PERKEMBANGAN GERAKAN JUBAH PUTEH DI ACEH TAHUN 1987-1999 Cut Ade Maudalena

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  

PERKEMBANGAN GERAKAN JUBAH PUTEH DI ACEH

TAHUN 1987-1999

  1

  2

  3 Cut Ade Maudalena , Teuku Abdullah , Zainal Abidin

  Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Syiah Kuala

  Email: mauzalena95@gmail.com, abdul@unsyiah.ac.id, zainalabidin.sjr@fkip.unsyiah.ac.id

  

ABSTRAK

  Penelitian ini mengangkat masalah tentang bagaimana perkembangan gerakan Jubah Puteh di Aceh dan apa pengaruh gerakan Jubah Puteh terhadap masyarakat Aceh tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan perkembangan gerakan Jubah Puteh dan pengaruh gerakan Jubah Puteh tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan empat cara, yakni dengan cara pengamatan (observasi), studi kepustakaan, studi dokumen, dan wawancara (interview). Metode yang digunakan adalah metode sejarah dan pendekatan kualitatif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa gerakan Jubah Puteh hanya berkembang di sekitar tahun 1987 dan setelah itu gerakan Jubah Puteh kurang berkembang namun masih ada sampai saat ini. Disamping itu, ada beberapa pengaruh gerakan Jubah Puteh terhadap masyarakat Aceh seperti larangan membuka warung saat siang hari pada bulan Ramadhan masih bisa dilihat dan dirasakan sampai saat ini.

  Kata Kunci : Gerakan Jubah Puteh, Perkembangan.

  

ABSTRACT

The research is about the movement of Jubah Puteh in Aceh and the influence of Jubah

Puteh movement to Aceh society. The purpose of study is to study the Jubah Puteh

movement ant it influence. The data is collected by four steps, observation, library

research, document research and interview. The method of research is used history method

and qualitative method. The result of analysis is the Jubah Puteh movement just blooming

about 1987 and after that the Jubah Puteh movement slow down until today. Beside, there

are influence of Jubah Puteh to Aceh society as the forbioden to open restaurant on

ramadhan and that influence still have until today.

  Key words: History, Jubah Puteh.

  1 2 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah. 3 Dosen Pembimbing Pertama.

  Dosen Pembimbing Kedua.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  PENDAHULUAN

  Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah. Aceh juga merupakan salah satu daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam di Aceh terus berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan karena Islam dan Aceh merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Aceh.Namun dalam perkembangannya terdapat satu masa yang berawal dari dampak negatif yang diperlihatkan oleh perusahaan- perusahaaan transnasional seperti Liquefied Natural Gas (LNG) Arun dan Mobil Oil di Lhoksemawe, yang menyebabkan kesenjangan ekonomi semakin lebar di Aceh dan keuntungan yang diperoleh tidak membawa kemakmuran bagi masyarakat luas. Kegelisahan terhadap efek negatif pembangunan inilah yang menggerakkan kelompok Jubah Puteh untuk melancarkan protes-protes terbuka, mereka melaksanakan dakwah turun kejalan. Kesenjangan ini merupakan satu dari sejumlah ketimpangan yang diprotes kelompok Teungku Bantaqiah (Zamzami, 2001:19).

  Teungku Bantaqiah adalah seorang ulama yang teguh dalam berpendirian. Ia pernah menolak bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia cabang Aceh. Tidak jarang ia jadi sasaran fitnah mereka yang berseberangan paham dengannya. Tidak mengherankan jika internalisasi ajaran agama yang kuat dalamdiri Teungku Bantaqiah memunculkan spirit untuk memerangi berbagai hal yang tidak sesuai dengan agama. Spirit amar makruf nahi mungkar (mengajak kepada kebenaran, mencegah kejahatan) Teungku Bantaqiah dimanifestasikan dalam aksi protes turun kejalan menentang kemaksiatan. Aksi itu dinamakan Gerakan Jubah Puteh yang dilakukan di dua tempat. Pertama, aksi protes yang dikenal dengan Gerakan Jubah Puteh di Sigli, Pidie.Kedua, Gerakan Jubah Hitam di Meulaboh, Aceh Barat. Disebut Jubah Hitam karena jubah yang digunakan oleh pengikut Teungku Bantaqiah didominasi warna hitam. (Rahmany, 2001:16)

