TINJAUAN PUSTAKA BAB II PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR LUAR TERHADAP POLA DAN STRUKTUR RUANG KOTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR LUAR TERHADAP POLA DAN STRUKTUR RUANG KOTA

2.1 Struktur Ruang Kota

2.1.1 Pengertian struktur ruang kota

  Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan yang ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal.

  Ilmu Struktur Ruang Kota merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana pola-pola penggunaan lahan di kawasan kota. Menurut Hadi Sabari Yunus dalam buku Struktur Ruang Kota (2000) berpendapat bahwa ada 5 (lima) kategorisasi pendekatan-pendekatan tentang penggunaan lahan kota, yaitu:

1. Pendekatan Ekologikal (Ecological Approach).

  3. Pendekatan Morfologikal (Urban Morphological Approach).

  4. Pendekatan Sistem Kegiatan (Activity Systems Approach).

  5. Pendekatan Ekologi Faktoral (Factoral Ecology Approach). Pendekatan Ekologikal oleh McKenzie (1925) diartikannya sebagai suatu studi hubungan spatial dan temporal dari manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan, selektif, distributif, dan akomodatif dari pada lingkungan. Pendekatan Ekonomi oleh Cooley (1894) dan Weber (1895) mengemukakan bahwa jalur transportasi dan titik simpul (pertemuan beberapa jalur transportasi) dalam suatu sistem transportasi mempunyai peran yang cukup besar terhadap perkembangan kota. Pendekatan Morfologi Kota oleh (Hebert, 1973) mengemukakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian maupun bukan (perdagangan/industri) dan juga bangunan-bangunan individual. Pendekatan Sistem Kegiatan (Chapin, 1965) diartikan secara komprehensif sebagai suatu upaya untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan, lembaga-lembaga dan firma- firma yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan di dalam kota. Pendekatan Ekologi Faktoral, hal ini digunakan untuk menganalisis struktur keruangan kota (urban spatial structure) dengan menggunakan analisis faktor sebagai tekniknya.

  Secara konsepsional, unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota telah merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam (nature), individu manusia (antropos), masyarakat (society), ruang kehidupan (shells), dan jaringan (network). Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur yaitu place (tempat

  Kus Hadinoto (1970-an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu wisma, tempat tinggal (perumahan); karya: tempat bekerja (kegiatan usaha); marga, jaringan pergerakan, jalan; suka, tempat rekreasi/hiburan; penyempurna, prasarana dan sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti dikemukakan oleh Kevin Lynch yang menyatakan sifat suatu objek fisik menyebabkan kemungkinan besar membuat citra (image) yang kuat pada setiap orang. Menurutnya ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota yaitu path,

  , dan landmark. Sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang, kota

  edge, district, node

  terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang kota.

  Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005:97) yaitu:

  1. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan.

2. Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan

  3. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.

  4. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.

  Bentuk dan model struktur ruang Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari pusat pelayanan (retail) terbagi menjadi tiga, yaitu (Sinulingga, 2005:103-105):

  1. Monocentric City Monocentric City adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah

  penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi sebagai Central Bussines District (CBD).

  2. Polycentric City

  Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang dinamakan sub pusat kota (regional centre) atau pusat bagian wilayah kota.

  Sementara itu secara berangsur- angsur berubah dari pusat pelayanan retail (eceran) menjadi komplek perkantoran komersial yang daya jangkauan pelayanannya dapat mencakup bukan hanya wilayah kota saja, tetapi

  CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota (regional centre) akan membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung seperti multiple nuclei city yang terdiri dari: a.

  CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran. Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota.

  c.

  Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai perkembangan kota.

  d.

  Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani sepenuhnya oleh sub pusat kota.

  e.

  Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang secara berangsur-angsur tidak menunjukkan kota lagi, melainkan mengarah ke bentuk pedesaan (rural area).

3. Kota Metropolitan

  Kota Metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk wilayah metropolitan. Adapun model struktur ruang apabila dilihat berdasarkan pusat-pusat pelayanan diantaranya adalah:

  Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.

  b.

   Multi Nodal

  Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat daan sub-sub pusat yang langsung dengan sub pusat juga terhubung langsung dengan pusat.

  c.

   Multi Centered

  Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lain.

  d.

   Non Centered Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat.

  Semua node memiliki hirarki sama dan saling terhubung antara satu dengan yang lain (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Model Struktur Ruang Selain itu beberapa penulis juga menggolongkan tipologi struktur ruang sebagaimana pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Tipologi Struktur Ruang

  Sumber: Wiegen (2005)

2.1.3 Perkembangan Kota dan Struktur Ruang

  Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam Daldjoeni (1996:87), perkembang kota dipandang sebagai fungsi dari pada faktor-faktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial. Sedangkan menurut Bintarto (1989), perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zona-zona yang berada di dalam wilayah perkotaan.

  Dalam konsep ini Bintarto menjelasakan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan yang membentuk zona-zona tertentu di dalam ruang perkotaan posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti:

  1. Tofografi.

  2. Bangunan.

  Jalur Transportasi.

  4. Ruang Terbuka.

  5. Kepadatan Bangunan.

  6. Iklim Lokal.

  7. Vegetasi Tutupan.

  8. Kualitas Estetika. Secara skematik Branch, menggambar 6 (enam) pola perkembangan kota (Gambar 2.3).

  Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999), mengemukakan beberapa alternatif model bentuk kota.

