Efek Nefrotoksik Ekstrak Air dan Etanol

EFEK NEFROTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN ANGELICA KEISKEI PER
ORAL TERHADAP GINJAL MUS MUSCULUS JANTAN

OLEH :
ANGGA MARDIARSA
2443012247

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Masyarakat dunia khususnya Indonesia dalam kehidupannya kerap kali sangat mudah

tertarik dengan iklan pengobatan yang mengatakan “sekali minum sembuh” tanpa melihat
kearah toksisitas dan legalitas dari produk pengobatan yang beredar. Pengobatan alami,

seperti penggunaan herbal dan ekstrak tanaman (Jamu) menjadi suatu trend mode pengobatan
belakangan ini. Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat
obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatannya. Pengetahuan
tentang tanaman berkhasiat obat serta pengalaman secara turun temurun (data empiris), telah
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terbukti dari adanya naskah lama pada
daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak Pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen
Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem dan relief candi Borobudur yang
menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tanaman sebagai bahan bakunya
(Sukandar, 2006).
Tanaman Ashitaba (Angelica keiskei) adalah salah satu tanaman obat asli Jepang yang
dikenal sebagai “Harta Karun” dan “Raja Sayur Mayur”. Menurut sejarah orang Jepang,
Ashitaba merupakan tanaman yang bermanfaat untuk panjang umur yang dulu dicari-cari
oleh kaisar pertama Cina dari Dinasti Chin. Pada masa jaman Edo, Ashitaba juga dikenal
sebagai jamu-jamuan “Umur Panjang” karena kemampuannya menyembuhkan berbagai
penyakit (Nagata, et al., 2007).
Kemampuan penyembuhan dari tanaman Ashitaba tidak lepas dari kandungan
senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya yaitu β-karoten, vitamin B1, B2, B3, B5, B6,
B12, biotin, asam folat dan vitamin C, dan juga mengandung beberapa mineral seperti
kalsium, magnesium, potasium, fosfor, seng dan tembaga (Hida, 2007).
Selain nutrisi tersebut, Ashitaba mengandung cairan pekat berwarna kuning pada batang dan

daunnya yang disebut chalcone. Chalcone adalah cairan berwarna kuning cerah dan pekat
pada Ashitaba yang tidak terdapat pada tanaman sejenisnya. Menurut hasil penelitian Kimie
Baba dari Osaka University of Pharmacy Jepang (2009), pada chalcone terdapat dua
senyawa flavonoid yaitu xantoangeol dan 4-hidrooxyricine. Senyawa inilah yang
membedakan Ashitaba dengan tanaman sejenisnya. Senyawa ini memiliki struktur molekul

yang aktif dan merupakan antioksidan yang sangat potensial. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kadar sari airnya lebih tinggi dari pada kadar sari alkohol serta melebihi teh hijau dan
kedelai (Bagem, 2011).
Senyawa chalcone ini mampu membersihkan darah, menstimulasi fungsi hati dalam
menetralkan racun dan meningkatkan fungsi ginjal dalam membuang racun dari dalam darah
secara efisien (Inamori, et al., 1991).
Secara farmakokinetik, obat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Ginjal merupakan organ filtrasi dan eksresi utama yang sangat
penting untuk menyaring dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zat-zat
toksik yang masuk ke dalam tubuh (Guyton dan Hall, 1997).
Ashitaba (Angelica keiskei) mengandung berbagai senyawa kimia dengan sifat yang
berbeda-beda. Ada kemungkinan, senyawa tersebut berinteraksi secara berbeda-beda di
dalam tubuh. Sisa-sisa metabolismenya, maupun kandungan senyawa lain yang belum
diketahui bentuk dan sifatnya, dapat mempengaruhi struktur histologi dan fungsi ginjal

