BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Diare 2.1.1.Pengertian Diare - Pengaruh Karakteristik, Sanitasi Dasar dan Upaya Pencegahan terhadap Kejadian Diare pada Balita (1-<5 Tahun) di Kelurahan Sei Sekambing C-II Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Diare

2.1.1.Pengertian Diare

  Diare adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja. Menurut World

  Health Organization (WHO) pada tahun 1984 mendefinisikan diare adalah buang

  air besar (BAB) 3 kali atau lebih dalam sehari semalam (24 jam) yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah (muntaber)(Widoyono, 2008) Mengutip definisi Hippocrates menyatakan diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair (Nelson dkk, 1969; Morley, 1973) berpendapat bahwa

  

gastroenteritis dikesampingkan saja dimana memberikan kesan terdapatnya suatu

  radang sehingga selama ini penyelidikan tentang diare cenderung lebih ditekankan pada penyebabnya (Suharyono, 2008).

  Diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (&gt; 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah atau lendir ( Suraatmaja, 2007). Diare sendiri berasal dari bahasa latin diarrhoea, yang berarti buang air encer lebih dari empat kali baik disertai lendir dan darah maupun tidak. Menurut Depkes (2003), diare adalah buang air besar lembek atau cair bahkan berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari) dan berlangsung kurang dari 14 hari.

  Diare paling sering menyerang anak-anak, terutama usia antara 6 bulan sampai 2 tahun dan pada umumnya terjadi pada bayi dibawah 6 bulan yang minum bayi yang hanya minum ASI kadangkala tinjanya lembek tidak disebut diare.

2.1.2.Klasifikasi Diare

  Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), jenis diare dibagi menjadiempat yaitu: a.

  Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.

  b.

  Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, kemungkinanterjadinya komplikasi pada mukosa.

  c.

  Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.

  d.

  Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

  Rendle Short (1961) mengklasifikasikan diare berdasarkan pada ada tidaknya infeksi ; gastroenteritis (diare dan muntah) menjadi 2 golongan : a.

  Diare infeksi spesifik : tifus abdomen dan paratifus, disentri basil (Shigella), enterokolitisstafilokok .

  Diare non-spesifik : diare dietetic.

  Klasifikasi lain berdasarkan organ yang terkena infeksi : a. Diare infeksi enteal atau diare karena infeksi di usus ( bakteri, virus, parasit) b.

  Diare infeksi pareteral atau diare karena infeksi di luar usus (otitis media, infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urine dan lainnya) (Suharyono, 2008) Ellis dan Mitchell (1973) membagi diare pada bayi dan anak secara luas berdasarkan lamanya diare yaitu : a.

  Diare akut atau diare disebabkan infeksi usus yang bersifat mendadak, dapat terjadi pada semua umur dan bila menyerang bayi umumnya disebut

  gastroenteritisinfantile .

  Diare akut adalah diare yang timbul secara mendadak dan berhenti cepat atau maksimal sampai 2 minggu. Walker Smith (1978) menyatakan sebagai salah satu penyebab penting diare akut pada bayi dan anak (yang bukan disebabkan oleh infeksi) adalah enteropati karena sensitive terhadap protein susu sapi atau ‘Cow’smilk protein sensitive enteropathy (CMPSE)’ atau lebih dikenal dengan alergi terhadap susu sapi atau ‘Cow’s milk Allergy (CMA).

  b.

  Diare kronik yag umumnya bersifat menahun, diantara diare akut dan kronik disebut diare subakut. Walker Smith (1978) mendefinisikan diare kronik sebagai diare yang berlangsung 2 minggu atau lebih.

  Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi dua yaitu:

  a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang yang terkontaminasi oleh kuman penyakit.

  Patogenesis Diare Akut : 1.

  Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung.

  2. Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) di dalam usus halus.

  3. Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin diaregenik) 4.

  Akibat toksin tersebut terjadi hipersekrsi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.

  b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare tersebut. Penyebabnya diakibatkan luka oleh radang usus, tumor ganas dan sebagainya. Diare kronik lebih komplek dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain.

2.1.3.Etiologi Diare / Faktor Penyebab Diare

  Menurut Widoyono (2008) penyebab diare dapat dikelompokan menjadi : a. : Rotavirus (40-60%), Adenovirus. Virus

  b. : Escherichia coli (20-30%), Shigella sp. (1-2%), Vibrio Bakteri cholera, dan lain-lain. c. : Entamoeba histolytica (&lt;1%), Giardia lamblia, Parasit Cryptosporidium( 4-11%).

  Keracunan makanan e. : Karbohidrat, lemak, dan protein. Malabsorpsi f. : makanan, susu sapi. Alergi g.

  Imunodefisiensi : AIDS

2.1.4. Gejala dan Tanda Diare

  Menurut Widoyono (2008) ada beberapa gejala dan tanda diare diantaranya adalah :

  1. Gejala Umum a.

  Mengeluarkan kotoran lembek dan sering merupakan gejala khas diare b.

  Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare d.

  Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis bahkan gelisah

  2. Gejala Spesifik a.

  Vibrio cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis.

  b.

