PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK SEBAGAI BAHAN (2)
PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK SEBAGAI BAHAN BAKU
PEMBUATAN BIOBUTANOL
LAPORAN TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh gelar Diploma Tiga (D-3)
pada Politeknik Negeri Ujung Pandang
Oleh
KHAIRUNNISA
(331 10 031)
JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG
MAKASSAR
2013
ALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING
HAL
G
khir dengan judul “Pemanfaatan Sampah Or
Laporan Tugas Akhir
Organik Sebagai
embuatan Biobutanol” oleh Khairunnisa,
Bahan Baku Pem
sa, nomor induk
mahasiswa 331 10 031 telah diterima dan disahkan sebagai salahh sa
satu syarat untuk
Diploma III (Tiga) pada Jurusan Teknik Kimia
memperoleh gelar Di
ia Program Studi
eknik Negeri Ujung Pandang.
Teknik Kimia Politekni
Makassar,
r, 24 O
Oktober 2013
Menyetujui,
ii
HALAMAN PENERIMAAN PANITIA UJIAN
Pada hari ini, tanggal 1 November 2013 Panitia Ujian Tugas Akhir menerima
dengan baik Laporan Tugas Akhir dengan judul “Pemanfaatan Sampah
Organik Sebagai Bahan Baku Pembuatan Biobutanol” yang diajukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat ujian guna menyelesaikan studi pada Jurusan
Teknik Kimia Program Studi Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.
iii
ABSTRAK
(Khairunnisa), “Pemanfaatan Sampah Organik Sebagai Bahan Baku
Pembuatan Biobutanol” (Pembimbing: HR.Fajar, S.T., M.Eng dan M. Badai S.T.,
M.T).
Berkaitan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi sebagai
bahan bakar utama, telah diupayakan berbagai cara untuk memanfaatkan sumber
energi lain yang lebih murah serta aman terhadap lingkungan. Bahan baku dari
jenis non pangan menjadi pilihan untuk pengembangan BBN generasi kedua.
Salah satu bahan baku non pangan tersebut adalah sampah organik perkotaan.
Tingginya komposisi sampah organik ini merupakan potensi yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai bahan produksi biobutanol yang diharapkan dapat menjadi
bahan bakar terbarukan sebagai pengganti bensin yang mendukung keberlanjutan
energi di dunia, khususnya Indonesia. Penelitian ini bertujuan membuat
biobutanol dari sampah organik melalui metode hidrolisis asam encer pada
sampah organik, yang dilanjutkan dengan fermentasi.
Pada penelitian ini dilakukan metode hidrolisis asam encer dengan
menggunakan asam sulfat 0,5%. Proses hidrolisis dilakukan untuk mendapatkan
temperatur optimum berdasarkan jumlah gula yang dihasilkan dengan delapan
variabel yaitu 130, 140, 150, 160, 170, 180, 190, dan 1950C. Setelah diperoleh
temperatur optimum, selajutnya kondisi ini dipakai untuk menentukan
perbandingan sampel dengan larutan asam sulfat yang paling optimal dalam
menghasilkan gula. Dalam hal ini, jumlah sampel dibuat tetap yakni 100 gram
dengan penambahan asam sulfat 0,5%, kemudian divariasikan berturut-turut 600,
700, 800, 900 dan 1000 ml. Gula yang dihasilkan dari tahap optimasi ini
difermentasi menggunakan Clostridium Acetobutylicum dengan variasi waktu dari
3, 5, dan 7 hari. Selanjutnya hasil fermentasi dianalisis untuk menentukan kadar
biobutanol yang dihasilkan.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kondisi optimum hidrolisis sampah
organik menjadi gula adalah pada temperatur 1500C dengan kadar gula 4,80 %
dengan perbandingan pereaksi 1 bagian sampah organik dan 7 bagian larutan
asam sulfat 0,5%. Proses selanjutnya adalah fermentasi menggunakan Clostridium
Acetobutylicum dengan waktu fermentasi optimum adalah 7 hari dengan kadar
biobutanol yang dihasilkan sebesar 0.0159%.
iv
ABSTRACT
( Khairunnisa ) , " Utilization of Organic Waste As Raw Material Preparation
Biobutanol " ( Supervisor: HR.Fajar , ST , M. Eng and M. Badai S.T , M.T ) .
Associated with the depletion of oil reserves as the main fuel, has pursued
a variety of ways to utilize other energy sources that are cheaper and safer for the
environment. The raw material of this type of non-food of choice for the
development of second generation biofuels. One of the non-food raw materials are
organic urban waste. The high composition of organic waste is a great potential to
be used for the production of biobutanol which is expected to be a renewable fuel
as a gasoline substitute that support sustainable energy in the world, especially
Indonesia. This study aimed to make biobutanol from organic waste through the
dilute acid hydrolysis method of organic waste, which is followed by
fermentation.
In this research was performed hydrolysis method of dilute acid by using
sulfuric acid of 0.5%. Hydrolysis process was done to obtain the optimum
temperature based on total sugar produced by eight variables, namely 130, 140,
150, 160, 170, 180, 190, and 1950C. After obtaining the optimum temperature of
hydrolysis, then this condition is used to determine the ratio of sample with
sulfuric acid solution which most optimal to produce sugar. In this case the total
sample made is remain, 100 grams with the addition of sulfuric acid of 0.5% and
varied of 600, 700, 800, 900, and 1000 ml respectively. Sugar produced of this
optimization phase is fermented using Clostridium Acetobutylicum yeast with
time variation of 3, 5, and 7 day. Then, the results of fermentation was analyzed to
determine the optimal fermentation time based on biobuthanol level produced.
The result of analysis showed that the optimum conditions of hydrolysis
was at 150°C in temperature with sugar recovery of 4.80 % and with by reagent
comparison 1 part of Waste Organic and 7 parts sulfuric acid solution of 0.5%.
The next process is fermentation by using Clostridium Acetobutylicum yeast with
optimum fermentation time for 7 days with biobuthanol level of 0.0159 % .
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat
dan hidayah yang diberikan selama ini kepada Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan satu tugas berat dalam rangka penyelesaian studi di Politeknik
Negeri Ujung Pandang.
Sebagai manusia biasa, Penulis sangat menyadari bahwa Tugas Akhir
yang sederhana ini masih banyak terdapat kekeliruan dan masih memerlukan
perbaikan secara menyeluruh, hal ini tidak lain disebabkan karena keterbatasan
ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh Penulis dalam menyelesaikan tugas yang
bagi Penulis dirasakan cukup berat, karenanya berbagai masukan dan saran yang
sifatnya membangun sangatlah diharapkan demi sempurnanya Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses awal hingga selesainya Tugas
Akhir ini, banyak sekali pihak yang telah terlibat dan berperan serta untuk
mewujudkan selesainya Tugas Akhir ini, karena itu pada tempatnyalah Penulis
ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada mereka yang secara moril maupun materil telah banyak membantu Penulis
untuk merampungkan Tugas Akhir ini hingga selesai.
Pertama-tama ucapan terima kasih Penulis haturkan secara khusus
kepada orang tua yang Penulis hormati dan cintai ayanda dan ibunda yang telah
membesarkan Penulis dengan penuh kesabaran hingga Penulis dapat berhasil
menyelesaikan studi pada jenjang yang lebih tinggi juga kepada seluruh saudara
Penulis, yang dengan semangatnya selama ini.
vi
Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan terima kasih kepada
Bapak Dr. Firman, M.Si selaku Direktur Politeknik dan Bapak Drs. H. Abdul
Azis, M.T selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia yang selama ini telah membantu
Penulis hingga dapat menyelesaikan studi di Politeknik Negeri Ujung pandang.
Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada kedua
pembimbing Penulis, Bapak HR.Fajar, S.T,. M.Eng selaku Pembimbing I dan
Bapak M. Badai S.T., M.T selaku Pembimbing II yang mana keduanya dengan
penuh kesabaran memberikan bimbingannya dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
Juga
kepada
sahabatku
Irna,
Farah,
Sinar,
Devy,
Nirah
dan
Saudara – saudaraku di UKM KSR, serta partnerku Jumriah, dalam
menyelesaikan penelitian dan laporan ini, yang banyak memberikan semangat
agar cepat selesai dan ikut membantu Penulis mencari data selama penelitian ini
dilakukan, dan orang-orang yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu pada
kesempatan ini, harapan Penulis semoga bantuan yang selama ini diberikan secara
moril maupun materil mendapatkan imbalan amal dari Allah SWT dan semoga
Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Akhirnya, semoga Allah SWT, memberikan perlindungan kepada kita
semua, Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Makassar, 24 Oktober 2013
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
ii
HALAMAN PENERIMAAN ......................................................................
iii
ABSTRAK ...................................................................................................
iv
ABSTRACT.................................................................................................
v
KATA PENGANTAR...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
3
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
3
D. Manfaat Penelitian ..................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
5
A. Sampah ...................................................................................
5
B. Karakteristik Lignoselulosa .....................................................
8
1. Lignoselulosa ......................................................................
8
2. Selulosa ...............................................................................
9
3. Hemiselulosa.......................................................................
9
C. Biobutanol ...............................................................................
11
1. Sifat Biobutanol .................................................................
11
2. Produksi Biobutanol ...........................................................
12
3. Pemurnian (Destilasi) ........................................................
16
4. Analisis Biobutanol ............................................................
16
BAB III METODE PENELITIAN ..............................................................
17
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan..............................................
17
B. Alat dan Bahan ........................................................................
17
1. Alat .....................................................................................
17
2. Bahan .................................................................................
18
D. Prosedur Kerja..........................................................................
18
1. Pengambilan dan Perlakuan awal sampel ..........................
18
2. Analisa kandungan holoselulosa sampel ...........................
18
3. Hidrolisis Bahan baku ........................................................
20
4. Analisa hasil hidrolisis .......................................................
21
5. Fermentasi hasil hidrolisis..................................................
22
6. Analisa biobutanol .............................................................
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................
24
A. Hasil Analisis Kandungan Holoselulosa pada sampel.............
24
viii
B. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Temperatur............
C. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Kadar Suspensi ....
D. Hasil Analisis produk hasil fermentasi dengan GC .................
BAB V PENUTUP .....................................................................................
A. Kesimpulan .............................................................................
B. Saran .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
LAMPIRAN.................................................................................................
ix
25
26
30
32
32
32
33
36
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Jumlah presentase sampah di Kota Makassar ..............
5
Tabel 2
Hasil komponen sampah organik..................................
24
Tabel 3
Hasil perhitungan hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi
temperatur ....................................................................
Tabel 4
25
Hasil perhitungan kadar gula proses hidrolisis pada optimasi
Kadar suspensi .............................................................
27
Tabel 5
Hasil analisis kadar gula hasil hidrolisis .......................
29
Tabel 6
Data pengamatan dengan uji GC ..................................
30
Tabel 7
Data pengamatan butanol murni dengan GC ................
31
Tabel 8
Konversi mg gula menurut luff schroorl.......................
44
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Struktur Selulosa ..................................................................
9
Gambar 2 Hubungan temperatur dengan kadar gula hasil hidrolisis
untuk optimasi temperatur....................................................
26
Gambar 3 Hubungan perbandingan kadar suspensi dengan kadar
gula ......................................................................................
xi
27
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Diagram Alir.........................................................................
37
Lampiran 2
Pengolahan data....................................................................
38
Lampiran 3
Hasil Analisa Biobutanol Menggunakan GC ........................
46
Lampiran 4
Dokumentasi Penelitian........................................................
52
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkaitan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi sebagai
bahan bakar utama, telah diupayakan berbagai cara untuk memanfaatkan sumber
energi lain yang lebih murah serta aman terhadap lingkungan. Pengembangan
bahan bakar nabati (BBN) sebagai pengganti bahan bakar fosil di Indonesia
semakin
meningkat.
Pemerintah
juga
memberikan
perhatian
dengan
diterbitkannya Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006
tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar
alternatif. Jenis bahan bakar yang telah dikembangkan antara lain : bioetanol,
biobutanol, biodiesel.
Program pengembangan BBN yang selama ini menggunakan bahan
pangan dikhawatirkan akan terjadi kompetisi antara ketersediaan bahan baku
untuk pangan, pakan, dan untuk sumber energi (Sun dan Cheng, 2002).
Intensifikasi pencarian sumber bahan baku juga perlu terus diteliti dan
dikembangkan. Bahan baku dari jenis non pangan menjadi pilihan untuk
pengembangan BBN generasi kedua. Salah satu bahan baku non pangan tersebut
adalah sampah organik perkotaan.
Kota Makassar memproduksi sampah hingga 550 ton, atau sekitar
4000 m3 setiap harinya pada hari normal, dan bisa meningkat hingga dua kali
lipat jika musim buah tiba (Kasim, 2013). Volume sampah cukup besar yang
bepotensi menimbulkan masalah akan tetapi juga dapat menjadi potensi sumber
1
2
bahan baku produksi biobutanol yang menjadi sumber energi terbarukan. Potensi
ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku produksi BBN.