sebagai organ filtrasi yang mengalami kontak dengan senyawa-senyawa tersebut. Kerusakan
ginjal karena zat toksik dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan struktur histologi, yaitu
nekrosis tubular akut (NTA) yang secara morfologi ditandai dengan destruksi epitel tubulus
proksimal. Sel epitel tubulus proksimal ini peka terhadap anoksia dan mudah hancur karena
keracunan akibat kontak dengan bahan-bahan yang diekskresikan melalui ginjal.
Pada NTA nefrotoksik terlihat gambaran korteks ginjal pucat, ginjal membesar dan edema,
kongesti piramid, vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus dan terbanyak di tubulus
proksimal. Pada gambaran mikroskopis tampak degenerasi tubulus proksimal berupa edema
epitel tubulus dengan lumen yang mengandung debris, tetapi membrana basalis tetap utuh
(Guyton dan Hall, 1997).
Perubahan struktur histologis ginjal ini tentu dipengaruhi oleh jumlah senyawa yang
masuk ke dalam tubuh. Efek toksik sangat mungkin muncul apabila pemberiannya dengan
dosis yang berlebihan.
1.2

Rumusan Masalah
1. Pada kadar berapakah ekstrak etanol memberi pengaruh lebih besar menyebabkan
kelainan histopatologi ginjal mencit?
2. Ekstrak Ashitaba pada fraksi apakah yang mengiduksi kelainan histopatologi ginjal
mencit paling besar?

3. Berapakah lama pemberian tercepat dengan kadar terendah yang dapat
menginduksi kelainan histopatologi ginjal mencit?

1.3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek nefrotoksik yang ditimbulkan akibat

penggunaan ekstrak etanol dari daun ashitaba, melalui berbagai macam konsentrasi dan
perlakuan yang diberikan kepada mencit mus mukulus jantan.
1.4

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek

nefrotoksik yang ditimbulkan akibat penggunaan daun ashitaba di masyrakat, dan diharapkan
dapat mencegah terjadinya over dosis penggunaan daun ahitaba secara tradisional.
1.5

Hipotesa

1. Ekstrak dengan konsentrasi terbesar seharusnya memberi pengaruh lebih besar
dalam menginduksi kerusakan ginjal.
2. Ekstrak pada fraksi air seharusnya memberi efek terbesar karena kandungan
metabolit sekunder asitaba yaitu calchone memiliki sifat mudah larut dalam air.
3. Waktu dan lama pemberian terkecil kemungkinan pada dosis 900mg/kgbb dalam
waktu 14 hari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal
Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Sebagai
bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan
membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Cabang dari kedokteran yang
mempelajari ginjal dan penyakitnya disebut nefrologi.
Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen.
Ginjal ini terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas
(superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal).
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian
atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Kedua

ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di
bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati.
Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas. Kedua
ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang
membantu meredam goncangan adalah dengan melakukan USG, dimana dapat diketahui
adanya batu ataupun dinding ginjal atau kandung kemih yang tidak licin dan berarti terkena
infeksi.
Penggunaan Radioaktif harus dibedakan 2 jenis, yang lebih aman justru dengan
suntikan radioaktif dengan dosis rendah dan waktu paruh yang pendek, semakin singkat
waktu paruh berarti semakin singkat radiasi berada dalam tubuh kita. Yang paling aman
adalah Renografi dengan 2 probes, karena hanya menggunakan isotop radiasi dengan tingkat
1/4 dari jika menggunakan Kamera Gamma, sedangkan harga investasinya kurang dari 1/10
Kamera Gamma. Oleh karena itu jika menggunakan Renografi dengan 2 probes telah
memadai, maka tidak diperlukan penggunaan peralatan lain yang lebih mahal.
Keuntungan penggunaan Gamma Dual Camera adalah pencitraan 3D-nya yang baik.
Yang terpapar dengan radioaktif dengan tingkat radiasi yang lebih tinggi, justru tidak
memerlukan suntikan radioaktif, kecuali zat kontras untuk menambah pencitraan, karena zat
radioaktifnya berada dalam alat tersebut, berturut-turut adalah CT-Scan dan MRI dimana
MRI bagus untuk pencitraan jaringan lunak, tetapi paling mahal. MSCT 128 Slices Dual


Sources adalah CT Scan juga, tetapi lebih mutakhir dengan menggunakan 2 sumber radiasi,
sehingga dapat memindai lebih cepat dan tingkat radiasi yang digunakan juga lebih sedikit.
Yang termutakhir adalah PET CT dimana dapat memeriksa fungsi, metabolisme dan reseptor
tubuh sekaligus, dengan tingkat sensitivitas yang tinggi mencapai 90 persen untuk deteksi
dini kaker srtadium awal.[3]
2.2