  Disenteriform : tinja berlendir dan berdarah

  Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan : 1. Dehidrasi (kekurangan cairan) ringan, sedang, atau berat.

  2. Gangguan Sirkulasi Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Bila kehilangan cairan lebih dari 10 % berat badan, pasien dapat mengalami syok atau presyok yang disebabkan oleh berkurangnya volume darah (hipovolemia).

  3. Gangguan Asam-Basa (asidosis) Hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam tubuh.

  Sebagai kopensasinya tubuh akan bernafas cepat untuk membantu meningkatkan PH arteri.

  4. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah)

  Hipoglikemia sering terjadi pada anak yang sebelumnya mengalami malnutrisi

  (kurang gizi). Hipoglikemia dapat mengakibatkan koma. Penyebab yang pasti belum diketahui,kemungkinan karena cairan ekstra seluler menjadi hipotonik dan air masuk kedalam cairan intraseluler sehingga terjadi odema otak yang mengakibatkan koma.

  5. Gangguan Gizi Gangguan ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan output yang berlebihan. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian makanan dihentikan serta sebelumnya penderita sudah mengalami kekurangan gizi (malnutrisi).

  Derajat dehidrasi akibat diare dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1. Tanpa dehidrasi

  Umumnya karena diarenya tidak berat, anak masih mau makan dan minum seperti biasa.

  2. Dehidrasi ringan atau sedang Menyebabkan anak rewel atau gelisah, mata sedikit cekung, turgor kulit masih kembali dengan cepat jika dicubit.

  3. Dehidrasi berat Anak apatis (kesadaran berkabut), mata cekung, pada cubitan kulit turgor kembali lambat, napas cepat, anak terlihat lemah.

  Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu: 1. Frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali 2.

  Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi.

  3. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.

  4. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.

  5. Anusnya lecet.

  6. Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.

  7. Muntah sebelum atau sesudah diare.

  8. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).

  9. Dehidrasi.

2.1.5. Epidemiologi Diare

  Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak meninggal tiap tahunnya karena diare, dimana sebahagian kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Parashar, 2003). Berdasarkan laporan WHO, kematian karena diare di negara berkembang diperkirakan sudah menurun dari 4,6 juta kematian pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta kematian pada tahun 2003 (WHO, 2003).

  Berdasarkan Studi Basic Human Service (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat dalam mencuci tangan adalah, (i) setelah buang air besar 12%, (ii) setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, (iii) sebelum makan 14 %, (iv) sebelum memberi makan bayi 7%, dan (v) sebelum menyiapkan makanan 6%.

  Sementara itu studi BHS lainnya terhadap perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan 99,20% merebus air untuk mendapatkan air minum, tetapi 47,50% dari air tersebut mengandung Eschericia coli. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya angkakejadian diare di Indonesia. Hal ini terlihat dari angka kejadian diare nasional pada tahun 2006 sebesar 423 per 1.000 penduduk pada semua umur dan 16 propinsi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dengan Case

  Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52 (Depkes RI, 2010) Epidemiologi penyakit diare, adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005). a.

  Penyebaran Kuman Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar melalui fecal kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4/6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.

  b.

  Faktor Penjamu Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare. Beberapa faktor pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa penyakit dan lamanya diare yaitu tidak memberikan ASI sampai dua tahun, kurang gizi, campak,

  immunodefisiensi , dan secara proporsional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.

  c.

  Faktor Lingkungan dan Perilaku Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.

2.1.6. Patogenesis Diare

  Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan oleh rotavirus. Virus ini menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi dan anak (Simatupang, 2004).

  Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan dan minuman. Kemudian virus itu akan sampai ke sel-sel epitel usus halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusakkan sel-sel epitel tersebut. Sel-sel epitel yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid atau sel epitel gepeng yang belum matang sehingga fungsi sel-sel ini masih belum bagus. Hal ini menyebabkan vili-vili usus halus mengalami atrofi dan tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan tadi akan terkumpul di usus halus dan akan meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal ini menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan didorong keluar melalui anus dan terjadilah diare (Kliegman, 2006).

  Menurut Departemen Kesehatan RI, 2007 faktor resiko yang menyebabkan beratnya disentri antara lain : gizi kurang, usia sangat muda, tidak mendapat ASI, menderita campak dalam 6 bulan terakhir, mengalami dehidrasi serta bakteri

Shigella yang menghasilkan toksin dan atau resisten ganda terhadap antibiotik.

  Pemberian antibiotika dimana kuman penyebab telah resisten terhadap antibiotika tersebut akan memperberat manifestasi klinis dan memperlambat sekresi kuman penyebab dalam feses penderita.

  shigatoxin(St), kelompok toksin ini mempunyai 3 efek : neurotoksik, sitotoksik, dan

  enterotoksik Infeksi Shigella dysentery dan shigella flexneri menurunkan imunitas, antaralain disebabkan peningkatan aktifitas sel T supresor dan penekanan kemampuan fatogositosis makrofag. Infeksi Shigella menimbulkan kehilangan protein melalui usus yang tercermin dengan munculnya hipoalbuminemia juga disertai penurunan nafsu makan. Rangkaian pathogenesis ini akan mempermudah munculnya Kurang Energi Protein (KEP) dan infeksi sekunder.

