Macam macam Alat Bukti yang Dapat Diajuk

Bab. I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, banyak sekali perkara yang diajukan ke pengadilan, baik perkara
perdata maupun perkara pidana. Setiap perkara yang diajukan pastilah membutuhkan
pembuktian untuk membuktikan sebuah dalil dalam hukum perdata atau kesalahan
terdakwa dalam hukum pidana. Pembuktian tersebut nantinya akan menjadi kunci
yang menentukan hasil dari pemeriksaan suatu peristiwa hukum.
Hukum Acara merupakan salah satu cabang hukum yang mempelajari tentang
cara-cara beracara dalam persidangan. Termasuk juga mempelajari tentang buktibukti apa saja yang dapat diajukan dan berlaku dalam persidangan. Tentunya,
pembuktian dalam Hukum Acara Pidana dengan Hukum Acara Perdata berbeda.
Masyarakat pada umumnya sering tertukar dalam memahami macam-macam
alat bukti yang berlaku pada Acara Pidana dan Acara Perdata dan menganggap sama
saja tidak ada bedanya. Padahal sebetulnya alat bukti dalam Hukum Acara Perdata
dan Hukum Acara Pidana tidak sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui
dalam perkara pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara
perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164
HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih
jelasnya agar dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai
berikut:
Alat Bukti Hukum Acara Perdata
(Pasal 164 HIR, 1866 BW)


Alat Bukti Hukum Acara Pidana
Pasal 184 KUHAP

Tulisan/Surat

Ket. Saksi

Saksi-saksi

Ket. Ahli

Persangkaan

Surat

1

Pengakuan


Petunjuk

Sumpah

Ket. Terdakwa1

Berdasarkan permasalahan tersebut, makalah kelompok kami diberi judul
Macam-macam Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas perlu kami berikan batasan, agar
pembahasan makalah kelompok kami lebih mengerucut, yaitu :
1) Alat bukti apa yang dapat diajukan dalam persidangan perdata?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan makalah kami
adalah:
1) Untuk mengetahui macam-macam alat bukti yang dapat diajukan dalam
persidangan perdata.


1 Rahmat Yudistiawan, Pembuktian dan Macam-macam Alat Bukti dalam Hukum
Acara Perdata, diakses dari https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/perangsalib-dan-invasi-mongol-oleh-rahmat-yudistiawan/, tanggal 27 April 2015 pukul 14:43 WIB

2

Bab. II Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Alat Bukti
Menurut

M. Yahya

Harahap,

S.H.,

dalam

bukunya Hukum

Acara


Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk
dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan
tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam
pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran
dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan
jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia
sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas Hukum
UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengandung
beberapa pengertian:
1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi
setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2. Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya
yang mempunyai tingkatan-tingkatan:


kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif

(conviction intime)



kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction
raisonnee)

3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis
dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala
kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian
3

konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini
hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh
hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak
menuju kepada kebenaran mutlak.
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat
diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum
perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru

besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal
pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht)
dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya
mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi memang ada suatu
pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan
hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam
pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan
kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya
yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa
Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat
hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.2
B. Prinsip-prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat
mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil
membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan
ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan
kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh

2 ibid

4

pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang tidak
harus dibuktikan antara lain :
1.

hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

2. hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
3. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire
feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri
oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor
pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.3
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan
siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti,
apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan
bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban

pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak
arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang
konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa
mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan
membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwaperistiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-peristiwa itu"4
C. Teori-teori tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian,
namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubung dengan menilai pembuktian,
hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang
3 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, HUKUM ACARA PERDATA dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 58-59
4 Fauzan, TEORI PEMBUKTIAN & ALAT-ALAT BUKTI DALAM HUKUM PERDATA,
PIDANA, & PTUN, diakses dari http://fauzanjauhari.blogspot.com/2013/11/teori-pembuktian-alat-alatbukti-dalam.html , pada 22 April 2015 pukul 21:53.

5

saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg,
1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan

alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870
BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah
hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa
didalam sidang, yaitu :
1. Teori Pembuktian Bebas.
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat
hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.
Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran
wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
2.

Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-

larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg,
1905 BW)
3. Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada

hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870
BW).5
D. Teori-teori tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas, maka pembuktian dilakukan oleh para
pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk
mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian
yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
1.

Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
5 Ibid.

