PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN SAPI POTONG MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN MIKRO DI KABUPATEN SARMI PAPUA

  

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN

SAPI POTONG MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN MIKRO DI KABUPATEN SARMI PAPUA (Developing Beef Cattle Agribusiness Through Micro Management Improvement in Sarmi Regency, Papua Province)

IDAYATI UAWA

  W , T.W. dan E.K. S Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua

  ABSTRACT

This observation has been done of Sarmi Regency in Papua Province for 2 months. The aim of this

observation was to investigate the factors that influence beef cattle agribusiness. The observation was done

based on the descriptive method with purposive respondents. The variables observed were population

achievements, life weight and carcass percentage, beef demand, break even point, profit analysis. All data were tabulated. The result of this observation showed that the average cattle population achievement was about 74% with 20 – 85% in range, with sustainable population achievement about 45%. Carcass percentage was at a normal range (58 – 60%), but the meat percentage was lower than that in other regency (Manokwari and Sorong). Meat value demand was 15.776 kg/year where 100% supplied from inside the regency. The price was not fixed yet, while the biggest profit proportion was held by primary trader.

  Key Word: Bali Cattle, Agribusinesss, Mikro Management ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi kelancaran

pengembangan sistem agribisnis sapi potong di Kabupaten Sarmi melalui analisis manajemen mikro.

Penelitian dilakukan selama dua bulan, menggunakan metode deskriptif dengan teknik observasi dan

wawancara di wilayah Kabupaten Sarmi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposip terhadap responden para pelaku dalam sistem agribisnis ini. Variabel yang diamati meliputi: l) Capaian populasi sapi potong, 2) Berat hidup dan komposisi karkas sapi potong, 3) Tingkat permintaan daging, 4) Kajian titik impas usaha peternakan rakyat, 5) Analisis pendapatan usaha sapi potong. Data yang diperoleh dianalisis secara tabulasi . Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1). Capaian Populasi di Kabupaten Sarmi rata-rata adalah 74% dengan kisaran antara 20 s/d 85%, dengan capaian populasi lestari sebesar 45% jumlah populasi 900, populasi lestari 2508 dan kekurangan 1608, (2). Persentase karkas sapi-sapi di wilayah Kabupaten Sarmi adalah normal dengan kisaran 58 s/d 60% dari berat hidup, tetapi bobot daging relatif lebih kecil dibandingkan dengan wilayah Jayapura dan Manokwari, (3) Tingkat permintaan daging sapi di Kabupaten Sarmi adalah sebesar 15.776 kg/tahun dan 100% kebutuhan dicukupi dari dalam wilayah tersebut, (4) Di Kabupaten Sarmi belum dilakukan penetapan harga untuk biaya pemeliharaan sapi agar peternak memperoleh keuntungan real dalam pemeliharaan sapi, (5) Persentase keuntungan yang terbesar masih dimiliki oleh subsistem pengolah primer (pejagal) dan pengolah dan masih relatif kecil pada tingkat peternak dikarenakan kepemilikan ternak yang kecil.

  Kata Kunci: Sapi Bali, Agribisnis, Manajemen Mikro PENDAHULUAN

  liberalisme perdagangan, globalisasi ekonomi, dan industrialisasi peternakan. Hal ini Lingkungan ekonomi baik eksternal membawa konsekuensi menyatunya pasar maupun internal yang dihadapi oleh subsektor produk peternakan, mobilitas sumberdaya peternakan mengalami perubahan dan peternakan antar kawasan ekonomi, dan pergeseran yang mendasar dan menyeluruh. meningkatnya intensitas dan cakupan

  Perekonomian secara umum mengarah pada kompetisi. Perkembangan domestik ini membawa implikasi pada peningkatan tuntutan akan jumlah, kualitas, keragaman, dan atribut produk peternakan. Dalam lingkungan iklim seperti ini maka kata kunci untuk memanfaatkan peluang adalah meningkatkan daya saing wilayah. Untuk mencapai daya saing ini, pendekatan pembangunan dengan paradigma lama perlu dirombak untuk disesuaikan dengan iklim tersebut di atas. Sub sektor peternakan akan bertahan (survive) dan berkembang bila dilakukan perubahan sistematis dan integratif dalam pembangunannya.

