Membaca Teks Agama Secara Kreatif
MEMBACA TEKS AGAMA SECARA KREATIF
Oleh : Muh.Asratillah Sengei
Walaupun dalam tulisan ini menggunakan kata teks “agama”, untuk menghemat ruang
tulisan maka penulis hanya fokus pada persoalan “pembacaan” (qira’ah) teks-teks agama Islam.
Mengingat pula bahwa penulis mempunyai keterbatasan pengetahuan mengenai pembacaan
kreatif teks-teks keagamaan dalam konteks agama selain Islam.
Membaca dan Teks
Apa yang dimaksud dengan membaca?. Penulis mencoba menggunakan frame cultural
studies untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu sumbagnan teori kritis adalah
redefinisinya terjadap konsep membaca. Membaca kini menemukan signifikansinya dan
dianggap sebagai fenomena kultural yang luas, bukan sekedar aktivitas insidental saat kita
berhadapan dengan sebuah buku. Membaca adalah usaha keterlibatan secara penuh, menafsirkan
serta memahami segala hal yang mengelilingi kita. Eksistensi kita sebagai makhluk sosial sangat
tergantung dari aktivitas membaca. Manusia hanya dapat memahami kehidupan dan
lingkungannya dengan tidak hentinya membaca teks-teks yang disajikan oleh ruang yang
menggenangi kita, oleh lingkungan historis kita, oleh proses-proses psikologis dan tentu saja ,
oleh kebanyakan citra yang diluncurkan oleh media, sastra dan seni.
Kalau dalam perspektif hermeneutika ontologis Martin Heidegger, manusia dicirikan
dengan “kesibukan”. “kesibukan” oleh apa? karena apa?, manusia adalah makhluk yang “sibuk
terlibat” (sorge).
Salah satu aktivitas manusia yang menandakan “keterlibatnnya” adalah
“membaca”. Kalau Rene Descartes terkenal dengan adigiumnya “cogito ergo sum” yang artinya
“aku berpikir maka aku ada”, penulis barangkali bisa menciptakan adigium-adigium serupa ,
“aku terlibat maka aku ada”, “aku membaca maka aku terlibat” sehingga menjadi “aku membaca
maka aku ada”. Tapi dengan catatan adigium-adigium tersebut tidak dianggap sebagai
penggambaran realitas yang absolut.
20
Keterkaitan erat antara keberadaan kita di dunia ini dengan proses membaca bukanlah
sesuatu yang tanpa argumen, karena keseluruhan dunia kita secara metaforik merupakan teks
atau dapat diperlakukan sebagai teks. Dunia dan segala isinya bukanlah sebuah teks linier, tapi
merupakan sebuah teks yang saling tumpang-tindih, silang-menyilang dan corat-marut. Dunia
juga bukan merupakan teks yang menyampaikan topik dan temanya secara transparant, di antara
narasinya yang paling bagus terkadang bahkan seringkali adalah kebohongan yang menarik hati,
membisu dan tetap bersikukuh menyembunikan kebenaran. Menurut George Santanaya : “
Terdapat buku-buku dimana catatan-catatan kaki atau komentar-komentar yang ditulis secara
buruk oleh beberapa tangan pembaca pada bagian tepi, yang lebih menarik daripada teksnya.
Dunia adalah satu di antara buku-buku itu”.
Heidegger mencoba merangkai sebuah penanda keberadaan manusia dengan konsep “In
der Walt Sein” yang artinya “ada dalam dunia”. Manusia tidak bisa mengambil jarak sepenuhnya
dengan “dunia” dan “ada” nya. Karena keberadaan manusia adalah di dalam dunia, dan kedunia-an hanya bisa eksis jika manusia ada. Itulah sebabnya keberadaan manusia oleh Heidegger
sebut dengan istilah “da-sein” yang berarti “ada di situ” atau “ada dalam kondisi yang spesifik”.
Inilah yang menyebabkan dunia dan ada sebagai teks tidak bisa memperlihatkan topik dan
temanya secara transparant kepada manusia karena keterlibatan (sorge) yang mesra diantara
mereka. Ada, dunia dan eksistensi manusia saling mengintrusi dan merembesi satu sama lain.
Dunia dan “ada” dapat diketahui oleh Da-sein (manusia) melalui aktifitas membaca, tetapi yang
diketahui oleh da-sein bukanlah sesuatu yang transparant mengenai “ada” dan dunia. Aktifitas
membaca dari manusia adalah suatu tindak interpretasi yang memproduksi makna mengenai
“ada” dan dunia. Saat manusia menarik makna dari “ada” dan dunia melalui pembacaannya
maka secara simultan dia juga membangun makna buat dirinya. Tidak ada makna yang final,
makna itu selalu tertambat pada kemungkinan-kemungkinan ke depan. Kalau kita meminjam
pendapat Jacques Derrida makna atau kebenaran selalu mengelak, setiap kali anda berpretensi
untuk menemukan makna yang paling benar maka makna tersebut akan selalu menghindar dari
persepsi sang interpreter. Sehingga yang bisa di temukan hanyalah jejak-jejak dari kebenaran.
Manusia hanya bisa berjumpa dengan penanda-penanda kebenaran, setiap kali manusia
“bercakap-cakap” dengan satu penanda kebenaran maka hanya akan menunjuk ke penanda
berikutnya, begitulah seterusnya sampai kematian mengundang kita ke perjamuannya.
20
Untuk lebih memperjelas maksud paragraph di atas, saya teringat dengan analogi yang
digunakan oleh penulis buku “The Tree Of Philosphy” yang bernama Stephen Palmquist. Di
buku itu dia menggunakan analogi matahari yang menggambarkan realitas apa adanya, yang
keberadaannya perlu agar pengetahuan menjadi mungkin. Palmquist mengatakan bahwa jika
cuaca sedang cerah maka sangat sulit bagi seorang manusia menatap langsung “matahari”
tersebut, justru saat berawanlah kita bisa menatapnya dan melihat bentuk geometri dari matahari.
Tetapi benda-benda dipermukaan bumi akan lebih jelas jika cuaca dalam kondisi cerah. Jika kita
menghubungkannya dengan aktivitas pembacaan terhadap teks, “ada” serta dunia bisa kita
andaikan “matahari” dalam analogi Palmquist di atas. Manusia tidak bisa memandang secara
langsung “ada” dan dunia, tetapi “ada” dan dunia menampakkan bentuknya yang samar-samar
melalui perantaraan awan atau melalui benda-benda dipermukaan bumi yang sinari oleh “
matahari”. Awan dan benda-benda dipermukaan bumi bisa kita andaikan sebagai teks. Manusia
hanya bisa memandang “ada” dan dunia dengan menggunakan dan melalui teks. Sebagaimana
perkataan Jacques Derrida “Tiada di luar selain teks”.
Salah satu pendekatan utama terhadap (tema ) membaca adalah bahwa sebuah teks tidak
memiliki peran yang otonom terhadap para pembacanya. Sangat besar peran pembaca dalam
mewujudkan pesan-pesan teks yang sifatnya potensial. Tanpa kehadiran seorang pembaca dalam
menafsirkan sebuah teks, teks itu tidak berarti apa-apa. Begitu pula dengan teks-teks keagamaan,
seringkali kita mensubordinasi posisi manusia dibawah posisi teks-teks agama padahal tanpa
kehadiran manusia sebagai audiensnya, teks-teks agama tersebut tidak berarti sama sekali, itu
karena yang membaca, memeras makna dan mewujudkan pesan-pesan dari teks-teks suci agama
tersebut adalah manusia. Proses pembacaan sangat terkait dengan konteks historis dan kultural
dari pembaca; alat-alat (cara dalam memahami dunia) pembacaan diaplikasikan sesuai dengan
lingkungan pembacaan. Selain itu pembacaan juga sangat tergantung dengan kerangka acuan
(frame of reference) di mana pembaca membidik sasarannya. Membaca adalah proses dialog
atau transaksi makna antara teks-teks dengan pembacanya. Menfasirkan sebuah teks bukanlah
hanya tindak eksegesis (menarik makna keluar dari teks) tetapi jga merupakan tindak eisegesis
(membawa makna oleh diri ke dalam teks)
Ali Harb berpendapat bahwa, membaca berarti berbeda dengan teks yang dibaca. Jika ada
aktivitas membaca tetapi mengatakan bahwa apa yang dia peroleh dari proses pembacaannya
20
sama persis dan telanjang dengan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, pada hakikatnya itu
bukanlah sebuah proses pembacaan. Semua pengetahuan adalah peniruan , jika biologi adalah
peniruan terhadap dunia hayati, fisika atom adalah peniruan terhadap realitas fisik atomik dan
subatomik, sosiologi adalah peniruan terhadap interaksi sosial yang real maka tafsir agama
adalah berusaha meniru makna autentik pesan agama. Tetapi yang perlu diingat, peniruan tidak
akan melahirkan kesamaan dengan realitas yang menjadi referentnya, tapi melahirkan realitas
dan kebenaran baru.
Lalu apakah yang dimaksud dengan teks? Teks adalah segala sesuatu yang terbuka bagi
pembacaan dan interpretasi yang beragam. Keterbukaan mengharuskan bahwa teks tidak harus
dipandang sebagai sesuatu yang tertutup dan mandiri dari pengarang tunggal. Sebagai proses
teks sama sekali bukanlah entitas baku , teks tetap berubah dan meraih pengertian-pengertian
baru sesuai dengan bagaimana teks tersebut diterima dan dipahami oleh pembacanya. Itu berarti
struktur dan makna dari teks secara terus menerus disusun ataupun tidak disusun. Menempatkan
kitab suci ataupun rekaman pewahyuan dari Tuhan ke Nabi sebagi teks sangatlah urgen, itu untuk
membersihkannya dari monopoli penafsiran yang seringkali diklaim dengan nuansa kesakralan.
Tekstualitas dari teks agama, berarti teks-teks agama struktur dan maknanya dalam prosesnya
terbuka kemungkinan mengalami penyususnan terus menerus, tergantung dari konteks sosiokultural yang melingkupi.
Kemudian bagaimana cara kita membaca teks agama secara kreatif?. Dalam tulisan ini
penulis akan mencoba mengeksplore secara singkat beberap pemikiran para pemikir Islam
Kontemporer, Seperti Fazlurrahman, Abu Zayd, Mohammed Arkoun , Abid Al-JAbiry dan Ali
Harb. Melalui metodologi mereka dalam melakukan pembacaan terhadap teks suci Islam maka
kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan pembacaan kreatif.
Muhammad Iqbal dalam bukunya reconstruction of Islamic Thought menyebutkan bahwa
di antara tahun 800 sampai dengan 1100 M terdapat lebih dari 100 sistem teologi dalam Islam.
Menurutnya ini merupakan bukti bahwa Muhammad telah menanamkan kesadaran kreatif dalam
tubuh umat manusia.
Sejalan dengan itu Fazlurrahman juga mengatakan bahwa pada generasi-generasi awal
kemunculan Islam Al-Qur’an dan sunnah dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup.
20
Dengan kata lain Al-Qur’an dan sunnah merupakan perlambang momentum-momentum
keterlibatan manusia dengan realitas serta petanda transendentalnya (meminjam istilah
Mohammed Arkoun).
Pembacaan kreatif secara diametral berseberangan dengan pembacaan yang dilakukan
oleh gerakan atau kelompok yang kita kenal dengan istilah Fundamentalisme islam. Dimana
dalam melakukan pembaca terjadap Teks Suci Islam, bersifat rigid, harfiah dan menerima
beberapa pra-pemhaman-pra-pemahaman atau aksioma-aksioma tradisional dalam melakukan
penfasiran, bahkan mati-matian untuk mempertahankannya. Mohammed Arkoun mengatakan
bahwa kita perlu membedakan antara Islamy dengan Islamawiyyun, membedakan antara gerakan
Islamy dan gerakan Islamawiyyun. Islamy adalah sebuah terma yang terbuka terhadap
perkembangan dan pembaharuan seperti yang terlihat pada misi nabi yang melakukan
perombakan struktur masyarakat yang menindas, sedangkan Islamawiyun adalah sebuah tendensi
untuk menggunakan wacana islam demi kepentingan politik dan ekonomi serta kekuasaan.
Begitu pula antara istilah Ushulawiyun dengan dengan Ushuliyun (kata ushuliyun biasanya
diterjemahkan dengan kata fundamentalisme , padahal lebih tepat jika diterjemahkan dari kata
ushulawiyun). Ushuliyun adalah usaha dan ijtihad dari para ulama untuk merumuskan system
teologi dengan menggunakan metodologi tertentu serta didasari dengan spirit pencarian
kebenaran secara jujur, sedangkan Ushulawiyyun adalah kepentingan politik-kekuasaan tertentu
yang mempergunakan secara tidak jujur produk-produk ushul tertentu.
Pembacaan teks agama Islam secara ortodoks menempatkan masa lalu dan masa depan
secara tidak seimbang. Yang dimaksud dengan tidak seimbang adalah masa depan dipersilahkan
untuk nampak jika dan hanya jika terus menerus secara pasif menatap masa lalu, jika masa depan
itu memalingkan wajahnya dari masa lalu maka masa depan tersebut dilabeli “jahiliyah
kontemporer”.
Dalam buku “Arkeologi Sejarah pemikiran Arab Islam”, Adonis mengatakan bahwa
dalam pandangan ortodoks wahyu merupakan dasar dan permulaan secara mutlak, melampaui
waktu : masa lalu,sekarang dan masa mendatang. Wahyu merupakan masa lalu dari segi bahwa ia
merupakan awal, wahyu merupakan masa sekarang dari segi ia merupakan sesuatu yang terus
bergerak dan wahyu merupakan masa mendatang dari segi ia merupakan yang terakhir. Zaman
historis tidak bernilai di depan zaman wahyu. Dalam buku tersebut Adonis membedakan antara
20
zaman wahyu dan zaman historis. Jika zaman historis merupakan zaman dimana peristiwaperistiwa, gejala-gejala, perubahan-perubahan terjadi maka zaman wahyu merupakan substansi
yang tidak bergerak, abadi, hadir secara terus menerus ditengah-tengah gejala-gejala yang
bergerak dan akhirnya sirna. Di sini tidak ada tempat untuk masa depan sebab masa depan
hanyalah “yang hadir” di masa mendatang. Mempraktikkan isi wahyu dan mengalami kehadiran
wahyu itulah masa mendatang. Zaman wahyu bertentangan dengan zaman yunani- chronos.
