PERANAN BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA (BPCB) ACEH DALAM PELESTARIAN SITUS-SITUS BERSEJARAH DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 1990-2015 Oga Umar Dhani

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  

PERANAN BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA (BPCB) ACEH DALAM

PELESTARIAN SITUS-SITUS BERSEJARAH DI KOTA BANDA ACEH

  1

  2

  3 Oga Umar Dhani , Husaini , Teuku Abdullah

  Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala

  Email: ogaumardh@gmail.com, husibram@gmail.com, ta.sakti@gmail.com

  

ABSTRAK

  Penelitian ini mengangkat masalah tentang bagaimana peranan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh dalam pelestarian situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh dari tahun 1990-2015. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana peran dan kebijakan, perkembangan dan kendala yang dihadapi BPCB Aceh dalam melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yakni wawancara dengan informan meliputi staf BPCB Aceh dan juru kunci situs dan warga di sekitar situs bersejarah, dokumentasi pada arsip BPCB Aceh dan surat kabar, dan observasi langsung ke situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Metode yang digunakan adalah metode sejarah kritis dengan pendekatan kualitatif dan arkeologi. Hasil analisis data menunjukkah bahwa BPCB Aceh sudah mulai melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh sejak pertama berdiri tahun 1990. Perkembangan pelestarian situs-situs bersejarah di Banda Aceh mengalami beberapa kendala seperti kurangnya tenaga ahli, sarana pendukung dan pendanaan serta kendala masa konflik dan Tsunami yang telah menghacurkan sebagian situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. BPCB Aceh mengelola 10 situs bersejarah sebagai cagar budaya di Kota Banda Aceh beserta menempatkan juru perlihara yang bertugas merawat dan melestarikan. Disarankan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan Pemerintah Aceh untuk lebih memperhatikan peninggalan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Kepada BPCB Aceh untuk lebih meningkatkan kinerjanya dalam pelestarian dan civitas akademika untuk dapat melakukan studi serupa yang berkaitan dengan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh agar pemeritah dan BPCB Aceh mempunyai acuan jelas dalam melestarikan situs-situs tersebut.

  Kata kunci: BPCB Aceh, Cagar Budaya, Peranan, Pelestarian .

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  

ABSTRACT

This study raised the question on how the role of the Institute for Preservation of Cultural

Property (BPCB) Aceh in the preservation of historic sites in the city of Banda Aceh from

1990 to 2015. This study aims to describe how the roles, policies, developments and obstacles

encountered BPCB Aceh in preserving the historic sites in Banda Aceh. The data collection is

done in three ways, namely interviews with informants include BPCB Aceh’s staffs, caretaker

of the site, residents around the historic sites, archives BPCB documentation in Aceh,

newspapers and direct observation to the historic sites in Banda Aceh. The method used is

critical history method with qualitative approach and archeology. The results of data

analysis show that BPCB Aceh have started preserving historic sites in Banda Aceh since its

establishment in 1990. The development of the preservation of historic sites in Banda Aceh

encountered some problems such as lack of experts, supporting tools and funding as well as

constraining conflicts and tsunami destroyed most of the historic sites in Banda Aceh. BPCB

Aceh manages 10 historic sites as cultural heritage in Banda Aceh and its caretaker put in

charge of caring for and preserving. This study could be considered as suggestion for the

Aceh government to pay more attention on relics of the historic sites in Banda Aceh. BPCB

Aceh need to improve their performance in preservation and academicians should do a

similar study relating to historic sites in Banda Aceh in order give clear references for the

government and BPCB in preserving these sites.

  

