Analisis Struktur Perilaku dan Kinerja I

Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Taksi di Provinsi Banten

( Analysis of Structure, Conduct, and Performance Taxi Industry in Banten Province )

Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ekonomi Industri Dosen Pengampu: Bapak Sayifullah, SE., M.Akt.

Disusun Oleh:

EDWIN RONALDO (NIM. 5553121723) MUHAMMAD IRHAM FADEL

(NIM. 5553121884) SYINTIA DWI ANGGRAENI

(NIM. 5553121735)

Kelas : V F/ 5F

JURUSAN ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA Jalan Raya Jakarta Km. 4, Serang, Banten

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena, atas berkat dan kehendak-Nyalah paper ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Dalam penulisan paper ini penulis menemukan banyak kesulitan, terutama keterbatasan mengenai penguasaan Ilmu Ekonomi Industri. Tetapi berkat bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak akhirnya penulis pun dapat menyelesaikan paper ini. Karena itu penulis turut mengucapkan terima kasih kepada:

 Dosen Ilmu Ekonomi Industri, Bapak Sayifullah, SE., M.Akt., yang telah memberikan izin untuk mengkaji variabel ekonomi industri.

 Ayah dan Ibu penulis tersayang yang telah memberikan dukungan atau motivasi secara moral, spiritual, dan materil.

Penulis menyadarai bahwa paper ini masih ditemukan banyak kekurangan. Maka, kritik dan saran dirasakan sangat dibutuhkan untuk kemajuan penulis di masa yang akan datang.

Penulis berharap, agar dengan adanya paper ini, dapat berguna bagi semua Mahasiswa yang mengikuti Mata Kuliah Ekonomi Industri khususnya mahasiswa/i Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Serang, 22 Oktober 2014

PENULIS

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Apabila kita mendengar kata taksi maka yang timbul dipikiran setiap orang

adalah angkutan umum yang cara pembayarannya berbeda dengan kendaraan umum lain seperti bus, metromini, bajai ,dll. Cara membayar taksi sesuai dengan argometer yang tertera pada taksi itu atau dengan kata lain kita membayar sesuai dengan jauh dekatnya jarak yang kita tempuh. Sangat banyak taksi yang terdapat di indonesia contoh: Bluebird taxi, taksi koperasi, taksi express dan lain sebagainya. Tapi tahukah kalian bagaimana awal ditemukannya taksi?

Seperti yang kita ketahui bahwa taksi adalah alat kendaraan bermotor yang menggunakan mesin. Tapi ternyata sebelum dunia mengenal yang namanya mesin, taksi sudah jauh ditemukan oleh Nicholas Sauvage pada tahun 1640 di Paris. Tapi yang berbeda adalah taksi yang ditemukan oleh Nicholas Sauvage menggunakan bantuan kuda. Cara bayarnya pun sama dengan taksi yang ada di jaman sekarang, besar kecilnya pembayaran taksi jaman tersebut juga tergantung jauh dekatnya jarak yang ditempuh. Ada yang menggunakan alat ukurnya sesuai dengan bola yang jatuh sepanjang perjalanan, lalu kejatuhan bola ini dibuat dengan interval yang sama dan diakhir perjalanan tinggal menghitung saja bola yang jatuh lalu dikalikan dengan tarifnya.

Seiring kemajuan teknologi kedaraan mesin pun sudah lalu lalang, tapi tidak semua orang bisa menikmatinya hanya orang-orang kaya saja yang bisa memakainya, jadi pada tahun 1891 Wilhem Bruhn dari Jerman menemukan taximeter, yang berfungsi sebagai penghitung jarak atau ongkos taksi yang lebih dikenal dengan argometer. Selanjutnya penggunaan taksi semakin berkembang pada tahun 1899 di Paris, tahun 1903 di London dan tahun 1907 di New York. Harry N. Allen dari Paris adalah orang pertama yang menggunakan warna kuning untuk taksi di New York, dengan pertimbangan bahwa, warna kuning adalah warna yang paling mudah diingat dan dikenali.

Taximeter atau lebih dikenal dengan nama argometer pada awalnya di pasang di luar kabin, tepat diatas sisi pengemudi. Untuk memudahkan, alat itupun dipindahkan ke dalam kabin, lalu di tahun 1980-an kemajuan teknologi pun mengubah alat tersebut menjadi alat yang berbasis elektronik dan digital, seperti yang sekarang dirasakan oleh masyarakat banyak.

Di Indonesia taksi pertama kali masuk pada tahun 1930 an pada masa kolonial Belanda melalui Batavia (Jakarta). Tidak banyak jumlah taksi pada masa tersebut, hanya sekitar puluhan dan hanya orang-orang tertentu saja yang naik taksi ini (orang Belanda) sehingga taksi ini menjadi ukuran status sosial. Sistem taksi pada saat itu sangat tertib, supir hanya boleh menaikan dan menurunkan penumpang pada tempat tertentu (terminal taksi).

Perkembangan taksi yang terus berkembang, membuat kebutuhan akan taksi semakin meningkat. Pada tahun 1971 untuk pertama kalinya taksi diresmikan sebagai angkutan umum di Jakarta oleh Ali Sadikin yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Untuk dapat membentuk Badan Usaha pertaksian dibutuhkan minimal 100 armada mobil baru. Jakarta sebagai kota metropolitan dan pusat perekonomian membutuhkan sebuah sarana transportasi yang memadai.

Hingga kini perkembangan taksi di Indonesia sudah sangat berkembang. Bahkan kini sudah banyak operator penyedia taksi di Indonesia dan tersebar disebagian kota besar di Indonesia. Bahkan banyak fasilitas yang diberikan seperti Taxi Order atau pesan taksi dan aneka fasilitas pilihan mobil yang eksklusif.

Dengan melihat perkembangan industri taksi yang signifikan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, hal tersebut merupakan peluang pasar yang perlu diamati lebih dalam oleh semua pihak baik Pemerintah, maupun Swasta. Dengan semakin berkembangnya zaman, permintaan akan transportasi darat yang bersifat aman, nyaman, ekslusif dan tepat waktu sangat diimpikan oleh setiap masyarakat. Sehingga hal tersebut menjadi peluang yang besar untuk industri taksi, yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Materi yang disampaikan dalam paper ini diharapkan dapat memberikan sebuah pandangan baru dalam memahami peluang pasar industri taksi di

Provinsi Banten yang dapat membantu pengambil kebijakan dalam mendesain kebijakan yang sesuai dengan pendekatan Struktur, Prilaku, dan Kinerja, serta membantu pengembangan penelitian analisis faktor permintaan taksi di masa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur pasar Industri Taksi di Provinsi Banten?

