Hubungan Antara Lingkungan Fisik dan Sos

TUGAS SURVEI KESEHATAN LINGKUNGAN HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN FISIK DAN SOSIALEKONOMI TERHADAP KEJADIAN ISPA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNG MUNDU

DISUSUN OLEH :

NINA SHOLIHATI 25010113120066 DYAH AYU RIANI

25010113120105 ZAEDATUL FARIDA

25010113120122 NOVI ISNASARI

25010113120135 INTAN AULIA PUTRI

25010113120150 WARDAH

25010113120169 ACHMAD RIZKI AZHARI

25010113140258 GHINA ANISAH R.

25010113140297 LIRIH SETYORINI

25010113140320 BELLA ARIEZA A. P.

25010113130386 AGUSTINA RATRI M.

25010113130416

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO 2016

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak-anak dengan keadaan ringan hingga berat.ISPA merupakan kelompok penyakit yang dapat menginfeksi pada berbagai daerah lapisan masyarakat dan di berbagai daerah dengan letak geografis yang berbeda.Menurut WHO diperkirakan 10 juta anak meninggal tiap tahunnya.Hal ini disebabkan karena diare, HIV/AIDS,

malaria dan ISPA. (1) ISPA merupakan penyakit yang masih tinggi persebarannya di

Indonesia. Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25,5% dengan prevalensi tertinggi pada bayi dua tahun sebanyak >35%. Jumlah balita dengan ISPA di Indonesia pada tahun 2011 adalah 5 per 1000 yang berarti sebanyak 150.000 balita meninggal per tahun atau sebanyak 12.500 balita perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 balita per jam atau satu orang balita per lima menit.Sehingga dapat disimpulkan

prevalensi penderita ISPA di Indonesia sebanyak 9,4%. (2,3) ISPA disebabkan oleh berbagai faktor.Setiap kasus ISPA

memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda terhadap setiap balita.Berbagai faktor inilah yang ingin diteliti oleh penulis.Diharapkan dengan berbagai faktor yang dapat diketahui dapat mencegah terjadinya ISPA di Indonesia dan menurunkan tingkat prevalensi ISPA di Indonesia.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

a. Untuk mengetahui data tentang kejadian ISPA.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA.

c. Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang diketahui dengan kejadian ISPA.

1.2.2 Tujuan khusus

Untuk mengetahui adakah hubungan antara faktor lingkungan, ekonomi dan sosial dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu.

1.3 Manfaat

a. Mahasiswa dapat mengetahui besar kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu.

b. Mahasiswa dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA di wilayah kerja Kedungmundu.

c. Mahasiswa dapat mengetahui hubungan antara faktor lingkungan, ekonomi dan sosial dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian ISPA

ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia,

tanpa atau disertai radang parenkim paru. (4) Istilah ISPA diadaptasi dari bahasa inggris Acute Respiratory

Infection (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:

a. Infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.

b. Saluran Pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini

dapat berlangsung lebih dari 14 hari. (5)

2.2 Patofisiologi ISPA

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dari interaksi bibit penyakit dengan tubuh pejamu.Respon inflamasi pada lokasi infeksi merupakan hasil mekanisme imun spesifik dan nonspesifik pejamu dalam melawan invasi mikroba

dengan mencegah pertumbuhannya atau selanjutnya menghancurkannya.Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau reflek oleh laring.Jika reflek tersebut gagal maka akan merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa dengan mencegah pertumbuhannya atau selanjutnya menghancurkannya.Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau reflek oleh laring.Jika reflek tersebut gagal maka akan merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa

mukosa yang berlebihan.Rangsangan cairan mukosa tersebut yang akhirnya menyebabkan batuk.Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul

sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. (6)

2.3 Faktor yang mempengaruhi ISPA

1. Faktor Ekstrinsik Merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh, biasanya disebut faktor

lingkungan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang dapat meningkatkan pemaparan dari pejamu terhadap kuman penyebab,antara lain:

a. Kondisi Fisik Rumah

1. Bahan Bangunan

a) Lantai Ubin atau semen adalah baik, namun untuk tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah- rumah orang yang kurang mampu di pedesaan, dan ini pun mahal.Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan.Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan.Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda yang berat dan dilakukan berkali-kali.Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit.

b) Dinding Tembok adalah baik, namun disamping mahal, tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih jika ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis, lebih baik terbuat dari kayu atau papan, sebab jika jendela tidak cukup, maka b) Dinding Tembok adalah baik, namun disamping mahal, tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih jika ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis, lebih baik terbuat dari kayu atau papan, sebab jika jendela tidak cukup, maka

c) Atap Genteng adalah umum dipakai di daerah perkotaan maupun pedesaan. Disamping atap genting cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan dapat membuatnya sendiri.Namun demikian banyak masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap daun rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan.Atap seng atau asbes tidak cocok untuk pedesaan, disamping mahal juga menimbulkan panas di dalam rumah.

