PERKEMBANGAN ETNIS ACEH DI KOTA TAKENGON TAHUN 1950-2015 Arizka Amanda

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 1 - 12

  1

  2

  3 Arizka Amanda , Anwar Yoesoef , Nurasiah

  Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala

  

Email:arizkaamanda94@gmail.com

  anwar.unsyiah.ac.id nurasiah.sjh@gmail.com

  

ABSTRACT

This study raised the issue of ethnic arrival of Acehnese as well as their existence until today in

the city of Takengon. This study aims to describe the history of arrival as well as social

interaction Acehnese with other ethnic groups located in the city of Takengon. Methods and

approaches used in this study the historical method with qualitative approach.The data

collection is done in three ways, namely informant interviews, documentation in the archives of

the Central Bureau of Statistics, as well as field observations to various locations with

Acehnese.The results of data analysis showed that the arrival of Acehnese to Takengon is

closely connected with the culture as well as their desire to migrate to improve their quality of

life.The influx of ethnic Aceh in Takengon occurred in several periods (1) of the pre-

independence that started since the kingdom, (2) the time of independence in 1945, (3) the

post-independence period from 1945 until today.Nevertheless the peak of their arrival more

common in the 1960s when it began trading on the many activities the city of Takengon. The

number of ethnic Aceh in Takengon was ranked third after the ethnic Gayo and Javanese, so if

they included categorized as ethnic minorities. Their field of work is quite varied ranging from

traders, self-employed to PNS. The number of their involvement in the economic sector made

them an important role in the economy in the city of Takengon. So they are widely spread in

some areas of Central Aceh, especially in urban areas. Acehnese interaction with the locals

are good. This is evident by the lack of cross-ethnic conflicts that occurred in the city of

Takengon.

  Keywords: Acehnese, Takengon Town,Development.

  

ABSTRAK

  Penelitian ini mengangkat masalah tentang kedatangan etnis Aceh serta eksistensi mereka hingga pada saat ini di Kota Takengon. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan sejarah kedatangan serta interaksi sosial etnis Aceh dengan etnis-etnis lain yang terdapat di Kota Takengon. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode sejarah dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu wawancara 1 dengan informan, dokumentasi pada arsip Badan Pusat Statistik, serta observasi lapangan ke 2 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah. 3 Dosen Pembimbing I.

  Dosen Pembimbing II.

  

1 berbagai lokasi yang terdapat etnis Aceh. Informan dalam penelitian ini meliputi Ketua Organisasi Masyarakat Aceh Pesisir (KMAP), orang-orang tua yang sudah cukup lama menetap di daerah tersebut, serta beberapa informan yang terdiri dari berbagai profesi pekerjaan. Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa kedatangan etnis Aceh ke Kota Takengon sangat erat hubungannya dengan budaya merantau serta adanya keinginan untuk memperbaiki taraf hidup. Masuknya etnis Aceh di Kota Takengon terjadi dalam beberapa periode (1) masa pra kemerdekaan yang dimulai sejak masa kerajaan, (2) masa kemerdekaan pada tahun 1945, (3) masa pasca kemerdekaan dari tahun 1945 hingga pada saat ini. Kendati demikian puncak kedatangan mereka banyak terjadi pada tahun 1960-an ketika mulai banyaknya aktifitas perdagangan di Kota Takengon. Jumlah etnis Aceh di Kota Takengon berada diurutan ketiga setelah etnis Gayo dan etnis Jawa. Sehingga jika dikategorikan mereka termasuk sebagai etnis minoritas. Bidang pekerjaan mereka cukup bervariatif mulai dari pedagang, wiraswasta hingga PNS. Banyaknya keterlibatan mereka di sektor ekonomi membuat mereka memiliki peranan penting dalam perekonomian di Kota Takengon. Sehingga mereka banyak tersebar di beberapa daerah Aceh Tengah terutama di perkotaan. Interaksi etnis Aceh dengan penduduk setempat terjalin dengan baik. Hal tersebut terlihat dengan minimnya konflik lintas etnis yang terjadi di Kota Takengon.

  Kata kunci: Etnis Aceh, Kota Takengon, Perkembangan.

  ==================================================================

  PENDAHULUAN Latar Belakang

  Dalam kehidupan sosial, masalah kependudukan senantiasa menjadi persoalan yang tidak terlepas dari masyarakat. Hal ini terjadi hampir di setiap negara, baik di negara industri maupun negara agraris. Salah satu problema kependudukan yang sangat menarik dewasa ini, ialah perpindahan penduduk dari kota kecil ke kota besar atau dari desa ke kota yang disebabkan oleh beberapa masalah yang muncul di dalam masyarakat.

