1 KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Oleh: Rasyidin Muhammad Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN-Malikussaleh Lhokseumawe- Aceh ABSTRAK - View of KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

  

KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

Oleh: Rasyidin Muhammad

Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN-Malikussaleh

Lhokseumawe- Aceh

   ABSTRAK

  Tulisan ini mencoba mengkaji fenomena pemikiran umat islam kontemporer. Umat yang ketika zaman keemasannya, dipenuhi dengan para pemikir agung dan brilian, ribuan karya monumental lahir pada saat itu. Bukan karya sebarangan, tapi karya yang mampu mengubah peradaban. Namun, seiring perjalanan waktu, zaman kemasan islam meredup. Umat yang dulu sangat kreatif dan produktif, berangsur- angsur menjadi jumud. Penulis berusaha menganalisa kenapa hal ini bisa menimpa umat islam? Apa yang salah dengan umat ini? Sebagai kesimpulan, penulis mendapatkan bahwa krisis yang dialami umat islam diakibatkan pola pikir atau mindset umat islam yang bermasalah. Pendidikan yang diharap bisa menjadi solusi, masih belum mampu menjawab harapan umat.

  Key word: Krisis, Kreatifitas

  Mukaddimah

  Al- Qur’an meyebut umat Islam sebagai ةمأ ريخ (ummat terbaik) dan اطسو ةمأ yang menjadi saksi kepada seluruh manusia. Hal ini tersurat dengan jelas dalam surat Ali-

  ‘Imran: 110 dan al-Baqarah: 142; akan tetapi keadaan dan realitas umat saat ini jauh dari deskripsi yang diberikan al- Qur’an tersebut; dunia dan masyarakat Islam hari ini jatuh terpuruk dalam krisis akut multidimensi. Salah satu krisis paling akut adalah krisis pemikiran dan kreatifitas. Umat islam hari ini tidak lagi seproduktif pendahulanya. Di masa lalu, umat islam pernah merajai jagat keilmuan. Salah satu bukti sejarah kemajuan islam adalah tingginya produktivitas dan kreatifitas ulama islam dalam menghasilkan berbagai macam karya, seperti buku. Bahkan banyak di kalangan muslim, seorang ilmuwan menghasilkan ratusan judul buku dalam berbagai bidang disiplin ilmu.

  Sebagai contoh, Ibnu Sina, orang barat memanggilnya dengan nama Aveciena merupakan ahli terkemuka di bidang kedokteran. Ia menghasilkan karya tidak kurang dari 267 buku. Bahkan magnum opusnya al-Qanun fi ath-Thibb, menjadi rujukan penting di banyak universitas di Eropa hingga abad 19.

  Lantas ada Ibnu Rusyd yang d ibarat lebih dikenal dengan nama Averous; seorang ulama dari Andalusia yang ahli fikih sekaligus handal di bidang kedokteran. Bukunya menjadi salah satu buku terpenting dalam disiplin ilmu kedokteran.

  al-Kulliyat

  Lalu ada az-Zahrawi, ilmuwan pertama yang berhasil melakukan pembedahan organ tubuh manusia. Hasil karyanya yang berupa ensiklopedia pembedahan menjadi referensi penting dalam dunia kedokteran. Berbagai universitas barat menggunakan karyanya tersebut sebagai rujukan hingga ratusan tahun.

  Selanjutnya ada az-Zarkalli, pakar astronomi yang pertama kali menemukan astrolobe. Dengan adanya penemuan ini sangat membantu dalam bidang navigasi laut. Hal ini mendorong berkembangnya dunia pelayaran secara cepat dan pesat. Para pelayar tidak perlu khawatir lagi tersesat di tengah lautan.

  Kemudian ada Muhammad bin musa al-khawarizmi, pakar matematika yang menemukan angka nol, ia juga merupakan penemu salah satu cabang ilmu matematika, algoritma. Buku-bukunya yang berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Selama lebih kurang 400 tahun karya-karyanya dijadikan referensi penting oleh berbagai kampus di Eropa. Lalu ada Jabir ibn Hayyan, pakar kimia. Pada abad pertengahan, karya-karyanya di bidang kimia seperti kitab al-kimya da kitab as-

  sab’in diterjemahkan ke dalam bahasa latin untuk selanjutnya dijadikan buku referensi penting di barat.

