PERKAWINAN BEDA AGAMA PASCA PUTUSAN MAHK (2)

ABSTRACT

Interfaith marriage, in fact, is a contentious issue in the family law. The arrangement of interfaith marriage in Indonesia is experiencing a change since before and after the establishment of the constitutional Law of R.I. No. 1 of 1974 regarding Marriage. Although there are changes in the regulations but some parties consider that arrangement of interfaith marriage is not firm, it is unclear / smuggling law in it. Regulation of interfaith marriage in Indonesia is considered to have reduced the freedom to choose a mate and find the happiness with a partner of different religions. This is considered by the applicant that Article 2, paragraph 1 does not comply with the principle of freedom of human rights. This paper focuses on studying the problems of the interfaith marriages after a Constitutional Court decision No. 68 / PUU-XII / 2014 in the perspective of human rights. Constitutional Court rejected entirely about judicial interfaith marriage, as it is considered unreasonable under the law and marriage in Indonesia is based on religion. Constitutional Court’s decision contains the values of human rights with a particular meaning and is limited by the limited freedom of religion in Pancasila and the 1945 Constitution.

[Perkawinan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam hukum keluarga. Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia mengalami perubahan sejak sebelum dan setelah adanya UU R.I. Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Walaupun ada perubahan secara regulasi tetapi beberapa pihak menganggap bahwa pengaturan perkawinan beda agama tidak tegas, ada ketidakjelasan/penyelundupan hukum di dalamnya. Regulasi perkawinan beda agama di Indonesia dianggap telah mengurangi kebebasan untuk memilih jodoh dan menemukan kebahagiaan bersama pasangannya yang berbeda agama. Hal inilah yang dianggap oleh para pemohon bahwa Pasal 2 ayat 1 tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam HAM. Tulisan ini difokuskan untuk mengkaji permasalahan perkawinan beda agama pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam perspektif HAM. Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya tentang uji materiil perkawinan beda agama, karena dinilai tidak beralasan menurut hukum dan perkawinan di Indonesia yang berdasarkan agama. Putusan MK mengandung nilai-nilai HAM yang bermakna partikular dengan kebebasan terbatas dan dibatasi oleh agama dalam Pancasila dan UUD 1945]

Kata Kunci: Perkawinan, beda agama, Putusan Mahkamah Konstitusi, HAM.

(selanjutnya ditulis UUP atau UU Perkawinan) Perkawinan beda agama secara fakta me- dan setelah adanya UU Perkawinan. Namun

A. Pendahuluan

rupakan persoalan yang menjadi perdebatan walaupun ada perubahan secara regulasi tetapi dalam hukum keluarga. 1 Di Indonesia sendiri hal itu tetap saja dianggap beberapa pihak

perkawinan beda agama mengalami perubah- bahwa pengaturan perkawinan beda agama an sejak sebelum adanya Undang-Undang tidak tegas dan dianggap telah ada ketidak- Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelasan/penyelundupan hukum di dalamnya.

1 Yusdani, Menuju Fiqh Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015), hlm 22-23.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Danu Aris Setiyanto Dalam UU Perkawinan disebutkan bahwa ini bisa ditemukan dalam Pasal 16 DUHAM

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang yang menyatakan bahwa pelaksanaan per- dilakukan berdasarkan agama dan kepercaya- kawinan tanpa dibatasi perbedaan apapun

an masing-masing. 2 Bukan hanya itu saja pe- seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, laksanaan perkawinan beda agama terkadang agama, politik atau pendapat yang berlainan, menimbulkan masalah lain seperti keabsahan kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, pernikahan yang berakibat konflik hak dan kelahiran, atapun kedudukan lain. Perkawinan kewajiban suami dan isteri; hak waris mewarisi menurut HAM hanya didasarkan kepada per- suami isteri dan anak; masalah pengadilan setujuan kedua belah pihak yang melangsung-

untuk menyelesaikan perkawinan beda aga- kan perkawinan. 9 Lebih lanjut ia menjelaskan ma. 3

bahwa pengaturan HAM nasional diatur Yudicial review tentang regulasi perkawinan dalam UUD 1945 dalam bab tersendiri yang

beda agama juga telah diajukan oleh para pe- semakin diperluas sejak amandemen. Jika mohon 4 yang merasa dirugikan dengan ada- mengenai khusus perkawinan terdapat dalam

nya UU Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 28B UUD 1945 amandemen kedua. Selain Perkara tersebut juga telah diputuskan oleh itu juga terdapat Undang-Undang Hak Asasi Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK menyata- Manusia Nomor 39 Tahun 1999. Sedangkan kan penolakan seluruhnya tentang uji materiil kaitannya agama sebagai syarat sahnya per- UUP yang diajukan oleh pemohon. Permohon- kawinan diatur dalam UU Perkawinan Pasal an pemohon ditolak seluruhnya oleh MK 5 kare-

2 ayat (1). 10

na dinilai tidak beralasan menurut hukum. 6 Dari uraian di atas, jelas bahwa perkawin- MK justru menilai bahwa negara harus menge- an beda agama menjadi isu kontroversial dan luarkan peraturan dengan nilai agama, moral, problematika yang berakibat adanya perbeda- keamanan, dan ketertiban umum. Menurut MK an-perbedaan baik secara hukum positif mau- perkawinan beda agama justru tidak menim- pun dalam pandangan kebebasan dalam HAM. bulkan kepastian hukum. Selain itu, pembatas- Permasalahan tersebut semakin runcing se- an dalam perkawinan beda agama akan bisa telah adanya putusan MK yang bersifat final memberikan kebahagiaan dalam melaksankan dan menolak pengajuan uji materiil Pasal 2 perkawinan. 7

ayat (1) UUP. Sehingga dalam hal ini, terdapat Apabila dicermati terkait dengan isu Hak kegelisahan akademik yang ingin diteliti adalah Asasi manusia maka ada salah satu point ter- bagaimana perkawinan beda agama pasca penting dalam inti perjuangan HAM yaitu ke- putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/

bebasan. 8 Kebebasan dalam hal ini terutama PUU-XII/2014 perspektif HAM? Analisis da- terkait dengan kebebasan memilih jodoh. Hal lam tulisan ini akan menggunakan teori yang

2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

3 M. Kasayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, (Total Media: Yogyakarta, 2006), hlm. 89-90.

4 Pemohon tersebut adalah tiga konsultan hukum dan satu orang mahasiswa, Damian Agata Yuvens, Varita, dan Megawati Simarmata. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 , hlm. 1-2.