  Permasalahan tersebut muncul dikarenakan minimnya kesempatan bekerja di area pertanian sawah. Mulai dari luas areal sawah yang terbatas hingga harga panen dari hasil pertanian yang dianggap kurang menguntungkan petani, menimbulkan problema dalam bidang kesempatan kerja. Hal ini membuat sebagian penduduk mencari pekerjaan di bidang lain, seperti menjadi pedagang, tukang, atau buruh, dan merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan, baik yang bersifat musiman maupun yang menetap (Mahmud, dkk, 1982: 45).

  Di Indonesia, sebagai negara agraris sekaligus sebagai negara yang sedang berkembang, masalah kependudukan tidak terlepas dari masalah pembangunan di segala bidang khususnya ekonomi. Dari sekian banyak etnis yang ada di Aceh khususnya di Kota Takengon akan dapat ditemukan pula sekelompok etnis Aceh yang merantau ke kota tersebut untuk mencari berbagai profesi pekerjaan baik sebagai petani, pedagang, buruh ataupun sebagai pegawai negeri. Akan tetapi mayoritas profesi pekerjaan merekaadalah sebagai pedagang dan memegang peranan penting dalam perekonomian di Kota Takengon pada saat ini.

  Kedatangan mereka dipengaruhi oleh tradisi merantau. Konsep merantau pada etnis Aceh tersebut tergantung dengan tujuan perantauannya seperti jak

  maniaga (pergi berniaga) dan jak seumuga

  (pergi bertanam), dan jak meudagang (pergi menuntut ilmu). Dalam istilah lain merantau juga dikenal dengan sebutan

  bungka . Dari ketiga faktor tersebut dapat

  disimpulkan bahwa perantauan mereka lebih disebabkan oleh faktor ekonomi (Mahmud, dkk,1982:36).

  Bagi semua etnis Aceh, sasaran kota yang dituju untuk merantau adalah kota-kota yang sudah maju dan jaraknya tidak terlalu jauh dari kampung halaman, sehingga pekerjaan yang dipilih juga sesuai dengan situasi perkotaan. Mereka banyak terkonsentrasi di pusat perkotaan seperti di Jln. Lintang, Pasar Inpres, dan Balee Atu dengan berbagai profesi pekerjaan sebagai pedagang dengan membuka usaha dari yang besar seperti toko emas, toko bangunan, toko elektronik, toko pakaian, hingga yang kecil seperti warung nasi/kopi, tukang jahit dan tempat bercukur (Ahmad Sahur, 1976:10).

  Berdasarkan data yang diperoleh dari situs resmi Badan Pusat Statistik (BPS), pada sensus penduduk terakhir yang dilaksanakan tahun 2010-2011, Etnis Aceh di Kota Takengon berada diurutan ketiga setelah etnis Gayo dan etnis Jawa. Hal ini menunjukkan jika etnis Aceh termasuk dalam kategori etnis minoritas. Agar dapat mempertahankan eksistensinya di Kota Takengon, etnis Aceh membentuk sebuah organisasi yang dapat menghimpun mereka (Fahmi: 2014: 13).

  Di Kota Takengon yang merupakan ibukota Aceh Tengah, komunitas etnis Aceh baru terbentuk pada awal tahun 1950-an.Hal ini dikarenakan sebelum tahun tersebut jumlah merekarelatif sedikit dan tempat tinggalnya pun terpencar-pencar serta tidak berkelompok. Akan tetapi ketika para pedagang yang mayoritas berasal dari Aceh Pidie mulai mendatangi kota tersebut, disertai dengan terbentuknya organisasi Kesejahteraan

  Masyarakat Aceh Pesisir (KMAP) pada tahun 1965 yang berorientasi pada perekonomian dan kesejahteraan bagi etnis Aceh yang telah lama menetap di Kota Takengon.

  Berkat organisasi ini interaksi etnisAceh dengan penduduk asli terjalin dengan sangat baik mereka bisa hidup membaur dengan penduduk setempat, hal ini tercermin dengan terjadinya perkawinan dengan penduduk asli.

  Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah:(1) Apa yang melatarbelakangi kedatangan etnis Aceh ke Kota Takengon tahun 1950- 2015?; (2) Dalam bidang apa sajakah pekerjan etnis Aceh yang ditemui di Kota Takengon 1950-2015?; dan (3) Bagaimanakah interaksi etnis Aceh dengan etnis lainnya di Kota Takengon?

  Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan permasalan diatas, maka penelitian ini bertujuan:Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi kedatangan etnis Aceh ke Kota Takengon tahun 1950-2015. Untuk mengetahui bidang-bidang pekerjan etnis Aceh yang ditemui di Kota Takengon 1950-2015?Dan untuk mengetahui interaksi etnis Aceh dengan etnis lainnya di Kota Takengon?

  Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut; Manfaat teoritis: adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah khazanah ilmu dan dapat menjadi suatu pengetahuan untuk menambah wawasan kepada pembaca tentang perkembangan dan kehidupan etnis Aceh di Kota Takengon. Manfaat praktis: adapun manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan kepada penulis yang juga tertarik untuk mengkaji suatu permasalahan yang serupa.

  METODE PENELITAN Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Metode yang sesuai untuk dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah kritisdengan pendekatan kualitatif. Metode sejarah adalah proses mengkaji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Menurut Kuntowijoyo(1999:89) penelitian sejarah dibagi dalam lima tahap, yaitu: (1) Pemilihan topik; (2) Heuristik atau pengumpulan sumber; (3) Verifikasi atau kritik sumber (kritik eksternal, kritik intern); (4) Interprestasi atau penafsiran; dan (5) Historiografi atau penulisan.

  Sedangkan pendekatan kualitatif yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005: 6).

  Lokasi dan Waktu Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan di Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah. Fokus dari penelitian ini adalah di beberapa titik tempat mereka hidup berbaur dengan etnis-etnis lainnya.

  Waktu penelitian telah dimulai dari awal pengajuan proposal yaitu bulan Januari 2016 sampai dengan Desember 2016.

  Teknik Pengumpulan Data

  Adapun proses Adapun proses pengumpulan data di dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu: Wawancara; teknik ini dilakukan dengan mewawancarai beberapa narasumber yang dianggap dapat memberi banyak informasi terhadap eksistensi etnis Aceh di Kota Takengon mulai dari kedatanganya hingga pada saat ini. Teknik wawancara yang digunakan adalah snowball sampling. Teknik snowball sampling yaitu teknik mengumpulkan data yang dimulai dari satu nara sumber dan semakin lama semakin banyak. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperoleh variasi sebanyak- banyaknya yang hanya dapat dicapai apabila pemilihan sampel dilakukan jika satuannya sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis (Lexy J. Moleong, 2005: 224).dalam penelitian ini akan melibatkan beberapa informan yang terdiri dari lebih dari 10 orang informan yang mencakup:Golongan pedagang, yang mencakup toko emas, toko bangunan, toko pakaian, kelontong, warung kopi, dan warung nasi.Golongan pegawai, mencakup PNS maupun pegawai swasta. dengan jenis pekerjaaan yang berbeda seperti pekerja kantor.Golongan Petani, tukang pangkas, tukang bangunan, tukang bengkel dan tukang jahit. Ketua Organisasi KMAP dan pengurus organisasi tersebut.

  Dokumentasi; teknik ini dilakukan dengan proses analispada sumber-sumber tertulis yang terkait dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini, menggunakan beberapa dokumen-dokumen, seperti dokumen dari Organisasi KMAP,dan data- data dari kantor statistik Observasi; teknik ini dilakukan dengan proses pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, pengamatan yang dilakukan oleh penulis tentu saja hanya terbatas pada kehidupan sosial dan ekonomi mereka sejak mereka sampai ke Kota Takengon.

  Teknik Analisis Data

  Untuk lebih jelas peta Kabupaten Aceh Tengah dapat kita lihat pada gambar di bawah ini: (1) Sebelah utara berbatasan dengan

  Demografi Penduduk Kota Takengon

  Letaknya yang berada tepat di tengah-tengah dalam peta Provinsi Aceh, Kota Takengon sangat memungkinkan akses jalan menuju ke beberapa kabupaten lainnya di Provinsi Aceh. Danau Laut Tawar juga menjadikan daerah ini memiliki karakteristik tersendiri yang membuat Kabupaten Aceh Tengah mudah dikenal. Dengan adanya danau tersebut, kegiatan perikanan sangat memiliki peluang untuk dikembangkan di kabupaten ini (BPS, 2011: 14).

  (4) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya dan Pidie.

  (3) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues, Aceh Barat dan Nagan Raya

  Kabupaten Aceh Timur dan Gayo Lues

  Kabupaten Bener Meriah, Bireuen dan Pidie (2) Sebelah timur berbatasan dengan

   20’25” BT.