  Menurut M ARZUKI (2005), pembangunan pertanian termasuk peternakan akan memiliki daya saing bila didukung oleh sektor ekonomi yang lain, khususnya industri, dalam hal ini berarti pembangunan peternakan diasosiasikan dengan pengembangan agroindustri atau agribisnis. Oleh karena itu pembangunan agribisnis peternakan harus bersifat makro, yang harus didukung oleh struktur, perilaku dan kinerja mikro dari peternakan itu sendiri.

  27

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi kelancaran pengembangan sistem agribisnis sapi potong di Kabupaten Sarmi Papua melalui analisa mikro manajemen.

  87 Sarmi

  67 Mararena 275 316

  Populasi harapan merupakan jumlah populasi ternak yang seharusnya tercapai apabila suatu usaha peternakan memenuhi seluruh kaidah manajemen pemeliharaan yang baik dan juga memenuhi aturan baku tentang ternak yang boleh dijual atau dipotong. Populasi kenyataan, adalah jumlah yang pernah dimiliki oleh peternak, merupakan penjumlahan total dari ternak yang pemah dimiliki, dipelihara, dijual, dikonsumsi, atau mati selama masa pemeliharaan.

  Tabel 1. Capaian populasi ternak di Kabupaten Sarmi Kampung

  Populasi kenyataan (ekor) Populasi harapan (ekor)

  Capaian populasi (%)

Amsira

  29

  38

  76 Bagarserwar

  18

MATERI DAN METODE

  Dalam suatu wilayah sangat penting untuk mengetahui capaian populasi ternak sapi. Hal ini bermanfaat untuk mengukur sejauh mana kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan komoditi ternak secara alamiah, berdasarkan kemampuan alam dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut peternak dalam peme1iharaan ternak. Di samping itu, angka capaian populasi dapat digunakan untuk mengindikasi apakah usaha peternakan di wilayah tersebut telah memenuhi kaidah-kaidah tertentu dalam manajemen pemeliharaannya.

  39

  Dari hasil perhitungan terhadap populasi, antara populasi harapan dan populasi kenyataan, capaian rata-rata populasi di Kabupaten Sarmi adalah sekitar 74,73%. Hal ini dikarenakan, wilayah ini be1um menerapkan aturan baku bahwa penjualan ternak harus dari jenis kelamin jantan, dan dilarang melakukan penjualan ternak betina produktif. Penjualan ternak betina yang

  64 Total 470 605 822 Rata-rata 42,73 55 74,73

  25

  16

  21 24 87,5

Wakde

  51 Tangkar Nengke

  55

  28

  77 Betaf

  30

  HASIL DAN PEMBAHASAN Capaian populasi sapi potong

  90 Gwin Jaya

  22

  20

  36 Kiren

  36

  13

  Penelitian dilakukan selama dua bulan, dengan menggunakan metode deskriptif dengan teknik observasi langsung dan wawancara ke peternak di wilayah Kabupaten Sarmi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive terhadap responden, sebagai pelaku dalam sistem agribisnis ini. Variabel yang diamati meliputi: 1) Capaian populasi sapi potong, 2) Berat hidup dan komposisi karkas sapi potong 3) Tingkat permintaan daging, 4) Kajian titik impas usaha peternakan rakyat, 5) Analisis pendapatan usaha sapi potong. Data yang diperoleh dianalisis secara tabulasi.