  Kemudian ada al-Idrisi, ahli geografi. Ia berhasil membuat bola dunia pertama dari bahan dasar perak dengan berat 400 kilogram untuk raja Roger II dari Sicilia. Kelebihan Globe karya al-Idrisi, ia tidak hanya memuat benua-benua saja, tetapi memuat juga rute perdagangannya, danau-danau, sungai-sungai,kota besar, dataran, serta pegunungan. Ia juga menuliskan beberapa informasi tentang jarak, panjang, dan ketinggian suatu tempat secara tepat. Yang perlu dicatat juga, al-Idrisi juga orang pertama yang menggunakan dan memperkenalkan metode proyeksi dalam pemetaan. Metode ini baru berkembang di barat 4 abad kemudian. Lalu ada Nashiruddin ath-Thusi; pakar ilmu astronomi dan perbintangan. Kemudian ada Ibnu al-Haytsam; pakar ilmu alam dan ilmu pasti. Ia mengarang buku berjudul al-Manazhir yang berisi tentang ilmu optik. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Frederick Reysnar, dan diterbitkan di Swiss pada tahun 1572 dengan judul,Opticae Thesaurus .

  Selanjutnya ada al-Kindi, filosof muslim pertama. Ia adalah master dalam ilmu fisika dan filsafat. Ia menulis sekitar 256 judul buku. Lima belas buku di antaranya khusus mengenai meteorologi, anemologi, udara (iklim), kelautan, mata, dan cahaya; dan dua buah buku mengenai musik.

  Selanjutnya ada Ibnu khaldun, pakar sejarah dan ilmu sosial. Buku Mukaddimah, menjadi karya monumentalnya, yang sampai sekarang masih dibaca dan dikaji di setiap pojok pecinta ilmu. Inovasi dan kreativitas penemu muslim tersebut punya pengaruh yang besar terhadap peradaban barat. Bahkan para orientalis yang netral, mengakui bahwa peradaban barat berhutang budi terhadap islam. peradaban barat dibangun atas jasa-jasa penemu muslim (Robert Briffault, 1919:200). Peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam ya ng menjadi ‘dinamo’- nya, Barat bukanlah apa-apa.Lalu bagaimana dengan produktivitas muslim saat ini?

  Realitas Umat Islam kontemporer

  Dewasa ini, umat islam terjerembab dalam pekatnya krisis. Berbagi macam jenis krisis menerpa umat islam tiada henti-hentinya, diantara krisis tersebut adalah:

  • Krisis Politik Umat islam berada di bawah kekuasaan musuh. Negara imperialis menjajah negara islam dengan mudah, dan menjadikan negara islam tercerai berai. kekuatan imperialisme telah berhasil memecah belah Dunia Islam menjadi lebih dari 50 negara nasional. Batas-batas negara yang dibuat semunya oleh para imperialis ibarat bom waktu yang sengaja ditinggal yang setiap saat menjadi penyebab pertikaian di antara negara-negara Islam. Ini masih diperparah dengan kondisi dalam negeri tiap-tiap negara yang mengalami perpecahan antara satu golongan dengan golongan lainnya. Bahkan saat ini, dalam satu negara yang sama pun terjadi perpecahan, dengan adanya perbedaan kelas dan suku (IIIT,2003:25).
  • Krisis Ekonomi
Penjajahan negara imperialis terhadap umat islam menjadikan umat islam lemah di bidang ekonomi. Hal ini menjadikan umat islam terpaksa mengikuti penjajah dan mengimpor barang kebutuhan dari mereka. Produksi yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan pokok tidaklah seimbang dengan permintaan yang ada. Hal ini memaksa negara-negara Islam untuk menambal kekurangan tersebut dengan cara mengimpor barang-barang jadi dari negara-negara imperialis. Dan karena barang- barang tersebut mencakup kebutuhan utama (makanan, pakaian, sumber energi dan peralatan), maka saat ini, hampir tidak ada satu negara islam pun yang mampu berswasembada dan tidak bergantung kepada barat. Bahkan, sebenarnya setiap negara Islam terancam kelaparan apabila secara tiba-tiba negara-negara imperialis memutuskan hubungan dagang yang tidak seimbang di antara mereka. (IIIT, 2003:27).