5 Putusan MK ini diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, 18 Juni 2015; Ibid., hlm. 154. 6 Ibid., hlm. 153. 7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014., hlm. 150-153. 8 Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktinya di Indonesia, (Bandung, Mandar Maju, 2016), hlm. 25. 9 Ibid., hlm. 27. 10 Ibid., hlm. 28.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam Persperktif HAM

berkaitan dengan HAM yang akan digunakan orang Indonesia asli berlaku Hukum Adat; bagi untuk menganalisis putusan MK tersebut.

orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Cristen Indonesier

B. Perkawinan Beda Agama di Indonesia

atau disingkat HOCI (Stb. 1933 No. 74); bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan Warga

1. Perkawinan Beda Agama Sebelum Negara Indonesia Keturunan Tionghoa berlaku

KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek); bagi orang- Peraturan mengenai perkawinan beda orang Timur Asing lainnya dan keturunannya agama sebelum adanya UU Perkawinan se- berlaku hukum adat mereka; dan bagi orang benarnya sudah mengalami beberapa perubah- Eropa dan Warga Negara Indonesia Keturun- an. Pada masa VOC perkawinan beda agama an Eropa berlaku KUHPerdata (Burgerlijk Wet- adalah merupakan hal yang dilarang terutama boek ). 13 orang Eropa yang beragama Nasrani dan orang

Undang-Undang Perkawinan

Berbagai macam aturan tersebut di atas Pribumi yang beragama non-Nasrani. Namun telah menyebabkan berbagai masalah tentang

karena VOC merugi, akhirnya VOC diambil perkawinan terutama ketika perkawinan di- alih resmi oleh Belanda. Sejak saat itulah Belanda lakukan oleh dua orang yang berbeda golong- mengukuhkan penjajahannya. Di bidang hu- an asal daerah atau berbeda agama. Maka pe- kum, Belanda memisahkan berdasarkan sekat merintah Belanda saat itu memberikan peng- asal-usul, dan hukum adat. Selanjutnya, politik aturan dalam bentuk Penetapan Raja tanggal hukum Belanda berusaha memisahkan antara

29 Desember 1896 No.158 (Stb 1898 No.158) hukum Islam dari masyarakat dan meng- yang merupakan peraturan tentang Perkawin-

utamakan berlakunya hukum adat. Pemerintah an Campuran atau Regeling op de Gemengde Belanda juga menerapkan penggolongan pen-

Huwelijken 14 (GHR). Sisruwadi menjelaskan duduk dan penerapan hukum-hukum yang bahwa dalam Staatblad 1896 No. 158 dikenal

berbeda-beda di setiap golongan dan mengu- dengan perkawinan campuran. Perkawinan rangi pemberlakuan hukum Islam di masya- dalam Staatblad tersebut ada empat jenis, yaitu: rakat. 11

perkawinan campuran internasional, per- Sebelum adanya UU Perkawinan di Indo- kawinan campuran antar tempat, perkawinan nesia terdapat bermacam-macam peraturan campuran antar golongan, dan perkawinan yang mengatur perkawinan bagi golongan

campuran antar agama. 15 masyarakat, mulai dari hukum adat sampai

Dari penjelasan di atas dapat diketahui hukum agama. 12 Peraturan perkawinan dibagi bahwa perkawinan beda agama pada mulanya

menjadi empat, yaitu: bagi orang Indonesia asli disebut pula dengan perkawinan campuran yang beragama Islam berlaku Hukum Islam atau hanya salah satu jenis dari perkawinan yang sudah diresepir dalam Hukum Adat; bagi campuran. Hal ini tercantum dalam GHR Pasal

11 Sri Wahyuni, “Politik Hukum Perkawinan dan Perkawinan Beda Agama di Indonesia”, Jurnal Pusaka, Malang: Vol., No. 2, Januari-Juni 2014, hlm. 6-7.

12 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama”, Jurnal Cita Hukum, Jakarta: Vol. II No. 2 Desember 2015, hlm. 290. Pemerintah Kolonial

Belanda berdasarjan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling), Stb. 1855 Nomor 2, membedakan penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Bumi putra. Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Bandung: Vol. 26 No. 1, 2008, hlm. 371.

13 Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga ..., hlm. 371. 14 Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri: Kajian Filosofis, Yuridis, Prosedural, dan Sosiologis, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2014), hlm. 149-150. 15 Sisruwadi, Praktek Perkawinan Beda Agama dalam Masyarakat Indonesia, slide dipresentasikan dalam seminar sehari yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta, hlm. 4.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Danu Aris Setiyanto

1. Dalam Pasal 1 GHR dinyatakan bahwa per- Beberapa pasal yang terkait dengan per- kawinan campuran adalah perkawinan antar kawinan beda agama terdapat dalam UU Per- orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada kawinan, yaitu: Pasal 2, Pasal 8 (f), Pasal 57, hukum yang berlainan. Perbedaan yang di- dan Pasal 66. Adanya beberapa Pasal di atas maksud dalam pasal ini mencakup dua per- menunjukkan bahwa perkawinan beda agama bedaan hukum, yaitu perbedaan agama dan telah diatur dalam beberapa Pasal UU Per-

perbedaan kewarganegaraan. 16 kawinan. Namun beberapa ahli hukum berbeda Pasal 7 ayat (2) GHR menegaskan bahwa pendapat tentang kebolehan atau larangan

perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama 18 perkawinan beda agama di Indonesia. sekali bukanlah halangan perkawinan. Hal ini