2. Bagaimana prilaku perusahaan dalam Industri Taksi di Provinsi Banten?

3. Bagaimana kinerja perusahaan dalam Industri Taksi di Provinsi Banten?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami pentingnya Industri Taksi dalam percepatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.

2. Untuk mengetahui perusahaan – perusahaan yang terlibat dalam industri Taksi di Provinsi Banten.

3. Untuk mengetahui struktur pasar , perilaku dan kinerja perusahaan dalam Industri Taksi di Provinsi Banten.

4. Untuk menjadi bahan penelitian lanjutan, dan memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Industri

BAB II KAJIAN LITERATUR

2.1 Kajian Pustaka

Tinjauan pustaka di dalam penelitian ini akan digunakan sebagai acuan atau landasan teori untuk penyusunan kerangka pemikiran teoritisnya. Teori yang digunakan yaitu sebagai berikut:

2.1.1 Teori produksi

Tati SJ dan Fathorrozi (2003) menyatakan bahwa produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Hubungan teknis antara input dan output tersebut dalam bentuk persamaan, tabel atau grafik merupakan fungsi produksi (salvatore, 1994). Sehingga fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum outpout yang dihasilkan dengan kombinasi output tertentu (Ferguson dan Gould, 1975). Pada umumnya terdapat dua pengertian mengenai produksi, yaitu pengertian produksi secara ekonomis dan produksi secara teknis/fisik. Secara ekonomis produksi didefinisikan sebagai kegiatan untuk menaikkan nilai tambah pada suatu barang, baik melalui penambahan guna bentuk (formutility), guna waktu (time utility) dan guna tempat (place utility). Sedangkan secara teknis/fisik, produksi didefinisikan sebagai hubungan anatar faktor- faktor produksi yang disebut input dengan hasil produksi yang disebut output (Sudarsono, 1984).

Dengan beberapa definisi tersebut maka hubungan antara input dan output dalam proses produksi tersebut dapat diformulasikan dalam sebuah fungsi produksi yang menurut Soekartawi (2003) dinyatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X) dimana variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input dan secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :

Dimana dengan fungsi produksi seperti tersebut diatas, maka hubungan Y dan X dapat diketahui dan sekaligus hubungan X i ,…..X n serta X lainnya juga dapat diketahui. Sedangkan menurut Nicholson (2000) dapat ditulis dalam bentuk matematis sebagai berikut:

= ,,,…

Dimana : Q

= Output yang dihasijkan pada periode waktu tertentu K

= penggunaan modal (Kapital) T

= Jam Masukan (Tenaga Kerja) M

= Bahan mentah yang dipergunakan (Material) … = Berbagai kemungkinan digunakannya input yang lain.

Dari input yang tersedia setiap perusahaan ingin memperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan tingkat teknologi yang tertinggi pada saat itu (Nicholson, 2000) sedangkan menurut Sudarsono (1984) suatu fungsi produksi dapat memberikan gambaran kepada kita tentang produksi yang efisien secara teknis yang artinya semua penggunaan input dalam produksi serba minimal atau serba efisien. Dalam teori produksi yang sederhana umumnya menggambarkan tentang hubungan antara tingkat produksi suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi barang tersebut dimana dalam analisis tersebut dimisalkan bahwa faktor-faktor produksi lainnya adalah tetap. Dalam hubungan proses produksi tersebut terdapat hukum hasil lebih yang semakin berkurang (the law of diminishing returns) yang tidak dapat dipisahkan dari teori produksi (Sadono sukirno, 2003). The law of diminishing returns pada hakikatnya menyatakan bahwa hubungan di antara tingkat produksi dan jumlah tenaga kerja yang digunakan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pertama produksi total akan mengalami penambahan yang semakin cepat, tahap kedua pertambahannya akan semakin melambat dan pada tahap ketiga produksi total justru akan semakin berkurang. The law of diminishing returns dapat digambarkan dengan analisis kurva total produksi dan kurva produksi marjinal seperti dapat dilihat dalam gambar 2.1 berikut:

Sumber: Soekartawi, 2003.

Gambar 2. 1 Kurva Hubungan Total Produksi (TP), Produksi Rata-Rata

(AP) dan Produksi Marginal (MP)

Gambar diatas dapat menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) daerah produksi, yaitu :

a) Daerah I : Daerah pada saat produksi marginal (MP) lebih besar dari pada produksi rata-rata (AP) dan daerah ini tidak rasional sehingga penggunaan input belum mencapai efisiensi (optimal) karena secara ekonomis produksi masih dapat ditingkatkan.

b) Daerah II : Daerah yang dimulai dari titik AP maksimum (AP=MP) sampai dimana MP=0 dengan elastisitas produksi antara 0 dan 1. Daerah ini merupakan daerah rasional bagi produsen dan efisiensi teknis tercapai yaitu pada saat MP memotong kurva AP maksimum.

c) Daerah III : Daerah pada saat MP negatif dengan elastisitas produksi kurang dari 0 dan daerah ini tidak rasional karena setiap terjadi penambahan input justru akan menurunkan total output sehingga terjadi inefisiensi.

Selanjutnya dalam pembahasan fungsi produksi dibahas pula konsep biaya yang berkaitan erat dengan konsep produk yang akan diproduksi atau Selanjutnya dalam pembahasan fungsi produksi dibahas pula konsep biaya yang berkaitan erat dengan konsep produk yang akan diproduksi atau

Tati SJ dan Fathorozi (2003) membedakan biaya menurut realitas dan sifatnya dimana dilihat dari realitasnya, biaya terdiri dari biaya eksplisit, yaitu pengeluaran yang nyata untuk membeli atau menyewa input atau faktor produksi yang diperlukan dalam proses produksi serta biaya implisit yaitu nilai dari input milik sendiri yang digunakan oleh perusahaan dalam proses produksi. Sedangkan menurut sifatnya, biaya terdiri dari 3 (tiga), pertama adalah biaya tetap, yaitu kewajiban yang harus dibayar suatu perusahaan per satu satuan waktu tertentu untuk keperluan pembayaran semua input tetap dan besarnya tidak tergantung dari jumlah produksi yang dihasilkan, kedua adalah biaya variabel, yaitu kewajiban yang harus dibayar suatu perusahaan pada waktu tertentu untuk pembayaran semua input variabel yang digunakan dalam proses produksi, ketiga adalah biaya total yang merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel dalam proses produksi. Dalam jangka pendek, jumlah satu atau lebih dari faktor produksi adalah tetap. Fungsi biaya total dalam jangka pendek dapat digambarkan pada Gambar 2.2 berikut :

Sumber: Salvatore, 1994.