ASHITABA
Angelica tanaman yang keiskei, asli Kepulauan Izu di lepas pantai Jepang dan

sekarang juga dibudidayakan di Indonesia, umumnya dikenal sebagai ashitaba-istilah yang
umum diterapkan pada tanaman itu sendiri, daun segar dan bubuk berasal dari tanaman daun
dan getah oleh perusahaan seperti Jepang Bio Science Laboratory (JBSL). Orang Jepang
makan daun mentah atau dimasak, membuat teh dengan menekan ashitaba daun, taburi bedak
halus ashitaba tanah melalui berbagai makanan seperti yoghurt, dan termasuk bubuk sebagai
sehat, bahan fungsional produk seperti makanan yang dipanggang dan mie. "Nama ashitaba
berarti 'besok daun,'" kata Vincent Hackel, presiden dan CEO. "Ashita berarti 'besok' dan ba
berarti 'daun." "Nama berasal dari tanaman kemampuan untuk dengan cepat menumbuhkan
daun baru setelah mengambil setek. Awalnya, Jepang diperlakukan seperti ashitaba daun
hijau lainnya, seperti kale, memakannya mentah atau memasak mereka dalam berbagai

hidangan. "Lalu mereka mulai mencari di dalam profil gizi," kata Hackel, dan menemukan
bahwa itu cukup tinggi di sejumlah nutrisi penting.
Saat itulah mereka mulai membuat ashitaba serbuk. Ashitaba mengandung, per 100
gram daun mentah: 65,0 mg kalsium, 5,3 gram serat, 1,0 mg besi, 3.700 μg beta-karoten,
2.100 μg vitamin A, 0.1 mg Vitamin B1, 0,24 mg Vitamin B2 dan 55 mg vitamin C.
Penelitian telah menunjukkan berbagai manfaat kesehatan yang berhubungan dengan asupan
ashitaba, termasuk pengurangan lemak viseral, meningkatkan metabolisme lemak,
meningkatkan toleransi glukosa, menurunkan tekanan darah, meningkatkan sirkulasi, lebih
tinggi high-density lipoprotein (HDL) kadar kolesterol, menurunkan kadar trigliserida dan
menurunkan peradangan, di kalangan lain.
Adapun klasifikasi dari ashitaba tersebut adalah
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi


: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Sub kelas

: Sympetalae

Bangsa

: Apiales

Keluarga

: Apiaceae

Marga


: Angelica

Jenis

: Angelica keiskei koidzumi

2.2.1 MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN ASITABA (Angelica keiskei koidzumi)
Daun ashitaba adalah termasuk daun lengkap yang terdiri dari pelepah (upih), tangkai,
dan helaian. Upih daun melekat pada batang pokok yang sepintas kita tidak dapat
membedakan antara batang pokok dengan daunnya. Tangkai daun silinder agak sedikit kecil
bila di bandingkan dengan pelepah daun yang mengalami pelebaran di bagian samping yang
kemudian melekat di batang pokok. Daun tersebar, majemuk atau terbagi pinnatus, palmatus
atau trifoliolatus, dengan pelepah yang lebar, ada atau tidak stipula.
Daun Ashitaba taermasuk daun majaemuk karena dari mulai pelepah dan ujung
tangkai daun-daun mulai tumbuh dengan anak daun yag sbenarnya berjmlah tiga atau lebih .
anak-anak daun pada daun Ashitaba ini mempunya anak tangkai yang sela-olah seperti
tangkai daun untuk daun-daun yang melekat padanya. Daun Asitaba mengalami torehan yang
dalam dengan torehan yang di hasilkan terpisah dari bagian yang awal munculnya torehan
tersebut sehingga daun tersebut seperti terlihat seprti daun yang beranak daun tiga.

