GLOBALIZATION AND SPORT SOVEREIGNTY ANAL
GLOBALIZATION AND SPORT SOVEREIGNTY ANALISA KRITIS TERHADAP KEPUTUSAN FIFA SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MEMBERIKAN SANKSI TERHADAP SEPAK BOLA
INDONESIA 1
One cannot say that FIFA is merely a body related to soccer: their work necessarily entangles them with international relations and human rights.
(Sugden, John Peter., and Alan Tomlinson. 1998)
Introduction
30 Mei 2015, Fédération Internationale de Football Association (FIFA) resmi memberikan sanksi kepada Indonesia yakni larangan bertanding di turnamen Internasional dan juga larangan mendapatkan bantuan dari FIFA dan dari Konfederasi Sepak Bola ASIA (AFC) dalam bentuk dana bantuan program, atau kursus, hingga syarat-syarat yang diberikan
oleh FIFA dipenuhi oleh PSSI dan Indonesia sendiri sebagai sebuah negara. 2 Sebuah momentum puncak dari kisruh yang melibatkan Kementerian Pemuda dan Olah Raga
(KEMENPORA) dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang tak kunjung menemukan titik temu yang konkret. Dimana kisruh ini dilegitimasi dengan munculnya Surat Keputusan (SK) Nomor 0137 Tahun 2015 oleh KEMENPORA yang berujung pembekuan
PSSI dengan alasan mengabaikan dan tidak mematuhi kebijakan pemerintah. 3 The decision means Indonesian sides will no longer be able to take part in
world football, and comes less than two weeks before the country was due to begin qualifying matches for the 2018 World Cup. The national team will, however, still be able to participate in the football tournament at the Southeast Asian Games, which is just getting under way. FIFA's decision "resulted from the effective 'take over' of the activities of PSSI (the Indonesian football association) by the Indonesian authorities," a spokesman for the world governing body said. "All Indonesian national teams (national or club) are prohibited from having international sporting contact which includes
participating in FIFA and AFC competitions 4 .
1 Tulisan ini dibuat oleh Indra Kusumawardhana; mahasiswa program doktoral Universitas Padjajaran untuk Tugas Akhir Semester mata kuliah Politik Dunia dan Globalisasi.
2 Berita mengenai ini membuat geger seluruh masyarakat Indonesia yang melabeli dirinya sebagai massa yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap nasib sepak bola Indonesia saat ini dan di masa depan. Berbagai media
meliput dan memberitakan dari berbagai sudut pandang yang ber-variasi serta menghadirkan berbagai pakar untuk memberikan pendapat kritisnya mengenai ini. Bahkan penulis sendiri secara tidak terlangsung terlibat dalam debat kusir di sosial media dengan beberapa orang yang merasa dirugikan dengan keputusan pemerintah Indonesia membekukan PSSI.
3 http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/15/06/29/nqpo76k-kemenpora-pssi-dibekukan- karena-tak-patuh , Diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pukul 22.00 WIB
4 Sumber media online http://www.channelnewsasia.com/news/sport/football-fifa-suspends/1882540.html
Disisi lain rakyat Indonesia yang telah menganggap Sepak Bola sebagai sebuah Fiesta
rakyat lantas terusik akan kenyataan pahit ini. Sudah bertahun – tahun bangsa ini tidak pernah dapat melihat tim kebanggaannya untuk berprestasi. Terombang – ambing dengan ketidak jelasan dari PSSI sebagai organisasi independen yang terkesan acuh terhadap masalah – masalah krusial di dalam internalnya. Sekarang publik harus menghadapi kenyataan Tim Nasional Indonesia tidak akan bergeliat di panggung internasional serta Organisasi yang menaungi seluruh organisme sepak bola di bumi pertiwi akan terancam mati-suri hingga waktu yang belum pasti berakhirnya.
Hal ini memunculkan amarah publik yang menuduh KEMENPORA melakukan intervensi terhadap PSSI yang menurut Statuta FIFA seharusnya berwenang penuh serta bebas intervensi dari negara dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota FIFA. Lebih jauh lagi publik menjustifikasi seluruh drama KEMENPORA versus PSSI ini merupakan sebuah drama politik kekuasaan yang sedang dilancarkan oleh rezim yang berkuasa. Seluruh hasrat publik untuk mengekspresikan amarahnya semakin menguatkan pengurus PSSI yang dibekukan oleh KEMENPORA untuk berlindung dibalik ancaman FIFA yang akan memberikan sanksi terhadap Indonesia.
Sumber: http://assets-
Sumber: https://aws-dist.brta.in/brtgr-2015-
a2.kompasiana.com/items/album/2015/11/07/sddefault-
07/original_700/aksi-suporter-psm-makassar-22431.png 563d66415a7b610b048b4568.jpg?t=o&v=760
Sumber: http://www.maungtempur.com/wp-content/uploads/2015/06/Aksi-Damai-Bobotoh1.jpg
Seluruh prosesnya semakin di dramatisasi dan menjadi sebuah santapan publik yang hanya bisa menerka – nerka kausalitas dari carut – marut yang terjadi. Fenomena yang terjadi terhadap Indonesia sebagai negara dunia ketiga yang sedang berjuang mengatasi rendahnya prestasi olah raga terutama dalam bidang sepak bola ini menjadi permasalahan yang menarik untuk dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang dikaitkan dengan studi hubungan internasional karena modalitas terpendam dari kasus ini yang bersifat lintas batas dan melibatkan sebuah entitas yang mempunyai karakter supra-state organization yakni FIFA.
Who rules the people’s game?
‘ Football is not only a social phenomenon, but an expanding industry that is heavily controlled by the sport’s governing body, the Fédération In ternational de Football Association (FIFA) ’– Henk Erik Meier & Borja Garcia
Sepak Bola telah menjadi cabang olah raga yang paling populer di dunia, setidaknya realitas ini terjadi sejak akhir abad ke- sembilan belas dimana sepak bola digaungkan dalam tataran internasional oleh Inggris. Sepak Bola menjadi permainan yang mendunia yang berkembang secara kultural diberbagai komunitas sosial seluruh kontinen dunia. (Giuliannoti, Richard. 2004)
an estimated 250 million people are direct participants, around 1.4 billion have an intere st,1 and football’s flagship tournament, the World Cup finals, attracts a cumulative global television audience of 33.4 billion.2 Only relatively recently has the game’s unparalleled cross -cultural appeal been realized financially. In 1998, football’s worl d governing body, FIFA,3 controlled contracts worth some £4 billion; by 2001, world football’s turnover was estimated at around £250 billion, equivalent to the Netherlands’ GDP (Walvin 2001).