Menurut pramono (2004) dari total sampah organik kota, sekitar 60 %
merupakan sayur – sayuran dan 40 % merupakan daun-daunan, kulit buah-buahan
dan sisa makanan. Tingginya komposisi sampah organik ini merupakan potensi
yang besar untuk dimanfaatkan untuk produksi biobutanol yang diharapkan dapat
menjadi bahan bakar terbarukan sebagai pengganti bensin yang mendukung
keberlanjutan energi di dunia, khususnya Indonesia.
Biobutanol merupakan bahan bakar nabati yang berpotensi besar untuk
dikembangkan sebagai substitusi bensin. Beberapa kelebihan biobutanol sebagai
biofuel adalah dapat dengan mudah ditambahkan sebagai campuran premium dan
solar, dapat dicampur pada tingkat konsentrasi tinggi pada penggunaan standar
mesin kendaraan tanpa membutuhkan adaptasi khusus. Biobutanol merupakan
hasil fermentasi gula sederhana oleh bakteri Clostridia. Gula sederhana sendiri
dapat diperoleh dari bahan baku berbasis gula (tebu, bit, dsb) atau berbasis tepung
(singkong, jagung, sorgum, dsb.) atau berbasis serat (kayu, limbah tani, dsb.).
Oleh karena itu, biobutanol diharapkan dapat menjadi bahan bakar terbarukan
sebagai pengganti bensin yang mendukung keberlanjutan energi di dunia,
khususnya Indonesia.
Di Indonesia, penelitian mengenai biobutanol sebagai bahan bakar masih
dikembangkan. Selama ini pengembangan BBN sebagai pengganti bensin masih
berfokus pada produksi etanol dengan bahan baku pangan.
3
B. Rumusan Masalah
1. Berapa besarnya kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial
untuk diolah menjadi biobutanol ?
2. Berapa temperatur optimal dan kadar suspensi yang dapat diperoleh pada
hidrolisis sampah organik untuk mendapatkan kadar gula yang maksimal?
3. Apakah ada biobutanol yang dihasilkan pada fermentasi larutan gula?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1. Menentukan kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial untuk
diolah menjadi biobutanol.
2. Menentukan temperatur optimal dan kadar suspensi pada proses hidrolisis
sampah organik untuk mendapatkan kadar gula yang maksimal.
3. Menentukan konsentrasi biobutanol hasil fermentasi dengan uji kromatografi
gas (GC)
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat menyediakan data kadar gula yang diperoleh pada hidrolisis sampah
organik dan fermentasi hasil hidrolisis yang dapat digunakan sebagai dasar
evaluasi lebih lanjut.
2. Menyediakan data temperatur optimal dan kadar suspensi pada proses fermentasi
hasil hidrolisis larutan gula.
4
3. Menyediakan informasi penanganan limbah organik yang berupa limbah sayur
dan buah – buahan sebagai sumber energi yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SAMPAH
Pengelolaan sampah harus dijadikan prioritas utama untuk menghindari
masalah yang mungkin muncul di masyarakat. Sampah, menurut definisi (WHO)
adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang,
yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk
kegiatan industri) dan umumnya bersifat padat.
Tabel 1. menunjukkan bahwa sekitar 87% sampah di Makassar
merupakan sampah organik dan sekitar 13% adalah sampah anorganik, seperti
plastik dan kertas.
Tabel 1. Jumlah Persentase sampah di Kota Makassar
Sampah Perkotaan
Volume (m3)
Persentase
Sampah Organik
3.092,65
87.21
Kertas
156,74
4,42
Plastik
207,10
5,84
Logam, Kaleng, Besi, Aluminium
45,04
1.27
Karet, Ban
30,85
0,87
Kaca
7,80
0,22
Kayu
4,94
0,14
Sampah Lainnya
4,94
0,14
Sumber :Unit Tata Ruang dan Unit Kelola Lingkungan Makassar, 2006
Sumber sampah bisa bermacam – macam, diantaranya adalah dari rumah
tangga,
pasar,
warung,
kantor,
bangunan
umum,
industri,
dan
jalan.
Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan
5
6
mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat. Peningkatan
aktivitas manusia, lebih lanjut menyebabkan bertambahnya sampah. Faktor yang
mempengaruhi jumlah sampah selain aktivitas penduduk antara lain adalah
jumlah atau kepadatan penduduk, system pengelolaan sampah, keadaan geografi,
musim dan waktu, kebiasaan penduduk, teknologi serta tingkat sosial ekonomi
(Depkes RI, 1987).
Bila dilihat dari sifatnya (Nisandi, 1999), sampah dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu :
a.
Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa – senyawa
organik yang tersusun dari unsur – unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Yang
termasuk sampah organik adalah daun – daunan, kayu, kertas, karton, sisa –
sisa makanan, sayur, buah, yang mudah diuraikan oleh mikroba. Sampah
organik dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
1. Sampah organik yang mudah membusuk (garbage) yaitu limbah padat
semi basah berupa bahan-bahan organik yang berasal dari sektor
pertanian dan pangan termasuk dari sampah pasar. Sampah ini
mempunyai ciri mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah
membusuk, karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek.
2. Sampah organik yang tak mudah membusuk (rubish) yaitu limbah padat
organik kering yang sulit terurai oleh mikroorganisme sehingga sulit
membusuk. Hal ini karena rantai kimia panjang dan kompleks yang
dimilikinya, contoh dari sampah ini adalah kertas dan selulosa.
7
b.
Sampah non organik
Terdiri dari kaleng, besi, logam, gelas atau bahan lain yang yang tidak
tersusun oleh senyawa-senyawa organik. Sampah anorganik tidak dapat
diuraikan oleh mikroba.
Berdasarkan Rancangan Undang – Undang Pengelolaan Sampah oleh
Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2005) kegiatan pengelolaan sampah
meliputi :
1. Pengurangan
Pengurangan sampah dilakukan dengan cara mengurangi produksi dan
konsumsi barang yang kemasannya menggunakan bahan yang sulit di daur
ulang.
2. Pemilahan
Pemilahan sampah dilakukan dengan cara :
•
Memisahkan sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.
•
Memisahkan sampah yang tidak mengandung bahan berbahaya dan
beracun menjadi sampah kering dan sampah basah.
3. Pengumpulan
Pengumpulan sampah dilakukan dengna memindahkan sampah dari
sumber ke tempat penyimpanan sementara.
4. Pemanfaatan
Sampah dapat dimanfaatkan bauik untuk kepentingan komersial maupun
non komersial.
8
Sampah organik terutama sampah sayuran dan buah – buahan banyak
mengandung pati, gula, dan hemisolulosa, sehingga sangat potensial untuk
dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biobutanol. Oleh karena itu biobutanol
dari sampah organik baik untuk dikembangkan agar dapat menjadi salah satu
solusi permasalahan energi di Indonesia.
B. KARAKTERISTIK LIGNOSELULOSA
Biomassa lignoselulosa sebagian besar terdiri dari campuran polimer
karbohidrat, lignin, ekstraktif, dan abu. Kadang-kadang disebutkan holoselulosa,
istilah ini digunakan untuk menyebutkan total karbohidrat yang dikandung di
dalam biomassa yang meliputi selulosa dan hemiselulosa. (Isroi, 2008)
1. Lignoselulosa
Pada dasarnya, lignoselulosa terdiri dari holoselulosa dan lignin. Selulosa
dan hemiselulosa harus dihidrolisis terlebih dahulu agar dapat difermentasi
menjadi biobutanol. Proses hidrolisis ini perlu dilakukan untuk memecah
senyawa-senyawa selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula. Monomer
gula yang dimaksud disini adalah pentosa dan hexosa. Campuran semua selulosa
dan hemiselulosa disebut dengan holoselulosa, yang bebas dari lignin dan
memiliki pengaruh besar dalam pembentukan yield bioetanol (Fajar,HR. 2011).
Lignin adalah salah satu penyusun tanaman yang berfungsi sebagai bahan
pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga pohon berdiri tegak.
9
2. Selulosa
Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang
terdiri dari 2.000 - 26.000 atau lebih unit D-glukosa. Bentuk polimer ini
memungkinkan selulosa saling menumpuk/terikat menjadi bentuk serat yang
sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah unit D-glukosa di
dalam polimer, disebut dengan derajat polimerisasi. Derajat polimerisasi selulosa
tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 2000 – 27000 unit
D-glukosa. Polimer selulosa terdiri dari rantai glukosa tidak bercabang dengan
ikatan α -1,4 glikosida. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan
menggunakan asam atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat
difermentasikan menjadi bioetanol (Isroi, 2008).
Gambar 1. Struktur selulosa (Isroi, 2008)
3. Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida lain yang terdapat dalam
tanaman dan tergolong senyawa organik (Simanjuntak,1994) menyatakan bahwa
hemiselulosa bersifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, mudah mengembang
karena itu hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap bentuknya. Jalinan antara
serat pada saat pembentukan lembaran, lebih mudah larut dalam pelarut alkali dan
lebih mudah dihidrolisis dengan asam.
10
Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah larut
dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah sebaliknya.
Hemiselulosa juga bukan merupakan serat-serat panjang seperti selulosa. Hasil
hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hasil hidrolisis
hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida lainnya (Winarno,
1984).
Menurut Hartoyo, hemiselulosa tersusun dari gabungan gula-gula
sederhana dengan lima atau enam atom karbon. Degradasi hemiselulosa dalam
asam lebih tinggi dibandingkan dengan delignifikasi, dan hidrolisis dalam suasana
basa tidak semudah dalam suasana asam (Achmadi , 1980). Mac Donal dan
Franklin (1969) menyatakan bahwa adanya hemiselulosa mengurangi waktu dan
tenaga yang diperlukan untuk melunakkan serat selama proses mekanis dalam air.
Hemiselulosa berfungsi sebagai pendukung dinding sel dan berlaku
sebagai perekat antar sel tunggal yang terdapat didalam batang pisang dan
tanaman lainnya. Hemiselulosa memiliki sifat non-kristalin dan bukan serat,
mudah mengembang, larut dalam air, sangat hidrofolik, serta mudah larut dalam
alkali. Kandungan hemiselulosa yang tinggi memberikan kontribusi pada ikatan
antar serat, karena hemiselulosa bertindak sebagai perekat dalam setiap serat
tunggal. Pada saat proses pemasakan berlangsung, hemiselulosa akan melunak,
dan pada saat hemiselulosa melunak, serat yang sudah terpisah akan lebih mudah
menjadi berserabut (Indrainy, 2005).
11
C. BIOBUTANOL
1. Sifat Biobutanol
Biobutanol merupakan bahan bakar nabati yang berpotensi besar untuk
dikembangkan sebagai substitusi bensin. Beberapa kelebihan biobutanol sebagai
biofuel adalah dapat dengan mudah ditambahkan sebagai campuran premium,
dapat dicampur pada tingkat konsentrasi tinggi pada penggunaan standar mesin
kendaraan tanpa membutuhkan adaptasi khusus. Butanol adalah alkohol yang
memiliki 4 atom karbon dan mengandung energi hampir menyamai premium,
yaitu sebesar 29 MJ/liter dengan bilangan oktan 96. Nilai ini jauh di atas
bioethanol sebesar 22 MJ/liter. Wujud fisik dan baunya mirip dengan etanol, yaitu
alkohol dengan 2 atom karbon yang sering kita temukan sebagai larutan pensteril,
pelarut, atau sebagai campuran bensin. Saat ini, peran utama produk butanol
adalah sebagai pelarut cat, resin, dan produk antara untuk polimer (antara lain
butiral dehida, asam butirat, butena, butadiena). Biobutanol mempunyai
karakteristik yaitu (Perry's Chemical Engineer Handbook - 8th ed - 2007):
Titk leleh
: 89.30C
Titik Didih
: 117.70C
Pengapian temperature
: 350C
Flash Point
: 3650C
Massa Jenis pada 200C
: 0.80980C
Tekanan
: 48.40C
Temperature
: 2870C
Viscosits di 300C
: 2.307cP
12
Berbeda dengan etanol yang saat ini menjadi campuran untuk biopremium,
butanol
memiliki
berbagai
kelebihan
yang
membuatnya
layak
untuk
dipertimbangkan bukan hanya sebagai campuran bensin, tetapi sebagai pengganti
bensin.
Keuntungan Biobutanol dibandingkan Bioethanol :
•
Biobutanol memiliki beberapa karakteristik fisika dan kimia lebih mirip ke
bensin. Hal ini menyebabkan tidak perlu membangun infrastruktur baru untuk
transportasi. Biobutanol juga tidak larut dalam air seperti bioethanol sehingga
mudah menyebabkan korosi.
•
Biobutanol dapat dicampur dengan bensin dalam kadar bervariasi. Hal yang
sama tidak dimungkinkan dengan bioethanol. Campuran bioethanol bensin
memiliki kadar bioethanol maksimum 10 %. Lebih daripada itu harus ada
modifikasi khusus pada mesin kendaraan bermotor.