Ujung daun ashitaba meruncing dengan pangkal daun yang tumpul. Susunan tulang
daun pada tanaman ashitaba ada dua macam yaitu ada yang menjari dan menyirip. Hal ini di
lihat dengan dua sudut pandang yang berbeda yaitu , pertama jika kita melihat mulai dari
bagian tempat melekatnya daun tanaman tersebut, tulang daunnya menjari. Tulang daun
menjari yaitu jika dari ujung tangkai daun keluar beberapa tulang yang memencar,
memperihatkan susunan seperti jari-jari pada tangan.
Berdasarkan argumentasi buku tersebut, daun ashitaba di katakan memiliki susunan
tulang daun menjari karena tulang daun muncul dari ujung anak tangkai dengan tulang daun
mengikuti susunan tulang daun yang berasal dari tangkai tersebut.sedangkan ashitaba kami
katakan sebagai susunan tulang daun menyirip karena pada helaian daun yang merupakan
hasil torehan daun tersebut, tulang daunnya tersusun menyirip.daun menyirip yaitu daun daun yang mempunyai ibu tulang daun yang berjalan dari pangkal keujung dan meupakan
terusan tangkai daun. Dari ibu tulang ini akan muncul tulang-tulang cabang, sehingga
susunannya seperti susunan sirip-sirip pada ikan.
Ada daun ashitaba yang menjadi ibu tulang daun ada sistem pertulangan yang
menyirip ini yaitu tulang daun yang mengalami sistem pertulangan daun menjari. Dari

sanalah kemudian akan muncul tulan-tulang cabang yang membentuk seperti sirip ikan tadi.
Tepi daun ashitaba yaitu bergerigi dengan duri yang berwarna putih yang tidak terlalu keras
atau kaku. Dagimg daunnya tipis seperti kertas jika pada usia muda tapi pada daun-daun yang
sudah dewasa. Daun tanaman ini tipis agak keras dengan permukaan yang agak kasar. Warna
daun yang masih muda berwarna hijau agak kekuning-kuningan seadangkan daun yang sudah
dewasa berwarna hijau tua. Daun tanamn yang oleh orang Barat di panggil dengan sebutan
Tomorrow’s leaf yang berasal dari Jepang ini berdasarkan sisitem pertulangan daunnya
merupakan daun tipe majemuk campuran.daun majemuk campuran yaitu daunsuatu daun
majemuk ganda yang mempunyai cabang – cabang ibu tangkai memencar seperti jari dan
terdapat anak-anak daun yang tersusun menyirip.
Jika kita teliti secara seksama daun ashitaba terlihat seperti daun yang tunggal yang
tersusun dalam suatu tangkai tanpa upih daun. Karena pada dasrnya daun Ashitaba ini
mengalami torehan dalam dan terpisah yang mempengaruhi bentuk dengan anak tangkai daun
yang terkesan seperti ibu tangkai daun tapi sebenarnya merupakan anak tangkai pertama di
mana yang kemudian menjadi anak tangkai kedua yaitu tangkai yang langsung berhubungan
dengan helaian daun atau dengan pertulangan daun menyirip tadi. Jika di lihat dengan sudut
pandang secara keseluruhan daunnya di mana daunnya tersebut kita lihat tanpatorehan maka
daun ashitaba tersebut adalah daun majemuk yang berhadapan dan bentuknya seperti pohon
cemara atau lebih tepatnya bangun segitiga sama sisi. Jika kita lihat secara subjektif maka
bentukatau bangun daun ashitaba adalah bulat. Daun bulat yaitu daun yang jika panjang :
lebar = 1 : 1.
Anatomi Daun Ashitaba
Ashitaba (Angelica keiskei koidzumi) adalah jenis tanaman suatu jenis tanaman
tahunan yang abadi. Daun merupakan sebuah organ vital yang dimiliki oleh setiap tumbuhan
tidak terkecuali bagi tanaman Ashitaba. Asitaba tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi
dengan kedalam tanah yang cukup lembab seperti di Sembalun. Tumbuhan ini terasuk
tanaman monocotil. Anatomi daun biasanya berbentuk seperti pita dan pada pangkalnya
terdapat lembaran yang membungkus batang., serta urat daunnya yang sejajar, jaringan yang
terdapat pada daun Asitaba yaitu terdapat jaringan epidermis, stomata, mesofil, xilem, floem,
sklerenkim,parenkim, dan mesofil. Jaringan epidermis pada daun Asitaba yaitu sama dengan
jarigan pada daun umumnya yaitu merupakan suatu jaringan yang berupa satu lais sel yang
dindngnya mengalami penebalan dari zat ktikula atau dari lignin. (Anonim,1994, Anatomi
Tumbuhan).