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang perkawin- menunjukkan bahwa sebelum adanya UUP, an menegaskan bahwa perkawinan yang sah perkawinan dapat dilakukan tanpa melihat adalah perkawinan yangan dilakukan me- perbedaan agama, bangsa atau asal. Perkawin- nurut hukum masing-masing agamanya dan an beda agama sebelum adanya UUP adalah 19 kepercayaannya itu. Pasal ini memberikan tindakan hukum yang sah yang diatur dalam pengertian bahwa perkawinan beda agama GHR dan pelaksanaannya dicatatkan di Kantor pada dasarnya tidaklah diperkenankan karena Pencatatan Sipil. 17

perkawinan yang sah adalah yang dilakukan oleh orang yang memiliki kesamaan agama dan

2. Perkawinan Beda Agama Sesudah

kepercayaan. Pasal ini juga menegaskan bahwa

Undang-Undang Perkawinan

perkawinan harus dilakukan menurut ketentu- Beberapa ahli hukum berbeda pendapat an agama, dan ketentuan yang dilarang oleh

tentang penafsiran beberapa Pasal tentang per- agama berarti dilarang juga oleh UU Perkawin- kawinan beda agama. Ada beberapa pendapat

an. 20 Sedangkan dalam Pasal 8 UU Perkawin- yang menyatakan bahwa sejak adanya UU an ditegaskan bahwa perkawinan dilarang

Perkawinan maka peraturan sebelumnya antara dua orang yang mempunyai hubungan tentang perkawinan beda agama tidak berlaku. yang oleh agamanya atau peraturan lain yang Namun ada juga yang mengatakan bahwa berlaku dilarang kawin. dalam UU Perkawinan, perkawinan beda

Lebih lanjut, M. Ashary memberikan agama tidak diatur secara jelas dan rinci. Per- contoh berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) di

bedaan inilah yang merupakan penyebab ada- atas. Dia menjelaskan apabila yang melakukan nya perbedaan tafsir hukum dan adanya pe- perkawinan adalah perempuan beragama laksanaan perkawinan beda agama di masya- Kristen dengan laki-laki beragama Islam, maka rakat.

16 Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010), hlm. 50. 17 Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri...,hlm. 150. 18 Zaidah Nur menegaskan bahwa perkawinan beda agama setelah adanya UU Perkawinan tidak diatur secara jelas

dan tegas. 19 Penjelasan dari Pasal ini berbunyi: “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Ermi Suhasti menjelaskan bahwa dalam pasal ini terdapat ketentuan bahwa perkawinan sah apabila mengikuti satu agama. Orang Islam hanya bisa mengikuti tatacara perkawinan dalam Islam, sehingga tidak mungkin dia melaksanakan perkawinan dengan nonmuslim dan mengikuti tata cara pelaksanaan perkawinan nonmuslim. Hal ini juga berlaku sebaliknya kepada nonmuslim. Menurutnya perkawinan juga tidak bisa dilaksanakan dengan mengikuti tatacara pelaksanaan dua agama sekaligus. Ermi Suhasti, “Harmoni Keluarga Beda Agama Di Mlati, Sleman, Yogyakarta”, Jurnal Asy-Syir’ah, Yogyakarta: Vol. 45, No. 1, 2011, hlm. 1234. 20 Zaedah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perkawinan Beda Agama”, Al-Ahkam: Jurnal Pemikiran Hukum Islam , Surakarta: Volume 23, Nomor 1, April 2013, hlm. 11.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam Persperktif HAM

tidaklah mungkin kemudian dilakukan akad masing-masing” yaitu hukum agama yang dua kali, sekali menggunakan agama Kristen

dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. dan sekali menggunakan agama Islam. Me-

Jadi perkawinan yang sah jika terjadi per- nurutnya, perbuatan hukum hanya bisa di-

kawinan antar agama, adalah perkawinan lakukan dengan sekali akad untuk menjamin

yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau

kepastian hukum. Apabila dilakukan dua kali agama calon isteri, bukan perkawinan yang akad maka justru tidak ada kepastian hukum.

dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut Selain itu, perkawinan tersebut juga sangatlah

kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. rumit dalam alat bukti, jika perkawinan me-

Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut nurut Islam maka dicatatkan perkawinannya

Hukum Islam, kemudian dilakukan lagi per- tersebut di KUA, dan apabila dia melakukan

kawinan menurut Hukum Kristen dan atau perkawinan secara Kristen maka dicatatkan di

Hukum Hindhu/ Budha, maka perkawinan itu Kantor Catatan Sipil. Dua akad perkawinan

tidak sah, demikian sebaliknya. 23

inilah yang juga bisa dipermasalahkan sebagai bukti perbuatan hukum. 21

Pasal 57 UU Perkawinan menegaskan

Wiratni juga men-

bahwa perkawinan campuran adalah per- jelaskan bagi orang yang beragama Islam,

kawinan antara dua orang yang di Indonesia dalam melangsungkan perkawinan harus ber-

tunduk pada hukum yang berlainan, karena dasarkan Hukum Islam, dan tidak mungkin

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu dirinya kemudian melanggar hukum agama

pihak berkewarganegaraan Indonesia. Se- Islam. Hal ini juga berlaku kepada agama yang

hingga dalam hal ini makna perkawinan cam- lain, yaitu: Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan

puran sebelum dan sesudah adanya UU Per- kepercayaannya masing-masing. 22

kawinan mengalami perubahan makna. 24 Me- Pendapat yang sama juga disampaikan oleh nurut GHR, perkawinan campuran merupa-

Hilman Hadikusumo, menjelaskan: kan perkawinan antara dua orang yang beda agama atau beda kewarganegaraannya. Se-