  • Krisis Budaya Mayoritas umat islam hidup di bawah pengaruh kebudayaan barat. Mengikuti pola pikir, gaya hidup, dan style barat menjadi kebanggaan generasi muda islam. dengan kenyataan ini, generasi muda islam semakin jauh dari ajaran islam yang sejati. kebodohan dan khurafat yang tersebar di kalangan kaum muslimin

  —sebagai akibat dari abad kemunduran —menjadikan mereka—terutama golongan awam—bersandar pada iman formal dan taklid buta, berpegang teguh pada penafsiran tekstual, dan mengikuti ajaran para penyeru khurafat yang menjadikan mereka tidak mampu menghadapi tantangan dan pengaruh yang datang dari luar. Dan ketika mereka dikejutkan oleh perkembangan dunia modern yang demikian pesat, sebagian di antara mereka berusaha mencari jalan keluar dengan cara mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat. Mereka menyangka bahwa dengan menjiplak sistem yang berhasil diterapkan di Barat, mereka akan dapat menyelamatkan umat ini dari kehancuran. Hanya saja mereka tidak menyadari bahwa penerapan sistem Barat secara paksa

  —baik dengan niat baik maupun buruk —cepat atau lambat justru akan menghancurkan asas-asas agama dan peradaban Islam.

  Inilah kondisi umum yang terjadi di setiap jengkal Dunia Islam. Apabila dulu umat Islam adalah pemimpin dunia, maka saat ini mereka tak lebih dari korban kekejaman dan keganasan umat-umat lain. Dengan kata lain, Hampir seluruh sendi kehidupan umat mengalami krisis: sosial, budaya, politik, ekonomi, moral, pendidikan, bahkan agama. Begitu parahnya kondisi ini sampai- sampai Isma’il Raji al-Faruqi sekitar tiga puluh tahun silam pernah menyatakan bahwa “tidak ada satu bangsa lain pun didunia saat ini yang mengalami kekalahan dan kehinaan seperti yang dialami kaum Muslimin. Umat islam sudah dikalahkan, dibantai, dijajah tanahnya, dirampok hartanya, hidup dan harapannya. Umat islam benar-benar di eksploitasi, dan dipaksa dan disogok untuk meninggalkan agamanya. Mereka disekulerkan, dibaratkan, dan di deislmisasikan oleh musuh baik musuh internal maupun eksternal

  ”a (Isma’il Raji al- Faruqi, 1982:1) Fenomena ini mungkin tidak terlalu berlebihan jika melihat keadaan umat saat ini yang meskipun memiliki sumber daya alam dan manusia yang berlimpah ruah, masih banyak masyarakatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski menghadap ke arah kiblat yang sama, berpegang pada Kitab Suci yang satu, namun umat islam hari ini yang paling banyak terlibat konflik sektarianisme, perang, perpecahan, terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok kecil.

  Melihat kondisi ini, sungguh tidak berlebihan rasanya ketika Abdul Hamid Abu Sulayman (1993:1), mantan rektor Universitas Islam Internasional Malaysia, menyatakan bahwa abad modern adalah tragedi bagi masyarakat Muslim

  “for Muslims, all of modern history is a traged y” . Memasuki pertengahan abad ke-19, hampir tidak ada satu pun dunia Islam yang terlepas dari penjajahan. Tragisnya, para penjajah tersebut bukan hanya merampok dan menguras kekayaan alam umat islam, mereka juga menjajah nilai kehidupan sosial-budaya, politik, ekonomi, dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. Lihatlah bagaimana mereka mengubah sistem peradilan dan pendidikan islam. Sejak sekian lama , Syari’ah Islam telah menjadi manhaj yang mengatur setiap sendi kehidupan sosial, budaya, politik, umat Muslim. Akan tetapi sejak masuknya penjajah ke dunia Islam, sistem ini pun lambat laun terpinggirkan bahkan menjadi asing di tengah masyarakatnya sendiri. Dewasa ini hampir seluruh dunia Islam memakai sistem peradilan Barat termasuk Indonesia. Yang tak kalah pentingnya adalah perubahan yang berlaku dalam sistem pendidikan Islam yang telah termarjinalkan seiring dengan munculnya sistem pendidikan sekuler.