Pada epidermis terdapat stomata yang diapit oleh 2 sel penutup. Stomata terletak
nerdert di antara urat daun. Fungsi dari stomata tersebut yaitu untuk sebagai jalan masuk dan
keluarnya udara. Sedangkan jaringan epiderms brfungs untuk melindung lapsan sel di bagian
dalm dari kekeringan dan untuk mecegah penguapan ar melalui permukaan daun.
Mesofil merupakan jaringan dasar penyusun daun Ashitaba. Mesofil terdiri dari selsel parenkim yang tersusun renggang dan banyak ruang antar sel. Pada tanaman Asitaba tidak
jaringan mesofil tidak mengalami diferensiasi menjadi jaringan palisade dan jaringan spons
sehingga jaringan ini kemungkinan jumlah klorofilnya kurang. Namun meskipun bigitu
mesfil sangat berarti bagi kelangsungan hidup Ashitaba karena pada mesofil ini makanan di
prduksi dengan bantuan cahaya matahari melalui suatu proses yang di sebut dengan proses
fotosintesis. Tanaman Ashitaba ini juga melakukan penyimpanan makanan pada daun berupa
getah yang berwarna kuning pekat dalam jumlah yang cukup banyak di mana getah tersebut
juga di temukan di organ Ashitaba yang lain seperti batang misalnya. Dan kemungkinan juga
getah tersebut di hasilkan dari sel-sel tambahan yaitu kelenjar.
Berkas pengangkut terdapat pada tulang daun yang berfungsi sebagai alat transpor
dan sebagai penguat daun. Yang termasuk berkas pengangkut daam hal ini yaitu jaringan
xilem dan jaringan floem. Pada tanaman seperti Ashitaba letak xilem dan floem tidak teratur
jumlah suatu berkas pembuluhnya.
Jaringan sklerenkim / jaringan penguat yang terdapat pada daun yaitu yang berfungsi
untuk memperkokoh organ tumbuhan.Jaringan sklerenkim ini hanya terdapat ada daun yang
sudah tidak lagi melakukan pertumbuhan dan perkembangan. Jaringan sklerenkim terdiri dari
sel-sel mati. Dinding selnya kurang kuat karena tidak mengandung kayu.
Jaringan parenkim tidak terlalu dominan pada dan hanya terdapat dalam jumlah yang
sedikit saja. Parenkim pada Ashitaba juga berfungsi sebagai jaringan penghasil dan
penyimpanan cadangan makanan. Parenkim ini terdapat pada jaringan mesofil.
2.3

Kalkon
Senyawa kalkon merupakan salah satu senyawa flavonoid, yaitu senyawa yang

kerangka karbonnya terdiri atas gugus C6-C3-C6. Strukturnya dapat dibedakan dari senyawa
flavonoid lain dari cincin C3 yang terbuka (Gambar 1). Kalkon adalah aglikon flavonoid yang
pertama kali terbentuk dalam biosintesis semua varian flavonoid melalui jalur prazat dari
alur ‘siklamat’ dan alur ‘asetat malonat’ (Markham, 1998). Kalkon umumnya terdapat dalam
tanaman

yang

termasuk

dan Compositae (Sastrohamidjojo, 1996).