“Sahnya perkawinan menurut perundang- an diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor

dangkan dalam UU Perkawinan, perkawinan

1 Tahun 1974, yang menyatakan, “Perkawin- campuran adalah perkawinan yang terjadi antara WNI dan WNA saja. an adalah sah, apabila dilakukan menurut 25 Hal ini menun- hukum masing-masing agamanya dan keper-

jukkan bahwa perkawinan sah apabila orang cayaanya itu,”. Jadi perkawinan yang sah me-

yang melakukan perkawinan berbeda kewarga- nurut hukum perkawinan nasional adalah per-

negaraan tetapi memiliki agama yang sama. 26 kawinan yang dilaksanakan menurut tata ter-

Pendapat lainnya, tentang perkawinan beda tib aturan hukum yang berlaku dalam agama

Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Kata agama disampaikan oleh Sirman Dahwal. Dia “hukum masing-masing agamanya” berarti

berpendapat bahwa dalam Undang-Undang hukum dari salah satu agama itu masing-

Perkawinan di Indonesia harus diakui masih masing, bukan berarti “hukum agamanya

terpengaruh dengan hukum peninggalan

21 M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010), hlm. 56. 22 Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita..., hlm. 370. 23 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 26-27. 24 M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010), hlm. 50. 25 Zaedah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan ..., hlm. 11. Perkawinan campuran menurut UU Perkawinan dapat mengakibatkan memperoleh kewarganegaraan suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan UU Perkawinan Pasal 58. 26 Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia..., hlm. 52.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Danu Aris Setiyanto

Belanda. 27 Menurutnya perkawinan beda terjadi di masyarakat dapat ditempuh dengan agama di Indonesia belum diatur sepenuhnya tiga cara, yaitu: meminta penetapan pengadil- secara jelas dan rinci dalam UU Perkawinan. an terlebih dahulu kemudian pasangan men- Sehingga perkawinan beda agama diatur dan catatkan perkawinannya di Kantor Catatan

bersandarkan pada hukum sebelumnya. 28 Hal Sipil; perkawinan dilaksanakan menurut hu- inilah yang digunakan pegangan para hakim kum agama masing-masing pasangan; melang- di Pengadilan dalam mengabulkan permohon- sungkan perkawinan di luar negeri. 31 Adapun an perkawinan beda agama. Sehingga bagi pembahasan pencatatan perkawinan beda pasangan beda agama masih terdapat pilihan agama di Kantor Catatan Sipil (selanjutnya hukum (choice of law) untuk melangsungkan disingkat KCS) akan dibahas dalam subbab

perkawinannya. 29 berikutnya.

Penelitian Sri Wahyuni tentang pelaksana-

3. Pelaksanaan Beda Agama di Masyarakat

an perkawinan beda agama menunjukkan Realita dalam masyarakat adanya per- bahwa salah satu cara pelaksanaan perkawin-

kawinan beda agama adalah sesuatu yang an beda agama di daerah Gunungkidul adalah tidak dapat dipungkiri. Perkawinan beda dengan menundukkan diri atau masuk agama agama tetap saja terjadi seiring dengan adanya pasangannya, baik itu pindah secara semu atau pemahaman pluralitas agama. Kasus per- pindah agama dalam arti sesungguhnya. Per- kawinan beda agama dilakukan oleh sebagian kawinan beda agama tersebut dapat ditemui sebagian masyarakat dari berbagai profesi. di Gereja Katolik Wonosari dan beberapa KUA Sebagian masyarakat tersebut di antaranya di Gunungkidul. Hasil penelitiannya menun- adalah dari kalangan artis, seperti Ari Wibowo, jukkan bahwa perkawinan beda agama di Ari Siharsale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Gereja Katolik Wonosari mencapai 32% per Corbusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, tahun. Apabila ada nonmuslim yang melaku- dan lain sebagainya. Sebagian dari perkawinan kan perkawinan dengan muslim dan dicatat-

dari kalangan artis tersebut sudah bercerai. 30 kan di KUA maka sebelum melakukan per- Beberapa kasus di atas tentunya hanya bebe- kawinan harus mengucapkan ikrar syahadat. rapa kasus yang diberitakan dalam media, dan Ikrar tersebut dibuktikan dengan adanya ber- tentu saja masih banyak kasus yang tidak kas khusus, sehingga data perkawinan beda terdeteksi oleh media.

agama di KUA dapat diketahui melalui doku- Wahyono Damabarata menjelaskan se-

men pencatatan perkawinan. 32 bagaimana dikutip oleh Sirman Dahwal bahwa

Perkawinan beda agama di masyarakat pelaksanaan perkawinan beda agama yang juga bisa ditemukan di Mlati, Sleman, Daerah

27 Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 66 UU Perkawinan beserta penjelasannya dan pelaksanaanyaPeraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hal ini juga dijelaskan dalam penjelasan umum Nomor. 5 bahwa, “apabila mengenai suatu hal

undang-undang ini tidak mengaturnya dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada”. Selain itu, juga ada dalam penjelasan Pasal 47 PP Nomor 1975 mengemukakan bahwa, “dengan berlakunya peraturan Pemerintah ini, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam peraturan pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku”. 28 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Penjelasan Umum Nomor 5 Undang-undang Perkawinan Nomor

1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975. 29 Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama dalami..., hlm. 166.

30 Zaedah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan ..., hlm. 3. 31 Sirman Dahwai, “Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama..., hlm. 468. Dalam refernsi lain menyebutkan ada 4 cara

dalam pelaksanaan perkawinan beda agama menurut Wahyono Darmabarata, yaitu ditambah dengan menundukkan sementara pada salah satu hukum agama. Sisruwadi, Praktek Perkawinan Beda Agama dalam Masyarakat Indonesia, slide dipresentasikan dalam seminar sehari yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta, hlm. 12.