  Pertanyaannya adalah ada apa dan kenapa dengan umat ini? Sebuah pertanyaan yang, penulis yakin, menjadi kegundahan hampir seluruh kalangan yang mempunyai perhatian terhadap umat. Pertanyaan ini pernah diringkas seorang penulis Arab, Syakib Arsalan, dalam judul bukunya yang terkenal مهريغ مدقتو نوملسملا رخأت اذمل? Usaha untuk mencari akar persoalan ini sudah sekian lama dilakukan oleh para aktivis, pendidik, dan kaum cerdik pandai dan pemikir Muslim. Dari sekian banyak jawaban yang diidentifikasi, hampir seluruhnya sepakat bahwa krisis yang dialami umat saat ini tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik, atau teknologi. Artinya umat ini mundur bukan semata karena lemahnya penguasaan sains dan teknologi mereka, atau rendahnya tingkat produksi mereka. Lebih dari itu, umat Islam hari ini dihinggapi krisis intelektualisme, pemikiran, atau penalaran, dalam arti yang luas atau oleh Abu Sulayman disebut dengan

  “ crisis of thought ”. Dengan kata lain, pemikiran

  umat islam telah jumud, tidak lagi kreatif sebagaimana pendahulunya, pola pikir atau

  

mindset umat islam telah jauh dari ajaran islam yang murni (Abdul Hamid Abu

Sulayman, 1995:28).

  Oleh sebab itu, maka keberhasilan apa pun dan dalam bidang apa pun yang dilakukan baik ekonomi, militer, politik, dan lain sebagainya hanya akan bersifat sementara dan tidak akan langgeng selama pola pikir atau mindset masyarakatnya belum diperbaharui (Abdul Hamid Abu Sulayman, 1993:xiv).

  Pemikiran adalah produk dari proses berpikir. Setiap orang yang dikaruniai akal dan panca indera pasti bisa berpikir, meski tidak sedikit orang yang enggan menggunakan karunia ilahi ini untuk berpikir. Kebanyakan cendekiawan Muslim berpendapat bahwa mundur dan runtuhnya kedigdayaan Peradaban Islam bermula ketika virus

  

taqlid mulai merebak dan menyobek independensi intelektual kaum terdidiknya.

  Upaya intelektual yang sebelumnya mendapat tempat dan penghargaan yang tinggi di kalangan masyarakat dan penguasa entah kenapa tiba-tiba kehilangan momentum. Pintu ijtihad tiba-tiba dikatakan tertutup, para cendekiawan pun tidak ada yang tampil ke permukaan dengan gagasan besar seperti pendahulu.

  Kemandekan intelektual ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apa sesungguhnya yang menyebabkan kreatifitas intelektual Islam yang sejak dini bergeliat sedemikian gesit, kok tiba-tiba kehilangan gaungnya.

Faktor politik selalu dijadikan kambing hitam: runtuhnya dinasti ‘Abbasiyah akibat

  serangan bangsa mongol kerap dirujuk sebagai titik awal kejatuhan Peradaban Islam. Pun demikian, menurut hemat penulis, faktor pendidikan memegang peranan penting dalam proses kemunduran ini.

  Tidak bisa pungkiri bahwa pemikiran brilian yang kreatif tidak mungkin lahir dari pribadi yang lemah, ia pasti lahir dari seorang yang memiliki kepribadian yang berkualitas. Dan pribadi berkualitas sudah pasti lahir dari dari pendidikan yang berkualitas juga.

  Kalau kita merujuk sejarah pemikir dan cendekiawan Muslim masa silam, kita melihat kehebatan institusi pendidikan dan guru-guru yang menempa mereka.