d) Lain-lain (tiang, kaso dan reng) Kayu atau tiang, bambu untuk kaso dan seng adalah umum di pedesaan.Menurut pengalaman bahan-bahan tahan lama, tetapi perlu

diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan sarang tikus. (7)

2. Kepadatan Hunian Pemanfaatan

penggunaan rumah perlu sekali diperhatikan.Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya maka dapat terjadi gangguan kesehatan.Misalnya rumah yangdibangun untuk dihuni oleh empat orang tidak jarang dihuni oleh lebih dari semestinya.Hal ini sering dijumpai karena biasanya pendapatan keluarga itu berbanding terbalik dengan jumlah anak atau anggota keluarga.Dengan demikian keluarga yang besar seringkali hanya mampu membeli rumah yang kecil dan sebaliknya.Hal ini sering tidak mendapat perhatian dan terus membangun rumah menjadi sangat sederhana dan sangat kecil bagi yang kurang mampu.

atau

Mikroba tak dapat bertahan lama di dalam udara.Keberadaannya di udara tidak bebas dimungkinkan karena aliran udara tidak terlalu besar.Oleh karena itu, mikroba dapat berada di udara relatife lama.Dengan demikian kemungkinan untuk memasuki tubuh relatif besar.Hal ini dibantu pula oleh taraf kepadatan penghuni ruangan, Mikroba tak dapat bertahan lama di dalam udara.Keberadaannya di udara tidak bebas dimungkinkan karena aliran udara tidak terlalu besar.Oleh karena itu, mikroba dapat berada di udara relatife lama.Dengan demikian kemungkinan untuk memasuki tubuh relatif besar.Hal ini dibantu pula oleh taraf kepadatan penghuni ruangan,

minimum 10m 2 per orang.Jadi satu keluarga yang terdiri dari empat orang minimal 40m 2 , sedangkan luas bangunan harus disesuaikan dengan

jumlah penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila kita dapat menyediakan 2,5-3m 2 untuk tiap orang (anggota keluarga).

Kepadatan ruang tidur minimal 8 m 2 dan tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari dua orang kecuali anak-anak dibawah lima tahun,

dengan ukuran tersebut diperkirakan bila ada mencegah penularan penyakit. (8)

3. Ventilasi Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses penyediaan dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus sesuai peraturan bangunan nasional, lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut:

a. Luas bersih dari jendela / lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai ruangan.

b. Jendela harus meluas ke arah atas sampai setinggi minimal 1,95m dari permukaan lantai.

c. Adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit-langit sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai yang bersangkutan. (9)

4. Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih.Kekurangan cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangbiak bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya di ruangan akan menyebabkan silau dan akhirnya merusak mata. Intensitas cahaya minimal yang diperlukan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih 4. Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih.Kekurangan cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangbiak bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya di ruangan akan menyebabkan silau dan akhirnya merusak mata. Intensitas cahaya minimal yang diperlukan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih

2 yaitu:

1. Cahaya alamiah Cahaya matahari seperti matahari sangat penting karena membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah.Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuknya jalan cahaya yang cukup.Jalan masuk cahaya alamiah diusahakan melalui jendela atau genting kaca.

2. Cahaya buatan Cahaya buatan biasanya dari lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Menurut Dinkes Propinsi Jateng (2005:24), pencahayaan di dalam rumah yang kurang dapat menyebabkan:

1) Kelelahan mata bahkan sampai gangguan penglihatan mata.

2) Kecelakaan

3) (7,10) Penurunan Produktifitas kerja.

5. Dinding Fungsi dari dinding sebagai penyangga atap, juga untuk melindungi ruang rumah dari gangguan hujan atau angin serta melindungi dari panas.Jenis dinding rumah berupa anyaman bambu, papan atau kayu masih dapat ditembus udara sehingga cocok untuk daerah pedesaan, tetapi sulit untuk dijamin kebersihannya dari debu.Jadi apabila terdapat penghuni yang sakit pernapasan, maka kuman patogen mungkin terdapat juga pada dinding yang menempel pada dinding tersebut. Oleh karena itu dinding rumah yang baik adalah dinding yang

tahan api, kokoh, permanen, tahan air dan mudah dibersihkan. (11)