32 Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri..., hlm. 42-43.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam Persperktif HAM

Istimewa Yogyakarta. Ermi Suhasti dkk telah agama sebagai perkawinan yang sah. Menurut- melakukan penelitian di daerah tersebut dan nya, aturan perkawinan beda agama dianggap menemukan data bahwa di Kecamatan Mlati tidak efektif, sehingga ahli hukum dan KCS (terdapat dua desa, yaitu Tirtoadi dan Sindu- tidak seragam dalam memberikan tafsir UU adi) tercatat 18 keluarga pasangan beda agama, Perkawinan. 35

7 pasangan keluarga beda agama di desa Sindu- Dalam seminar “Praktek Perkawinan Beda adi, dan 11 pasangan keluarga beda agama di Agama dalam Masyarakat Indonesia ” oleh Kepala

desa Tirtoadi. Perkawinan beda agama dilaku- Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kan dengan cara pindah agama secara semu, Kota Yogyakarta dijelaskan bahwa adanya yaitu salah satu pasangan menundukkan diri fakta-fakta perkawinan beda agama mendo- atau pindah agama mengikuti agama pasang- rong adanya yurisprudensi untuk pencatatan annya untuk sementara, setelah terjadi akad perkawinan beda agama tahun 1986-an. Na- perkawinan dan dicatatkan maka masing-ma- mun lebih lanjut dijelaskan bahwa seiring de- sing pasangan kembali ke agama yang semula. ngan kesadaran hukum dan meningkatnya Hal tersebut mengakibatkan adanya keluarga kesadaran beragama dalam masyarakat kasus

dengan pasangan beda agama. 33 permohonan beda agama yang diajukan me- Pencatatan perkawinan beda agama di lalui KCS bisa dikatakan tidak ada. Selain itu,

Mlati, Sleman dilakukan secara beragam, se- dijelaskan bahwa KCS melakukan semua pen- bagian mereka dicatat oleh KUA dan sebagian catatan perkawinan berdasarkan Undang-un- lain dicatatkan di KCS. Pasangan keluarga beda dang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Pencatat- agama di Sleman ini pun juga melakukan 36 an Perkawinan. perkawinan ditempat yang beragam pula.

Muhammad Ashsubli menjelaskan bahwa Sebagian pasangan beda agama ada melakukan dalam prakteknya pencatatan perkawinan perkawinan yang di KUA saja, ada yang di KCS beda agama di KCS selama ini hanyalah untuk saja, sebagian lain dilakukan di gereja dan KCS, memenuhi persyaratan formil administrasi saja dan sebagian yang lain melakukan perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Per- beda agama di KUA dan gereja sekaligus. kawinan. Keabsahan perkawinan tersebut ter- Agama anak dari hasil perkawinan beda agama gantung kepada agamanya masing-masing ini pun juga tidak selamanya sama antara dan keinginan dari kedua calon mempelai. keluarga satu dengan yang lain. Misalnya, jika Sehingga dalam hal ini tidak dipungkiri adanya pasangan itu muslim dengan non muslim, maka upacara atau tradisi perkawinan dari masing- ada anak yang beragama islam, namun ada juga masing agama. 37 sebagian yang beragama nonmuslim. 34

Sesuai dengan penjelasan di atas, hasil Alyasa Abu Bakar menjelaskan bahwa penelitian Setiati Widihastuti dkk tentang kaji- terdapat kesan bahwa bahwa sebagian petugas an terhadap perkawinan antar orang berbeda KCS mengizinkan dan mengakui pernikahan agama di wilayah hukum kota Yogyakarta beda agama. Hal ini menyebabkan beberapa menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan KCS tetap saja mencatatkan perkawinan beda beda agama di KCS Yogyakarta masih menim-

33 Ermi Suhasti, “Harmoni Keluarga Beda Agama di Mlati, Sleman, Yogyakarta”, Jurnal Asy-Syir’ah, Yogyakarta: Vol. 45, No. 1, 2011, hlm. 1234.

34 Ermi Suhasti, “Harmoni Keluarga Beda Agama..., hlm. 1234. 35 Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim dengan Non-Muslim dalam Peraturan Perundang-Undangan, Jurisprudesi dan Praktek

Masyarakat , (Aceh: Dinas Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm. 3-4. 36 Sisruwadi, Praktek Perkawinan Beda Agama..., hlm. 5.

37 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama”, Jurnal Cita Hukum, Jakarta: Vol. II No. 2 Desember 2015, hlm. 290.

19

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Danu Aris Setiyanto bulkan sejumlah masalah. Menurutnya per-

kawinan beda agama pada hakikatnya tidak bisa dinyatakan sah sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Oleh sebab itu, pencatatan- nya di KCS tersebut tidaklah mudah dilakukan karena diperlukan adanya ijin atau dispensasi dari Pengadilan Negeri. 38

Selanjutnya, Pengadilan Negeri pun pada hakikatnya tidak bisa menentukan sah atau tidaknya perkawinan, namun terkait hal ini selama ada saran oleh Pencatatan Sipil maka Pengadilan Negeri tetap akan memeriksa dan memutus perkawinan beda agama. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Permasalahan semakin rumit karena hakim Pengadilan Negeri Yogya memiki dua pandangan yang berbeda terkait dengan permohonan izin perkawinan beda agama. Ada hakim yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak bisa diberikan izin karena sesuai Pasal 2 ayat (1), namun ada pendapat hakim yang lain menyatakan bahwa perkawin- an beda agama tetap bisa diberikan izin karena UU Perkawinan tidak mengaturnya. 39

Perkawinan beda agama di KCS sudah lama terjadi dengan jumlah yang tidak sedikit. Misalnya, perkawinan beda agama di KCS ter- catat di Jakarta Tahun 1958 ada 90 pasangan, dan pada tahun 1986 terdapat 79 pasangan. 40 Pada Tahun 2011 di KCS Jakarta pada bulan Mei 2011 terdapat 79 pencatatan perkawinan yang terjadi di luar negeri, dan pada bulan Juni 2011 terdapat 48 peristiwa pencatatan per-

kawinan beda agama di luar negeri. 41 Berdasar-

kan data di atas pencatatan perkawinan beda agama di KCS Jakarta telah terjadi peningkat- an. Hal ini terlihat dengan jumlah yang sama,

namun kurun waktunya berbeda, jumlah 79 pencatatan perkawinan beda agama pada tahun 1986 setara dengan waktu sebulan pada bulan Mei 2011.