•
Akibat kandungan energi yang tidak jauh berbeda dengan bensin, maka bensin
campur biobutanol lebih ekonomis daripada bensin campur bioethanol
•
Secara lingkungan biobutanol lebih aman daripada bioethanol karena jika
tumpah tidak mudah mencemari air tanah akibat sifatnya yang menolak air.
2. PRODUKSI BIOBUTANOL
Biobutanol dapat diproduksi dengan fermentasi biomassa dari substrat
seperti biji jagung, alga, bahkan substrat yang mengandung lignin dan selulosa
sekalipun dengan menggunakan proses ABE. Proses ini menggunakan bakteri
Clostridium Acetobutylicum.
13
Aseton – Butanol – Etanol (ABE) fermentasi adalah proses fermentasi
yang menggunakan bakteri untuk menghasilkan aseton, n-butanol dan etanol dari
pati. Pembuatan biobutanol yang substratnya mengandung selulosa, lignin, dan
hemiselulosa ini memerlukan beberapa proses awal sebelum memasuki proses
fermentasi. Hal ini disebabkan karena rantai glukosa yang terkandung dalam
bahan lignoselulosa ini memiliki bentuk struktur yang berbeda sehingga tidak
dapat langsung dihidrolisis. Selain itu, pada bahan yang juga mengandung
hemiselulosa, terdapat tambahan kandungan pentosa. Untuk bahan yang
mengandung selulosa, terlebih dahulu harus melalui tahap hidrolisis. Hal ini
disebabkan karena mikroorganisme yang digunakan tidak mempunyai enzim
untuk memecah rantai glukosa tersebut menjadi gula yang selanjutnya diubah.
Adapun tahap – tahap produksi biobutanol dengan proses ABE, yaitu
memiliki dua tahap.
a. Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap pembebasan selulosa dari lignin
dan
struktur kristalnya, dimana rantai panjang glukosa dipecah menjadi molekul
gula yang bebas, sehingga dapt diubah oleh mikroorganisme. Proses ini biasa
juga disebut dengan proses hidrolisis. Proses hidrolisis untuk memecah rantai
polimer pada holoselulosa dapat dilakukan dalam 3 cara, yaitu :
1. Teknologi Hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis) .
Secara umum, hidrolisis asam encer terdiri dari dua tahap. Pada tahap
pertama sebagian besar hemiselulosa akan terhidrolisis. Tahap kedua
dioptimasi untuk menghidrolisis selulosa sehingga menghasilkan glukosa
14
yang selanjutnya akan difermentasikan. Jenis asam encer yang biasa
digunakan untuk hidrolisis ini adalah H2SO4 encer.
2. Teknologi yang kedua yaitu hidrolisis asam pekat (concentrated acid
hydrolysis), yang meliputi proses dekristalisasi selulosa dengan asam
pekat dan dilanjutkan dengan hidrolisis selulosa dengan asam encer.
Tantangan utama dari teknologi ini adalah pemisahan gula dengan asam,
recovery asam, dan rekonsentrasi asam (Scheper, 2007).
3. Metode hidrolisis ke tiga adalah hidrolisis enzimatik yang mirip dengan
proses – proses di atas yaitu dengan mengganti asam dengan enzim.
Teknik ini dikenal dengan teknik Hidrolisis dan Fermentasi Terpisah
(SHF, Separated Hydrolysis and Fermentation). Hidrolisis dengan enzim
tidak membuat atau menghasilkan kondisi lingkungan yang kurang
mendukung proses biologi / fermentasi seperti pada hidrolisis dengan
asam, kondisi ini memungkinkan untuk dilakukan tahapan hidrolisis dan
fermentasi secara bersamaan yang dikenal dengan
Simultaneuos
Saccharification and Fermentation (SSF). Teknik ini menggunakan
kombinasi enzim sellulase dan mikroorganisme fermentasi, gula yang
dihasilkan dari hidrolisis enzim selulase dapat secara segera diubah
menjadi biobutanol oleh mikroba. Tiga fraksi enzim sellulase dihasilkan
dari fungi mesofilik misalnya Trichoderma resei atau dari bakteri termofil
selulolitik seperti Themotoga, Anaerocellum, Rhodothermus, Clostridium,
Thermoascus, Thermophilum, Acremonium (Scheper, 2007 ; Kavanagh,
2005).
15
b. Tahap Kedua
Tahap ini dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi biobutanol
melalui proses fermentasi ABE. Fermentasi aseton-butanol-etanol (ABE)
dapat dilakukan oleh bakteri C. acetobutylicum yang mampu mengkonversi
gula menjadi pelarut aseton, butanol dan etanol (Gutierez dan Maddox, 1987 ;
Purwanto, 1995). C.
acetobutylicum dapat mengkonversi sejumlah besar
karbohidrat, termasuk heksosa dan pentose, hemiselulosa dan selulosa pada
kondisi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Produk fermentasi ABE biasanya
terdiri dari asam asetat, asam butirat, aseton, butanol, dan etanol.
Proses fermentasi dioptimalkan dengan penambahan nutrient – nutrient
protein dan dengan pengendalian pH menggunakan buffer basa (alkali).
Persamaan yang umum untuk fermentasi ABE adalah :
C6H10O5
Pati
C6H12O
CH3COCH3 + CH3(CH2)2OH + CH3CH2OH + CO2 + H2 …… . (1)
Glukosa
Aseton
Butanol
Etanol
Hasil akhir campuran pelarut adalah 30% berdasarkan bobot sumber gula
awal. Rasio produk normalnya adalah 60% butanol, 30% aseton dan 10% etanol.
Campuran pelarut hasil fermentasi dipisahkan dengan destilasi dan kolom
fraksionasi (Monick, 1968). Fermentasi ABE menggunakan C.acetobutylicum
memerlukan kondisi suhu 340C dengan nilai pH yang dibutuhkan adalah 6.5
(Kanchanatawe.,1992)
3. PEMURNIAN (DESTILASI)
Destilasi merupakan suatu perubahan cairan menjadi uap dan uap tersebut
didinginkan kembali menjadi cairan (Yoder.,1980). Destilasi atau penyulingan
16
adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan
atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam proses destilasi pada suhu
1170C (setara dengan titik didih butanol) akan menguap lebih lama dibandingkan
dengan air yang bertitik didih 1000C. uap butanol di dalam reaktor akan di alirkan
kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan butanol.
Perbedaan proses produksi biobutanol dengan produksi bioethanol
terutama pada proses fermentasinya dan sedikit berbeda pada proses destilasinya.
Sedangkan bahan baku yang dipergunakan adalah sama yaitu gula bit, gula tebu,
gandum jagung, gandum dan ketela pohon, tanaman non-pangan, serta produk
samping pertanian seperti jerami dan batang jagung. Produksi biobutanol dari
biomassa limbah (produksi samping) sektor pertanian akan lebih efisien.
4. ANALISIS BIOBUTANOL
Analisis biobutanol diukur dengan alat yang disebut Kromatografi Gas
(GC). Kromatografi gas (GC), merupakan jenis kromatografi yang digunakan
dalam kimia organik untuk pemisahan dan analisis, Oleh karena itu, senyawasenyawa kimia yang akan dipisahkan haruslah dalam bentuk gas pula. GC dapat
digunakan untuk menguji kemurnian dari bahan tertentu, atau memisahkan
berbagai komponen dari campuran. Kromatologi gas memisahkan suatu campuran
berdasarkan kecepatan migrasinya di dalam fasa diam yang dibawa oleh fasa
gerak.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, terhitung dari bulan Agustus
sampai bulan Oktober di Laboratorium Kimia Organik, Laboratorium Bioproses
dan Laboratorium Kimia Dasar Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.
B. Alat dan Bahan
1. Alat yang digunakan:
•
Bioreaktor
•
Oven
•
Timbangan
•
Petridisk
•
Gelas kimia 100 + 300 + 500 ml
•
Penyaring Vacum
•
Labu Takar 100 ml
•
Gelas Ukur 100 ml
•
Pipet Ukur 5 + 10 + 25 ml
•
Erlenmeyer 250 ml
•
Buret 50 ml
•
Pengaduk
•
Ose
•
Tabung Reaksi
•
Spatula
17
18
2. Bahan yang digunakan:
•
Sampah Organik (sampel)
•
Bakteri Clostridium Acetobutylicum
•
CuSO4.5H20
•
Asam Sitrat
•
Na2CO3
•
Na2S2O3
•
Pb – Asetat 5 %
•
Na2PO410%
•
H2SO4 25%; 40%; 0,5%; 0,5M
•
KI 20%
•
Indikator Amylum
•
Aquadest
•
Kertas Saring Biasa
•
Kertas Saring Whatman 41
C. Prosedur Kerja
1. Pengambilan dan Perlakuan awal sampel
Sampel untuk analisis dilakukan pengambilan diberbagai tempat,
yaitu di pasar Terong, TPA Ir.Sutami dan limbah rumah tangga, yang
selanjutnya di kumpulkan kemudian dikeringkan hingga kadar airnya di
bawah 10 %. Selanjutnya, analisis kandungan holoselulosa dilakukan
dengan cara Chesson Datta (1981).
2. Analisis kandungan holoselulosa sampel
•
1 gram sampel (a) ditimbang kemudian ditambahkan 150 mL H2O dan
direfluks selama 1 jam pada temperatur 100oC.
19
•
Campuran tersebut disaring kemudian residu dicuci dengan larutan air
panas (300 ml).
•
Residu kemudian dikeringkan dalam oven dan di timbang berat
konstan residu kering (b).
•
Residu kering (b) ditambahkan 150 mL H2SO41N (Lamp. 1, Hal.38),
kemudian direfluks selama 1 jam pada temperatur 100oC.
•
Campuran tersebut disaring sampai netral (300 ml) dan dikeringkan (c)
dalam oven, di timbang berat konstan residu kering.
•
Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO4 72 % (Lamp. 1, Hal. 39) dan
direndam pada temperatur ruangan selama 4 jam. Ditambahkan 150 ml
H2SO4 1 N (Lamp. 1, Hal 38) kemudian direfluks selama 1 jam pada
temperatur 100oC.
•
Residu disaring dan dicuci dengan H2O sampai netral (400 ml)
kemudian dipanaskan dengan oven dengan suhu 1050C dan hasilnya
ditimbang (d), selanjutnya residu diabukan dan ditimbang (e).
Dari prosedur fraksinasi lignoselulosa dapat diperoleh persamaan :
a) Fraksi hemiselulosa
=
× 100 %
b) Fraksi selulosa
=
× 100 %
c) Fraksi lignin
=
× 100 %
20
3. Hidrolisis bahan baku
a. Optimasi temperatur
•
900 ml larutan H2SO4 0,5% (Lamp.1, Hal.38) dan 100 gram bahan
baku sampah, dimasukkan
ke dalam bioreaktor (perbandingan
larutan H2SO4 0,5% (Lamp.1, Hal.38) dengan bahan baku sampah
adalah 1 : 9 gr/ml),
•
Kemudian reactor ditutup dengan sempurna dan pemanas disetting
mulai dari temperatur 1300C hingga temperatur 195 0C serta motor
pengaduk dinyalakan.
•
Ketika mencapai suhu 130; 140; 150; 160; 170; 180; 190; 1950C
diambil sampel kira-kira 30 ml, kemudian masing-masing sampel
tiap temperatur dianalisis kandungan glukosanya dengan metode
Luff Schroll.
•
Selanjutnya menentukan temperatur optimal untuk hidrolisis
b. Optimasi kadar suspensi
•
Percobaan diawali dengan memasukan larutan H2SO4 0,5%
(Lamp.1, Hal.38) dengan volume 600 ml dan sampel dengan berat
100 gram (perbandingan volume H2SO4 encer : sampel adalah 6 :1)
kedalam reaktor, kemudian reactor ditutup dengan sempurna dan
pemanas disetting hingga temperatur optimum yang telah diperoleh
serta motor pengaduk dinyalakan
21
•
Ketika pemanasan telah mencapai suhu temperatur optimum,
diambil sampel kira-kira 10 ml, kemudian konsentrasi gula
dianalisis dalam sampel dengan metode Luff school.
•
Percobaan diulangi pada berbagai nilai variabel perbandingan
pereaksi (6:1; 7:1; 8:1; 9:1; 10:1)
•
Selanjutnya menentukan perbandingan pereaksi optimal untuk
hidrolisis sampel.
4. Analisis Hasil Hidrolisis (Analisis Gula Metode Luff Schroll)
•
Sebanyak 1 gram sampel hasil hidrolisis ditimbang ke dalam
Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml akuades, selanjutnya Pb
10 % (Lamp.1, Hal.40) tetes demi tetes kedalam larutan, hingga tidak
terbentuk endapan lagi, kemudian dijernihkan dengan Na2PO4 10%
(Lamp.1, Hal.40).
•
Larutan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian filtrat
ditambahkan akuades hingga tanda batas.
•
25 ml filtrat dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer asah
dan ditambahkan 25 ml pereaksi Luff (Lamp.1, Hal.39), kemudian
ditambahkan batu didih dan dipanaskan selama 10 menit.