6. Cuaca dan Musim Di Negara dengan empat musim, kejadian ISPA cenderung meningkat pada musim dingin, di Negara tropis yang umumnya mempunyai dua musim ISPA dua atau tiga kali lebih sering terjadi pada musim hujan.Indonesia memiliki potensi daerah endemik beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kesehatan 6. Cuaca dan Musim Di Negara dengan empat musim, kejadian ISPA cenderung meningkat pada musim dingin, di Negara tropis yang umumnya mempunyai dua musim ISPA dua atau tiga kali lebih sering terjadi pada musim hujan.Indonesia memiliki potensi daerah endemik beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kesehatan

b. Status Ekonomi Status ekonomi sangat sulit dibatasi.Hubungan dengan kesehatan

juga kurang nyata yang jelas bahwa kemiskinan erat kaitanya dengan penyakit, hanya saja sulit dianalisis yang mana sebab dan mana akibat.Status ekonomi menentukan kualitas makanan, hunian, kepadatan, gizi, taraf pendidikan, tersedianya fasilitas air bersih, sanitasi, besar kecilnya keluarga, teknologi dll.Tingkat penghasilan sering dihubungkan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin

karena tidak cukup uang untuk membeli obat, membayar transport dll. (8,7)

c. Pendidikan Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan,

sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat dia hidup, proses sosial yakni seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampun individu yang optimal. Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan penyakit.Dalam Juli Soemirat Slamet (2002:87), dinyatakan bahwa kualitas pendidikan berbanding

lurus dengan pencegahan penyakit. (12,8)

d. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan

terhadap suatu objek tertentu.Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil domain yang terpenting dalam membentuk tindakan seseorang.Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah

penginderaan

(intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. (7)

e. Keberadaan Anggota Keluarga yang Menderita ISPA

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga, baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga meupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam satu rumah tangga, satu sama lainnya saling tergantung dan berinteraksi, bila salah satu atau beberapa anggota keluarganya mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap keluarga lainnya, apalagi untuk penyakit menular sperti

ISPA. (13)

f. Perilaku Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan

oleh pengetahuan, sikap kepercayaan, tradisi, dan sebagian dari orang tua tau masyarakat yang bersangkutan.Disamping itu ketersediaan fasilitas kesehatan, sikap dan perilaku para petugas kesehatan juga dapat

memperkuat terbentuknya perilaku. (7) Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan, proaktif untuk

memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007:137)menyatakan bahwa perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan/tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan- tindakan untuk mencegah penyakit, memilih makanan, sanitasi dan

sebagainya. (4,13)

2. Faktor intrinsik Faktor intrinsik adalah faktor yang meningkatkan kerentanan pejamu

terhadap kuman. Faktor intrinsik tersebut antara lain:

a. Status Gizi Balita adalah kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

penyakit.Kelompok ini merupakan kelompok yang paling sering menderita penyakit akibat gizi dalam jumlah besar. Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya system pertahanan tubuh. Perubahan penyakit.Kelompok ini merupakan kelompok yang paling sering menderita penyakit akibat gizi dalam jumlah besar. Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya system pertahanan tubuh. Perubahan

tubuh. (14,15)

b Imunisasi Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan salah satu cara meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak bila ia terpajan pada antigen serupa tidak terjadi penyakit. Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu atau imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh. Imunisasi lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA. Campak, pertusis, difteri dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka peningkatan cakupan imunisasi seperti diifteri, pertusis serta campak akan berperan besar dalam upaya pemberantasan penyakit tersebut. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan

menjadi lebih berat. (16)

c. Riwayat BBLR Berat badan lahir menentukan pertumbuhan, perkembangan fisik dan

mental pada balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai faktor risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan pertama melahirkan karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terserang penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit saluran pernapasan. Apabila daya tahan terhadap tekanan dan stress mental pada balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai faktor risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan pertama melahirkan karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terserang penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit saluran pernapasan. Apabila daya tahan terhadap tekanan dan stress

d. Umur Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Bayi umur kurang dari 1 tahun mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penyakit ISPA.Hal ini disebabkan imunitas anak kurang dari dua tahun belum baik dan lumen saluran napasnya masih sempit.Pneumonia pada anak balita sering disebabkan virus pernapasan dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun. Penyebabnya antara lain imunisasi yang kurang lengkap, pemberian nutrisi yang kurang baik, tidak diberikan ASI eksklusif dan pajanan

terhadap asap dapur, asap rokok, serta penderita pneumonia lainnya. (18)

2.4 Tanda dan Gejala ISPA

Gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut:

1. Gejala dari ISPA ringan Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Batuk

b. Serak, yaitu bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.

2. Gejala ISPA sedang Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut: 2. Gejala ISPA sedang Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:

b. Suhu tubuh lebih dari 39°C

c. Tenggorokan berwarna merah

d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak

e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f. Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

3. Gejala ISPA berat Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Bibir atau kulit membiru

b. Tidak sadar atau kesadaran menurun

c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah

d. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas

e. Nadi cepat atau tidak teraba

f. Tenggorokan berwarna merah. ISPA pada umumnya adalah infeksi bakteri pada berbagai area

dalam saluran pernafasan, termasuk hidung, telinga tengah, pharynx, larynx, trachea, bronchi, dan paru. Gejalanya dapat bervariasi, antara lain (WHO):

a. Batuk

b. Sesak nafas

c. Tenggorokan kering

d. (19) Hidung tersumbat.