  Setelah data diperoleh dari ketiga teknik pengumpulan data di atas, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data melalui tahap-tahap yang berkaitan dengan metode sejarah kritis. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan kritik terhadap sumber yang didapatkan. Dari hasil wawancara dengan informan- informan yang telah ditentukan, cara melakukan kritik adalah dengan membandingkan semua hasilnya dan memilih data yang paling otentik dan relevan.

  97

   15’40”-

  , yang terletak pada 4  10’ 33”-5  57’50” LU dan 95

  2

  Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten di provinsi Aceh, yang lebih dikenal dengan sebutan Tanoh Gayo, karena populasi penduduknya paling besar merupakan suku Gayo, memiliki luas wilayah 4.318,39 km

  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

  Langkah berikutnya adalah mulai melakukan penafsiran atas data yang telah dipilih. Caranya adalah dengan menggabungkan semua data yang diperoleh untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian agar menjadi logis dan berpadu.Setelah itu, baru dilakukan penjelasan yang mana dibutuhkan kejelian agar fakta yang disampaikan oleh penulis sesuai dengan fenomena yang terjadi di lapangan.

  Kota Takengon didiami oleh beberapa etnis yang terpencar dan membaur satu sama lain. Mereka berdomisili di beberapa daerah, baik di perkotaan maupun di perkampungan. Etnis yang paling dominan di daerah ini yaitu etnis Gayo. Adapun yang membuat daerah ini memilik beragam etnis dikarenakan masuknya etnis-etnis pendatang dari berbagai kota- kota lain. Jika dipersentasekan, jumlah etnis Gayo di Aceh Tengah ada 60%, Jawa 30%, Aceh 5%, dan selebihnya adalah etnis pendatang lain seperti Tionghoa, Minangkabau, Sunda, Batak, dan Karo yang totalnya mencapai 5% (Fahmi, 2014:11).

  Masyarakat di Aceh Tengah cenderung suka memilih tempat tinggal pada tempat- tempat tertentu. Hal ini disebabkan karena keadaan geografis daerah, seperti topografi tanah yang bergunung-gunung, hutan, serta adanya beberapa daerah yang tanahnya kurang subur bagi pertanian.. kebanyakan etnis pendatang seperti etnis Aceh, Padang, dan Cina, berprofesi sebagai pedagang sehingga mereka banyak mendiami daerah perkotaan demi melibatkan diri di bidang ekonomi.

  Sejarah Kota Takengon

  Kabupaten Aceh Tengah baru dikukuhkan pada tahun 1956 berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1956. Kendati demikian, Aceh Tengah telah eksis terlebih dahulu pada era sejak zaman kolonial Belanda (1904-1942). Pada waktu itu Aceh Tengah termasuk ke dalam Onder

  Afdeeling Nordkus Aceh dengan Sigli

  sebagai ibukota. Kabupaten ini juga menjadi saksi kekejaman kolonial Belanda karena banyaknya rakyat yang dibunuh oleh para tentara pimpinan Van Heutsz di Kute Reh.

  Kabupaten Aceh Tengah mengalami pemekaran sebanyak dua kali yang disebabkan oleh beberapa masalah. Masalah tersebut seperti luas wilayahnya, sulitnya sarana transportasi serta untuk mempercepat laju pembangunan maka pemerintah mengambil kebijakan dalam suatu pemekaran wilayah. Pemekaran yang pertama terjadi ditandai dengan berdirinya Kabupaten Aceh Tenggara yang mencakup Gayo Lues dan Kutacane. Kabupaten tersebut secara resmi berdiri pada tanggal

  26 Juni 1974. Pemekaran yang kedua terjadi pada tahun 7 Januari 2004 ketika Kabupaten Bener Meriah resmi menjadi Kabupaten sendiri setelah sebelumnya masuk ke dalam Kabupaten Aceh Tengah (BPS, 2011: 16)

  Proses Kedatangan Etnis Aceh serta Interaksi Sosialnya di Kota Takengon

  Arus kedatangan etnis Aceh di Kota Takengon memiliki pola yang beragam sesuai dengan situasi pada masa itu. Awalnya etnis Aceh telah mendatangi Kota Takengon jauh sebelum kemeredekaan. Namun migrasi besar- besaran baru terjadi pasca kemerdekaan. Masalah paling utama yang menyebabkan hal tersebut yakni adanya kesulitan ekonomi yang dialami oleh sebagian masyarakat seperti lahan pertanian yang terbatas, minimnya pekerjaan yang tersedia serta sulitnya mencari pekerjaan di luar sektor pertanian.