6

Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya
dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
2. Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan
hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang

mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
3. Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa
penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum
obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus
membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari
hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
4. Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa dalam peradilan
merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang
lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang
sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti.
Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5. Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama
daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian
menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan
kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah
sama.

Bab. III Macam-macam Alat Bukti yang Dapat Diajukan dalam Persidangan
Perdata
1. Bukti Surat

7

Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian
dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan,
dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari
terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut.
Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164
RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal
167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894
KUHPerdata. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian alat bukti tulisan, antara
lain:
1) Menurut A. Pitlo, “ alat pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut
dengan

surat

adalah

pembawa

tanda

tangan

bacaan

yang

berarti

menerjemahkan suatu isi pikiran.
2) Menurut Sudikno Mertokusumo, “ alat bukti tertulis atau surat ialah segala
sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. “
3) Menurut Teguh Samudera, “ surat adalah suatu pernyataan buah pikiran atau
isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda bacaan dan dimuat dalam
sesuatu benda. “
4)

Menurut H. Riduan Syahrani, “ alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang dapat dimengerti dan mengandung suatu
pikiran tertentu. “
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa alat bukti

tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang merupakan buah
pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya. Maka surat yang dijadikan alat
pembuktian ditekankan pada adanya tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah
pikiran. Jadi, walaupun ada sesuatu benda yang memuat tandatanda bacaan akan

8

tetapi tidak menyatakan buah pikiran atau isi hati, maka hal tersebut tidak termasuk
sebagai alat bukti tertulis atau surat.
Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta,
yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah
tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :
1. Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja
untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.
Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian
akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus
ditandatangani. Maka tidak setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.
Adanya tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk identifikasi yaitu
menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya. Dan
dengan penandatanganan itu seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari
apa yang ditulis dalam akta tersebut. Yang dimaksud dengan penandatanganan ialah
membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi sesuatu
surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang
bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol
dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang
diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undangundang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal
dengan waarmerking.
Ditinjau dari segi hukum pembuktian akta mempunyai beberapa fungsi,
a. Akta Berfungsi sebagai Formalitas Kausa
Maksudnya, suatu akta berfungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya
suatu perbuatan hukum. Apabila perbuatan hukum yang dilakukan tidak
dengan akta, maka perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah
9

terjadi.Dalam hal ini dapat diambil contoh sebagaimana ditentukan dalam
Pasal-pasal 1681, 1682, 1683 KUHPerdata tentang cara menghibahkan ;
1945 KUHPerdata tentang sumpah di muka hakim, untuk akta otentik
sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti dalam Pasal-pasal 1610
KUHPerdata tentang pemborongan kerja, 1767 KUHPerdata tentang
meminjamkan

uang

dengan

bunga,

1851

KUHPerdata

tentang

perdamaian. Jadi akta disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya
suatu perbuatan hukum.
b. Akta Berfungsi sebagai Alat Bukti,
Fungsi utama akta ialah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama membuat
akta memang diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti.Dalam
masyarakat sekarang, segala aspek kehidupan dituangkan dalam bentuk
akta.Misalnya, dalam perjanjian jual-beli para pihak menuangkannya
dalam bentuk akta dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang
perjanjian tersebut.Bila timbul sengketa, sejak semula telah tersedia akta
untuk membuktikan kebenaran transaksi.
c. Akta Berfungsi sebagai Probationis Kausa,
Artinya, akta sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah
membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi, fungsi akta tersebut
merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu,
tanpa akta peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat
dibuktikan.Kedudukan dan fungsi akta tersebut bersifat spesifik.
Misalnya, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan,
hak tanggungan hanya dapat dibuktikan dengan akta hak tanggungan
sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 4 Tahun 1996, jaminan fidusia hanya
dapat dibuktikan dengan akta jaminan fidusia berdasar Pasal 6 UU No. 4
Tahun 1999. Berbeda halnya dengan perjanjian jual-beli barang.
Pembuktiannya tidak digantungkan satu-satunya pada surat perjanjian
10

jual-beli tertentu, tetapi dapat dibuktikan dengan keterangan saksi,
persangkaan, pengakuan ataupun dengan sumpah, tidak harus dengan akta.