  Secara garis besar ada 7 (tujuh) buah model bentuk kota yang disarankan, 1.

  Bentuk Satelit dan Pusat-pusat Baru (satelite and neighbour plans), kota utama dengan kota-kota kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional yang efektif dan efisien.

  2. Bentuk Stellar atau Radial (stellar or radial plans), tiap lidah dibentuk pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi dan tempat olah raga bagi penduduk kota.

  3. Bentuk Cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang disepanjang jalan utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau terbuka.

  4. Bentuk Linier Bermanik (bealded linier plans), pusat perkotaan yang lebih kecil tumbuh di bagian kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya terbatas di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, di pinggir jalan biasanya ditempati bangunan komersial dan di belakangnya ditempati permukiman penduduk.

  5. Bentuk Inti/Kompak (the core or compact plans), perkembangan kota biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil.

  6. Bentuk Kota Bawah Tanah (underground city plans), struktur morfologinya tidak dapat diamati pada permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau. Bentuk-bentuk kota tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Beberapa Alternatif Bentuk Kota

  Sumber: Hudson, 1999 Tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan daerah hunian, perdagangan atau industri dan bangunan individual. Terdapat tiga

  1. Unsur-unsur penggunaan lahan/tata guna lahan.

  2. Bentuk dan tipe bangunan.

  3. Pola dan fungsi yang dibentuk oleh jalan dan bangunan. Berdasarkan studinya di kota-kota Amerika, Hebert (1976) mengemukakan bukti-bukti yang kuat akan pengaruh perkembangan prasarana transportasi terhadap morfologi kota. Menurut beliau, kota di Amerika adalah kota-kota yang terkondisikan oleh kemajuan teknologi di bidang transportasi.

  Dari mulanya terbentuk sampai dengan perkembangan mutakhir kota-kota di Amerika, keadaan transportasi dan perkembangannya telah membentuk 7 (tujuh) kategori morfologi kota, yaitu;

  1. Morfologi kota pada masa dominasi transportasi berjalan kaki.

  2. Morfologi kota pada masa dominasi kereta binatang.

  3. Morfologi kota pada masa dominasi kereta listrik (trolly) kecil.

  4. Morfologi kota pada masa dominasi kereta api antar kota.

  5. Morfologi kota pada masa dominasi automobile untuk antar kota.

  6. Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan raya bebas hambatan antar kota-kota dan wilayah (region).

  7. Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan lingkar. Dalam menterjemahkan kategorisasi tersebut, harus dipahami bahwa setiap kategori perkembangan selalu bersifat kumulatif dalam arti bahwa unsur-unsur pada masa berikutnya. Dari ketujuh morfologi kota tersebut dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan besar berdasarkan sifat-sifat perembetannya, yaitu:

1. Kategori morfologi kota dalam suatu pertumbuhan kompak; ini meliputi masa pejalan kaki, kereta binatang dan kereta listrik kecil.

  Kategori morfologi kota dalam masa pertumbuhan literal meliputi masa perkembangan hubungan transportasi antar kota.

  3. Kategori morfologi kota pertumbuhan menyebar (leapfrog development) dengan ciri tumbuhnya pusat-pusat baru di sekeliling kota karena dibangunnya beberapa jalan lingkar. Hal ini banyak tergantung pada ketersediaan lahan-lahan pertanian itu sendiri, sistem perekonomian negara, sistem orientasi perencanaan kota serta kepedulian perencana kota terhadap lingkungan. Dengan makin tingginya aksesibilitas, makin banyak pula pusat-pusat kegiatan yang baru. “Leap-frog development” akan berkembang dengan pesat. Bentuk kotanya sangat tidak kompak dan terserak (Gambar 2.5).

  2.1 4 Cara perkembangan kota Dari bidang sejarah, kota diteliti dan diilustrasikan dengan baik bahwa sejak ada kota, maka juga ada perkembangannya, baik secara keseluruhan maupun dalam bagiannya, baik ke arah positif maupun negatif. Oleh karena itu, dinamika merupakan ekspresi dari perkembangan masyarakat di dalam kota tersebut. Kota bukan sesuatu yang bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi keempat, yaitu waktu.

  Pada dasarnya, perkembangan perkotaan perlu diperhatikan dalam dua aspek, yaitu dari perkembangan secara kuantitas dan secara kualitas. Hubungan antara kedua aspek ini sebetulnya erat dan di dalam skala makro agak kompleks karena masing- masing saling berpengaruh sehingga perkembangan suatu daerah tidak boleh dilihat secara terpisah dari lingkungannya. Secara teoritis dikenal tiga cara perkembangan dasar di dalam kota, dengan tiga istilah teknis, yaitu perkembangan horizontal (Gambar 2.6, dan 2.7), perkembangan vertikal (Gambar 2.8), serta perkembangan interstisial (Gambar 2.9).

Gambar 2.7 Perkembangan horizontal di London, Inggris pada tahun 1830 dan 1960

  (Digambar ulang menurut Benevelo, Leonardo, The history of the city, New York 1982. hlm 968)

  Sumber: Zahnd, (1999:26)

Gambar 2.8 Perkembangan Vertikal

  Sumber: Zahnd (1999,25)

2.1.5 Perembetan kenampakan fisik kota

  Pergeseran waktu ke depan selalu membawa pertambahan jumlah penduduk terutama di daerah perkotaan yang serta-merta diikuti tuntutan kebutuhan hidup akan meningkat pula dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. yang pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang semakin besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Terjadilah proses perembatan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar yang disebut “urban sprawl” dengan pengambil alihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota disebut sebagai “invasion”.