Seorang Imam besar bernama Syafi’i tidak serta merta lahir karena kebetulan, ia adalah hasil didikan dari guru-guru tangguh dan berkualitas pada masanya; dia

  adalah murid seorang Imam hadits terkenal pada masa itu bernama Imam Malik. Demikian juga al-Ghazali, dia adalah hasil asuhan cendekiawan terkenal ketika itu Imam al-Haramain al-Juwani. Ibnu Sina tidak mungkin bisa melahirkan karya tulis yang mencapai 450 judul jika dia tidak mendapat pendidikan awal yang paripurna.

  Lihatlah siapa guru yang telah mendidiknya serta lingkungan sekolah yang telah membesarkan, seluruhnya telah memainkan peran dalam pembentukan kepribadiannya. Ibnu Sina) dikatakan telah hafal al-

  Qur’an pada usia 10 tahun seperti juga kebanyakan cendekiawan Muslim yang lain yang sezaman dengannya. Ketika remaja, dia pun telah bergelut dengan Metaphysics nya Aristoteles. Menurut satu riwayat dia telah membaca buku ini sebanyak 40 kali hingga diapun hafal kata perkata dari isi buku tersebut, karena tingginya tingkat kesulitan yang dihadapinya dalam memahami karya ini. Cendekiawan seperti Syafi’i, Ibn Sina, dan Ghazali bisa menjadi tokoh seperti itu tidak terlepas dari sistem pendidikan yang telah mengasuh mereka. Sejak kecil mereka telah disuguhkan kurikulum pendidikan yang hebat; mereka di ajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman dan disiplin ilmu lain sehingga ketika mereka menginjak dewasa mereka sudah memiliki bekal untuk menggali dan mengarungi dalamnya lautan ilmu.

  Jika pemikiran kreatif adalah produk pendidikan, dan pemikiran itu saat ini mengalami kemandekan, maka jelaslah bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Artinya jika ingin menyederhanakan permasalahan umat hari ini, ia tersimpul pada kata pendidikan.

  Hal ini telah banyak ditegaskan oleh para pemikir Muslim. Sebut saja Syed Muhammad Naquib al-Attas (1978:118) yang mengatakan bahwa

  “ The basic

  problem, therefore, is that of education

  • – the lack of proper and adequate Islamic education
  • – for such education, rightly systematized assuredly prevent the occurrence of general confusion leading to aberrations and exces ses in belief and in practice.”

  Pernyataan ini dipertegas oleh Isma’il Raji al-Faruqi (1982:5) bahwa: There can be

  

no doubt that the main locus and core of the Ummah’s malaise is the prevalent

educational system. It is the breeding ground of the disease. It is in schools and

colleges that self-estrangement from Islam and from its legacy and style are

generated and perpetuated .

  Lebih jauh Faruqi menyatakan bahwa selama dunia pendidikan kita belum diperbaiki, maka jangan berharap umat ini bisa akan mencapai kebangkitan yang sesungguhnya.

  

“There can be no hope of a genuine revival of the umma unless the educational

system is revamped and its faults corrected ” (Isma’il Raji al-Faruqi, 1982:8-9)

  Jika pendidikan adalah akar kemandekan dan kemunduran pemkiran Islam, pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan pendidikan kita? Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada sudut pandang dari mana kita melihatnya. Dan menurut hemat penulis diantara sekian banyak persoalan yang melilit pendidikan kita, hilangnya unsur ruhaniyah dan

  ‘ubudiyyah,

  baik dalam diri anak didik maupun pada diri pendidiknya, merupakan salah satu persoalan yang mendasar.

  Dunia pendidikan hari ini dihadapkan dengan pelbagai persoalan: ledakan informasi teknologi, industrialisasi, globalisasi, dan liberalisasi. Di tengah ini semua, dunia pendidikan dituntut untuk bersikap lebih realistik dan pragmatik dalam arti kata bisa memenuhi kebutuhan pasar: mensupply tenaga kerja yang siap pakai. Untuk tujuan ini, tidak sedikit sekolah dan institusi-institusi pendidikan yang banting stir, mengorbankan idealismenya, mengubur cita-cita luhurnya. Karena mereka khawatir jika mereka tidak mengikuti selera pasar, maka mereka harus siap ditinggal para

  “consumer”nya alias berpindah kepada lembaga pendidikan lain yang lebih menjanjikan.