Chronos menciptakan segala sesuatu dan mematikan apa yang diciptakannya. Sementara zaman
wahyu berada di luar gerak dari kelahiran dan kematian serta gerak perubahan atau proses.
Zaman wahyu selalu berada seperti apa adanya sama dengan sedia kalanya. Wahyu tidak dikenali
melalui zaman tetapi zamanlah yang dikenali melalui wahyu. Dengan ungkapan yang lebih tepat
wahyu merupakan potensi zaman dan bukan zaman yang merupakan potensi wahyu.
Pembacaan secara kreatif adalah jawaban terhadap beberapa episteme pembacaan yang
ortodoks di atas, bila kita menggunakan premis Ali Harb dalam paragraph sebelumnya, episteme
pembacaan yang ortodoks di atas bukanlah sebuah pembacaaan, sebab pembacaan mensyaratkan
menjadi berbeda dengan teks yang dibaca termasuk wahyu. Pembacaan kreatif mengandaikan
bahwa makna dalam sebuah teks akan tersingkap sejalan dengan perjalanan waktu atau proses
atau gerak perubahan. Alih-alih mengasumsikan bahwa wahyu adalah potensi zaman, pembacaan
kreatif berasumsi justru zamanlah yang menjadi potensi makna bagi wahyu.
Beberapa pemikir Islam Kontemporer merekomendasikan penggunaan hermeneutika
sebagai salah satu metode agar pembacaan kita terhadap teks-teks keagamaan menjadi kreatif.
Apakah hermeneutika itu ? Menurut Fazlurrahman heremenutika adalah cara membaca ,
memaknai serta melampaui makna. Cara memahami masa lalu yang tidak dialami untuk di bawa
ke masa sekarang, dengan kata lain adanya fusi antara horizon kekinian dan masa lalu dimana
teks tersebut dibuat. Hasan Hanafi mengatakan bahwa hermenutika bukanlah sekedar bagaimana
menarik makna dari sebuah teks, tetapi juga merupakan usaha untuk memhami dan memaknai
perubahan dari logos menjadi praksis.
Gadamer sebagai dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (1960) menyatakan
bahwa hermeneutika berarti mengakui akan peran signifikan prasangka dalam pembacaan
terhadap sebuah teks, dengan kata lain dalam mencari sebuah kebenaran prasangka merupakan
sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Apakah yang dimaksud dengan prasangka? Yaitu
20
menggunakan asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma baik disadari atau tidak disadari yang lahir
dari rasa percaya terhadap otoritas yang sah. Kalau kita membaca sejarah agama-agama besar
termasuk Islam, maka kita akan menemukan bahwa perkembangan dan penyebaran Islam tidak
bisa dilepaskan dari penggunaan otoritas atau kekuasaan imperium tertentu, bahkan dalam
sejarah Islam bukanlah sesuatu yang homogen tetapi lebih berupa mozaik-mozaik mazhab fiqh,
teologis,filsafat ataupun mistisme yang kadangkala saling berebut pengerauh. Perumusan teologi,
fiqh atau kompilasi konsep keagamaan tertentu seringkali diikuti dengan restu penguasa, ini
menunjukkan bahwa teks-teks agama yang dibuat tidak bisa lepas dari prasangka.
Dalam buku yang sama Gadamer mengatakan “sejarah bukanlah milik kita tetapi kita
dimiliki oleh sejarah”. Maksudnya dalam upaya membaca atau menafsir teks selalu berada
dalam kondisi Ke-sejarah-an tertentu. Pembacaan, penafsiran ataupun pemahaman terhadap teks
mensyarakat kepada kita mula-mula perasaaan asing terhadap teks, dan kita melakukan hal ini
dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang dikenal atau dipahami. Inilah sebabnya mengenali
prasangka-prasangka kita adalah sesuatu yang penting, tiada pembacaan yang murni dari Tuhan,
setiap pembacaan pasti mengikut sertakan prasangka kita. Inilah yang disebut oleh Gadamer
sebagai “Prinsip Sejarah Efektif”.
Fazlurrahman
Fazlurrahman mengajukan sebuah cara pembacaan terhadap teks agama yang dikenal
dengan metodologi “Double Movement”. Metodologi ini terdiri dari dua tahap yaitu yang
pertama disebut Tahap Etik Al-Qur’an dan yang kedua disebut dengan Tahap Sosiologis. Pada
Tahap pertama ada dua langkah yang perlu dilakukan langkah pertama adalah mengkaji makna
spesifik ayat-ayat dalam AlQur’an dengan melalui sinaran konteks sosiohistoris ayat. Dalam
Studi Al-Qur’an kita penah mendengar istilah Asbabun- Nuzul yaitu sebab turunnya Al Qur’an,
tetapi ini belumlah cukup, kita memerlukan bantuan studi-studi lain semisal sosiologi, sejarah,
Arkeologi , Antropologi bahkan politik untuk mengurai benang kusut latar belakang sosiohistoris
turunya sebuah ayat. Langkah kedua adalah mengeneralisir atau mengkategorisasi makna
spesifik dari ayat-ayat ke dalam tema-tema etik yang sifatnya umum. Dalam studi AlQur’an kita
pernah mendengar kata Maqashid Al-Syariah yaitu tujuan atau maksud general dari
diturunkannya wahyu.
20
Setelah tahap etika Al-Qur’an kita melangkah ke tahap sosiologis. Dalam tahap kedua
juga terdapat dua langkah yang pertama adalah mengurai, membaca atau menganalisa beberapa
kondisi dan problem-problem sosial manusia kontemporer, setelah itu baru kita melangkah pada
tahap kedua yaitu dengan cara membenturkan beberapa tema-tema etik umum AlQur’an yang
didapatkan pada tahap pertama dengan problem-problem sosial keagamaan. Pada langkah ini kita
bisa melihat bagaimana Ajaran-ajaran AlQur’an mengalami kontekstualisasi. Jadi dari
metodologi “double movement” tadi kita bisa melihat bahwa penafsiran merupakan usaha
dialektis mempetemukan antara teks dan konteks.
Dalam bukunya “Islam” , Fazlurrahman mengatakan bahwa Muhammad datang dengan
membawa ajaran moral dengan penekanan dalam dua hal yaitu Monoteisme dan Keadilan Sosial.
Antara monoteisme yang di bawa Islam dengan keadilan sosial memiliki hubungan yang organik,
artinya keduanya mempersyaratkan satu sama lain. Monoteisme sebagai basis asumsi metafisik
yang diekspresikan dalam relasi sosial yang adil. Prinsip monoteisme dan keadilan sosial
merupakan pijakan awal kita dalam mendekati Al-Qur’an terlebih lagi saat kita mencoba melihat
realitas sosial dengan menggunakan inspirasi dari Al-Qur’an.
Masih dalam buku yang sama Fazlurrahman juga membahas mengenai Sunnah. Pada
awalnya adalah Sunnah nabi yaitu perilaku nabi atau respon kesejarahan nabi, setelah nabi wafat
maka para sahabat sebagai pengikut nabi meneruskan sunnah nabi tapi dengan disertai dengan
tafsir pribadi terhadap sunnah nabi sehingga sunnah pada masa ini adalah perilaku nabi plus
sahabat. Setelah melewati beberapa generasi terjadilah usaha kompilasi hadits secara besarbesaran. Yang menjadi hal menarik disini adalah adanya pereduksian free market perilaku
kegamaan pada masa sahabat menjadi perilaku kegamaan yang harus diperoleh melalui teks-teks
hadits yang rigid. Kalau pada awalnya sunnah adalah sesuatu yang non formal maka hadits
melahirkan sunnah yang kaku. Sebab belakangan yang dimaksud sunnah oleh para ulama adalah
beberapa muatan atau konten yang ada dalam matan hadits. Sebelumnya terjadi perdebatan di
antara apakah hukum diambil dari tradisi yang hidup atau sunnah yang ada di madinah dan Irak
ataukah diturunkan dari hadits, tapi belakangan yang digunakan adalah hadits. Disini terlihat
jelas pergeseran wacana keagamaan dari yang sifatnya praktis menjadi wacana keagamaan yang
bernuansa pengajaran melalui hadits.
Hamid Abu Zayd
20
Kemudian Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa pada saat Allah menyampaikan
wahyunya kepada Rasul Muhammad SAW tidaklah dalam kondisi vakum historis atau vakum
sosial. Ada latar belakang sosial yang jelas yang mengelilingi rasul. Ini kita buktikan dari tata
urutan turunya ayat-ayat AlQur’an, karakter ayat-ayat makiyah sangat berbeda dengan ayat-ayat
madinah, ini dikarenakan adanya perbedaan tantangan zaman atau permasalahan sosial yang
diahadapi oleh komunitas muslim. Yang menarik di sini adalah kata wahyu yang sepadan dengan
kata risalah yang berarti pesan, ini berarti wahyu mengandaikan keterkaitannya dengan audiens
penerima pesan. Wahyu yang diterima oleh Muhammad SAW kemudian dikodifikasi menjadi
mushaf, yang kita kenal dengan nama mushaf ustmani. Mushaf inilah yangk emudian
dikomentari aatu ditafsirkan oleh mazhab-mazhab interpreter kemudian, dan hasil dari
interpretasi tersebut juga mengalami kodifikasi (ad-tadwin). Tapi yang terjadi teks-teks sekunder
yang berupa tafsir para interpreter terhadap teks primer yaitu teks Al-Qur’an, diangkat statusnya
menjadi teks primer. Inilah yang menciptakan semacam ortodoksi, saat teks-teks sekunder
mengalami mistifikasi dan menyelubungi teks primer, dan menghalangi “yang lain” untuk diakui
interpretasinya.
Abu Zayd juga berpendapat bahwa karena Al-Qur’an disampaikan dalam rupa bahasa,
sedangkan bahasa merupakan sesuatu yang lahir dari proses-proses sosial budaya, maka AlQur’an juga tunduk pada prasyaratan-prasyaratan sosial . Hal ini sangat penting untuk disadari
sebab jika tidak yang terjadi adalah semacam fetisisme teks keagamaan apakah itu berupa teks
primer atau sekunder. Apa yang dimaksud dengan fetisisme teks kegamaan ? yaitu dimana teks
keagamaan beserta tanggapan dan penafsirannya dianggap sesuatu yang mempunyai logika
sendiri, abadi dan statis tidak terikat dengan proses-proses sosial dan budaya yang
melahirkannya. Dan ini sangat rawan dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan tertentu, sebab
kekuasaan tersebut akan memperoleh label sakral. Karena Peradaban umat Islam adalah
peradaban teks, dimana segala sesuatu termasuk interaksi serta sistem sosial yang terbangun
berpusat dan tertuju pada teks. Maka perubahan cara pandang terhadap teks akan membawa
dampak pada perubahan interaksi dan struktur sosial.
Ada bebrapa langkah yang direkomendasikan oleh Abu Zayd dalam membaca Teks
keagamaan Islam. Langkah pertama adalah menempatkan teks agama pada konteks historisnya
ini untuk bisa menemukan makna awal pada teks. Pada langkah kedua kita mengidentifikasi
20
konteks historis kontemporer dan mendialogkannya dengan makna awal, melalui ini kita bisa
melihat kepentingan (ghayah ) dari penafsir. Sebab setiap pembacaan pasti memiliki prasangka
dan prasangka adalah harapan-harapan sosial awal sebelum kita berjumpa dengan teks.
Di dalam buku Abu Zayd yang berjudul “ Mafhum an-Nash Dirasah Fi ‘Ulum AlQur’an” beliau mengatakan bahwa yang semestinya dilakukan saat ini adalah bagaimana
memproduksi kesadaran “ilmiah” terhadap tradisi teks. Yang harus dilakukan adalah berani
melontarkan persoalan-persoalan di seputar tradisi atau teks. Karena tradisi keberagamaan kita
memiliki sejarah yang sangat panjang dan berisi banyak jawaban-jawaban yang siap pakai, maka
untuk bertanya mengenainya membutuhkan energy yang sangat besar. Perlu ada usaha untuk
merajut kemabali hubungan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian sastra dan
kajian-kajian kritis.
Masih dalam buku yang sama, Abu Zayd kemudian berpendapat bahwa hubungan antara
teks (khususnya teks keagamaan) dengan budaya sifatnya dialektis dan kompleks. Untuk
mengurai beberapa hubungan yang tumpang tindih dan kompleks antara teks dengan budaya,
maka perlunya melakukan analisis kebahasaan khususnya linguistik dalam mendekati teks
keagamaan, ini disebabkan teks keagamaan datang kepada kita dengan menggunakan salah satu
perangkat budaya yang sangat penting yaitu bahasa. Jika teks merupakan produk budaya, maka
begitu pula dengan teks keagamaan, cuman setelah menagalami kodifikasi khusus Al-Qur’an
dalam bentuk mushaf Ustmani, maka teks keagamaan mengalami fase kematangan yaitu fase
dimana teks berubah menjadi produsen budaya. Jika hal ini ditunjang oleh system kuasa-politik
tertentu maka teks kegamaan tersebut akan menjadi hegemonik yang menjadi landasan dan
acuan bagi teks-teks lain.
Mohammed arkoun
Cendekiawan muslim lain yang mencoba mengkonstruk pembacaan yang kreatif terhadap
teks Al-Qur’an adalah Muhammed Arkoun. Proyek pemikirannnya dikenal dengan kritik Nalar
Islami. Yang dimkasud oleh Arkoun dengan Kritik Nalar Islami adalah kritik terhadap modus
penalaran terhadap Islam pada kurun waktu tertentu serta kritik terhadap pengkultusan terhadap
modus penalaran Islam tertentu.
20
Apa tujuan dari proyek Arkoun ini? Tujuannya adalah untuk menghadirkan pembacaan
yang beragam terhadap teks – teks kegamaan dalam Islam dan di saat bersamaan menghindari
potensi atau pretense untuk menemukan cara pembacaan yang paling benar terhadap Islam.