•
Setelah mendidih, didinginkan menggunakan air mengalir, kemudian
ditambahkan H2SO4 25% (Lamp.1, Hal.40) yg dilewatkan pada
dinding Erlenmeyer secara hati – hati.
22
•
larutan KI 20% (Lamp.1, Hal.39) sebanyak 10 ml ditambahkan
menggunakan pipet volum, kemudian dititar dengan menggunakan
larutan Tio 0,05 N (Lamp.1, Hal.39) yang telah distandarisasi,
kemudian ditambahkan Ind. amylum sampai larutan berubah warna
menjadi coklat susu.
•
Volume larutan penitar dicatat kemudian membuat larutan blanko.
•
kadar gula dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Angka Tabel (AT) =
.
×
Kadar Gula =
×
× 100 %
5. Untuk fermentasi hasil hidrolisis
•
100 ml masing – masing sampel hasil hidrolisis, dimasukkan ke dalam
tiap botol fermentasi (botol 3 ; 5 ; dan 7 hari), kemudian
masing–
masing
botol
fermentasi
ditambahkan
bakteri
C.Acetobutylicum sebanyak 1 Ose, kemudian ditutup rapat – rapat
dengan penutup yang telah disambungkan dengan selang.
•
Dilakukan fermentasi gula hasil hidrolisis selama 3 ; 5 ; dan 7 hari.
6. Analisis Biobutanol
Hasil
fermentasi,
terlebih
dahulu
didestilasi
(dimurnikan)
kemudian dilakukan Analisis dengan menggunakan kromtografi gas (GC),
yaitu dengan cara :
23
a. Analisis Kualitatif
•
Peralatan GC (Kromatografi) dihidupkan.
•
Sebanyak 1 µL butanol standar dengan kemurnian 99.9 %
diinjeksikan pada kromatograf sehingga diperoleh kromatogram
(rekaman hasil analisis) yang memuat data waktu retensi (Rt)
untuk butanol stndar tersebut.
•
Selanjutnya 1 µL masing – masing sampel, juga diinjeksikan pada
kondisi operasional yang sama sehingga diperoleh data waktu
retensi untuk sampel. Jika nilai Rtnya sama, berarti sampel dan
standar merupakan senyawa yang secara kualitatif sama.
b. Analisis kuantitatif
Dengan membandingkan luas area masing – masing sampel
terhadap luas area butanol standar, maka kemurnian butanol produk
hasil fermentasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Cx =
Keterangan :
Cx = Konsentrasi Sampel
Ax = Luas Area Sampel
Astd = Luas Area Standar
24
Adapun kondisi operasional GC sebagai berikut :
Temperatur oven
= 8000C
Temperatur Injektor
= 10000C
Temperatur Detektor
= 12000C
Laju Alir Gas Pembawa
= 30 ml/menit
Jenis kolom
= Apiezon. L (Packed coloum)
Detektor
= FID
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil analisis kandungan holoselulosa pada sampel
Analisis kandungan sampel (sampah organik) ini bertujuan menentukan
kadar holoselulosa yang terkandung pada sampah Organik dengan cara gravimetri
menggunakan metode Chesson Datta (1981) pada masing-masing komponen dan
hasilnya ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil komponen sampah Organik
Komposisi (%)
Menurut Penelitian
Komposisi (%)
Menurut Hasil Litbang Richan.
Selulosa
22,77
22,08
Hemiselulosa
34,27
58,91
24,05
15,23
Sampel
Lignin
Tabel 2 terlihat bahwa sampah organik memiliki kandungan lignoselulosa
yaitu hemiselulosa, selulosa dan lignin, sehingga berpotensi untuk dihidrolisis
menjadi gula. Dari ketiga komponen sampah organik tersebut hemiselulosa
merupakan komponen terbesar dari sampah. Tetapi kisaran kandungan
lignoselulosa berdasarkan hasil penelitian Litbang Richan yang diperoleh dalam
literatur terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini dibuktikan oleh Palqvist dan
Hagerdal (2000) bahwa untuk sumber karbohidrat yang berbeda maka kandungan
hemiselulosanya juga berbeda.
25
26
B. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Temperatur
Proses hidrolisis pada lignoselulosa memiliki tujuan untuk memecah
ikatan hemisellulosa dan menghilangkan kandungan lignin serta merusak struktur
selulosa menjadi senyawa gula sederhana (Sun dan Cheng. 2002). Hidrolisis
sampel bertujuan untuk mengubah hemiselulosa menjadi monomer gula.
Penentuan kadar gula setelah hidrolisis dianalisis dengan metode luff schroll.
Hasil analisis kadar gula diperoleh data dan ditunjukkan pada Tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3. Hasil perhitungan hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi
Temperatur.
Suhu (0C)
Kadar gula (%)
130
0.77
140
1.34
150
4.10
160
3.91
170
1.25
180
1.14
190
0.47
195
0.09
Dari hasil hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi temperatur, maka dapat
dibuat kurva seperti dibawah ini.
27
4.5
4.1
4
3.92
Kadar Gula (%)
3.5
3
2.5
2
1.5
1.35
1
1.14
0.77
0.5
0
1.25
120
130
0.48
140
150
160
Suhu (0C)
170
180
190
0.09
200
Gambar 2. Hubungan temperatur (suhu) dengan kadar gula hasil hidrolisis
untuk optimasi temperatur.
Penentuan kadar setelah hidrolisis pada berbagai variasi temperatur
dianalisis dengan metode luff schroll, Selanjutnya penentuan temperatur optimal
untuk hasil hidrolisis didasarkan pada hasil kadar gula optimal yang dihasilkan.
Hasil hidrolisis ditunjukkan pada gambar 2 terlihat bahwa kadar gula optimal
diperoleh pada temperatur 1500C.
C. Hasil Analisis Kadar Gula pada Optimasi Kadar Suspensi
Salah satu faktor
yang mempengaruhi
proses hidrolisis adalah
penambahan jumlah pereaksi sehingga dilakukan variasi jumlah pereaksi agar
didapatkan kadar gula optimal untuk fermentasi. Penentuan kadar gula setelah
28
hidrolisis dianalisis dengan metode luff schroll. Hasil analisis kadar gula
diperoleh data dan ditunjukkan pada Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Hasil Perhitungan kadar gula proses hidrolisis pada optimasi
kadar suspensi
Perbandingan Jumlah Sampel
dengan Larutan Asam
Kadar gula (%)
1:6
3.21
1:7
4.80
1:8
4.42
1:9
4.10
1 : 10
3.96
Dari hasil perhitungan kadar gula hasil hidrolisis pada optimasi kadar
suspensi maka dapat dibuat kurva dibawah ini :
Kadar Gula (%)
5
100:700, 4.8
4.5
100:800, 4.42
100:900, 4.1
100:1000, 3.96
4
3.5
3
100:600, 3.21
0
1
2
3
4
Perbandingan Sampel dan Pelarut
5
6
Gambar 3. Hubungan perbandingan kadar suspensi dengan kadar gula
Hidrolisis dengan larutan asam biasanya menggunakan larutan asam encer,
dimana kecepatan reaksinya sebanding dengan konsentrasi asam.
29
Pada penelitian ini konsentrasi asam yang digunakan sama yaitu H2SO4
0.5% yang berbeda adalah jumlah pereaksinya, karena sifat asam hanyalah
katalisator untuk mempercepat reaksi, sesuai dengan persamaan Arhenius,
semakin tinggi konsentrasi asam yang dipakai maka makin cepat pula reaksi pada
proses hidrolisis dan dalam waktu tertentu jumlah glukosa akan meningkat.
Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis menyebabkan terjadinya korosi
pada bahan material yang dipakai. Oleh karena itu, membutuhkan desain peralatan
yang spesial dan mahal, seperti keramik atau material yang dilapisi karbon
(Taherzadeh dan Karimi, 2007).
Penentuan
kadar
gula
pada
hidrolisis
dengan
berbagai
variasi
perbandingan jumlah pereaksi yang dianalisis dengan metode luff schroll.
Selanjutnya penentuan jumlah pereaksi optimal untuk hidrolisis didasarkan pada
kadar gula optimal yang dihasilkan. Hasil hidrolisis yang ditunjukkan pada
gambar 3 terlihat bahwa kadar gula optimal diperoleh pada perbandingan jumlah
pereaksi dan sampel yang dihidrolisis yaitu 1 : 7 dimana sampel (sampah organik)
100 gram dan larutan asam encernya 700 ml. Perbandingan antara lignoselulosa
dengan air yang tepat akan membuat reaksi hidrolisis berjalan cepat (Rina.H.,
dkk, 2009). Seperti yang terlihat pada gambar 3 dimana air yang terlalu banyak
menyebabkan menurunnya gula yang dihasilkan. Karena penggunaan air yang
berlabihan akan memperbesar penggunaan energi untuk pemekatan hasil.
Sebaliknya, jika jumlah air sedikit maka kekentalan suspensi menjadi tinggi,
sehingga zat-zat pereaksi tidak bisa bergerak dengan leluasa karena gerakan
30
zat-zat pereaksi yang lamban, maka tumbukan antara zat pereaksi akan berkurang
sehingga memperlambat jalannya reaksi.
Setelah memperoleh data-data optimasi untuk proses hidrolisis sampel,
selanjutnya melakukan hidrolisis sampah organik sebagai bahan baku untuk
proses fermentasi. Selanjutnya kadar gula dari proses hidrolisis yang didasarkan
pada data hasil optimasi variabel hidrolisis.
Tabel 5. Hasil analisis kadar gula hasil hidrolisis
Optimasi Kadar Suspensi
Temperatur
Hidrolisis (0C)
Kadar gula
(%)
1:7
150
4,80
Kandungan sampel yang berpotensi untuk dihidrolisis menjadi gula adalah
hemiselulosa. Pada hidrolisis pada suhu di atas, hemiselulosa terkonversi menjadi
gula pada temperatur rendah karena susunan ikatan pada hemiselulosa lebih
mudah dipecah dibandingkan struktur selulosa (Fajar, H.R. 2011). Pada
temperatur tersebut larutan asam bekerja maksimal dalam mengkatalisis
pemecahan hemiselulosa menjadi monomernya melalui reaksi hidrolisis. Reaksireaksi secara khusus terjadi selama perlakuan panas terhadap polisakarida. Pada
hidrolisis setelah temperatur optimal didapatkan, maka naiknya temperatur
selanjutnya terjadi penurunan konversi gula. Padahal pada dasarnya reaksi kimia,
semakin tinggi suhu maka kecepatan reaksi dan konversi semakin meningkat,
seperti yang diberikan oleh persamaan Arhenius. Hal ini tidak terjadi apabila
waktunya di perpanjang karena terjadi reaksi lebih lanjut dimana adanya glukosa
31
yang pecah membentuk senyawa lain yaitu senyawa asam karboksilat, senyawa
furan, dan senyawa fenol (Rina.H., dkk, 2009).
D. Hasil Analisis Produk Hasil Fermentasi Dengan Kromatografi Gas
Proses fermentasi pada pembuatan biobutanol bertujuan untuk mengubah
monomer gula hasil hidrolisis menjadi biobutanol. Fermentasi dilakukan selama 7
hari dan pada hari ke 3, 5, dan 7 dilakukan pengambilan sampel untuk Analisis
kromatografi yang digunakan untuk menentukan kadar biobutanol yang dihasilkan
dan untuk mengetahui lebih pasti, hasil fermentasi yang didapatkan betul – betul
biobutanol atau bukan. Uji dengan menggunakan GC ini, sebagai uji pendukung
untuk lebih meyakinkan bahwa biobutanol yang diperoleh benar biobutanol,
bukan zat – zat lain. Setelah dilakukan pengujian menggunakan alat GC diperoleh
data seperti pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Data pengamatan dengan uji GC
Waktu
Fermentasi
(Hari)
3
5
7
Ret. time
Luas Area
-
-
2.399
17312
2.463
10692
2.404
22523
Kadar
Butanol
(%)
-
Kadar
Aseton
(%)
-
Kadar
Ethanol
(%)
-
-
0.000072
0.000043
0.0159
-
-
Dari tabel di atas, dilihat bahwa hanya pada fermentasi hari ke-7 yang
menghasilkan biobutanol, pada fermentasi hari ke-3 belum ada biobutanol yang
dihasilkan, dan pada hari ke-5 sudah ada senyawa yang terbentuk, yaitu aseton
32
dan etanol. ini dapat dilihat dari perbandingan hasil uji GC standar aseton,
butanol, dan ethanol murni pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 7. Data pengamatan butanol murni dengan uji GC.
Sampel
Ret.Time
Luas Area
Aseton
2.378
241907837
Butanol
2.418
1413569
Etanol
2.468
248784537
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Besarnya kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial untuk
diolah menjadi biobutanol yaitu, 57.04 %.
2. Temperatur optimal dan kadar suspensi pada tahap hidrolisis hemiselulosa
menjadi gula yaitu pada suhu 1500C dan pada perbandingan 1 : 7 dengan
kadar gula 4.80 %.