  Menurut R.V. Retcliff (1949) bahwa pusat kota dianggap sebagai suatu tempat yang punya aksesibilitas terbesar dan dari lokasi inilah “centrality-value” (nilai pemusatan) akan menurun secara teratur ke arah luar sampai pada “urban peripheries”.

  Pola persebaran penggunaan lahan yang efisien akan tercipta dengan sendirinya karena adanya persaingan berbagai kegiatan untuk mendapatkan lokasi- lokasi yang diinginkannya dengan menawar (bidding) pada tingkatan sewa yang bermacam-macam. Dari sinilah kemudian tercipta pola penggunaan lahan perkotaan yang tertata secara keruangan sedemikian rupa yang menunjukkan derajad efisiensi keruangan suatu kota ditentukan melalui evaluasi dollar tentang pentingnya ”convencience” (dalam arti luas) dan gambaran struktur keruangannya mirip dengan apa yang telah dikemukakan oleh Burgess (concentric zone theory). Disini variabel jarak dianggap sebagai ukuran “convencience” di atas. Model yang dihasilkan adalah adalah:

  1. Retailing functions.

  2. Industrial and transportation facilities.

  3. Residential zone.

  4. Agricultural zones.

Gambar 2.10 Model “Bid Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota

  (Menurut Retcliff, 1949)

2.1.6 Macam Urban Sprawl

  Secara garis besar ada tiga macam proses perluasan areal kekotaan (urban sprawl) (Yunus, 2000:125), yaitu:

  1. Tipe 1. Perembetan konsentris (Concentric Develompment/Low Density disebut sebagai “lowdensity, continous development” dan oleh Wallece (1980) disebut “concentric development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat. Perembatan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perembetannya yang merata di semua bagian luar kenampakan kota yang ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Perembetan Konsentris

  Sumber: Yunus (1999:126) 2. Tipe 2. Perembetan memanjang (ribbon develompment/linear develompment/axial develompment). Tipe ini menunjukkan ke tidak pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat disepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membubungnya harga lahan yang sangat sulit (Gambar 2.12).

Gambar 2.12 Perembetan Linear

  Sumber: Yunus (1999:128) Makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk, makin banyaknya kegiatan non agraris, makin padatnya bangunan telah sangat mempengaruhi kegiatan pertanian. Tingginya harga lahan dan makin banyak orang yang mau membeli telah memperkuat dorongan pemilik lahan untuk meninggalkan kegiatannya dan menjualnya. Bagi masyarakat petani hasil penjualan lahan biasanya diinvestasikan lagi pada lahan yang jauh dari kota sehingga memperoleh

  3. Tipe 3. Perembetan yang meloncat (leap frog develompment/checkerboard develompment). Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan tengah lahan pertanian. Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari- hari (Gambar 2.13).

Gambar 2.13 Perembetan Meloncat

  Sumber: Yunus (1999:129) Sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial (Rapoport, 1990).

  Amos Rapoport menuntun kearah suatu pemahaman yang lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu defenisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja yaitu sebuah permukiman dapat dirumuskan khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki- hirarki tertentu (Gambar 2.14, dan 2.15).

Gambar 2.14 Perkembangan Kota Konsentrik dan Kota Linier

  Sumber: (Marshall, 2005) Gambar rencana wilayah kota ini mengilustrasikan secara idealistis perumusan sebuah wilayah yang boleh dianggap perkotaan.

  Wilayah ini memiliki ruang-ruang yang dibentuk dan disusun secara hirarkis. Hirarkis utama diberikan pada sebuah daerah tertentu yang berfungsi sebagai pusat

  Kemudian, hirarki kedua diberikan pada bentuk dan susunan wilayah masing- masing serta pusatnya. Akhirnya, hirarki ketiga berfokus pada skala mikro di dalam wilayah masing-masing.

2.2 Ekspresi Keruangan Morfologi Kota

  Berbagai macam variasi ekspresi keruangan dari pada morfologi kota. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ekspresi keruangan morfologi kota.

  2.2.1 Bentuk-bentuk kompak Bentuk-bentuk Kompak adalah sebagai berikut: 1.

  Bentuk bujur sangkar (the square cities).

  Kota berbentuk bujur sangkar menunjukkan adanya kesempatan perluasan kota ke-segala arah yang “relatif” seimbang dan kendala fisikal ”relatif” tidak begitu berarti. Hanya saja, adanya jalur transportasi pada sisi-sisi memungkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan areal kota pada arah jalur yang

Gambar 2.16 Kota Berbentuk Bujur sangkar

  Sumber: Herbert (1976) 2. Bentuk empat persegi panjang (the rectanguler cities).

  Melihat bentuknya orang dapat melihat bahwa dimensi memanjang sedikit lebih besar dari pada dimensi melebar. Hal ini dimungkinkan timbul karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan areal kota pada salah satu sisi-sisinya (Nelson, 1958) (Gambar 2.17).