Muhammed Arkoun membagi dua macam modus pembacaan terhadap teks-teks
keagamaan dalam Islam khususnya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kelompok yang pertama
disebut dengan dengan pandangan klasik (ortodoks) dimana menurut pandangan ini pada saat
generasi tetentu melakukan pembacaan terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang
antara generasi tersebut dengan teks-teks kegamaan memiliki gap ruang dan waktu, yang terjadi
adalah transfer makna, bahwa makna awal dari teks akan terpahami secara jelas dan lugas oleh
generasi mendatang. Kelompok yang kedua adalah pandangan kesarjanaan kritis Islam, dimana
dalam pembacaan terhadap teks keagamaan, yang terjadi bukanlah sekedar transfer makna, tetapi
juga transformasi makna, dengan kata lain, ada distoris-distorsi, pelampauan-pelampauan,
pengayaan-pengayaan dari makna awal teks. Arkoun berada pada pihak kelompok kedua.
Dalam la pensee arabe Arkoun menyebutkan pandangannya mengenai tekstualitas AlQur’an yang perlu diketahui dalam proses pembacaan.
“Qur’an adalah korpus terbatas dan terbuka dari ujaran dalam bahasa Arab dan hanya
dapat kita
dekati melalui teks yang telah dibekukan secara grafis setelah abad IV/X.
Keseluruhan teks yang dibekukan demikian berfungsi secara bersamaan sebagai karya Tulis dan
wicara liturgis”
Dalam perkataan Muhammed Arkoun di atas ada dua terma yang menurut saya menarik
untuk diulas, yaitu terma “korpus terbatas” dan “korpus tertutup”. Apa yang dimaksud dengan
Al-Qur’an sebagai “korpus terbatas”? , yaitu bahwa Al-Qur’an dari segi isi dan pesan secara
tekstual telah selesai, atau dengan kata lain AlQur’an dalam rupanya sekarang yaitu dalam
bentuk kodifikasi mushaf Ustmani berisi seperangkata ujaran yang telah selesai. Tapi di sisi lain
Al-Qur’an juga sebagai korpus terbuka yaitu terbuka terjadap konteks yang berbeda.
Dua sisi ini adalah dua wajah paradox saat kita menghadai teks Al-Qur’an. Kita
mengenal Tuhan dalam Islam, konsep kenabian , kemudian konsep malaikat, jin serta sejarahsejarah mengenai para nabi dan masyarakat-masayarakat terdahulu melalui teks Al-Qur’an yang
telah dikodifikasi (Ad-Tadwin) pada masa kekhalifaan Ustman Bin Affan, yang kemudian
20
setelah Al-Qur’an dicetak massal 7 varian bacaan yang di setujui saat pengkodifikasian AlQur’an
tinggal 1 yang akrab dengan kita yaitu qira’ah Asim. Sehingga mau tidak mau Mushaf Al-Qur’an
sekarang ini telah mendahului kelahiran kita, telah menjadi tradisi yang akan meyertai kita
sekarang dan boleh jadi hingga kita menyapa kematian. Jika kita meminjam terminology
heideggerian , dalam konteks keberagamaan , kita lahir dalam kondisi terlempar ke situasi
jejaring teks dan symbol kegamaan yang tidak bisa kita pilih sebelumnya dan sifatnya memaksa.
Disnilah letak signifikasi Al-Qur’an sebagai korpus tertutup.
Walaupun sejak kita lahir saat korpus yang tertutup tersebut jauh-jauh hari telah menanti
kita, itu tidak meniscayakan bahwa kita akan “menyerah begitu saja” dan “tidak mau
melampaui” Al-Qur’an sebagai “korpus tertutup”. Kenapa kita harus melampaui Al-Qur’an
sebagai korpus tertutup?, hal ini karena AlQur’an tidaklah lahir dalam kondisi vakum
sosiohistoris, Al-Qur’an datang karena manusia dan untuk menyahuti persoalan manusia, yang
kebetulan setting sosiohistorisnya adalah Jazirah Arab 14 abad yang lalu. Sehingga jika kita tidak
berani “melampaui” teks lahiriah Al-Qur’an dan tiberani berhenti menjadikannnya obat mujarab
bagi semua persoalan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah kita akan memperlakukan manusia
sekarang sama dengan orang-orang Arab yang hidup 14 abad yang lalu. Dialektika antara teks
Al-Qur’an dengan sejarah bisa kita lihat dari adanya Asbab- An Nuzul atau sebab-sebab yang
mendahului turunya ayat, dan sebab-sebab ini adalah sesuatu yang terjadi dalam koordinat ruang
dan waktu tertentu, belum lagi adanya fakta gradualisme dalam penurunan wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW yang membuktikan perjalanan peristiwa masyarakat Arab disekitar arab
dengan berbagai dinamika sosial yang menyertainya menjadi sebab bagi turunya ayat secara
gradual.
Pelampauan ini bukan hanya untuk teks Al-Qur’an, tetapi kita juga harus melampaui
kalau perlu mendekostruksi beberapa penafsiran, interpretasi-interpretasi yang mengorbit
disekitar Mushaf Al-Qur’an yang sebagian besar diproduksi dengan menggunakan asumsi “
semakin tekstual anda dalam mendekati Al-Qur’an maka semakin dekat anda kepada Allah”
yang disatu sisi memproduksi citra sakral dari ke-literalan teks Al-Qur’an. Sehingga beralihlah
AlQur’an sebagai wacana kenabian (prophetic discourse ) menjadi wacana pengajaran
(professoral discourse).
20
Lalu apa kegunaan proses “pelampauan” Al-Qur’an sebagai korpus tertutup ini ? yaitu
untuk menjadikan AlQur’an sebagai korpus terbuka. Yaitu dimana pemaknaan terhadap
AlQur’an merupakan sesuatu yang berjalan terus, mengalami pengayaan makna (meaning
enrichment) dan mempunyai daya sahut bagi problem-problem kemanusiaan kontemporer.
Seperti para pemikir bebas Islam yang lainnya Mohammed Arkoun juga mengajukan
Hermeneutika sebagai alat untuk membaca Al Qur’an. Apa tujuan dari membaca (qira’ah) ? yaitu
untuk mengerti. Kita membaca Teks Al-Qur’an agar kita mengerti tentang komunikasi kenabian
yang disampaikan lewat teks yang bersangkutan. Dengan kata lain agar kita bisa menemukan
makna lewat teks tersebut. Bagaimana kita menemukannya ? yaitu dengan mengoptimalisasikan
segala hal yang bisa digunakan untuk memproduksi makna, yaitu tanda, symbol serta studi-studi
sejarah dan sosial yang bersangkut paut dengan teks Al-Qur’an.
Dorongan untuk mengerti yang menggerakkan kita membaca teks tertentu oleh Arkoun
deikaitkan dengan beberapa postulat mengenai manusia yaitu (1) Manusia adalah persoalan
konkret bagi dirinya sendiri (2) Pengetahuan yang memadai akan hal-hal nyata (dunia,hidup,
makna dsb) adalah tanggung jawb kita sebagai manusia (3) Pengetahuan ini harus dilihat sebagai
usaha untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan (4) Pengetahuan ini merupakan jalan
keluar yang diulangi secara terus-menerus (sehingga merupakan resiko permanen) keluar dari
ketertutupan yang cenderung bagi semua tradisi kultual setelah elaborasi mendalam. (5) Jalan
keluar bisa disejajarkan dengan perjalanan rohani dalam tradisi mistik.
Dalam konsepsi Hermeneutiknya Arkoun mengatakan ada tiga moment yang perlu
didekati saat kita melakukan pembacaan terhadap teks Al-Qur’an. Moment yang pertama adalah
“saat linguistic” yaitu moment dimana kita menemukan struktur kebahasaan yang lebih dalam
daripada struktur kebahasaan yang Nampak di permukaan. Moment yang kedua adalah “saat
Antropologis” yaitu moment dimana kita menemukan tekstur mistik pada teks Al-Qur’an dan
yang terakhir adalah “Saat Historis” yaitu moment dimana kita menegaskan jangkauan dan
batas-batas dari tafsir-tafsir leksikografik dan imajinatif yang selama ini dieksplorasi oleh kaum
muslimin.
Ada tiga kesimpulan yang dikemukakan Arkoun saat membaca Teks atau tradisi Islam
yaitu : (1) Kebanaran Potensial sebuah pernyataan hanya bisa terlihat di masa depan, dengan kata
20
lain kebenaran bukanlah berarti selalu menengok kebelakang dan kita menemukan kebenaran di
belakang, tetapi kita menengok kepada teks keagamaan sebagai produk sejarah masa lalu demi
menerima inspirasi-inspirasi atau kebenaran-kebenaran potensial untuk mengantisipasi
persoalan-persoalan kontemporer bahkan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang potensial
muncul di masa depan.(2) Kebenaran Al-Qur’an sifatnya berlapis-lapis, kita tidak bisa begitu
saja menemukan makana sebenarnya dan tunggal saat kita menghadapi Al-Qur’an tetapi kita
harus berhadapan terlebih dahulu dengan pendapat-pendapat, asumsi-asumsi atau interpretasiinterpretasi terhadap Al-AQur’an yang mau tidak mau kita gunakan batu loncatan untuk
memeras makna dari teks tersebut.(3) Karena terdapat Tradisi Islam yang sifatnya Historis maka
sudah menjadi keniscayaan kita melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap tradisi tersebut
agar kompatibel dengan setting sosiohistoris saat ini.
Abid Al-Jabiry
Tokoh pemikir selanjutnya yang coba kita teropong adalah Abid Al-Jabiry. Dalam
karyanya “ Proyek Kritik akal Arab ” (Masyr Naqd Al-Aql Al-Arabi) Al Jabiry berangkat dari
pertanyaan “ Bagaimana kita berinteraksi dengan Turats (Trsdisi) ?. Manurut Al Jabiry Turats
adalah “ sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita dan
masa lalu orang lain, masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat”. Jadi
Turats adlah warisan masa lalu yang dapat berupa perangkat nilai, etos kerja, tingkah laku,
pencapaian budaya maupun karya-karya ilmiah. Turats bukanlah sesuatu yang homogen, tetapi
turats juga sangat erat kaitannya dengan hasrat akan kuasa, sehingga di antara turats bisa terjadi
persilangan bahkan penjegalan.
Kejumudan akan terjadi jika seseorang menyerahkan kebebasan akalnya kepada
genggaman kekuasaan turats, atau berasumsi jika turats merupakan sesuatu yang kekal dan tidak
lekang oleh perubahan zaman. Untuk menghindari kejumudan ini diperlukan kritik terhadap
turats. Ada tiga hal penting dalam melakukan kritik terhadap Turats, yang pertama melakukan
pendekatan struktural terhadap turats, ini dalam rangka mengetahui struktur teks-teks keagamaan
ataupun tanda-tanda serta symbol-simbol yang digunakan dalam turats. Kedua melakukan kritik
sejarah terhadap turats, ini mengetahui latar belakang sosial, cultural dan politik yang menyertai
pembentukan turats . Ketiga , melakukan kritik ideologi terhadap turats, ini untuk mengetahui
relasi turats dengan rezim-rezim politik dan kekuasaan yang mengitarinya, kemungkinan-
20
kemungkinan kontribusi kuasa dalam mengkonstruk turats, ataupun kemungkinan turats dalam
melegitimasi kepentingan kuasa tertentu.
Menurut Al-Jabiriy ada tiga macam sikap dalam menghadapi Turats, Sikap yang pertama
adalah membaca Turats dalam kerangka Turats itu sendiri, yang kedua adalah membaca
modernitas dalam kerangka turats dan yang ketiga adalah membaca turats dalam terang konteks
ke-modernan. Sikap yang pertama akan melahirkan kejumudan dan yang paling berbahaya
adalah sikap yang kedua yang akan melahirkan penafsiran stigmatig, jadi Al-Jabiry memilih
sikap yang ketiga. Tetapi ini tidak berarti kita menyerah kepada modernitas atau mengorbankan
turats demi kemodernan.
Turats adalah sesuatu yang ada begitu saja, dan kita menerimanya dengan terpaksa.
Begitu pula dengan modernitas, dia ada begitu saja, sudah menjadi realitas sosial pada saat kita
lahir. Kita tergenang oleh turats dan modernitas sekaligus. Yang pelu kita lakukan untuk
mempertegas posisi subjek kita sebagai manusia adalah melakukan kritik terhadap turats dan
modernitas sekaligus, melalui apa kita mengkritiknya ?, kita mulai dari mengkritisi bahkan
mendekonstruksi diskursus-diskurusus yang diproduksi keduanya.
Khusus mengenai dekostruksi terhadap turats , maka yang dilakukan adalah
menganalisanya secara objektif dan rasional. Bahkan berusaha menggeser posisi produk-produk
tafsir yang stigmatig dan diklaim sebagai sesuatu sebagai yang a-historik menjadi sesuatu yang
bersifat historis. Ini adalah sesuatu yang penting untuk menyibak segala hijab-hijab sakralitas
dan menegaskan ke-profanannya. Untuk melaakukan analisis secara objektif dan rasional AlJabiry menawarkan konsep epistemology Burhani (Epistemologi yang mendasarkan dirinya
adalah demonstarsi rasional) sebagai alternative komplementer
bagi epistemology Bayani
(epistemology yang berangkat dan berakhir pada teks keagamaan) dan epistemology irfani
(epistemology mistik/gnostis).
Bagi Al-Jabiry, epistemology bayani merupakan epistemology yang dikembangkan oleh
Islam Arab. Epistemologi ini sangat mendominasi dalam studi-studi seperti jurispundensi (fiqh),
Ulumul Qur’an, filologi, teologi dialektik dan sastra non filsafat. Pendekatan bayani merupakan
setudi yang mendasarkan diri pada asumsi tentang kemutlakan kebenaran wahyu (teks
keagamaan) dan kedudukan yang sekunder pada posisi akal. Akal bukanlah penentu keputusan,
20
akal hanya mempunyai fungsi untuk melayani tekas dan menjelaskan agar masuk akal segala
sesuatu yang bersangkut paut dengannya. Sehinnga pendekatan bayani berkutat pada dataran teks
(nizham al-kitab) bukan pada dataran akal (nizham al-aql). Tetapi pendekatan ini tetap
mempunyai kekuatan , yaitu studinya yang sangat detail pada aspek kebahasaan, seperti nahwu
sharaf, gramatika maupun sastra (bhlagahah). Sehingga beberapa metode canggih darinya bisa
digunakan untuk mendekonstruksi teks tetapi terlebih dahulu dengan memangkas asumsi-asumsi
metafisiknya yang menempatkan wahyu dan interpretasi terhadapnya sebagai sesuatu yang ahistorik, dan tentu saja dengan mengikut sertakan beberapa metode kebahasaan kontemporer.