Ilustrasi angka diatas dapat menjadi gambaran betapa masif dan mengguritanya olah raga ini seperti layaknya mengalir deras didalam pusaran urat nadi peradaban manusia; bahkan jika diperbolehkan untuk menarik kesimpulan meminjam tipologi Durkheim mengenai bentuk – bentuk kultur kontemporer dapat dikatakan Sepak Bola merupakan sebuah urusan yang serius ( Football is a serious life )
Kenyataannya dalam dunia sepak bola hanya mengenal satu organisasi internasional yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan sepak bola yakni FIFA baik dalam tataran global, regional bahkan nasional; mengacu pada realitas ini FIFA dapat dikatakan sebagai representasi dari Global Governance dalam sepak bola, harus diketahui, kesan yang dibangun oleh FIFA sebagai organisasi internasional yang mengatur olah raga membuat seluruh bentuk intervensi terhadap organisasi ini dianggap sebagai upaya untuk menodai kesucian Sepak Bola sebagai olah raga yang diklaim sebagai olah raga rakyat yang dapat menyatukan dunia. Sehingga dapat dimaklumi problematika yang muncul dalam kaitannya masalah KEMENPORA versus PSSI ini menjadi sebuah permasalahan yang sangat diinternalisasi secara personal bagi publik di Indonesia. Negara – Bangsa kembali harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Globalisasi (dalam hal ini Globalisasi Olah Raga) menjadi sebuah juggernaut yang menggilas kedaulatan Negara – Bangsa dan melemahkan kapasitas negara dalam mengatur pranata dalam negerinya.
Pandangan ini selaras dengan apa yang dikatakan Chaudry mengenai definisi Globalisasi; The processes throw which sovereign Nation-States crisis are crossed under Pandangan ini selaras dengan apa yang dikatakan Chaudry mengenai definisi Globalisasi; The processes throw which sovereign Nation-States crisis are crossed under
berkutat pada menyediakan simbol hiburan sosial yakni sepak bola dapat mengkerdilkan kedaulatan negara.
Berangkat dari titik ini, sejenak kita perlu melihat kembali pemahaman yang ada dalam melihat fenomena yang terjadi dalam kisruh antara KEMENPORA-PSSI dan FIFA. Sekilas ini hanyalah masalah sepak bola yang mungkin menurut pandangan masyarakat jauh dari urusan perebutan kekuasaan ala realis atau mengenai kekuatan pasar dan kebebasan individu ala kapitalis-liberalis apalagi tidak juga dikaitkan dengan struktur yang tercipta dari sudut pandang strukturalis marxis. Namun, kita tidak bisa memalingkan muka dari realitas bahwa sistem internasional telah memunculkan berbagai tantangan yang telah melemahkan legitimasi negara. Meskipun kekokohan konsep negara dan kedaulatannya masih dalam perdebatan namun praktik kenegaraan modern sampai saat ini masih merupakan praktik yang
melandaskan dirinya pada sebuah gagasan sentral yakni “Kedaulatan. Berdasarkan Traktat Westphalia 1648, setidaknya ada 3 (Tiga) indikator yang menandakan sebuah negara memiliki “Kedaulatan”: Pertama, memiliki batas atau teritori yang jelas; Kedua, Kedaulatan Kedalam, yakni memiliki pemerintahan yang bertugas mengatur kehidupan domestik; Ketiga, kedaulatan keluar, dimana tidak ada kekuatan lain yang lebih tinggi dari negara. 5
Meskipun telah banyak organisasi Internasional yang menjadi representasi Global Governance , namun kekuatan mereka dalam mengatur bahkan memaksa sebuah negara untuk
tunduk dalam kesepakatan – kesepakatan yang dibangun masih dipertanyakan hingga saat ini. Ironisnya cara pandang seperti ini tidak berlaku terhadap FIFA, kejadian yang menimpa Indonesia membuktikan kekarnya kekuatan FIFA dalam mengatur sepak bola, bahkan secara tidak sadar sepak bola telah diculik dari domestic sovereignty negara –bangsa. Apakah ini adil untuk negara yang sedang berjuang untuk memperbaiki kualitas dan prestasi olah raganya?
5 Stephen D Krasner memberikan sebuah elaborasi yang lebih spesifik mengenai Kedaulatan dalam tulisannya Sovereignty and its discontent ” Setidaknya ada Empat (4) indikator yang menandakan sebuah negara
e iliki Kedaulata : Perta a, e iliki atas atau teritori ya g jelas; Kedua, Kedaulata kedala Domestic Sovereignty); Ketiga, kedaulatan keluar (Westphalian Sovereignty) Keempat: Kedaulatan Internasional
Berlandaskan kenyataan bahwa FIFA sebagai Organisasi Global yang mengurusi Sepak Bola telah menjadi Organisasi Internasional yang kekar bahkan melemahkan unit Negara – Bangsa. Seluruh argumentasi yang akan dibangun dalam tulisan ini akan fokus kepada keputusan FIFA memberikan sanksi kepada Indonesia merupakan sebuah bentuk hegemoni organisasi internasional terhadap negara bangsa, sehingga dapat memberikan sebuah sudut pandang baru dalam melihat carut – marut KEMENPORA versus PSSI. Mengapa hal ini begitu penting untuk dipahami dikarenakan sebagai sebuah bangsa kita harus mengetahui dimana harapan kita harus diletakkan untuk sebuah harapan akan perubahan, harapan tanpa pemahaman yang kuat mengenai konstelasi yang terjadi dalam sebuah problematika cenderung akan membawa pada sesat pikiran. Diharapkan tulisan ini pada akhirnya dapat memberikan sudut pandang alternatif dalam melihat realitas yang terjadi di negara ini. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.!