  Kendala Kendala

Gambar 2.17 Kota Bentuk Empat Persegi Panjang

  Sumber: Yunus (1999:115) Hambatan-hambatan tersebut antara lain dapat berupa lereng yang terjal, perairan, gurun pasir, hutan, dan lain sebagainya. “Space” untuk

3. Bentuk Kipas (fan shaped cities).

  Bentuk semacam ini sebenarnya merupakan bentuk sebagian lingkaran (Gambar 2.18).

  b c a

Gambar 2.18 Kota Berbentuk Kipas

  Sumber: Yunus (1999:116) Dalam hal ini, ke arah luar lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai kesempatan berkembang yang relatif seimbang. Oleh sebab-sebab tertentu pada bagian-bagian lainnya terdapat beberapa hambatan perkembangan areal kekotaanya. Secara garis besar, hambatan-hambatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu: a.

  Hambatan-hambatan alami (natural constraints) misalnya, perairan, pegunungan.

  b.

  Hambatan-hambatan artifikal (artificial constraints): saluran buatan, zoning, ring roads .

  Khusus untuk bentuk Kipas ini, kendala-kendala dapat berada pada: a.

  Bagian dalam dari pada lingkaran.

  b.

  Bagian luar lingkaran.

  c.

  Bagian dalam dan bagian luar lingkaran. Kota-kota pelabuhan yang bentuk (a) adalah paling mungkin terjadi. Dalam hal ini kendala perkembangan areal terletak pada bagian dalam lingkarannya, yaitu “tubuh perairan”. Untuk kota-kota bentuk (b) biasanya berada dan berkembang pada delta sungai yang besar. Dalam hal ini kendala lingkaran. Namun untuk kota yang berbentuk pada “alluvialfan” misalnya, maka kendalanya hanya pada bagian dalam. Bentuk (c) menunjukkan bentuk lingkaran hampir sempurna. Di sini jelas bahwa kendala perkembangan areal hanya berada pada bagian dalam lingkarannya. Kendala tersebut dapat berupa pegunungan (lereng terjal) atau dapat berupa “water body” (suatu teluk).

4. Bentuk bulat (rounded cities)

  Bentuk kota seperti ini merupakan bentuk paling ideal dari pada kota. Hal ini disebabkan karena kesempatan perkembangan areal ke arah luar dapat dikatakan “seimbang”. Jarak dari pusat kota ke arah bagian luarnya sama. Tidak ada kendala-kendala fisik yang berarti pada sisi-sisi luar kotanya. Untuk kota-kota yang perkembangannya berjalan secara “natural” (tanpa banyak dipengaruhi oleh peraturan-peraturan) diskripsi di atas memang sangat mungkin besar, namun ada pula yang bentuk bulat sempurna tersebut tercipta karena adanya perencanaan yang disertai peraturan- peraturan tata ruang. Walau kesempatan berkembang ke arah luar tidak ini. Pada bagian-bagian yang terlalu lambat perkembangannya, dipacu dengan peraturan-peraturan misalnya “planned unit development” sedang untuk bagian-bagian yang terlalu cepat perkembangan areal kekotaannya dapat dihambat/dihentikan sama sekali, misalnya dengan “development

  zoning” atau “growth limitation” dengan “ring roads”. Dengan demikian terciptalah bentuk bulat arcificial (Gambar 2.19).

Gambar 2.19 Kota Berbentuk Bulat

  Sumber: Yunus (1999:118) 5. Bentuk pita (ribbon shaped cities)

  Sebenarnya bentuk ini juga mirip “rectangular city” namun karena dimensi memanjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi melebar maka bentuk ini menempati klasifikasi tersendiri dan menggambarkan bentuk pita. Dalam hal ini jelas terlihat adanya peranan jalur memanjang (jalur transportasi) yang sangat dominan dalam mempengaruhi perkembangan

  Sepanjang lembah pegunungan dan sepanjang jalur transportasi darat utama adalah bagian-bagian yang memungkinkan terciptanya seperti ini.

  Northam, 1975 ”Space” untuk perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin memanjang saja (Gambar 2.20). Kendal

  Kendala

Gambar 2.20 Kota Berbentuk Pita

  Sumber: Yunus (1999:119) 6. Bentuk Gurita/Bintang (octopus/star shaped cities).

  Peranan jalur transportasi pada bentuk ini juga sangat dominan sebagaimana dalam “ribbon-shaped city”. Hanya saja, pada bentuk gurita jalur transportasi tidak hanya satu arah saja, tetapi beberapa arah ke luar kota. Hal ini hanya dimungkinkan apabila daerah “hinterland” dan pingirannya tidak memberikan halangan-halangan fisik yang berarti terhadap perkembangan areal kekotaannya (Gambar 2.21).

7. Bentuk yang tidak berpola (unpatterned cities).

  Kota seperti ini merupakan kota yang terbentuk pada suatu daerah dengan kondisi geografis yang khusus. Daerah dimana kota tersebut berada telah menciptakan latar belakang khusus dengan kendala-kendala pertumbuhan membentuk kota yang sesuai dengan bentuk pulau yang ada. Sebuah cekungan struktural dengan beberapa sisi terjal sebagai kendala perkembangan areal kekotaannya, sangat mungkin pula ditempati oleh suatu kota dengan bentuk yang khusus pula (Gambar2.22).