=================================================================

PENDAHULUAN mengatur secara khusus tentang cagar

  Indonesia adalah negara budaya yang harus dilestarikan. multikultural yang memiliki berbagai Adapun landasan hukum yang macam budaya dan bahasa. Permasalahan mengatur tentang pengelolaan cagar ini tidak terlepas dari keanekaragaman budaya di Indonesia adalah Undang- suku yang mendiami nusantara. Ketika undang Republik Indonesia Nomor 11 Indonesia belum terbentuk, beberapa Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. pengaruh kebudayaan asing masuk dan Undang-undang ini merupakan perbaikan berasimilasi dengan kebudayaan lokal, dari undang-undang sebelumnya, yaitu seperti kebudayaan Hindu, kebudayaan Undang-Undang Republik Indonesia Budha, kebudayaan Islam dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Barat. Seiring berjalannya waktu, banyak Budaya. peninggalan sejarah yang terbentuk dari Sebagai ibu kota Provinsi Aceh, peradaban tersebut masih dapat kita lihat Banda Aceh memiliki banyak peninggalan sampai hari ini. Peninggalan sejarah situs-situs bersejarah. Kota Banda Aceh tersebut terdiri dari berbagai macam sudah berdiri sejak Sultan Alaidin warisan budaya seperti situs-situs Johansyah berkuasa pada tahun 1205 bersejarah. Banyaknya situs-situs Masehi (Diwana, 2014: 46). Semenjak bersejarah yang tersebar di seluruh pelosok awal berdirinya, Banda Aceh telah Indonesia membuat pemerintah menciptakan peradaban besar yang mengesahkan undang-undang yang meninggalkan banyak situs-situs

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  bersejarah, yang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam hingga pada masa pasca kemerdekaan. Seiring berjalannya waktu, situs-situs bersejarah tersebut sempat beberapa kali mengalami kerusakan yang disebabkan karena manusia ataupun alam, seperti kerusakan karena pendudukan Belanda dan juga bencana tsunami tahun 2004.

  Beberapa situs bersejarah yang tersebar di Banda Aceh diantaranya; Mesjid Raya, Taman Putro Phang, Tamansari Gunongan, Kompleks Makam Raja-raja Bugis, Kompleks Makam Kandang Dua Belas, Kompleks Makam di Gampong Pande dan masih banyak situs- situs lainnya. Beberapa diantara situs-situs bersejarah tersebut kini kondisinya sudah tidak diperhatikan dan juga dikesampingkan karena adanya proyek pembangunan, seperti banyak sebaran situs-situs bersejarah sejenis nisan di Gampong Pande yang kurang terpertahatikan. Jejak peninggalan arkeologi yang bercorak Islam tersebut memiliki wilayah sebaran yang sangat luas di Gampong Pande, sehingga (Husaini Ibrahim,2014:138) meyakini bahwa Gampong Pande merupakan tempat awal mula masuk Islam di Aceh dan Nusantara. Sebaran batu nisan di Gampong Pande mecapai puluhan hektar mulai dari kawasan pemukiman penduduk hingga ke tepi laut Selat Malaka. Namun kondisinya sangat disayangkan, nisan-nisan peninggalan sejarah tersebut banyak yang tidak terperhatikan. Bahkan ada yang sudah patah, terendam, bahkan hilang karena terbawa arus pasang surut laut.

  Pemerintah Aceh mempunyai satu lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan situs-situs bersejarah seperti yang tersebut di atas. Lembaga tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh yang kantornya beralamat di Gampong Rima Jeuneu, daerah Lampisang Lhoknga, Aceh Besar, dan ruang lingkup kerjanya meliputi wilayah Aceh dan Sumatera Utara.

  Peran pemerintah dalam menangani masalah pelestarian situs-situs bersejarah, khususnya BPCB Aceh dapat dikatakan masih sangat minim, karena dalam kenyataannya banyak situs-situs bersejarah di Banda Aceh yang kurang diperhatikan oleh pemerintah maupun masyarakat. Bedasarkan pada permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti masalah ini dalam bentuk tulisan ilmiah yang berjudul

  “Peranan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh dalam Pelestarian Situs-Situs Bersejarah di Kota Banda Aceh (1990-2015)”. Metode Penelitan Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan pendekatan kualitatif dan pendekatan Arkeologi. Metode sejarah adalah proses mengkaji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Di mana dalam metode sejarah terdapat 5 (lima) tahapan yaitu: (1) pemilihan topik; (2) heuristik atau pengumpulan sumber; (3) verifikasi atau kritik sumber (kritik internal dan kritik eksternal); (4) interpretasi atau penafsiran; dan (5) histiografi atau penulisan sejarah (Kuntowijo, 1999:89). Penggunaan metode sejarah di dalam penelitian ini dikarenakan penulis ingin meninjau kembali secara kronologis tentang eksistensi sebuah

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  instansi dalam pemerintahan yang bertugas melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh sejak tahun 1990 hingga pada saat ini tahun 2015.