Epistemologi burhani adalah pendekatan yang menggunakan demonstrasi rasional dalam
mencari kebenaran serta menyandarkan diri pada dalil-dalil logika. Termasuk dalam pendekatan
burhani adalah Ta’lili yaitu pendekatan yang rasional terhadap teks dan istislahi yaitu pendekatan
terhadap realitas objektif secara filosofis. Realitas di sini termasuk realitas alam, realitas sosial
dan realitas sejarah. Jadi ada dialektika antara teks dan konteks. Kalau pendekatan bayani
bekerja pada dataran teks (Nizham al-kitab) maka burhani bekerja pada dataran akal ( Nizham alaql). Pendekatan burhani dapat memperkuat apa yang ditemukan oleh pendekatan bayani .
Sedangkan epistemology irfani adalah epistemology yang mengoptimalkan intuisi
religious seseorang. Dalam tradisi irfani dipenuhi dengan cara-cara baca simbolik dan metaforik
terhadap teks-teks keagamaan. Jika pendekatan bayani mendekati teks melalui struktur
permukaan teks maka irfani berusaha memeras makna-makna mendalam dan spiritual dari teks.
Pendekatan irfani tidak sekedar mencari makna dari teks tetapi juga makna mendalam.
Pendekatan irfani dan burhani dapat bersinergi dalam 3 hal yaitu: Pertama. Berusaha menemukan
makna-makna yang melampaui arti literer dari teks-teks keagamaan. Kedua. Berusaha mencari
dan menggali nilai-nilai dan makna-makna terdalam dari berbagai produk budaya dan seni tradisi
local dan yang ketiga adalah memahami secara holistik ke-kinian kita, agar kita dapat
mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Ali Harb
Ali harb sebagaimana para sarjana Islam kritis lainnya, mengatakan bahwa untuk
melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran atau nalar Arab Islam, maka yang perlu dilakukan
adalah mendekonstruksi teks-teks yang menjadi sumber legitimasinya, terutama teks-teks
20
sekunder yang menerangkan dan menyelubungi teks primer (Al-Qur’an). Teks bukanlah sesuatu
yang netral, teks rentan untuk menjadi ekspresi kepentingan kekuasaan, sehingga dalam sejarah
kita bisa melihat bagaimana sebuah teks bisa eksis setelah dia mengekslusi teks-teks yang lain.
Disinilah letak urgensi dekonstruksi teks, agar teks-teks bisa memperlihatkan secara jujur
asumsi-asumsi, pra-pemahaman-prapemahaman dan hasrat-hasrat akan kuasa yang dai ikut
sertakan dalam dirinya. Mendekonstruksi juga ingin mempertegas bahwa saat sebuah teks lahir
akibat dari pembacaan teks tertentu, maka teks yang terakhir tidak serta merta menjelaskan
seperti yang dijelaskan oleh pengarang teks yang pertama, tapi yang terjadi adalah produksi
makna baru oleh teks yang belakangan.
Untuk membaca teks keagamaan seperti Al-Qur’an , maka dibutuhkan sebuah alat atau
metodologi. Alat atau metodologi yang ditawarkan Ali Harb sebagaimana fazlurrahman dan
Hamid Abu Zayd adalah hermeneutika. Menurut Ali-Harb ada tiga kunci intrisik hermeneutika
AlQur’an, yang pertama adalah berusaha masuk ke dalam diri pengarang, tetapi dalam kasus AlQur’an pengarang adalah person yang memiliki status ontologis yang tak terhingga, maka
langkah ini hanya bisa dilakukan pada diri pribadi Muhammad. Sebab Al-Qur’an adalah sesuatu
yang berasal dari Tuhan dan Muhammad sekaligus. Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang eksternal
dari diri Muhammad, AlQur’an lahir dari senyawa yang sangat kreatif antara pesan-pesan Tuhan
yang abadi dan Transendental dengan pikiran, perasaan dan kata-kata Muhammad yang menubuh
pada ruang dan waktu tertentu. Untuk hal ini kita bisa menggunakan keterangan-keterangan AlQur’an sendiri, kemudian riwayat-riwayat tentang kondisi psikosomatik saat Nabi menerima
Wahyu dan teori-teori psikologi kontemporer ditambah dengan perenungan internal pada diri
pribadi interpreter.
Kunci Kedua dalam Hermeneutika AlQur’an menurut Ali Harb adalah bahwa penafsir
adalah manusia dengan banyak kondisi. Kunci ini penting untuk digunakan pada Pribadi
Rasulullah ataupun para sahabat dan penafsir-penafsir akbar kemudian . Walaupun dalam
kacamatan filsafat mistik Rasulullah dapat mencapai kesadaran diri yang parallel dengan tingkat
transcendental wahyu, tetapi peristiwa-peristiwa yang mendahului beberapa wahyu dan menjadi
sebab turunnya berserta kondisi spesifik dari audiens yang dihadapi Nabi saat menyampaikan
pesan-pesan Tuhan dalam bentuk kata-kata, itu menjadi sesuatu yang penting diperhatikan.
Walaupun Nabi adalah sesorang pembaharu yang memiliki gagasan utntuk mentransformasi
20
masyarakat Arab pada waktu itu, tetapi ia tetap mewarisi beberapa pengetahuan-pengetahuan
sosial masyarakat Arab pada waktu. Semisal dalam hal Syura, kemudian tentang penentuan siapa
yang mengganti Nabi menjadi pemimpin setelah dia mati. Tetapi harus diakui secara jujur Nabi
dan Al-Qur’an menggunakan bahan baku Arab sebagai strategi budaya dalam menyampaikan
pesan-pesan ketuhanan yang transendental kepada audiens Arab. Sebgaimana ide membutuhkan
kata, sebagaimana akal, jiwa dan persaan saling merembesi secara kompleks dengan tubuh,
begitu pula pesan –pesan Tuhan yang transenden dan kultur sosial Arab harus saling merembesi
agar pesan –pesan Tuhan tadi tetap hidup. Kunci kedua ini juga berlaku bagi penafsir Al_Qur’an
berikutnya, di mana setiap penafsir dan imam-imam mazhab tertentu ditelikung oleh arus sosial
yang begitu nyata, bellum lagi sebagian besar ulama menjadi sasaran “sekutu” ataupun “lawan”
dari institusi kekuasaan, dimana kekusaan mempunyai daya untuk mengekslusi teks-teks yang
dianggap “tidak benar” dan melanggengkan atau memelihara teks yang dianggap benar.
Jika kunci pertama dan kedua hermeneutika Al-Qur’an di atas berkaitan dengan penafsir,
maka kunci ketiga berkaitan dengan aktivitas interpretasi, bahwa interpretasi takkan bisa lepas
dari bahasa, sejarah dan tradisi. Penafsiran dan penakwilan merupakan aktivitas interpretasi, saat
seorang penafsir menafsrikan Al-Qur’an atau seorang pentakwil menakwilkan AlQur’an, maka
penafsir dan penakwil sebagai interpretan bukanlah satu-satunya variable yang ikut menentukan
makna yang diperoleh dari interpretasi. Walaupun tindakan interpretasi adalah tindakan pada saat
ini (presentness) tetapi juga mengikut sertakan iring-iringan tradisi dan momen-momen sejarah ,
terutama melalui bahasa. Bahasa bukanlah instrument komunikasi yang netral, tetapi bahasa
merupakan produk cultural yang melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang. Saat melalui
sejarah itulah bahasa menjadi sesuatu yang permeable terhadap peristiwa-peristiwa sosial
disekitarnya terutama pertarungan antar kuasa yang mengepungnya. Belum lagi tradisi yang
masih hidup dan menyertai secara sadar maupun tidak sadar kehadiran interpretan. Semua hal ini
membentuk episteme yang dipakai interpretan dalam membaca teks keagamaan.
Setiap kebenaran yang kita berhasrat untuk menemukannya, menampakkan dirinya dalam
bentuk wacana, diskursus atau narasi tertentu. Jadi yang nampak adalah wacana-wacana,
diskursus-diskursus dan narasi-naasi kebenaran. Setiap wacana, diskursus dan narasi kebenaran
mempunyai semacam naluri politis dengan kata lain mempunyai kecenderungan kuat untuk
menutupi, menghijabi ataupun menyingkirkan wacana/diskursus/narasi kebenaran yang lain.
20
Karena
itulah
tugas
kita
untuk
tidak
mempercayai
secara
mentah-mentah
setiap
wacana/diskursus/ narasi kebenaran yang ditawarkan kepada kita walaupun itu atas nama agama
ataupun Tuhan. Disinilah letak urgensi kritik kebenaran agama dan kritik teks agama untuk
menyingkap kembali kebenaran yang tidak terungkap karena tertutupi oleh kebenaran yang telah
mapan.
Salah satu modus yang mempunyai hasrat yang kuat untuk memapankan wacana
kebenaran tertentu adalah penafsiran yang tekstual dan rigid. Seakan-akan semakiin tekstual
seseoarang dalam membaca teks kegamaan semakin dekat dia dengan makna sejati teks tersebut,
semakin dekat seseoarang dengan makna sejati sebuah teks semakin dekat dia dengan Tuhan
sehingga semakin tekstual dan rigid seseoarang dalam penafsiran semakin dekat dia dengan
Tuhan. Sehingga perlu mendekonstruksi produk-produk penafsiran yang literalis, untuk apa?
Untuk membuka potensi makna yang selama ini terkungkung atas nama huruf.
Ada beberapa alasan untuk melakukan Dekonstruksi terjadap tafsir yang bersifat tekstual
dan rigid. Pertama.
Wahyu Tuhan Turun dalam lokalitas tertentu sedangkan audiens yang
membaca dan menafsir wahyu Tuhan terus mengalami perkembangan terus menerus, jika
penafsiran dengan model literalis tetap dipaksakan untuk menjembatani antara Wahyu Tuhan
dengan audiens yang berubah, maka itu sama saja kita menafikan adanya perubahan-perubahan
sosiokultur audiens wahyu. Antara wahyu Tuhan yang turun dalam lokalitas tertentu dengan
audiens yang berkembang setiap hari terdapat gap sisokultur yang setiap saat semakin menganga,
maka satu-satunya cara untuk menjembatani adalah dengan melakukan trilogy pemahamn
terhadap wahyu yaitu kontekstualisasi, dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi.
Alasan kedua adalah karena dalam penafsiran yang tekstual rigid terhadap wahyu Tuhan
gagal membedakan antara Bahasa Agama yang sifatnya lokal dengan pesan agama yang sifatnya
universal. Pada waktu Nabi menerima wahyu maka dia menerima pesan-pesan ketuhanan yang
universal tetapi pesan-pesan Tuhan tersebut di lingkungi oleh persoalan-persoalan konkrit yang
dihadapi masyarakat arab pada waktu itu dan verbalisasinya menggunakan bahasa Arab. Saat
konteks persoalan berubah sejak 14 abad yang lalu yang perlu dilakukan adalah melampaui
bahasa local ekspresi wahyu agar bisa menyentuh pesan Tuhan dalam wahyu, walaupun pesan
Tuhan ini tidak lahir dikepala penafsir dalam bentuk rumusan-rumusan formal dan definitive
20
tetapi dalam bentuk inspirasi-inspirasi menggairahkan dan segar yang harus dibahasakan ulang
sesuai dengan konteks kemanusiaan kontemporer.
Alasan ketiga adalah merebaknya sakralisasi bahasa agama. Bahasa agama yang
dimaksud disini bukan hanya Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab tetapi juga tafsir-tafsir
yang mengorbit disekitarnya. Walaupun tafsir merupakan teks keagamaan yang muncul
belakangan dalam sejarah Islam tetapi tafsir akan memberikan frame kepada umat dalam
menghadapi teks suci, bahkan kedudukan kitab tafsir sebagai teks sekunder posisinya menjadi
teks primer, inilah yang disebut dengan sakralisasi bahasa agama. Maka desakralisasi yang pelu
dilakukan, desakralisasi adalah usaha untuk mempertegas bahwa produk-produk tafsir terhadap
wahyu sifatnya historis dan local serta tidak bisa dijadikan referensi kebenaran yang mutlak.
Alasan keempat, kita harus tahu saat terjadi notulensi atau penulisan wahyu Tuhan dalam
bentuk Mushaf maka terjadi reduksi nuansa saat Tuhan berinteraksi dengan sejarah kemanusiaa.
Untuk mengatasi reduksi tersebut kita tidak bisa menggunakan modus tafsir yang tekstual dan
rigid , tetapi hanya bisa dengan bentuan sejarah, analisa sosiologis untuk bisa merekonstruksi
bagaimana setting tektonik sosiokultur saat wahyu turun.
Akhir Wacana
Tulisan di atas masih bersifat pengantar dan masih terkesan berserakan sehingga masih
wajar kalau masih terlihat dangkal dan belum begitu sistematis. Tapi terlepas dari itu kebutuhan
akan metode pembacaan yang kreatif terhadap teks-teks kegamaan adalah sesuatu yang
mendesak, bukan hanya karena latar belakang teoritik, tetapi beberapa peristiwa sosial, cultural,
politik dan keagamaan di tanah air yang menuntut hal itu. Kita membutuhkan inspirasi-inspirasi
segar dari teks kegamaan dalam memberikan alternative terhadap persoalan-persoalan
kemanusiaan kontemporer . Kita merindukan perilaku keagamaan yang tidak hanya fasih dalam
mengklaim siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang layak masuk neraka, tetapi kita
merindukan perilaku keagamaan yang berkebudayaan, menjunjung keadilan, keberadaban dan
kemanusiaan.