3. Setelah dilakukan
PEMBUATAN BIOBUTANOL
LAPORAN TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh gelar Diploma Tiga (D-3)
pada Politeknik Negeri Ujung Pandang
Oleh
KHAIRUNNISA
(331 10 031)
JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG
MAKASSAR
2013
ALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING
HAL
G
khir dengan judul “Pemanfaatan Sampah Or
Laporan Tugas Akhir
Organik Sebagai
embuatan Biobutanol” oleh Khairunnisa,
Bahan Baku Pem
sa, nomor induk
mahasiswa 331 10 031 telah diterima dan disahkan sebagai salahh sa
satu syarat untuk
Diploma III (Tiga) pada Jurusan Teknik Kimia
memperoleh gelar Di
ia Program Studi
eknik Negeri Ujung Pandang.
Teknik Kimia Politekni
Makassar,
r, 24 O
Oktober 2013
Menyetujui,
ii
HALAMAN PENERIMAAN PANITIA UJIAN
Pada hari ini, tanggal 1 November 2013 Panitia Ujian Tugas Akhir menerima
dengan baik Laporan Tugas Akhir dengan judul “Pemanfaatan Sampah
Organik Sebagai Bahan Baku Pembuatan Biobutanol” yang diajukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat ujian guna menyelesaikan studi pada Jurusan
Teknik Kimia Program Studi Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.
iii
ABSTRAK
(Khairunnisa), “Pemanfaatan Sampah Organik Sebagai Bahan Baku
Pembuatan Biobutanol” (Pembimbing: HR.Fajar, S.T., M.Eng dan M. Badai S.T.,
M.T).
Berkaitan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi sebagai
bahan bakar utama, telah diupayakan berbagai cara untuk memanfaatkan sumber
energi lain yang lebih murah serta aman terhadap lingkungan. Bahan baku dari
jenis non pangan menjadi pilihan untuk pengembangan BBN generasi kedua.
Salah satu bahan baku non pangan tersebut adalah sampah organik perkotaan.
Tingginya komposisi sampah organik ini merupakan potensi yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai bahan produksi biobutanol yang diharapkan dapat menjadi
bahan bakar terbarukan sebagai pengganti bensin yang mendukung keberlanjutan
energi di dunia, khususnya Indonesia. Penelitian ini bertujuan membuat
biobutanol dari sampah organik melalui metode hidrolisis asam encer pada
sampah organik, yang dilanjutkan dengan fermentasi.
Pada penelitian ini dilakukan metode hidrolisis asam encer dengan
menggunakan asam sulfat 0,5%. Proses hidrolisis dilakukan untuk mendapatkan
temperatur optimum berdasarkan jumlah gula yang dihasilkan dengan delapan
variabel yaitu 130, 140, 150, 160, 170, 180, 190, dan 1950C. Setelah diperoleh
temperatur optimum, selajutnya kondisi ini dipakai untuk menentukan
perbandingan sampel dengan larutan asam sulfat yang paling optimal dalam
menghasilkan gula. Dalam hal ini, jumlah sampel dibuat tetap yakni 100 gram
dengan penambahan asam sulfat 0,5%, kemudian divariasikan berturut-turut 600,
700, 800, 900 dan 1000 ml. Gula yang dihasilkan dari tahap optimasi ini
difermentasi menggunakan Clostridium Acetobutylicum dengan variasi waktu dari
3, 5, dan 7 hari. Selanjutnya hasil fermentasi dianalisis untuk menentukan kadar
biobutanol yang dihasilkan.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kondisi optimum hidrolisis sampah
organik menjadi gula adalah pada temperatur 1500C dengan kadar gula 4,80 %
dengan perbandingan pereaksi 1 bagian sampah organik dan 7 bagian larutan
asam sulfat 0,5%. Proses selanjutnya adalah fermentasi menggunakan Clostridium
Acetobutylicum dengan waktu fermentasi optimum adalah 7 hari dengan kadar
biobutanol yang dihasilkan sebesar 0.0159%.
iv
ABSTRACT
( Khairunnisa ) , " Utilization of Organic Waste As Raw Material Preparation
Biobutanol " ( Supervisor: HR.Fajar , ST , M. Eng and M. Badai S.T , M.T ) .
Associated with the depletion of oil reserves as the main fuel, has pursued
a variety of ways to utilize other energy sources that are cheaper and safer for the
environment. The raw material of this type of non-food of choice for the
development of second generation biofuels. One of the non-food raw materials are
organic urban waste. The high composition of organic waste is a great potential to
be used for the production of biobutanol which is expected to be a renewable fuel
as a gasoline substitute that support sustainable energy in the world, especially
Indonesia. This study aimed to make biobutanol from organic waste through the
dilute acid hydrolysis method of organic waste, which is followed by
fermentation.
In this research was performed hydrolysis method of dilute acid by using
sulfuric acid of 0.5%. Hydrolysis process was done to obtain the optimum
temperature based on total sugar produced by eight variables, namely 130, 140,
150, 160, 170, 180, 190, and 1950C. After obtaining the optimum temperature of
hydrolysis, then this condition is used to determine the ratio of sample with
sulfuric acid solution which most optimal to produce sugar. In this case the total
sample made is remain, 100 grams with the addition of sulfuric acid of 0.5% and
varied of 600, 700, 800, 900, and 1000 ml respectively. Sugar produced of this
optimization phase is fermented using Clostridium Acetobutylicum yeast with
time variation of 3, 5, and 7 day. Then, the results of fermentation was analyzed to
determine the optimal fermentation time based on biobuthanol level produced.
The result of analysis showed that the optimum conditions of hydrolysis
was at 150°C in temperature with sugar recovery of 4.80 % and with by reagent
comparison 1 part of Waste Organic and 7 parts sulfuric acid solution of 0.5%.
The next process is fermentation by using Clostridium Acetobutylicum yeast with
optimum fermentation time for 7 days with biobuthanol level of 0.0159 % .
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat
dan hidayah yang diberikan selama ini kepada Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan satu tugas berat dalam rangka penyelesaian studi di Politeknik
Negeri Ujung Pandang.
Sebagai manusia biasa, Penulis sangat menyadari bahwa Tugas Akhir
yang sederhana ini masih banyak terdapat kekeliruan dan masih memerlukan
perbaikan secara menyeluruh, hal ini tidak lain disebabkan karena keterbatasan
ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh Penulis dalam menyelesaikan tugas yang
bagi Penulis dirasakan cukup berat, karenanya berbagai masukan dan saran yang
sifatnya membangun sangatlah diharapkan demi sempurnanya Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses awal hingga selesainya Tugas
Akhir ini, banyak sekali pihak yang telah terlibat dan berperan serta untuk
mewujudkan selesainya Tugas Akhir ini, karena itu pada tempatnyalah Penulis
ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada mereka yang secara moril maupun materil telah banyak membantu Penulis
untuk merampungkan Tugas Akhir ini hingga selesai.
Pertama-tama ucapan terima kasih Penulis haturkan secara khusus
kepada orang tua yang Penulis hormati dan cintai ayanda dan ibunda yang telah
membesarkan Penulis dengan penuh kesabaran hingga Penulis dapat berhasil
menyelesaikan studi pada jenjang yang lebih tinggi juga kepada seluruh saudara
Penulis, yang dengan semangatnya selama ini.
vi
Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan terima kasih kepada
Bapak Dr. Firman, M.Si selaku Direktur Politeknik dan Bapak Drs. H. Abdul
Azis, M.T selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia yang selama ini telah membantu
Penulis hingga dapat menyelesaikan studi di Politeknik Negeri Ujung pandang.
Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada kedua
pembimbing Penulis, Bapak HR.Fajar, S.T,. M.Eng selaku Pembimbing I dan
Bapak M. Badai S.T., M.T selaku Pembimbing II yang mana keduanya dengan
penuh kesabaran memberikan bimbingannya dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
Juga
kepada
sahabatku
Irna,
Farah,
Sinar,
Devy,
Nirah
dan
Saudara – saudaraku di UKM KSR, serta partnerku Jumriah, dalam
menyelesaikan penelitian dan laporan ini, yang banyak memberikan semangat
agar cepat selesai dan ikut membantu Penulis mencari data selama penelitian ini
dilakukan, dan orang-orang yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu pada
kesempatan ini, harapan Penulis semoga bantuan yang selama ini diberikan secara
moril maupun materil mendapatkan imbalan amal dari Allah SWT dan semoga
Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Akhirnya, semoga Allah SWT, memberikan perlindungan kepada kita
semua, Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Makassar, 24 Oktober 2013
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
ii
HALAMAN PENERIMAAN ......................................................................
iii
ABSTRAK ...................................................................................................
iv
ABSTRACT.................................................................................................
v
KATA PENGANTAR...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
3
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
3
D. Manfaat Penelitian ..................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
5
A. Sampah ...................................................................................
5
B. Karakteristik Lignoselulosa .....................................................
8
1. Lignoselulosa ......................................................................
8
2. Selulosa ...............................................................................
9
3. Hemiselulosa.......................................................................
9
C. Biobutanol ...............................................................................
11
1. Sifat Biobutanol .................................................................
11
2. Produksi Biobutanol ...........................................................
12
3. Pemurnian (Destilasi) ........................................................
16
4. Analisis Biobutanol ............................................................
16
BAB III METODE PENELITIAN ..............................................................
17
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan..............................................
17
B. Alat dan Bahan ........................................................................
17
1. Alat .....................................................................................
17
2. Bahan .................................................................................
18
D. Prosedur Kerja..........................................................................
18
1. Pengambilan dan Perlakuan awal sampel ..........................
18
2. Analisa kandungan holoselulosa sampel ...........................
18
3. Hidrolisis Bahan baku ........................................................
20
4. Analisa hasil hidrolisis .......................................................
21
5. Fermentasi hasil hidrolisis..................................................
22
6. Analisa biobutanol .............................................................
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................
24
A. Hasil Analisis Kandungan Holoselulosa pada sampel.............
24
viii
B. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Temperatur............
C. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Kadar Suspensi ....
D. Hasil Analisis produk hasil fermentasi dengan GC .................
BAB V PENUTUP .....................................................................................
A. Kesimpulan .............................................................................
B. Saran .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
LAMPIRAN.................................................................................................
ix
25
26
30
32
32
32
33
36
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Jumlah presentase sampah di Kota Makassar ..............
5
Tabel 2
Hasil komponen sampah organik..................................
24
Tabel 3
Hasil perhitungan hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi
temperatur ....................................................................
Tabel 4
25
Hasil perhitungan kadar gula proses hidrolisis pada optimasi
Kadar suspensi .............................................................
27
Tabel 5
Hasil analisis kadar gula hasil hidrolisis .......................
29
Tabel 6
Data pengamatan dengan uji GC ..................................
30
Tabel 7
Data pengamatan butanol murni dengan GC ................
31
Tabel 8
Konversi mg gula menurut luff schroorl.......................
44
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Struktur Selulosa ..................................................................
9
Gambar 2 Hubungan temperatur dengan kadar gula hasil hidrolisis
untuk optimasi temperatur....................................................
26
Gambar 3 Hubungan perbandingan kadar suspensi dengan kadar
gula ......................................................................................
xi
27
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Diagram Alir.........................................................................
37
Lampiran 2
Pengolahan data....................................................................
38
Lampiran 3
Hasil Analisa Biobutanol Menggunakan GC ........................
46
Lampiran 4
Dokumentasi Penelitian........................................................
52
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkaitan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi sebagai
bahan bakar utama, telah diupayakan berbagai cara untuk memanfaatkan sumber
energi lain yang lebih murah serta aman terhadap lingkungan. Pengembangan
bahan bakar nabati (BBN) sebagai pengganti bahan bakar fosil di Indonesia
semakin
meningkat.
Pemerintah
juga
memberikan
perhatian
dengan
diterbitkannya Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006
tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar
alternatif. Jenis bahan bakar yang telah dikembangkan antara lain : bioetanol,
biobutanol, biodiesel.
Program pengembangan BBN yang selama ini menggunakan bahan
pangan dikhawatirkan akan terjadi kompetisi antara ketersediaan bahan baku
untuk pangan, pakan, dan untuk sumber energi (Sun dan Cheng, 2002).
Intensifikasi pencarian sumber bahan baku juga perlu terus diteliti dan
dikembangkan. Bahan baku dari jenis non pangan menjadi pilihan untuk
pengembangan BBN generasi kedua. Salah satu bahan baku non pangan tersebut
adalah sampah organik perkotaan.
Kota Makassar memproduksi sampah hingga 550 ton, atau sekitar
4000 m3 setiap harinya pada hari normal, dan bisa meningkat hingga dua kali
lipat jika musim buah tiba (Kasim, 2013). Volume sampah cukup besar yang
bepotensi menimbulkan masalah akan tetapi juga dapat menjadi potensi sumber
1
2
bahan baku produksi biobutanol yang menjadi sumber energi terbarukan. Potensi
ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku produksi BBN.