  Kedatangan etnis Aceh sangat dipengaruhi oleh adanya kepentingan bisnis terutama perdagangan. Selain itu kedatangan mereka juga disebabkan oleh adanya keinginan untuk memperbaiki taraf hidup yang lebih baik. Hal ini juga dipicu karena daerah Takengon memiliki daya tarik tersendiri yaitu memiliki tanah yang subur. Masyarakat di Kota Takengon pada umumnya lebih banyak berprofesi sebagai petani, sehingga meskipun pada umumnya etnis Aceh yang datang ke Kota Takengon merupakan pedagang, terdapat juga etnis Aceh yang berprofesi sebagai petani. mereka pada umumnya banyak tinggal di daerah pedesaan dan baik bekerja untuk orang Gayo maupun pada lahan sendiri di perkebunan kopi (Muzakir Muhamad, 3 Oktober 2016). Jika diperiodesasikan, kedatangan etnis Aceh dapat diklasifikasikan ke dalam 3 rentang waktu, yaitu:

  a. Masa pra-kemerdekaan. Pada masa ini etnis Aceh sudah meninggalkan kampung halamannya. Hal ini dapat kita telusuri dalam Hikayat Rantoe. Selain itu ketika terjadinya invasi Belanda pada tahun 1904 Sultan Muhammad Daudsyah juga sempat bersembunyi di kampung Toweren Takengon demi menghindar dari kecamuk konflik.

  b. Masa Kemerdekaan. Pada masa ini banyak orang Aceh yang melarikan diri ke Takengon. Salah satunya adalah tokoh penting Aceh yaitu Teuku Nyak Arief yang juga wafat di kota tersebut pada tahun 1946.

  c. Masa Pasca Kemerdekaan. Pada masa ini Kota Takengon semakin ramai didatangi oleh para pendatang. Selain etnis Aceh dan Jawa yang telah lebih dahulu menetap, Kota Takengon juga kembali didatangi etnis pendatang lainnya seperti etnis Minangkabau, Tionghoa, Batak dan lain sebagainya.

  Kedatangan etnis Aceh ke Kota Takengon juga membuat perubahan tatanan sosial di daerah tersebut. Etnis Gayo yang notabenenya adalah suku asli banyak yang menyingkir dari daerah perkotaan. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menjual atau menyewa ruko, tanah-tanah mereka dan berpindah ke pedesaan. Hal ini terlihat dengan perubahan yang terjadi di Jalan Lintang yang terletak di perkotaan Takengon.

  Daerah ini dahulunya adalah lahan persawahan yang sering ditanami padi, namun sekarang telah berubah dengan menjadi daerah yang banyak ditemui dengan ruko dan pertokoan (Wawancara: Mansyur, 2 Oktober 2016)

  Pada umumnya dalam sektor pekerjaan, etnis Aceh yang mendatangi ke Kota Takengon yaitu untuk kepentingan bisnis sehingga mayoritas pekerjaan mereka adalah sebagai pedagang. Pada penghujung tahun 1950-an Kota Takengon marak didatangi oleh etnis Aceh yang terdiri dari para muge (toke), dan penjual tembakau (Wawancara: Dahrul Kamal, 29 September 2016).

  Selain sebagai pedagang terdapat juga etnis Aceh yang tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai petani baik milik sendiri maupun milik penduduk setempat. Akan tetapi jumlah etnis Aceh yang berprofesi sebagai petani juga relatif sedikit dan banyak terpencar di beberapa daerah. Mereka banyak bekerja untuk orang Gayo di perkebunan kopi yakni di daerah Angkup, Lukup Sabun, Pondok dan beberapa daerah yang terdapat lahan pertanian lainnya. Pada kisaran tahun 1970-an Kota Takengon mulai banyak terjadi aktifitas perdagangan terutama di daerah perkotaan. Akan tetapi karena adanya perbedaan etos kerja, di sektor perdagangan lebih didominasi oleh etnis pendatang khususnya etnis Aceh.

  Etnis Aceh yang berasal dari Pidie adalah yang paling dominan meliputi segala sektor usaha pekerjaan. Hal tersebut dipengaruhi oleh pemilik dalam suatu usaha karena adanya kecenderungan bagi seorang pemilik usaha untuk menjadikan kerabatnya sebagai pekerja di tokonya. Kecenderungan tersebut terus terjadi sampai saat ini dan membuat jumlah mereka bertambah dan mudah ditemui di perkotaan. Kendatipun demikian juga terdapat etnis Aceh yang merantau hanya bersifat musiman dan tidak menetap untuk waktu yang lama di Kota Takengon.