Pendapat lainnya disampaikan oleh Sirman Dahwal, menurutnya bahwa sejak adanya penetapan perkawinan beda agama dari peng- adilan dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil maka hal itu menurut hukum positif perkawin- an dinyatakan sah. Hal ini disebabkan karena hakim telah memiliki pertimbangan secara hukum dalam memutuskan setiap perkara yang ditangani. Menurutnya, hakim yang me- nangani berpendapat dan mempertimbangkan adanya kekosongan hukum terkait perkawinan beda agama. Selain itu juga mempertimbang- kan adanya jurisprudensi tentang perkawinan beda agama, sehingga perkawinan beda agama tersebut dapat dicatatkan di Kantor Kepen- dudukan dan Catatan Sipil. 42

Dengan sejumlah permasalahan perkawin- an beda agama apabila dilakukan di dalam ne- geri sebagaimana penjelasan di atas, maka ke- mudian banyak artis atau orang yang memiliki keuangan cukup melakukan perkawinan beda agama di luar negeri. Perkawinan tersebut biasanya dilakukan di Singapura atau Australia. Dengan mengadakan perkawinan beda agama di luar negeri, maka perkawinan tesebut tun- duk kepada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut kemudian mendapat akta pernikahan dari negara tempat berlangsungnya perkawin- an, artinya mereka tidak mendapatkan akta perkawinan dari negara. Setelah kemudian mereka kembali ke Indonesia, perkawinan mereka dicatatkan di KCS. Pencatatan tersebut paling lambat sejak satu tahun setelah kembali ke Indonesia. 43

38 Setiati Widiastuti dkk, “Kajian Terhadap Perkawinan antar Orang Beda Agama di wilayah Hukum Kota Yogyakarta, “Socia: Jurnal Ilmu-ilmu Sosial , Universitas Negeri Yogyakarta, Vol. 11, No. 2, September 2014, hlm. 138.

39 Ibid., hlm. 138-139. 40 M. Kasayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, (Total Media: Yogyakarta, 2006), hlm. 88. 41 Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri ..., hlm. 42-43. 42 Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama..., hlm. 190.

43 Ibid., hlm. 18-19.

Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam Persperktif HAM

Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda tingkat tetapi agama dan kepercayaan telah agama baik di dalam negeri atau di luar negeri mendapatkan sumber formal dari negara. Hal pada hakikatnya menimbulkan perbedaan inilah yang menurut para pemohon akan me- konsep tentang sah atau tidaknya perkawinan munculkan paksaan agar setiap warga negara tersebut. Perbedaan pandangan tersebut juga tunduk kepada suatu penafsiran yang dianut muncul di antara dari perbedaan antara hakim negara atas masing-masing agama/kepercaya- Pengadilan Negeri yang memutuskan per- an. Sehingga, pemohon berpendapat jika ada mohonan izin perkawinan beda agama, dan penafsiran di luar penafsiran negara dapat pegawai pencatat perkawinan di KCS. Walau- berimplikasi tidak sahnya perkawinan. 45 pun demikian, pelaksanaan pencatatan per-

Para pemohon berpendapat bahwa dalam kawinan beda agama di KCS adalah sesuatu Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan terdapat ke-

yang terjadi sebagaimana penjelasan di atas. tidakpastian hukum. Hal ini disebabkan pe- nerapan hukum agama dan kepercayaan

C. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor sangatlah tergantung pada interprestasi baik 68/ PUU-XII/2014 Tentang Perkawinan individual maupun institusional. Menurut para

Beda Agama

pemohon bahwa agama dan kepercayaan di Indonesia memiliki pandangan yang berbeda-

1. Latar Belakang Putusan Mahkamah Kons-

beda terkait tentang dibolehkan atau tidaknya

titusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 Tentang

perkawinan beda agama. Permasalahan ini ke-

Perkawinan Beda Agama

mudian menjadi semakin rumit apabila dikait- Pada tanggal 4 Juli 2014, tiga konsultan kan dengan pencatatan perkawinan sebagai

hukum dan seorang mahasiswa (selanjutnya kewajiban administratif. Terkait dengan pen- disebut sebagai pemohon) yaitu Damian Agata catatan perkawinan, penilaian terhadap ke- Yuvenus, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi absahan perkawinan menjadi tiga kali dilaku- mengajukan permohonan judicial review ke MK. kan, yaitu: oleh institusi agama dan kepercaya- Pemohon mengajukan permohonan yudicial an, oleh para pihak yang melaksanakan per- review terhadap pasal 2 ayat (1) Undang-Un- kawinan, dan oleh pegawai pencatat per- dang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawin- kawinan ketika melakukan penelitian syarat an. Pasal tersebut menyatakan bahwa: “Per-

perkawinan. 46 Lebih lanjut dijelaskan bahwa kawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut keberadaan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan

hukum masing-masing agamanya dan kepercaya- justru dianggap mereka menimbulkan sejum- anya itu .” 44 lah permasalahan. Sehingga para pemohon

Para pemohon kemudian membedakan kemudian memohon untuk diubah menjadi: pasal tersebut menjadi dua tingkatan, yaitu ter-

“Perkawinan yang sah apabila dilakukan me- kait pembicaraan keabsahan perkawinan yang

nurut hukum masing-masing agamanya dan ditetapkan oleh hukum nasional yang didasar-

kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran kan pada hukum masing-masing dan keper-

mengenai hukum agamanya dan kepercaya- cayaan, dan penilaian terhadap keabsahan per-

annya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai 47 ”.

