BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diare - Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Diare

  Penyakit diare berasal dari kata diarrois (bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus, yaitu suatu keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu sering/lebih dari biasanya. Penyakit diare merupakan gejala penyakit yang sering terjadi karena adanya penyimpangan/gangguan pada sistem pencernaan. Gejala yang sering tampak yaitu buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari dengan konsistensi tinja lebih encer, bahkan dapat berupa cairan saja dengan atau tanpa disertai lendir dan darah (Hery, 2005).

  Diare adalah buang air besar (BAB) dengan frekuensi lebih sering yaitu lebih dari tiga kali dalam sehari dengan bentuk tinja lebih cair dari biasanya (WHO, 2005).

  Menurut Depkes RI (2011), diare merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair disertai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari. Menurut Sunoto dalam Juffrie (2010), diare adalah buang air besar pada bayi atau anak dengan frekuensi lebih dari empat kali perhari yang disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi cair baik dengan maupun tanpa disertai lendir dan darah. Untuk bayi baru lahir yang minum ASI dikatakan diare bila frekuensi BAB nya lebih dari empat kali sehari. Hal ini terjadi karena adanya intoleransi laktosa akibat belum sempurnanya sistem saluran cerna bayi. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang 14 hari.

2.1.1 Jenis-Jenis Diare

  Menurut Bhan, Mahalanabis, Pierce, Rollins, Sack, dan Santosham (2005), diare terdiri dari beberapa jenis yang dibagi secara klinis, yaitu : Diare cair akut (termasuk kolera), berlangsung selama beberapa jam atau hari, mempunyai bahaya utama yaitu dehidrasi dan penurunan berat badan juga dapat terjadi jika pemberian makan tidak dilanjutkan.

  2. Diare akut berdarah, disebut disentri, mempunyai bahaya utama yaitu kerusakan mukosa usus, sepsis dan gizi buruk, mempunyai komplikasi seperti dehidrasi.

  3. Diare persisten, diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih, bahaya utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non-usus serius dan dehidrasi.

  4. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor) mempunyai bahaya utama infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal jantung, dan kekurangan vitamin dan mineral.

  Menurut Firmansyah (1992) setiap episode diare dapat menyebabkan terjadinya kekurangan gizi. Hal ini disebabkan karena pada saat diare biasanya terjadi anoreksia dan berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan sehingga apabila berlangsung secara berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan dan kesehatan anak. Padahal pada saat sakit terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) maupun dari parasit yang terdapat dalam tubuh (Supariasa 2002).

  Diare menyebabkan terjadinya kerusakan morphologi usus yang mengakibatkan zat gizi terutama protein hilang secara langsung. Penderita penyakit diare kronis akan mengalami kekurangan enzim pencernaan dan kerusakan mukosa usus halus yang mengakibatkan terjadinya intoleransi terhadap karbohidrat dan enteropati karena sensitive terhadap protein makanan. Disamping itu villus usus cairan dan makanan yang tidak diserap akan meningkatkan tekanan usus sehingga terjadi hiperperistaltik usus yang menyebabkan kotoran keluar melalui anus (Juffrie, 2010). Penderita akan mengalami kegagalan pertumbuhan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan dan sosial yang kompleks dan dapat mengakibatkan kematian.

2.1.2 Etiologi Diare

  Faktor Penyebab penyakit diare secara umum bermacam-macam diantaranya adanya infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi, intoksikasi dan lain- lain. Menurut Pickering dan Snyder (2004) berdasarkan etiologinya diare dapat dibagi beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor infeksi, bisa berupa infeksi enteral/infeksi pada Gastro Intestinal Tractus

  (GIT) dengan penyebab: bakteri, virus dan parasit dan infeksi ekstra intestinal (infeksi diluar GIT). Di negara berkembang kuman penting penyebab diare akut pada anak yaitu Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni, dan Cryptosporodium.

  2. Faktor non infeksi, beberapa faktor non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak faktor tersebut adalah a.