2.1.7. Penularan Diare

  Penyakit diare sebagian besar (75%) disebabkan oleh kuman seperti virus dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui jalur fecal oral yang terjadi karena: a. Melalui air yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah.

  Pencemaran ini terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.

  b. Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi, mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap dimakanan, maka makanan itu dapat menularkan diare ke orang yang memakannya

  Pada usia 4 bulan, bayi tidak diberi ASI eksklusif lagi dimana ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja sewaktu bayi berusia 0-4 bulan. Hal ini akan menurunkan kekebalan tubuh terhadap infeksi.

  Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko diare yaitu : 1. Memberikan susu formula dalam botol kepada bayi. Pemakaian botol akan meningkatkan risiko pencemaran kuman, susu akan terkontaminasi oleh kuman dari botol selain itu kuman akan cepat berkembang bila susu tidak segera diminum.

  2. Menyimpan makanan pada suhu kamar, kondisi ini akan menyebabkan permukaan makanan mengalami kontak dengan peralatan makan yang dapat menjadi media yang sangat baik bagi perkembangan mikroba.

3. Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan atau sesudah buang air besar (BAB) dapat terjadi kontaminasi langsung (Widoyono, 2008).

  Menurut (Depkes RI, 2005) kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, yaitu: tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar, tidak mencuci tangan sesudah membuang tinja anak, tidak mencuci tangan sebelum atau sesudah menyuapi anak dan tidak membuang tinja termasuk tinja bayi dengan benar.

  Menurut Depkes RI (2005), penanggulangan diare antara lain:

  a. Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan Dini) Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang jumlah penderita dan kematian serta penderita baru yang belum dilaporkan dengan melakukan pengumpulan data secara harian pada daerah fokus dan daerah sekitarnya yang diperkirakan mempunyai risiko tinggi terjangkitnya penyakit diare. Sedangkan pelaksanaan SKD merupakan salah satu kegiatan dari surveilance epidemiologi yang kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya KLB (Kejadian Luar Biasa) diare.

  b. Penemuan kasus secara aktif Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan karena diare pada saat KLB di mana sebagian besar penderita berada dimasyarakat.

  c. Pembentukan pusat rehidrasi Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi KLB jauh dari puskesmas atau rumah sakit.

  d. Penyediaan logistik saat KLB Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat terjadinya KLB diare. e. Penyelidikan terjadinya KLB Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan pengamatan

  f. Pemutusan rantai penularan penyebab KLB Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare pada saat KLB diare meliputi peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan penyuluhan kesehatan.

  Penanggulangan diare berdasarkan tingkat dehidrasi (WHO, 2005)adalah sebagai berikut : a. Tanpa Dehidrasi

  Pada anak-anak yang berumur bawah dari 2 tahun boleh diberikan larutan oralit 50-100ml/kali diare dan untuk usia lebih dari 2 tahun diberikan larutan yang sama dengan dosis 100-200ml/kali diare. Bagi mengelakkan dehidrasi ibu-ibu harus meningkatkan pemberian minuman dan makanan dari biasa pada anak mereka. Selain itu dapat juga diberikan zink (10-20mg/hari) sebagai makanan tambahan.

  b. Dehidrasi Ringan Pada keadaan ini diperlukan oralit secara oral bersama larutan Kristaloid

  

RingerLaktat ataupun RingerAsetat dengan formula lengkap yang mengandung

  glukosa dan elektrolit dan diberikan sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan anak serta dianjurkan ibu untuk meneruskan pemberian ASI dan masih dapat ditangani sendiri oleh keluarga di rumah. Berdasarkan WHO, larutan oralit seharusnya mengandung 90mEq/L natrium, 20mEq/L kalium klorida dan 111mEq/L glukosa. c.

  Dehidrasi Sedang Pada keadaan ini memerlukan perhatian yang lebih khusus dan pemberian oralit selama 3-4 jam. Bila penderita sudah lebih baik keadaannya, penderita dapat dibawa pulang untuk dirawat di rumah dengan pemberian oralit. Dosis pemberian oralit untuk umur kurang dari 1 tahun, setiap buang air besar diberikan 50-100ml, untuk 3 jam pertama 300ml. Untuk anak umur 1-4 tahun setiap buang air besar diberikan 100-200ml, untuk 3 jam pertama 600ml.

  d.

  Dehidrasi berat Pada keadaan ini pasien akan diberikan larutan hidrasi secara intravena (intravenous hydration) dengan kadar 100ml/kgBB/3-6 jam. Dosis pemberian cairan untuk umur kurang dari 1 tahun adalah 30ml/kgBB untuk 1 jam yang pertama dan seterusnya diberikan 75ml/kgBB setiap 5 jam. Dosis pemberian cairan untuk anak 1-4 tahun adalah 30ml/kgBB untuk ½ jam yang pertama dan seterusnya diberikan 70ml/kgBB setiap 2 ½ jam.

2.1.9. Upaya Pencegahan Diare

  Menurut Depkes RI (2000), penyakit diare dapat dicegah melalui promosi kesehatan antara lain: a.