  Sedangkan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Maleong, 2007:6). Penggunaan pendekatan kualitatif dikarenakan objek yang akan dikaji memiliki fenomena yang dapat diungkapkan oleh peneliti. Fenomena yang dimaksud adalah Peranan Lembaga BPCB Aceh maupun peran serta masyarakat dalam melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Penambahan pendekatan Arkeologi dalam penelitian ini dikarenakan peneliti terlibat langsung di lapangan dalam proses survei dan pengamatan langsung objek-objek bersejarah yang terdapat di Kota Banda Aceh.

  Lokasi dan Waktu Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh, khususnya di wilayah yang terdapat situs-situs bersejarah. Selain itu, untuk mencari sumber data berupa buku- buku, laporan-laporan dan surat kabar lama, peneliti juga akan mendatangi BPCB Aceh, Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh sebagai lokasi penelitian. Waktu penelitian sudah dimulai sejak menulis proposal ini yaitu pada bulan November 2015 hingga November 2016.

  Teknik Pengumpulan Data

  Adapun proses pengumpulan data di dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu:

  Observasi

  Teknik ini dilakukan dengan proses pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, pengamatan yang dilakukan peneliti tentu saja hanya terbatas pada situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh.

  Dokumentasi

  Teknik ini dilakukan dengan proses analisis pada sumber-sumber tertulis yang terkait dengan masalah yang diteleti. Dalam penelitian ini, analisis yang dilakukan tertuju pada arsip dari, surat kabar, majalah, jurnal dan juga laporan tahunan BPCB Aceh yang bersangkutan dengan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Di samping itu, yang lebih utama lagi adalah menganalisis arsip surat kabar yang memberitakan tentang situs- situs bersejarah, khususnya situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh.

  Wawancara

  Teknik ini dilakukan dengan proses wawancara pada pelaku dan saksi yang menyaksikan langsung bagaimana peran BPCB Aceh dalam pelestarian situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Dalam penelitian ini, informan yang diwawancarai meliputi staf yang bekerja di kantor BPCB Aceh, yaitu Dahlia, Kepala Program Kerja Tenaga Usaha dan juga mantan Kepala BPCB Aceh periode 2010- 2012 dan Rosita Kepala Program Kerja Perlengkapan dan Pengelolaan. Peneliti

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  juga mewawancarai pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Banda Aceh untuk situs-situs bersejarah yang berada di bawah naungan mareka. Narasumber yang peneliti wawancarai yaitu Asnidar, Kepala Seksi Sejarah dan Kebudayaan.

  Selain dari staf yang bekerja di BPCB Aceh, peneliti juga mewawancarai juru kunci yang bertugas melestarikan situs-situs bersejarah terlibat langsung dalam pelestarian situs-situs bersejarah dalam Kota Banda Aceh, yaitu Zulkarnaini Juru Kunci Makam Raja-raja Gampong Pande, Adian Yahya Budayawan tokoh masyarakat Gampong Pande, Amiruddin Keuchik Gampong Pande, Cut Kasmiati penanggung jawab Makam Raja Reubah, dan Sudirman, Pekerja tambak di kompleks pemakaman Gampong Lam Dingin.

  Teknik Analisis Data

  Setelah data diperoleh dari ketiga teknik pengumpulan data di atas, maka langkah selanjutnya adalah menganalisisnya melalui tahap-tahap yang berkaitan dengan metode sejarah kritis. Langkah pertama adalah melakukan kritik terhadap sumber yang didapatkan. Dari hasil wawancara dengan informan- informan dari BPCB Aceh dan masyarakat yang terlibat langsung dalam pelestarian situs-situs bersejarah, cara melakukan kritik adalah dengan membandingkan semua hasilnya dan memilih data yang paling otentik dan relevan.

  Langkah berikutnya adalah mulai melakukan penafsiran atas data yang telah dipilih. Caranya dengan menggabungkan semua data yang diperoleh untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian agar menjadi logis dan berpadu. Setelah itu, baru dilakukan penjelasan yang mana dibutuhkan kejelian agar fakta yang disampaikan oleh penulis sesuai dengan fenomena yang terjadi di lapangan.