  Gerakan ini dibentuk pada tanggal

  15 Mei 1987 bertepatan dengan 17 Ramadhan 1408 H. Adapun pasukan gerakan ini berasal dari santri-santri atau pengikut-pengikut Teungku Bantaqiah. Aksi Gerakan Jubah Puteh yang turun di Pidie tepatnya di Mesjid Po Teumeureuhom pada pukul 05.00 WIB dipimpin oleh Teungku Iskandar, sedangkan aksi Gerakan Jubah Hitam yang turun di Meulaboh tepatnya di Mesjid Kuta Padang dipimpin oleh Sabirin. Namun gerakan Jubah Hitam sudah tidak ada lagi sejak Sabirin meninggal dan gerakan yang dipimpin oleh Teungku Iskandar masih ada hingga saat ini.

  Hal yang menarik dalam gerakan ini adalah pada saat mereka melakukan aksi gerakan turun kejalan. Dalam proses ini mereka menggunakan atribut berupa pakaian Jubah putih, hitam, merah, dan kuning serta beberapa senjata tajam, seperti pedang bersilang, tombak, bendera berwarna merah hijau yang berlambang bulan bintang dan juga kitab suci Al-qur’an. Bentuk aksi ini serupa

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19 dengan referendum atau kampanye.

  Meskipun dalam perkembangan modernisasi seperti saat ini, dimana pemikiran masyarakat terus berkembangan ke arah globalisasi, namun gerakan ini tetap berkembang hingga saat ini. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Perkembangan Gerakan Jubah Puteh di Aceh Tahun 1987-1999”.

  Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6) Jenis penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu (Nawawi, 2005:78). Penelitian sejarah mempunyai lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi

  (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) penulisan (Kuntowijo, 1999:89).

  Sumber Data

  Menurut Lofland yang dikutip kembali oleh Moleong (2007:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah berupa sumber tertulis (buku, dokument, dll) dan sumber nontertulis (hasil wawancara dan observasi).

METODE PENELITIAN

  Lokasi dan Waktu Penelitian

  Penelitian ini akan dilaksanakan sejak penulis membuat proposal dari bulan April 2016 dan akan diperkirakan selesai pada bulan Desember 2016. Penelitian ini dilakukan di Beutong Ateuh, Meulaboh, serta Sigli.

  Objek penelitian merupakan sesuatu hal yang akan diteliti dengan mendapatkan data untuk tujuan tertentu dan kemudian dapat ditarik kesimpulan. Yang menjadi objek dalam penelitian ini ialah anggota Jubah Puteh.

  Teknik Pengumpulan Data

  Ada beberapa teknik pengumpulan data yang akan penulis lakukan, yaitu :

  Pengamatan (Observasi)

  Pengamatan (observasi) langsung diperlukan untuk membantu dalam mengumpulkan data di lapangan, sangat diharapkan dari observasi ini akan lebih mendukung dalam memberikan

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  gambaran isi secara rinci daerah yang akan diteliti dan juga sebagai pusat dokumuentasi di akhir laporan penelitian. Observasi ini juga semakin lengkap dengan adanya foto-foto yang didapatkan selama berada dilapangan.

  Wawancara (Interview)

  Salah satu alat pengumpulan data dengan cara mewawancarai seseorang dengan percakapan langsung dan tatap muka. Dalam hal ini penulis akan terlebih dahulu menghubungi informan untuk meminta waktu dan tempat melakukan wawancara. Agar hasil wawancara terekam dengan baik penulis akan menggunakan alat wawancara seperti buku catatan, dan tipe recorder atau alat perekam. Adapun langkah-langkah wawancara yaitu : a. Mencatat hasil wawancara dengan responden b. Mengumpulkan hasil wawancara dari semua responden c. Mengklasifikasikan data dan menafsirkan data yang telah diperoleh.

  d. Menarik kesimpulan

  Dokumentasi

  Penulis akan mengumpulkan data berupa dokumen dan arsip yang terdapat di Dayah Babul Mukaramah, Desa Blang Meurandeh Beutong Ateuh.