keluarga

Heliantheaetribe, Coreopsidinae,

Gambar 1. Senyawa Kalkon
Pada struktur senyawa kalkon, subtituen pada 2 cincin aromatis yang mengapit enon
akan memberikan pengaruh terhadap elektrofilisitas struktur enon melalui peningkatan
ataupun penurunan kerapatan elektron pada cincin aromatis. Adanya gugus pemberi elektron
akan menurunkan elektrofilisitas dari cincin enon. Demikian pula sebaliknya, adanya gugus
penarik elektron pada cincin c aromatis akan meningkatkan aktivitasnya sebagai agen
pengalkil nukleofil biologis dalam biosintesis IL-1 sebagai antiinflamasi (Batt dkk, 1993).
Senyawa kalkon memiliki aktivitas inhibisi angiogenesis melalui adisi nukleofilik
pada gugus enon (Robinson dkk, 2003). Menurut Batt dkk (1993), jembatan enon pada
senyawa 2’-kalkon tersubtitusi memegang peranan penting dalam mekanisme aksi inhibitor
biosintesis IL-1 karena dapat berperan sebagai agen elektrofilik pengalkilasi. Para agen
pengalkilasi memberikan efek sitotoksik melalui transfer alkyl group untuk berbagai
konstituen seluler. Alkilasi DNA dalam inti atom mungkin mewakili interaksi utama yang
menyebabkan kematian sel (Katzung, 2006).
Senyawa pengalkilasi dapat membentuk senyawa kationik antara yang tidak stabil,
diikuti pemecahan cincin membentuk ion karbonium reaktif. Ion ini bereaksi, melalui reaksi
alkilasi, membentuk ikatan kovalen dengan gugus-gugus donor elektron, seperti gugus-gugus
karboksilat, amin, fosfat, dan tiol, yang terdapat pada struktur asam amino, asam nukleat dan
protein, yang sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel. Reaksi ini membentuk
hubungan melintang (cross-lingking) antara dua rangkaian DNA dan mencegah mitosis.
Akibatnya proses pembentukan sel terganggu dan terjadi hambatan pertumbuhan sel kanker
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Bagi tubuh, flavonoid berfungsi sebagai antioksidan sehingga ampuh mencegah
sekaligus mengatasi serangan kanker. Mekanisme kerja flavonoid dalam mengatasi kanker
dengan menginaktifasi karsinogen, penghambatan siklus sel, dan induksi apoptosis. Sumali
Wiryowidagdo, mengingatkan untuk tak terlalu lama ketika merebus sarang semut.

Tujuannya agar flavonoid yang dikandung tidak rusak. Kalau dilakukan perebusan pada suhu
90oC hanya boleh 15 menit.
2.4

Hematoksilin Dan Eosin
Untuk pembuatan preparat histopatologi dibutuhkan bahan utama berupa jaringan

segar, yang difiksasi dalam larutan formalin (BNF) 10%. Jaringan dipotong clan diatur dalam
tissue cassetes, didehidrasi secara otomatis dengan mesin dehidrasi, dikeringkan dengan
mesin vaccum, clan diblok dengan cairan parafin, selanjutnya blok tersebut dipotong 3 - 5
~tm dengan mesin mikrotom clan potongan tersebut dilekatkan pada kaca obyek. Setelah itu
kaca obyek diwarnai secara manual dengan hematoksilin clan eosin. Pewarnaan tersebut akan
memberikan keseimbangan warna biru clan merah dengan jelas padajaringan, sehingga
komponen sel dapat diidentifikasi denganjelas.
Dengan beberapa pengecualian, kebanyakan jaringan tak berwarna sehingga sulit
untuk memeriksa jaringan yang ticlak diwarnai di bawah mikroskop . Oleh karena itu telah
ditemukan metode-metode pewarnaan jaringan yang ticlak hanya membuat berbagai
komponen jaringan menjadi menyolok, tetapi memungkinkan pula diidentifikasi komponenkomponennya. Pewamaan Hematoksilin clan Eosin (H&E) adalah jems pewarnaan rutin yang
paling umum dipakai . Prosedur ini digunakan dalam proses pembuatan preparat
histopatologi dari berbagai spesies hewan sakit atau mati clan memerlukan pemeriksaan
histopatologi untuk peneguhan diagnosis hewan yang bersangkutan.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

ALAT
- Gelas objek dan gelas penutup
- Mikroskop cahaya dengan micrometer
- Timbangan analitis

3.2

BAHAN
- 30 ekor tikut putih jantan
- Ekstrak air daun Ashitaba
- Ekstrak etanol daun ashitaba
- Aquadest
- Dapar formalin
- NaCl 0,9%
- Pewarna Hematoksilin Eosin