Gambar 2. 2 Kurva Biaya Total Jangka Pendek

Selanjutnya dalam jangka panjang semua input adalah variabel sehingga kurva biaya dalam jangka panjang merupakan envelope (tangen) bagi biaya dalam Selanjutnya dalam jangka panjang semua input adalah variabel sehingga kurva biaya dalam jangka panjang merupakan envelope (tangen) bagi biaya dalam

Sumber : Sadono Sukirno, 2003

Gambar 2. 3 Kurva Biaya dalam jangka Panjang Sadono Sukirno (2003) mendefinisikan biaya total rata-rata jangka panjang

atau kurva LRAC ( Long Run Average Cost ) sebagai kurva yang menunjukkan biaya rata-rata paling minimum untuk berbagai tingkat produksi apabila perusahaan dapat selalu mengubah kapasitas produksinya. Konsepsi biaya jangka pendek dan biaya jangka panjang tersebut berkaitan dengan economies of scale dan returns to scale dimana menurut Berndt (1996) dalam Joesron TS dan Fathorozi (2003) dijelaskan bahwa pada kondisi biaya rata-rata menurun akibat kenaikan produksi maka hasil atas skala (return to scale) meningkat dan sebaliknya pada kondisi biaya rata-rata meningkat akibat kenaikan produksi maka return to scale akan menurun dan pada saat biaya rata-rata mencapai minimum maka return to scale berlaku konstan. Lebih lanjut Berndt menjelaskan bahwa apabila biaya rata-rata menurun maka economies to scale adalah positif sedang pada saat biaya rata- rata mencapai minimum maka economies of scale sama dengan nol dan pada saat biaya rata-rata meningkat maka economies of scale menjadi negative ( diseconomies of scale ). Secara umum disebutkan bahwa diseconomies of scale tidak cepat dirasakan pengusaha sehingga biaya rata-rata ditunjukkan konstan dalam jangka tertentu dan peningkatan biaya dalam jangka panjang menunjukkan terjadinya diseconomies of scale . Para pengusaha akan atau kurva LRAC ( Long Run Average Cost ) sebagai kurva yang menunjukkan biaya rata-rata paling minimum untuk berbagai tingkat produksi apabila perusahaan dapat selalu mengubah kapasitas produksinya. Konsepsi biaya jangka pendek dan biaya jangka panjang tersebut berkaitan dengan economies of scale dan returns to scale dimana menurut Berndt (1996) dalam Joesron TS dan Fathorozi (2003) dijelaskan bahwa pada kondisi biaya rata-rata menurun akibat kenaikan produksi maka hasil atas skala (return to scale) meningkat dan sebaliknya pada kondisi biaya rata-rata meningkat akibat kenaikan produksi maka return to scale akan menurun dan pada saat biaya rata-rata mencapai minimum maka return to scale berlaku konstan. Lebih lanjut Berndt menjelaskan bahwa apabila biaya rata-rata menurun maka economies to scale adalah positif sedang pada saat biaya rata- rata mencapai minimum maka economies of scale sama dengan nol dan pada saat biaya rata-rata meningkat maka economies of scale menjadi negative ( diseconomies of scale ). Secara umum disebutkan bahwa diseconomies of scale tidak cepat dirasakan pengusaha sehingga biaya rata-rata ditunjukkan konstan dalam jangka tertentu dan peningkatan biaya dalam jangka panjang menunjukkan terjadinya diseconomies of scale . Para pengusaha akan

2.1.2 Industri Taksi

Angkutan umum khususnya angkutan jalan raya di daerah perkotaan dilihat dari penggunaannya menurut Vuchic (1981) dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a) Pengangkut penumpang umum atau yang dikenal sebagai transit (mass transit atau mass transportation), dimana pada sistem ini angkutan umum melayani suatu rute dan jadwal yang tetap dan tersedia bagi semua penumpang dengan membayar sejumlah ongkos yang telah ditetapkan pemerintah. Adapun jenis modanya antara lain, bus, mobil penumpang, kereta api ringan dan sebagainya.

b) Angkutan sewa atau yang dikenal dengan paratransit, dimana suatu layanan angkutan yang disediakan oleh operator dan tersedia untuk siapa saja yang memenuhi syarat kontrak untuk pengangkutan (membayar sejumlah ongkos) namun masih tergantung dari tingkat kebutuhan konsumen sehingga umumnya paratransit tidak memiliki jadwal dan rute tetap karena disesuaikan dengan kebutuhan pengguna (demand responsive). Jenis moda angkutan paratransit ini antara lain taksi, dial-a-bus, rental kendaraan, ojek dan sebagainya.

Vuchic (1981) juga membedakan angkutan umum berdasarkan kapasitas daya angkutnya yang dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :

a) Angkutan umum dengan kapasitas rendah, seperti taksi, dial-a-bus, angkutan kota;

b) Angkutan umum dengan kapasitas sedang, seperti bus reguler, bus cepat, trem;

c) Angkutan umum dengan kapasitas tinggi, seperti kereta api ringan Dalam operasionalnya, angkutan umum diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Waldiyono (1996) menyebutkan bahwa kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah menyangkut angkutan umum biasanya meliputi Pemerintah. Waldiyono (1996) menyebutkan bahwa kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah menyangkut angkutan umum biasanya meliputi

Selanjutnya taksi sebagai salah satu angkutan umum dinyatakan oleh Levinson dan Weant (1982) bahwa taksi adalah salah satu jenis layanan transportasi yang mempunyai karakteristik pelayanan khusus yang merupakan perpaduan antara kendaraan pribadi dan angkutan umum. Beberapa keunggulan taksi dibanding moda angkutan umum lainnya anatara lain : Mempunyai pelayanan yang bersifat door to door; dapat menjangkau semua tempat yang tidak dapat terjangkau oleh angkutan umum; waktu operasi hampir 24 jam; dapat dipanggil melalui telepon; lebih nyaman dan bersifat pribadi; lebih cepat dan aman; tepat bagi orang tua maupun penyandang cacat serta tepat untuk hal-hal darurat. Pengguna jasa taksi dilihat dari sisi sosial ekonomi juga bervariasi namun secara garis besar Levinson dan Weant (1982) mengelompokkan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu orang yang naik taksi karena menginginkan pelayanan yang lebih baik dan orang yang naik taksi karena memang tidak mempunyai pilihan lain sepert dalam keadaan darurat/sakit, orang tua maupun para penyandang cacat.