  Meningkatkan penggunaan ASI (Air Susu Ibu).

  b.

  Memperbaiki praktik pemberian makanan pendamping ASI.

  c.

  Penggunaan air bersih yang cukup.

  d.

  Makan makanan bersih dan bergizi e.

  Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan.

  f.

  Penggunaan jamban yang benar dimana pembuangan kotoran yang tepat g.

  Menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan lingkungan h. Memberikan imunisasi campak. i.

  Pemberian kaporit pada sumur gali 2 minggu sekali Pertolongan pertama yang dapat dilakukan di rumah tangga apabila ada anggota keluarga terkena diare yaitu :

  1. Berikan minuman oralit atau larutan gula garam. Sebaiknya setiap keluarga diharapkan menyimpan garam oralit di rumah.

  Cara membuat larutan gula garam di rumah : 1 (satu) sendok teh gula pasir +1/4 sendok teh garam dapur dicampur ke dalam 1 gelas air hangat

  2. Berikan obat diare yang tersedia.

  3. Segera dibawa ke puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan terdekat.

  Ada beberapa upaya pencegahan yang efektif yang dapat dilakukan antaralain: 1. Memberikan ASI

  ASI merupakan makanan yang paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. Pemberian ASI sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai 6 bulan. Tidak ada makanan tambahan lain yang dibutuhkan selama masa ini. ASI memiliki khasiat preventif secara imonologic dengan kandungan antibodi dan zat-zat lain. ASI turut memberi perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu penyebab diare. Bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan akan mendapat resiko terjadi diare adalah 30 kali lebih besar.

  Penggunaan botol susu untuk pemberian susu formula juga akan memberi resiko tinggi terkena diare sehingga dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk.

2. Pemberian Makanan Pendamping ASI Pemberian makanan pendamping ASI diberikan pada bayi secara bertahap.

  Dimulai dengan membiasakan dengan memberikan makanan orang dewasa yang dihaluskan. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya meningkatkan resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.

  Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang baik antara lain : 1) Berikan makanan pendamping ASI setelah bayi berumur 6 bulan. 2) Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk menambah energi. 3) Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang- kacangan, buah-buahan dan sayuran hijau ke dalam makanannya. 4) Cuci tangan pakai sabun sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak. Suapi anak dengan sendok yang bersih, sebaiknya botol sususerta peralatan makanan bayi disiram atau direbus dengan air panas mendidih.5) Masak dan rebus makanan dengan benar.

  Menggunakan Air Bersih yang Cukup Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal

  oral, ditularkan dengan memasukkan makanan ke dalam mulut, cairan atau

  benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air yang tercemar. Hal-hal yang perlu diperhatikan anggota keluarga : a) Mengambil Air dari sumber yang bersih.

  b) Ambil dan simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus untuk mengambil air.

  c) Pelihara atau jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan lain-lain.

  d) Gunakan air yang direbus e) Cuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih.

4. Mencuci Tangan dengan Sabun

  Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam mencegah penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan mempunyai dampak dalam kejadian diare.

  5. Menggunakan Jamban Hal-hal yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah : a) keluarga harus keluarga, b) Bersihkan secara teratur dan c) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki.

  6. Membuang Tinja Bayi yang Benar Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh keluarga : a) Tinja bayi atau anak kecil sebaiknya dibuang kejamban, b) Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja anak seperti dalam lubang atau kebun kemudian ditimbun dan c) Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangannya dengan sabun.

  7. Memberikan Imunisasi Campak Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak dapat mencegah diare. Oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9 bulan (Depkes RI, 2000).

  8. Pemberian Kaporit pada Sumur Gali 2 Minggu Sekali Cara pembubuhan kaporit pada sumur gali antara lain : pemberian 2 (dua) minggu sekali. Caranya kaporit dilarutkan terlebih dahulu dalam segayung air, setelah itu dimasukkan ke dalam sumur pada malam hari. Pada pagi harinya air sumur sudah dapat dimanfaatkan kembali.Pemberian kaporit pada sumur gali 2 minggu sekali.

2.2. Perspektif Kependudukan yang Berhubungan dengan Penyakit

  Dalam perspektif kependudukan, manusia dapat dilihat dari perspektif yang merupakan attribute manusia, yakni selain jenis kelamin, umur, genetika, yakni yang berkenaan dengan sifat, karakteristik, budaya dan perilaku. Selain itu untuk kepentingan kesehatan, khususnya kesehatan yang berkenaan dengan lingkungan selain variabel jumlah, juga kepadatan dan persebarannya. Manusia mempunyai perilaku seperti hobi, kebiasaan, kesukaan atau hal-hal lain yang didorong berbagai variabel yang amat kompleks dalam diri manusia

  Variabel-variabel tersebut diantaranya tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap, agama, kultur budaya, gender, umur, dan sebagainya. Hal lain yang mendasari sifat- sifat manusia bahkan perilaku kehidupan lainnya adalah faktor genetik manusia. Faktor genetik adalah faktor penentu kesehatan yang penting bahwa kerentanan penyakit merupakan konsekuensi dari gen-gen dan interaksi gen lingkungan. Penyakit dan pengembangan adalah jumlah dari kedua faktor genetik dan lingkungan. Interaksi perilaku penduduk dengan lingkungannya bisa menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit. Faktor kependudukan seperti kepadatan penduduk mempengaruhi kepadatan dapat mempengaruhi produksi sampah atau limbah yang akhinya berdampak buruk terhadap manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pemahaman terhadap faktor resiko yang berakar pada kependudukan, dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit itu sendiri.