  Hari ini, sekolah atau universitas yang baik dilihat dari tingkat keterserapan alumninya di pasar kerja: semakin banyak alumninya yang diterima bekerja, semakin tinggi rating dan kualitas lembaga pendidikan tersebut, sebaliknya semakin sedikit jebolannya bisa memasuki pasar kerja, semakin rendah pulalah kredibilitasnya. Jadi kualitas sama dengan keterserapan alumninya ke dalam lapangan kerja.

Lebih celaka lagi sesungguhnya adalah jika citra “berkualitas dan berating tinggi” tersebut dicapai dengan menempuh dengan segala cara seperti yang terjadi

  belakangan ini di banyak lembaga pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, hingga universitas. Untuk mengejar target lulus 100% banyak sekolah hari ini yang mengatrol nilai rapot atau hasil ujian sekolah anak didik mereka. Ada juga sekolah yang secara khusus menugaskan tenaga pendidiknya untuk memperbaiki jawaban murid-muridnya. Semua ini dilakukan demi pencitraan bahwa sekolah tersebut berhasil mengantarkan murid-muridnya lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) 100%. Ironisnya keadaan ini berkembang pada saat pemerintah menjadikan pendidikan karakter sebagai landasan filosofis pendidikan. Jika keadaannya seperti yang baru saja dideskripsikan, karakter apa sesungguhnya yang sedang ditanamkan pada para peserta didik tersebut. Bagaimana kita bisa berharap anak memiliki sifat jujur dan tanggung jawab, jika para pendidik dan pengelola sekolah terlibat dengan aksi ketidakjujuran. Maka wajar saja jika kejahatan remaja usia sekolah terus meningkat karena memang lembaga pendidikan tidak lagi berorientasi pada pembinaan akhlak, penguatan moral dan penanaman adab dan iman, tapi pada pencarian selembar kertas yang bernama ijazah. Perlahan tapi pasti, lembaga pendidikan kita hari ini telah beralih fungsi dari pencetak manusia unggulan berkarakter dan berada mulia menjadi pabrik penghasil “barang” bernama manusia. Ringkasnya kebanyakan lembaga pendidikan hari ini cenderung menjadi wadah bisnis, tempat berburu keuntungan dan kekayaan. Jika keadaan guru sudah seperti ini, maka bisa dibayangkan manusia seperti apa yang akan di hasilkannya.

  Kenyataan ini tentu kontras sekali dengan pandangan hidup Islam (Islamic

  

Worldview) dimana tugas pendidik adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang

  memiliki keilmuan yang mumpuni serta beradab sementara tugas peserta didik adalah mencari ilmu. Adab dalam konteks ini bukan hanya berarti moral seperti yang biasa kita pahami dalam bahasa Indonesia. Adab yang dimaksud disini adalah seperti yang dijelaskan oleh S. M. Naquib al-Attas (1978:105) yang berkonotasi ilmu, yaitu:

  

the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and

acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society, and

Community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation

to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials, the recognition

and acknowledgment of the fact that knowledge and being ar e order hierarchically.”

  Ilmu dalam pandangan hidup (worldview ) Islam menempati posisi sentral sampai- sampai Franz Rosenthal (2007:2) berkesimpulan bahwa ilmu adalah Islam itu sendiri (’ilm is Islam), karena menurutnya, “ there is no other concept that has been

  

operative as a determinant of Muslim civilization in all its aspects to the same extent

as ‘ilm .” (tidak ada konsep yang bekerja sebagai penentu Peradaban Islam dalam

  seluruj aspeknya sebagaimana halnya ‘ilm.) Mungkin hanya Islamlah satu-satunya agama yang memberikan apresiasi sedemikian besar terhadap ilmu. Hal ini terlihat dari penghargaan yang diberikan al-

  Qur’an dan Hadits kepada mereka yang menuntut ilmu. Al-

  Qur’an menempatkan kedudukan orang berilmu sebaris dengan orang beriman dan malaikat. Bahkan kemulian Adam as pun tidak terlepas dari keilmuan yang ia miliki yang ia peroleh dari Allah SWT. Para pencari ilmu, disebutkan dalam salah sebuah Hadits, turut didoakan oleh seluruh yang ada di langit dan di bumi; mereka juga dilapangkan jalannya masuk ke surga. Sedemikian utamanya ilmu, al-