Tujuan penggunaan jasa taksi juga beragam, dapat untuk ke tempat kerja, belanja, ke sekolah maupun untuk keperluan sosial atau keluarga. Untuk memperoleh jasa pelayanan taksi ada 3 (tiga) cara, yaitu : pesanan melalui telepon; pada beberapa kota besar, calon penumpang menunggu taksi yang lewat pada jalur khusus di sisi tempat berjalan (trotoar); pada beberapa kota telah disiapkan pangkalan taksi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, pangkalan taksi ini umumnya berada pada impul-simpul transportasi (Bandar udara, pelabuhan, terminal, stasiun kereta api), hotel, pusat perbelanjaan ataupun tempat- tempat strategis lainnya.

Menilik industri jasa taksi di kota Semarang maka tipe pasar industry ini dapat dikategorikan dalam oligopoli ketat. Wihana Kirana Jaya (2001) menyatakan bahwa dalam hal beberapa perusahaan yang memiliki pangsa pasar Menilik industri jasa taksi di kota Semarang maka tipe pasar industry ini dapat dikategorikan dalam oligopoli ketat. Wihana Kirana Jaya (2001) menyatakan bahwa dalam hal beberapa perusahaan yang memiliki pangsa pasar

2.1.3 Approach Structure, Conduct, and Performance

2.1.3.1 Pendekatan SCP

Mason dan Bain dalam Lipczynski (2005) menjelaskan struktur pasar mempengaruhi perilaku perusahaan, dari perilaku ini akan menimbulkan strategi untuk mencapai kinerja perusahaan yang lebih baik. Dengan melihat struktur, perusahaan akan mengetahui kekuatan dari suatu perusahaan. Perusahaan akan menetapkan strategi-strategi yang sesuai dengan kekuatan perusahaan pesaing. Strategi-strategi ini yang akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Sederhananya pendekatan SCP ini digunakan untuk mengetahui kondisi struktur dan persaingan usaha dalam suatu industri dilihat dari struktur industri, perilaku perusahaan, dan kinerja perusahaan.

Pendekatan ini awalnya digunakan pemerintah untuk menganalisis keadaan suatu industri sehingga dapat melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang akan merugikan konsumen. Dalam perkembangannya, pendekatan ini digunakan perusahaan untuk menjalankan perusahaan sesuai dengan kondisi pasar. Hubungan ketiga variabel ini adalah linier yaitu struktur mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi kinerja. Pada perkembangannya hubungan ini bisa terbalik dan saling mempengaruhi.

Sumber: Talattov, 2010. Gambar 2. 4 Hubungan antara Structure – Conduct – Performance

2.1.3.2 Pengertian Structure, Conduct, dan Performance

A. Structure

Teguh (2010), menjelaskan bahwa struktur pasar menunjukan karakteristik pasar, seperti elemen jumlah pembeli dan penjual, keadaan produk, keadaan pengetahuan penjual dan pembeli, serta keadaan rintangan pasar. perbedaan tersebut yang akan menetukan perilaku dan kinerja perusahaan. Lipezinski (2005), mengemukakan 4 variabel utama dalam struktur pasar yaitu :

1. Jumlah pembeli dan penjual serta besaran pangsa pasar

Variabel ini digunakan untuk mengetahui kekuatan pasar perusahaan dominan dalam suatu industri. Variabel ini dapat dilihat dari kekuatan penjualan, asset, atau karyawan yang dimiliki. Struktur pasar yang baik terjadi ketika penjual dan pembeli mempunyai kekuatan pasar yang sama.

2. Hambatan untuk masuk pasar

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh perusahaan baru yang akan memasuki suatu pasar. Hambatan atau kesulitan ini dapat diciptakan oleh perusahaan dominan. Hambatan atau kesulitan ini akan membuat perusahaan baru keluar dari suatu pasar.

3. Diferensiasi produk

Diferensiasi produk untuk menentukan perbedaan karakteristik produk dari setiap perusahaan. Perusahaan yang melakukan diferensiasi produk akan mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas dari sebelumnya.

4. Integrasi vertikal dan diversifikasi

Integrasi vertical merupakan pengambilalihan perusahaan yang berbeda tingkatan dalam suatu proses produksi yang sama. Integrasi ini dapat Integrasi vertical merupakan pengambilalihan perusahaan yang berbeda tingkatan dalam suatu proses produksi yang sama. Integrasi ini dapat

Struktur pasar mempunyai 4 jenis utama struktur pasar (Samuelson dan Nordhaus, 1994):

a. Pasar Persaingan Sempurna

Pasar Persaingan Sempurna adalah suatu pasar dimana terdapat banyak penjual dan pembeli yang memperdagangkan produk identik, sehingga masing-masing dari mereka akan menjadi penerima harga (Mankiw, 2006). Pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga. Harga tercipta dengan kekuatan pasar melalui permintaan dan penawaran. Hal tersebut juga disebut price takers .

b. Pasar Oligopoli

Pasar oligopoli adalah struktur pasar dimana hanya terdapat sedikit penjual, masing-masing menjual barang yang sama atau identik dengan yang lain (Mankiw, 2006). Menurut Case and Fair (2007), oligopoli adalah suatu bentuk struktur industri yang dicirikan terdapat beberapa perusahaan dominan di industri tersebut. Inti dari pasar oligopoli adalah hanya terdapat sedikit penjual. Hasilnya, tindakan salah satu penjual dalam pasar dapat mempengaruhi keuntungan penjual-penjual lain. Artinya, perusahaan- perusahaan oligopolistik saling terikat satu sama lain dengan cara yang berbeda dengan perusahaan kompetitif.

