YAQOWIYU SEBAGAI DAYA TARIK PARIWISATA

YAQOWIYU SEBAGAI DAYA TARIK PARIWISATA

PROPOSAL TESIS
Disusun untuk tugas matakuliah Metode Penelitian Kualitatif
Yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Achmad Fatchan, M.Pd dan
Bapak Dr. I Nyoman Ruja, S.U.

OLEH:
DWI ANGGA OKTAVIANTO
NIM: 150721800080

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
September, 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upacara Yaqowiyu adalah upacara adat tradisi yang diadakan di Jatinom,
Kabupaten Klaten. Upacara ini diadakan setiap hari jum’at minggu kedua pada

bulan Sapar pada penanggalan Jawa. Penduduk setempat juga menyebutnya
Saparan. Ciri khas upacara ini adalah penyebaran apam. Warga bersiap
memperebutkan apam yang disebar oleh panitia dari sebuah panggung permanen
di selatan masjid. Masjid tersebut berlokasi di kompleks pemakaman Ki Ageng
Gribig. Upacara Yaqowiyu bermula saat Ki Ageng Gribig kembali ke Jatinom
setelah selesai menunaikan ibadah haji pada tahun 1589. Nama Ki Ageng Gribik
digunakan oleh masyarakat setelah kematian tetua yang ada di daerah tersebut,
saat masih hidup bernama Wasibagna (Guillot, Claude, 1985). Pemberian nama
“Yaqowiyu” daimbil dari do’a Ki Ageng Gribig sebagai penutup pengajian yang
berbunyi: “Ya Qowiyu Ya Aziz Qowina wal Muslimin.” Do’a ini memiliki arti: Ya
Tuhan, dzat yang maha kuat, Ya Allah yang maha menang, mudah-mudahan
memberikan kekuatan kepada kami kaum muslimin (Islami, Mona, E. N., dan
Ikhsanudin, M., 2014: 107).
Upacara Yaqowiyyu perlu dilestarikan sebagai bagian dari kebudayaan
lokal. Filosofi yang diajarkan oleh Ki Ageng Gribig dalam upacara tersebut antara
lain, pentingnya berbagi terhadap sesama umat manusia dan menjalankan perintah
agama secara benar. Masyarakat yang ikut merayakan Yaqowiyu saat ini biasanya
datang dengan maksud untuk bisa mendapatkan kue apam, supaya memperoleh
berkah dari kue apam tersebut. Masyarakat Jawa sebagian besar masih
merupakan golongan abangan, dimana penduduk yang beragama Islam masih

menjalankan dan menganggap kejawen sebagai bagian dari kehidupannya
(Mulder, Niels, 1983).
Masyarakat Jawa masih merasa ritual adat sebagai bagian dari
kehidupannya. Masyarakat Jawa mengalami perubahan dari kehidupan bercorak
agrasis menuju kehidupan bercorak industri, namun gaya hidup agraris masih
dipertahankan. Masyarakat Jawa ketika mereka menghadapi permasalahan,

mereka masih mengunakan ritual adat (ruwatan) untuk mengatasinya (Sunarto,
2013). Masyarakat Jawa bangga dapat menerima kebudayaan baru dengan tidak
meninggalkan kebudayaan lama (Widyawati, Ken, 2016).
Pemahaman terhadap nilai-nilai kebudayaan Jawa bersanding dengan
agama sangat penting. Kebudayaan Jawa masih memperoleh tempat untuk
dipertunjukkan sebagi bagian dari “Bhinneka Tunggal Ika” (unity in diversity)
(Pemberton dalam Hammons, Christian, 2013). Understanding and application of
cultural values serves as a filter the era of the Asean Economic Community (AEC)
(Syarief, Erman, dkk., 2016 :22). Gambaran tentang agama bagi masyarakat Jawa
dikemukakan oleh Greetz sebagai berikut : Religion’ is understood neither as a
matter of individual belief, nor as a ‘cultural system’ (Sidel, John, 2007: 135).
Yaqowiyu bergeser menjadi festival pariwisata. Festival yaqowiyu tercatat
jumlah pengunjung pada saat puncak acara tahun 2015 yang mencapai 25.000.

Potensi yang besar dari upacara Yaqowiyu dimanfaatkan pemerintah daerah
setempat sebagai daya tarik wisata. Upacara adat yang semula bersifat sakral
tersebut akhirnya terlihat seperti festival pariwisata. Retribusi dan tiket masuk
mulai diperlakukan bagi para pengunjung dan pedangang yang ada di sekitar area
perayaan Yaqowiyu. Pergeseran menuju sebuah festival pariwisata ini perlu diteliti
lebih dalam.

B. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus untuk meneliti pergeseran upacara “yaqowiyu”
yang awalnya berupa upacara keagamaan dan adat tradisi menuju sebuah festival
pariwisata.
C. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mengetahui pergeseran upacara adat tradisi
menuju festival pariwisata.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif untuk mengungkap
bagaimana pergeseran upacara adat dan keagamaan “Yaqowiyu” yang diadakan di
Desa Jatinom, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten berubah menjadi festival