  82 Holmafen Ekor dan punggung 20 - - Lain-lain 2 1,10 1,1 Berat hidup dikurangi darah dan isi usus 180 – 190 100 100

  17

  14

  6 6 100 Armopa

  52 Terdiri atas Daging 60 – 70 33 – 37 41,7 Tulang - 16,6 9,6

Rusuk 10 - -

  Tabel 2. Tabel proporsi komponen bagian hasil pemotongan sapi di Kabupaten Sarmi Komponen Sapi Bali Sarmi (kg) Persentase bagian tubuh sapi Bali Sarmi (%) Persentase bagian tubuh sapi

  5 Karkas - 50,7 – 53,6

  29 Usus, babat 8 4,4

  26

  8 Jeroan 48

  11

  6 Kulit 20

  , 1996) Kepala 12 6,6

  (%) (B ANDINI

  UMPE ,2005).

  produktif akan memberikan selisih yang nyata antara jumlah populasi yang seharusnya dapat dicapai dengan jumlah kenyataan selama tahun usaha. Dari responden yang diambil sebagai sampel di Kabupaten Sarmi terdapat sedikit banyak 50% petani peternak melakukan penjualan ternak betina produktif dengan alasan ternak yang dimiliki sudah terlalu banyak dan merasa tidak mampu menangani atau penjualan ternak dikarenakan terdesak kebutuhan untuk keperluan keluarga.

  dan S

  

IDAYATI

  Dilihat dari perkiraan komponen karkas sapi Bali yang ada di Sarmi memiliki persentase karkas berkisar 50,7 – 53,6%. Dari segi persentase, karkas sapi masih dalam kisaran normal. Menurut B ANDINI (1996) karkas sapi Bali berkisar antara 52 s/d 57%. Namun dari segi berat daging, sapi-sapi di wilayah Sarmi memiliki berat yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain seperti Manokwari dan Sorong. Kisaran berat daging di Kabupaten Sarmi adalah 60 – 70 kg. Kisaran berat daging sapi di wilayah Manokwari dan Sorong adalah 70 s/d 100 kg. (W

  Aspek lain yang perlu dicermati adalah mengenai komposisi karkas yang dihasilkan oleh sapi Bali di wilayah Sarmi. Berikut adalah perkiraan tentang komposisi karkas dan bagian lain yang ada di ternak sapi di Sarmi.

  

Analisis karkas

  (2003) beberapa upaya untuk mendapatkan angka optimal calving interval adalah, mengupayakan peternakan dengan manajemen reproduksi yang intensif, yakni memerlukan campur tangan manusia untuk mengupayakan terjadinya perkawinan sapi betina yang siap dibuahi dengan pejantan, petenak harus tahu pasti siklus birahi dari sapi miliknya untuk menghindari keterlambatan perkawinan yang berakibat terjadinya penundaan keberhasilan reproduksi.

  ANDINI

  Selain itu, terjadinya selisih antara populasi harapan dan kenyataan adalah karena belum diterapkannya sistem reproduksi yang bersifat intensif. Dari rata-rata peternak yang diambil sebagai contoh di Kabupaten Sarmi , mereka masih menjalankan sistem reproduksi alami (tanpa campur tangan peternak). Namun demikian jarak kelahiran (calving interval) menunjukkan angka ideal yakni 11 bulan sampai 14 bulan. Hal ini berarti dalam jangka waktu 11 s/d 14 bulan, ternak sapi mampu memproduksi sapi anak. Menurut B

  • = tidak ada data

  Sorong telah mengarah komersial. Hal ini terbukti dengan terdapatnya penjualan rumput per ikat Rp. 5.000 dengan berat ± 25 kg, yang merupakan konsumsi perhari 1 unit ternak dewasa. Sedang di Sarmi peternakan rakyat umumnya masih menempati ladang-Iadang kosong milik masyarakat Papua yang merupakan kepemilikan komunal. Saat ini di Kabupaten Sarmi belum didapati penjualan rumput secara komersial. Peternak mendapatkan rumputnya masih dengan cara cuma-cuma. Namun sistem pemeliharaan

  Analisis break even digunakan untuk menentukan suatu usaha dalam titik impas, atau tidak untung maupun tidak rugi (A

  atau faktor yang bisa dikendalikan. Pakan sapi yakni berupa hijauan, di beberapa wilayah lain seperti Manokwari dan

  internal factor

  lebih ditujukan untuk penetapan sarana produksi (pakan, obat-obatan biaya penyusutan kandang, dll.) yang merupakan

  break even

  yang lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Oleh karena itu, analisis

  (external factor)