Menurut pramono (2004) dari total sampah organik kota, sekitar 60 %
merupakan sayur – sayuran dan 40 % merupakan daun-daunan, kulit buah-buahan
dan sisa makanan. Tingginya komposisi sampah organik ini merupakan potensi
yang besar untuk dimanfaatkan untuk produksi biobutanol yang diharapkan dapat
menjadi bahan bakar terbarukan sebagai pengganti bensin yang mendukung
keberlanjutan energi di dunia, khususnya Indonesia.
Biobutanol merupakan bahan bakar nabati yang berpotensi besar untuk
dikembangkan sebagai substitusi bensin. Beberapa kelebihan biobutanol sebagai
biofuel adalah dapat dengan mudah ditambahkan sebagai campuran premium dan
solar, dapat dicampur pada tingkat konsentrasi tinggi pada penggunaan standar
mesin kendaraan tanpa membutuhkan adaptasi khusus. Biobutanol merupakan
hasil fermentasi gula sederhana oleh bakteri Clostridia. Gula sederhana sendiri
dapat diperoleh dari bahan baku berbasis gula (tebu, bit, dsb) atau berbasis tepung
(singkong, jagung, sorgum, dsb.) atau berbasis serat (kayu, limbah tani, dsb.).
Oleh karena itu, biobutanol diharapkan dapat menjadi bahan bakar terbarukan
sebagai pengganti bensin yang mendukung keberlanjutan energi di dunia,
khususnya Indonesia.
Di Indonesia, penelitian mengenai biobutanol sebagai bahan bakar masih
dikembangkan. Selama ini pengembangan BBN sebagai pengganti bensin masih
berfokus pada produksi etanol dengan bahan baku pangan.
3
B. Rumusan Masalah
1. Berapa besarnya kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial
untuk diolah menjadi biobutanol ?
2. Berapa temperatur optimal dan kadar suspensi yang dapat diperoleh pada
hidrolisis sampah organik untuk mendapatkan kadar gula yang maksimal?
3. Apakah ada biobutanol yang dihasilkan pada fermentasi larutan gula?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1. Menentukan kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial untuk
diolah menjadi biobutanol.
2. Menentukan temperatur optimal dan kadar suspensi pada proses hidrolisis
sampah organik untuk mendapatkan kadar gula yang maksimal.
3. Menentukan konsentrasi biobutanol hasil fermentasi dengan uji kromatografi
gas (GC)
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat menyediakan data kadar gula yang diperoleh pada hidrolisis sampah
organik dan fermentasi hasil hidrolisis yang dapat digunakan sebagai dasar
evaluasi lebih lanjut.
2. Menyediakan data temperatur optimal dan kadar suspensi pada proses fermentasi
hasil hidrolisis larutan gula.
4
3. Menyediakan informasi penanganan limbah organik yang berupa limbah sayur
dan buah – buahan sebagai sumber energi yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SAMPAH
Pengelolaan sampah harus dijadikan prioritas utama untuk menghindari
masalah yang mungkin muncul di masyarakat. Sampah, menurut definisi (WHO)
adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang,
yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk
kegiatan industri) dan umumnya bersifat padat.
Tabel 1. menunjukkan bahwa sekitar 87% sampah di Makassar
merupakan sampah organik dan sekitar 13% adalah sampah anorganik, seperti
plastik dan kertas.
Tabel 1. Jumlah Persentase sampah di Kota Makassar
Sampah Perkotaan
Volume (m3)
Persentase
Sampah Organik
3.092,65
87.21
Kertas
156,74
4,42
Plastik
207,10
5,84
Logam, Kaleng, Besi, Aluminium
45,04
1.27
Karet, Ban
30,85
0,87
Kaca
7,80
0,22
Kayu
4,94
0,14
Sampah Lainnya
4,94
0,14
Sumber :Unit Tata Ruang dan Unit Kelola Lingkungan Makassar, 2006
Sumber sampah bisa bermacam – macam, diantaranya adalah dari rumah
tangga,
pasar,
warung,
kantor,
bangunan
umum,
industri,
dan
jalan.
Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan
5
6
mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat. Peningkatan
aktivitas manusia, lebih lanjut menyebabkan bertambahnya sampah. Faktor yang
mempengaruhi jumlah sampah selain aktivitas penduduk antara lain adalah
jumlah atau kepadatan penduduk, system pengelolaan sampah, keadaan geografi,
musim dan waktu, kebiasaan penduduk, teknologi serta tingkat sosial ekonomi
(Depkes RI, 1987).
Bila dilihat dari sifatnya (Nisandi, 1999), sampah dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu :
a.
Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa – senyawa
organik yang tersusun dari unsur – unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Yang
termasuk sampah organik adalah daun – daunan, kayu, kertas, karton, sisa –
sisa makanan, sayur, buah, yang mudah diuraikan oleh mikroba. Sampah
organik dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
1. Sampah organik yang mudah membusuk (garbage) yaitu limbah padat
semi basah berupa bahan-bahan organik yang berasal dari sektor
pertanian dan pangan termasuk dari sampah pasar. Sampah ini
mempunyai ciri mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah
membusuk, karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek.
2. Sampah organik yang tak mudah membusuk (rubish) yaitu limbah padat
organik kering yang sulit terurai oleh mikroorganisme sehingga sulit
membusuk. Hal ini karena rantai kimia panjang dan kompleks yang
dimilikinya, contoh dari sampah ini adalah kertas dan selulosa.
7
b.
Sampah non organik
Terdiri dari kaleng, besi, logam, gelas atau bahan lain yang yang tidak
tersusun oleh senyawa-senyawa organik. Sampah anorganik tidak dapat
diuraikan oleh mikroba.
Berdasarkan Rancangan Undang – Undang Pengelolaan Sampah oleh
Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2005) kegiatan pengelolaan sampah
meliputi :
1. Pengurangan
Pengurangan sampah dilakukan dengan cara mengurangi produksi dan
konsumsi barang yang kemasannya menggunakan bahan yang sulit di daur
ulang.
2. Pemilahan
Pemilahan sampah dilakukan dengan cara :
•
Memisahkan sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.
•
Memisahkan sampah yang tidak mengandung bahan berbahaya dan
beracun menjadi sampah kering dan sampah basah.
3. Pengumpulan
Pengumpulan sampah dilakukan dengna memindahkan sampah dari
sumber ke tempat penyimpanan sementara.
4. Pemanfaatan
Sampah dapat dimanfaatkan bauik untuk kepentingan komersial maupun
non komersial.
8
Sampah organik terutama sampah sayuran dan buah – buahan banyak
mengandung pati, gula, dan hemisolulosa, sehingga sangat potensial untuk
dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biobutanol. Oleh karena itu biobutanol
dari sampah organik baik untuk dikembangkan agar dapat menjadi salah satu
solusi permasalahan energi di Indonesia.
B. KARAKTERISTIK LIGNOSELULOSA
Biomassa lignoselulosa sebagian besar terdiri dari campuran polimer
karbohidrat, lignin, ekstraktif, dan abu. Kadang-kadang disebutkan holoselulosa,
istilah ini digunakan untuk menyebutkan total karbohidrat yang dikandung di
dalam biomassa yang meliputi selulosa dan hemiselulosa. (Isroi, 2008)
1. Lignoselulosa
Pada dasarnya, lignoselulosa terdiri dari holoselulosa dan lignin. Selulosa
dan hemiselulosa harus dihidrolisis terlebih dahulu agar dapat difermentasi
menjadi biobutanol. Proses hidrolisis ini perlu dilakukan untuk memecah
senyawa-senyawa selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula. Monomer
gula yang dimaksud disini adalah pentosa dan hexosa. Campuran semua selulosa
dan hemiselulosa disebut dengan holoselulosa, yang bebas dari lignin dan
memiliki pengaruh besar dalam pembentukan yield bioetanol (Fajar,HR. 2011).
Lignin adalah salah satu penyusun tanaman yang berfungsi sebagai bahan
pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga pohon berdiri tegak.
9
2. Selulosa
Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang
terdiri dari 2.000 - 26.000 atau lebih unit D-glukosa. Bentuk polimer ini
memungkinkan selulosa saling menumpuk/terikat menjadi bentuk serat yang
sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah unit D-glukosa di
dalam polimer, disebut dengan derajat polimerisasi. Derajat polimerisasi selulosa
tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 2000 – 27000 unit
D-glukosa. Polimer selulosa terdiri dari rantai glukosa tidak bercabang dengan
ikatan α -1,4 glikosida. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan
menggunakan asam atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat
difermentasikan menjadi bioetanol (Isroi, 2008).
Gambar 1. Struktur selulosa (Isroi, 2008)
3. Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida lain yang terdapat dalam
tanaman dan tergolong senyawa organik (Simanjuntak,1994) menyatakan bahwa
hemiselulosa bersifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, mudah mengembang
karena itu hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap bentuknya. Jalinan antara
serat pada saat pembentukan lembaran, lebih mudah larut dalam pelarut alkali dan
lebih mudah dihidrolisis dengan asam.
10
Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah larut
dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah sebaliknya.
Hemiselulosa juga bukan merupakan serat-serat panjang seperti selulosa. Hasil
hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hasil hidrolisis
hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida lainnya (Winarno,
1984).
Menurut Hartoyo, hemiselulosa tersusun dari gabungan gula-gula
sederhana dengan lima atau enam atom karbon. Degradasi hemiselulosa dalam
asam lebih tinggi dibandingkan dengan delignifikasi, dan hidrolisis dalam suasana
basa tidak semudah dalam suasana asam (Achmadi , 1980). Mac Donal dan
Franklin (1969) menyatakan bahwa adanya hemiselulosa mengurangi waktu dan
tenaga yang diperlukan untuk melunakkan serat selama proses mekanis dalam air.
Hemiselulosa berfungsi sebagai pendukung dinding sel dan berlaku
sebagai perekat antar sel tunggal yang terdapat didalam batang pisang dan
tanaman lainnya. Hemiselulosa memiliki sifat non-kristalin dan bukan serat,
mudah mengembang, larut dalam air, sangat hidrofolik, serta mudah larut dalam
alkali. Kandungan hemiselulosa yang tinggi memberikan kontribusi pada ikatan
antar serat, karena hemiselulosa bertindak sebagai perekat dalam setiap serat
tunggal. Pada saat proses pemasakan berlangsung, hemiselulosa akan melunak,
dan pada saat hemiselulosa melunak, serat yang sudah terpisah akan lebih mudah
menjadi berserabut (Indrainy, 2005).
11
C. BIOBUTANOL
1. Sifat Biobutanol
Biobutanol merupakan bahan bakar nabati yang berpotensi besar untuk
dikembangkan sebagai substitusi bensin. Beberapa kelebihan biobutanol sebagai
biofuel adalah dapat dengan mudah ditambahkan sebagai campuran premium,
dapat dicampur pada tingkat konsentrasi tinggi pada penggunaan standar mesin
kendaraan tanpa membutuhkan adaptasi khusus. Butanol adalah alkohol yang
memiliki 4 atom karbon dan mengandung energi hampir menyamai premium,
yaitu sebesar 29 MJ/liter dengan bilangan oktan 96. Nilai ini jauh di atas
bioethanol sebesar 22 MJ/liter. Wujud fisik dan baunya mirip dengan etanol, yaitu
alkohol dengan 2 atom karbon yang sering kita temukan sebagai larutan pensteril,
pelarut, atau sebagai campuran bensin. Saat ini, peran utama produk butanol
adalah sebagai pelarut cat, resin, dan produk antara untuk polimer (antara lain
butiral dehida, asam butirat, butena, butadiena). Biobutanol mempunyai
karakteristik yaitu (Perry's Chemical Engineer Handbook - 8th ed - 2007):
Titk leleh
: 89.30C
Titik Didih
: 117.70C
Pengapian temperature
: 350C
Flash Point
: 3650C
Massa Jenis pada 200C
: 0.80980C
Tekanan
: 48.40C
Temperature
: 2870C
Viscosits di 300C
: 2.307cP
12
Berbeda dengan etanol yang saat ini menjadi campuran untuk biopremium,
butanol
memiliki
berbagai
kelebihan
yang
membuatnya
layak
untuk
dipertimbangkan bukan hanya sebagai campuran bensin, tetapi sebagai pengganti
bensin.
Keuntungan Biobutanol dibandingkan Bioethanol :
•
Biobutanol memiliki beberapa karakteristik fisika dan kimia lebih mirip ke
bensin. Hal ini menyebabkan tidak perlu membangun infrastruktur baru untuk
transportasi. Biobutanol juga tidak larut dalam air seperti bioethanol sehingga
mudah menyebabkan korosi.
•
Biobutanol dapat dicampur dengan bensin dalam kadar bervariasi. Hal yang
sama tidak dimungkinkan dengan bioethanol. Campuran bioethanol bensin
memiliki kadar bioethanol maksimum 10 %. Lebih daripada itu harus ada
modifikasi khusus pada mesin kendaraan bermotor.