pariwisata. Pengungkapan ini dengan pisau analisis pendekatan etnografi. Subjek
penelitian diperoleh dengan teknik snow ball melalui tokoh kunci seperti tetua
adat, pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Data diperoleh melalui
observasi, partisipasi dan wawancara mendalam. Data kemudian dianalisis
menggunakan metode deskripsi dari Matthew Mills, Michael Huberman, dan
Johnny Saldana (2014).
E. Landasan Teori
Islamisasi di Pulau Jawa dilakukan melalui akulturasi budaya. Akulturasi
berkaitan dengan budaya yang telah berkembang di Jawa sebelum masuknya
Islam dan budaya Islam yang berasal dari Timur Tengah. Greetz mengidentifikasi
bahwa inti dari kebudayaan Jawa ialah slametan dan itu merupakan bentuk asli
dari ritual animisme untuk memperkuat solidaritas sebuah lingkungan
(Woodward, Mark R., 1988: 54). Woodward membantah pendapat Greetz tersebut
dan menyatakan bahwa slametan merupakan wujud dari budaya lokal yang
bernuansa Islam. Pendapat tersebut berdasarkan; (1) Slametan merupakan ritual
yang bertujuan mencari berkah Tuhan, dengan diwujudkan sebagai makanan yang
diyakini berasal dari Arab (2) Slametan mempunyai tujuan sosial dan keagamaan
dalam Islam (3) Tata cara dan bacaan yang ada bersumber dari Al Qur’an dan
Hadis (4) Unsur-unsur Slametan memang berasal dari tradisi sebelum Islam tetapi
telah dimodifikasi sesuai syariat Islam.

Makanan merupakan salah satu wujud dari akulturasi budaya. Apam
merupakan contoh dari makanan tersebut. Apam tidak hanya dikenal di Indonesia,
di India Selatan dan Malaysia makanan ini sangat popular dan diberi nama
bernama appam. Apam biasanya digunakan untuk ritual acara kematian pada
negara-nagara Muslim di Asia. Apam di Jawa dijadikan makanan yang eksklusif
untuk acara-acara ritual, seperti slametan dan dibagikan diawal bulan Ramadhan
di masjid-masjid. Apam raksasa biasanya dibuat di Keraton Yogyakarta untuk
menghormati keluarga kerajaan yang meninggal. Hubungan antara apam dan

kematian sangat erat bagi masyarakat Jawa. Penduduk yang sudah tua biasanya
menolak memakan apam. Konsekuensinya meskipun di negara-negara Asia
Selatan dan Asia Tenggara apam merupakan makanan yang biasa, tetapi di Jawa
bagian tengah apam merupakan makanan sakral. Itu merupakan sugesti bahwa
apam berhubungan dengan upacara-upacara kematian (Woodward, Mark R., 1988:
73). Makanan yang dijadikan focus penelitian ini adalah apam. Apam sebagai
hasil sebuah kebudaayaan dalam bidang makanan apakah mampu menarik
wisatawan perlu diteliti lebih lanjut.
Pariwisata dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan sebuah
daerah. Tempat-tempat pariwisata di Indonesia sangat diminati oleh wisatawan,
baik lokal maupun mancanegara. Kebudayaan tradisional, kehidupan pedesaan

dan wisata alami sangat diminati wisatawan asing (Lew, Alan., Hal, C. Michael.,
dan Timothy, Dallen., 2008: 231). Picard menggunakan istilah “involution
culture” untuk menggambarkan penyegaran terhadap budaya dan upacara adat
yang digunakan untuk daya tarik pariwisata(Crang, Mile, 75). Picard
mencontohkan penelitian yang dia lakukan di Bali, tentang bagaimana
kebudayaan dan agama di Bali yang digunakan sebagai daya tarik wisata. Hal ini
belum tentu dapat diterapkan di Jatinom.

DAFTAR RUJUKAN
Crang, Mike. 2004. Cultural Geographies of Tourism. Dalam Alan Lew, Michael
Hall, dan Allan Williams (Eds), A Companiont to Tourism (hlm 74-84).
Oxford: Balckwell
Guillot, Claude. 1985. La Symbolique De La Mosquée Javanaise: A Propos De La
“Petite Mosquée” De Jatinom. Archipel, volume 30 pp. 3-19.
Islami, Mona, E. N., dan Ikhsanudin, M. 2014. Simbol dan Makna Ritual
Yaqowiyu di Jatinom Klaten. Jurnal Media Wisata, volum 12 nomor 2. Hal:
102-115.
Hammons, Christian. 2013. Jathilan: Trance and Possession in Java. American
Anthropologist, Vol. 115, No. 3.
Lew, Alan., Hal, C. Michael., dan Timothy, Dallen. 2008. World Geography Of

Travel And Tourism A Regional Approach. Oxford: Elsevier.
Mills, Huberman and Saldana. 2014. Qualitative Data Analysis A Methods
Sourcebook 3 Edition. LA: Sage

Mulder, Niels. 1983. Abangan Javanese religious thought and practice. Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 139, no: 2/3, Leiden, 260-267.
Woodward, Mark R. 1988. The "Slametan": Textual Knowledge and Ritual
Performance in Central Javanese Islam. History of Religions, Vol. 28, No. 1,
pp. 54-89
Sidel, John. 2007. On The ‘Anxiety Of Incompleteness’: A Post-Structuralist
Approach To Religious Violence In Indonesia. South East Asia Research,
15, 2, pp. 133–212.
Sunarto. 2013. Leather Puppet In Javanese Ritual Ceremony. (Online),
www.researchersworld.com, International Refereed Research Journal, Vol.
IV, Issue 3. Diakses 30 September 2016.
Syarief, Erman, dkk. 2016. Conservation Values of Local Wisdom Traditional
Ceremony Rambu Solo Toraja’s Tribe South Sulawesi as Efforts the
Establishment of Character Education. EFL Journal Volume 1, No.1.
Widyatwati, Ken. 2016. “Mitoni” Traditional Ceremony For Javanese People.
(Online) eprints.undip.ac.id 29 September 2016.