Akta ini dapat di bagi lagi ke dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.
a) akta otentik Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa :
akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk
membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak
dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,
tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang
yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang
tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung
berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.“
Definisi ini tidak berbeda jauh dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang
menyatakan:
suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Dari kedua defenisi di atas ternyata ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada
yang dibuat di hadapan pegawai umum atau pejabat umum yang berkuasa
membuatnya. Akta otentik yang dibuat oleh pegawai/pejabat umum sering disebut
dengan akta pejabat ( acte ambtelijk ), sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan
pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai ( acte partij ).
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat, panitera,
pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu
perkara di persidangan pengadilan yang dibuat panitera, berita acara penyitaan dan
pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita acara
pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi, merupakan aktaakta otentik yang
11

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu panitera, juru sita, dan polisi.
Sedangkan akta jual-beli tanah di buat di hadapan camat atau notaris merupakan akta
otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu camat dan notaris.
Untuk membuat akta partai ( acte partij ) pejabat tidak pernah memulai
insiatif, sedangkan untuk membuat akta pejabat ( acte ambtelikj ) justru pejabatlah
yang bertindak aktif, yaitu dengan insiatif sendiri membuat akta tersebut. Oleh karena
itu, akta pejabat berisikan tidak lain daripada keterangan tertulis dari pejabat.
Sedangkan dalam akta partai berisikan keterangan para pihak sendiri, yang
dituangkan ( diformulasikan ) oleh pejabat ke dalam akta.
b) Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867 No.
29, tidak dalam HIR.Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura
diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 RBg.
Dalam Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg, dinyatakan :
dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan
rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak
memakai bantuan seorang pejabat umum.
Pasal 1874 KUHPerdata, menyebutkan :
sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, suratsurat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa
perantaraan seorang pegawai umum.
Demikian pula halnya Pasal 1 Stb. 1867 No. 29 menyatakan bahwa suratsurat, daftar ( register ), catatan mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang
dibuat tanpa bantuan seorang pejabat, termasuk dalam pengertian akta di bawah
tangan.

12

Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum.Misalnya, kuitansi, perjanjian
sewamenyewa, dan sebagainya.
2. Tulisan bukan akta
Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya.Walaupun
tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan,
tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.
2. Bukti Saksi-saksi
Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam pasal 169-172
HIR. Dalam hukum acara perdata saksi berada di urutan kedua sebagai alat bukti,
sedangkan dalam hukum acara pidana saksi berada di urutan pertama. Hal ini
dikarenakan dalam permasalahan perdata, orang selalu dengan sengaja membuat
alat-alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu di
kemudian hari. Misalnya orang yang memberikan pinjaman uang, akan meminta
dibuatkan suatu perjanjian pinjam meminjam. Dengan demikian alat bukti yang tepat
berada

dalam

urutan

pertama

dalam

permasalahan

perdata

memang

tulisan. Kemudian apabila tidak terdapat bukti tulisan, maka orang-orang yang telah
melihat atau mengalami sendiri peristiwa tersebut dapat diajukan sebagai saksi.6
Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami
sendiri suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk
menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja
menyaksikan suatu peristiwa.
Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah
sebagai berikut:
6 Bung Pokrol, saksi, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2867/saksi
pada tanggal 26 April 2015 Pukul 23:20 WIB

13



Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.



Yang

dapat

diterangkan

saksi

adalah

apa

yang

dilihat,

didengar,

diketahui, dan dialami sendiri.


Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.



Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan
keterangan.



Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan,
dan perkiraan dari saksi.



Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de
auditu).



Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis
nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.

Yang tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut (Pasal 145 ayat (1)
HIR):


Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari
salah satu pihak.



Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.



Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah
berumur 15 (limabelas) tahun.

14



Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.



Keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat didengar keterangannya dan
tidak boleh ditolak dalam perkara-perkara mengenai kedudukan perdata antara
kedua belah pihak.
Anak-anak yang belum dewasa dan orang gila dapat didengar keterangannya

tanpa disumpah. Keterangan mereka hanya dipakai sebagai penjelasan saja.
Saksi yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan keterangan sebagai
saksi adalah sebagai berikut:


Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan
dari salah satu pihak.



Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki dan
perempuan, serta suami atau istri salah satu pihak.



Orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya yang diwajibkan untuk
menyimpan rahasia.7

3. Persangkaan
Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915
KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, yang
bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang
tidak diketahui umum. Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915
KUH Perdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan
7
Abdullah
Tw,
Alat
Bukti
dalam
Perkara
Perdata
https://advosolo.wordpress.com/tag/saksi/ pada tanggal 26 April 2015 pukul 23:47

diakses

dari

15

rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang
tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG.
Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR
dan RBG adalah sebagai berikut:
Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan
undang-undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan
perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu
dan cocok satu sama lain.
Pasal 310 RBG:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undangundangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu
sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.
Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat
bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui
ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik
dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang
mendekati kepastian).
Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik
dari suatu peristiwa yang telah ”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu
peristiwa yang ”tidak terkenal”, dalam artian sebelum terbukti. Atau dengan kata lain:
Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta
yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada
langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari
fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang
terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui. Tentunya pengertian alat
bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untuk
dipahami.
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah
alat bukti yang menempati urutan ke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada
16

dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada
RBG Pasal 310 dan pada KUH Perdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab
Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.
Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBG hanyalah memuat
satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja,
tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan,
sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang
terdapat di dalam KUH Perdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui
pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur
dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, karena apa yang diatur pada kedua
pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.
Berikut adalah kutipan isi pada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam
KUH Perdata:
Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undangundang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah
suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Ada dua macam persangkaan, yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan
persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.

Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang
berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan
perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah diantaranya:
1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata
demi sifat dan ujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu
ketentuan undang-undang;

17

2. Hal-hal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau
pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu;
3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim
yang telah memperoleh kekuatan mutlak;
4. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada
sumpah salah satu pihak.

Pasal 1917
Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah
lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya.
Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah
sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh
dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.

Pasal 1918
Suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana
seseorang telah dijatuhkan hukuman
karena suatu kejahatan maupun
pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti
tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 1919
Jika seseorang telah dibebaskan dari suatu kejahatan atau pelanggaran yang
dituduhkan kepadanya, maka pembebasan itu di muka Hakim perdata tidak dapat
dimajukan untuk menangkis suatu tunntutan ganti rugi.
Pasal 1920

18

Putusan-putusan Hakim perihal kedudukan hukum orang-orang, yang mana
putusan-putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang
berkuasa membantah tuntutannya, adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang.

Pasal 1921
Suatu persangkaan menurut undang-undang membebaskan orang yang guna
keuntuangannya ada persangkaan itu, dari segala pembuktian lebih lanjut.
Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang tak diperizinkan suatu
pembuktian, jika berdasarkan persangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya
perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak penerimaan suatu gugatan; kecuali apabila
undang-undang sendiri mengizinkan pembuktian perlawanan, dan demikian itu tidak
mengurangi apa yang telah ditetapkan

mengenai sumpah di muka Hakim dan

pengakuan di muka Hakim.
Pasal 1922
Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri,
diserahkan kepada pertimbbangan dan kewaspadaan Hakim, yang namun itu
tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan lain, selain yang penting,
teliti dan tertentu, dan sesuai satu sama lain. Persangkaan-persangkaan yang
sedemikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang
mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan
suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan
adanya itikad buruk atau penipuan.8
Menurut Subekti apabila sulit mendapatkan saksi yang melihat sendiri
ataupun mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan
pembuktian dengan persangkaan. Sebagai contoh kasus gugatan perceraian yang
didasarkan atas perzinahan. Di dalam praktek memang sulit sekali menemukan
perzinahan yang tertangkap tangan. Bahkan jarang ada saksi yang melihat pada saat
8 Rofiq Nasihudin, Persangkaan dalam Hukum Acara Perdata, diakses dari
http://www.nasihudin.com/persangkaan-dalam-hukum-acara-perdata/33 pada 28 April 2015 Pukul
16:00

19

terjadi perzinahan. Namun jika ditemukan fakta seorang perempuan dan laki-laki
yang bukan suami istri menginap dalam satu kamar, dan hanya ada satu tempat tidur,
berdasar fakta-fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan persangkaan yang mendekati
kepastian, yakni bahwa telah terjadi perzinahan.
Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum
dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa
persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang
bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih
konkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum
diketahui. Paling tidak persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung
atau fakta langsung, tetapi merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta
langsung tersebut.
Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan
perantaraan alat bukti atau fakta lain, sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai
alat bukti, asesor kepada alat bukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil
berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian
secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat
bukti. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa persangkaan adalah merupakan
alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti yang lain
terlebih dahulu di dalam penggunaannya. Sehingga pencantumannya di dalam Pasal
1886 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBG dianggap kurang tepat.
Namun ada pula yang berpendapat bahwa persangkaan adalah tetap
merupakan sebuah alat bukti, dan pencantumannya di dalam KUHPerdata, HIR dan
RBG adalah tepat. Tentunya pendapat yang terakhir ini didasarkan pada Pasal 164
HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan dengan tegas bahwa bukti
persangkaan adalah alat bukti. Dengan penegasan bahwa persangkaan itu adalah alat
bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian daripada ketidak
hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan

20

kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat
bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa
prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, apakah alat bukti itu termasuk alat bukti atau
bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang
langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai
peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan
peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditanda tangani, yang
langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukanlah
merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang
apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya
keterangan dua orang saksi yang menerangkan bahwa seseorang berada di tempat X,
sedangkan yang harus dibuktikan adalah bahwa orang tersebut tidak berada di tempat
X, adalah merupakan persangkaan.
Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti,
sehingga tidak tepat disebut sebagai alat bukti yang hakiki, akan tetapi fungsi dan
perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa
mempergunakan

persangkaan

sebagai

perantara

(intermediary),

pelaksanaan

pembuktian berada dalam keadaan ketidakmungkinan atau imposibilitas. Dengan
demikian, alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara
(intermediary)

dalam

setiap

pembuktian.

Fungsi

dan

peranannya

adalah

mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih
konkret mendekati kepastian.
Sekiranya di dalam persidangan hakim menemukan fakta yang didukung oleh
alat bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian fakta atau
peristiwa tersebut, tidak bisa langsung dikonkretisasi tanpa mempergunakan
persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksi kesimpulan tentang

21

kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang
bersifat langsung tersebut.
Misalnya A menggugat B atas sebidang tanah. Dalil gugat, tanah telah dibeli
dan dibayar lunas, tetapi tidak mau menyerahkan. Untuk mendukung dalil gugat, A
mengajukan alat bukti akta jual beli PPAT, ditambah dengan beberapa orang saksi.
Meskipun sudah begitu kuat fakta yang ditemukan di dalam persidangan, namun hal
tersebut tidak bisa dikonkritkan tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara
untuk mengantarkan pembuktian yang kuat tadi mendekati kepastian.
Caranya dengan mendeskripsikan terlebih dahulu fakta-fakta yang telah
dibuktikan oleh akta PPAT dan keterangan para saksi. Dari diskripsi tersebut baru
ditarik kesimpulan yang lebih konkrit tentang adanya dugaan atau persangkaan
tentang kepastian jual beli dan keingkaran si B untuk menyerahkan.
Sebagai contoh, kasus Putusan MA No. 579 K/Pdt/1984. Dalam persidangan
ditemukan fakta-fakta, penggugat secara diam-diam (stilzwijgend) telah menyetujui
pembayaran utang dengan angsuran. Hal tersebut terbukti, angsuran pertama diterima
penggugat (kreditur) sebesar Rp 100.000,00. Selain itu, ditemukan fakta, tergugat
sebagai debitur berada pada kedudukan ekonomi lemah dan terjepit sebagai Pegawai
Negeri Golongan I, sedangkan penggugat (kreditur) adalah pihak dengan ekonomi
kuat dalam kedudukannya sebagai pengusaha. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat
diduga telah tercapai kesepakatan pembayaran utang secara angsuran. Kesimpulan
persangkaan tersebut diperkuat lagi dengan pertimbangan yang menyatakan dalam
perkara ini perlu dipertimbangkan faktor kemanusiaan. Seandainya hukum
memaksakan tergugat harus membayar dengan tunai sekaligus utangnya, jalan satusatunya yang akan ditempuhnya adalah dengan meminjam uang dari rentenir yang
akan menjerumuskannya ke jurang kehancuran. Oleh karena iu adalah layak dan patut
memberi keringanan kepadanya mengangsur pembayaran utang sebesar Rp 50.000,00
per bulan sampai lunas.

22

Baik di dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, di dalamnya tidak
mengatur mengenai klasifikasi alat bukti Persangkaan. Akan tetapi, KUH Perdata
mengatur klasifikasi bentuk dan jenis persangkaan. Hal ini diatur dan dijelaskan di
dalam Pasal 1915 KUH Perdata. Yang mana Persangkaan itu dibagi menjadi dua,
yakni: Persangkaan Undang-undang dan Persangkaan Hakim. Di bawah ini akan
dijelaskan tentang kedua persangkaan tersebut:
A. Persangkaan Undang-undang
Persangkaan undang-undang ada juga yang menyebut dengan sebutan
persangkaan berdasarkan undang-undang, ada juga yang menterjemahkan
dengan persangkaan menurut undang-undang. Terjemahan seperti itu berasal
dari redaksi aslinya wettelijke vermoeden, sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 1915 ayat (2) dan Pasal 1916 ayat (1) KUH Perdata. Jika bertitik tolak
dari