c. Pasar Monopoli

Perusahaan monopoli adalah ketika suatu perusahaan satu-satunya penjual suatu barang tanpa adanya barang subtitusi (Mankiw, 2006). Sedangkan Case and Fair (2007) dalam bukunya “Case Fair” mendefinisikan pasar Perusahaan monopoli adalah ketika suatu perusahaan satu-satunya penjual suatu barang tanpa adanya barang subtitusi (Mankiw, 2006). Sedangkan Case and Fair (2007) dalam bukunya “Case Fair” mendefinisikan pasar

d. Pasar Persaingan Monopolistik

Pasar Persaingan Monopolistik menurut Pindyck (2003), adalah pasar dimana perusahaan-perusahaan dapat masuk dengan bebas, yang memproduksi mereknya sendiri atau versi suatu produk yang dibedakan. Pasar persaingan monpolistik mendekati pasar persaingan sempurna. Perbedaan pasar persaingan monopolistik dan pasar persaingan sempurna terletak di produk, dimana pasar persaingan monopolistik memproduksi produk yang heterogen sedangkan pasar persaingan sempurna memproduksi produk yang homogen.

Berikut adalah tabel yang menggambarkan perbedaan antar struktur pasar :

Tabel 2. 1 Tipe-Tipe Struktur Industri

No. Tipe

Ciri-ciri

Contoh

Produk Pertanian Sempurna

1 Persaingan

1. Jumlah produsen banyak

dengan produk identic

(jagung, beras, dll)

2. Tidak mampu mengendalikan harga

3. Metode pemasarannya adalah melalui bursa atau lelang

Persaingan Tidak Sempurna

Sektor perdagangan Monopolistik

2 Persaingan

1. Jumlah produsen banyak

dengan diferensiasi produk

eceran (obat-obatan

(semu atau riil)

dan makanan)

2. Sedikt bisa mengendalikan harga

3. Periklanan dan persaingan kualitas

3 Oligopoli

1. Jumlah produsen sedikit tanpa

Industri baja dan

(sedikit) diferensiasi produk

minyak bumi

2. Sedikit bisa mengendalikan harga

3. Periklanan dan persaingan kualitas

No. Tipe

Ciri-ciri

Contoh

1. Jumlah produsen sedikit dengan Industri mobil dan diferensiasi produk

mesin

2. Sedikit bisa mengendalikan harga

3. Periklanan dan persaingan kualitas

4 Monopoli

1. Satu produsen dengan produk

Gas, telepon, listrik

yang unik tanpa subtitusi

2. Sangat bisa mengendalikan harga tetapi

3. Periklanan dan media jasa

Sumber : Dimodifikasi dari Samuelson dan Nordhaus (1994) Selain keempat pasar utama yang dijelaskan dalam Tabel 2.1, terdapat

pasar pembelian, yaitu pasar oligopsoni dan monopsoni. Pasar oligopsoni adalah pasar yang hanya mempunyai sedikit pembeli dan banyak penjual (Pindyck, 2003). Sedangkan pasar monopsoni merujuk pada suatu pasar dimana hanya ada satu pembeli (Pindyck, 2003).

Pasar oligopsoni adalah kondisi pasar dimana terdapat beberapa pembeli dengan banyak penjual dimana para pembeli mempunyai kekuatan untuk menentukan harga dengan cara bekerjasama. Para pelaku oligopsoni mendapat pasokan barang ataupun jasa dari banyak penjual. Ciri-cirinya adalah terdapat beberapa pembeli, pembeli bukan konsumen akhir tetapi pedagang pengepul/besar/eceran, barang yang dijual adalah bahan mentah, harga cenderung stabil.

Pasar monopsoni adalah pasar dengan satu pembeli dan banyak penjual. Output yang diminta oleh perusahaan monopsoni akan menekan harga dari penjual dan akan merugikan penjual. Ciri-ciri pasar monopsoni adalah hanya ada satu pembeli, adanya hambatan bagi pembeli lain untuk masuk ke dalam pasar, dan pembeli sebagai penentu harga (price maker).

Pada dasarnya, perusahaan oligopsoni mungkin akan mempunyai kekuatan monopsoni: kemampuan pembeli untuk mempengaruhi harga barang (Pindyck, 2003). Kekuatan monopsoni mampu membuat harga lebih murah daripada harga yang seharusnya berlaku di pasaran (Pindyck, 2003).

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai pasar persaingan monopolistik dan pasar monopsoni.

Pasar Persaingan Monopolistik

Pasar Persaingan Monopolistik menurut Pindyck (2003), adalah pasar di mana perusahaan-perusahaan dapat masuk dengan bebas, yang memproduksi mereknya sendiri atau versi suatu produk yang dibedakan. Pasar persaingan monpolistik mendekati pasar persaingan sempurna. Perbedaan pasar persaingan monopolistik dan pasar persaingan sempurna terletak di produk, dimana pasar persaingan monopolistik memproduksi produk yang heterogen sedangkan pasar persaingan sempurna memproduksi produk yang homogen. Case and Fair (2007) memberikan ciri-ciri pasar monopolistik sebagai berikut:

1. Jumlah perusahaan besar

2. Tidak ada hambatan masuk

3. Diferensisasi produk Case and Fair (2007) menambahkan bahwa tidak ada yang dapat

mempengaruhi harga dengan mengandalkan ukurannya saja, tetapi kualitas dan harga dari produk tersebut. Persaingan monopolistik dapat mencapai kekuatan perusahaan yang diinginkannya melalui diferensiasi produk dan kekuatan iklan yang akan membuat calon konsumen tertarik membeli produknya.

Pindyck (2003), menyatakan dua hal yang menyebabkan terjadinya persaingan monopolistik, yaitu:

1. Perusahaan-perusahaan bersaing dengan menjual produk yang telah terdiferensiasi.

2. Ada kemungkinan untuk masuk dan keluar secara bebas. Seperti monopoli, pada perusahaan dalam persaingan monopolistic mempunyai kurva permintaan yang ber-slope menurun (Pindyck, 2003).

Persaingan monopolistik juga serupa dengan pasar persaingan sempurna, yaitu adanya kebebasan untuk masuk ke dalam pasar akan menarik perusahaan lainnya sehingga akan mendorong laba ekonomi turun ke titik nol.

Sumber: Pindcyk, Mikroekonomi, 2003.