2.5 Pencegahan ISPA

Sebagai langkah preventif dalam mewaspadai ISPA tentunya dengan melakukan pola hidup higienis yang bisa dilakukan sebagai tindakan pencegahan, diantaranya sebagai berikut : Sebagai langkah preventif dalam mewaspadai ISPA tentunya dengan melakukan pola hidup higienis yang bisa dilakukan sebagai tindakan pencegahan, diantaranya sebagai berikut :

b. Anak dan keluarga diajarkan untuk menggunakan tisu atau tangannya untuk menutup hidung dan mulutnya ketika batuk/bersin.

c. Anak yang sudah terinfeksi pernafasan sebaiknya tidak berbagi cangkir minuman, baju cuci atau handuk.

d. Peringatan perawat: untuk mencegah kontaminasi oleh virus pernapasan,mencuci tangandan jangan menyentuh mata atau hidung.

e. Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan saudaranya atau anggota keluarga lainnya yang sedang sakit ISPA. Tindakan semi isolasi mungkin dapat dilakukan seperti anak yang sehat tidur terpisah dengan dengan anggota keluarga lain yang sedang sakit ISPA.

f. Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan/rumah.

g. (20) Hindari anak dari paparan asap rokok.

2.6 Pengobatan ISPA

Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana panderita ISPA pada anak adalah anak dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas yaitu:

a. Pemeriksaan Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada penderita.

b. Penentuan Ada Tidaknya Tanda Bahaya Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum,kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam atau dingin.Tanda bahayab pada umur 2 bulan sampai < 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi buruk.

c. Tindakan dan Pengobatan

Pada penderita umur < 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harussegera dibawah ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai < 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam.

Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan sampai kurangdari 5 tahun, meliputi :

1) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah sembuh.

2) Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI.

3) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan, yang aman dan sederhana.

Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia berat segera dikirim ke rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai penurun demam dan wheezing yang ada. Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan.

Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet kotrimoksasol 480 mg, kotrimoksasol 120 mg, tablet

parasetamol 500 mg dan tablet parasetamol 100 mg. (20)

2.7 Kerangka Teori

Adapun kerangka teori penelitian dapat dilihat pada bagan berikut:

Lingkungan Fisik Rumah

 Jenis lantai rumah  Kondisi dinding rumah  Bahan atap rumah  Ketersediaanplafon/langit-

langit  Luas ventilasi rumah  Tingkat kepadatan penghuni

 Kondisi Pencahayaan

KEJADIAN ISPA

Kondisi Sosial & Ekonomi

 Tingkat pendidikan terakhir  Jenis pekerjaan  Penghasilan keluarga tiap

bulan  Status kepemilikan rumah

Sumber: H.L Blum

Gambar 2.1. Kerangka Teori

BAB III METODE SURVEI

3.1 Kerangka Konsep Variabel Bebas

Variabel Terikat

Kondisi Lingkungan Fisik Rumah

 Kepadatan Penghuni  Jenis Lantai  Jenis Dinding Rumah  Ventilasi  Pencahayaan Rumah

pada Siang Hari

ISPA

Kondisi Sosial dan Ekonomi

 Tingkat Pendidikan  Pendapatan Keluarga

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2 Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian ini di berbagai kelurahan yang merupakan wilayah cakupan kerja Puskesmas Kedungmundu (Kelurahan Kedungmundu, Kelurahan Tandang, Kelurahan Janli, Kelurahan Sendangguwo, Kelurahan Sendangmulyo, Kelurahan sambiroto, Kelurahan Mangunharjo), Semarang dan di laksanakan pada bulan Mei-Juni 2016.

3.3 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari

3.4 Variabel Penelitan

3.4.1 Variabel Bebas

a. Tingkat kepadatan hunian, didapatkan dari luas lantai dibagi dengan jumlah seluruh penghuni rumah.Dengan kategori:

1) 2 Kepadatan rendah/ideal ( ≥3,5 m /orang)

2) 2 Kepadatan tinggi (<3,5 m /orang) Skala : Ordinal

b. Ventilasi, merupakan lubang angin untuk proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Dengan kategori :

1) Tidak baik (<10% dari luas lantai)

2) Baik ( ≥10% dari luas lantai) Skala : Nominal

c. Lantai, merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi sebuah rumah. Dengan kategori :

1) Tidak baik : menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah)

2) Baik : kedap air dan tidak lembab (kramik dan ubin) Skala : Nominal

d. Dinding, merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori :

1) Tidak baik : semi permanen, bambu dan kayu atau papan.