  Kependudukan dengan berbagai variabel didalamnya seperti budaya, kepadatan, perilaku penduduk, hobi, struktur umur, gender, pendidikan, pendapatan dikenal sebagai determinan kesehatan atau faktor risiko yang berperan timbulnya penyakit (Achmadi, 2012).

2.2.1. Sifat Karakteristik tentang Orang

  Pada setiap kelompok penduduk, tiap individu yang membentuk kelompok tersebut memiliki tingkat/derajat keterpaparan atau risk yang berbeda pada setiap penyakit tertentu. Mereka yang mempunyai derajat keterpaparan yang sama terhadap suatu penyakit tertentu, tidak semuanya menderita penyakit tersebut secara sama pula pada waktu dan tempat tertentu. Keadaan ini sangat dipengaruhi berbagai faktor diantaranya karakteristik tentang orang yang merupakan dasar pokok epidemiologi deskriptif yaitu :

2.2.1.1.Umur

  Variabel umur merupakan hal yang penting karena semua rate morbiditas walupun secara umum kematian dapat terjadi pada setiap golongan umur tetapi dari berbagai catatan diketahui bahwa frekuensi kematian pada setiap golongan umur berbeda-beda, yaitu kematian tertinggi terjadi pada golongan umur 0-5 tahun dan kematian terendah terletak pada golongan umur 15-25 tahun dan akan meningkat lagi pada umur 40 tahun ke atas.

  Gambaran diatas tersebut dapat dikatakan bahwa secara umum kematian akan meningkat dengan meningkatnya umur. Hal ini disebabakan berbagai faktor, yaitu pengalaman terpapar oleh faktor penyebab penyakit, faktor pekerjaan, kebiasaan hidup atau terjadinya perubahan dalam kekebalan.

  Hubungan umur dengan morbiditas dimana pada hakekatnya suatu penyakit dapat menyerang setiap orang pada semua golongan umur, tetapi ada penyakit- penyakit tertentu yang lebih banyak menyerang golongan umur tertentu.

  Peenyakit-penyakit kronis mempunyai kecendrungan meningkat dengan bertambahnya umur, sedangkan penyakit-penyakit akut tdak mempunyai suatu kecendrungan yang jelas. Karakteristik umur merupakan : a.

  Salah satu sifat karakteristik orang yang sangat utama b.

  Penyebaran keadaan umur dalam masyarakat mudah dilihat dengan kurva penduduk atau piramida penduduk c.

  Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya risk, serta sifat resistensi tertentu Umur mempunyai hubungan erat dengan berbagai sifat orang lainnya dan juga dengan karakteristik tempat dan waktu e.

  Perbedaan pengalaman terhadap penyakit menurut umur sangat mempunyai pengaruh/kemaknan yang berhubungan dengan :

  • Perbedaan tingkat keterpaparan dan kerentanan menurut umur
  • Perbedaan dalam proses pathogenesis, dan
  • Perbedaan dalam hal pengalaman terhadap penyakit tertentu f.

  Adanya perbedaan yang dimungkinkan pada nilai rate dari prevalensi,

  insidensi , dan mortalitas/kematian menurut umur g.

  Penggunaan umur secara merata dengan memperhatikan standarisasi

2.2.1.2. Jenis Kelamin

  Secara umum, penyakit dapaat menyerang manusia baik laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki- laki dan perempuan. Jenis kelamin mempunyai peranan : a.

  Mempunyai hubungan dengan sifat kepaparan dan tingkat kerentanan b.

  Rasio jenis kelamin harus selalu diperhitungkan pada peristiwa penyakit tertentu c.

  Berbagai penyakit tertentu sangat erat hubungannya dengan jenis kelamin

  2.2.1.3. Kelompok Etnis

  Kelompok etnik meliputi kelompok homogen berdasarkan kebiasaan hidup keadaan frekuensi penyakit/kematian pada etnik tertentu serta pengalaman terhadap penyakit tertentu. Dalam hal ini pengaruh lingkungan haruslah diperhtikan dengan seksama.

  • sosio, ekonomi dan lingkungan hidup, jenis pekerjaan utama dan lainnya

  Lebih didasarkan perbedaan adat, kebiasaan hidup, dan mungkin keadaan

  • kelompok etnis berbeda
  • Adanya perbedaan pengalaman penyakit tertentu umpamanya malaria dan filariasis bagi transmigrasi dari Jawa dan Bali atau pada berbagai penyakit noninfeksi seperti latar belakang pengalaman psikologis, dan lain-lain

  Timbulnya perbedaan frekuensi penyakit/kematian mungkin oleh

  2.2.1.4.Pekerjaan

  Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana dan lingkungan yang berbeda.