20
i
Penulis adalah Koord. Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) SulSel.
Oleh : Muh.Asratillah Sengei
Walaupun dalam tulisan ini menggunakan kata teks “agama”, untuk menghemat ruang
tulisan maka penulis hanya fokus pada persoalan “pembacaan” (qira’ah) teks-teks agama Islam.
Mengingat pula bahwa penulis mempunyai keterbatasan pengetahuan mengenai pembacaan
kreatif teks-teks keagamaan dalam konteks agama selain Islam.
Membaca dan Teks
Apa yang dimaksud dengan membaca?. Penulis mencoba menggunakan frame cultural
studies untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu sumbagnan teori kritis adalah
redefinisinya terjadap konsep membaca. Membaca kini menemukan signifikansinya dan
dianggap sebagai fenomena kultural yang luas, bukan sekedar aktivitas insidental saat kita
berhadapan dengan sebuah buku. Membaca adalah usaha keterlibatan secara penuh, menafsirkan
serta memahami segala hal yang mengelilingi kita. Eksistensi kita sebagai makhluk sosial sangat
tergantung dari aktivitas membaca. Manusia hanya dapat memahami kehidupan dan
lingkungannya dengan tidak hentinya membaca teks-teks yang disajikan oleh ruang yang
menggenangi kita, oleh lingkungan historis kita, oleh proses-proses psikologis dan tentu saja ,
oleh kebanyakan citra yang diluncurkan oleh media, sastra dan seni.
Kalau dalam perspektif hermeneutika ontologis Martin Heidegger, manusia dicirikan
dengan “kesibukan”. “kesibukan” oleh apa? karena apa?, manusia adalah makhluk yang “sibuk
terlibat” (sorge).
Salah satu aktivitas manusia yang menandakan “keterlibatnnya” adalah
“membaca”. Kalau Rene Descartes terkenal dengan adigiumnya “cogito ergo sum” yang artinya
“aku berpikir maka aku ada”, penulis barangkali bisa menciptakan adigium-adigium serupa ,
“aku terlibat maka aku ada”, “aku membaca maka aku terlibat” sehingga menjadi “aku membaca
maka aku ada”. Tapi dengan catatan adigium-adigium tersebut tidak dianggap sebagai
penggambaran realitas yang absolut.
20
Keterkaitan erat antara keberadaan kita di dunia ini dengan proses membaca bukanlah
sesuatu yang tanpa argumen, karena keseluruhan dunia kita secara metaforik merupakan teks
atau dapat diperlakukan sebagai teks. Dunia dan segala isinya bukanlah sebuah teks linier, tapi
merupakan sebuah teks yang saling tumpang-tindih, silang-menyilang dan corat-marut. Dunia
juga bukan merupakan teks yang menyampaikan topik dan temanya secara transparant, di antara
narasinya yang paling bagus terkadang bahkan seringkali adalah kebohongan yang menarik hati,
membisu dan tetap bersikukuh menyembunikan kebenaran. Menurut George Santanaya : “
Terdapat buku-buku dimana catatan-catatan kaki atau komentar-komentar yang ditulis secara
buruk oleh beberapa tangan pembaca pada bagian tepi, yang lebih menarik daripada teksnya.
Dunia adalah satu di antara buku-buku itu”.
Heidegger mencoba merangkai sebuah penanda keberadaan manusia dengan konsep “In
der Walt Sein” yang artinya “ada dalam dunia”. Manusia tidak bisa mengambil jarak sepenuhnya
dengan “dunia” dan “ada” nya. Karena keberadaan manusia adalah di dalam dunia, dan kedunia-an hanya bisa eksis jika manusia ada. Itulah sebabnya keberadaan manusia oleh Heidegger
sebut dengan istilah “da-sein” yang berarti “ada di situ” atau “ada dalam kondisi yang spesifik”.
Inilah yang menyebabkan dunia dan ada sebagai teks tidak bisa memperlihatkan topik dan
temanya secara transparant kepada manusia karena keterlibatan (sorge) yang mesra diantara
mereka. Ada, dunia dan eksistensi manusia saling mengintrusi dan merembesi satu sama lain.
Dunia dan “ada” dapat diketahui oleh Da-sein (manusia) melalui aktifitas membaca, tetapi yang
diketahui oleh da-sein bukanlah sesuatu yang transparant mengenai “ada” dan dunia. Aktifitas
membaca dari manusia adalah suatu tindak interpretasi yang memproduksi makna mengenai
“ada” dan dunia. Saat manusia menarik makna dari “ada” dan dunia melalui pembacaannya
maka secara simultan dia juga membangun makna buat dirinya. Tidak ada makna yang final,
makna itu selalu tertambat pada kemungkinan-kemungkinan ke depan. Kalau kita meminjam
pendapat Jacques Derrida makna atau kebenaran selalu mengelak, setiap kali anda berpretensi
untuk menemukan makna yang paling benar maka makna tersebut akan selalu menghindar dari
persepsi sang interpreter. Sehingga yang bisa di temukan hanyalah jejak-jejak dari kebenaran.
Manusia hanya bisa berjumpa dengan penanda-penanda kebenaran, setiap kali manusia
“bercakap-cakap” dengan satu penanda kebenaran maka hanya akan menunjuk ke penanda
berikutnya, begitulah seterusnya sampai kematian mengundang kita ke perjamuannya.
20
Untuk lebih memperjelas maksud paragraph di atas, saya teringat dengan analogi yang
digunakan oleh penulis buku “The Tree Of Philosphy” yang bernama Stephen Palmquist. Di
buku itu dia menggunakan analogi matahari yang menggambarkan realitas apa adanya, yang
keberadaannya perlu agar pengetahuan menjadi mungkin. Palmquist mengatakan bahwa jika
cuaca sedang cerah maka sangat sulit bagi seorang manusia menatap langsung “matahari”
tersebut, justru saat berawanlah kita bisa menatapnya dan melihat bentuk geometri dari matahari.
Tetapi benda-benda dipermukaan bumi akan lebih jelas jika cuaca dalam kondisi cerah. Jika kita
menghubungkannya dengan aktivitas pembacaan terhadap teks, “ada” serta dunia bisa kita
andaikan “matahari” dalam analogi Palmquist di atas. Manusia tidak bisa memandang secara
langsung “ada” dan dunia, tetapi “ada” dan dunia menampakkan bentuknya yang samar-samar
melalui perantaraan awan atau melalui benda-benda dipermukaan bumi yang sinari oleh “
matahari”. Awan dan benda-benda dipermukaan bumi bisa kita andaikan sebagai teks. Manusia
hanya bisa memandang “ada” dan dunia dengan menggunakan dan melalui teks. Sebagaimana
perkataan Jacques Derrida “Tiada di luar selain teks”.
Salah satu pendekatan utama terhadap (tema ) membaca adalah bahwa sebuah teks tidak
memiliki peran yang otonom terhadap para pembacanya. Sangat besar peran pembaca dalam
mewujudkan pesan-pesan teks yang sifatnya potensial. Tanpa kehadiran seorang pembaca dalam
menafsirkan sebuah teks, teks itu tidak berarti apa-apa. Begitu pula dengan teks-teks keagamaan,
seringkali kita mensubordinasi posisi manusia dibawah posisi teks-teks agama padahal tanpa
kehadiran manusia sebagai audiensnya, teks-teks agama tersebut tidak berarti sama sekali, itu
karena yang membaca, memeras makna dan mewujudkan pesan-pesan dari teks-teks suci agama
tersebut adalah manusia. Proses pembacaan sangat terkait dengan konteks historis dan kultural
dari pembaca; alat-alat (cara dalam memahami dunia) pembacaan diaplikasikan sesuai dengan
lingkungan pembacaan. Selain itu pembacaan juga sangat tergantung dengan kerangka acuan
(frame of reference) di mana pembaca membidik sasarannya. Membaca adalah proses dialog
atau transaksi makna antara teks-teks dengan pembacanya. Menfasirkan sebuah teks bukanlah
hanya tindak eksegesis (menarik makna keluar dari teks) tetapi jga merupakan tindak eisegesis
(membawa makna oleh diri ke dalam teks)
Ali Harb berpendapat bahwa, membaca berarti berbeda dengan teks yang dibaca. Jika ada
aktivitas membaca tetapi mengatakan bahwa apa yang dia peroleh dari proses pembacaannya
20
sama persis dan telanjang dengan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, pada hakikatnya itu
bukanlah sebuah proses pembacaan. Semua pengetahuan adalah peniruan , jika biologi adalah
peniruan terhadap dunia hayati, fisika atom adalah peniruan terhadap realitas fisik atomik dan
subatomik, sosiologi adalah peniruan terhadap interaksi sosial yang real maka tafsir agama
adalah berusaha meniru makna autentik pesan agama. Tetapi yang perlu diingat, peniruan tidak
akan melahirkan kesamaan dengan realitas yang menjadi referentnya, tapi melahirkan realitas
dan kebenaran baru.
Lalu apakah yang dimaksud dengan teks? Teks adalah segala sesuatu yang terbuka bagi
pembacaan dan interpretasi yang beragam. Keterbukaan mengharuskan bahwa teks tidak harus
dipandang sebagai sesuatu yang tertutup dan mandiri dari pengarang tunggal. Sebagai proses
teks sama sekali bukanlah entitas baku , teks tetap berubah dan meraih pengertian-pengertian
baru sesuai dengan bagaimana teks tersebut diterima dan dipahami oleh pembacanya. Itu berarti
struktur dan makna dari teks secara terus menerus disusun ataupun tidak disusun. Menempatkan
kitab suci ataupun rekaman pewahyuan dari Tuhan ke Nabi sebagi teks sangatlah urgen, itu untuk
membersihkannya dari monopoli penafsiran yang seringkali diklaim dengan nuansa kesakralan.
Tekstualitas dari teks agama, berarti teks-teks agama struktur dan maknanya dalam prosesnya
terbuka kemungkinan mengalami penyususnan terus menerus, tergantung dari konteks sosiokultural yang melingkupi.
Kemudian bagaimana cara kita membaca teks agama secara kreatif?. Dalam tulisan ini
penulis akan mencoba mengeksplore secara singkat beberap pemikiran para pemikir Islam
Kontemporer, Seperti Fazlurrahman, Abu Zayd, Mohammed Arkoun , Abid Al-JAbiry dan Ali
Harb. Melalui metodologi mereka dalam melakukan pembacaan terhadap teks suci Islam maka
kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan pembacaan kreatif.
Muhammad Iqbal dalam bukunya reconstruction of Islamic Thought menyebutkan bahwa
di antara tahun 800 sampai dengan 1100 M terdapat lebih dari 100 sistem teologi dalam Islam.
Menurutnya ini merupakan bukti bahwa Muhammad telah menanamkan kesadaran kreatif dalam
tubuh umat manusia.
Sejalan dengan itu Fazlurrahman juga mengatakan bahwa pada generasi-generasi awal
kemunculan Islam Al-Qur’an dan sunnah dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup.
20
Dengan kata lain Al-Qur’an dan sunnah merupakan perlambang momentum-momentum
keterlibatan manusia dengan realitas serta petanda transendentalnya (meminjam istilah
Mohammed Arkoun).
Pembacaan kreatif secara diametral berseberangan dengan pembacaan yang dilakukan
oleh gerakan atau kelompok yang kita kenal dengan istilah Fundamentalisme islam. Dimana
dalam melakukan pembaca terjadap Teks Suci Islam, bersifat rigid, harfiah dan menerima
beberapa pra-pemhaman-pra-pemahaman atau aksioma-aksioma tradisional dalam melakukan
penfasiran, bahkan mati-matian untuk mempertahankannya. Mohammed Arkoun mengatakan
bahwa kita perlu membedakan antara Islamy dengan Islamawiyyun, membedakan antara gerakan
Islamy dan gerakan Islamawiyyun. Islamy adalah sebuah terma yang terbuka terhadap
perkembangan dan pembaharuan seperti yang terlihat pada misi nabi yang melakukan
perombakan struktur masyarakat yang menindas, sedangkan Islamawiyun adalah sebuah tendensi
untuk menggunakan wacana islam demi kepentingan politik dan ekonomi serta kekuasaan.
Begitu pula antara istilah Ushulawiyun dengan dengan Ushuliyun (kata ushuliyun biasanya
diterjemahkan dengan kata fundamentalisme , padahal lebih tepat jika diterjemahkan dari kata
ushulawiyun). Ushuliyun adalah usaha dan ijtihad dari para ulama untuk merumuskan system
teologi dengan menggunakan metodologi tertentu serta didasari dengan spirit pencarian
kebenaran secara jujur, sedangkan Ushulawiyyun adalah kepentingan politik-kekuasaan tertentu
yang mempergunakan secara tidak jujur produk-produk ushul tertentu.
Pembacaan teks agama Islam secara ortodoks menempatkan masa lalu dan masa depan
secara tidak seimbang. Yang dimaksud dengan tidak seimbang adalah masa depan dipersilahkan
untuk nampak jika dan hanya jika terus menerus secara pasif menatap masa lalu, jika masa depan
itu memalingkan wajahnya dari masa lalu maka masa depan tersebut dilabeli “jahiliyah
kontemporer”.
Dalam buku “Arkeologi Sejarah pemikiran Arab Islam”, Adonis mengatakan bahwa
dalam pandangan ortodoks wahyu merupakan dasar dan permulaan secara mutlak, melampaui
waktu : masa lalu,sekarang dan masa mendatang. Wahyu merupakan masa lalu dari segi bahwa ia
merupakan awal, wahyu merupakan masa sekarang dari segi ia merupakan sesuatu yang terus
bergerak dan wahyu merupakan masa mendatang dari segi ia merupakan yang terakhir. Zaman
historis tidak bernilai di depan zaman wahyu. Dalam buku tersebut Adonis membedakan antara
20
zaman wahyu dan zaman historis. Jika zaman historis merupakan zaman dimana peristiwaperistiwa, gejala-gejala, perubahan-perubahan terjadi maka zaman wahyu merupakan substansi
yang tidak bergerak, abadi, hadir secara terus menerus ditengah-tengah gejala-gejala yang
bergerak dan akhirnya sirna. Di sini tidak ada tempat untuk masa depan sebab masa depan
hanyalah “yang hadir” di masa mendatang. Mempraktikkan isi wahyu dan mengalami kehadiran
wahyu itulah masa mendatang. Zaman wahyu bertentangan dengan zaman yunani- chronos.