  Sektor pekerjaan etnis Aceh semakin berkembang pada tahun 1980 Pada periode ini di daerah perkotaan bisnis perniagaan juga mulai ditemukan. Hal tersebut juga memicu etnis lain untuk mendatangi Kota Takengon, seperti etnis Tionghoa dan Minangkabau yang juga menekuni bisnis tersebut. Adapun yang menjalankan usaha ini cukup banyak yang mendapatkan keuntungan dan kesejahteraan hidup, sehingga karena keuntungan yang diperoleh tersebut membuat mereka enggan kembali ke daerah asal. Meningkatnya taraf hidup yang dialami etnis Aceh di daerah rantau memutuskan untuk tetap tinggal dan beranak cucu di Kota Takengon. Sementara itu mereka hanya pulang ke kampung halaman hanya ketika adanya hari-hari besar Islam (Wawancara: Hasballah A. Ghani: 30 Oktober 2016).

  Meskipun mayoritas pekerjaan etnis Aceh merupakan pedagang, akan tetapi pada permulaan tahun 1990 terdapatjuga etnis Aceh yang bekerja sebagai PNS dan pekerja kantoran lainnya yang merupakan. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah Lhokseumawe, Langsa, dan Aceh Besar. Oleh karena itu sektor pekerjaan etnis Aceh memiliki pola tersendiri. Mereka mendatangi kota Takengon dikarenakan tuntutan pekerjaan dan ikatan dinas.

  Pasca Tsunami di Kota Takengon semakin banyak didatangi para pendatang. Terdapat banyak etnis Aceh yang memulai usahanya di daerah ini terutama toko pakaian. Hal itu dimulai ketika dibangunnya ruko-ruko di Jalan Lintang yang dulunya banyak ditanami padi.

  Walaupun di lokasi tersebut juga terdapat etnis Minangkabau dan Tionghoa yang juga berdagang, akan tetapi jumlah etnis Aceh yang berdagang lebih banyak daripada kedua etnis tersebut.

  Puncak dari keberagaman profesi etnis Aceh ada pada kisaran tahun 1990- an. Pada masa ini terjadi pergeseran pada sektor pekerjaan mereka. Hal ini dapat terlihat dari maraknya etnis Aceh yang menjadi PNS. Keadaan yang demikian terus berlangsung hingga saat ini. Ada beberapa etnis Aceh yang pernah memiliki jabatan tinggi dalam birokrasi Aceh Tengah, T. Alaidinsyah, Nyak Abbas, dan Firmandez (Wawancara: Muzakir Muhamad, 3 Oktober 2016).

  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selain mengalami pergeseran profesi, etnis Aceh di Kota Takengon juga banyak yang mempertahankan profesi lama sehingga terdapat sektor pekerjaan yang bervariasi. Di samping itu, dengan masuknya para pendatang yang baru mulai bermigrasi di sekitar tahun 2000-an, usaha pertokoan dan bisnis yang dijalankan oleh etnis Aceh juga semakin berkembang pesat.

  Keberagaman etnis di Kota Takengon tidak terlepas karena sikap reseptif yang dimiliki oleh penduduk asli yakni etnis Gayo. Sikap tersebut membuat para pendatang merasa betah tinggal dan enggan kembali ke daerah asal. Misalnya etnis Jawa yang telah mendiami daerah pedesaan Takengon sejak masa kolonial Belanda. Mereka hingga kini masih dapat ditemui di daerah pedesaan terutama pada perkebunan kopi. Sementara itu perekonomian di daerah perkotaan lebih banyak didominasi oleh etnis pendatang terutama para pedagang. Hal-hal sedemikian menunjukkan penduduk setempat sangat terbuka terhadap pendatang.

  Pada umumnya etnis Aceh yang mendatangi Kota Takengon cukup mudah beradaptasi dan beriterakasi dengan penduduk setempat. Hal ini terlihat dengan terbentuknya organisasi yang menghimpun etnis Aceh seiring dengan bertambahnya jumlah mereka. Selain itu mereka juga termasuk ke dalam kategori etnis minoritas, tentunya membuat mereka harus memiliki persatuan untuk mepertahankan eksistensinya di kota tersebut. Hal tersebut terwujud ke dalam sebuah paguyuban yang bernama Persatuan Masyarakat Aceh (PERSMA) pada tahun 1953, akan tetapi paguyuban tersebut berevolusi menjadi organisasi yaitu Kesejahteraan Masyarakat Aceh Pesisir (KMAP) pada tanggal 30 Oktober 1960. Organisasi ini bergerak di bidang keagamaan dan sosial. Di samping itu organisasi ini juga sebagai wadah musyawarah dan untuk memudahkan mereka berinteraksi dengan penduduk setempat.