Jalan yang ditempuh kajian ini akan dimulai dengan gambaran ikhtisar berkaitan dengan debat yang terjadi dalam dinamika global private governance dalam sistem internasional yang menjadi landasan dalam memperkokoh preposisi yang dibangun melalui klaim yang akan diajukan dalam hipotesis kajian ini. Kemudian, upaya untuk memahami bagaimana FIFA menancapkan posisi uniknya didalam sistem internasional akan dielaborasikan melalui pencarian jejak perkembangan FIFA sebagai Pemerintahan otonom dalam dunia sepak bola internasional dan membentangkan sport sovereignty -nya dalam cakupan Global. Setelah merajut seluruh pengetahuan yang tersaji, analisa empiris akan terhadap kasus kisruh Indonesia versus PSSI-FIFA.
Statement of the problem
Berdasarkan seluruh narasi yang telah dibahas sebelumnya, kajian ini dilakukan untuk memuaskan sebuah rasa penasaran dari penulis yang berangkat dari pertanyaan sederhana sebenarnya FIFA itu apa sih?! Darimana bisa mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap pranata domestik sebuah negara, sampai – sampai rakyatnya sendiri rela menghujat negaranya karena ketakutan akan sanksi yang diberikan FIFA. Menuntut bahkan terkesan memaksa negara untuk tunduk dalam Code of Conduct (COC) serta peraturan –peraturan sebuah organisasi jika menggunakan istilah Ilmu Hubungan Internasional diklasifikasikan sebagai international non-governmental organizations (INGO) yang bahkan sudah bertransformasi menjadi Private Governance . Berdasarkan pertanyaan sederhana namun Berdasarkan seluruh narasi yang telah dibahas sebelumnya, kajian ini dilakukan untuk memuaskan sebuah rasa penasaran dari penulis yang berangkat dari pertanyaan sederhana sebenarnya FIFA itu apa sih?! Darimana bisa mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap pranata domestik sebuah negara, sampai – sampai rakyatnya sendiri rela menghujat negaranya karena ketakutan akan sanksi yang diberikan FIFA. Menuntut bahkan terkesan memaksa negara untuk tunduk dalam Code of Conduct (COC) serta peraturan –peraturan sebuah organisasi jika menggunakan istilah Ilmu Hubungan Internasional diklasifikasikan sebagai international non-governmental organizations (INGO) yang bahkan sudah bertransformasi menjadi Private Governance . Berdasarkan pertanyaan sederhana namun
Hipotesis utama
Menetapkan pertanyaan membantu kajian ini untuk mengajukan hipotesis yang akan dibuktikan yakni; (1) Kasus yang terjadi pada Indonesia menunjukan bahwa FIFA
merupakan sebuah bentuk dominasi terselubung Organisasi Internasional yang mempunyai sport sovereignty . Terselubung dalam hal ini dikarenakan fungsinya sebagai Organisasi Global yang mengatur dan memfasilitasi salah satu cabang olah raga yakni Sepak Bola (Bukan politik antar bangsa seperti PBB atau Rezim perdagangan seperti WTO) sehingga memberikan kesan bahwa FIFA hanyalah sebuah organisasi yang jauh dari unsur – unsur politik dan ekonomi. (2) Kekuatan FIFA dengan menggunakan popularitas sepak bola menjadi tantangan nyata terhadap post-westphalian model dengan menerobos batas – batas kedaulatan negara – bangsa dalam hal ini menculik salah satu cabang olah raga yakni sepak bola dari Domestic Soverignty sebuah negara serta melemahkan kapasita negara dalam mengatur pranata domestik dalam kedaulatannya . Bahkan lebih jauh lagi FIFA telah memunculkan sebuah konsep “Sport
Sovereignty” dalam sistem internasional.
THEORITICAL FRAMEWORK
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya; tulisan ini akan mengkaji varian dari Organisasi Internasional yang belum banyak mendapat perhatian yakni private governance dari sepak bola internasional. Global Private Governance secara umum dipandang sebagai sebuah fenomena baru yang sarat dengan nuansa globalisasi neo-liberal. (Dingwerth, 2008) Walaupun, baik international Olympic Commitee (IOC) yang didirikan tahun 1894 dan International Federation of Association Football (FIFA) yang didirikan pada tahun 1904 jauh lebih tua dari semua institusi - institusi intergovernmental yang telah banyak menjadi kajian dalam studi hubungan internasional pasca Perang Dunia Ke-II dan kajian – kajian globalisasi kontemporer. Bahkan, realitas menunjukan bahwa olah raga internasional memiliki rezim pemerintahan yang canggih hingga mampu mempertahankan klaim absolut berkaitan dengan Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya; tulisan ini akan mengkaji varian dari Organisasi Internasional yang belum banyak mendapat perhatian yakni private governance dari sepak bola internasional. Global Private Governance secara umum dipandang sebagai sebuah fenomena baru yang sarat dengan nuansa globalisasi neo-liberal. (Dingwerth, 2008) Walaupun, baik international Olympic Commitee (IOC) yang didirikan tahun 1894 dan International Federation of Association Football (FIFA) yang didirikan pada tahun 1904 jauh lebih tua dari semua institusi - institusi intergovernmental yang telah banyak menjadi kajian dalam studi hubungan internasional pasca Perang Dunia Ke-II dan kajian – kajian globalisasi kontemporer. Bahkan, realitas menunjukan bahwa olah raga internasional memiliki rezim pemerintahan yang canggih hingga mampu mempertahankan klaim absolut berkaitan dengan
Pada dimensi Hubungan Internasional kontemporer debates on governance have been at the heart of much of the literature on globalization and GVCs (Sebagai contoh, Held and McGrew, 2002; Henderson et al., 2002; Dicken, 2003; Gereffi, 2005; Gereffi et al., 2005; Coe et al., 2008). Tulisan ini berlandaskan perdebatan panjang dalam literatur globalisasi mengenai implikasi konsep Global Governance terhadap konsep Nation-State , sebagai salah satu konsep utama dalam kajian Hubungan Internasional. Namun, mencari landasan teoritik untuk kajian mengenai FIFA pada awalnya menawarkan tantangan tersendiri dalam proses penulisan kajian ini. Hal ini dikarenakan (1) Di dalam kajian studi hubungan internasional dikenal istilah Organisasi/Rezim/Institusi Internasional yang berkaitan dengan sebuah entitas yang sering dikaitkan dengan tata-kelola lintas batas negara, namun riset dalam studi hubungan internasional kebanyakan memilih sudut pandang negara sebagai aktor yang menggagas terbentuknya Organisasi/Rezim/Institusi Internasional (Keohane dan Nye, 1977; L.Martin dan Simmon, 2013). Sedangkan FIFA telah ada jauh sebelum narasi mengenai Organisasi/Rezim/Institusi Internasional digaungkan, bahkan lebih dahulu dari perjuangan Frank Delano Roosevelt untuk membentuk PBB pasca Perang Dunia ke-II (PD II). Kemudian (2) Kajian mengenai FIFA sendiri dari sudut pandang Global Governance belum menjadi kajian yang banyak dilakukan secara akademis.