Chronos menciptakan segala sesuatu dan mematikan apa yang diciptakannya. Sementara zaman
wahyu berada di luar gerak dari kelahiran dan kematian serta gerak perubahan atau proses.
Zaman wahyu selalu berada seperti apa adanya sama dengan sedia kalanya. Wahyu tidak dikenali
melalui zaman tetapi zamanlah yang dikenali melalui wahyu. Dengan ungkapan yang lebih tepat
wahyu merupakan potensi zaman dan bukan zaman yang merupakan potensi wahyu.
Pembacaan secara kreatif adalah jawaban terhadap beberapa episteme pembacaan yang
ortodoks di atas, bila kita menggunakan premis Ali Harb dalam paragraph sebelumnya, episteme
pembacaan yang ortodoks di atas bukanlah sebuah pembacaaan, sebab pembacaan mensyaratkan
menjadi berbeda dengan teks yang dibaca termasuk wahyu. Pembacaan kreatif mengandaikan
bahwa makna dalam sebuah teks akan tersingkap sejalan dengan perjalanan waktu atau proses
atau gerak perubahan. Alih-alih mengasumsikan bahwa wahyu adalah potensi zaman, pembacaan
kreatif berasumsi justru zamanlah yang menjadi potensi makna bagi wahyu.
Beberapa pemikir Islam Kontemporer merekomendasikan penggunaan hermeneutika
sebagai salah satu metode agar pembacaan kita terhadap teks-teks keagamaan menjadi kreatif.
Apakah hermeneutika itu ? Menurut Fazlurrahman heremenutika adalah cara membaca ,
memaknai serta melampaui makna. Cara memahami masa lalu yang tidak dialami untuk di bawa
ke masa sekarang, dengan kata lain adanya fusi antara horizon kekinian dan masa lalu dimana
teks tersebut dibuat. Hasan Hanafi mengatakan bahwa hermenutika bukanlah sekedar bagaimana
menarik makna dari sebuah teks, tetapi juga merupakan usaha untuk memhami dan memaknai
perubahan dari logos menjadi praksis.
Gadamer sebagai dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (1960) menyatakan
bahwa hermeneutika berarti mengakui akan peran signifikan prasangka dalam pembacaan
terhadap sebuah teks, dengan kata lain dalam mencari sebuah kebenaran prasangka merupakan
sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Apakah yang dimaksud dengan prasangka? Yaitu
20
menggunakan asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma baik disadari atau tidak disadari yang lahir
dari rasa percaya terhadap otoritas yang sah. Kalau kita membaca sejarah agama-agama besar
termasuk Islam, maka kita akan menemukan bahwa perkembangan dan penyebaran Islam tidak
bisa dilepaskan dari penggunaan otoritas atau kekuasaan imperium tertentu, bahkan dalam
sejarah Islam bukanlah sesuatu yang homogen tetapi lebih berupa mozaik-mozaik mazhab fiqh,
teologis,filsafat ataupun mistisme yang kadangkala saling berebut pengerauh. Perumusan teologi,
fiqh atau kompilasi konsep keagamaan tertentu seringkali diikuti dengan restu penguasa, ini
menunjukkan bahwa teks-teks agama yang dibuat tidak bisa lepas dari prasangka.
Dalam buku yang sama Gadamer mengatakan “sejarah bukanlah milik kita tetapi kita
dimiliki oleh sejarah”. Maksudnya dalam upaya membaca atau menafsir teks selalu berada
dalam kondisi Ke-sejarah-an tertentu. Pembacaan, penafsiran ataupun pemahaman terhadap teks
mensyarakat kepada kita mula-mula perasaaan asing terhadap teks, dan kita melakukan hal ini
dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang dikenal atau dipahami. Inilah sebabnya mengenali
prasangka-prasangka kita adalah sesuatu yang penting, tiada pembacaan yang murni dari Tuhan,
setiap pembacaan pasti mengikut sertakan prasangka kita. Inilah yang disebut oleh Gadamer
sebagai “Prinsip Sejarah Efektif”.
Fazlurrahman
Fazlurrahman mengajukan sebuah cara pembacaan terhadap teks agama yang dikenal
dengan metodologi “Double Movement”. Metodologi ini terdiri dari dua tahap yaitu yang
pertama disebut Tahap Etik Al-Qur’an dan yang kedua disebut dengan Tahap Sosiologis. Pada
Tahap pertama ada dua langkah yang perlu dilakukan langkah pertama adalah mengkaji makna
spesifik ayat-ayat dalam AlQur’an dengan melalui sinaran konteks sosiohistoris ayat. Dalam
Studi Al-Qur’an kita penah mendengar istilah Asbabun- Nuzul yaitu sebab turunnya Al Qur’an,
tetapi ini belumlah cukup, kita memerlukan bantuan studi-studi lain semisal sosiologi, sejarah,
Arkeologi , Antropologi bahkan politik untuk mengurai benang kusut latar belakang sosiohistoris
turunya sebuah ayat. Langkah kedua adalah mengeneralisir atau mengkategorisasi makna
spesifik dari ayat-ayat ke dalam tema-tema etik yang sifatnya umum. Dalam studi AlQur’an kita
pernah mendengar kata Maqashid Al-Syariah yaitu tujuan atau maksud general dari
diturunkannya wahyu.
20
Setelah tahap etika Al-Qur’an kita melangkah ke tahap sosiologis. Dalam tahap kedua
juga terdapat dua langkah yang pertama adalah mengurai, membaca atau menganalisa beberapa
kondisi dan problem-problem sosial manusia kontemporer, setelah itu baru kita melangkah pada
tahap kedua yaitu dengan cara membenturkan beberapa tema-tema etik umum AlQur’an yang
didapatkan pada tahap pertama dengan problem-problem sosial keagamaan. Pada langkah ini kita
bisa melihat bagaimana Ajaran-ajaran AlQur’an mengalami kontekstualisasi. Jadi dari
metodologi “double movement” tadi kita bisa melihat bahwa penafsiran merupakan usaha
dialektis mempetemukan antara teks dan konteks.
Dalam bukunya “Islam” , Fazlurrahman mengatakan bahwa Muhammad datang dengan
membawa ajaran moral dengan penekanan dalam dua hal yaitu Monoteisme dan Keadilan Sosial.
Antara monoteisme yang di bawa Islam dengan keadilan sosial memiliki hubungan yang organik,
artinya keduanya mempersyaratkan satu sama lain. Monoteisme sebagai basis asumsi metafisik
yang diekspresikan dalam relasi sosial yang adil. Prinsip monoteisme dan keadilan sosial
merupakan pijakan awal kita dalam mendekati Al-Qur’an terlebih lagi saat kita mencoba melihat
realitas sosial dengan menggunakan inspirasi dari Al-Qur’an.
Masih dalam buku yang sama Fazlurrahman juga membahas mengenai Sunnah. Pada
awalnya adalah Sunnah nabi yaitu perilaku nabi atau respon kesejarahan nabi, setelah nabi wafat
maka para sahabat sebagai pengikut nabi meneruskan sunnah nabi tapi dengan disertai dengan
tafsir pribadi terhadap sunnah nabi sehingga sunnah pada masa ini adalah perilaku nabi plus
sahabat. Setelah melewati beberapa generasi terjadilah usaha kompilasi hadits secara besarbesaran. Yang menjadi hal menarik disini adalah adanya pereduksian free market perilaku
kegamaan pada masa sahabat menjadi perilaku kegamaan yang harus diperoleh melalui teks-teks
hadits yang rigid. Kalau pada awalnya sunnah adalah sesuatu yang non formal maka hadits
melahirkan sunnah yang kaku. Sebab belakangan yang dimaksud sunnah oleh para ulama adalah
beberapa muatan atau konten yang ada dalam matan hadits. Sebelumnya terjadi perdebatan di
antara apakah hukum diambil dari tradisi yang hidup atau sunnah yang ada di madinah dan Irak
ataukah diturunkan dari hadits, tapi belakangan yang digunakan adalah hadits. Disini terlihat
jelas pergeseran wacana keagamaan dari yang sifatnya praktis menjadi wacana keagamaan yang
bernuansa pengajaran melalui hadits.
Hamid Abu Zayd
20
Kemudian Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa pada saat Allah menyampaikan
wahyunya kepada Rasul Muhammad SAW tidaklah dalam kondisi vakum historis atau vakum
sosial. Ada latar belakang sosial yang jelas yang mengelilingi rasul. Ini kita buktikan dari tata
urutan turunya ayat-ayat AlQur’an, karakter ayat-ayat makiyah sangat berbeda dengan ayat-ayat
madinah, ini dikarenakan adanya perbedaan tantangan zaman atau permasalahan sosial yang
diahadapi oleh komunitas muslim. Yang menarik di sini adalah kata wahyu yang sepadan dengan
kata risalah yang berarti pesan, ini berarti wahyu mengandaikan keterkaitannya dengan audiens
penerima pesan. Wahyu yang diterima oleh Muhammad SAW kemudian dikodifikasi menjadi
mushaf, yang kita kenal dengan nama mushaf ustmani. Mushaf inilah yangk emudian
dikomentari aatu ditafsirkan oleh mazhab-mazhab interpreter kemudian, dan hasil dari
interpretasi tersebut juga mengalami kodifikasi (ad-tadwin). Tapi yang terjadi teks-teks sekunder
yang berupa tafsir para interpreter terhadap teks primer yaitu teks Al-Qur’an, diangkat statusnya
menjadi teks primer. Inilah yang menciptakan semacam ortodoksi, saat teks-teks sekunder
mengalami mistifikasi dan menyelubungi teks primer, dan menghalangi “yang lain” untuk diakui
interpretasinya.
Abu Zayd juga berpendapat bahwa karena Al-Qur’an disampaikan dalam rupa bahasa,
sedangkan bahasa merupakan sesuatu yang lahir dari proses-proses sosial budaya, maka AlQur’an juga tunduk pada prasyaratan-prasyaratan sosial . Hal ini sangat penting untuk disadari
sebab jika tidak yang terjadi adalah semacam fetisisme teks keagamaan apakah itu berupa teks
primer atau sekunder. Apa yang dimaksud dengan fetisisme teks kegamaan ? yaitu dimana teks
keagamaan beserta tanggapan dan penafsirannya dianggap sesuatu yang mempunyai logika
sendiri, abadi dan statis tidak terikat dengan proses-proses sosial dan budaya yang
melahirkannya. Dan ini sangat rawan dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan tertentu, sebab
kekuasaan tersebut akan memperoleh label sakral. Karena Peradaban umat Islam adalah
peradaban teks, dimana segala sesuatu termasuk interaksi serta sistem sosial yang terbangun
berpusat dan tertuju pada teks. Maka perubahan cara pandang terhadap teks akan membawa
dampak pada perubahan interaksi dan struktur sosial.
Ada bebrapa langkah yang direkomendasikan oleh Abu Zayd dalam membaca Teks
keagamaan Islam. Langkah pertama adalah menempatkan teks agama pada konteks historisnya
ini untuk bisa menemukan makna awal pada teks. Pada langkah kedua kita mengidentifikasi
20
konteks historis kontemporer dan mendialogkannya dengan makna awal, melalui ini kita bisa
melihat kepentingan (ghayah ) dari penafsir. Sebab setiap pembacaan pasti memiliki prasangka
dan prasangka adalah harapan-harapan sosial awal sebelum kita berjumpa dengan teks.
Di dalam buku Abu Zayd yang berjudul “ Mafhum an-Nash Dirasah Fi ‘Ulum AlQur’an” beliau mengatakan bahwa yang semestinya dilakukan saat ini adalah bagaimana
memproduksi kesadaran “ilmiah” terhadap tradisi teks. Yang harus dilakukan adalah berani
melontarkan persoalan-persoalan di seputar tradisi atau teks. Karena tradisi keberagamaan kita
memiliki sejarah yang sangat panjang dan berisi banyak jawaban-jawaban yang siap pakai, maka
untuk bertanya mengenainya membutuhkan energy yang sangat besar. Perlu ada usaha untuk
merajut kemabali hubungan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian sastra dan
kajian-kajian kritis.
Masih dalam buku yang sama, Abu Zayd kemudian berpendapat bahwa hubungan antara
teks (khususnya teks keagamaan) dengan budaya sifatnya dialektis dan kompleks. Untuk
mengurai beberapa hubungan yang tumpang tindih dan kompleks antara teks dengan budaya,
maka perlunya melakukan analisis kebahasaan khususnya linguistik dalam mendekati teks
keagamaan, ini disebabkan teks keagamaan datang kepada kita dengan menggunakan salah satu
perangkat budaya yang sangat penting yaitu bahasa. Jika teks merupakan produk budaya, maka
begitu pula dengan teks keagamaan, cuman setelah menagalami kodifikasi khusus Al-Qur’an
dalam bentuk mushaf Ustmani, maka teks keagamaan mengalami fase kematangan yaitu fase
dimana teks berubah menjadi produsen budaya. Jika hal ini ditunjang oleh system kuasa-politik
tertentu maka teks kegamaan tersebut akan menjadi hegemonik yang menjadi landasan dan
acuan bagi teks-teks lain.
Mohammed arkoun
Cendekiawan muslim lain yang mencoba mengkonstruk pembacaan yang kreatif terhadap
teks Al-Qur’an adalah Muhammed Arkoun. Proyek pemikirannnya dikenal dengan kritik Nalar
Islami. Yang dimkasud oleh Arkoun dengan Kritik Nalar Islami adalah kritik terhadap modus
penalaran terhadap Islam pada kurun waktu tertentu serta kritik terhadap pengkultusan terhadap
modus penalaran Islam tertentu.
20
Apa tujuan dari proyek Arkoun ini? Tujuannya adalah untuk menghadirkan pembacaan
yang beragam terhadap teks – teks kegamaan dalam Islam dan di saat bersamaan menghindari
potensi atau pretense untuk menemukan cara pembacaan yang paling benar terhadap Islam.