  Laut Laut Laut

Gambar 2.22 Kota Pulau

  Sumber: Yunus (1999:120)

  2.2.2 Bentuk-bentuk Tidak Kompak Bentuk-bentuk areal kekotaan yang tidak kompak pada pokoknya merupakan satu daerah kekotaan yang mempunyai areal kekotaan terpisah-pisah oleh kenampakan bukan kekotaan. Pemisahnya dapat merupakan kenampakan topografis maupun kenampakan agraris.

1. Bentuk Terpecah (fragmented cities).

  Kota jenis ini pada awal pertumbuhannya mempunyai bentuk yang kompak dalam skala wilayah yang kecil. Dalam perkembangan selanjutnya perluasan areal kekotaan baru yang tercipta ternyata tidak “exclaves” pada daerah-daerah pertanian sekitarnya. Kenampakan- kenampakan kekotaan yang baru ini dikelilingi oleh areal pertanian dan dihubungkan dengan kota induk serta “exclaves” yang lain dengan jalur transportasi yang memadai.

  Tersedianya lahan di luar kota induk yang cukup memungkinkan terciptanya keadaan ini. “Privat Developers” mempunyai andil yang sangat besar dalam penciptaan tipe ini. Untuk negara-negara berkembang “exclaves” ini kebanyakan merupakan daerah permukiman, baik permukiman baru maupun lama yang telah berubah dari sifat perdesaan menjadi sifat kekotaan. Lama-kelamaan daerah-daerah kekotaan yang terpisah-pisah tersebut dapat menyatu membentuk kota yang lebih besar dan kompak (Gambar 2.23).

2. Bentuk Berantai (chained cities).

  Kota ini sebenarnya juga merupakan bentuk terpecah, namun karena terjadinya hanya disepanjang rute tertentu, kota ini seolah-olah merupakan mata rantai yang dihubungkan oleh rute transportasi. Oleh karena jarak jauh, beberapa bagian tersebut membentuk kesatuan fungsional yang sama, khususnya dibidang ekonomi. Jalur transportasi mempunyai peranan dominan dalam perkembangan areal kekotaannya. Dalam perkembangan selanjutnya mungkin sekali bagian-bagian tersebut dapat membentuk “ribbon city” yang besar (Gambar 2.24).

Gambar 2.24 Kota Berantai

  Sumber: Yunus (1999:122) 3. Bentuk Terbelah (spilit cities).

  Sebenarnya, jenis kota ini merupakan kota yang kompak, namun berhubung ada perairan yang cukup lebar membelah kotanya, maka seolah-olah kota tersebut terdiri dari dua bagian yang terpisah. Dua

  bagian ini dihubungkan oleh jembatan serta “ferry”. Biasanya masing- masing bagian mempunyai nama yang berbeda dengan bagian yang lain

Gambar 2.25 Kota Terbelah

  Sumber: Yunus (1999:123) 4. Bentuk Stellar (stellar cities).

  Kondisi morfologi kota ini biasanya terdapat pada kota-kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit. Dalam hal ini terjadi penggambungan antara kota besar utama dengan kota-kota satelit di sekitarnya, sehingga kenampakan morfologi kotanya mirip “telapak katak pohon” dimana pada ujung-ujung jarinya terdapat bulatan-bulatan. Majunya sarana transportasi dan telekomunikasi, mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan kenampakan ini. Proses kontribusi yang terus-menerus akan menciptakan bentuk megapolitan (Gambar 2.26).

2.3 Pola Ruang Kota

  2.3.1 Pengertian pola ruang kota Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi fungsi, dan karakteristik kegiatan perkotaan. Ditinjau dari pola pemanfaatan ruangnya, kota atau kawasan perkotaan secara garis besar terdiri dari kawasan terbangun–kawasan tidak terbangun (RTH). Dalam hal ini kawasan terbangun adalah ruang dalam kawasan perkotaan yang mempunyai ciri dominasi penggunaan lahan secara terbangun atau lingkungan binaan untuk mewadahi kegiatan perkotaan. Jenis- jenis pemanfaatan ruang kawasan terbangun kota antara lain adalah kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan industri.

  Keragaman jenis pemanfaatan ruang kota bergantung pada fungsi kota tersebut dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Selain pusat-pusat pelayanan kegiatan perkotaan dan kawasan fungsional perkotaan, unsur pembentuk struktur tata ruang kota adalah sistem prasarana dan sarana sebagai kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Secara spesifik prasarana perkotaan yang paling berpengaruh terhadap struktur tata ruang kota adalah prasarana transportasi, yakni jaringan jalan. Jaringan jalan merupakan indikator utama morfologi kota sehingga dalam perencanaan tata pemanfaatan ruang yang ada atau yang ingin diwujudkan. Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang mendorong perkembangan kegiatan, dan sebaliknya pengembangan suatu kegiatan memerlukan dukungan pengembangan jaringan jalan.

  2.3.2.1 Sistem guna lahan-transportasi Interaksi guna lahan dan transportasi merupakan interaksi yang sangat dinamis dan kompleks. Interaksi ini melibatkan berbagai aspek kegiatan serta berbagai kepentingan. Perubahan guna lahan akan selalu mempengaruhi perkembangan transportasi demikian pula sebaliknya. Pola perubahan dan besaran pergerakan serta pemilihan moda pergerakan merupakan fungsi dari adanya pola perubahan guna lahan di atasnya. Sedangkan setiap perubahan guna lahan dipastikan akan membutuhkan peningkatan yang diberikan oleh sistem transportasi dari kawasan yang bersangkutan (Black, 1981). Untuk menjelaskan bagaimana interaksi itu terjadi, Meyer dan Miller (1984) menunjukkan kerangka sistem interaksi guna lahan dan transportasi.