Namun, untuk membongkar postur FIFA sebagai Organisasi/Rezim/Institusi Internasional dalam bidang Sepak bola yang menampakkan sebuah dominasi Organisasi Internasional dengan otoritas yang bersifat otonom yang terselubung terhadap negara yang mempunyai organisasi sepak bola dalam tataran nasional harus berlandaskan dari definisi sebagai titik tolak awal. Dalam upaya mengkaitkan pemahaman yang komprehensif kajian ini memilih definisi Keohane pada tahun 1980-an yang telah memberikan usaha dalam mengelaborasikan konsep yang komprehensif dalam memahami bentuk Organisasi/Rezim/Institusi Internasional. Definisi Keohane sebagai be rikut “ persistent and connected sets of rules (formal and informal) that prescribe behavioral roles, constrain activity, and shape expectations . (Keohane, 1989)”. Berdasarkan definisi ini, Institusi internasional dapat berbentuk satu dari 3 kategori berikut:
1. F ormal Intergovernmental or Cross-national, Nongovernmental Organizations , kategori ini merupakan sebuah entitas yang didirikan dengan tujuan tertentu dilengkapi dengan birokrasi dalam organisasi dengan seperangkat tujuan dan aturan yang nyata.
2. International Regimes , Seperangkat aturan yang diinstitusialisasikan dan disetujui oleh beberapa negara anggota, biasanya berkaitan dengan beberapa isu yang spesifik.
3. Conventions , entitas ini merupakan sebuah institusi informal yang biasanya berkaitan dengan beberapa norma – norma yang disepakati bersama dengan peraturan – peraturan yang sifatnya implisit. Pemahaman implisit dalam peraturan – peraturan yang disepakati menjadi sebuah arah bersama dalam berprilaku. (Viotti dan Kauppi, 2012)
Berdasarkan definisi dan kategori yang dielaborasikan oleh Keohane tersebut, tulisan ini bisa lebih memahami secara fundamental FIFA termasuk dalam kategori 1 (satu) yakni nongovernmental organization . Namun sebagai sebuah institusi yang bernafaskan neoliberal, FIFA memiliki kekuatan untuk mengatur anggota – anggotanya bahkan memberikan sanksi nyata seperti yang dialami oleh PSSI yakni pembekuan dan pelarangan untuk mengikuti seluruh kegiatan Sepak Bola dibawah FIFA. Sungguh luar biasa kekuatan FIFA untuk memaksa anggota – anggotanya tunduk dalam peraturan yang ditentukan, layaknya sebuah pemerintahan dengan kedaulatannya. Dari titik inilah tulisan ini akan
membahas mengenai global private governance yang secara tidak langsung dapat dikaitkan dengan Organisasi Internasional secanggih FIFA.
Sejak James Rosenau dan Ernst – Otto Czempiel (1992) menggelorakan konsep pemerintahan oleh aktor non-negara; diskusi mengenai konsep ini telah mendapatkan perhatian oleh banyak sarjana yang memiliki ketertarikan terhadap potensi kajian yang ditawarkan. Menurut Rosenau (2002, 72), konsep global governance mengacu pada ‘social functions or processes that can be performed or implemented in a variety of ways at different times and places’. Melangkah pada definisi yang lebih berani dan spesifik; Doris Fuchs (2002, 11) mengklaim bahwa “ the core of the global governance argument concerns the acquisition of authoritative decision-making capacity by non-state and supra-state actors ”. Bahkan, beberapa peneliti telah melakukan investigasi lebih lanjut yang berkaitan dengan koordinasi model privat dan mengajukan argumen bahwa cara penyeleseian masalah politik dan ekonomi dapat dilakukan melalui berbagai governance dan seluruh kesepakatan – kesepakatan yang dimunculkan (Ronit 2001, 573).
Beberapa dekade kebelakang; pemerintahan yang dijalankan oleh aktor non – negara telah mendapatkan banyak perhatian oleh international milieu terutama oleh akademisi – akademisi Hubungan Internasional. (Peters and Pierre 1998; Cutler, Haufler dan Porter 1999). Fakta menunjukan bahwa private governance mampu memaksimalkan potensinya yang tidak terikat oleh batas teritori namun dalam kondisi kekurangan legitimasi dalam tataran kenegaraan. Namun, beberapa pihak telah meremehkan dan mempertanyakan legitimasi private governance terhadap negara-bangsa. (Cashore 2003)
Pandangan ini menancap kuat dikarenakan beberapa pihak yang berasumsi bahwa kegagalan dari pemerintahan privat akan memicu reaksi otoritas negara dalam tataran nasional untuk mengintervensi jika adanya ketidak sesuaian dalam pranata privat. (Mayntz and Scharpf 1995,28). Klaim yang digelorakan oleh proponen yang berpendapat bahwa negara tetap mempunyai otoritas dalam mengintervensi private governance sayangnya terlihat usang dengan munculnya pemahaman mengenai kekuatan perusahaan trans-nasional yang telah banyak bertebaran didunia yang semakin menyusut dikarenakan arus globalisasi. Dimana kekuatan kapital telah memberikan kesempatan pada perusahaan trans-nasional untuk
melakukan “regime shopping” (Koenig -Archiburi, 2004) 6 . Memaksakan kondisi – kondisi yang menguntungkan untuk mereka melalui investasi asing. Namun menurut tulisan ini melemahnya otoritas negara dalam kasus FIFA tidak tepat jika dilihat dari sudut pandang ini. Dikarenakan FIFA memiliki kecanggihan postur pemerintahan yang jauh dari sekedar investasi yang dilakukan para perusahaan trans-nasional.