Muhammed Arkoun membagi dua macam modus pembacaan terhadap teks-teks
keagamaan dalam Islam khususnya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kelompok yang pertama
disebut dengan dengan pandangan klasik (ortodoks) dimana menurut pandangan ini pada saat
generasi tetentu melakukan pembacaan terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang
antara generasi tersebut dengan teks-teks kegamaan memiliki gap ruang dan waktu, yang terjadi
adalah transfer makna, bahwa makna awal dari teks akan terpahami secara jelas dan lugas oleh
generasi mendatang. Kelompok yang kedua adalah pandangan kesarjanaan kritis Islam, dimana
dalam pembacaan terhadap teks keagamaan, yang terjadi bukanlah sekedar transfer makna, tetapi
juga transformasi makna, dengan kata lain, ada distoris-distorsi, pelampauan-pelampauan,
pengayaan-pengayaan dari makna awal teks. Arkoun berada pada pihak kelompok kedua.
Dalam la pensee arabe Arkoun menyebutkan pandangannya mengenai tekstualitas AlQur’an yang perlu diketahui dalam proses pembacaan.
“Qur’an adalah korpus terbatas dan terbuka dari ujaran dalam bahasa Arab dan hanya
dapat kita
dekati melalui teks yang telah dibekukan secara grafis setelah abad IV/X.
Keseluruhan teks yang dibekukan demikian berfungsi secara bersamaan sebagai karya Tulis dan
wicara liturgis”
Dalam perkataan Muhammed Arkoun di atas ada dua terma yang menurut saya menarik
untuk diulas, yaitu terma “korpus terbatas” dan “korpus tertutup”. Apa yang dimaksud dengan
Al-Qur’an sebagai “korpus terbatas”? , yaitu bahwa Al-Qur’an dari segi isi dan pesan secara
tekstual telah selesai, atau dengan kata lain AlQur’an dalam rupanya sekarang yaitu dalam
bentuk kodifikasi mushaf Ustmani berisi seperangkata ujaran yang telah selesai. Tapi di sisi lain
Al-Qur’an juga sebagai korpus terbuka yaitu terbuka terjadap konteks yang berbeda.
Dua sisi ini adalah dua wajah paradox saat kita menghadai teks Al-Qur’an. Kita
mengenal Tuhan dalam Islam, konsep kenabian , kemudian konsep malaikat, jin serta sejarahsejarah mengenai para nabi dan masyarakat-masayarakat terdahulu melalui teks Al-Qur’an yang
telah dikodifikasi (Ad-Tadwin) pada masa kekhalifaan Ustman Bin Affan, yang kemudian
20
setelah Al-Qur’an dicetak massal 7 varian bacaan yang di setujui saat pengkodifikasian AlQur’an
tinggal 1 yang akrab dengan kita yaitu qira’ah Asim. Sehingga mau tidak mau Mushaf Al-Qur’an
sekarang ini telah mendahului kelahiran kita, telah menjadi tradisi yang akan meyertai kita
sekarang dan boleh jadi hingga kita menyapa kematian. Jika kita meminjam terminology
heideggerian , dalam konteks keberagamaan , kita lahir dalam kondisi terlempar ke situasi
jejaring teks dan symbol kegamaan yang tidak bisa kita pilih sebelumnya dan sifatnya memaksa.
Disnilah letak signifikasi Al-Qur’an sebagai korpus tertutup.
Walaupun sejak kita lahir saat korpus yang tertutup tersebut jauh-jauh hari telah menanti
kita, itu tidak meniscayakan bahwa kita akan “menyerah begitu saja” dan “tidak mau
melampaui” Al-Qur’an sebagai “korpus tertutup”. Kenapa kita harus melampaui Al-Qur’an
sebagai korpus tertutup?, hal ini karena AlQur’an tidaklah lahir dalam kondisi vakum
sosiohistoris, Al-Qur’an datang karena manusia dan untuk menyahuti persoalan manusia, yang
kebetulan setting sosiohistorisnya adalah Jazirah Arab 14 abad yang lalu. Sehingga jika kita tidak
berani “melampaui” teks lahiriah Al-Qur’an dan tiberani berhenti menjadikannnya obat mujarab
bagi semua persoalan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah kita akan memperlakukan manusia
sekarang sama dengan orang-orang Arab yang hidup 14 abad yang lalu. Dialektika antara teks
Al-Qur’an dengan sejarah bisa kita lihat dari adanya Asbab- An Nuzul atau sebab-sebab yang
mendahului turunya ayat, dan sebab-sebab ini adalah sesuatu yang terjadi dalam koordinat ruang
dan waktu tertentu, belum lagi adanya fakta gradualisme dalam penurunan wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW yang membuktikan perjalanan peristiwa masyarakat Arab disekitar arab
dengan berbagai dinamika sosial yang menyertainya menjadi sebab bagi turunya ayat secara
gradual.
Pelampauan ini bukan hanya untuk teks Al-Qur’an, tetapi kita juga harus melampaui
kalau perlu mendekostruksi beberapa penafsiran, interpretasi-interpretasi yang mengorbit
disekitar Mushaf Al-Qur’an yang sebagian besar diproduksi dengan menggunakan asumsi “
semakin tekstual anda dalam mendekati Al-Qur’an maka semakin dekat anda kepada Allah”
yang disatu sisi memproduksi citra sakral dari ke-literalan teks Al-Qur’an. Sehingga beralihlah
AlQur’an sebagai wacana kenabian (prophetic discourse ) menjadi wacana pengajaran
(professoral discourse).
20
Lalu apa kegunaan proses “pelampauan” Al-Qur’an sebagai korpus tertutup ini ? yaitu
untuk menjadikan AlQur’an sebagai korpus terbuka. Yaitu dimana pemaknaan terhadap
AlQur’an merupakan sesuatu yang berjalan terus, mengalami pengayaan makna (meaning
enrichment) dan mempunyai daya sahut bagi problem-problem kemanusiaan kontemporer.
Seperti para pemikir bebas Islam yang lainnya Mohammed Arkoun juga mengajukan
Hermeneutika sebagai alat untuk membaca Al Qur’an. Apa tujuan dari membaca (qira’ah) ? yaitu
untuk mengerti. Kita membaca Teks Al-Qur’an agar kita mengerti tentang komunikasi kenabian
yang disampaikan lewat teks yang bersangkutan. Dengan kata lain agar kita bisa menemukan
makna lewat teks tersebut. Bagaimana kita menemukannya ? yaitu dengan mengoptimalisasikan
segala hal yang bisa digunakan untuk memproduksi makna, yaitu tanda, symbol serta studi-studi
sejarah dan sosial yang bersangkut paut dengan teks Al-Qur’an.
Dorongan untuk mengerti yang menggerakkan kita membaca teks tertentu oleh Arkoun
deikaitkan dengan beberapa postulat mengenai manusia yaitu (1) Manusia adalah persoalan
konkret bagi dirinya sendiri (2) Pengetahuan yang memadai akan hal-hal nyata (dunia,hidup,
makna dsb) adalah tanggung jawb kita sebagai manusia (3) Pengetahuan ini harus dilihat sebagai
usaha untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan (4) Pengetahuan ini merupakan jalan
keluar yang diulangi secara terus-menerus (sehingga merupakan resiko permanen) keluar dari
ketertutupan yang cenderung bagi semua tradisi kultual setelah elaborasi mendalam. (5) Jalan
keluar bisa disejajarkan dengan perjalanan rohani dalam tradisi mistik.
Dalam konsepsi Hermeneutiknya Arkoun mengatakan ada tiga moment yang perlu
didekati saat kita melakukan pembacaan terhadap teks Al-Qur’an. Moment yang pertama adalah
“saat linguistic” yaitu moment dimana kita menemukan struktur kebahasaan yang lebih dalam
daripada struktur kebahasaan yang Nampak di permukaan. Moment yang kedua adalah “saat
Antropologis” yaitu moment dimana kita menemukan tekstur mistik pada teks Al-Qur’an dan
yang terakhir adalah “Saat Historis” yaitu moment dimana kita menegaskan jangkauan dan
batas-batas dari tafsir-tafsir leksikografik dan imajinatif yang selama ini dieksplorasi oleh kaum
muslimin.
Ada tiga kesimpulan yang dikemukakan Arkoun saat membaca Teks atau tradisi Islam
yaitu : (1) Kebanaran Potensial sebuah pernyataan hanya bisa terlihat di masa depan, dengan kata
20
lain kebenaran bukanlah berarti selalu menengok kebelakang dan kita menemukan kebenaran di
belakang, tetapi kita menengok kepada teks keagamaan sebagai produk sejarah masa lalu demi
menerima inspirasi-inspirasi atau kebenaran-kebenaran potensial untuk mengantisipasi
persoalan-persoalan kontemporer bahkan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang potensial
muncul di masa depan.(2) Kebenaran Al-Qur’an sifatnya berlapis-lapis, kita tidak bisa begitu
saja menemukan makana sebenarnya dan tunggal saat kita menghadapi Al-Qur’an tetapi kita
harus berhadapan terlebih dahulu dengan pendapat-pendapat, asumsi-asumsi atau interpretasiinterpretasi terhadap Al-AQur’an yang mau tidak mau kita gunakan batu loncatan untuk
memeras makna dari teks tersebut.(3) Karena terdapat Tradisi Islam yang sifatnya Historis maka
sudah menjadi keniscayaan kita melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap tradisi tersebut
agar kompatibel dengan setting sosiohistoris saat ini.
Abid Al-Jabiry
Tokoh pemikir selanjutnya yang coba kita teropong adalah Abid Al-Jabiry. Dalam
karyanya “ Proyek Kritik akal Arab ” (Masyr Naqd Al-Aql Al-Arabi) Al Jabiry berangkat dari
pertanyaan “ Bagaimana kita berinteraksi dengan Turats (Trsdisi) ?. Manurut Al Jabiry Turats
adalah “ sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita dan
masa lalu orang lain, masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat”. Jadi
Turats adlah warisan masa lalu yang dapat berupa perangkat nilai, etos kerja, tingkah laku,
pencapaian budaya maupun karya-karya ilmiah. Turats bukanlah sesuatu yang homogen, tetapi
turats juga sangat erat kaitannya dengan hasrat akan kuasa, sehingga di antara turats bisa terjadi
persilangan bahkan penjegalan.
Kejumudan akan terjadi jika seseorang menyerahkan kebebasan akalnya kepada
genggaman kekuasaan turats, atau berasumsi jika turats merupakan sesuatu yang kekal dan tidak
lekang oleh perubahan zaman. Untuk menghindari kejumudan ini diperlukan kritik terhadap
turats. Ada tiga hal penting dalam melakukan kritik terhadap Turats, yang pertama melakukan
pendekatan struktural terhadap turats, ini dalam rangka mengetahui struktur teks-teks keagamaan
ataupun tanda-tanda serta symbol-simbol yang digunakan dalam turats. Kedua melakukan kritik
sejarah terhadap turats, ini mengetahui latar belakang sosial, cultural dan politik yang menyertai
pembentukan turats . Ketiga , melakukan kritik ideologi terhadap turats, ini untuk mengetahui
relasi turats dengan rezim-rezim politik dan kekuasaan yang mengitarinya, kemungkinan-
20
kemungkinan kontribusi kuasa dalam mengkonstruk turats, ataupun kemungkinan turats dalam
melegitimasi kepentingan kuasa tertentu.
Menurut Al-Jabiriy ada tiga macam sikap dalam menghadapi Turats, Sikap yang pertama
adalah membaca Turats dalam kerangka Turats itu sendiri, yang kedua adalah membaca
modernitas dalam kerangka turats dan yang ketiga adalah membaca turats dalam terang konteks
ke-modernan. Sikap yang pertama akan melahirkan kejumudan dan yang paling berbahaya
adalah sikap yang kedua yang akan melahirkan penafsiran stigmatig, jadi Al-Jabiry memilih
sikap yang ketiga. Tetapi ini tidak berarti kita menyerah kepada modernitas atau mengorbankan
turats demi kemodernan.
Turats adalah sesuatu yang ada begitu saja, dan kita menerimanya dengan terpaksa.
Begitu pula dengan modernitas, dia ada begitu saja, sudah menjadi realitas sosial pada saat kita
lahir. Kita tergenang oleh turats dan modernitas sekaligus. Yang pelu kita lakukan untuk
mempertegas posisi subjek kita sebagai manusia adalah melakukan kritik terhadap turats dan
modernitas sekaligus, melalui apa kita mengkritiknya ?, kita mulai dari mengkritisi bahkan
mendekonstruksi diskursus-diskurusus yang diproduksi keduanya.
Khusus mengenai dekostruksi terhadap turats , maka yang dilakukan adalah
menganalisanya secara objektif dan rasional. Bahkan berusaha menggeser posisi produk-produk
tafsir yang stigmatig dan diklaim sebagai sesuatu sebagai yang a-historik menjadi sesuatu yang
bersifat historis. Ini adalah sesuatu yang penting untuk menyibak segala hijab-hijab sakralitas
dan menegaskan ke-profanannya. Untuk melaakukan analisis secara objektif dan rasional AlJabiry menawarkan konsep epistemology Burhani (Epistemologi yang mendasarkan dirinya
adalah demonstarsi rasional) sebagai alternative komplementer
bagi epistemology Bayani
(epistemology yang berangkat dan berakhir pada teks keagamaan) dan epistemology irfani
(epistemology mistik/gnostis).
Bagi Al-Jabiry, epistemology bayani merupakan epistemology yang dikembangkan oleh
Islam Arab. Epistemologi ini sangat mendominasi dalam studi-studi seperti jurispundensi (fiqh),
Ulumul Qur’an, filologi, teologi dialektik dan sastra non filsafat. Pendekatan bayani merupakan
setudi yang mendasarkan diri pada asumsi tentang kemutlakan kebenaran wahyu (teks
keagamaan) dan kedudukan yang sekunder pada posisi akal. Akal bukanlah penentu keputusan,
20
akal hanya mempunyai fungsi untuk melayani tekas dan menjelaskan agar masuk akal segala
sesuatu yang bersangkut paut dengannya. Sehinnga pendekatan bayani berkutat pada dataran teks
(nizham al-kitab) bukan pada dataran akal (nizham al-aql). Tetapi pendekatan ini tetap
mempunyai kekuatan , yaitu studinya yang sangat detail pada aspek kebahasaan, seperti nahwu
sharaf, gramatika maupun sastra (bhlagahah). Sehingga beberapa metode canggih darinya bisa
digunakan untuk mendekonstruksi teks tetapi terlebih dahulu dengan memangkas asumsi-asumsi
metafisiknya yang menempatkan wahyu dan interpretasi terhadapnya sebagai sesuatu yang ahistorik, dan tentu saja dengan mengikut sertakan beberapa metode kebahasaan kontemporer.