Gambar 2. 5 Kurva Biaya Jangka Pendek dan Jangka Panjang Persaingan Monopolistik

Pada gambar 2.5, kurva (a) menunjukkan satu-satunya perusahaan yang membuat produk, perusahaan mempunyai laba yang ditunjukan oleh arsiran segi empat warna biru. Hal ini karena biaya rata-rata dibawah harga. Pada jangka panjang, potensi laba yang dihasilkan akan menarik minat perusahaan lainnya untuk ikut bersaing. Seperti yang digambarkan oleh kurva (b), kurva permintaan akan turun ke bawah sehingga akan membuat laba ke titik nol atau mendekati titik nol (menjadi kecil).

Pasar Monopsoni

Dengan sedikit atau satu pembeli, pembeli dapat mempengaruhi harga yang disebut kekuatan monopsoni. Kekuatan monopsoni memungkinkan pembeli membeli barang dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya terjadi di pasar persaingan sempurna (Pindyck, 2003).

Dalam pasar monopsoni, para ahli ekonomi menggunakan istilah nilai marjinal (marginal value) untuk mengacu pada manfaat yang diperoleh ketika membeli satu unit barang. Nilai marjinal dapat dilihat dari kuva permintaan. Hal tersebut dikarenakan kurva permintaan menentukan nilai marjinal atau kegunaan marjinal sebagai fungsi jumlah yang dibeli. Kurva permintaan seseorang turun dengan miring ke bawah karena nilai marjinal yang diperoleh dengan membeli satu unit lagi barang akan merosot ketika jumlah yang dibeli naik (Pindyck, 2003).

Biaya tambahan dengan membeli satu unit lagi unit barang disebut pengeluaran marjinal (marginal expenditure). Pengeluaran marjinal tergantung dari di pasar manakah anda berada. Jika dalam persaingan sempurna, pembeli tidak akan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga. Dalam kasus ini berapapun jumlah yang dibeli harga akan tetap sama (Pindyck, 2003). Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.6.

Sumber: Pindcyk, Mikroekonomi, 2003.

Gambar 2. 6 Kurva Pembeli yang Bersaing

Harga yang dibayarkan per unit adalah pengeluaran rata-rata ( average expenditure ) per unit dan harga tersebut sama per unit. Pembeli seharusnya membeli barang ketika nilai marjinal barang sama dengan pengeluaran marjinal barang tersebut atau di titik QM dengan harga sebesar PM.

Sekarang apabila perusahaan berada di pasar monopsoni, perusahaan tidak perlu membayar dengan harga yang berlaku di pasar. Hal ini dapat digambarkan melalui gambar kurva berikut :

Sumber: Pindcyk, Mikroekonomi, 2003. Gambar 2. 7 Kurva Pembeli dalam Pasar Monopsony

Gambar 2.7 menunjukkan kurva penawaran pasarnya adalah kurva pengeluaran rata-rata pelaku monopsoni (AE). Pengeluaran rata-rata naik sehingga kurva pengeluaran marjinal berada di atasnya. Pelaku monopsoni akan membeli barang sejumlah Q* yaitu titik potong antara nilai marjinal dan pengeluaran marjinal (MV=ME). Harga yang dibayarkan adalah harga yang ditawarkan oleh pasar yaitu sebesar P*. Pada pasar persaingan jumlah dan harga lebih besar di titik potong MV dan AE atau penawaran (S).

Perilaku pada pasar monopsoni hampir sama dengan perilaku pada pasar monopoli. Hal ini dapat digambarkan malalui gambar 2.8. :

Sumber: Pindcyk, Mikroekonomi, 2003.

Gambar 2. 8 Kurva Permintaan Pasar Monopoli dan Pasar Monopsoni

Gambar 2.8, kurva A menunjukkan permintaan dan penentuan harga dalam monopoli. Perusahaan monopoli dapat menjual barang dengan harga yang lebih tinggi (P*) daripada harga yang diminta konsumen (Ps) dengan jumlah barang yang diproduksi lebih rendah (Q*) daripada jumlah yang diminta konsumen (Qs). Hal tersebut terjadi karena perusahaan dapat menentukan jumlah yang diproduksi karena pengusaan bahan baku maupun alasan lainnya. Maka perusahaan dapat menentukan harga yang terjadi dalam pasar.

Gambar 2.8, kurva B menunjukkan penawaran perusahaan dan pembentukan harga dalam pasar monopsoni. Kurva penawaran pasarnya adalah kurva pengeluaran rata-rata pelaku monopsoni AE. Pengeluaran rata- rata naik, sehingga pengeluaran marjinal (ME) berada di atasnya. Pelaku Gambar 2.8, kurva B menunjukkan penawaran perusahaan dan pembentukan harga dalam pasar monopsoni. Kurva penawaran pasarnya adalah kurva pengeluaran rata-rata pelaku monopsoni AE. Pengeluaran rata- rata naik, sehingga pengeluaran marjinal (ME) berada di atasnya. Pelaku

Biaya Sosial Kekuatan Monopsoni

Kita dapat menemukan kesejahteraan pembeli dan penjual dengan membandingkan nilai surplus konsumen dan produsen. Gambar 2.9 menggambarkan tentang keadaan surplus konsumen dan surplus produsen.

Sumber: Pindcyk, Mikroekonomi, 2003.

Gambar 2. 9 Kerugian Bobot Mati dari Kekuatan Monopsoni

Segi empat A dan segitiga B dan segitiga C memperlihatkan perubahan surplus konsumen dan produsen ketika ada perubahan harga dan jumlah dari Ps dan Qs ke P* dan Q*. Harga dan jumlah yang lebih rendah menyebabkan penjual kehilangan surplus sebesar segi empat A dan penjual akan kehilangan surplus yang diberikan segi tiga C karena penurunan penjualan. Pembeli memperoleh surplus sebesar segi empat A karena membeli dengan harga yang lebih rendah. Akan tetapi, pembeli kehilangan surplus sebesar segi tiga B karena membeli pada jumlah yang lebih rendah. Jadi keuntungan surplus yang didapat adalah A – B. Total kerugian bersih surplus adalah B + C. Kerugian ini lah yang disebut Kerugian Bobot Mati (Deadweight Losses).

Kerugian bobot mati adalah kerugian yang sama sekali tidak dapat diubah-ubah. Sekalipun adanya pajak dan diredistrubusikan ke petani, akan terjadi ketidakefisienan (Pindyck,2003).