Munculnya pemerintahan disektor private sebenarnya oleh banyak kalangan akademisi Hubungan Internasional merupakan sebuah bentuk neoliberalisasi. Menurut Claire Cuttler, Virginia Hauffler dan Tony Porter (1999), beberapa faktor melandasi munculnya pemerintahan dari sektor privat atau pemerintahan oleh aktor non-negara. Pertama, otoritas privat dilihat sebagai kepanjangan tangan dari negara dalam hal sebagai penyedia fungsi – fungsi yang didelegasikan secara eksplisit oleh negara. Kedua, delegasi implisit yang dilakukan oleh negara dikarenakan kegagalan negara dalam menyediakan kebutuhan publik yang akhirnya melegitimasi otoritas privat, dimana berbentuk pengakuan oleh publik terhadap spesialisasi keahlian, ketentuan – ketentuan yang terpisah dari otoritas atau tradisi yang ada dalam sebuah negara. Dalam hal ini contoh paling nyata di Indonesia adalah
6 Regime Shopping adalah se uah frase ya g perta a kali digu aka dala literatur Wolfga g “tree k (1991) yang mengacu pada perilaku perusahaan multinasional yang cenderung menghindari regulasi negara – negara yang tidak ramah dan menguntungkan dari sisi operasional. Lihat Koenig dan Archiburi (2004) dalam buku Tra s atio al Corporatio s a d Pu li A ou ta ility.
mengenai AQUA sebagai perusahaan yang secara khusus menyediakan air minum dalam botol yang seharusnya jika berdasarkan UUD’45 air tersebut disediakan oleh negara atau fenomena polisi ‘cepek’ yang mengambil peran polisi sebagai otoritas yang seharusnya mengatur lalu lintas. Komodifikasi sektor publik seperti ini sudah bukan lagi fenomena asing dalam keseharian kita.
Kendatipun pada umumnya governance oleh aktor non-negara sering diasumsikan menempel pada hierarki yang ada didalam sebuah otoritas negara dalam mengelola domestic sovereignty
-nya. 7 Namun cara pandang seperti ini menunjukan kelemahannya dengan adanya klaim bahwa bangkitnya kekuatan aktor non – negara dalam politik dunia akan menjadi tantangan nyata bagi otoritas dari negara yang berdaulat (Sneding dan Neumeier 2008, 654).
Lebih jauh lagi, terjadi perdebatan panjang diantara para akademisi yang berargumen meningkatnya kesempatan “ regime shopping ” telah memberikan posisi tawar kepada organisasi atau perusahaan Trans-Nasional untuk memaksakan peraturan mereka sendiri yang sesuai dengan kepentingan yang diinginkan terhadap pemerintahan negara (Biersteker 1980, Koenig dan Archibugi 2004). Sepakat dengan pendapat ini; kapasitas otoritas negara dalam mengatur prilaku organisasi atau perusahaan trans-nasional berhadapan dengan dinding yang kekar untuk mempertahankan hierarki kekuasaannya terhadap aktor non-negara. Dalam kasus sepak bola sebagai representasi kultur dan ekonomi global yang mempunyai otoritas yang bersifat global seperti FIFA memperkuat keraguan akan modalitas kekuatan pemerintahan negara untuk mempertahankan kedaulatannya.
THE NATURE OF FIFA AS AN INTERNATIONAL FOOTBALL GOVERNANCE
Assumed that persistent international private governance regimes represent an institutional equilibrium whose stability results from the absence of pareto-improving alternatives ( Calvert 1995a,b), kemanjuran doktrin ala westphalia dengan kedaulatannya menjadi berkurang ketika pemerintahan oleh aktor non-negara dapat menyediakan kebutuhan yang dituntut oleh publik dimana negara sendiri tidak memiliki kapasitas dalam menyediakan kebaikan yang serupa. Moreover, in any moderately complex social context, institutional change requires considerable efforts (Dixit 2009, 19). Dalam hal ini FIFA sebagai pemerintahan dari aktor non-negara yang bersifat global mempunyai kekuatan dikarenakan
7 May tz da Fritz “ harpf 1995 e ye ut karakter i i de ga istilah shadow of hierarchy” dimana jika melihat dari definisi Tanja Borzel dan Thomas Risse (2010, 116) dalam bukunya Governance without a state:
can it work? Mengacu pada kapabilitas negara memaksakan peraturan – peraturan atau hukum – hukum yang mengikat kepada aktor privat dengan tujuan untuk memastikan bahwa segala kegiatan yang dilakukan oleh can it work? Mengacu pada kapabilitas negara memaksakan peraturan – peraturan atau hukum – hukum yang mengikat kepada aktor privat dengan tujuan untuk memastikan bahwa segala kegiatan yang dilakukan oleh
Keunikan dari pemerintahan yang dilakukan oleh FIFA merupakan ujud dari keinginan untuk melakukan monopoli terhadap olah raga. Setiap pihak yang berkecimpung didalam olah raga internasional baik itu atlet, federasi olah raga, konsumen hiburan olah raga, otoritas publik dan kepentingan komersil mendapatkan keuntungan yang signifikan dari kompetisi yang digulirkan oleh pemerintahan global olah raga yang menderas hingga level nasional tiap – tiap negara anggota (Neale, 1964). Namun, kompetisi yang baik menuntut peraturan yang stabil dan jelas serta konsisten (Scully 1995), dimana hal ini hanya bisa dilakukan dengan maksimal melalui monopoli regulasi itulah FIFA dengan statuta-nya. Kontribusi unik yang tidak tergantikan ini telah berlangsung sangat lama bahkan semakin menggurita setelah FIFA dalam era kepemimpinan Joao Havelange (1974) melebarkan sayapnya kepada negara – negara yang baru muncul pasca perang dunia kedua. Seperti yang diungkap oleh Bill Crane dalam tulisannya “ How FIFA ruined Soccer ”.