  Qur’anpun tetap memerintahkan sekelompok orang untuk tetap bergiat dalam bidang keilmuan meski kondisi darurat perang

  Kesimpulan

  Umat islam di era ini menjadi umat yang terbelakang secara ekonomi, politik, dan sosial budaya. Krisis menerpa umat islam dalam berbagai bidang. Hal ini tidak akan terjadi, seandainya umat islam mengikuti manhaj pendahulunya yang kreatif, penemu berbagai macam teori ilmu dan sains. Tapi sekarang ini, umat islam berhenti dan berpuas diri atas pencapaian pendahulunya. Ajaran al-Quran tidak dijadikan sebagai pedoman. Padahal sangat banyak ayat yang menyuruh umat islam untuk berpikir kreatif dan kritis. Tidak hanya jauh dari al-Quran,secara perlahan-lahan, umat islam juga semakin tercerabut dari identitas keislamannya. Mereka juga kehilangan visi dan gambaran yang jelas tentang sains yang holistik dan pentingnya menguasai sains modern.

  Hilangnya identitas menjadikan umat islam umat yang mudah dijajah baik secara fisik maupun mental. Media-media menggambarkan muslim sebagai sosok yang keras kepala, teroris, terbelakang, dan ketinggalan zaman. Barat memandang hina terhadap peradaban islam, islam dianggap sebagi kasta kedua setelah barat IIIT, 2004:3). Meskipun negara islam mempunyai kekayaan alam yang melimpah, tetapi sebagian besar negara islam hidup dalam bayang bayang krisis, baik krisis ekonomi,politik, maupun sosial budaya. Negara-negara yang tergabung dalam negara islam disebut dengan negara terbelakang.

  Sebagian orang menuduh islam sebagai penyebab kemunduran. Semua kemunduran ini dikarenakan ajaran-ajaran islam yang tidak mampu membawa perubahan. Sebuah tuduhan yang sangat menyesakkan dada. Tetapi, sejarah masa lalu membantah semua tuduhan tersebut. Islam, di zaman kemasannya dipenuhi oleh penemu dan inovator handal. Di bidang matematika, ada Muhammad bin musa al-khawarizmi, al-kurkhi, Umar alkhiyam, dan alkasyi. Di bidang arsitektur , ada tsabit bin qarrah. Di bidang trigonometri, ada Albatani yang mengoreksi kesalahan ptolemy. Di bidang kedokteran, ada Ibnu sina. Di bidang fisika, ada Abu raihan albiruni. Di bidang optik, ada Ibnu al-haytsam. Inovasi dan kreativitas penemu muslim tersebut punya pengaruh yang besar terhadap peradaban barat. Bahkan para orientalis yang netral, mengakui bahwa peradaban barat berhutang budi terhadap islam. peradaban barat dibangun atas jasa-jasa penemu muslim (Robert briffault, 1919:200).

  Fakta di atas menunjukkan bahwa tuduhan islam sebagai penyebab kemunduran terbantahkan dengan sendirinya. Meskipun umat islam hari ini hidup terbelakang, bukan islam penyebabnya. Mindset dan pola pikir umat islam yang menyebabkan umat islam tertinggal di belakang. Agama islam yang begitu sempurna, tidak mungkin menjadi penyebab ketertinggalan. justru sebaliknya, dengan meninggalkan ajaran islam menjadikan umat islam tertinggal.

  Daftar Pustaka

  • ‘Abdul Hāmid Abu Sulaymān, Towards an Islamic heory of International Relations (Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1993)
  • Abdul Hamid Abu Sulayman, A Crisis of Muslim Mind (Virginia: IIIT)
  • Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in

  Medieval Islam (Leiden and Boston: E. J. Brill, 2007)

  • Isma’il Raji al-Faruqi , Islamization of Knowledge: General Principles and

  Workplan (Virginia, Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1402/1982)

  • Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993.
  • S. M. Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC)
  • Robert Briffault , The Making of Humanity,George Allen &Unwin Ltd, 1sted

  1919