•
Akibat kandungan energi yang tidak jauh berbeda dengan bensin, maka bensin
campur biobutanol lebih ekonomis daripada bensin campur bioethanol
•
Secara lingkungan biobutanol lebih aman daripada bioethanol karena jika
tumpah tidak mudah mencemari air tanah akibat sifatnya yang menolak air.
2. PRODUKSI BIOBUTANOL
Biobutanol dapat diproduksi dengan fermentasi biomassa dari substrat
seperti biji jagung, alga, bahkan substrat yang mengandung lignin dan selulosa
sekalipun dengan menggunakan proses ABE. Proses ini menggunakan bakteri
Clostridium Acetobutylicum.
13
Aseton – Butanol – Etanol (ABE) fermentasi adalah proses fermentasi
yang menggunakan bakteri untuk menghasilkan aseton, n-butanol dan etanol dari
pati. Pembuatan biobutanol yang substratnya mengandung selulosa, lignin, dan
hemiselulosa ini memerlukan beberapa proses awal sebelum memasuki proses
fermentasi. Hal ini disebabkan karena rantai glukosa yang terkandung dalam
bahan lignoselulosa ini memiliki bentuk struktur yang berbeda sehingga tidak
dapat langsung dihidrolisis. Selain itu, pada bahan yang juga mengandung
hemiselulosa, terdapat tambahan kandungan pentosa. Untuk bahan yang
mengandung selulosa, terlebih dahulu harus melalui tahap hidrolisis. Hal ini
disebabkan karena mikroorganisme yang digunakan tidak mempunyai enzim
untuk memecah rantai glukosa tersebut menjadi gula yang selanjutnya diubah.
Adapun tahap – tahap produksi biobutanol dengan proses ABE, yaitu
memiliki dua tahap.
a. Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap pembebasan selulosa dari lignin
dan
struktur kristalnya, dimana rantai panjang glukosa dipecah menjadi molekul
gula yang bebas, sehingga dapt diubah oleh mikroorganisme. Proses ini biasa
juga disebut dengan proses hidrolisis. Proses hidrolisis untuk memecah rantai
polimer pada holoselulosa dapat dilakukan dalam 3 cara, yaitu :
1. Teknologi Hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis) .
Secara umum, hidrolisis asam encer terdiri dari dua tahap. Pada tahap
pertama sebagian besar hemiselulosa akan terhidrolisis. Tahap kedua
dioptimasi untuk menghidrolisis selulosa sehingga menghasilkan glukosa
14
yang selanjutnya akan difermentasikan. Jenis asam encer yang biasa
digunakan untuk hidrolisis ini adalah H2SO4 encer.
2. Teknologi yang kedua yaitu hidrolisis asam pekat (concentrated acid
hydrolysis), yang meliputi proses dekristalisasi selulosa dengan asam
pekat dan dilanjutkan dengan hidrolisis selulosa dengan asam encer.
Tantangan utama dari teknologi ini adalah pemisahan gula dengan asam,
recovery asam, dan rekonsentrasi asam (Scheper, 2007).
3. Metode hidrolisis ke tiga adalah hidrolisis enzimatik yang mirip dengan
proses – proses di atas yaitu dengan mengganti asam dengan enzim.
Teknik ini dikenal dengan teknik Hidrolisis dan Fermentasi Terpisah
(SHF, Separated Hydrolysis and Fermentation). Hidrolisis dengan enzim
tidak membuat atau menghasilkan kondisi lingkungan yang kurang
mendukung proses biologi / fermentasi seperti pada hidrolisis dengan
asam, kondisi ini memungkinkan untuk dilakukan tahapan hidrolisis dan
fermentasi secara bersamaan yang dikenal dengan
Simultaneuos
Saccharification and Fermentation (SSF). Teknik ini menggunakan
kombinasi enzim sellulase dan mikroorganisme fermentasi, gula yang
dihasilkan dari hidrolisis enzim selulase dapat secara segera diubah
menjadi biobutanol oleh mikroba. Tiga fraksi enzim sellulase dihasilkan
dari fungi mesofilik misalnya Trichoderma resei atau dari bakteri termofil
selulolitik seperti Themotoga, Anaerocellum, Rhodothermus, Clostridium,
Thermoascus, Thermophilum, Acremonium (Scheper, 2007 ; Kavanagh,
2005).
15
b. Tahap Kedua
Tahap ini dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi biobutanol
melalui proses fermentasi ABE. Fermentasi aseton-butanol-etanol (ABE)
dapat dilakukan oleh bakteri C. acetobutylicum yang mampu mengkonversi
gula menjadi pelarut aseton, butanol dan etanol (Gutierez dan Maddox, 1987 ;
Purwanto, 1995). C.
acetobutylicum dapat mengkonversi sejumlah besar
karbohidrat, termasuk heksosa dan pentose, hemiselulosa dan selulosa pada
kondisi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Produk fermentasi ABE biasanya
terdiri dari asam asetat, asam butirat, aseton, butanol, dan etanol.
Proses fermentasi dioptimalkan dengan penambahan nutrient – nutrient
protein dan dengan pengendalian pH menggunakan buffer basa (alkali).
Persamaan yang umum untuk fermentasi ABE adalah :
C6H10O5
Pati
C6H12O
CH3COCH3 + CH3(CH2)2OH + CH3CH2OH + CO2 + H2 …… . (1)
Glukosa
Aseton
Butanol
Etanol
Hasil akhir campuran pelarut adalah 30% berdasarkan bobot sumber gula
awal. Rasio produk normalnya adalah 60% butanol, 30% aseton dan 10% etanol.
Campuran pelarut hasil fermentasi dipisahkan dengan destilasi dan kolom
fraksionasi (Monick, 1968). Fermentasi ABE menggunakan C.acetobutylicum
memerlukan kondisi suhu 340C dengan nilai pH yang dibutuhkan adalah 6.5
(Kanchanatawe.,1992)
3. PEMURNIAN (DESTILASI)
Destilasi merupakan suatu perubahan cairan menjadi uap dan uap tersebut
didinginkan kembali menjadi cairan (Yoder.,1980). Destilasi atau penyulingan
16
adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan
atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam proses destilasi pada suhu
1170C (setara dengan titik didih butanol) akan menguap lebih lama dibandingkan
dengan air yang bertitik didih 1000C. uap butanol di dalam reaktor akan di alirkan
kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan butanol.
Perbedaan proses produksi biobutanol dengan produksi bioethanol
terutama pada proses fermentasinya dan sedikit berbeda pada proses destilasinya.
Sedangkan bahan baku yang dipergunakan adalah sama yaitu gula bit, gula tebu,
gandum jagung, gandum dan ketela pohon, tanaman non-pangan, serta produk
samping pertanian seperti jerami dan batang jagung. Produksi biobutanol dari
biomassa limbah (produksi samping) sektor pertanian akan lebih efisien.
4. ANALISIS BIOBUTANOL
Analisis biobutanol diukur dengan alat yang disebut Kromatografi Gas
(GC). Kromatografi gas (GC), merupakan jenis kromatografi yang digunakan
dalam kimia organik untuk pemisahan dan analisis, Oleh karena itu, senyawasenyawa kimia yang akan dipisahkan haruslah dalam bentuk gas pula. GC dapat
digunakan untuk menguji kemurnian dari bahan tertentu, atau memisahkan
berbagai komponen dari campuran. Kromatologi gas memisahkan suatu campuran
berdasarkan kecepatan migrasinya di dalam fasa diam yang dibawa oleh fasa
gerak.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, terhitung dari bulan Agustus
sampai bulan Oktober di Laboratorium Kimia Organik, Laboratorium Bioproses
dan Laboratorium Kimia Dasar Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.
B. Alat dan Bahan
1. Alat yang digunakan:
•
Bioreaktor
•
Oven
•
Timbangan
•
Petridisk
•
Gelas kimia 100 + 300 + 500 ml
•
Penyaring Vacum
•
Labu Takar 100 ml
•
Gelas Ukur 100 ml
•
Pipet Ukur 5 + 10 + 25 ml
•
Erlenmeyer 250 ml
•
Buret 50 ml
•
Pengaduk
•
Ose
•
Tabung Reaksi
•
Spatula
17
18
2. Bahan yang digunakan:
•
Sampah Organik (sampel)
•
Bakteri Clostridium Acetobutylicum
•
CuSO4.5H20
•
Asam Sitrat
•
Na2CO3
•
Na2S2O3
•
Pb – Asetat 5 %
•
Na2PO410%
•
H2SO4 25%; 40%; 0,5%; 0,5M
•
KI 20%
•
Indikator Amylum
•
Aquadest
•
Kertas Saring Biasa
•
Kertas Saring Whatman 41
C. Prosedur Kerja
1. Pengambilan dan Perlakuan awal sampel
Sampel untuk analisis dilakukan pengambilan diberbagai tempat,
yaitu di pasar Terong, TPA Ir.Sutami dan limbah rumah tangga, yang
selanjutnya di kumpulkan kemudian dikeringkan hingga kadar airnya di
bawah 10 %. Selanjutnya, analisis kandungan holoselulosa dilakukan
dengan cara Chesson Datta (1981).
2. Analisis kandungan holoselulosa sampel
•
1 gram sampel (a) ditimbang kemudian ditambahkan 150 mL H2O dan
direfluks selama 1 jam pada temperatur 100oC.
19
•
Campuran tersebut disaring kemudian residu dicuci dengan larutan air
panas (300 ml).
•
Residu kemudian dikeringkan dalam oven dan di timbang berat
konstan residu kering (b).
•
Residu kering (b) ditambahkan 150 mL H2SO41N (Lamp. 1, Hal.38),
kemudian direfluks selama 1 jam pada temperatur 100oC.
•
Campuran tersebut disaring sampai netral (300 ml) dan dikeringkan (c)
dalam oven, di timbang berat konstan residu kering.
•
Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO4 72 % (Lamp. 1, Hal. 39) dan
direndam pada temperatur ruangan selama 4 jam. Ditambahkan 150 ml
H2SO4 1 N (Lamp. 1, Hal 38) kemudian direfluks selama 1 jam pada
temperatur 100oC.
•
Residu disaring dan dicuci dengan H2O sampai netral (400 ml)
kemudian dipanaskan dengan oven dengan suhu 1050C dan hasilnya
ditimbang (d), selanjutnya residu diabukan dan ditimbang (e).
Dari prosedur fraksinasi lignoselulosa dapat diperoleh persamaan :
a) Fraksi hemiselulosa
=
× 100 %
b) Fraksi selulosa
=
× 100 %
c) Fraksi lignin
=
× 100 %
20
3. Hidrolisis bahan baku
a. Optimasi temperatur
•
900 ml larutan H2SO4 0,5% (Lamp.1, Hal.38) dan 100 gram bahan
baku sampah, dimasukkan
ke dalam bioreaktor (perbandingan
larutan H2SO4 0,5% (Lamp.1, Hal.38) dengan bahan baku sampah
adalah 1 : 9 gr/ml),
•
Kemudian reactor ditutup dengan sempurna dan pemanas disetting
mulai dari temperatur 1300C hingga temperatur 195 0C serta motor
pengaduk dinyalakan.
•
Ketika mencapai suhu 130; 140; 150; 160; 170; 180; 190; 1950C
diambil sampel kira-kira 30 ml, kemudian masing-masing sampel
tiap temperatur dianalisis kandungan glukosanya dengan metode
Luff Schroll.
•
Selanjutnya menentukan temperatur optimal untuk hidrolisis
b. Optimasi kadar suspensi
•
Percobaan diawali dengan memasukan larutan H2SO4 0,5%
(Lamp.1, Hal.38) dengan volume 600 ml dan sampel dengan berat
100 gram (perbandingan volume H2SO4 encer : sampel adalah 6 :1)
kedalam reaktor, kemudian reactor ditutup dengan sempurna dan
pemanas disetting hingga temperatur optimum yang telah diperoleh
serta motor pengaduk dinyalakan
21
•
Ketika pemanasan telah mencapai suhu temperatur optimum,
diambil sampel kira-kira 10 ml, kemudian konsentrasi gula
dianalisis dalam sampel dengan metode Luff school.
•
Percobaan diulangi pada berbagai nilai variabel perbandingan
pereaksi (6:1; 7:1; 8:1; 9:1; 10:1)
•
Selanjutnya menentukan perbandingan pereaksi optimal untuk
hidrolisis sampel.
4. Analisis Hasil Hidrolisis (Analisis Gula Metode Luff Schroll)
•
Sebanyak 1 gram sampel hasil hidrolisis ditimbang ke dalam
Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml akuades, selanjutnya Pb
10 % (Lamp.1, Hal.40) tetes demi tetes kedalam larutan, hingga tidak
terbentuk endapan lagi, kemudian dijernihkan dengan Na2PO4 10%
(Lamp.1, Hal.40).
•
Larutan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian filtrat
ditambahkan akuades hingga tanda batas.
•
25 ml filtrat dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer asah
dan ditambahkan 25 ml pereaksi Luff (Lamp.1, Hal.39), kemudian
ditambahkan batu didih dan dipanaskan selama 10 menit.