Faktor yang menyebabkan monopsoni (Pindyck,2003): 

Elastisitas penawaran pasar

Keuntungan yang didapat pembeli monopsoni ialah kurva penawaran yang menurun, sehingga pengeluaran marjinalnya melebihi pengeluaran rata- rata. Semakin kurang elastis kurva penawarannya, semakin besar kekuatan monopsoninya. Semakin elastis kurva penawarannya, semakin kecil kekuatan monopsoninya dan hanya sedikit keuntungan yang diperoleh.

Jumlah pembeli

Jumlah pembeli merupakan faktor penentu kekuatan monopsoni. Semakin banyak jumlah pembeli, tidak ada pembeli yang mempunyai pengaruh terhadap harga. Semakin sedikit jumlah pembeli akan semakin besar kekuatan monopsoni dan pengaruh terhadap harga.

Interaksi di antara pembeli

Apabila terdapat beberapa pembeli, interaksi menjadi faktor penentu kekuatan monopsoni. Jika semua pembeli dihadapkan pada persaingan yang ketat, maka mereka akan berlomba menaikan harga hingga mendekati harga marjinal mereka dan kekuatan monopsoni mereka akan mengecil. Jika para pembeli tidak bersaing dengan ketat, bahkan bersekongkol, maka harga yang ditawarkan tidak akan tinggi dan akan besar kekuatan monopsoni pembeli.

Rasio Konsentrasi

Concentration Ratio atau rasio konsentrasi merupakan fungsi dari pangsa pasar terhadap perusahaan. Pangsa pasar ini menentukan besaran kekuatan perusahaan terhadap pasar yang dapat mempengaruhi perilaku dari perusahaan maupun pesaingnya. Semakin tinggi pangsa pasar maka akan semakin besar pula kekuatan perusahaan dalam bersaing dalam pasar. Pangsa pasar dapat diukur dari total asset yang dimiliki oleh perusahaan. Variabel yang dapat Concentration Ratio atau rasio konsentrasi merupakan fungsi dari pangsa pasar terhadap perusahaan. Pangsa pasar ini menentukan besaran kekuatan perusahaan terhadap pasar yang dapat mempengaruhi perilaku dari perusahaan maupun pesaingnya. Semakin tinggi pangsa pasar maka akan semakin besar pula kekuatan perusahaan dalam bersaing dalam pasar. Pangsa pasar dapat diukur dari total asset yang dimiliki oleh perusahaan. Variabel yang dapat

Metode tersebut mengacu pada penelitian Kaesti (2010). Jika rasio CR 4 menunjukkan angka 50% berarti 50% pangsa pasar dimilik oleh empat perusahaan teratas. Jika lebih dari 50 mengindikasikan adanya pasar oligopoli dalam pasar, jika kurang dari 50% berarti semakin mendekati pasar persaingan

monopolistik dan pasar persaingan sempurna. Nilai CR 4 berkisar dari 0% sampai 100%. Semakin bertambah jumlah perusahaan maka akan semakin mengecil nilai dari CR 4 nya dan semakin kompetitifnya pasar dalam industri tersebut. Variabel yang dapat digunakan untuk penghitungan rasio konsentrasi adalah nilai output, value added, jumlah tenaga kerja, dan nilai asset.

Hasil dari analisis concentration ratio dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Buzzelli dan Ma dalam Kaesti(2010) Gambar: Tipe dari Struktur Pasar

Gambar 2. 10 Rasio Konsentrasi

Pada pasar persaingan sempurna, terdapat banyak perusahaan, sehingga perusahaan tidak dapat mengendalikan harga dan pembeli dapat mengetahui informasi yang sempurna sehingga pembeli dapat mengetahui harga barang tersebut dan barang yang dijual juga homogen. Sebaliknya, dalam pasar monopoli, perusahaan dapat bebas mengendalikan harga produknya karena tidak ada perusahaan pesaing yang masuk dalam pasar. Akan tetapi pada kenyataannya jarang terjadi pasar persaingan sempurna maupun pasar monopoli, yang paling banyak adalah pasar persaingan monopolistik dan pasar oligopoli. Pasar persaingan monopolistik cenderung ke arah pasar persaingan sempurna dan pasar oligopoli cenderung ke arah pasar monopoli. Untuk mengukur struktur industri di tingkat perusahaan adalah dengan melihat concentration ratio dengan data jumlah armad. Hal ini dapat menunjukkan kekuatan yang dimiliki perusahaan taksi dalam struktur industri taksi. Kekuatan perusahaan taksi juga dapat ditunjukkan dengan apakah ada hambatan bagi pengusaha taksi untuk menjual jasa ke pedagang lain. Hambatan ini akan menurunkan kekuatan pengusaha taksi dalam menentukan harga tarif. Untuk mengukur struktur industri taksi adalah dengan melihat concentration ratio dengan data kepemilikan modal. Hal ini dapat menunjukkan kekuatan yang dimiliki pengusaha taksi dalam struktur industri taksi. Kekuatan pengusaha taksi juga dapat dilihat dari adanya hambatan yang diciptakan oleh pengusaha taksi kepada penumpang. Kekuatan pengusaha taksi dapat dilihat dari adanya ketergantungan penumpang terhadap layanan taksi.

B. Conduct

Perilaku suatu perusahaan tidak terlepas dari adanya struktur pasar suatu industri. Perilaku pasar menunjukkan strategi perusahaan dan keputusan yang diambil oleh suatu perusahaan dalam menghadapi situasi pasar. Lipczinski (2005), mengemukakan 6 variabel utama perilaku pelaku pasar (conduct) yaitu:

1. Tujuan perusahaan

Tujuan perusahaan dapat dilihat dari karakter struktur industri, khususnya dilihat dari besaran distribusi perusahaan. Neoklasik mengasumsikan tujuan perusahaan adalah meraih profit maksimal. Akan tetapi pada era sekarang Tujuan perusahaan dapat dilihat dari karakter struktur industri, khususnya dilihat dari besaran distribusi perusahaan. Neoklasik mengasumsikan tujuan perusahaan adalah meraih profit maksimal. Akan tetapi pada era sekarang

2. Kebijakan harga

Kebijakan harga didasarkan pada strategi yang dilakukan oleh perusahaan saingan lainnya yang lebih besar dalam suatu struktur industri. Kebijakan harga antara lain predator pricing, price leadership, dan price discrimination. Dalam pasar oligopoli, ini penting untuk menghindari perusak harga.

