaya yang dilakukan agar ASI mencukupi kebutuhan bayi
dengan cara banyak minum, mengkonsumsi sayuran bening seperti jantung pisang, bayam,
daun katu, dan terdapat kepercayaan bahwa mengkonsumsi sayur petai juga dapat
meningkatkan jumlah ASI. Menurut petunjuk Departemen Kesehatan untuk meningkatkan
suplai ASI, selain minum yang cukup (sedikitnya 3 liter sehari) ibu juga perlu minum setiap
kali menyusui, minum pil zat besi selama 40 hari setelah bersalin, dan minum vitamin A
(200.000 unit).15
Sebagian besar ibu memberikan MP ASI pada usia yang lebih muda kurang dari 6
bulan. Pemberian MP ASI yang rendah kandungan gizi seperti bubur dari tepung yang
digongseng, setiap kali makan di tambah gula merah kemudian di seduh air panas merupakan
praktek yang tidak tepat. Petugas kesehatan dan ketua adat menyatakan bahwa praktek
tersebut dilakukan oleh ibu-ibu dengan sosial ekonomi rendah. Kendala yang dihadapi ibu
saat memberikan ASI adalah ASI sedikit, takut mengendong, puting susu tidak menonjol,
bayi susah menghisap. Untuk mengatasinya dilakukan dengan cara memompa dan memeras
susu kemudian diberikan kepada bayi dengan sendok. Kegagalan pemberian ASI secara
eksklusif dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pengaruh ibu informan yang memberikan
madu dan teh manis, pemberian susu BBLR karena ASI tidak keluar dan bayi susah
menghisap. Faktor pendorong pemberian ASI adalah adanya dukungan dari keluarga seperti
ibu, saudara, dan tetangga berupa penyediaan makanan untuk ibu agar jumlah ASI
mencukupi kebutuhan bayi. Kesulitan yang dialami saat memberikan MP-ASI anaknya sering
muntah dan sesak napas bila diberi MP-ASI. Hal ini karena ibu belum berpengalaman dan
pemberian MP-ASI. Faktor penghambat pemberian MP-ASI sesuai umur disebabkan karena
rasa takut berat badannya tidak naik dan takut ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi. Faktor
15

pendorong pemberian MP-ASI adanya dukungan keluarga dalam membantu memberikan
MP-ASI.
Imunisasi
Hasil penelitian menemukan masih terdapat ketidaktahuan ibu tentang pengertian
imunisasi, manfaat imunisasi, waktu pemberian imunisasi, dan jenis imunisasi dasar. Dan
ditemukan ibu yang menyatakan bayi tidak perlu diimunisasi karena imunisasi mengakibatkan
anak menjadi sakit. Petugas kesehatan menyatakan ibu yang tidak membawa anaknya
imunisasi karena takut melanggar anjuran dukun tempat ibu bersalin dan periksa hamil.
Menurut dukun bayi BBLR tidak dianjurkan untuk diimunisasi. Rasa takut menurut bidan desa
berasal dari tidak adanya dukungan suami dan keluarga. Suami melarang anaknya dibawa
untuk imunisasi karena pengalaman dari riwayat imunisasi sebelumnya. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan ibu dan keluarga tentang imunisasi masih rendah.
Hampir seluruh ibu akses terhadap posyandu untuk mendapatkan imunisasi dan akses
terhadap puskesmas untuk pengobatan bayi saat bayi sakit. Akses ibu ke posyandu dalam
imunisasi merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan program imunisasi. Namun
dalam penelitian walaupun ibu akses terhadap puskesmas dalam pengobatan bayi sakit, namun
factor kepercayaan dan pengaruh orang tua, suami dan dukun mengakibatkan ibu membawa
anaknya yang sakit berobat ke dukun. Faktor penghambat pemberian Imunisasi adalah adanya
larangan dari suami dan orang tua ibu dan larangan dukun pemeriksa dan penolong persalinan.
Menurut Dukun bayi, bayi tidak dianjurkan untuk di imunisasi karena imunisasi dapat
mengakibatkan bayi menjadi sakit.
Pencegahan Hipotermia, Pengobatan Bayi Sakit
Seluruh ibu tidak mengetahui penyebab hipotermia pada bayi BBLR. Penelitian di
Bogor juga menemukan bahwa pengetahuan ibu tentang penyebab hipotermia masih rendah,
umumnya ibu menyatakan bahwa hipotermia terjadi karena bayi tidak diselimuti, tidak
dibedong, kena angin dan dimandikan air dingin, selebihnya karena udara dingin.14 Sebagian
16