  Perkembangan guna lahan akan membangkitkan arus pergerakan, selain itu perubahan tersebut akan mempengaruhi pula pola persebaran dan pola permintaan pergerakan. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut adalah aksesibilitas (Hanson, 1985:307). Bekerjanya sistem interaksi guna lahan dan transportasi sangat dinamis dan melibatkan unsur-unsur lain sebagai pembentuk watak setiap komponen ekonomi wilayah, harga lahan dan sebagainya. Selain itu komponen sistem transportasi terliput adanya unsur kemajuan teknologi, keterbatasan sistem jaringan, sistem operasi dan lain sebagainya. Implikasi dari perubahan atau perkembangan sistem aktivitas adalah meningkatnya kebutuhan sarana dan prasarana dalam bentuk memicu berbagai perubahan guna lahan (Gambar 2.27).

  SISTEM AKSESIBILITAS SISTEM AKTIVITAS TRANSPORTASI KEPUTUSAN BERLOKASI KEPUTUSAN PEMILIHAN OLEH LINTASAN PERGERAKAN KEBUTUHAN SARANA POLA GUNA LAHAN DAN PRASARAN PERKEMBANGAN JALAN (DAMPAK PENAMBAHAN SARANA PERUBAHAN SISTEM DAN PRASARANA

  TRANSPORTASI AKTIVITAS)

Gambar 2.27 Bagan Sistem Interaksi Guna Lahan dan Transportasi

  Sumber: Michael, Meyer & Miller, 1984:63 Proses perubahan yang saling mempengaruhi ini akan berlangsung secara dinamis. Perubahan guna lahan selanjutnya akan menjadi faktor dominan dalam mengarahkan dan membentuk struktur kota. Perubahan ini akan mengakibatkan pula peningkatan produktivitas guna lahan dalam bentuk alih fungsi lahan ataupun implikasi yang bersifat negatif kerap terjadi pada saat beban arus pergerakan mulai mengganggu keseimbangan kapasitas jalan pada sistem jaringan kota (Paquette, 1982).

  Selanjutnya Martin (1959) menyatakan bahwa adanya saling keterkaitan perubahan pada sistem transportasi membentuk siklus suatu sistem dinamis yang saling mempengaruhi antara guna lahan dan transportasi. Pola guna lahan dapat mengidentifikasikan kegiatan perkotaan disetiap zona yang bersangkutan.

  Setiap zona dapat dicirikan dengan tiga ukuran, yaitu jenis kegiatan, intensitas penggunaan dan aksebilitas antar guna-lahan (Warpani, 1990:74-77). Secara terperinci, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.

  Jenis Kegiatan Jenis kegiatan dapat ditelaah dari dua aspek, yaitu yang umum menyangkut penggunaannya (komersial, industri, permukiman) dan yang khusus menyangkut sejumlah ciri yang lebih spesifik (daya dukung lingkungan, luas dan fungsi). Setiap jenis kegiatan membentuk karakteristik sistem transportasi tertentu, sesuai dengan bangkitan yang ditimbulkan.

2. Intensitas Guna Lahan

  Ukuran intensitas guna lahan dapat ditunjukkan oleh kepadatan bangunan yang dinyatakan dengan nisbi luas lantai per unit luas tanah. Ukuran ini bersangkutan. Data ini bersama-sama dengan jenis kegiatan menjelaskan tentang besarnya perjalanan dari setiap zona.

3. Hubungan Antar Guna Lahan

  Kebijaksanaan untuk mengalokasikan industri pada daerah pinggir kota yang terdiri dari jenis kegiatan tertentu. Untuk mengukur tingkat aksebilitas dapat dikaitkan antar pola jaringan perangkutan kota dengan potensi guna lahan yang bersangkutan.

  Meyer dalam bukunya “Urban Transportation Planning” menyimpulkan bahwa sistem interaksi guna lahan dan transportasi tidak pernah mencapai keseimbangan, sebagai contoh: populasi sebagai salah satu subsistem selalu berkembang setiap saat mengakibatkan subsistem lainnya akan berubah untuk mengantisipasi kondisi. Yang pasti adalah sistem tersebut akan selalu menuju keseimbangan.

  Hal yang utama dalam keseimbangan sama pentingnya dengan efisiensi (Rafsky, 1997:23). Kesetimbangan mensyaratkan adanya pembangunan jaringan transportasi untuk mengembangkan suatu kawasan dalam kota. Tentunya akan menjadi tidak efisien, jika suatu industri baru ditempatkan pada suatu lokasi yang mempunyai kepadatan tinggi dan volume lalu lintas yang tinggi. Industri baru itu akan sulit berkembang dengan penyediaan jaringan transportasi yang tidak memadai. Makin tinggi aktivitas suatu tata guna lahan makin tinggi pula tingkat kemampuannya yang berkembang maka akan mengakibatkan peningkatan arus pergerakan, pola persebaran dan permintaan pergerakan yang mana perubahan-perubahan tersebut berkonsekuensi dengan aksebilitas.