2) Baik : Permanen atau tembok Skala : nominal Skala : Ordinal

e. Pencahayaan, merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori :

1) Alamiah (matahari)

2) Buatan (listrik, patromak, aladin, pelita atau senter Skala : Nominal

f. Tingkat pendidikan terakhir, merupakan tingkat pendidikan yang terakhir yang ditempuh responden. Dengan kategori:

1) Tidak sekolah/tidak tamat SD

2) Tamat SD

3) Tamat SMP

4) Tamat SMA

5) Perguruan Tinggi Skala : nominal

g. Penghasilan keluarga, merupakan pendapatan total (uang) yang didapatkan oleh keluarga responden setiap satu bulan. Dengan kategori: (sesuaikan dengan kuisioner)

1) Kurang: < 1.909.000

2) Cukup: ≥ 1.909.000 Skala: ordinal

3.4.2 Variabel Terikat

Kejadian ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan atas pada segala umur yang di tandai dengan batuk pilek, demam, sakit telinga (otitis media), dan radang tenggorokan (faringitis), yang terjadi pada saat ini atau enam bulan yang lalu dari bulan Desember 2015 – bulan Mei 2016. Dengan kategori :

1) Pernah

2) Tidak pernah Skala : nominal

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 StatusISPA

Tabel 3.5.1. Definisi Operasional ISPA

No. Variabel

Definisi

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala ukur

1. ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Wawancara

Kuesioner 1. Ya

Nominal

(ISPA) adalah penyakit saluran

2. Tidak

pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeks iringan sampai penyakit yang parah

penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. (19)

3.5.2 Aspek Lingkungan Fisik

Tabel 3.5.2. Definisi Operasional Aspek Lingkungan Hidup

No. Variabel

Definisi

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala ukur

1. Kepadatan

Kuesioner 1. Kepadatan tinggi Ordinal Hunian 2 jumlah seluruh penghuni rumah. (<3,5 m /orang)

Luas lantai dibagi dengan ~ Wawancara

2. Kepadatan rendah/ideal ( ≥3,5 m 2 /orang)

2. Jenis lantai

Kuesioner 1. Batu atau tanah Nominal rumah

Jenis bahan yang digunakan ~ Observasi

untuk menutupi lantai rumah

lapangan

2. Keramik, marmer,

terluas.

~ Wawancara

tegel, plester, kayu / papan

3. Jenis dinding

atau Nominal rumah

Jenis bahan yang digunakan ~ Observasi

Kuesioner 1. Bambu

untuk menutupi dinding rumah

lapangan

anyaman bambu

terluas.

~ Wawancara

2. Tembok, setengah tembok, atau kayu

4. Ventilasi dalam

memenuhi Ordinal rumah

Lubang keluar masuknya udara

~ Observasi

Kuesioner 1. Tidak

baik yang bersifat tetap maupun

lapangan

syarat (<10% luas

No. Variabel

Definisi

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala ukur

sementara (lubang udara kecuali ~ Wawancara

lantai)

pintu)

2. Memenuhi syarat( ≥10%luas lantai)

5. Pencahayaan

Penerangan di dalam rumah

~ Observasi

Kuesioner 1. Alamiah (matahari) Nominal

yang biasa digunakan untuk

aktivitas sehari-hari seperti

membaca dan menulis.

pelita atau senter

3.5.3 Aspek Sosial Ekonomi

Tabel 3.5.3. Definisi Operasional Aspek Sosial Ekonomi

No. Variabel

Definisi

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala ukur

1 Pendapatan

Pendapatan

merupakan nilai

Wawancara

Kuesioner 1. Kurang: < 1.909.000 Interval

dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu

periode

dengan

No. Variabel

Definisi

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala ukur

mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula.

Kuesioner 1) Tidak sekolah/tidak Interval

tamat SD

2) Tamat SD

diturunkan dari satu generasi ke

3) Tamat SMP

4) Tamat SMA

pembelajaran, pelatihan atau

5) Perguruan Tinggi

penelitian

3 Pendapatan

Kuesioner 1. Kurang: < 1.909.000 Interval Keluarga

Besarnya pendapatan rata-rata

Wawancara

satu keluarga

2. Cukup: ≥ 1.909.000

3.6 Hipotesis

1. Ada hubungan antara faktor kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.

2. Ada hubungan antara faktor jenis lantai rumah terluas dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.

3. Ada hubungan antara faktor jenis dinding rumah terluas dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.

4. Ada hubungan antara faktor ketersediaan ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.

5. Ada hubungan antara faktor jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.

6. Ada pengaruh antara tingkat pendidikan dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah

kerja Puskesmas Kedungmundu.