FIFA as it exists today is the creation of its last president, João Havelange, who unseated Stanley Rous, long known for supporting apartheid soccer teams. After coming to power in 1974, Havelange presided over FIFA’s transformation into a fully corporate structure, financed by sponsorship deals ra ther than contributions from national and regional federations. Under Havelange FIFA executed an unprecedented turn toward the nations of the Global South, which it had previously ignored but who were now international soccer’s fan base. But the turn wasn’t an inclusive gesture. It was designed to capitalize on business opportunities in rapidly growing countries like Mexico — where Havelange’s associates were accused of bribery in connection with the 1992 World Cup and future Olympic games — and Brazil, where Swiss authorities estimated Havelange himself took over $50 million in bribes
during the 1990s. 8
8 Dikutip dari media online https://www.jacobinmag.com/2015/06/sepp-blatter-world-cup-qatar-charges/ .
Kepedulian FIFA yang sebelumnya bisa dikatakan merupakan simbol dari kekuatan imperium kolonial akhirnya menunggangi kesempatan yang ditawarkan oleh Globalisasi dalam mengakumulasikan kapital melalui ekspansi pasar yang sebelumnya hanya berpusat pada tangkai – tangkai ekonomi benua biru eropa menuju seluruh dunia. Perubahan ini terakomodasi dengan adanya momentum dekolonialisasi pasca Perang Dunia II yang memunculkan negara – negara baru yang terbentuk atas kekuatan nasionalisme melawan Imperial kolonial. Meskipun banyak yang mengkritik kepentingan kapitalis yang dibawa oleh FIFA, namun indahnya sepak bola masih menjadi sebuah tawaran yang sulit untuk ditolak oleh negara – negara yang mempunyai gairah sepak bola nasional. Havelange’s campaign was heavily supported by TNCs because his agenda implied a commercialization of international football (Sugden dan Tomlinson 1998b) walaupun kemenangan dari Havelange sendiri merupakan sebuah kemenangan terhadap politik apartheid yang menghinggapi sepak bola pada era sebelumnya (Darby 2006, 2008).
Namun dalam hal ini, dapat dikatakan landasan dari postur pemerintahan FIFA sebagai aktor non- negara yang bersifat lintas-batas teritori negara-bangsa mempunyai dua modalitas yakni satu kekuatan sepak bola sebagai olah raga yang mendunia kemudian kekuatan kapital yang didukung oleh pihak – pihak yang ingin mengambil keuntungan dari kompetisi sepak bola yang digulirkan oleh negara – negara anggota FIFA. Dua kekuatan ini menjadi keunikan FIFA dalam memaksakan peraturannya terhadap negara – negara yang ingin mempunyai tim sepak bola yang diakui oleh dunia internasional. Sebuah organisasi internasional non-negara yang sangat canggih mampu lepas dari kaca mata kritis publik yang tidak dapat melihat sifat dari otoritas FIFA dalam sistem internasional.
Kekuatan kapital yang didukung oleh sponsor perusahaan – perusahaan multi-nasional besar memuluskan proses komersialisasi sepak bola yang dilakukan FIFA serta menyokong kekuatan politik FIFA dalam melegitimasi otoritasnya yang bersifat otonom terhadap negara – negara yang memiliki liga - liga dalam tataran nasional serta tim nasional sebagai representasi dari kebanggaan nasional.
However, commercialization has further increased FIFA’s importance as an arena of identity politics. Not only has FIFA’s membership experienced a massive growth; improved revenues have also enabled FIFA to grant substantial development aid (Eisenberg 2006a, 2000b).
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat begitu luar biasanya peningkatan akumulasi kapital yang didapatkan oleh FIFA, dalam waktu 10 tahun perputaran kapital yang dilakukan dalam dunia sepak bola mendatangkan pendapatan untuk FIFA yang meningkat sampai 300% dari USD.500.000.000 menjadi 2.096 juta USD. Dari sini kita dapat melihat bahwa terakumulasinya kapital melalui mendunianya sepak bola menjadikan FIFA sebuah organisasi yang mandiri dan otonom. Dalam hal ini petinggi FIFA bebas mendistribusikan kebijakan yang menurutnya sesuai dengan kepentingan FIFA terhadap negara – negara yang memiliki organisasi sepak bola yang menjadi anggota FIFA.
FIFA’s executive is now capable of organizing majorities among the FAs by employing distributional policies (Eisenberg 2006a; Giulianotti and Robertson
2012) or even by resorting to ‘vote buying’ ( Tomlinson 2007 ). Sedangkan disisi lainnya, kedaulatan yang menjadi landasan praktik bernegara hingga saat ini
berdasarkan argumentasi Hinsley (1966) mulai bersemai pada abad ke-16 dan ke-17 dalam dua pengartian yang berbeda dalam relung – relung pemikiran mereka yang berhasrat untuk menjadi penguasa. Pada satu sisi, penguasa dianggap berdaulat jika tidak adanya entitas domestik yang dikatakan setara dalam pranata legitimasi untuk mengatur negara. Sedangkan pada sisi lainnya, penguasa dapat menikmati kondisi berdaulat jika tidak ada tantangan berdasarkan argumentasi Hinsley (1966) mulai bersemai pada abad ke-16 dan ke-17 dalam dua pengartian yang berbeda dalam relung – relung pemikiran mereka yang berhasrat untuk menjadi penguasa. Pada satu sisi, penguasa dianggap berdaulat jika tidak adanya entitas domestik yang dikatakan setara dalam pranata legitimasi untuk mengatur negara. Sedangkan pada sisi lainnya, penguasa dapat menikmati kondisi berdaulat jika tidak ada tantangan
Hingga kini, pertanyaan antara apakah dengan globalisasi yang telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia kontemporer telah melemahkan atau memperkuat eksistensi negara dewasa ini adalah pertanyaan yang mainstream dalam khasanah Hubungan Internasional yang menjadi spektrum perdebatan yang menghasilkan dua proponen yakni mereka yang optimis dan skeptis. Namun penantang konsep negara diera globalisasi sendiri memiliki berbagai bentuk alamiah yang menawarkan ruang untuk dikaji lebih lanjut dalam tataran relung – relung pemikiran Hubungan Internasional. Jika memang FIFA secara tidak langsung telah menculik sepak bola dari domestic sovereignty negara tanpa mengurangi dukungan dunia internasional terhadap eksistensinya dalam mengatur sepak bola maka bisa dikatakan FIFA dengan kemampuan governance yang diklaim berdasarkan statuta FIFA sebagai postur tata kelola yang bersifat otonom dari otoritas negara manapun telah berhasil menetapkan sebuah kedaulatan imajiner dalam dunia sepak bola yang bisa dikatakan sebagai sport sovereignty .