kawinan dilakukan oleh masing-masing hu- kum agama dan kepercayaan. Menurut para

Harapan terhadap para pemohon selanjut- pemohon, walaupun dipisahkan secara ber- nya dengan perubahan pasal tersebut adalah

44 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 2-3. 45 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 3. 46 Ibid., hlm. 4. 47 Ibid., hlm. 5.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Danu Aris Setiyanto untuk melindungi dan menyelamatkan para

yang sah terkait dengan Pasal 2 ayat (1) pihak yang telah, sedang, atau akan melang-

melanggar Pasal 28E ayat (1) UUD 1945; 51 sungkan perkawinan beda agama. Menurut c. Adanya ruang penafsiran yang amat luas

para pemohon bahwa perubahan dalam Pasal dan menimbulkan pertentangan antara tersebut tidak akan menyebabkan hilangnya

norma sehingga tidak dapat menjamin aspek religius dalam konstelasi hukum per-

terpenuhinya hak atas kepastian hukum kawinan di Indonesia. Hal ini diharapkan pula

yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal supaya tidak terjadi penyelundupan hukum

28D ayat (10 UUD 1945; 52 dan juga tidak membiarkan negara melakukan d. Adanya pertentangan dalam Pasal 2 ayat 1

pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan UU Perkawinan terhadap Pasal 27 ayat (10 hak konstitusional dari seluruh warga negara

dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mengenai Indonesia. 48

hak atas persamaan di hadapan hukum dan Keseluruhan alasan pemohon dituliskan

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai dalam rincian alasan pemohon yang dibagi

kebebasan dari perlakuan diskriminatif; 53 menjadi dua alasan, yaitu alasan uji materiil e. Adanya pembatasan hak dan kebebasan

dan alasan uji formil 49 . Para pemohon merinci yang tidak sesuai dalam Pasal 28J ayat (2) alasan uji materiil permohonannya menjadi

UUD 1945. 54

lima alasan dan tiga alasan secara formal. Pemohon menyatakan ada beberapa hal yang

2. Pertimbangan Hukum, Alasan Berbeda

menjadi alasan uji materiil yaitu:

(Concurring Opinion) dan Putusan Mah-

a. Adanya penghakiman negara terhadap

kamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/

warga negara Indonesia yang melang-

2014 Tentang Perkawinan Beda Agama

sungkan perkawinan melalui Pasal 2 ayat Sebagaimana pernyataan pemohon maka (1) dinilai melanggar pasal 28E ayat (1) Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionali- dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal tas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

29 ayat (2) UUD 1945; 50 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Pasal 27 ayat (1) b. 55 Adanya pembatasan dalam melangsung- , Pasal 28B ayat (1) 56 , Pasal

57 58 kan perkawinan dan membentuk keluarga 59 28D ayat (1) , Pasal 28E ayat (1) dan (2) ,

48 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 6. 49 MK berpendapat bahwa bahwa pemohon terkait uji formil karena telah melewati masa tenggat 45 (empat puluh

lima) hari setelah Undang-undang perkawinan a qua dimuat dalam Lembaran Negara. Maka MK tidak dapat mempertimbangkan permohonan pengujian formil yang diajukan para pemohon berdasarkan Putusan Nomor 27/ PUU-VII/2009. Ibid, hlm. 150.

50 Ibid., hlm. 16-22. 51 Ibid., 2014 , hlm. 22-26. 52 Ibid. , hlm. 26-35. 53 Ibid. , hlm. 36-38. 54 Ibid. , hlm. 38-45. 55 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ”. 56 Pasal 28B ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah ”. 57 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ”. 58 Pasal 28E ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan

pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali ”.

59 Pasal 28E ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyakini pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya .”

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam Persperktif HAM

Pasal 28I ayat (1) 60 dan (2) 61 , Pasal 28J ayat (2) 62 , dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. MK berpen- dan Pasal 29 ayat (2) 63 UUD 1945, MK kemu- dapat bahwa setiap warga negara dalam setiap dian mempertimbangkan kewenangannya dan tindakannya berhubungan erat dengan agama. kedudukan para pemohon. Dalam Hal ini MK Termasuk tindakan seorang warga negara berpendapat bahwa MK memiki kewenangan dalam hal ini adalah perkawinan. MK mem- untuk memeriksa pemohon dan pemohon seca- pertegas bahwa perkawinan merupakan hak ra konstitusi termasuk warga negara Indonesia konstitusional warga negara yang harus di- yang berhak mengajukan permohonan yudicial lindungi dan dihormati oleh negara. Hak kons- review . Mahkamah Konstitusi juga berpendapat titisional dalam hal ini terkandung kewajiban bahwa pemohon mengalami kerugian secara penghormatan atas hak konstitusional orang

konstitusional. 64 lain. Sehingga untuk menghidari adanya ben- Dalam pertimbangan hukum MK kemudian turan terkait hak konstitusional tersebut maka

memeriksa keterangan dari pemohon, keterang- negara diperlukan aturan dalam pelaksanaan- an Presiden, keterangan pihak terkait, keterang- 67 nya.

an dari beberapa tokoh/ organisasi agama di Selanjutnya, MK mempertimbangkan Indonesia dan saksi ahli. Beberapa organisasi terkait dalil pemohon adanya pelanggaran hak agama tersebut adalah Pengurus Besar Nahdla- konstitusional untuk melangsungkan per- tul Ulama, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja- kawinan dan membentuk keluarga hak secara gereja di Indonesia, Perwakilan Umat Budha sah. Dalam hal ini pemohon menyatakan Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, bahwa pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ber- Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis tentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD Tinggi Agama Khonghucu. Para pemohon da- 1945, maka MK berpendapat bahwa setiap lam permohonannya mengajukan saksi dari Tim warga negara harus tunduk terhadap segala Advokasi Untuk Kebhinekaan, serta bukti-bukti apa yang ditetapkan oleh Undang-Undang. surat/tulisan yang diajukan oleh pemohon. 65

Ketundukan masing-masing warga ini dimak- Selanjutnya, MK memberikan beberapa sudkan demi terwujudnya pengakuan dan pendapat terkait apa yang dipermohonkan oleh penghormatan atas hak dan kebebasan orang pemohon. Pertimbangan MK yang pertama lain. Selain itu, juga dimaksudkan untuk me- tentang hubungan perkawinan dan prinsip menuhi tuntutan yang adil sesuai dengan per-

Ketuhanan dalam pembukaan UUD 1945 66 timbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,

60 Pasal 28I ayat (1) UUD 1945: “Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapaun hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ”. 61 Pasal 28I ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu ”. 62 Pasal 28J ayat (1) UUD 1945: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang

ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis ”.