  Studi Kepustakaan

  Kegiatan studi pustaka juga tidak dapat dipisahkan dalam mengadakan suatu penelitian. Kegiatan yang akan penulis lakukan untuk mendapatkan referensi bacaan yang mempunyai relevansi dengan objek penelitian. Tujuan dari teknik ini adalah untuk mengumpulkan sumber-sumber data tertulis dari berbagai literatur.

  HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

  Beutong Ateuh adalah sebuah kecamatan pemekaran baru yang terletak di lembah yang sangat subur Gunung Singgah Mata, dengan ketinggian 2000 m diatas pemukaan laut, diapit oleh Gunung Tangga (2500 m dpl) dan Gunung Abong-Abong (2985 m dpl) yang berada dalam gugusan pengunungan Bukit Barisan. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa: Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babah Suak. Kondisi medan yang berat menyebabkan kawasan ini baru bisa dicapai dalam waktu tiga jam, padahal Beutong Ateuh hanya terpisah 39 kilometer dari Beutong Bawah (Zamzami, 2001:11).

  Saat ini penduduk Beutong Ateuh mencapai 1.826 jiwa atau 845 kepala keluarga, meliputi penduduk Desa Blang Meurandeh 320 jiwa (68 kk) Kuta Teungoh 390 jiwa (91 kk), Blang Puuk 546 jiwa (116 kk) dan Babah Suak 570 jiwa (360 kk). (Wawancara: Samsuar, 17 September 2016).

  Teungku Bantaqiah

  Teungku Bantaqiah lahir pada tanggal 20 Agustus 1948 di Desa Ulee Jalan, Keude Seumot, Kecamatan Beutong, Nagan Raya. Teungku Bantaqiah berasal dari keluarga ulama di Beutong, Ayahnya dikenal sebagai Teungku Ukom, sebutan Teungku Ukom kiranya berkenaan dengan jabatannya

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  sebagai pakar hukum islam atau sebagai kadi pada masa kerajaan Seunagan. Kakeknya adalah Teungku Syaikhuna Muhammad Asyiek adalah seorang wali atau Teungku yang memiliki karamah. Masyarakat Beutong menganggap Teungku Syaikhuna Muhammad memiliki karamah kewalian.

  Teungku Asyiek menurut masyarakat setempat sering mengikuti ritual rapa’i dengan sejumlah orang berjubah putih pada tengah malam jum’at hingga subuh di belantara hutan Beutong. Gelar Syaikhuna itu sendiri menjelaskan bahwa Teungku Asyiek bertarekat Rifai’iyyah. Teungku Bantaqiah dibesarkan dikeluarga yang sangat religius, hingga ia sendiri mampu mendirikan Dayah atau Pesantren yang diberi nama Babul Mukarramah, sebagimana tradisi leluhurnya dalam menyebarkan agama Islam (Ishak, 2003:69)

  Teungku Bantaqiah dikenal sebagai figur yang kontroversial dan memiliki perjalanan hidup yang unik. Masa mudanya yang dijalani di Beutong Bawah pernah diwarnai kegiatan yang bersifat negatif, namun akhirnya ia menemukan kesadaran untuk kembali kepada ajaran agama. Sejak itu, Teungku Bantaqiah belajar ke sejumlah pesantren. Teungku Bantaqiah melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu agama ke berbagai tempat di Aceh, seperti Aceh Tengah, Pidie, Aceh Timur. Setelah itu, Teungku Bantaqiah juga pergi berkhalwat (kaluet), di belantara Beutong. Teungku Bantaqiah memiliki keterampilan dalam hal pengajaran agama dan karamah. Pendidikan formal

  Teungku Bantaqiah hanya sampai kelas 3 Madrasah Ibtidaiyyah. Meskipun demikian Masyarakat percaya dari tarekat Rifa’iyyah Teungku Bantaqiah mendapat warisan kesaktian, terutama perihal kekebalan sebagaimana yang biasa dimiliki oleh para pemain rapa’i dabus.