Dalam kerangka tata kelola lintas – batas yang disebarkan dalam kerangka kontinental FIFA seperti yang ditunjukan pada gambar diatas, FIFA mencengkram organisasi sepak bola ditataran nasional pemerintahan negara. Tidak ada negara-bangsa yang boleh mengintervensi kedaulatan imajiner yang dibangun oleh FIFA dalam kerangka Global Governance sepak bola yang dibangun oleh FIFA sendiri. Statuta FIFA menjadi aturan main yang memperkuat legitimasi FIFA dalam mengatur negara-bangsa dalam hal sepak bola.
Sumber:
https://www.baselgovernance.org/sites/collective.localhost/files/documents/igc/first_report_by_igc_to_fifa_exco.pdf
Hierarki organisasi digambar diatas menunjukan mekanisme yang sangat canggih
dengan tata-kelola lintas batas yang terkantong – kantongkan dalam tataran kontinental, regional dan nasional menjadikan FIFA mempunyai kekuatan untuk menarik seluruh aktor- negara yang ingin memenuhi kebutuhan rakyatnya untuk menikmati cantiknya sebuah permainan sepak bola yang disuguhkan oleh tim sepak bola domestik dalam negeri maupun tim nasional yang menjadi wakil dalam kompetisi internasional yang digagas oleh FIFA dan seluruh institusi perwakilannya yang bersifat lintas – batas negara. Pada titik ini dapat kita lihat proses bagaimana kekuatan FIFA ini menjadi sebuah kerangka yang sangat kekar untuk negara manapun di dunia ini. Beberapa negara yang tidak patuh dengan peraturan FIFA harus siap untuk mendapatkan sanksi keras dan berhadapan langsung dengan kemarahan publik dalam negeri atas ketidak patuhannya terhadap aturan main FIFA. Indonesia menjadi contoh empiris yang membuktikan hukum besi FIFA terhadap negara-bangsa. Melihat kenyataan ini pertanyaan yang muncul adalah apakah semua negara-bangsa didunia ini memiliki kondisi dan permasalahan yang sama? Ketika kondisi itu tidak sesuai dengan harapan pemerintah dengan tata-kelola lintas batas yang terkantong – kantongkan dalam tataran kontinental, regional dan nasional menjadikan FIFA mempunyai kekuatan untuk menarik seluruh aktor- negara yang ingin memenuhi kebutuhan rakyatnya untuk menikmati cantiknya sebuah permainan sepak bola yang disuguhkan oleh tim sepak bola domestik dalam negeri maupun tim nasional yang menjadi wakil dalam kompetisi internasional yang digagas oleh FIFA dan seluruh institusi perwakilannya yang bersifat lintas – batas negara. Pada titik ini dapat kita lihat proses bagaimana kekuatan FIFA ini menjadi sebuah kerangka yang sangat kekar untuk negara manapun di dunia ini. Beberapa negara yang tidak patuh dengan peraturan FIFA harus siap untuk mendapatkan sanksi keras dan berhadapan langsung dengan kemarahan publik dalam negeri atas ketidak patuhannya terhadap aturan main FIFA. Indonesia menjadi contoh empiris yang membuktikan hukum besi FIFA terhadap negara-bangsa. Melihat kenyataan ini pertanyaan yang muncul adalah apakah semua negara-bangsa didunia ini memiliki kondisi dan permasalahan yang sama? Ketika kondisi itu tidak sesuai dengan harapan pemerintah
JALAN TERJAL MENUJU REFORMASI SEPAK BOLA NASIONAL DI ERA GLOBALISASI
Sepak bola Indonesia sedang berjuang untuk memperbaiki diri dari jeruji bobroknya sistem yang melandasi cabang olah raga ini. Ungkapan ini tidak berlebihan, jika kita mencari berita kebobrokan sepak bola Indonesia melalui “google”, begitu banyak kasus yang terjadi baik dari mafia pengaturan skor, atlet dan pelatih yang tidak dibayar dan lain – lain. Miskinnya prestasi sepak bola Indonesia dikancah dunia internasional menjadi cerminan dari problematika sistemik yang menjangkiti sepak bola Indonesia. Lemahnya tata kelola sepak bola nasional bisa terlihat dari dua berita pada media elektronik Tempo berikut:
1. Mafia ternyata sudah menguasai dunia sepak bola Indonesia. Praktek ini dibongkar para aktivis dengan melaporkan skandal kekalahan tim nasional selama beberapa kali pertandingan. Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Jakarta M. Isnur membawa rekaman antara bandar dan pengatur skor yang dijalankan secara sistematis. Ia mengklaim praktek ini terjadi sejak 15 tahun terakhir. "Kami buka rekaman antara bandar dengan para pengatur skor di pertandingan," kata M. Isnur kepada Tempo, Selasa, 16 Juni
2015. Laporan itu juga dibawa Isnur ke Bareskrim Mabes Polri. 9
2. Suara Indra Sjafri tiba-tiba seperti tercekat di tenggorokan. Ia menuangkan air mineral dalam botol plastik ke gelas, lalu mencecapnya perlahan. Matanya berkaca- kaca. “Minta tissue,” kata pelatih tim nasional U-19 itu kepada panitia Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi di Ruang Adi Sukadana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Sabtu sore, 30 November 2013. Setelah menerima tissue, Indra mengusap matanya yang berair. Suasana ruangan seketika hening. Sekitar 200 mahasiswa dan dosen yang mengikuti kuliah kebangsaan itu terdiam. Setelah berhasil menguasai perasaanya, Indra melanjutkan pemaparan. “Akhirnya kami mampu melewati masa sulit,” kata dia.