7. Ada hubungan antara faktor pendapatan keluarga per bulan dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.

3.7 Populasi dan Sampel

3.7.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek dan subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari untuk kemudian ditarik kesimpulannya.Berdasarkan data dari Puskesmas Kedungmundu jumlah penderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu periode Desember 2015 – Mei 2016 sebanyak 2108 orang.

3.7.2 Sampel

Sampel adalah bagian kecil dari populasi yang memiliki karakteristik yang sama. Sampel pada penelitian ini adalah 77 orang warga yang bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu.

3.8 Analisis dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dengan wawancara. Data dikumpulkan menggunakan metode survei dengan instrumen kuesioner.Selain data dari responden, informasi juga diperoleh dari Puskesmas. Data kemudian dikumpulkan dan setelah itu dilanjutkan ke langkah berikutnya.

3.8.1 Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu. Pengolahan data ini bertujuan untukmengubah data mentah dari hasil pengukuran menjadi data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk pengkajian lebih lanjut. Data hasil penelitian yang sudah dikumpulkan kemudian dilakukan pengolahan data sebagai berikut :

a. Editing Editing dilakukan dilapangan sesaat setelah selesai melakukan wawancara dan observasi sebelum meninggalkan tempat, hal ini merupakan proses memeriksa data yang dikumpulkan melalui wawancara apabila ada kekurangan jawaban dari responden dapat segera dilengkapi.

b. Coding Coding merupakan klasifikasi jawaban atau data menurut kategorinya masing-masing.Setiap kategori diberi kode yang b. Coding Coding merupakan klasifikasi jawaban atau data menurut kategorinya masing-masing.Setiap kategori diberi kode yang

c. Entry Entry merupakan tahap memasukkan data yang telah didapatkan kedalam media komputer dengan bantuan aplikasi lunak.

d. Tabulating Tabulating merupakan proses pengorganisasian data sedemikian rupa sehingga dengan mudah dapat dijumlah, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabel atau grafik, sehingga mempermudah mengolah data secara deskriptif.

3.8.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara bertahap yaitu analisis univariat dan analisis bivariat, sebagai berikut.

a. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masig- masing variabel dengan tabel distribusi frekuesi disertai penjelasan karena analisis univariat bertujuan untuk mejelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

b. Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dengan variabel terikat. Uji statistika yang digunakan yaitu Chi Square (Fisher Test) digunakan untuk data berskala nominal dengan menggunakan Confident Interval (CI) sebesar 95% (  = 0,05). Uji statistik (Fisher Test) digunakan untuk menganalisis semua variabel yang diteliti.Sehingga diketahui faktor mana saja yang berhubungan dengan kejadian ISPA.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Tempat

Gambar 4.1.1. Tempat Persebaran Responden Penelitian Responden Penelitian ISPA kami terletak di wilayah kerja Puskesmas

Kedungmundu, diantaranya Kelurahan Jangli (2 orang), Kelurahan Tandang (13 orang), Kelurahan Sambiroto (1 orang), Kelurahan Sendangmulyo (6 orang), Kelurahan Kedungmundu (30 orang), dan Kelurahan Sendangguwo (25 orang)

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Status ISPA

Gambar 4.2.1. Karakterikstik Responden Berdasarkan Status ISPA

Berdasarkan Gambar 4.2.1, responden terbanyak pada penelitian ini merupakan adalah responden yang tidak menderita penyakit ISPA dalam kurun waktu 6 bulan sebelum waktu kegiatan pengambilan data (54,55%).

4.2.2 Jenis Lantai Rumah Terluas

Gambar 4.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Lantai Rumah

Terluas

Berdasarkan Gambar 4.2.2, responden pada penelitian ini sebagian besar memiliki jenis lantai rumah terluas berupa keramik (40,26%).

4.2.3 Jenis Dinding Rumah Terluas

Gambar 4.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Dinding Rumah

Terluas

Berdasarkan Gambar 4.2.3. responden pada penelitian ini sebagian besar memiliki jenis dinding rumah terluas berupa tembok (62,34%).

4.2.4 Tingkat Pendidikan

Gambar 4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Terakhir Berdasarkan Gambar 4.2.4, Tingkat pendidikan terbanyak yang ditempuh

responden pada penelitian ini yaitu tamat SD atau sederajat (28,57%) .

4.2.5 Tingkat Pendapatan

Gambar 4.2.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

per Bulan Berdasarkan Gambar 4.2.5, responden pada penelitian ini didominasi

dengan pendapatan rendah (58,44%). Pendapatan rendah merupakan dengan pendapatan rendah (58,44%). Pendapatan rendah merupakan

Tabel 4.2.5. Analisis Deskriptif Tingkat Pendapatan per Bulan Responden

Jumlah Rata-Rata Standar

Modus Responden Pendapatan

Minimum Maksimum Median

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1 Hubunganantara Kepadatan Hunian dan Kejadian ISPA

Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.3.1. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Kepadatan Hunian

Penyakit ISPA

RR p Kepadatan Hunian

(95% CI) value

Tinggi (< 3,5 m 2 /org)

(3,004- Rendah/Ideal

2 14 28,0 36 72,0 50 100 26,967) ( >= 3,5 m /org)

Jumlah

Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa terdapat hubungan antara faktor kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA (p = 0,000). Nilai RR= 2,778 (95% CI: 3,004-26,967) menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yang memiliki kepadatan hunian tinggi memiliki risiko terkena penyakit ISPA

2,778 kali lebih besar dibandingkan masyarakat yang memiliki kepadatan hunian rendah/ideal.