  Salah satu ulama yang pernah dikunjunginya dalam menimba ilmu agama adalah Teungku Keude dari Menasah Dayah, Nagan Raya. Teungku Keude adalah ulama yang sudah mencapai taraf kasyaf . Pengajaran keagamaannya sangat sederhana, yakni menekankan cara membaca Al-Qur’an, Bismillah, dan surat Al-Fatihah.

  Dayah Babul Mukarramah

  Dayah Babul Mukarramah terletak di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh. Dayah Babul Mukarramah berdiri sekitar tahun 1980 dan di dirikan oleh Teungku Bantaqiah. Dayah (pesantren) ini di dirikan khusus untuk mendalami ilmu tauhid dan tasawuf.

  Kegiatan di Dayah Babul Mukarramah mengajarkan Al-Quran untuk orang dewasa dan anak-anak, serta memberikan bimbingan spritual bagi yang membutuhkan dan seperti dayah umumnya juga mengajarkan kitab Ihya

  Ulumuddin, Kasyful Ashraf, dan Tafsir Almanar . Bentuk-bentuk praktek ke

  agamaan di dayah ini di antaranya menyelenggarakan tradisi puasa 7,14,40 dan 44 hari, mengajurkan banyak zikir (meurateb), membaca atau mendengangkan suluk selama tujuh malam, serta kalu’et.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  Latar belakang lahirnya gerakan Jubah Puteh

  Aksi protes yang digerakkan oleh ulama yang berdasarkan pada dorongan kesalehan sebenarnya lazim terjadi di Aceh. Bahkan apa yang terjadi pada masa kini bisa merupakan rentetan dari aksi protes sejak dahulu sehingga menjadi sebuah tradisi dan identitas diri dalam kaitannya dengan upaya pengontrolan moralitas sosial yang merupakan bagian dari perlawanan dan kelangsungan peradaban. Aksi protes yang dilakukan oleh para santri Teungku Bantaqiah yang kemudian dikenal dengan sebutan gerakan Jubah Puteh terjadi karena kepentingan-kepentingan duniawi mulai mendominasi kehidupan orang Aceh pada umumnya.

  Fenomena Jubah Puteh berawal dari dampak negatif yang diperlihatkan oleh perusahaan perusahaan transnasional seperti Liquefied Natural Gas (LNG) Arun dan Mobil Oil di Lhokseumawe, menyebabkan kesenjangan ekonomi semakin lebar di Aceh dan keuntungan yang diperoleh tidak membawa kemakmuran bagi masyarakat luas. Kegelisahan terhadap efek negatif pembangunan inilah yang menggerakkan kelompok Jubah Puteh untuk melancarkan protes-protes terbuka, mereka melaksanakan dakwah turun kejalan, gerakan protes ini dimaksudkan untuk memurnikan kembali akhlak masyarakat yang dianggap telah tercemar dan menyeleweng (Zamzami, 2001:19).

  Kronologi Kejadian

  Gerakan protes Jubah Puteh berlansung di Kota Sigli, Pidie dan di kota Meulaboh, Aceh Barat secara bersamaan pada 17 Ramadhan 1408 H bertepatan dengan tanggal 15 Mei 1987.