  Pada masa DOM kedua yang terjadi pada tahun 2003 sangat berpengaruh terhadap interaksi sosial etnis di daerah Aceh Tengah. Dampak yang ditimbulkan oleh hal tersebut yakni, adanya stereotip yang negatif terhadap etnis Aceh terutama di daerah pedesaan. Sehingga pada periode ini interaksi etnis Aceh dengan penduduk setempat terhambat. Bahkan di beberapa kasus terdapat etnis Aceh yang hilang dan tidak tahu akan keberadaannya. Hal ini tentunya berdampak pada timbulnya prasangka yang negatif terhadap kehidupan bermasyarakat di Aceh Tengah.

  Sedangkan di perkotaan interaksi sosial tidak terhambat oleh hal apapun.

  Bahkan di perkotaan jumlah penduduk terus bertambah seiring dengan masuknya para pendatang dari berbagai wilayah Aceh. Adanya kesamaan di antara para pendatang yang notabenenya mendatangi Kota Takengon adalah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sehingga mereka benar-benar menjaga kerukunan masyarakat untuk menghindari timbulnya konflik (Wawancara: Muzakir Muhamad, 3 Oktober 2016).

  Akan tetapi pasca tsunami interaksi etnis Aceh dengan penduduk setempat terjalin dengan baik kembali. Hal itu terjadi seiring mulai banyaknya pembangunan di pusat-pusat perkotaan. Pembangunan tersebut khususnya pada bidang perekonomian, dimana banyak sekali pertokoan yang dibangun pada lahan yang sebelumnya dijadikan area persawahan. Selain itu pada akhir tahun 2006, di Terminal Lama terdapat etnis Aceh yang menjual kuliner malam yang mana juga turut membuat ramai perkotaan di Takengon.

  Kota Takengon dewasa ini dianggap sebagai kota yang memiliki pluralisme etnis. Dalam berinteraksi terhadap sesamanya etnis Aceh masih tetap menggunakan bahasanya sendiri yaitu bahasa Aceh. Lama atau tidaknya mereka tinggal di Kota Takengon turut mempengaruhi mereka dalam menguasai bahasa Gayo. Oleh karena itu pada saat ini sudah banyak sekali etnis Aceh yang menguasai bahasa Gayo. Penguasaan bahasa penduduk asli ini juga mempermudah mereka dalam berinteraksi. Sementara itu interaksi etnis Aceh dengan etnis Minangkabau, dan Tionghoa, terjalin cukup baik. Hal itu dikarenakan kesamaan mereka dalam hal pekerjaan yaitu mayoritasnya adalah pedagang, Sehingga pola tempat tinggal mereka juga relatif sama, Berdasarkan profesi pekerjaan tersebut mereka cenderung bertempat tinggal di perkotaan. Sampai saat ini kerukunan bermasyarakat terjalin dengan baik serta tidak adanya hambatan dalam berinteraksi sosial di antara keberagaman etnis di Kota Takengon. Oleh karena itu tidak heran jika Kota Takengon dianggap memiliki pluralisme etnis yang tinggi.

  KESIMPULAN

  Latar belakang kedatangan etnis Aceh ke Kota Takengon disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor kebudayaan. Faktor ekonomi merupakan pemicu utama dalam hal kedatangan mereka. Hal tersebut dikarenakan adanya kesenjangan dalam hal lapangan kerja. Di beberapa wilayah Aceh banyak penduduk sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga bagi sebagian masyarakat ke luar dari daerahnya untuk mencari pola penghidupan yang lebih baik. Faktor kebudayaan yaitu budaya merantau turut memiliki andil dalam berpindahnya etnis Aceh ke Kota Takengon. Budaya merantau ini sudah cukup melekat pada beberapa sub-etnik Aceh terutama bagi sub-etnik asal Pidie. Selain itu faktor pekerjaan juga menjadi penyebab kedatangan beberapa etnis Aceh di Kota Takengon. Hal tersebut seperti karena ikatan dinas dan gangguan keamanan.

  Sektor pekerjaan etnis Aceh di Kota Takengon sangat bervariatif. Pekerjaan mereka yang paling dominan adalah wiraswasta. Hal ini sudah dimulai sejak kedatangan mereka secara besar-besaran yakni ketika banyaknya aktifitas perdagangan di Kota Takengon pada kisaran tahun 1960-an. Etnis Aceh Pidie adalah yang paling banyak menggeluti pekerjaan sebagai pedagang. Sementara itu pada sektor pekerjaan etnis Aceh memiliki pola tersendiri berdasarkan daerah asalnya. Misalnya etnis Aceh yang berasal dari Bireuen dan Matang lebih banyak berprofesi sebagai penjual aneka kuliner.