  2.2.1.5. Sosial Ekonomi

  Keadaan sosial ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi frekuensi distribusi penyakit tertentu misalnya TBC, infeksi akut gastrointestinal, ISPA, anemia, malnutrisi dan penyakit parasit yang banyak terdapat pada penduduk golongan sosial ekonomi rendah sedangkan penyakit jantung koroner, hipertensi, obesitas, kadar kolesterol tinggi dan infarkmiokard yang banyak terdapat pada penduduk golongan sosial ekonomi yang tinggi.

  Klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena ada perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit di antara suku bangsa maka dibuat klasifikasi walaupun terjadi kontroversi.

  Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku bangsa berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya penyakit sicklecellanemia,

  hemofilia , kelainan biokimia seperti glukosa 6 fosfatase dan karsinoma lambung.

2.3. Faktor Risiko dan Faktor Protektif

2.3.1. Faktor Risiko Faktor risiko adalah faktor-faktor yang memperburuk keadaan.

  Faktor resiko ada 3 (tiga), yaitu: 1.

  Resiko individual, yaitu faktor-faktor individu yang memperburuk keadaan, contohnya kepribadian, individu yang mudah panik akan membuat keadaan semakin buruk. Atau bisa juga kondisi fisik individu yang mudah sakit, begitu tertimpa masalah kemungkinan besar ia akan lebih mudah sakit lagi.

  2. Resiko keluarga, yaitu faktor-faktor keluarga yang memperburuk keadaan. Misalnya, keluarga yang kurang komunikatif.

  3. Resiko sosial, yaitu faktor-faktor lain yang lebih luas lagi dan lebih kompleks yang dapat memperburuk keadaan. Misalnya, gosip-gosip

2.3.2. Faktor Protektif

  Faktor protektif adalah, faktor-faktor yang berefek positif bagi individu,yaitu: 1. Protektif individual, yaitu faktor-faktor individu yang berefek positif bagiindividu.

  Bisa berupa aspek kepribadian atau fisik individu.

  2. Protektif keluarga, yaitu faktor-faktor keluarga yang berdampak positif bagi individu. Misalnya, keluarga yang komunikatif.

  3. Protektif sosial, yaitu faktor-faktor lain yang lebih luas lagi dan lebih kompleks yang dapat memberi dampak positif bagi individu.

  Masalahnya adalah, sering kali seseorang lebih memperhatikan faktor resiko dan tidak menyadari adanya faktor protektif. Padahal banyak hal yang lebih patut disyukuri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Terkadang juga kondisi individu, keluarga, dan sosial bisa berbolak-balik menjadi faktor resiko dan faktor protektif.

  Semakin baik faktor protektif, maka semakin besar kemungkinan relisiensinya. (A.Diah , 2012).

2.4.Sanitasi Dasar yang Berhubungan Diare

  Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat komplek, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat interaksi satu sama lain yaitu antara faktor lingkungan, agent dapat menjadi penentu pendorong terjadinya diare.

  Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling penting, sehingga untuk penanggulangan diare diperlukan upaya perbaikan sanitasi lingkungan (Zubir, 2006).

  Seseorang yang daya tahan tubuhnya kurang, maka akan mudah terserang penyakit. Penyakit tersebut antara lain diare, kolera, campak, tifus, malaria, demam berdarah dan influensa (Slamet, 2002).Masalah-masalah kesehatan lingkungan antara lain pada sanitasi (jamban), penyediaan air bersih/air minum, perumahan, pembuangan sampah dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003)

  Sanitasi adalah sesuatu cara untuk mencegah berjangkitnya suatu penyakit menular dengan jalan memutuskan mata rantai dari sumber. Sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada penguasaan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan (Azwar, 1990).

  Sedangkan sanitasi lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimal bagi manusia yang hidup di lingkungan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

  Sanitasi lingkungan yang buruk merupakan faktor yang penting terhadap terjadinya diare dimana interaksi antara penyakit, manusia, dan faktor-faktor lingkungan yang mengakibatkan penyakit perlu diperhatikan dalam penanggulangan diare. Peranan faktor lingkungan, enterobakteri, parasit usus, virus, jamur dan beberapa zat kimia telah secara klasik dibuktikan pada berbagai penyelidikan Menurut Anne (2008),lingkungan yang tidak bersih bisa menjadi pemicu munculnya bakteri-bakteri penyebab diare dalam tubuh manusia. Sistem penyebaran diare pada manusia diantaranya melalui air yang digunakan untuk keperluan sehari- hari pun bila memiliki kebersihan yang minim tanah, bisa membawa bakteri masuk dalam perut dan berdiam di usus besar. Akibatnya, bakteri pembawa diare itu dengan leluasa menyebar ke seluruh bagian usus manusia dan menginfeksinya, selanjutnya tanah yang kotor dapat menghantarkan bakteri E.coli menuju perut, sehingga selalu membiasakan mencuci bahan makanan yang akan dimasak dengan bersih sebelum dikonsumsi. Berikut yang bisa ikut membantu penyebaran diare pada manusia adalah tangan manusia itu sendiri. Tangan yang kotor berisiko mengandung banyak kuman dan bakteri. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan melakukan beragam aktivitas. Kemudian serangga yang menyebabkan penyakit diare sangat menyukai tempat-tempat yang memang kotor. Mereka akan tumbuh dan berkembangbiak di sana.

  Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) mengenai status pencapaian Tujuan Pembangunan Manusia atau MDG di Indonesia mengalami kemunduran.

  Pada tahun 2015, MDG mencanangkan 69% penduduk Indonesia dapat mengakses air minum yang layak dan 72,5% memperoleh layanan sanitasi yang memadai.

  Faktanya, hanya 18% penduduk yang memiliki akses ke sumber air minum dan sekitar 45% mengakses sarana sanitasi yang memadai. dengan mengembangkan kebiasaan atau perilaku hidup sehat, membersihkan ruangan dan halaman rumah secara rutin, membersihkan kamar mandi dan toilet, menguras, menutup dan menimbun, tidak membiarkan adanya air yang tergenang, membersihkan saluran pembuangan air, dan menggunakan air yang bersih (Arifin, 2009).

2.4.1. Ruang Lingkup Sanitasi Lingkungan

  Ruang lingkup sanitasi lingkungan diantaranya tersedianya air bersih, karena digunakan untuk kebutuhan manusia secara komplek antara lain untuk minum, memasak, mandi, mencuci (bermacam-macam cucian) dan sebagainya. Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum.

  Oleh karena itu air harusmempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia. Syarat-syarat air yang sehat yaitu meliputi syarat fisik yaitu bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu di bawah suhu udara di luarnya, kemudian syarat bakteriologis yaitu bebas dari segala bakteri, dan syarat kimia yaitu air harus mengandung zat-zat tertentu dalam jumlah yang tertentu pula (Notoatmodjo, 2007).

  Menurut Notoatmodjo (2007), sumber-sumber air minum yang dapat digunakan sebagai kebutuhan manusia sehari-hari meliputi air hujan yaitu dengan cara ditampung kemudian dapat dijadikan air minum yang sehat jika ditambahkan kalsium, air sungai dan danau disebut juga air permukaan jika digunakan sebagai air minum harus diolah terlebih dahulu, kemudian mata air yaitu berasal dari air tanah selanjutnya air sumur dangkal merupakan sumber air yang keluar dari lapisan air di dalam tanah yang dangkal yaitu berkisar antara 5 sampai dengan 15 meter dari permukaan tanah. Selanjutnya air sumur dalam yang berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah, oleh karena itu air sumur dalam sudah cukup sehatuntuk dijadikan air minum yang langsung (tanpa melalui proses pengolahan).

  Pembuangan kotoran manusia merupakan ruang lingkup yang kedua. Yang dimaksud dengan kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Untuk mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik yaitu, pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan-persyaratan yaitu, tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air tanah, tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa dan binatang lainnya, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, murah dan dapat diterima olehpemakainya (Notoatmodjo, 2007).

  Ruang lingkup yang ketiga yaitupengelolaan sampah. Sampah terkait erat dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah akan hidup berbagai sebagai pemindah atau penyebar penyakit (vector). Sehingga sampah harus dikelola dengan baik agar tidak menggangu atau mengancam kesehatan masyarakat. Dalam pengelolaan sampah yaitu meliputi pengumpulan dan pengangkutan sampah yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau instansi yang menghasilkan sampah, maka masyarakat harus membangun dan mangadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah dan kemudian dari masing-masing tempatpengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA). Kemudian adanya pemusnahan dan pengolahan sampah terutama untuk sampah padat dilakukan melalui berbagai cara yaitu pemusnahan sampah dengan di tanam atau menimbun dalam tanah, memusnahkan sampahdengan membakar didalam tungku pembakaran, dan pengolahan sampah dengan dijadikan pupuk kompos (Notoatmodjo, 2007).

  Selanjutnya ruang lingkup sanitasi lingkungan yang penting juga yaitu pengelolaan air limbah. Air limbah atau air buangan merupakan air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan yang lainnya, dibuang dalam bentuk yang sudah kotor (tercemar) dan pada umumnya mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta mengganggu kesehatan makluk hidup (Notoatmodjo, 2007).

  2.4.2. Upaya Menciptakan Sanitasi Lingkungan yang Baik

  Pengaruh buruk dari lingkungan sebenarnya dapat dicegah dengan sanitasi lingkungan yang baik. Kebiasan hidup sehat dilakukan dalam berbagai cara seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan rumah dan halaman secara rutin, membersihkan kamar mandi dan bak mandi secara rutin. Gambaran tentang aktivitas-aktivitas untuk menciptakan sanitasi lingkungan yang baik adalah Mengembangkan kebiasaan atau perilaku hidup sehat, membersihkan ruangan dan halaman rumah secara rutin, membersihkan kamar mandi dan toilet, menguras, menutup dan menimbun (3M), tidak membiarkan adanya air yang tergenang, membersihkan saluran pembuangan air, dan menggunakan air yang bersih (Dinkes Kab. Tanggerang, 2008).