  Komponen break even dalam usaha peternakan sapi di Kabupaten Sarmi, terkait dengan harga jual komoditi dan biaya yang dikeluarkan. Harga jual sapi di Kabupaten Sarmi sangat ditentukan oleh mekanisme pasar. Harga jual sapi jantan umur 2 – 3 tahun di Kabupaten ini adalah Rp. 3.500.000 s/d 4.000.000 sedangkan sapi betina berkisar antara Rp. 2.000.000 s/d 3.000.000. Sangat sulit untuk melakukan analisis break even demi mendapatkan harga jual komoditi sapi, dikarenakan harga sapi merupakan faktor luar

  adalah harga jual dan biaya, baik biaya variable maupun biaya tetap. Manfaat dari analisis break even adalah membantu dalam penetapan harga per unit.

  break even

  , 1999). Komponen penentu dalam analisis

  TMAJA

  Analisis titik impas usaha peternakan

  Analisis permintaan daging di Kabupaten Sarmi Tabel 3. Permintaan daging di Distrik Sarmi

  Dari data dasar Sarmi (2005), populasi sapi di distrik Sarmi dan Pantai Barat berjumlah 900 ekor, berarti jumlah tersebut masih jauh dibawah populasi yang seharusnya ada untuk tetap menjaga kelestariannya. Dari sini, sangat penting untuk menyadari tingkat urgensi penanganan populasi sapi di Kabupaten Sarmi. Penanganan terlambat terhadap populasi akan menjadikan pengurasan stok bakalan yang berlebihan, yang akan mempengaruhi kesinambungan usaha peternakan di kabupaten.

  Populasi 2005 761 Populasi Lestari 3210 Kekurangan 2449

  Populasi 2005 900 Populasi Lestari 2508 Kekurangan 1608 Pantai Timur, Bonggo Permintaan/tahun 288

  (ekor) Distrik Sarmi, Tor Atas Permintaan/tahun 225

  Tabel4. Populasi terhadap populasi Lestari Wilayah Keterangan Sapi

  2005). Ini berarti bila kebutuhan pemotongan sapi di Sarmi adalah sebesar 225 ekor, maka populasi lestari, atau populasi keseluruhan sebelum ternak tersebut diambil adalah sebesar 2.508 s/d 3.826 ekor. Dengan komposisi jumlah sapi betina berkisar 38,6 – 41,15% dari populasi lestari tersebut.

  IDAYATI dan S UMPE ,

  Dari hasil survei pasar ,khusus untuk komoditi sapi sebesar 15.776 kg dalam setahun setara dengan kurang lebih 225 ekor sapi dalam satu tahun. Perhitungan terhadap populasi lestari untuk ternak sapi, jumlah pejantan siap potong terhadap populasi lestarinya adalah sebesar 5,88 – 8,97% dari total populasi lestari (W

  288 288 - Daging kambing 1.728 1728 - Babi 9.600 9600 -

  Daging sapi 15.776 15.776 - Daging ayam ras 25.813 - 25.813 Daging ayam Kampung

  (kg) Luar Sarmi (kg)

  Asal komoditi Jenis komoditi Jumlah permintaan/ tahun (kg) Sarmi

  • =tidak ada data

  Tabel 5. Perhitungan titik impas biaya pemeliharaan sapi potong peternakan rakyat (selama 13 tahun usaha) Komponen pemeliharaan Jumlah (sesuai satuan) Akumulasi hari pakan ( hari)

  Betina dewasa (2 s/d 12 18615 tahun) Pejantan dewasa (2 tahun) 4380 Betina remaja (1 – 2 tahun) 2190 Pejantan remaja (1 – 2 tahun) 3468 Betina anak (0 – 1 tahun) 1734 Pejantan anak (0 – 1 tahun) 1734 Total 32120 Akumulasi aset ternak sapi

  68.600.000 selama 13 tahun usaha (Rp) Harga bibit betina (Rp) 1.500.000 BEP biaya pemeliharaan = (akumulasi aset (Rp) – biaya bibit)/jumlah hari Perhitungan BEP pakan

  