  2.3.2.2 Pengertian penggunaan lahan Lahan kota merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena lahan tersebut merupakan tempat manusia melakukan segala aktifitasnya.

  Pengertian lahan dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi fisik geografi, lahan adalah tempat dimana sebuah hunian tercipta dan mempunyai kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya.

  Sementara ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah suatu sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam produksi (Lichfield dan Drabkin, 1980:12).

  Beberapa sifat atau karakteristik lahan yang dikemukakan oleh Sujarto dan Drabkin adalah sebagai berikut: 1.

  Secara fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga, dan tidak terpengaruh oleh waktu.

  2. Perbedaan antara lahan tidak terbangun dan lahan terbangun adalah lahan tidak terbangun tidak akan dipengaruhi oleh kemungkinan penurunan nilai, sedangkan lahan terbangun nilainya cenderung turun karena penurunan nilai struktur bangunan yang ada di atasnya. Tetapi penurunan adanya harapan peningkatan fungsi penggunaan lahan tersebut selanjutnya.Lahan tidak dapat dipindahkan (not transportable) tetapi sebagai substitusinya intensitas penggunaan lahan dapat ditingkatkan. Sehingga faktor lokasi untuk setiap jenis penggunaan lahan tidak sama. Lahan tidak hanya berfungsi untuk tujuan produksi tetapi juga sebagai investasi jangka panjang (long-term investment) atau tabungan.

  Keterbatasan lahan dan sifatnya yang secara fisik tidak terdepresiasi membuat lahan menguntungkan sebagai tabungan.

  Keunikan sifat lahan mendorong pergeseran aktifitas penduduk perkotaan ke lahan yang mulai berkembang di daerah penggiran kota, tidak hanya sebagai barang produksi tetapi juga sebagai investasi terutama pada lahan-lahan yang mempunyai prospek akan menghasilkan keuntungan yang tinggi.

  Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi maksud pembangunan secara optimal dan efisien (Sugandhy, 1989:1).

  Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktifitas penduduk di suatu tempat berdampak pada makin meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Selain itu penggunaan lahan dapat diartikan pula suatu aktifitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1987:24). Penggunaan lahan dapat diartikan juga sebagai wujud atau bentuk usaha kegiatan pemanfaatan suatu bidang tanah pada suatu waktu

  2.3.2.3 Penggunaan lahan kota Ada 3 (tiga) sistem yang berhubungan dengan penggunaan lahan kota, yaitu

  (Chapin,1979:28-31): 1.

  Sistem aktivitas kota, berhubungan dengan manusia dan lembaganya lain dalam mengorganisasikan hubungan-hubungan mereka sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan keterkaitan antara yang satu dengan yang lain dalam waktu dan ruang. Dalam melakukan interaksi ini, melibatkan dimensi hubungan yang kadang-kadang menggunakan media tetapi tidak jarang juga berhadapan langsung dengan didukung oleh sistem transportasi. Jadi, dalam konteks ini sistem aktifitas kota mewujudkan aktifitas-aktifitas antar tempat dan antar perjalanan dan tempat sebagai pelengkap kegiatan mereka. Dengan kata lain, pergerakan diwujudkan dalam jaringan transportasi dan aktifitas dalam bentuk guna lahan.

  2. Sistem pengembangan lahan, berhubungan dengan proses konversi atau rekonversi lahan (ruang) dan penyesuaiannya bagi kegunaan manusia dalam mendukung sistem aktifitas yang telah ada sebelumnya. Sistem pengembangan lahan ini berhubungan dengan lahan kota baik bagi dari segi penyediaan maupun dari segi ekonomisnya. Dalam sistem pengembangan lahan ini, unsur-unsur yang terlibat adalah pemilik lahan,

  3. Sistem lingkungan, berhubungan dengan unsur-unsur biotik dan abiotik yang dihasilkan dari proses alam yang dikaitkan dengan air, udara dan zat- zat lain. Sistem ini berfungsi untuk menyediakan tempat bagi kehidupan dan keberadaan manusia dan habitat serta sumber daya untuk mendukung

  Ketiga sistem tersebut akan saling mempengaruhi dalam membentuk struktur penggunaan lahan kota. Di negara-negara yang telah maju, unsur yang paling mempengaruhi dalam pembentukan struktur ruang kota ini adalah sistem aktivitas karena di negara yang telah maju tersebut biasanya mempunyai penduduk yang padat dan banyak serta bermacam-macam kegiatan kota sehingga sistem aktivitas masyarakat kotanya akan jauh lebih baik berperan dari pada sistem pengembangan lahan dan sistem lingkungannya. Pada dasarnya ketiga sistem tersebut apabila saling berinteraksi dan saling berhubungan satu dengan yang lain akan membentuk suatu pola penggunaan lahan kota. Pola penggunaan lahan kota ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kotanya.

  2.3.2.4 Jenis Penggunaan lahan Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan lahan tak terbangun. Lahan terbangun terdiri dari perumahan, industri, perdagangan, jasa dan perkantoran.

  Sedangkan lahan tak terbangun terbagi menjadi lahan tak terbangun yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan, rekreasi, transportasi, ruang terbuka) dan lahan tak penambangan sumber daya alam). Untuk mengetahui penggunaan lahan di suatu wilayah maka perlu diketahui komponen-komponen penggunaan lahannya.