  Faktor makanan Makanan merupakan penyebab non infeksi yang paling sering, antara lain berupa makanan busuk atau mengandung racun, perubahan susunan makanan yang berupa osmolaritas tinggi atau terlalu banyak serat.

  b.

  Faktor kesulitan makan akibat adanya defek anatomis Adanya ketidak sempurnaan pada saluran cerna seperti malrotasi, penyakit Hircsprung, Short Bowel Syndrom, atrofi mikrovilli, dan stricture dapat menyebabkan terjadinya diare.

  c.

  Faktor konstitusi Faktor konstitusi yaitu kondisi saluran cerna yang dijumpai pada keadaan intoleransi laktosa, malabsorbsi lemak, dan intoleransi protein.

  d.

  Faktor adanya tumor dan kelainan sistem endokrin Adanya tumor seperti Neuroblastoma dan gangguan sistem endokrin seperti Thyrotoksikosis dapat menimbulkan diare pada anak.

2.1.3 Gejala dan Tanda Diare

  Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin disertai dengan lendir ataupun darah. Warna tinja lama-kelamaan bisa berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa dan

  Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit, terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit yaitu setiap kehilangan berat badan yang melampaui satu persen dalam sehari yang merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit melampaui 15 persen (Soegijanto, 2002).

2.1.4 Cara Penularan dan Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Diare

  Cara penularan diare yang paling umum adalah melalui fekal-oral yaitu melalui makanan ataupun minuman yang tercemar oleh enteropatogen, melalui kontak langsung dengan tangan maupun barang-barang yang tercemar dengan tinja penderita, ataupun secara tidak langsung melalui perantaraan lalat (Suparto, 2003).

  Menurut Sunoto, Sutoto, Soeparto, Soenarto, dan Ismail, (1990), faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya diare adalah tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi, penyediaan air bersih yang tidak memadai, air yang tercemar oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan mandi cuci kakus (MCK), kebersihan lingkungan (sanitasi) dan pribadi (higiene) yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak bersih, dan cara penyapihan yang tidak baik. Disamping itu keadaan penderita seperti gizi buruk, imunodefisiensi (kurangnya kekebalan tubuh terhadap penyakit), berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, dan menderita campak dalam empat minggu terakhir dapat meningkatkan kecendrungan untuk dijangkiti diare. faktor lingkungan (eksternal) dan faktor pejamu (internal). Dari faktor lingkungan utamanya bisa berupa sarana air bersih yang tidak memadai/tercemar, sarana sanitasi yang kurang baik, kebersihan perorangan/personal higienis dan pemukiman/tempat tinggal yang kurang baik, tingkat pendidikan orang tua, penyiapan dan penyimpanan makanan yang kurang baik serta cara penyapihan yang kurang baik, sedangkan faktor pejamu adalah faktor yang ada pada diri manusia (anak) yaitu terdiri dari malnutrisi/gizi salah khusunya kurang gizi, kurangnya kekebalan tubuh terhadap penyakit akibat tidak melakukan imunisasi tambahan semasa bayi, usia balita, penurunan asam lambung, penurunan kerja usus dan faktor genetik atau faktor keturunan.

  Berdasarkan hasil penelitian Emiliana (1994) menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare adalah sosial ekonomi lingkungan, tingkat pendidikan orang tua, status ekonomi yang rendah, dan sumber air minum yang tercemar sedangkan faktor anak yang paling berpengaruh adalah usia balita dan status gizi kurang.