  PEMBAHASAN Gambaran Umum BPCB Aceh Visi dan Misi BPCB Aceh Visi BPCB Aceh

  Dasar bagi penyusunan visi dan misi Balai Pelestarian Pelestarian Cagar Budaya Aceh tidak dapat dipisahkan dari kebijakan nasional, khususnya di bidang kebudayaan serta tugas pokok dan fungsi organisasi. Berpatokan pada kedua hal tersebut serta visi dan misi maka disusunlah program-program yang dilengkapi dengan dasar konsep dan strategi agar seluruhnya dapat terlaksana. Seluruh program tersebut dijabarkan menjadi berbagai macam kegiatan masing- masing memiliki sasaran dan tujuan. Hasil pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan memberikan umpan balik bagi yang dimanfaatkan bagi penyempurrnaan program dan kegiatan di tahun berikutnya sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi.

  Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.51/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003, maka BPCB Aceh merumuskan visi sebagai berikut: “Terwujudnya upaya pelestarian dan pemanfaatan situs/benda cagar budaya

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  1. Pelaksanaan penyelamatan dan pengaman cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

  Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 30 Tahun 2015).

  8. Pelaksanaan urusan ketatausahaan BPCB (

  7. Pelaksanaan kemitraan dibidang pelestarian cagar budaya dan yang diduga cagar budaya

  6. Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi cagar budaya dan yang diduga cagar budaya

  5. Pelaksanaan pemanfaatan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

  4. Pelaksanaan pengembangan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

  3. Pelaksanaan pemeliharaan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

  2. Pelaksanaan zonasi cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

  Kemendikbud. Sedangkan peraturan terbaru nomor 30 yang dikeluarkan pada tahun 2015 tentang organisasi dan tata kerja Balai pelestarian Cagar Budaya dalam pasal 2 disebutkan bahwa Balai Pelestarian Cagar Budaya mempunyai tugas melaksanakan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya di wilayah kerjanya. Dimana pada pasal 3 dijelaskan bahwa untuk menyelenggarakan tugas pokok di atas, Balai Pelestarian Cagar Budaya mempunyai beberapa program kerja yang dijalankan, yaitu:

  secara optimal sebagai asset pariwisata yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang professional dan didukung oleh peran aktif masyarakat” (Ahmad Zaki dkk, 2014: 13).

  Berdasarkan kedudukannya, BPCB Aceh adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Oleh karena itu, program kerja BPCB Aceh selalu sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh

  Program Kerja BPCB Aceh

  5. Mengembangkan pemanfaatan situs/benda cagar budaya untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan khususnya sejarah nasional Indonesia. (Ahmad Zaki dkk, 2014: 14).

  4. Meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait di daerah, dan para pemangku kepentingan lain yang bergerak dalam bidang pelestarian situs/benda cagar budaya.

  3. Meningkatkan kualitas sosialisasi tentang pentingnya pelestarian situs/benda cagar budaya kepada masyarakat luas.

  2. Menambah serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pelestarian dan pemanfaatan situs/benda cagar budaya.

  1. Meningkatkan kualitas pelestarian dan mengembangkan situs/benda cagar budaya di Aceh dan Sumatera Utara sebagai aset wisata nasional dan daerah.

  Dalam rangka mewujudkan visi, disusun suatu misi untuk mencapai visi tersebut. Adapun misi Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh adalah:

  Misi BPCB Aceh

  Situs Bersejarah Cagar Budaya Tanggung Jawab BPCB Aceh

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  Sebagai lembaga yang mengatur tentang benda cagar budaya, BPCB Aceh mempunyai tugas melestarikan beberapa situs cagar budaya di Kota Banda Aceh. Walaupun di Kota Banda Aceh terdapat banyak situs-situs bersejarah tetapi tidak semuanya berada dibawah BPCB Aceh. Hal ini karena sebagian dari situs-situs tersebut masih berada dibawah Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh dan Kota Banda Aceh. Selain itu, dari sekian banyak situs-situs bersejarah di Banda Aceh hanya 10 situs yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.

  Adapun yang menjadi objek penelitian penulis adalah peranan BPCB Aceh dalam melestarikan situs-situs bersejarah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya di Banda Aceh.