Tingkat kepadatan tempat tinggal yang tinggi dapat menyebabkan tingginya tingkat pencemaran lingkungan.Sehingga angka kesakitan semakin meningkat. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi angka kesakitan di daerah perkotaan lebih tinggi daripada angka kesakitan di pedesaan karena tingkat kepadatan penduduk dan

pencemaran lingkungan di kota lebih tinggi daripada di desa. (21) Kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang

disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh

peningkatan CO 2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO 2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam rumah. (22)

Menurut Achmadi (2008) semakin tingginya kepadatan rumah, makapenularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat. Rumah yangpadat penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara tidak baik , pertukaran oksigenkurang sempurna dan diperburuk apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat.Hal ini sangat berbahaya apabila ada anggota keluarga yang menderita gangguanpernafasaan yang disebabkan oleh virus, akan cepat menyerang anggota keluargalain akibat menghirup udara yang sama dan sudah tercemar. Semakin padatpenghuni dalam rumah maka akan semakin mudah penularan penyakit terutama penyakit yang diakibatkan

oleh pencemaran udara seperti gangguanpernafasan atau ISPA. (23)

4.3.2 Hubungan Jenis Lantai Terluas Rumah Responden dengan Status ISPA

Hasil analisis hubungan antara jenis lantai rumah terluas dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.3.2. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Lantai Rumah Terluas

Penyakit ISPA Total

Jenis Lantai Rumah

RR P value

Ya

Tidak

Terluas (95% CI)

Batu, tanah

Keramik, marmer, 2,469) 0,445 tegel, plester,

33 47,1 37 52,9 70 100 kayu/papan

Jumlah

Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor jenis lantai rumah terluas dengan kejadian ISPA (p = 0,445; RR= 0,606; 95% CI= 0,081-2,469) pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu .

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh deflyn 2015 dengan hasil penelitian diperoleh antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA nilai p = 0,072, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA, Disebabkan karena lantai rumah yang berada di kelurahan malalayang 1 banyak menggunakan jenis lantai tehel/keramik. Hal ini juga relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Keman dan Safitri (2008) tentang hubungan tingkat kesehatan rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Labuan Kecamatan Labuan Badas Kabupaten Sumbawa yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh vita (2009) bertolak belakang dengan penelitian ini, penelitian yang di lakukan oleh vita (2009) dilakukan di Desa Cepogo memiliki luas wilayah 3.372.930 Ha dengan jumlah penduduk 6.802 orang dan kepadatan penduduk 500

Km/jiwa. Hasilnya adalah terdapat 33 rumah (53,2%) lantai rumah responden yang tidak memenuhi syarat, dengan kriteria tidak baik adalah menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah) dan responden yang memenuhi syarat sebanyak 29 rumah (46,8%) dengan kriteria kedap air dan tidak lembab (kramik dan ubin).

Selain itu hal ini juga bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Toanabun (2003) yang mengadakan penelitian di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, hasil penelitian menunjukkan bahwa lantai rumah rata-rata di Desa Tual memakai jenis lantai semen dan tanah. Responden yang terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 13 rumah (21%) dan lantai rumah

43 yang tidak memenuhi syarat sebanyak 24 rumah (38,7%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 16 rumah (25,8%) dan lantai rumah yang

tidak memenuhi syarat sebanyak 9 rumah (14,5%). (24)

4.3.3 Hubungan Jenis Dinding Rumah Terluas dengan Status ISPA

Hasil analisis hubungan antara jenis dinding rumah terluas dengankejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.3.3. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Dinding Rumah Terluas

Penyakit ISPA

RR P Rumah Terluas

Total

Jenis Dinding

Ya

Tidak

(95% CI) value

Tembok

0,274 Setengah

1,353) Tembok

Jumlah

Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor jenis dinding rumah terluas dengan kejadian ISPA (p = 0,274; RR= 0,717; 95% CI= 0,209-1,353) pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raja (2014). Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, diperoleh nilai p > 0,05 (0,073) dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini dapat terjadi karena meskipun terdapat perbedaan jumlah rumah yang memiliki jenis dinding yang memenuhi syarat antara kelompok kasus maupun kelompok kontrol, namun kedua kelompok belum memiliki perbedaan yang cukup kuat untuk menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap kejadian ISPA pada balita.Sama halnya dengan penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013), juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita.Dan hal yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita adalah kebersihan dinding dan kerapatan dinding.Dinding yang kurang rapat

dapat menyebabkan penumpukan debu. (25)