  Sehari sebelum aksi, anggota gerakan Jubah Puteh berkumpul di rumah Teungku Abu Bakar di Busu, Pidie, selanjutnya gerakan Jubah Puteh di Sigli berangkat dari dari mesjid Poe Teumeuruhom, Mutiara. setelah shalat subuh, kelompok ini dipimpin oleh Teuku Iskandar bersama 30 orang santri menuju kota sigli, dengan rute Lampoh Saka, Cale dan selanjutnya ke Sigli. Sambil menyerukan zikir dan bertakbir dan berhenti di depan kantor Kodim Pidie (Wawancara: Teuku Iskandar,

  26 September 2016). Para anggota gerakan protes ini menggunakan pakaian jubah berwarna kuning untuk pemimpin, merah untuk pengawal dan dominan warna putih untuk para anggota serta memakai surban, mereka membawa senjata tajam, antara lian: pedang (11 bilah) tombak (4 buah) parang panjang (10 bilah), rencong (10 bilah) pisau (12 bilah) yang diseratai dengan pengibaran 2 buah bendera sebagai identitas gerakan. Bendera tersebut berwarna merah dan hijau dengan gambar bulan bintang, kitab alquran dan pedang bersilang. Sebelum menyerahkan diri, mereka sempat melewati hadangan dan tembakan peringatan dari aparat keamanan (Wawancara: Teuku Iskandar,

  26 September 2016). Di Meulaboh, para anggota gerakan yang melakukan aksi protes berkumpul di Mesjid Kuta Padang yang berjarak 1 km dari pusat kota Meulaboh, setelah shalat Shubuh mereka bergerak

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  dipimpin oleh Sabirin, mereka memakai jubah berwarna hitam dan merah serta membawa senjata berupa pedang dan bendera atau panji-panji yang berhubungan dengan gerakan.Menurut Teuku Iskandar, gerakan protes ini adalah untuk memperingati kebangkitan Islam sedunia yang bertepatan dengan momentum 17 Ramadhan dan hari Nuzulul Alquran.

  Seluruh anggota gerakan Jubah Puteh ditahan dan sebagian diadili di peradilan Sigli dengan dakwaan melanggar UU darurat yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

  Adapun anggota yang diadili di peradilan Sigli adalah Teuku Iskandar bin Ahmad (25 th), Muhammad Taher bin Yaneh (27 th), Munir bin Ismail (27), dan Ismail bin Ahmad (26 th), sedangkan anggota yang disidangkan di Meulaboh adalah Sabirin, Jafar, Utoh Syarif, Hasbi Daud dan Buyung Teungku Basyah.

  Akhir Gerakan Protes Jubah Puteh

  Sejak

  10 September 1987, dilangsungkan sidang meraton di pengadilan Negeri Sigli dan Meulaboh untuk mengadili anggota gerakan Jubah Puteh. Di Meulaboh yang menjadi terdakwa adalah Jakfar Utoh Syarif, Hasbi Daud, dan Buyung Teungku Basyah. Sedangkan di Pengadilan Negeri Sigli sebagai terdakwa adalah Teuku Iskandar bin Ahmad, Muhammad Taher bin Yaneh, Munir bin Ismail dan Ismail bin Ahmad.

  Anggota kelompok ini dituduh atas dua dakwaan. Dakwaan pertama melanggar pasal 2 ayat 1 UU No. 12 Drt/1951 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.

  Sedangkan dakwaan kedua: Primair melanggar pasal 169 (1) jopasal 55 (1) ke-1 KUHP: subsidair melanggar pasal 170 (1) jo pasal 53 KUHP: lebih subsidair melanggar pasal 156a (1) jo 55 (1) ke -1 KUHP. Lebih-lebih subsidair lagi, khusus terdakwa 1, Teuku Iskandar bin Ahmad, melanggar pasal 160 jo pasal 55 (1) ke-1 KUHP (Rahmany, 2001:17).

  Teuku Iskandar bin Ahmad tidak menerima keputusan pengadilan negeri Sigli dan mengajukan banding ke pengadilan Tinggi negeri Banda Aceh. Pada tanggal 22 Januari 1988. Dalam keputusan tingkat banding di Pengadilan Negeri Tinggi Banda Aceh, akhirnya anggota kelompok Jubah Puteh hanya dinyatakan terbukti bersalah karena bersama-sama membawa senjata tajam tanpa hak, dan masa hukuman penjara berkurang menjadi 1,5 tahun untuk Teuku Iskandar Bin Ahmad. Akan tetapi Pimpinan Jubah Puteh tetap tidak menerima keputusan tersebut dan mengajukan banding ke Mahkamah Agung di Jakarta karena bersikeras tidak bersalah dan tidak melanggar hukum.