rumusan

asli

tersebut

menurut

Yahya

Harahap

lebih

tepat

menyederhanakan istilah dan penulisannya dalam bahasa Indonesia cukup
dengan persangkaan undang-undang. Oleh karena itu dapat disetujui apa yang
dikemukakan oleh Subekti, yang hanya menyebut dengan persangkaan
undang-undang saja.
Pengertian persangkaan undang-undang digariskan di dalam Pasal
1916 KUH Perdata, yakni: persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus
undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau
peristiwa tertentu. Persangkaan semacam ini, menurut Pasal 1916 KUH
Perdata antara lain adalah: (1) Perbuatan yang oleh undang-undang
dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan wujudnya, dianggap
telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang; (2) halhal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau
pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu; (3) kekuatan
yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak; (4) kekuatan yang oleh undang-undang

23

diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak. Misalnya
kekuatan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum mutlak
tadi lebih dari sekedar soalnya putusan. Putusan hakim pidana dapat menjadi
alat bukti dalam perkara perdata tentang perbuatan yang telah dilakukan,
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Persangkaan

menurut

Undang-undang

disebut

juga

sebagai

persangkaan hukum (rehtsvermoeden). Dalam penulisan sering juga disebut
juga dengan presumptiones juris (presumption of law). Bentuk persangkaan
undang-undang dibagi menjadi dua, yakni: persangkaan undang-undang yang
tidak dapat dibantah dan persangkaan undang-undang yang dapat dibantah.
a. Persangkaan Undang-undang yang Tidak Dapat Dibantah (irrebuttable
presumption of law)
Bentuk persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah diatur
dalam Pasal 1916 KUH Perdata. Hal ini digariskan dalam ayat (2) yang terdiri
dari angka 1, 3, 4. Untuk mengetahui ciri atau sifat persangkaan undangundang yang tidak dapat dibantah dalam Common Law adalah sebagai
berikut:
1) Pada ancaman pasal yang bersangkutan terdapat ancaman batal, batal
demi hukum atau dianggap tidak ada
a) Perbuatan Batal (null)
Misalnya, Pasal 1323 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat
berdasarkan paksaan (dwang) merupakan alasan batalnya perjanjian,
berarti undang-undang sendiri menyimpulkan perjanjian batal.
b) Perbuatan Batal Demi Hukum (null and void)
Misalnya, Pasal 1446 KUH Perdata, yang menegaskan semua pihak
atau yang dibuat oleh orang yang belum dewasa atau orang yang
berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum.

24

c) Perbuatan Dianggap Tak Pernah Ada (never existed)
Misalnya, perjanjian milik beding dalam hipotek, oleh Pasal 1178 ayat
(1) KUH Perdata ditegaskan segala janji yang memberi hak kepada
kreditur (pemegang hipotek) memiliki barang objek hipotek adalah
batal dalam arti klausul perjanjian itu dianggap tak pernah ada.
2) Pasal Undang-undang Memuat Larangan
Sebagai contoh, Pasal 1337 KUH Perdata, menegaskan setiap
perjanjian harus berdasarkan kausa yang halal, dan suatu perjanjian
dilarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau
ketertiban umum. Contih lain Pasal 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1974, yakni
melarang poligami tanpa persetujuan istri pertama dan tanpa izin dari
pengadilan. Apabila larangan tersebut dilarang, mengakibatkan perbuatan
tersebut batal demi hukum, dan hal tersebut disimpulkan berdasarkan
persangkaan yang digariskan Pasal 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1974.
Sebenarnya larangan tidak terlepas dari batal atau batal demi hukum.
Itu sebabnya sulit membedakan antara keduanya. Pada dasarnya setiap
yang dilarang pasti berakibat batal atau batal demi hukum. Begitu juga
sebaliknya, setiap tindakan atau perbuatan yang batal atau batal demi
hukum, dikarenakan melanggar aturan yang telah digariskan oleh undangundang. Yang pokok apabila ditemukan ketentuan pasal undang-undang
yang memuat larangan atau ancaman batal dalam ketentuan pasal undangundang yang bersangkutan terkandung persangkaan undang-undang, sifat
persangkaannya tidak dapat dibantah. Oleh karena sifatnya tidak dapat
dibantah, kesimpulan yang ditarik dari persangkaan undang-undang itu:
a) Berwujud pembuktian yang pasti dan menentukan
b) Hakim terikat untuk menerima kebenarannya serta terikat untuk
menjadikan persangkaan undang-undang itu sebagai dasar
pertimbangan mengambil putusan
25

c) Nilai kekuatan pembuktian alat bukti persangkaan undang-undang
yang tidak dapat dibantah bersifat:
(1) Sempurna (volledig)
(2) Mengikat (bindende)
(3) Menentukan (beslissend)
3) Beberapa contoh persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah
a)