BEP biaya pemeliharaan = Rp. (99.600.000 – 1.500.000)/32.120 hari

BEP biaya pemeliharaan Rp. 3.054/hari Tabel 6. Keuntungan peternak sapi Kabupaten

  seperti ini lambat laun akan tergeser oleh unsur

  Sarmi

  komersialisasi di segala bidang, termasuk hijauan akan berubah menjadi produk komersial

  Keuntungan peternak (Rp)

  yang diperdagangkan. Untuk mengantisipasi

  

Jenis usaha

Minimal Maksimal

  hal ini, maka perlu dilakukan perhitungan terhadap komponen break even point, terutama

  

Peternak sapi

  pada komponen internal yang dalam hal ini

  SI 736.000 5.402.000

  adalah hijauan. Perhitungan titik impas dapat dilihat pada Tabel 5.

  SII 4.682.000 5.402.000

  Dari hasil perhitungan terhadap BEP biaya

  SIII 21.927.792 22.097.962

  pemeliharaan, pada penjualan sapi betina pada

  

Pejagal dan

  harga Rp. 3.000.000 dan sapi jantan pada harga 21600000 31680000

  pengumpul

  Rp. 4.000.000 dihasilkan biaya pemeliharaan

  Pengolah 17.280.000 103.680.000

  sapi per ekor per hari adalah Rp. 3.054, yang berarti pada biaya pemeliharaan per ekor sapi

  SI: Kepemilikan 1 – 2 ekor, SII: Kepemilikan 3 – 6

  per hari tersebut peternak pada titik impas

  ekor; SIII: Kepemilikan 7 – 10 ekor

  usaha. Sehingga direkomendasikan untuk memberikan biaya tidak boleh melebihi Menurut S ARAGIH (2000), tujuan

  Rp. 3.054/ekor/hari, agar usaha peternakan pembangunan peternakan bukan hanya menghasilkan keuntungan riil. meningkatkan permintaan dengan cara memperluas pasar dan meningkatkan daya beli (karena efisiensi produksi dan jumlah produk

  Analisis keuntungan usaha peternakan

  yang murah maka pembeli akan meningkat), tetapi tujuan akhirnya adalah meningkatkan Keuntungan beberapa pelaku usaha pendapatan peternak. Untuk itu perlu peternakan yakni peternak, pedagang mendorong peternak agar mampu bersaing pengumpul, pejagal, pengolah dan pemasar pada skala lokal, regional, nasional maupun dapat dilihat pada Tabe1 6. internasional. Oleh karena itu, peternak tidak

  M UTTAQINH . 2004. Manajemen Teknologi Agribisnis. Ghalia Indonesia, Jakarta.

  1. Capaian populasi: Berkisar antara 20 s/d 85% menandakan adanya perbedaan beberapa wilayah dalam hal kemampuan untuk memproduksi ternak secara alamiah. Rata-rata capaian populasi sebesar 74% menunjukkan bahwa populasi sapi potong di Kabupaten Sarmi masih dibawah capaian harapan (ideal).

  E., R ACHMAYANTI dan M.Z.

  AID ,

  B ANDINI , Y USNI . 2003. Sapi Bali. Penebar Swadaya.

G

UMBIRA

  Pemerintah Daerah Kabupaten Sarmi, Papua. A TMAJA , L.S. 1999. Manajemen Keuangan (Edisi Revisi). Penerbit Andi, Yogyakarta.

  DAFTAR PUSTAKA A NONIMUS . 1995. Data Dasar Kabupaten Sarmi.

  4. Analisis keuntungan: Persentase keuntungan yang terbesar masih dimiliki oleh subsistem pengolah primer (pejagal) dan pengolah dan masih relatif kecil pada tingkat peternak karena kepemilikan ternak yang kecil.

  3. Titik impas untuk biaya pemeliharaan sapi: Di Kabupaten Sarmi belum dilakukan penetapan harga untuk biaya pemeliharaan sapi agar peternak memperoleh keuntungan real dalam pemeliharaan sapi. Biaya pemeliharaan sapi untuk mendapatkan titik impas adalah sebesar Rp. 3.054/hari.