ibu setuju terhadap penggunaan botol air panas untuk mencegah hipotermia pada bayi BBLR,
hal ini sama seperti praktek di Bogor hampir seluruh ibu yang mempunyai bayi BBLR setuju
untuk mencegah hipotermia dengan menggunakan botol air panas karena pengaruh anjuran
petugas kesehatan (bidan). Ibu juga setuju untuk mencegah hipotermia dengan mendekap bayi,
hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarakat Suku Rejang yang selalu menggendong
bayinya terutama saat sakit. Namun ibu di Kabupaten Bogor tidak setuju bayi BBLR
didekapkan ke dada ibunya dengan alasan repot karena harus mengasuh anak yang lain,
merasa takut karena bayinya kecil.14
Beberapa cara yang dilakukan ibu untuk mencegah hipotermia hampir sama, yaitu
dengan cara-cata tradisional, seperti menggunakan botol air panas, pakaian tebal, selimut,
pembedongan, menyalakan lampu 100 watt di tempat tidur khusus bayi BBLR. Namun
terdapat tindakan yang kurang tepat dengan menutup pintu dan semua ventilasi. Perilaku ibu
Suku Rejang dalam mencegah hipotermia kurang tepat, karena penggunaan lampu 100 watt
terlalu panas dan kurang efektif untuk mencegah bayi hipotermia ditambah dengan kebiasaan
ibu menutup pintu dan semua ventilasi. Alasan tindakan tersebut karena iklim Kabupaten
Rejang Lebong sangat dingin, terutama di malam hari karena secara geografis Kabupaten
Rejang Lebong merupakan daerah pegunungan. Cara tradisional yang dilakukan ibu untuk
mencegah hipotermia adalah memandikan bayi dengan minyak kelapa sesuai dengan saran
dari tokoh masyarakat dan dukun di daerah setempat. Temuan ini sejalan dengan hasil
penelitian di Kabupaten Bogor untuk mencegah bayi hipotermia umumnya ibu membungkus
dengan kain agar bayi tetap hangat (pembedongan), menggunakan botol air panas yang
disimpan di kiri kanan bayi dan bayi di seka dengan air hangat.14
Membungkus erat dengan selimut, menggunakan botol berisi air panas dapat
menimbulkan bahaya bagi keselamatan bayi. WHO (1992) tidak merekomendasikan
penggunaan botol berisi air panas untuk mencegah hipotermia, WHO merokomendasikan
metode kanguru dengan meletakkan bayi baru lahir diantara payudara ibu dengan posisi
vertikal selama berminggu-minggu. Kehangatan tubuh ibu terbukti dapat menjadi sumber
17