Pasal 1152 KUH Perdata
Menurut pasal ini, objek barang gadai atas barang bergerak
harus diserahkan (berpindah tangan) di bawah kekuasaan kreditur.
Tidak sah atau batal hak gadai atas segala benda, apabila objek
barang gadai itu tetap dibiarkan berada dalam kekuasaan debitur.
Berdasarkan ketentuan ini, apabila objek barang gadai tetap
berada di bawah kekuasaan pemberi gadai atau dikembalikan
pemegang gadai kepada pemberi gadai, perjanjian gadai dianggap
atau disangka batal demi hukum. Atau bila objek barang gadai
dikembalikan pemegang gadai kepada pemberi gadai, oleh undangundang, perjanjian gadai dianggap telah telah berakhir. Anggapan ini
merupakan persangkaan yang lahir atau disimpulkan dari ketentuan
Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata, dan sifat persangkaannya tidak
dapat dibantah.

b)

Pasal 1168 KUH Perdata
Menurut pasal ini hipotek tidak dapat diletakkan oleh siapapun
selain oleh orang yang berwenang memindahkan benda tersebut.
Dengan adanya perkataan tidak dapat dalam pasal itu, telah
melahirkan persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah.
Oleh karena itu, suatu benda yang dihipotekkan oleh orang yang
bukan pemilik sendiri yang berwenang memindahtangankan benda

26

tersebut, dianggap batal demi hukum. Persangkaan yang lahir dari
anggapan hukum yang digariskan Pasal 1168 KUH Perdata tersebut
tidak dapat dibantah.
b. Persangkaan Menurut Undang-undang yang Dapat Dibantah (rebuttable
presumption of law).
Persangkaan menurut undang-undang yang dapat dibantah adalah hal-hal
yang disebut pada angka 2 Pasal 1916 KUH Perdata.Yakni hal-hal yang oleh
undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan hutang
disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu. Sebagai contoh Pasal 633 KUH
Perdata, yang bunyinya:
Setiap tembok yang dipakai sebagai batas antara bangunan tanah,
tanaman dan kebun milik seseorang dengan orang lain harus dianggap
sebagai tembok batas milik bersama, kecuali kiranya ada sesuatu alas
hak atau tanda-tanda, yang menunjuk akan sebaliknya.
Di dalam ketentuan ini ditegaskan anggapan hukum, tembok yang terletak
pada perbatasan antara dua orang atau lebih dari pemilik hak yang berbatasan
dengan tembok itu dianggap milik bersama. Akan tetapi pada kalimat
berikutnya anggapan hukum tersebut dapat dilawan atau dilumpuhkan. Dasar
unntuk melawannya ditegaskan dalam kalimat yang berbunyi: kecuali ada
sesuatu alas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya.
1) Ciri Persangkaan Menurut Undang-undang yang Dapat Dibantah
Memperhatikan pasal-pasal yang telah dikemukakan di atas, sudah
dapat dilihat bagaimana ciri persangkaan yang dapat dibantah. Ciri
pokoknya dalam pasal tersebut adalah:
a)

terdapat perkataan kecuali, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya,
dan

b) melainkan, melainkan dapat dibuktikan sebaliknya
Apabila pada suatu pasal terkandung persangkaan menurut
undang-undang, kemudian pada akhir kalimatnya terdapat perkataan
27

seperti ciri di atas, maka perkataan dan kalimat tersebut menunjukkan
ciri persangkaan hukum yang disebutkan di dalamnya adalah dapat
dilawan.
2) Alat Perlawanan Persangkaan
Mengenai alat perlawanan persangkaan menurut undang-undang
yang dapat dibantah, telah ditegaskan dalam pasal-pasal yang telah
dikemukakan di atas. Memperhatikan perkataan kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya, berarti perlawanan terhadap persangkaan
tersebut:
a) Dengan mempergunakan pembuktian apa yang telah disangkakan
undang-undang