  Akhirnya pada tanggal

  20 Februari 1988 Mahkamah Agung menyatakan Teuku Iskandar bin Ahmad tidak bersalah dan bebas dari hukum.

  Dampak Gerakan Jubah Puteh terhadap Dayah Babul Mukarramah

  Setelah insiden aksi protes Jubah Puteh, pimpinan dayah Babul Mukarramah Teungku Bantaqiah terus diburu oleh aparat keamanan karena dianggap sebagai aktor intelektual dibalik aksi protes. Sementara Teungku

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  Bantaqiah bersembunyi dibelantara hutan Beutong Ateuh, aktivitas keagamaan didayah terus berjalan dan jumlah santrinya terus bertambah. Perburuan tersebut tidak kunjung berhasil, lantaran Teungku Bantaqiah mampu bersembunyi dari pengejaran aparat. Sejak saat itulah stigmasi bahwa pengikut Teungku Bantaqiah dianggap sesat, makin gencar dilakukan dan dipropagandakan oleh Pakem kejaksaan dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) Aceh yang diketuai oleh Prof. Ali Hasjmy.

  Menurut Prof. Ali Hasjmy pelarangan ajaran Teungku Bantaqiah karena mengajarkan aliran kebathinan, dengan bentuk-bentuk mengutamakan senam, dalam fatwa yang bernomor 05/II tanggal 22 Januari 1984 itu berbunyi, ajaran Teungku Bantaqiah bertentangan dan merusak Aqidah Islam (Ishak, 2003:68).

  Jubah Puteh dan Kembalinya Teungku Bantaqiah

  Untuk menyelesaikan masalah fitnah terhadap ajaran Teungku Bantaqiah, Teuku Iskandar bin Ahmad selaku pimpinan Jubah Puteh menemui Zainal Abidin selaku pembantu Gubernur Aceh wilayah barat selatan dan komandan Kodim 0105 Aceh Barat letkol M. Ishak, guna meminta bantuan untuk memediasi pertemuan antara pemerintah dengan Teungku Bantaqiah. Pada tanggal 11 Desember 1989, Tengku Bantaqiyah turun dari Beutong Ateuh untuk bertemu dengan komandan Kodim 0105 Aceh Barat letkol M. Ishak di lokasi transmigrasi Krueng Tadu, 34 KM dari Meulaboh, pertemuan tersebut dilangsungkan di rumah Teungku Amirul

  Mukminin (Teungku Aceh) dan Teuku Iskandar bin Ahmad Sebagai Mediator yang telah menghubugi Teungku Bantaqiah sebelumnya.

  Pada saat itu, Teungku Bantaqiah menyatakan bahwa ia tak pernah berniat memusuhi negara Indonesia, dan ia sangat kecewa terhadap fatwa MUI Aceh yang menyatakan ajarannya adalah sesat. Hal ini pula yang menyebabkan para muridnya terkucilkan dari masyarakat. Pada tanggal

  29 Agusstus 1990 pemerintah Aceh Barat mengundang Ali Hasjmy selaku ketua MUI Aceh dan Ahmad Daudy selaku rektor IAIN Banda Aceh untuk melakukan pertemuan dengan Teungku Bantaqiah, untuk menyelesaikan masalah Beutong Ateuh dan fatwa aliran Teugku Bantaqiah.

  Dalam pertemuan tersebut Ali Hasjmy meyatakan banhwa Ajaran Teungku Bantaqiah sama dengan ajaran kita, dia shalat, kita juga shalat dan mengucap kalimah syahadah yang sama. Dan meminta maaf atas kesalahan fatwa yang telah dilakukan oleh MUI Aceh.

  Akhir perjalanan hidup Teungku Bantaqiah

  Beutong Ateuh memang kerap kali menjadi berita, setelah kasus Teungku Bantaqiah dengan Jubah Puteh pada akhir tahun 1987, giliran kebun ganja yang menjadi berita di Beutong Ateuh.