  Berdasarkan jenis pengguna lahan dan aktivitas yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka dapat diketahui komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan wilayah terdiri atas (Yeates,1980): 1.

  Permukiman 2. Industri 3. Komersial 4. Jalan 5. Tanah Publik 6. Tanah Kosong

  Sedangkan menurut Hartshorne, komponen penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi (Hartshorne, 1980):

  1. Private Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan permukiman, komersial, dan industri.

  2. Public Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan rekreasi dan pendidikan.

  3. Transportasi/Jalan. Dan menurut Lean dan Goodall, komponen penggunaan lahan dibedakan

  1. Penggunaan lahan yang menguntungkan.

  Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk pertokoan, perumahan, industri, kantor dan bisnis. Tetapi keberadaan guna lahan ini tidak lepas dari kelengkapan penggunaan lahan lainnya yang rumah sakit, taman, tempat pembuangan sampah, dan sarana prasarana.

  Pengadaan sarana dan prasarana yang lengkap merupakan suatu contoh bagaimana guna lahan yang menguntungkan dari suatu lokasi dapat mempengaruhi guna lahan yang lain. Jika lahan digunakan untuk suatu tujuan dengan membangun kelengkapan untuk guna lahan disekitarnya, maka hal ini dapat meningkatkan nilai keuntungan secara umum, dan meningkatkan nilai lahan. Dengan demikian akan memungkinkan beberapa guna lahan bekerjasama meningkatkan keuntungannya dengan berlokasi dekat pada salah satu guna lahan.

  2. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan.

  Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan, taman, pendidikan dan kantor pemerintahan. Sementara menurut Keputusan Menteri Negara KBPN Nomor: 1 Tahun 1997, komponen penggunaan lahan di suatu wilayah meliputi: a.

  Perumahan, penggunaan lahan untuk perumahan ini masih dirinci dalam penggunaan lahan untuk perumahan teratur, perumahan tidak b. dan Pergudangan, penggunaan lahan untuk Industri industri/pergudangan masih rinci dalam penggunaan lahan untuk industri pertanian, industri non pertanian, dan pergudangan.

  c.

  Jasa, penggunaan lahan untuk jasa terdiri atas jasa pemerintahan, jasa umum.

  d.

  Komersial, penggunaan lahan untuk tanah komersial terdiri atas pasar, perdagangan umum, akomodasi dan rekreasi, lembaga usaha, prasarana transportasi.

  e.

  Taman, penggunaan lahan untuk taman yang dimaksud adalah taman kota.

  f.

  Tanah tidak ada bangunan, penggunaan lahan untuk lahan ini adalah tanah kosong, pertanian tanah basah, pertanian tanah kering, peternakan, perikanan, dan hutan.

  g.

  Lain-lain, penggunaan lahan untuk lain-lain yang dimaksud adalah jalan, sungai, saluran, rawa, dan waduk.

  Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa guna lahan yang menguntungkan mempunyai keterkaitan yang besar dengan guna lahan yang tidak menguntungkan.

  Guna lahan utama yang dapat dikaitkan dengan fungsi perumahan adalah guna lahan komersial, industri ringan, dan guna lahan publik maupun semi publik (Chapin dan

  1. Guna lahan komersial.

  Fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan perumahan melalui percampuran secara vertikal. Guna lahan komersial yang harus dihindari dari perumahan adalah perdagangan grosir dan perusahaan besar. Guna lahan industri.

  Keberadaan industri tidak saja dapat memberikan kesempatan kerja, namun juga memberikan nilai tambah melalui lansekap dan bangunan megah yang ditampilkannya. Jenis industri yang harus dihindari dari perumahan adalah industri pengolahan minyak, industri kimia, pabrik baja dan industri pengolahan hasil tambang.

  3. Guna lahan publik maupun semi publik.

  Guna lahan ini meliputi guna lahan untuk pemadam kebakaran, tempat ibadah, sekolah, area rekreasi, kuburan, rumah sakit, terminal dan lain- lain.

2.3.2.5 Perubahan guna lahan

  Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

  Namun dalam kajian land economuics, pengertiannya difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non

  Perubahan guna lahan ini melibatkan baik reorganisasi struktur fisik kota secara internal maupun ekspansinya ke arah luar (Pierce, 1981). Perubahan guna lahan ini dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Ada empat proses utama yang menyebabkan terjadinya perubahan guna lahan yaitu (Bourne,

  1. Perluasan batas kota.

  2. Peremajaan di pusat kota.

  3. Perluasan jaringan infrastruktur.

  4. Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu. Dilihat dari faktor-faktor penyebabnya, pada umumnya proses perkembangan penggunaan lahan kota-kota di Indonesia dipengaruhi faktor penentu dari segi ekonomi (economic determinant).

  Menurut Santoso (1999), secara rasional pembangunan lahan oleh masyarakat biasanya ditentukan berdasarkan pendapatan atau produktifitas yang bisa dicapai oleh lahan, sehingga muncul konsep highest and best use , artinya adalah penggunaan lahan terbaik adalah penggunaan yang dapat memberikan pendapatan tertinggi.

  Jadi, perubahan penggunaan lahan kota terjadi karena pergantian kegiatan kurang produktif menjadi kegiatan lain yang lebih produktif (Jayadinata, 1991).