  Terdapat beberapa situs di Kota Banda Aceh yang pemeliharaannya dibawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh dengan menempatkan juru pelihara di setiap situs- situs bersejarah tersebut. Seperti Mesjid Raya Baiturrahman, Kompleks Makam Kandang Meuh, Kompleks Taman Sari Gunongan, Kompleks Makam Raja-raja Bugis, Kompleks Makam Kandang XII, Kompleks Makam Raja Jalil, Kompleks Makam Poeteumeuhom, Kompleks Makam Tuan Dikandang Gampong Pande dan Makam Raja-raja Gampong Pande, Kompleks Makam Putro Ijo dan Kompleks Makam Syiah Kuala.

  Peran dan Kebijakan BPCB Aceh dalam Melestarikan Situs-situs Bersejarah di Kota Banda Aceh Tahun 1990-2015

  Lembaga pelestarian situs-situs bersejarah di Indonesia sudah ada sejak jaman Hindia Belanda. Namun secara resmi berdiri pada tahun 1913 setelah Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan Nomor 62 tanggal 14 Juni 1913. Surat tersebut menyatakan resmi berdirinya sebuah lembaga

  Oudheidkundige Dienst in Nederlansch- Indie yang menangani masalah

  kepurbakalaan di Indonesia, yang ketika itu masih disebut Hindia Belanda. Dalam perkembangannya lembaga pelestarian situs-situs bersejarah tersebut mengalami berbagai dinamika, seperti peralihan kekuasan Indonesia dari Belanda ke Jepang sampai masa revolusi fisik setelah Indonesia merdeka dimana Belanda menguasai kembali lembaga pelestarian situs-situs bersejarah tersebut yang ketika itu sudah dinamai Jawatan Barang-barang Purbakala. Indonesia remi mengambil alih Jawatan Barang-barang Purbakala setelah Belanda menyerahkan kembali kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia tahun 1950 yang melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketika itu Pemerintah Indonesia menganti nama Jawatan Barang- barang Purbakala menjadi Dinas Purbakala yang berada dibawah naungan Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada tahun 1951. Selanjutnya pada tahun 1956 nama Dinas Purbakala kembali diubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Sementara di Aceh, kantor kepurbakalaan pertama kali berdiri pada tahun 1990 yang ketika itu dinamai Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala wilayah kerja Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yang kemudian diubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh pada tahun 2012.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  Sebagai lembaga yang mengatur tentang benda cagar budaya, BPCB Aceh mempunyai tugas melestarikan beberapa situs cagar budaya di Kota Banda Aceh. Walaupun di Kota Banda Aceh terdapat banyak situs-situs bersejarah tetapi tidak semuanya berada dibawah naungan BPCB Aceh. Hal ini karena sebagian dari situs- situs tersebut masih berada dibawah Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh dan Kota Banda Aceh. Dari sekian banyak situs- situs bersejarah di Banda Aceh hanya 10 situs yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya dan dilestarikan oleh BPCB Aceh. Adapun situs-situs tersebut yaitu Mesjid Raya Baiturrahman, Kompleks Makam Kandang Meuh, Kompleks Taman Sari Gunongan, Kompleks Makam Raja-raja Bugis, Kompleks Makam Kandang XII, Kompleks Makam Raja Jalil, Kompleks Makam Poeteumeuhom, Kompleks Makam Tuan Dikandang Gampong Pande dan Makam Raja-raja Gampong Pande, Kompleks Makam Putro Ijo dan Kompleks Makam Syiah Kuala. Setiap situs tersebut ditempatkan juru pelihara yang bertugas merawat dan melestarikan yang operasionalnya sepenuhnya ditanggung BPCB Aceh.

  Selain itu juga ada beberapa situs bersejarah yang dikelola oleh BPCB Aceh tidak sepenuhnya tanggung jawab mareka, karena ada berapa situs yang dibantu oleh pemerintah kota dan juga dari pemerintah Aceh, yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh seperti Makam Tuan Dikandang, Makam Raja- raja Gampong Pande, Makam Putroe Ijo. Selain dikelola bersama, situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh juga ada yang dilestarikan secara terpisah oleh Disbudpar Kota Banda Aceh, dimana sejak tahun 2013 mareka sudah mengelola 16 situs bersejarah, setiap situs bersejarah tersebut juga ditempatkan seorang juru pelihara yang bertugas merawat melestarikan.

  Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga yang bertugas melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh peran BPCB Aceh belum begitu memuaskan dimata masyarakat. Karena BPCB Aceh hanya fokus pada situs-situs yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh masyarakat. Sementara masih banyak situs-situs bersejarah lainnya yang terbengkalai dan kurang diperhatikan.

  Perkembangan Pelestarian Situs-situs Bersejarah di Kota Banda Aceh Tahun 1990-2015

  Sejak berdiri tahun 1990 sampai tahun 2015, BPCB Aceh terus mengalami berbagai perekembangan dan pergantian kepemimpinan. Dalam kurun waktu 1990 sampai 1999, BPCB Aceh hanya dipimpin oleh satu orang saja, yaitu Drs. Andi Haruna Makkulasse. Pada masa ini BPCB Aceh masih bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang pada saat itu belum memiliki gedung kantor sehingga aktivitas perkantoran sehari-hari memanfaatkan gedung Balai Penyelamatan Penda Bagar Budaya di kompleks situs Taman Sari Gunongan Kota Banda Aceh. Pada periode ini ada beberapa program yang dilakukan dalam pelestarian situs- situs bersejarah di Kota Banda Aceh, seperti pengamanan Taman Sari Gunongan dan melengkapi administrasi dan sarana penjelas di situs-situs bersejarah di Kota

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  Banda Aceh serta pemeliharaan situs atau bangunan benda cagar budaya melalui perbaikan ringan, pengecatan, pemagaran, dan penertiban lokasi di Kota Banda Aceh.

  Sementara pada kurun waktu 1999 sampai 2010, ada periode ini BPCB Aceh dipimpin oleh Drs. Insa Ansari, M.Si. Pada periode ini BPCB Aceh mengalami banyak hambatan, seperti kondisi keamanan Aceh pada waktu itu belum stabil, masih berkonflik dengan Pemerintah Indonesia. Pada masa ini kantor BPCB Aceh sempat dibakar oleh orang tak dikenal (OTK) pada tahun 2002, atas insiden itu terpakasa operasional BPCB Aceh dipindahkan dari Rima Jeune, Aceh Besar ke Taman Sari Gunongan. Selain itu pada periode ini juga terjadi bencana Tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Meskipun demikian BPCB Aceh tetap menjalankan tugasnya.

  Periode 2010 sampai 2015, BPCB Aceh dipimpin oleh tiga masa kepimpinan, yaitu Dra. Dahlia, Djuniat, S.Sos dan Drs.

  Nur Alam. Pada periode ini pula BPCB Aceh kembali memindahkan kantornya dari Taman Sari Gunongan ke kantor lama yang sebelumnya dibakar OTK di Gampong Rima Jeune setelah. Pada periode ini BPCB Aceh ada melakukan beberapa program kerja, khususnya pada situs-situs bersejarah yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

  Kendala yang Dihadapi BPCB Aceh dalam Pelestarian Situs-situs Bersejarah di Kota Banda Aceh

  Ada sinkronisasi antara hasil wawancara dan data tahunan yang diperoleh peneliti tehadap permasalahan yang menjadi kendala BPCB Aceh dalam melestarikan situs-situs bersejarah di Kota

  Banda Aceh. Seperti kendala utama yang dihadapi BPCB Aceh dalam melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh adalah terbatasnya tenaga ahli, khususnya bidang arkeologi yang hanya 5 orang terjun langsung di lapangan, kurangnya dana dan belum optimalnya kinerja para pegawai disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM yang ada di BPCB Aceh. Selain itu, dalam perkembangan BPCB Aceh juga mengalami kendala eksternal seperti ancaman dan teror yang berupa pembakaran dan pemboman yang dilakukan oleh orang tak dikenal bersenjata lengkap pistol dan laras panjang pada