•
Setelah mendidih, didinginkan menggunakan air mengalir, kemudian
ditambahkan H2SO4 25% (Lamp.1, Hal.40) yg dilewatkan pada
dinding Erlenmeyer secara hati – hati.
22
•
larutan KI 20% (Lamp.1, Hal.39) sebanyak 10 ml ditambahkan
menggunakan pipet volum, kemudian dititar dengan menggunakan
larutan Tio 0,05 N (Lamp.1, Hal.39) yang telah distandarisasi,
kemudian ditambahkan Ind. amylum sampai larutan berubah warna
menjadi coklat susu.
•
Volume larutan penitar dicatat kemudian membuat larutan blanko.
•
kadar gula dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Angka Tabel (AT) =
.
×
Kadar Gula =
×
× 100 %
5. Untuk fermentasi hasil hidrolisis
•
100 ml masing – masing sampel hasil hidrolisis, dimasukkan ke dalam
tiap botol fermentasi (botol 3 ; 5 ; dan 7 hari), kemudian
masing–
masing
botol
fermentasi
ditambahkan
bakteri
C.Acetobutylicum sebanyak 1 Ose, kemudian ditutup rapat – rapat
dengan penutup yang telah disambungkan dengan selang.
•
Dilakukan fermentasi gula hasil hidrolisis selama 3 ; 5 ; dan 7 hari.
6. Analisis Biobutanol
Hasil
fermentasi,
terlebih
dahulu
didestilasi
(dimurnikan)
kemudian dilakukan Analisis dengan menggunakan kromtografi gas (GC),
yaitu dengan cara :
23
a. Analisis Kualitatif
•
Peralatan GC (Kromatografi) dihidupkan.
•
Sebanyak 1 µL butanol standar dengan kemurnian 99.9 %
diinjeksikan pada kromatograf sehingga diperoleh kromatogram
(rekaman hasil analisis) yang memuat data waktu retensi (Rt)
untuk butanol stndar tersebut.
•
Selanjutnya 1 µL masing – masing sampel, juga diinjeksikan pada
kondisi operasional yang sama sehingga diperoleh data waktu
retensi untuk sampel. Jika nilai Rtnya sama, berarti sampel dan
standar merupakan senyawa yang secara kualitatif sama.
b. Analisis kuantitatif
Dengan membandingkan luas area masing – masing sampel
terhadap luas area butanol standar, maka kemurnian butanol produk
hasil fermentasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Cx =
Keterangan :
Cx = Konsentrasi Sampel
Ax = Luas Area Sampel
Astd = Luas Area Standar
24
Adapun kondisi operasional GC sebagai berikut :
Temperatur oven
= 8000C
Temperatur Injektor
= 10000C
Temperatur Detektor
= 12000C
Laju Alir Gas Pembawa
= 30 ml/menit
Jenis kolom
= Apiezon. L (Packed coloum)
Detektor
= FID
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil analisis kandungan holoselulosa pada sampel
Analisis kandungan sampel (sampah organik) ini bertujuan menentukan
kadar holoselulosa yang terkandung pada sampah Organik dengan cara gravimetri
menggunakan metode Chesson Datta (1981) pada masing-masing komponen dan
hasilnya ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil komponen sampah Organik
Komposisi (%)
Menurut Penelitian
Komposisi (%)
Menurut Hasil Litbang Richan.
Selulosa
22,77
22,08
Hemiselulosa
34,27
58,91
24,05
15,23
Sampel
Lignin
Tabel 2 terlihat bahwa sampah organik memiliki kandungan lignoselulosa
yaitu hemiselulosa, selulosa dan lignin, sehingga berpotensi untuk dihidrolisis
menjadi gula. Dari ketiga komponen sampah organik tersebut hemiselulosa
merupakan komponen terbesar dari sampah. Tetapi kisaran kandungan
lignoselulosa berdasarkan hasil penelitian Litbang Richan yang diperoleh dalam
literatur terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini dibuktikan oleh Palqvist dan
Hagerdal (2000) bahwa untuk sumber karbohidrat yang berbeda maka kandungan
hemiselulosanya juga berbeda.
25
26
B. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Temperatur
Proses hidrolisis pada lignoselulosa memiliki tujuan untuk memecah
ikatan hemisellulosa dan menghilangkan kandungan lignin serta merusak struktur
selulosa menjadi senyawa gula sederhana (Sun dan Cheng. 2002). Hidrolisis
sampel bertujuan untuk mengubah hemiselulosa menjadi monomer gula.
Penentuan kadar gula setelah hidrolisis dianalisis dengan metode luff schroll.
Hasil analisis kadar gula diperoleh data dan ditunjukkan pada Tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3. Hasil perhitungan hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi
Temperatur.
Suhu (0C)
Kadar gula (%)
130
0.77
140
1.34
150
4.10
160
3.91
170
1.25
180
1.14
190
0.47
195
0.09
Dari hasil hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi temperatur, maka dapat
dibuat kurva seperti dibawah ini.
27
4.5
4.1
4
3.92
Kadar Gula (%)
3.5
3
2.5
2
1.5
1.35
1
1.14
0.77
0.5
0
1.25
120
130
0.48
140
150
160
Suhu (0C)
170
180
190
0.09
200
Gambar 2. Hubungan temperatur (suhu) dengan kadar gula hasil hidrolisis
untuk optimasi temperatur.
Penentuan kadar setelah hidrolisis pada berbagai variasi temperatur
dianalisis dengan metode luff schroll, Selanjutnya penentuan temperatur optimal
untuk hasil hidrolisis didasarkan pada hasil kadar gula optimal yang dihasilkan.
Hasil hidrolisis ditunjukkan pada gambar 2 terlihat bahwa kadar gula optimal
diperoleh pada temperatur 1500C.
C. Hasil Analisis Kadar Gula pada Optimasi Kadar Suspensi
Salah satu faktor
yang mempengaruhi
proses hidrolisis adalah
penambahan jumlah pereaksi sehingga dilakukan variasi jumlah pereaksi agar
didapatkan kadar gula optimal untuk fermentasi. Penentuan kadar gula setelah
28
hidrolisis dianalisis dengan metode luff schroll. Hasil analisis kadar gula
diperoleh data dan ditunjukkan pada Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Hasil Perhitungan kadar gula proses hidrolisis pada optimasi
kadar suspensi
Perbandingan Jumlah Sampel
dengan Larutan Asam
Kadar gula (%)
1:6
3.21
1:7
4.80
1:8
4.42
1:9
4.10
1 : 10
3.96
Dari hasil perhitungan kadar gula hasil hidrolisis pada optimasi kadar
suspensi maka dapat dibuat kurva dibawah ini :
Kadar Gula (%)
5
100:700, 4.8
4.5
100:800, 4.42
100:900, 4.1
100:1000, 3.96
4
3.5
3
100:600, 3.21
0
1
2
3
4
Perbandingan Sampel dan Pelarut
5
6
Gambar 3. Hubungan perbandingan kadar suspensi dengan kadar gula
Hidrolisis dengan larutan asam biasanya menggunakan larutan asam encer,
dimana kecepatan reaksinya sebanding dengan konsentrasi asam.
29
Pada penelitian ini konsentrasi asam yang digunakan sama yaitu H2SO4
0.5% yang berbeda adalah jumlah pereaksinya, karena sifat asam hanyalah
katalisator untuk mempercepat reaksi, sesuai dengan persamaan Arhenius,
semakin tinggi konsentrasi asam yang dipakai maka makin cepat pula reaksi pada
proses hidrolisis dan dalam waktu tertentu jumlah glukosa akan meningkat.
Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis menyebabkan terjadinya korosi
pada bahan material yang dipakai. Oleh karena itu, membutuhkan desain peralatan
yang spesial dan mahal, seperti keramik atau material yang dilapisi karbon
(Taherzadeh dan Karimi, 2007).
Penentuan
kadar
gula
pada
hidrolisis
dengan
berbagai
variasi
perbandingan jumlah pereaksi yang dianalisis dengan metode luff schroll.
Selanjutnya penentuan jumlah pereaksi optimal untuk hidrolisis didasarkan pada
kadar gula optimal yang dihasilkan. Hasil hidrolisis yang ditunjukkan pada
gambar 3 terlihat bahwa kadar gula optimal diperoleh pada perbandingan jumlah
pereaksi dan sampel yang dihidrolisis yaitu 1 : 7 dimana sampel (sampah organik)
100 gram dan larutan asam encernya 700 ml. Perbandingan antara lignoselulosa
dengan air yang tepat akan membuat reaksi hidrolisis berjalan cepat (Rina.H.,
dkk, 2009). Seperti yang terlihat pada gambar 3 dimana air yang terlalu banyak
menyebabkan menurunnya gula yang dihasilkan. Karena penggunaan air yang
berlabihan akan memperbesar penggunaan energi untuk pemekatan hasil.
Sebaliknya, jika jumlah air sedikit maka kekentalan suspensi menjadi tinggi,
sehingga zat-zat pereaksi tidak bisa bergerak dengan leluasa karena gerakan
30
zat-zat pereaksi yang lamban, maka tumbukan antara zat pereaksi akan berkurang
sehingga memperlambat jalannya reaksi.
Setelah memperoleh data-data optimasi untuk proses hidrolisis sampel,
selanjutnya melakukan hidrolisis sampah organik sebagai bahan baku untuk
proses fermentasi. Selanjutnya kadar gula dari proses hidrolisis yang didasarkan
pada data hasil optimasi variabel hidrolisis.
Tabel 5. Hasil analisis kadar gula hasil hidrolisis
Optimasi Kadar Suspensi
Temperatur
Hidrolisis (0C)
Kadar gula
(%)
1:7
150
4,80
Kandungan sampel yang berpotensi untuk dihidrolisis menjadi gula adalah
hemiselulosa. Pada hidrolisis pada suhu di atas, hemiselulosa terkonversi menjadi
gula pada temperatur rendah karena susunan ikatan pada hemiselulosa lebih
mudah dipecah dibandingkan struktur selulosa (Fajar, H.R. 2011). Pada
temperatur tersebut larutan asam bekerja maksimal dalam mengkatalisis
pemecahan hemiselulosa menjadi monomernya melalui reaksi hidrolisis. Reaksireaksi secara khusus terjadi selama perlakuan panas terhadap polisakarida. Pada
hidrolisis setelah temperatur optimal didapatkan, maka naiknya temperatur
selanjutnya terjadi penurunan konversi gula. Padahal pada dasarnya reaksi kimia,
semakin tinggi suhu maka kecepatan reaksi dan konversi semakin meningkat,
seperti yang diberikan oleh persamaan Arhenius. Hal ini tidak terjadi apabila
waktunya di perpanjang karena terjadi reaksi lebih lanjut dimana adanya glukosa
31
yang pecah membentuk senyawa lain yaitu senyawa asam karboksilat, senyawa
furan, dan senyawa fenol (Rina.H., dkk, 2009).
D. Hasil Analisis Produk Hasil Fermentasi Dengan Kromatografi Gas
Proses fermentasi pada pembuatan biobutanol bertujuan untuk mengubah
monomer gula hasil hidrolisis menjadi biobutanol. Fermentasi dilakukan selama 7
hari dan pada hari ke 3, 5, dan 7 dilakukan pengambilan sampel untuk Analisis
kromatografi yang digunakan untuk menentukan kadar biobutanol yang dihasilkan
dan untuk mengetahui lebih pasti, hasil fermentasi yang didapatkan betul – betul
biobutanol atau bukan. Uji dengan menggunakan GC ini, sebagai uji pendukung
untuk lebih meyakinkan bahwa biobutanol yang diperoleh benar biobutanol,
bukan zat – zat lain. Setelah dilakukan pengujian menggunakan alat GC diperoleh
data seperti pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Data pengamatan dengan uji GC
Waktu
Fermentasi
(Hari)
3
5
7
Ret. time
Luas Area
-
-
2.399
17312
2.463
10692
2.404
22523
Kadar
Butanol
(%)
-
Kadar
Aseton
(%)
-
Kadar
Ethanol
(%)
-
-
0.000072
0.000043
0.0159
-
-
Dari tabel di atas, dilihat bahwa hanya pada fermentasi hari ke-7 yang
menghasilkan biobutanol, pada fermentasi hari ke-3 belum ada biobutanol yang
dihasilkan, dan pada hari ke-5 sudah ada senyawa yang terbentuk, yaitu aseton
32
dan etanol. ini dapat dilihat dari perbandingan hasil uji GC standar aseton,
butanol, dan ethanol murni pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 7. Data pengamatan butanol murni dengan uji GC.
Sampel
Ret.Time
Luas Area
Aseton
2.378
241907837
Butanol
2.418
1413569
Etanol
2.468
248784537
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Besarnya kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial untuk
diolah menjadi biobutanol yaitu, 57.04 %.
2. Temperatur optimal dan kadar suspensi pada tahap hidrolisis hemiselulosa
menjadi gula yaitu pada suhu 1500C dan pada perbandingan 1 : 7 dengan
kadar gula 4.80 %.
3. Setelah dilakukan