Epistemologi burhani adalah pendekatan yang menggunakan demonstrasi rasional dalam
mencari kebenaran serta menyandarkan diri pada dalil-dalil logika. Termasuk dalam pendekatan
burhani adalah Ta’lili yaitu pendekatan yang rasional terhadap teks dan istislahi yaitu pendekatan
terhadap realitas objektif secara filosofis. Realitas di sini termasuk realitas alam, realitas sosial
dan realitas sejarah. Jadi ada dialektika antara teks dan konteks. Kalau pendekatan bayani
bekerja pada dataran teks (Nizham al-kitab) maka burhani bekerja pada dataran akal ( Nizham alaql). Pendekatan burhani dapat memperkuat apa yang ditemukan oleh pendekatan bayani .
Sedangkan epistemology irfani adalah epistemology yang mengoptimalkan intuisi
religious seseorang. Dalam tradisi irfani dipenuhi dengan cara-cara baca simbolik dan metaforik
terhadap teks-teks keagamaan. Jika pendekatan bayani mendekati teks melalui struktur
permukaan teks maka irfani berusaha memeras makna-makna mendalam dan spiritual dari teks.
Pendekatan irfani tidak sekedar mencari makna dari teks tetapi juga makna mendalam.
Pendekatan irfani dan burhani dapat bersinergi dalam 3 hal yaitu: Pertama. Berusaha menemukan
makna-makna yang melampaui arti literer dari teks-teks keagamaan. Kedua. Berusaha mencari
dan menggali nilai-nilai dan makna-makna terdalam dari berbagai produk budaya dan seni tradisi
local dan yang ketiga adalah memahami secara holistik ke-kinian kita, agar kita dapat
mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Ali Harb
Ali harb sebagaimana para sarjana Islam kritis lainnya, mengatakan bahwa untuk
melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran atau nalar Arab Islam, maka yang perlu dilakukan
adalah mendekonstruksi teks-teks yang menjadi sumber legitimasinya, terutama teks-teks
20
sekunder yang menerangkan dan menyelubungi teks primer (Al-Qur’an). Teks bukanlah sesuatu
yang netral, teks rentan untuk menjadi ekspresi kepentingan kekuasaan, sehingga dalam sejarah
kita bisa melihat bagaimana sebuah teks bisa eksis setelah dia mengekslusi teks-teks yang lain.
Disinilah letak urgensi dekonstruksi teks, agar teks-teks bisa memperlihatkan secara jujur
asumsi-asumsi, pra-pemahaman-prapemahaman dan hasrat-hasrat akan kuasa yang dai ikut
sertakan dalam dirinya. Mendekonstruksi juga ingin mempertegas bahwa saat sebuah teks lahir
akibat dari pembacaan teks tertentu, maka teks yang terakhir tidak serta merta menjelaskan
seperti yang dijelaskan oleh pengarang teks yang pertama, tapi yang terjadi adalah produksi
makna baru oleh teks yang belakangan.
Untuk membaca teks keagamaan seperti Al-Qur’an , maka dibutuhkan sebuah alat atau
metodologi. Alat atau metodologi yang ditawarkan Ali Harb sebagaimana fazlurrahman dan
Hamid Abu Zayd adalah hermeneutika. Menurut Ali-Harb ada tiga kunci intrisik hermeneutika
AlQur’an, yang pertama adalah berusaha masuk ke dalam diri pengarang, tetapi dalam kasus AlQur’an pengarang adalah person yang memiliki status ontologis yang tak terhingga, maka
langkah ini hanya bisa dilakukan pada diri pribadi Muhammad. Sebab Al-Qur’an adalah sesuatu
yang berasal dari Tuhan dan Muhammad sekaligus. Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang eksternal
dari diri Muhammad, AlQur’an lahir dari senyawa yang sangat kreatif antara pesan-pesan Tuhan
yang abadi dan Transendental dengan pikiran, perasaan dan kata-kata Muhammad yang menubuh
pada ruang dan waktu tertentu. Untuk hal ini kita bisa menggunakan keterangan-keterangan AlQur’an sendiri, kemudian riwayat-riwayat tentang kondisi psikosomatik saat Nabi menerima
Wahyu dan teori-teori psikologi kontemporer ditambah dengan perenungan internal pada diri
pribadi interpreter.
Kunci Kedua dalam Hermeneutika AlQur’an menurut Ali Harb adalah bahwa penafsir
adalah manusia dengan banyak kondisi. Kunci ini penting untuk digunakan pada Pribadi
Rasulullah ataupun para sahabat dan penafsir-penafsir akbar kemudian . Walaupun dalam
kacamatan filsafat mistik Rasulullah dapat mencapai kesadaran diri yang parallel dengan tingkat
transcendental wahyu, tetapi peristiwa-peristiwa yang mendahului beberapa wahyu dan menjadi
sebab turunnya berserta kondisi spesifik dari audiens yang dihadapi Nabi saat menyampaikan
pesan-pesan Tuhan dalam bentuk kata-kata, itu menjadi sesuatu yang penting diperhatikan.
Walaupun Nabi adalah sesorang pembaharu yang memiliki gagasan utntuk mentransformasi
20
masyarakat Arab pada waktu itu, tetapi ia tetap mewarisi beberapa pengetahuan-pengetahuan
sosial masyarakat Arab pada waktu. Semisal dalam hal Syura, kemudian tentang penentuan siapa
yang mengganti Nabi menjadi pemimpin setelah dia mati. Tetapi harus diakui secara jujur Nabi
dan Al-Qur’an menggunakan bahan baku Arab sebagai strategi budaya dalam menyampaikan
pesan-pesan ketuhanan yang transendental kepada audiens Arab. Sebgaimana ide membutuhkan
kata, sebagaimana akal, jiwa dan persaan saling merembesi secara kompleks dengan tubuh,
begitu pula pesan –pesan Tuhan yang transenden dan kultur sosial Arab harus saling merembesi
agar pesan –pesan Tuhan tadi tetap hidup. Kunci kedua ini juga berlaku bagi penafsir Al_Qur’an
berikutnya, di mana setiap penafsir dan imam-imam mazhab tertentu ditelikung oleh arus sosial
yang begitu nyata, bellum lagi sebagian besar ulama menjadi sasaran “sekutu” ataupun “lawan”
dari institusi kekuasaan, dimana kekusaan mempunyai daya untuk mengekslusi teks-teks yang
dianggap “tidak benar” dan melanggengkan atau memelihara teks yang dianggap benar.
Jika kunci pertama dan kedua hermeneutika Al-Qur’an di atas berkaitan dengan penafsir,
maka kunci ketiga berkaitan dengan aktivitas interpretasi, bahwa interpretasi takkan bisa lepas
dari bahasa, sejarah dan tradisi. Penafsiran dan penakwilan merupakan aktivitas interpretasi, saat
seorang penafsir menafsrikan Al-Qur’an atau seorang pentakwil menakwilkan AlQur’an, maka
penafsir dan penakwil sebagai interpretan bukanlah satu-satunya variable yang ikut menentukan
makna yang diperoleh dari interpretasi. Walaupun tindakan interpretasi adalah tindakan pada saat
ini (presentness) tetapi juga mengikut sertakan iring-iringan tradisi dan momen-momen sejarah ,
terutama melalui bahasa. Bahasa bukanlah instrument komunikasi yang netral, tetapi bahasa
merupakan produk cultural yang melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang. Saat melalui
sejarah itulah bahasa menjadi sesuatu yang permeable terhadap peristiwa-peristiwa sosial
disekitarnya terutama pertarungan antar kuasa yang mengepungnya. Belum lagi tradisi yang
masih hidup dan menyertai secara sadar maupun tidak sadar kehadiran interpretan. Semua hal ini
membentuk episteme yang dipakai interpretan dalam membaca teks keagamaan.
Setiap kebenaran yang kita berhasrat untuk menemukannya, menampakkan dirinya dalam
bentuk wacana, diskursus atau narasi tertentu. Jadi yang nampak adalah wacana-wacana,
diskursus-diskursus dan narasi-naasi kebenaran. Setiap wacana, diskursus dan narasi kebenaran
mempunyai semacam naluri politis dengan kata lain mempunyai kecenderungan kuat untuk
menutupi, menghijabi ataupun menyingkirkan wacana/diskursus/narasi kebenaran yang lain.
20
Karena
itulah
tugas
kita
untuk
tidak
mempercayai
secara
mentah-mentah
setiap
wacana/diskursus/ narasi kebenaran yang ditawarkan kepada kita walaupun itu atas nama agama
ataupun Tuhan. Disinilah letak urgensi kritik kebenaran agama dan kritik teks agama untuk
menyingkap kembali kebenaran yang tidak terungkap karena tertutupi oleh kebenaran yang telah
mapan.
Salah satu modus yang mempunyai hasrat yang kuat untuk memapankan wacana
kebenaran tertentu adalah penafsiran yang tekstual dan rigid. Seakan-akan semakiin tekstual
seseoarang dalam membaca teks kegamaan semakin dekat dia dengan makna sejati teks tersebut,
semakin dekat seseoarang dengan makna sejati sebuah teks semakin dekat dia dengan Tuhan
sehingga semakin tekstual dan rigid seseoarang dalam penafsiran semakin dekat dia dengan
Tuhan. Sehingga perlu mendekonstruksi produk-produk penafsiran yang literalis, untuk apa?
Untuk membuka potensi makna yang selama ini terkungkung atas nama huruf.
Ada beberapa alasan untuk melakukan Dekonstruksi terjadap tafsir yang bersifat tekstual
dan rigid. Pertama.
Wahyu Tuhan Turun dalam lokalitas tertentu sedangkan audiens yang
membaca dan menafsir wahyu Tuhan terus mengalami perkembangan terus menerus, jika
penafsiran dengan model literalis tetap dipaksakan untuk menjembatani antara Wahyu Tuhan
dengan audiens yang berubah, maka itu sama saja kita menafikan adanya perubahan-perubahan
sosiokultur audiens wahyu. Antara wahyu Tuhan yang turun dalam lokalitas tertentu dengan
audiens yang berkembang setiap hari terdapat gap sisokultur yang setiap saat semakin menganga,
maka satu-satunya cara untuk menjembatani adalah dengan melakukan trilogy pemahamn
terhadap wahyu yaitu kontekstualisasi, dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi.
Alasan kedua adalah karena dalam penafsiran yang tekstual rigid terhadap wahyu Tuhan
gagal membedakan antara Bahasa Agama yang sifatnya lokal dengan pesan agama yang sifatnya
universal. Pada waktu Nabi menerima wahyu maka dia menerima pesan-pesan ketuhanan yang
universal tetapi pesan-pesan Tuhan tersebut di lingkungi oleh persoalan-persoalan konkrit yang
dihadapi masyarakat arab pada waktu itu dan verbalisasinya menggunakan bahasa Arab. Saat
konteks persoalan berubah sejak 14 abad yang lalu yang perlu dilakukan adalah melampaui
bahasa local ekspresi wahyu agar bisa menyentuh pesan Tuhan dalam wahyu, walaupun pesan
Tuhan ini tidak lahir dikepala penafsir dalam bentuk rumusan-rumusan formal dan definitive
20
tetapi dalam bentuk inspirasi-inspirasi menggairahkan dan segar yang harus dibahasakan ulang
sesuai dengan konteks kemanusiaan kontemporer.
Alasan ketiga adalah merebaknya sakralisasi bahasa agama. Bahasa agama yang
dimaksud disini bukan hanya Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab tetapi juga tafsir-tafsir
yang mengorbit disekitarnya. Walaupun tafsir merupakan teks keagamaan yang muncul
belakangan dalam sejarah Islam tetapi tafsir akan memberikan frame kepada umat dalam
menghadapi teks suci, bahkan kedudukan kitab tafsir sebagai teks sekunder posisinya menjadi
teks primer, inilah yang disebut dengan sakralisasi bahasa agama. Maka desakralisasi yang pelu
dilakukan, desakralisasi adalah usaha untuk mempertegas bahwa produk-produk tafsir terhadap
wahyu sifatnya historis dan local serta tidak bisa dijadikan referensi kebenaran yang mutlak.
Alasan keempat, kita harus tahu saat terjadi notulensi atau penulisan wahyu Tuhan dalam
bentuk Mushaf maka terjadi reduksi nuansa saat Tuhan berinteraksi dengan sejarah kemanusiaa.
Untuk mengatasi reduksi tersebut kita tidak bisa menggunakan modus tafsir yang tekstual dan
rigid , tetapi hanya bisa dengan bentuan sejarah, analisa sosiologis untuk bisa merekonstruksi
bagaimana setting tektonik sosiokultur saat wahyu turun.
Akhir Wacana
Tulisan di atas masih bersifat pengantar dan masih terkesan berserakan sehingga masih
wajar kalau masih terlihat dangkal dan belum begitu sistematis. Tapi terlepas dari itu kebutuhan
akan metode pembacaan yang kreatif terhadap teks-teks kegamaan adalah sesuatu yang
mendesak, bukan hanya karena latar belakang teoritik, tetapi beberapa peristiwa sosial, cultural,
politik dan keagamaan di tanah air yang menuntut hal itu. Kita membutuhkan inspirasi-inspirasi
segar dari teks kegamaan dalam memberikan alternative terhadap persoalan-persoalan
kemanusiaan kontemporer . Kita merindukan perilaku keagamaan yang tidak hanya fasih dalam
mengklaim siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang layak masuk neraka, tetapi kita
merindukan perilaku keagamaan yang berkebudayaan, menjunjung keadilan, keberadaban dan
kemanusiaan.
20
i
Penulis adalah Koord. Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) SulSel.