4.3.4 Hubungan antara Ketersediaan Ventilasi dengan Kejadian ISPA

Hasil analisis hubungan antara ketersediaan ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.3.4. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Ketersediaan Ventilasi

Penyakit ISPA Total

RR P Ventilasi

value (95% CI)

Tidak ada

0,000 Ada

101,504) Jumlah

Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa terdapat hubungan antara faktor ketersediaan ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p = 0,000). Nilai RR= 3,108 (95% CI: 4,418-101,504) menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yang tidak terdapat ventilasi rumah memiliki risiko terkena penyakit ISPA 3,108 kali lebih besar dibandingkan masyarakat yang memiliki ventilasi rumah.

Ventilasi ruangan adalah proses memasukkan dan menyebarkan udara luar, dan/atau udara daur ulang yang telah diolah dengan benar ke dalam gedung atau ruangan. Tujuan ventilasi adalah mempertahankan kualitas udara dalam ruang yang baik, yaitu menjamin agar udara dalam

ruang aman untuk keperluan pernapasan. (19) Ventilasi berfungsi untuk memberikan memberikan udara segar dan

sehat bagi balita dan penghuninya. Ventilasi juga dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri pathogen karena dengan adanya ventilasi, udara bertukar secara terus menerus. Berdasarkan hasil observasi dilapangan menunjukkan bahwa setiap rumah ada yang memiliki ventilasi dan juga ada yang tidak memiliki. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang

berbeda-beda dan tingkat kepadatan hunian dari setiap responden. (26) Ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan

indikator bahwa kurangnya pemahaman mengenai rumah sehat dengan ventilasi yang sesuai ketentuan yakni minimal 10% dari luas rumah. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah sehingga kejadian ISPA akan semakin berkurang. Sedangkan ventilasi yang tidak baik dapat menyebabkan kelembaban tinggi dan membahayakan kesehatan sehingga kejadian ISPA akan semakin

bertambah. (27)

4.3.5 Hubungan Jenis Pencahayaan Rumah saat Siang Hari dengan Kejadian ISPA

Hasil analisis hubungan antara jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.3.5. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Pencahayaan Rumah Saat Siang Hari

Penyakit ISPA

Jenis Pencahayaan

Total

P Rumah Saat Siang

Ya

Tidak

RR value

Hari (95% CI)

Buatan

17 85 3 15 20 100 2,692 (3,188- 0,000

Alami (sinar matahari) 18 31,6 39 68,4 57 100 47,288)

Jumlah

Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa terdapat hubungan antara faktor jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengankejadian penyakit ISPA (p = 0,000). Nilai RR= 2,692 (95% CI: 3,188-47,288) menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yang menggunakan jenis pencahayaan rumah buatan saat siang hari memiliki risiko terkena penyakit ISPA 2,692 kali lebih besar dibandingkan masyarakat yang menggunakan pencahayaan alami saat siang hari.

Hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square untuk hubungan antara jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian ISPA pada warga wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu didapatkan nilai p (0,000) lebih kecil dari nilai α(0.05), dengan demikian terdapat hubungan yang signifikan antara penchayaan rumah dengan kejadian ISPA.

Hal ini didukung oleh penelitian dari Vita Ayu Oktavia (2009) di desa Cepogo Kecamatan Cepogo yang menyimpulkan bahwa pencahayaan alami memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA. Dilihat dari nilai QR=12,278 (95% CI: 3,188-47,288) dapat diketahui bahwa Hal ini didukung oleh penelitian dari Vita Ayu Oktavia (2009) di desa Cepogo Kecamatan Cepogo yang menyimpulkan bahwa pencahayaan alami memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA. Dilihat dari nilai QR=12,278 (95% CI: 3,188-47,288) dapat diketahui bahwa

4.3.6 Pengaruh antara Pendidikan Akhir dan Kejadian ISPA

Hasil analisis pengaruh antara jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.3.6. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Pendidikan Terakhir Responden

Penyakit ISPA

P Tingkat Pendidikan

RR (95% CI)

value

7,000 0,096 Tidak Sekolah

(0,709- 69,121)

Tamat SD atau 5,833 0,126

Sederajat (0,610- 55,740)

Tamat SMP atau 12,150 0,043

Sederajat (1,080- 138,988)

Tamat SMA atau 5,600 0,141

Penyakit ISPA

P Tingkat Pendidikan

RR (95% CI)

value

Sederajat (0,566- 55,426)

Tamat Perguruan

Tinggi Jumlah