63 Pasal 29 ayat (2) UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

64 Kerugian tersebut sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007. Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 145-149. 65 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 145-149.

66 Dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa “... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa” .

67 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 151. Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Danu Aris Setiyanto dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat bahwa dalam kehidupan beragama dan ber-

yang demokratis. Hal ini secara keseluruhan negara harus sesuai dengan Pancasila dan demi mewujudkan prinsip-prinsip yang ter- UUD 1945 termasuk dalam hal ini adalah urus- kandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Ter- an perkawinan. 71 kait dengan hal ini MK berpendapat bahwa

Menurut MK bahwa agama adalah landas- UU Perkawinan dianggap telah mampu me- an komunitas individu yang menjadi komuni-

wujudkan prinsip-prinsip tersebut dan telah tas individu di dalamnya. MK juga menegas- mampu menampung segala kenyataan yang kan bahwa negara berperan dalam memberi-

hidup dalam masyarakat. 68 kan pedoman untuk memberikan perlindungan Adapun pertimbangan MK terkait pemohon untuk membentuk keluarga dan melanjutkan

dirugikan karena Pasal 2 ayat (2) beranggapan keturunan melalui perkawinan yang sah yang ada unsur “memaksa” setiap warga negara untuk merupakan wujud dan keberlangsungan manu- mematuhi hukum masing-masing agamanya sia. Selain itu menurutnya bahwa perkawinan dan kepercayaannya dalam bidang perkawin- harus didasarkan kepada agama bukan hanya an, maka MK berpendapat bahwa perkawinan aspek formal semata. Selain itu, perkawinan adalah permasalahan yang telah diatur dalam harus juga melihat aspek sosial dan spritual. bidang hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, se- Terkait dengan pencatatan dan pengesahan, tiap hal yang berkaitan dengan urusan per- maka MK berpendapat bahwa agama berperan kawinan harus taat dan tunduk serta tidak sebagai penentu keabsahan perkawinan dan ne- boleh bertentangan dengan peraturan per- gara berperan menetapkan keabsahan adminis-

69 undang-undangan. 72 tratif. Lebih lanjut MK menegaskan bahwa per-

Alasan berbeda (Concurring Opinion) di- aturan perundang-undangan tentang per- sampaikan oleh hakim MK, Maria Farida kawinan untuk mengatur dan melindungi hak Idrati. 73 Maria berpendapat bahwa masyarakat dan kewajiban setiap warga negara. Dijelaskan Indonesia yang religius, maka tidak mudah lebih lanjut ditegaskan bahwa perkawinan bagi seseorang untuk untuk berpindah agama dalam UU Perkawinan merupakan ikatan lahir dari agama yang diyakininya atau diimani. Hal dan batin yang bertujuan menciptakan ke- ini dijamin, dilindungi, dan dikuatkan dalam luarga atau rumah tangga yang kekal berdasar- Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 UUD 1945, Pasal 28E,

kan Ketuhanan Yang Maha Esa. 70 Pertimbang- dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Menurut- an MK selanjutnya adalah terkait dengan dalil nya setelah adanya tuntunan Hak Asasi Manu- pemohon yang merasa ada pelanggaran kons- sia, maka sudah selayaknya ada solusi nyata titusi dalam hak untuk menjalankan agama dari negara terhadap orang-orang yang ter- dan hak atas kebebasan beragama. Negara telah paksa melakukan perkawinan beda agama. Hal dianggap pemohon telah mencampuradukkan ini untuk melindungi dan menjamin hak kons- pelaksanaan administrasi dan pelaksanaan titusional dan hak asasi semua warga negara. 74 ajaran agama, sehingga negara mendikte pe-

Maria membenarkan bahwa dalam Pasal nafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang

2 ayat (1) menimbulkan berbagai permasalah- perkawinan. Terkait hal ini, MK berpendapat an terhadap permasalahan beda agama, pe-

68 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 151-152. 69 Ibid., hlm. 152. 70 Ibid. 71 Ibid., hlm. 152-153. 72 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 152-153. 73 Ibid., hlm. 154. 74 Ibid., hlm. 160-161.

Al-Ah }wa>l , Vol. 9, No. 1, Juni 2016 M/1437 H

Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam Persperktif HAM

nyelundupan hukum, dan ketidakpatuhan hak yang sama dalam soal perkawinan, di da- warga negara Indonesia. Menurutnya penye-

lam masa perkawinan dan di saat perceraian. lesaian perkawinan beda agama tidak juga

Perkawinan hanya dapat dilaksanakan ber- dengan menambahkan “sepanjang penafsiran

dasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai . Keluarga adalah kesatu-

mengenai hukum agamanya dan kepercayaannya an yang alamiah dan fundamental dari itu diserahkan kepada masing-masing calon mem-

masyarakat dan berhak mendapatkan per- pelai ” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.

lindungan dari masyarakat dan Negara .” 78 Tambahan frasa ini justru membuat ketidak-

pastian dan berbagai penafsiran. 75 Jika diperhatikan sekilas pasal-pasal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ DUHAM di atas terdapat pernyataan bahwa