panas yang efektif untuk bayi BBLR karena adanya kontak kulit ibu dan kulit bayi (skin to
skin contact). Petunjuk Departeman Kesehatan untuk mencegah hipotermia adalah dengan
cara menghangatkan bayi sesegera mungkin, penggunaan inkubator digunakan sesuai
kebutuhan. Apabila tidak tersedia metode kanguru, cara lain adalah dengan penyinaran lampu
60 watt dengan jarak minimal 60 cm.11
Ibu sebagian besar setuju untuk melarang orang lain berdekatan dengan bayi BBLR
untuk mencegah penularan penyakit. Di Kabupaten Bogor juga menemukan bahwa sebagian
besar ibu di Kabupaten Bogor setuju melarang orang yang sakit pilek terlalu dekat dengan
bayi agar bayi tidak tertular penyakit.14 Menurut petunjuk Departemen Kesehatan dalam buku
pedoman pelayanan kesehatan perinatal tentang perlunya BBLR dipisahkan dari orang sakit
karena bayi BBLR mudah terkena infeksi, oleh karena itu sangat perlu untuk mencegah agar
bayi tidak sakit.16
Ditemukan perilaku ibu dalam pengobatan bayi sakit masih kurang tepat. Sebagian
besar ibu menyatakan pertolongan pertama dengan membawa ke petugas kesehatan seperti
bidan dan dokter, namun setelah beberapa hari tidak mengalami kesembuhan ibu membawa ke
dukun. Menurut dukun bayi yang sakit harus ditimang dan dipakaikan gelang tiga warna agar
tidak diganggu roh jahat. Petugas kesehatan menyatakan bahwa ibu masih melakukan praktekpraktek tradisional seperti minta jeruk yang telah dijampi dari dukun. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian di Kabupaten Bogor sebagian besar membawa bayinya yang sakit ke
Petugas Kesehatan dan selebihnya mengobati dengan ramuan yang diperoleh dari dukun.14
Perawatan Tali Pusat.
Pengetahuan ibu tentang perawatan tali pusat masih rendah. Demikian juga di
Kabupaten Bogor, Ibu yang mempunyai bayi BBLR umumnya menyatakan bahwa tujuan
perawatan tali pusat adalah supaya tali pusat tidak membusuk, bayi sehat sehingga kematian
bisa dihindarkan. Pengetahuan ibu tentang upaya pencegahan agar anak tidak sakit masih
rendah. Hampir seluruh ibu menyatakan bahwa untuk mencegah infeksi dengan cara tidak
membawa keluar rumah agar tidak tertular penyakit dari orang lain.14
18

Terdapat cara perawatan tali pusat yang tidak tepat dengan menggunakan tempurung
yang dikikis kemudian di taburkan ke sekitar pusat yang telah puput dan menggunakan logam
agar pusat tidak menonjol, penggunaan kunyit dan ramuan tradisional. Adanya perilaku
negative ini karena pengaruh dukun yang menolong persalinan. Hasil penelitian ini hampir
sama dengan di Kabupaten Bogor terdapat seorang ibu menggunakan abu kayu bakar di
campur asam dan air berdasarkan anjuran dukun bayi di daerah tersebut.14 Petunjuk
Departeman Kesehatan menganjurkan bahwa dalam merawat tali pusat tidak mengoleskan
salep ataupun zat lain ke tali pusat, dan menghindari pembungkusan tali pusat. Tali pusat yang
tidak tertutup akan mengering dan puput lebih cepat dengan komplikasi yang lebih sedikit.17
Kesimpulan dan Saran
Pengetahuan ibu tentang perawatan bayi BBLR masih rendah, ditemukan sikap yang tidak
mendukung dan ditemukan praktek-praktek budaya yang tidak tepat dalam merawat bayi
BBLR. Untuk meningkatkan pengetahuan, memperbaiki sikap yang tidak mendukung dan
perilaku ibu yang negatif perlu suatu kebijakan konkrit. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten
Rejang Lebong perlu membuat dan mengembangkan media promosi kesehatan seperti
pembuatan spanduk, poster, lieflet, booklet, brosur dan jenis lainnya tentang pemberian ASI,
MP-ASI, Perawatan bayi dan pengobatan bayi sakit.Untuk menyamakan persepsi diantara
pimpinan puskesmas dan seluruh staf khususnya pengelola program KIA dan seluruh bidan
desa Dinas Kesehatan perlu kegiatan rutin tingkat kabupaten, tingkat wilayah, pertemuan
profesi, dan kunjungan lapangan untuk mengenal masalah dan mengevaluasi program yang
telah berjalan serta mencari upaya yang tepat untuk memperbaiki perilaku masyarakat Suku
Rejang khususnya dalam pola asuh makan dan kesehatan pada bayi BBLR. Pimpinan
Puskesmas perlu melakukan Monitoring dan Koordinating kegiatan bidan desa di masyarakat
untuk menghindari penerapan perawatan bayi BBLR yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan kebidanan.Merencanakan jadwal program penyuluhan di masyarakat
Bidan Desa Meningkatkan dan memperbaharui pengetahuannya tentang perawatan bayi
BBLR melalui kegiatan-kegiatan seperti peningkatan pendidikan, mengikuti seminar dan
19