  Kasus Jubah Puteh memang sempat menghebohkan Aceh pada tahun 1987 lalu. Pada saat itu Teungku Bantaqiah nyaris ditangkap karena dianggap Teungku Bantaqiah

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  menyebarkan aliran sesat. Namun Teungku Bantaqiah tidak memperdulikan apa yang terjadi saat itu, kegiatan pengajianpun terus berlangsung. Hanya saja jubah Puteh tidak lagi memasuki kota.

  Pada tanggal 21 Mei 1999 Teungku Bantaqiah kembali ke Beutong Ateuh setelah sebelumnya singgah ke Aceh Timur dan Bireun. Namun ketenangan hidupnya di pedalaman Beutong Ateuh selepas dari penjara, ternyata tidak dapat dinikmati lama.

  Meskipun setelah pembebasannya Teungku Bantaqiah bertekad akan menjauhi politik dan hanya melakukan aktivitas keagamaan, Teungku Bantaqiah kembali dikaitkan dengan ganja dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh aparat keamanan. Hal itu pula yang dijadikan untuk melakukan pembantaian massal terhadap Teungku Bantaqiah beserta pengikutnya pada Jum’at, 23 Juli 1999.

  KESIMPULAN

  Latar belakang terbentuknya gerakan Jubah Puteh disebabkan karena terjadinya kepentingan-kepentingan duniawi yang mulai merambah kehidupan orang Aceh. Fenomena Jubah Puteh terjadi berawal dari dampak negatif yang diperlihatkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang menyebabkan kemakmuran masyarakat luasmenurun. Kegelisahan terhadap efek negative tersebutlah yang menggerakan kelompok Jubah Puteh dibentuk untuk melancarkan protes-protes terbuka dengan cara melakukan dakwah turun kejalan .5.1.2.

DAFTAR PUSTAKA

  Gerakan Jubah Puteh kurang berkembang setelah meninggalnya Teungku Bantaqiah. Tetapi sebelum meninggalnya Teungku Bantaqiah pada tahun 1999, Gerakan Jubah Puteh cukup berkembang di kalangan masyarakat Aceh pada saat gerakan ini melakukan asksinya dengan cara turun ke jalan untuk memberantas kemaksiatan di muka bumi Aceh. Namun Gerakan Jubah Puteh pada tahun 1999 mulai bungkam dan sempat dibekukan. Gerakan Jubah Puteh memiliki pengaruh terhadap masyarakat luas, seperti larangan berjualan makanan dan membuka warung di siang hari pada saat Bulan Ramadhan sampai saat ini masih diterapkan oleh masyarakat luas dengan menutup tempat penjualan makanan dan warung di siang hari pada bulan Ramadhan. Namun gerakan Jubah Puteh juga menimbulkan bermacam tafsiran menurut kepentingan masing- masing pihak. Mulai dari tasfsiran politik, tafsiran budaya oleh para ilmuan-ilmuan social hingga tafsiran agama yang difatwakan.

  Kuntowijoyo (1999). Pengantar Ilmu

  Sejarah . Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

  Nawawi, Hadari (2005). Metode Penelitian Bidang Sosial .

  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Maleong, Laxy (2006). Metodologi

  Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda Karya.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 2, Nomor 1, Januari 2017, hlm. 10-19

  Rahmany, Dyah (2001). Matinya

  Bantaqiyah: Menguak Tragedi

  Jakarta: Beutong Ateuh. Lembaga Study Pers dan Pembangunan dan kordova.

  Ishak, Otto Syamsuddin (2003). Sang Amatir Teungku Bantaqiah.

  Jakarta Timur: Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi (YAPPIKA).

  Zamzami, Ambran. (2001). Tragedi anak

  bangsa: Pembantaian Tengku Bantaqiyah dan Santri- santrinya. Jakarta: Bina Rena Pariwara. https://tambeh.wordpress.com/2012/04/1 4/mengapa-propinsi-aceh-digelar- daerah-istimewa/