  2. Proporsi karkas: Ternak sapi di Kabupaten Sarmi memiliki persentase karkas yang normal, tapi bobot daging relatif lebih kecil dibanding ternak sapi dari Kabupaten lain seperti Manokwari dan Sorong. Bobot daging hanya berkisar antara 60 s/d 70 kg, sedang di Manokwari dan Sorong berkisar 60 s/d 100 kg. Yang berarti menciptakan selisih keuntungan penjualan komponen sapi yang berbeda antara wilayah tersebut.

  Dari beberapa masalah yang dicermati secara mikro dapat diambil kesimpulan bahwa

  boleh berhenti pada tingkat usaha budidaya ternak (on farm business) atau penghasil bahan baku, kecuali dengan mutu produksi tinggi dan tingkat harga yang memadai melalui cara yang efesien. Jika memungkinkan maka peternak harus didorong pada tingkat usaha budidaya yang lebih tinggi lagi (off farm business). (S

  KESIMPULAN

  (2000), pengolahan akan menciptakan nilai tambah pada produk dibandingakn produk yang hanya dijual sebatas bahan baku. Wilayah Sarmi yang terjadi peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun, akan meningkatkan pula permintaan pada produk- produk olahan karena kecenderungan masyarakat yang semakin sibuk, kurang memiliki waktu untuk melakukan pengolahan sendiri.

  ARAGIH

  Pendapatan pada tingkat pengolah memiliki kisaran yang lebih besar dibanding pendapatan pada tingkat peternak. Menurut S

  Kabupaten Sarmi lebih disebabkan pada penjualan yang kecil sekitar 1 ekor per tahun per peternak dikarenakan jumlah kepemilikan yang kecil. Pendapatan yang diperoleh pejagal di Kabupaten Sarmi memiliki kisaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tingkat peternak, hal ini jasa pejagal atau pengumpul belum banyak diminati oleh penduduk Sarmi, jumlah pejagal hanya 3 orang. Namun pendapatan tingkat pejagal di Sarmi, masih jauh dibandingkan dengan penghasilan pejagal di luar Sarmi, seperti Jayapura, Manokwari dan Sorong, yang memiliki keuntungan perekor pada kisaran Rp. 971.500 s/d 1.648.000. Kisaran yang lebih rendah dikarenakan jumlah daging perekor sapi di Sarmi yang relatif kecil (berkisar 60 – 70 kg), juga beberapa komponen hasil pemotongan belum biasa diperjualbelikan, seperti otak, kaki, kulit, kepala.

  , 1997). Pendapatan para peternak yang kecil di

  IAGIAN

  , 2000). Dari Tabel 6 nampak bahwa kisaran pendapatan pada tingkat usaha pengolahan memiliki kisaran yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan pada tingkat peternak. Beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab kecilnya pendapatan peternak adalah tingkat perhatian petani masih terbatas pada tanaman pangan, lemahnya modal yang membuat petani kurang mampu mengambil resiko, dan penggunaan metode tradisional yang hanya didasarkan pada pengalaman yang diyakini dan bukannya teknologi (S

  ARAGIH

  • S
G UNAWAN ,

  D. P AMUNGKAS dan L.S. A

  IDAYATI , T.W. dan I. S

  ZIZ . 1993. Agroindustri Sapi Potong.

  , R. T HAWAF dan M.A. A

  , S OEHADJI

  D. A DIWOSO , B.J. H ABIBI , G. K ARTASASMITA

  Barat. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua. W ARDOYO ,

  UMPE . 2005. Analisa Sistem Agribisnis Sapi Potong di Propinsi Irian Jaya

  W

  FFANDHY .

  M ARSUKI . 2005. Analisis Perekonomian Nasional & Internasional. Mitra Wacana Media. Jakarta.

  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

  IAGIAN , R. 1997. Pengantar Manajemen Agribisnis.

  S

  , B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Usese Foundation dan Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

  1998. Sapi Bali, Potensi, Produktifitas dan Nilai Ekonomi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. S ARAGIH

  Cides, Jakarta.