  2.4.3. Faktor-faktor Resiko yang Memengaruhi Diare pada Balita

  Hasil penelitiandari L. Kamilla (2012) menunjukkan bahwa kejadian diare yang diderita oleh 50 balita ( 56,2 % ) dimana sebagian besar responden memiliki praktik-praktik higienis pribadi yang buruk yaitu menunjukkan hubunganantara mencuci tangan dengan sabun sebelum makan (p=0,002,RP= 1,853), mencuci tangan dengan sabun setelah BAB (p=0,020, RP=1.690), dan praktik-praktik yang baik dalam pengelolaan makanan (p=0,0001, RP=3,467) sedangkan kondisi lingkungan yang berkaitan dengan diare terdiri dari ketersediaan jamban sehat (p=0,0001, RP=2,72), kondisi SPAL (p=0,025, RP=4,84) , dan kualitas air (p=0,014, RP=1,76). Namun, kondisi sampah (p= 0,135) dansumber air bersih (p= 0,627) tidak berhubungan dengan diare. penelitian diatas adalah penanganan makanan yang baik serta ketersediaan jamban sehat. Faktor risiko dari sarana dan prasaranasanitasi dasar yang dimaksud dapat mempengaruhi terjadinya penyakit diare antara lain (Sarudji, 2006) :

1. Penyediaan Air a.

  Sumber Air Bersih Penyediaan air untuk rumah tangga bisa tergolong penyediaan air bersih dan bisa juga penyediaan air minum. Rumah tangga yang mencukupi kebutuhan airnya dari sumur atau sumber-sumber lainnya termasuk penyediaan air bersih. Tetapi untuk perumahan/pemukiman yang kebutuhan airnya dicukupi dari Perusahaan Air Minum yang diusahakan oleh baik pemerintah maupun badan hukum yang lain, maka termasuk penyediaan air minum, karena kualitas air yang didistribusikan telah memenuhi syarat sebagai air minum. Persyaratan untuk penyediaan air bersih yang mengusahakan dari sumur sendiri perlu memperhatikan kualitas air sumurnya dengan selalu memperhatikan kontruksi sumur, sumber pencemar dan cara pengolahan sebelum dikonsumsi. Sedangkan untuk yang bersumber dari PDAM, perlu diperhatikan back siphonage dan cross conection.

  Air bersih harus memenuhi beberapa persyaratan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif : Persyaratan kuantitatif: Di Indonesia konsumsi air untuk daerah perkotaan sekitar 120 liter/orang/hari dan untuk daerah pedesaan sekitar 60 liter/orang/hari.

2. Persyaratan kualitatif.

  Dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan lingkungan, air dikaitkan sebagai faktor pemindah/penularan penyakit atau sebagai vehicle. Dalam hal ini E.G.

  Wagner menggambarkan bahwa air berperan dalam menularkan penyakit- penyakit saluran pencernaan. Air membawa penyebab penyakit dari kotoran

  (faeces) penderita, kemudian sampai ke tubuh orang lain melalui makanan dan

  minuman. Air juga berperan untuk membawa penyebab penyakit non mikrobial seperti bahan-bahan toksik yang terkandung di dalamnya.

  Penyakit-penyakit yang biasanya ditularkan melalui air adalah Thypus

  abdominalis, Cholera, Dysentri basiler, Diare akut, Poliomyelitis, Dysentri amoeba, penyakit- penyakit cacing seperti Ascariasis, Trichiuris, parasit

  yangmenggunakan air untuk daur hidupnya seperti Schistosoma mansoni.

  b.

  Sumber Air Minum Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat – syarat kesehatan dan dapat diminum. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari– hari dan akanmenjadi air minum setelah dimasak lebih dahulu. (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990). Peraturan yang mengatur tentang persyaratan kualitas air minum yang terbaru telah ditetapkan dalam PERMENKES RI Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010.

  Jarak Sumur dengan Jamban Sampai kedalaman 10 feet dari permukaan tanah, dinding sumur di buat kedap air, yang berperan sebagai penahan agar air permukaan yang mungkin meresap ke dalam sumur telah melewati lapisan tanah sedalam 10 feet, sehingga mikroba yang mungkin ada didalamnya telah tersaring dengan baik.

Dokumen yang terkait

Perilaku Keluarga dalam Pencegahan dan Penanganan Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo

5 138 87

Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

15 135 159

Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur

23 152 134

Pengaruh Karakteristik, Sanitasi Dasar dan Upaya Pencegahan terhadap Kejadian Diare pada Balita (1-&lt;5 Tahun) di Kelurahan Sei Sekambing C-II Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2014

17 115 231

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Definisi Diare - Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

0 4 48

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diare 2.1.1. Definisi Diare - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (1-<5) Tahun di Kota Padang sidempuan Tahun 2015

0 1 37

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diare - Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur

0 0 45

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diare 1. Pengertian Diare - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Pencegahan Diare Terhadap Pengetahuan dan Sikap Ibu Bayi di Posyandu Anggrek IX Wilayah Kerja Pustu Balam Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013

0 0 21