  Sementara itu etnis Aceh yang berasal dari Aceh Besar, Lhokseumawe, dan Langsa lebih banyak sebagai bekerja di perkantoran. Selain itu terdapat etnis Aceh yang berprofesi sebagai kuli bangunan, kuli panggul, dan petani yang banyak di daerah pedesaan.

  Interaksi etnis Aceh dengan etnis lainnya terjalin dengan baik tanpa adanya konflik lintas etnis. Selain itu dengan adanya organisasi KMAP yang menaungi dan menghimpun mereka, juga memiliki peran yang sangat penting dalam memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat. Hubungan baik yang terjalin tersebut juga terlihat dengan adanya ikatan perkawinan. Sehingga dapat dikatakan Kota Takengon sebagai kota yang memiliki pluralisme etnis dan toleransi yang tinggi.

  Berdasarkan kesimpulan dari hasil analisis data penelitian di atas,maka penulis merekomendasikan beberapa saran berikut:

  Kepada Pemerintah Aceh Tengah diharapkan dapat lebih memerhatikan etnis minoritas agar tidak terjadi pergeseran nilai budaya antar etnis. Selain itu, diharapkan juga agar tidak ada perbedaan perhatian yang diberikan terhadap suatu etnis. Hal tersebut misalnya dalam hal memberikan bantuan kepada masyarakat di daerah Aceh Tengah yang harus diberikan secara merata. Beragamnya etnis yang mendiami Kota Takengon juga merupakan kewajiban pemerintah untuk mencegah dan menghindari terjadinya proses sosial DAFTAR PUSTAKA yang bersifat negatif. Buku Bagi masyarakat khususnya etnis-

  Tim Penyusun, 2011. Aceh Tengah etnis yang terdapat di daerah Aceh Tengah

  Dalam Angka. Aceh Tengah: BPS.

  agar benar-benar menjaga kerukunan. Bagi etnis asli diharapkan dapat menerima Fahmi, Chairul. 2014. Pemetaan Konflik kehadiran etnis pendatang, sedangkan bagi

  Sosial di Kabupaten Aceh Tengah .

  Banda Aceh: Dinas Provinsi Aceh. etnis pendatang harus menjaga nilai-nilai

  Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi luhur baik pada masyarakat setempat

  Penelitian Kualitatif . Bandung:

  maupun budaya mereka sendiri di Aceh Remaja Rosdakarya. Tengah. Selain itu masyarakat Aceh

  Sahur, Ahmad. 1976. Merantau Bagi Tengah juga jangan mudah terintimidasi

  Orang Pidie. Banda Aceh: Pusat oleh hal-hal yang mengarah pada SARA.

  Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sehingga kerukunan bermasyarakat ini Sosial. terus terjaga untuk waktu yang sangat

  Daftar Informan lama.

  Kepada pihak civitas akademika

  1. Nama : Muzakir Muhamad Universitas Syiah Kuala, khususnya

  Umur : 47 mahasiswa dan dosen FKIP Sejarah, Jabatan : Ketua Organisasi KMAP Pekerjaan : Wiraswasta diharapkan dapat melakukan studi penelitian yang berkaitan dengan kajian

  2. Nama : Mansyur interaksi, agar peristiwa penting yang Umur : 52 belum pernah diungkapkan dapat muncul Pekerjaan : Wiraswasta ke permukaan sebagai bahan dan informasi tambahan yang dapat menambah wawasan

  3. Nama : Hasballah A. Ghani dalam meneliti kehidupan sosial Umur : 65 Pekerjaan : Wiraswasta masyarakat di daerah tertentu.

  Penelitian ini belum komprehensif,

  4. Nama : Dahrul Kamal sebab hanya menekankan pada sejarah Pekerjaan : Wiraswasta kedatangan, sektor pekerjaan, serta Umur : 30 interaksi sosial dan perkembanganmasyarakat yang lebih terfokus pada perkembangan etnis Aceh di Kota Takengon saja. Sedangkan di Kota Takengon masih banyak fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan eksistensi etnis lain. Sehingga bagi yang berminat meneliti permasalahan serupa, diharapkan dapat mengkaji ranah yang lebih luas dan kompleks agar data dan fakta yang diperoleh dapat melebihi ekspektasi semua pihak yang bersangkutan.