3. Karakteristik produk

Karakteristik produk memberikan nilai tambah untuk bersaing dengan produk dari perusahaan dominan yang nantinya akan menentukan strategi dari perusahaan pesaing lainnya seperti strategi iklan dan pemasaran.

4. Pengembangan produk

Pengembangan produk dilakukan untuk mempertahankan pangsa pasar perusahaan. Konsumen akan merasa bosan dengan produk yang tidak berkembang dan akan mencari produk lain yang lebih inovatif. Perusahaan akan melakukan inovasi atau pengembangan produk untuk mempertahankan konsumen agar tidak pindah ke produk lain

5. Kolusi

Kerjasama antar perusahaan baik dalam hal strategi harga maupun strategi lainnya yang bertujuan membentuk penghalang bagi perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri.

6. Merger

Penggabungan dua perusahaan atau lebih yang bertujuan memperluas pangsa pasar atau pun untuk memperkuat posisi dalam struktur pasar. Terdapat 3 tipe merger, yaitu :

 Merger vertical Dua perusahaan atau lebih dalam satu industri yang sama.

 Merger horizontal Dua perusahaan atau lebih dalam industri yang sama tetapi berbeda

dalam rantai proses produksi.

 Merger konglomerat Dua perusahaan atau lebih dalam industri yang berbeda. Perilaku

perusahaan dapat diterangkan melalui strategi penetapan harga, strategi penetapan produk, dan strategi kerja sama.

Strategi Penetapan Harga

Dalam pasar pesaingan sempurna, harga ditentukan oleh pasar. Perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga atau disebut pula price takers. Dalam pasar persaingan tidak sempurna (monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni) perusahaan dapat menentukan harga. Dalam pasar monopoli dan oligopoli dikenal adanya istilah diskriminasi harga dengan memaksimumkan keuntungan dan menciptakan suatu penghalang bagi perusahaan baru yang akan masuk ke pasar. Dalam pasar monopsoni dan oligopsoni, penetapan harga dapat dilakukan karena produsen tidak memiliki perusahaan lainnya yang membeli produk dari produsen utama. Ketergantungan terhadap perusahaan pembeli, menjadi kekuatan utama dari perusahaan monopsoni maupun oligosoni.

Strategi Kerjasama

Kerjasama merupakan salah satu perilaku perusahaan yang memaksimalkan keuntungan. Kerjasama dapat dilakukan dalam penetapan harga, penetapan jumlah produksi, dan penetapan advertising. Perilaku kerjasama ini akan mendorong perusahaan untuk menciptakan suatu pengahalang dan mempunyai kekuatan yang besar untuk menetapkan harga. Semakin solid kerjasama akan semakin mirip dengan praktek monopoli maupun monopsoni.

Suatu kerjasama yang tidak solid akan menimbulkan dorongan sebagian perusahaan untuk berbuat curang. Dorongan tersebut berasal dari keuntungan atau pangsa pasar yang didapatkan akan lebih besar. Perusahaan yang berbuat curang akan menurunkan harga dan akan mengambil pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan lainnya dalam sebuah kerjasama. Bentuk kerjasama dapat dibedakan sebagai berikut: Suatu kerjasama yang tidak solid akan menimbulkan dorongan sebagian perusahaan untuk berbuat curang. Dorongan tersebut berasal dari keuntungan atau pangsa pasar yang didapatkan akan lebih besar. Perusahaan yang berbuat curang akan menurunkan harga dan akan mengambil pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan lainnya dalam sebuah kerjasama. Bentuk kerjasama dapat dibedakan sebagai berikut:

Kolusi adalah persetujuan dan kerjasama mengenai jumlah dan harga barang antara perusahaan-perusahaan dalam pasar yang sama (Mankiw, 2006). Perusahaan yang melakukan kolusi biasanya merupakan perusahaan yang sudah lama berada dalam pasar sehingga perusahaan-perusahaan yang melakukan kerjasama bisa membuat suatu penghalang bagi perusahaan baru.

Kolusi dilakukan karena suatu perusahaan akan terancam karena adanya perang harga. Untuk melindungi perusahaan agar bisa bertahan, sebagian perusahaan melakukan suatu kolusi. Kolusi akan menimbulkan suatu penghalang bagi perusahaan baru. Perusahaan baru tidak akan memiliki pangsa pasar yang sudah dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kolusi. Maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar daripada persaingan bebas.

Perusahaan kolusi akan melihat perilaku perusahaan lainnya dalam menetapkan strategi. Hal ini dapat dijelaskan dengan keseimbangan nash, suatu perusahaan akan menetapkan strategi dengan melihat keuntungan atau kerugian jika menggunakan strategi yang sama atau tidak sama dengan strategi perusahaan lainnya. Hal ini menimbulkan ketergantungan antar perusahaan.

Dalam pasar monopsoni atau oligopsoni, pembeli dapat bekerjasama untuk menekan harga dari penjual. Perusahaan akan berkolusi dalam penetapan harga dan jumlah produk yang diminta. Ketika ada penetapan harga oleh pembeli, penjual tidak akan mempunyai peluang untuk menjual ke pembeli lain. Penjual terpaksa menjual produknya ke pembeli dengan harga yang diinginkan oleh pembeli. Ketika jumlah produk yang diminta semakin banyak, harga akan semakin turun. Perusahaan oligopsoni akan berkolusi untuk menambah jumlah produk yang diminta dan akan semakin menekan harga.

b. Kartel

Menurut Teguh (2010), kartel adalah salah satu bentuk perilaku kolusi formal yang dijalankan oleh pesaing atau perusahaan yang terdapat dalam suatu pasar atau industri. Menurut Mankiw kartel adalah sekelompok perusahaan yang bergerak dalam keseragaman. Pada dasarnya kartel ini adalah suatu bentuk lain dari monopoli. Suatu kartel harus sepaham mengenai jumlah barang yang Menurut Teguh (2010), kartel adalah salah satu bentuk perilaku kolusi formal yang dijalankan oleh pesaing atau perusahaan yang terdapat dalam suatu pasar atau industri. Menurut Mankiw kartel adalah sekelompok perusahaan yang bergerak dalam keseragaman. Pada dasarnya kartel ini adalah suatu bentuk lain dari monopoli. Suatu kartel harus sepaham mengenai jumlah barang yang

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65