3.3

METODE PENELITIAN

3.3.1

Persiapan
Daun Ashitaba yang akan digunakan diperoleh dari perkebunan ashitaba daerah

trawas Malang. Bagian yang digunakan adalah 2 helai daun setelah bagian pucuk, atau
setelah 2 helai daun dari pangkal batang, sebelumnya dirajang menjadi bentuk yang lebih
kecil lalu diblender hingga bentuknya lebih kecil lagi, kemudian dikeringkan. Setelah kering
daun Ashitaba dibagi 2 bagian, 1 bagian yang telah berbentuk serbuk dimaserasi dengan
etanol 96% selama satu hari, dan 1 bagian lainnya dimaserasi dengan air selama 1 hari,
kemudian dilakukan penyaringan untuk mendapatkan cairan dari hasil perendaman. Hasil
penyaringan diuapkan dengan rotary evaporator. Ekstrak yang telah didapat selanjutnya
disimpan pada suhu -20ºC sebelum digunakan.
3.3.2

Perlakuan
Sebanyak 30 ekor mencit jantan berumur 2 bulan dengan berat badan lebih kurang

200 gram - 250 gram. Dibagi menjadi 6 kelompok yang setiap kelompoknya terdapat 5 ekor
mencit. Pemberian perakuan dibagi sebagai berikut :

Kontrol ;


Kelompok 0 digunakan sebagai control negative diberi Aquades.



Kelompok 1 sebagai control positif diberikan rifampisin dosis 100mg/100
kgbb.

Ekstrak Etanol daun Ashitaba ;


Kelompok A’ dosis 150mg/kgbb;



Kelombok B’ dosis 300mg/kg bb;



Kelompok C’ dosis 600 mg/kgbb ;



Kelompok D’ dosis 900mg/kgbb dan



Kelompok E’ dosis 1200mg/kgbb.

Perlakuan tersebut dilakukan setiap hari dan diberikan secara oral, selama 2 bulan.
3.3.3

Pembuatan Preparat
Perlakuan sesuai kelompoknya dilakukan selama 2 bulan (61 hari). Pada hari ke 62

semua mencit dinekropsi, kemudian ginjal diambil untuk selanjutnya dibuat preparat
histopatologi. Pembuatan preparat hsitopatologi dibuat sesuai prosedur Kiernan (1990) dan
pewarnaan dengan metode Harris hematoksilin eosin (HE).
3.3.4

Pemeriksaan Preparat Histopatologi
Preparat histopatologi diperiksa di bawah mikroskop masing-masing pada 5 lapang

pandang mikroskopik. Perubahan yang diamati seperti adanya perubahan ukuran sel epitel
tubulus dibandingkan ukuran sel normal pada terhadap control negatif. Ukuran sel diukur
dengan menggunakan micrometer scale. Dan dihitung sebanyak 50 sel, 10 sel pada tiap
lapangan pandang.
3.3.5

Metode Analisa
Data yang diperoleh dicatat dan dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan

mengunakan “Parametric analizing method” ONE-WAY ANOVA dan uji poshog
menggunakan aplikasi SPSS.

DAFTAR PUSTAKA

Gembong Citro Soepomo,1997,Morfologi Tumbuhan , yogyakarta : UGM - IKAPI
Guyton dan Hall. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Setiawan I, editor. Ed. 9. Jakarta:
EGC.
Himawan, S. 1992. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta:UI Press. Inamori Y, Baba K, Tsujibo
H, Taniguchi M, Nakata K, Kozawa M, 1991. “Antibacterial activity of two
Chalcones, xanthoangelol and 4-hydroxyderricin, isolated from the root of Angelica
Keiskei koidzumi”, Chemical and Pharmacy Bulletin, Osaka University of
Pharmaceutical Sciences, Japan, Jun;39(6):1604-5.
Sukandar, E.Y. 2006. “Tren dan Paradigma Dunia Farmasi. Industri- KlinikTeknologi
Kesehatan”. http://itb.ac.id/focus/focus_file/orasiilmiah-dies-45.pdf.
Nagata J, Morino T, Saito M. 2007. “Effects of dietary Angelica keiskei on serum and liver
lipid profi les, and body fat accumulations in rats”, Journal of Nutrition Scientific
Vitaminology, National Institute of Health and Nutrition, Tokyo.
Thomson, R. G. (1997). General Veterinary Pathology. Second Edition. W. B. S a u n d e r s
Company. Philadelphia.