9 Sumber media online http://bola.tempo.co/read/news/2015/06/17/099675823/sepak-bola-indonesia-diatur-
Ihwal keharuan Indra bermula saat ia mendapat pertanyaan dari salah seorang peserta kuliah: apakah istrinya tidak protes mengetahui dirinya tidak digaji oleh PSSI selama 20 bulan? Pada awal pemaparannya, Indra memang menjelaskan bahwa sejak diberi tugas menangani timnas U-19 pada September 2011, baru 20 bulan kemudian ia menerima gaji. Padahal sejak memutuskan menerima tawaran menjadi pelatih timnas, Indra meninggalkan pekerjaanya sebagai kepala kantor sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara di Padang. “Selama tidak digaji, saya banyak dibantu teman. Ada yang ngasih utang, ada yang ngasih sedekah,” kata Indra yang menjadi pemateri kuliah umum bertema kebangsaan itu bersama
pelatih mental timnas U-19, Guntur Cahyo Utomo. 10
Kejadian seperti yang terpampang pada media publik tersebut sudah sering terjadi pada dunia sepak bola Indonesia. Ironisnya pemerintah Indonesia selalu mengalami kebuntuan untuk dapat ikut campur dengan urusan sepak bola yang secara sepihak diklaim oleh PSSI sebagai urusan yang secara hierarki langsung dibawah organisasi internasional yang menaungi sepak bola yakni FIFA. Namun, kita bisa melihat dalam statuta FIFA pasal 2 artikel e menetapkan salah satu tujuan FIFA sebagai berikut “ to promote integrity, ethics and fair play with a view to preventing all methods or practices, such as corruption, doping or match ma nipulation, which might jeopardise the integrity of matches, competitions, Players, Officials and Members or give rise to abuse of Association Football. ” Sayangnya tujuan itu tidak menderas pada realitas yang terjadi dalam dunia sepak bola. Begitu banyak masalah dalam sepak bola negeri ini namun FIFA sendiri seperti acuh tak acuh dalam masalah yang sudah berlangsung begitu lama terjadi. Sebagai contoh kondisi sepak bola Indonesia yang sudah begitu parah seperti yang telah dinyatakan diatas tidak membuat FIFA melakukan sebuah langkah konkret dalam membenahi sepak bola negara anggotanya. Dalam hal ini pendapat pribadi penulis melihat kecacatan dari pranata organisasi FIFA yang tidak menderas dan terlalu feodalistik sehingga sering bersikap acuh terhadap masalah anggotanya.
Keberanian KEMENPORA dibawah kepemimpinan Imam Nahrowi dalam melakukan pembekuan terhadap PSSI bisa dibilang sebagai langkah yang sangat diluar ekspektasi publik. Selama ini masyarakat sepak bola Indonesia selalu dihantui dengan sanksi FIFA yang mengacu pada Statuta FIFA Pasal 13 Ayat 1 (j): “ to comply fully with all other duties arising from these statutes and other regulations .”. Pasal itu menjadi senjata untuk memukul mundur
10 Sumber media online http://bola.tempo.co/read/news/2013/12/01/099533682/ditanya-soal-gaji-indra- 10 Sumber media online http://bola.tempo.co/read/news/2013/12/01/099533682/ditanya-soal-gaji-indra-
Indonesia yang mencoba untuk melakukan langkah berani dengan membekukan PSSI sebagai organisasi yang secara sahih diakui oleh FIFA untuk mengatur sepak bola di Indonesia mengalami nasib serupa dengan dengan tiga negara tersebut. Imam Nahrowi selaku Menteri Pemuda dan Olah Raga (MENPORA) mendapatkan hujatan publik yang berpendapat bahwa kebijakan tersebut dilandaskan pada minimnya kompetensi dalam memahami mekanisme
sepak bola secara holistik. 12 Namun jika melihat parahnya problematika yang terjadi dalam dunia sepak bola Indonesia dan minimnya prestasi yang entah sampai kapan akan berakhir.
Kebijakan ini dapat dikatakan sebuah langkah yang harus diapresiasi oleh publik Indonesia sebagai simbol kehadiran negara dalam pranata domestik, sayangnya justru sebaliknya publik kesulitan dalam memahami kebijakan tersebut dikarenakan adanya ancaman FIFA sebagai otoritas sepak bola internasional dan menjatuhkan sanksi kepada Indonesia serta kecurigaan bahwa isu ini merupakan kontestasi kekuasaan dari elite yang bahkan tidak peduli terhadap sepak bola. Pendapat pribadi penulis melihat seakan – akan nasionalisme rakyat Indonesia tergadaikan karena rasa takut terhadap ancaman dari otoritas internasional sepak bola dan menuntut negara untuk tunduk dalam aturan main yang ditetapkan FIFA. Akhirnya Ketakutan publik tersebut terjadi dan FIFA menjatuhkan sanksi yang sangat keras dengan membekukan seluruh kegiatan sepak bola Indonesia bahkan tim dan pemain Indonesia dilarang bermain diseluruh event yang bernaung dibawa FIFA selaku organisasi internasional sepak bola.
Perkembangan yang selanjutnya menjadi menarik ketika kebijakan yang dilakukan untuk mengatur pranata domestik nasional ternyata ketika FIFA masuk dan membuat kebijakan sebagai otoritas sepak bola internasional berimplikasi terhadap kebijakan KEMENPORA untuk membekukan PSSI menjadi sebuah kebijakan yang melambung hingga dimensi foreign policy . Akhirnya untuk menghadapi tuntutan untuk bernegosiasi pada tataran internasional KEMENPORA membentuk tim kecil yang berisikan pakar diplomasi Indonesia sebagai juru bicara Kementerian Pemuda dan Olahraga yakni Gatot S. Dewabroto, bekas Duta Besar
11 Borja Gar ia e ahas 3 kasus i i se ara ko perehe sif dala jur al keeping private governance private: Is FIFA blackmailing national governments ?
12 Sumber media online http://soccer.sindonews.com/read/1016991/58/menpora-diminta-belajar-lagi-soal-
Indonesia untuk Swiss Djoko Susilo, bekas Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa- bangsa Makarim Wibisono, bekas Ketua Komite Olimpiade Indonesia Rita Subowo, serta Dede Sulaiman, mantan pemain nasional. 13
Perkembangan ini sungguh menjadi isu yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh dengan harapan menemukan sebuah pemahaman baru mengenai konsekuensi dari global governance . Ternyata diera globalisasi dimana diasumsikan sebagai the shrinking of the planet is a celebrated feature of contemporary globalization . (e.g. Giddens, 1985; Held et al., 1999) Dimana Giddens lebih lanjut mendefinisikan Globalisasi sebagai “ Globalization can thus be defined as the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa .” Memunculkan sebuah fenomena dimana kebijakan politik sebuah negara yang bertujuan untuk mengatur organisasi didalam domestic sovereignty -nya secara tiba – tiba ada entitas yang mempunyai otoritas yang dapat mengintervensi kebijakan tersebut, mengancam bahkan menuntut untuk tidak ikut campur dalam urusan domestik negara-bangsa dengan membuat kebijakan pembekuan yang sifatnya mengabaikan kepentingan negara yang bersangkutan. Bahkan lebih mengejutkan lagi ketika yang melakukan tindakan tersebut adalah organisasi internasional non – negara.