  30 September 2000. Akibat pembakaran ini pula yang membuat aktifitas BPCB Aceh dipindahkan dari Rima Jeune ke Kompleks Taman Sari Gunongan. Adapun kerugian dalam peristiwa ini yaitu terbakarnya beberapa sarana gedung seperti Laboratorium, ruang pemeliharaan kepala dan beberapa ruangan lainnya yang kesemuannya tidak dapat diselamatkan. Selain itu, bencana Tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. alam salah satu faktor internal lainnya yang menjadi hambatan dalam kinerja BPCB Aceh, karena bencana alam tersebut banyak situs-situs bersejarah dibawah naungan BPCB mengalami kerusakan. Hal ini seperti rusaknya situs- situs bersejarah di Kota Banda Aceh yang disebabkan bencana Tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 yang lalu. Banyak situs atau bangunan cagar budaya yang terdapat bertebaran dan berlokasi di pesisir pantai telah mengalami kerusakan, seperti kompleks Makam Tgk. Syiah Kuala, Mesjid dan Makam Tgk. Dianjong, Kompleks Makam Gampong

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  Pande, Komples Makam Tuan Di Kandang dan beberapa situs lainnya. Dalam menangani kerusakan ini, BPCB Aceh bekerjasama denga pemerintah daerah melakukan pendataan ulang dan pembenahan terhadap situs-situs tersebut.

  KESIMPULAN

  Berdasarkan perolehan data dari hasil penelitian, maka penulis menarik beberapa kesimpulan yaitu:

  1. Peran dan kebijakan BPCB Aceh dalam melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh belum besar, karena sejak tahun 1990 sampai perkembangannya pada tahun 2015, hanya 10 situs bersejarah saja yang berhasil ditetapkan sebagai cagar budaya dan dirawat oleh BPCB Aceh di Kota Banda Aceh. Sementara itu, masih banyak situs-situs bersejarah lainnya yang terbengkalai dan tidak terurus.

  2. Perkembangan pelestarian situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh terus mengalami peningkatan. Sebelumnya BPCB Aceh kekurangan tenaga ahli dan peralatan pelestarian yang terbatas, sementara saat ini BPCB Aceh sudah memiliki beberapa tenaga ahli dan peralatan pelestarian walaupun juga belum memenuhi kebutuhan BPCB Aceh. Sejak awal berdirinya BPCB Aceh sudah mengalami dua kali perpidahan kantor karena konflik. Selain itu, pasca Tsunami, BPCB Aceh juga mulai dibantu oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh dan Kota Banda Aceh untuk mengelola situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh.

  3. BPCB Aceh mengalami beberapa kendala dalam pelestarian situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh, seperti kendala internal dan eksternal. Adapun kendala internal adalah kurangnya tenaga ahli bidang arkeologi, kurang sarana pendukung, rendah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja di BPCB Aceh, serta masalah pendanaan. Sementara kendala eksternalnya yaitu kinerja BPCB Aceh sempat terganggu karena mengalami teror pada masa konflik dan Tsunami.

  Serta juga di beberapa tempat mengalami perbedaan pendapat dengan masyarakat dalam hal pelestarian situs- situs bersejarah di Kota Banda Aceh.

  Berdasarkan kesimpulan dari hasil analisis data penelitian di atas, maka penulis merekomendasikan beberapa saran berikut:

  1. Kepada Pemerintah Aceh diharapkan untuk lebih memperhatikan peninggalan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Disebabkan banyak situs-situs tersebut yang terbengkalai dan terancam akan hilang seiring berjalan waktu.

  2. Kepada BPCB Aceh untuk lebih meningkatkan kinerja pelestarian situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh, karena masih banyak situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh yang terbengkalai dan membutuhkan perhatian dari BPCB Aceh untuk dilestarikan serta ditetapkan sebagai cagar budaya.

  3. Untuk masyarakat juga diharapkan turut serta dalam memelihara dan melestarikan situs-situs bersejarah di Kota Banda Aceh. Hal ini supaya generasi yang akan datang masih

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  dapat melihat peninggalan situs-situs Banda Aceh: Pendekatan Metode

  Conjoint”. Skripsi tidak bersejarah di Kota Banda Aceh.

  diterbitkan. Banda Aceh. Fakultas

  4. Kepada pihak civitas akademika Ekonomi Universitas Syiah Kuala. diharapkan dapat menajadikan karya ilmiah ini sebagai acuan untuk melakukan penelitian dalam bidang

  Laporan dan Undang-Undang

  yang sama di kemudian hari. Hal ini Tim Penyusun. 1991. Laporan Pendataan karena penelitian ini belum sempurna

  SPSP Aceh dan Sumatera Utara .

  dan diharapkan akan ada karya lain Banda Aceh: SPSP Aceh dan yang dapat melengkapi sehingga dapat Sumatera Utara. muncul sebuah kebijakan baru dalam pelestarian situs-situs bersejarah di

  Undang-Undang Republik Indonesia Kota Banda Aceh.

  Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

  DAFTAR PUSTAKA Buku

  ________. 1997. Program Kerja Tahun Ibrahim, Husaini. 2014. Awal Masuknya

  1996/1997 . Banda Aceh: BPCB

  Islam ke Aceh Anilisi Arkeologi Banda Aceh. dan Sumbangannya pada Nusantara. Banda Aceh. Aceh

  ________. 2000. Laporan Bulan Oktober Multivision.

  2000 . Banda Aceh: BPCB Banda Aceh.

  Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu

  Sejarah . Yogyakarta. Yayasan

  ________. 2000. Laporan Pembakaran Bentang Budaya.

  dan Pemboman Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan

  Maleong, 2007. Metodelogi Penelitian.

  Purbakala Provinsi Aceh dan Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Sumatera Utara . Banda Aceh: BPCB Banda Aceh.

  Said, Andi Muhammad. 2013. Refleksi 100

  Tahun Lembaga Purbakala

  ________. 2002. Laporan Bulan Mei

  Makassar 1913-2013 Pengelolaan 2002 . Banda Aceh: BPCB Banda Pelestarian Caga Budaya.

  Aceh. Makasar. Yayasan Pendidikan Muhammad Natsir.

  ________. 2005. Laporan Pemantauan

  Situs Bangunan Cagar Budaya Majalah dan Media

  Pasca Gempa dan Tsunami di

  Anonim. 2014 . Dari Titik Nol. Diwana

  Kabupaten Aceh Besar dan Banda Koetaradja. Kultur. Edisi 1 April.

  . Banda Aceh: BPCB Banda

  Aceh Hal 44.

  Aceh. .

  ________. 2010. Laporan Tahunan tahun

  Skripsi 2010 . Banda Aceh: BPCB Banda

  Ismiayana, Nuzula. 2013. “Analisis Aceh.

  Keinginan Masyarakat untuk Kelestarian Cagar Budaya di Kota

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125

  4. Nama : Zulkarnaini Umur : 42 Tahun Pekerjaan : Juru Kunci Makam

  Makam Raja Reubah Alamat : Gampong

  7. Nama : Cut Kasmiati Umur : 59 tahun Pekerjaan : Penanggung Jawab

  Alamat : Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh

  6. Nama : Amiruddin Umur : 45 Tahun Jabatan : Keuchik Gampong Pande.

  Alamat : Ulee Lheu, Banda Aceh.

  Budayawan tokoh masyarakat Gampong Pande

  5. Nama : Adian Yahya Umur : 52 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS dan

  Alamat : Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh

  Raja-raja Gampong Pande

  Alamat : Komplek Perumahan Guru Mibo, Kecamatan Bandar Raya

  ________. 2016. Catatan Atas Laporan

  Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh

  3. Nama : Asnidar Umur : 53 Tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Jabatan : Kepala Seksi Sejarah dan Kebudayaan

  Alamat : Jl, Banda Aceh Medan, Gampong Rima Jeune, Aceh Besar.

  Pengelolaan Barang Milik Negara BPCB Aceh

  2. Nama : Rosita, SE Umur : 49 tahun Pekerjaan : Pegawai Negerii Sipil Jabatan : Kepala Program Kerja

  Alamat : Kompleks Villa Buanna, Jl Jeruk No 6, Lampasi Engking, Kec Darul Imarah, Aceh Besar

  Teta Usaha BPCB Aceh

  1. Nama : Dra. Dahlia, MA Umur : 51 tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Jabatan : Kepala Subbagian

  Barang Milik Negara . BPCB Banda Aceh.

  Lamlagang Kecamatan Banda Raya Kota Banda Aceh.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah

Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 114-125