sebagai

kebenaran,

dapat

dilawan

dan

dilumpuhkan dengan pembuktian, bahwa apa yang disangkakan
undang-undang tidaklah benar.
b) Oleh karena perlawanan terhadapnya melalui pembuktian, berarti
setiap perlawanan yang ditujukan untuk melumpuhkan suatu
persangkaan menurut undang-undang, harus menggunakan alat
bukti yang sah.
c) Mengenai penggunaan alat bukti untuk mencapai tujuan itu tidak
dibatasi, boleh dipergunakan setiap jenis alat bukti yang disebut
Pasal 164 HIR, Pasal 289 RBG, Pasal 1886 KUH Perdata.9
B. Persangkaan Hakim
Bentuk persangkaan ini diatur dalam Pasal 1992 KUH Perdata.
Persangkaan Hakim merupakan lawan dari persangkaan undang-undang,
tetapi persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan hakim. Misalnya
menyimpulkan seseorang berada di suatu tempat atau tidak, berdasarkan
keadaan atau fakta tertentu.

9 Ibid.

28

Merujuk kepada ketentuan Pasal 173 HIR, Pasal 1992 KUH Perdata,
pengertian persangkaan hakim adalah: persangkaan berdasarkan kenyataan
atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai
pangkal titik tolak menyusun persangkaan. Hal ini dilakukan hakim karena
undang-undang sendiri memberi kewenangan kepadanya berupa kebebasan
menyusun persangkaan.
Dalam pasal-pasal tersebut di atas, undang-undang menyerahkan
kepada pendapat dan pertimbangan hakim untuk mengkonstruksi alat bukti
persangkaan yang bertitik tolak atau bersumber dari alat bukti yang telah ada
dalam persidangan. Dari mana data yang terbukti itu diambil adalah bebas.
Yakni boleh diambil dari data yang dikemukakan penggugat, boleh juga dari
data yang berasal dari tergugat.
a. Cara Merumuskan Persangkaan yang Memenuhi Syarat Formil
Beranjak dari data fakta yang sudah diketahui, yang sudah terbukti untuk
mengungkap fakta yang belum diketahui.Cara mengungkapnya dengan jalan menarik
kesimpulan dari fakta yang sudah terbukti tadi. Sebagai contoh: Apabila melihat dari
luar, sebuah rumah gelap, dapat ditarik persangkaan, bahwa lampu dalam rumah
tersebut tidak dihidupkan. Dalam hal ini fakta yang terbukti dan diketahui adalah
melihat rumah dari luar pada waktu malam berada dalam keadaan gelap. Fakta yang
belum diketahui adalah, apakah lampu hidup atau dimatikan. Maka berdasar fakta
yang terbukti dan diketahui ”gelap”, dicoba menarik kesimpulan mengenai fakta yang
belum diketahui melalui persangkaan, yakni lampu dimatikan atau tidak dihidupkan.
b. Faktor yang Menjadi Unsur Membentuk Persangkaan
Dalam teori dan praktek, ada dua faktor atau unsur pokok yang dapat
membentuk persangkaan hakim:
1) Faktor fakta yang sudah terbukti dan sudah diketahui

29

Faktor fakta yang sudah terbukti adalah yang sudah diketahui, inilah
unsur pertama, yakni fakta yang sudah terbukti dalam proses
persidangan.
2) Faktor akal atau intelektualitas
Kalau fungsi faktor fakta yang sudah terbukti menjadi landasan
sumber untuk mengungkap fakta yang belum diketahui, maka faktor
akal merupakan unsur yang berfungsi sebagai alat menyusun uraian
kesimpulan untuk menemukan dan menentukan fakta yang belum
diketahui.
3) Tanpa memanfaatkan fungsi akal dan intelektual tidak mungkin
ditemukan dan ditetapkan kesimpulan apa dan bagaimana wujud dan
bentuk fakta yang belum diketahui.
c. Persangkaan yang Mendekati Kepastian
Terdapat perbedaan antara persangkaan yang satu dengan yang lain. Ada
persangkaan yang mendekati kepastian, ada persangkaan yang kurang
mendekati kepastian.Hal ini terjadi disebabkan landasan fakta yang menjadi
sumber persangkaan.Ada fakta yang sumbernya sangat kuat, ada fakta yang
sumbernya sangat lemah, atau fakta yang sumbernya bersifat subyektif.
Bertitik tolak dari kuat atau lemahnya fakta sumber persangkaan dalam
praktek:
1)