pelatihan tentang perawatan bayi BBLR. Melakukan penyuluhan kesehatan kepada remaja
putri, Wanita Usia Subur dan ibu tidak hanya di posyandu tetapi dengan melakukan
kunjungan langsung ke rumah atau melalui organisasi kemasyarakatan yang ada (pengajian)
tentang permberian ASI, MP-ASI, imunisasi, perawatan dan pengobatan.
Daftar Pustaka

1. Engle, Pl. 1997. Teh Initiative Assesment Analysis and Action Improve Care to Nutrition.
UNICEF. New york. Dalam Diana, Fivi Melva (2006). Hubungan Pola Asuh dengan
Status gizi Anak balita di Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang kota Padang
tahun 2004. Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2006, I (1):19-23
2. Husaini, M.A. 1997.Peranan Gizi dan Pola Asuh meningkatkan kualitas tumbuh kembang
anak. Puslitbang Gizi. Bogor.
3. Darmadji, S, dkk. 1993. Perkembangan anak balita program bina keluarga balita. Buku
IV Kantor Menteri Negara Urusan Wanita. Jakarta.
4. Badan pusat Statistik, BKKBN, Departemen Kesehatan. 2007. Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia 1991-2007. Jakarta:Badan Pusat Statistik.
5. Simbolon, D. 2006. Kelangsungan hidup bayi di perkotaan dan pedesaan Indonesia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Volume 1. Edisi 1. Agustus 2006.

6. Depkes 2000. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Jakarta. Direktorat jenderal bina
kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
7. Husaini, M.A. 1998. Penanggulangan Akibat dan Dampak Krisis Moneter terhadap Status Gizi
dan Kesehatan Masyarakat : Tinjauan dari Sudut Pandang Sumber Daya Manusia. Semarang:
Universitas Diponegoro.

8. Depkes. 2004. Profil Kesehatan Indonesia, Pusat Data InformASI Departemen Kesehatan
RI. Jakarta.
9. RSUD Curup 2008. Laporan Tahunan RSUD Curup. Curup-Bengkulu
10. Departemen Kesehatan RI. 1994. Pelayanan Antenatal di Tingkat Pelayanan Dasar.
Jakarta : Depkes RI.
11. Depkes 1999. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Depkes. Jakarta.
12. Pratomo, H. 1998. Pandangan dan kebiasaan perawatan bayi baru lahir pada wanita di Gugus
Pulau seram barat kabupaten Maluku tengah propinsi Maluku. Jurnal epidemiologi Indonesia.
Volume 2 edisi 2, 1998
13. Kresno, S., Hadi, E.N., Wuryaningsih C.E. 1998. Aplikasi penelitian kualitatif dalam pemantauan
dan evaluasi program kesehatan. FKM UI
14. Sutomo, O. 2002. Perilaku ibu-ibu dalam merawat bayi berat lahir rendah (studi kasus di
Kabupaten Bogor tahun 2002). Tehsis. FKU UI. Depok.

15. Depkes 2005. Apa dan mengapa tentang Vitamin A. Jakarta. Direktorat jenderal bina
kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
16. Depkes 1996. Buku pedoman pelayanan kesehatan perinatal di wilayah kerja puskesmas.
Depkes. Jakarta
17. Depkes 2002. Pedoman Pengelolaam Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Jakarta.
Direktorat jenderal bina kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

20