  Hasil penelitian Wijaya (2012), faktor risiko terjadinya diare pada balita adalah tingkat pengetahuan ibu, riwayat pemberian ASI, kebiasaan ibu mencuci tangan, jenis jamban, dan kepadatan lalat. Berdasarkan hasil penelitian Sinthamurniwaty (2006) faktor-faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita umur 0 – 24 bulan adalah status gizi yang rendah, tingkat

2.1.5 Komplikasi Diare

  Kebanyakan penderita diare sembuh tanpa mengalami komplikasi, tetapi sebagian kecil mengalami komplikasi, berikut komplikasi pada diare (Yongki, 2012)

  1. Dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit 2.

  Renjatan hipovolemik akibat menurunnya volume darah 3. Hipokalemia dengan gejala yang muncul adalah meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan pada pemeriksaan Electrocardiography (EKG)

  4. Hipoglikemia 5.

  Intoleransi laktosa sekunder sebagai akibat defisiensi enzim lactose 6. Kejang 7. Gangguan gizi berupa malnutrisi energi protein karena selain diare penderita juga sering mengalami muntah dan kelaparan (masukan kurang dan keluaran berlebihan)

2.1.6 Penatalaksanaan

  Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare pada anak balita baik yang dirawat di rumah sakit maupun dirawat di rumah, yaitu: 1.

  Pemberian cairan atau rehidrasi atau dehidrasi. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pemberian cairan, pada balita biasanya diberikan cairan oralit, air matang, kuah sayur atau air tajin (Kemenkes RI, 2011) 2. Pemberian Zinc

  Zinc diberikan untuk mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan balita. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan proses regenerasi sel, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan pathogen dari usus. Zinc mempunyai efek protektif terhadap diare dan menurunkan kekambuhan diare 15 persen (Depkes RI, 2011).

3. Pengobatan dietetik dan pemberian ASI

  Pengobatan dietetik adalah pemberian makanan dan minuman khusus untuk menyembuhkan dan menjaga kesehatan. Prinsip pengobatan dietetik yaitu O-B- E-S-E singkatan dari Oralit, Breast Feeding, Early Feeding, Stimulaneously with

  Education (Suraatmaja, 2007)

  4. Pengobatan kausal, pengobatan ini dilakukan setelah diketahui penyebab pasti diare dengan menggunakan antibiotik selektif. Antibiotik dapat diberikan pada diare berdarah (disentri) dan kolera.

5. Memberikan nasihat pada ibu/keluarga tentang cara pemberian oralit, zinc,

  ASI/makanan, dan tanda-tanda untuk segera membawa ke petugas kesehatan jika yang nyata pada anak, anak makan/minum sedikit, demam, BAB berdarah, serta diare tidak membaik dalam waktu tiga hari (Depkes RI, 2011).

2.1.7 Makanan untuk Anak Penderita Penyakit Diare

  Penderita penyakit diare tentu banyak terjadi kehilangan cairan dan zat-zat gizi yang penting bagi tubuh selama episode berlangsungnya penyakit diare. Hal yang pertama diberikan adalah memberikan penggantian cairan yang hilang. Pemberian obat diberikan berdasarkan petunjuk dokter. Pemberian cairan dapat berupa larutan oralit, larutan gula garam, air tajin, air teh dan bagi bayi tetap diberikan air susu ibu (ASI).

  Dalam penatalaksanaan diare, makanan merupakan hal yang penting setelah terapi rehidrasi. Menurut Suharyono (1991), makanan bagi penderita penyakit diare harus dipersiapkan seperti menyiapkan makanan untuk bayi, dengan kata lain makanan untuk penderita diare seyogyanya berupa makanan bayi. Pengelolaan gizi selama menderita penyakit diare perlu diperhatikan kebutuhan normal penderita dan peningkatan kebutuhan gizi anak selama sakit untuk mengejar ketinggalan pertumbuhan, karena pertumbuhan yang lebih cepat akan terjadi sebagai bagian dari penyembuhan (Susirah, 1997). Dalam pemberian makanan dan minuman untuk penderita penyakit diare harus diperhatikan higiene sanitasi makanan. Menurut Sudigbia (1992), pengelolaan terapi nutrisi (gizi) pada penderita penyakit diare perlu diperhatikan:

1. Faktor masukan makanan sebagai akseptabilitas makanan serta pengadaan 2.

  Faktor intoleransi laktosa dan malabsorbsi 3. Masalah kehilangan gizi terutama protein dan cairan 4. Katabolisme.

  Memperhatikan faktor-faktor diatas, maka proses pembuatan makanan untuk penderita penyakit diare selain perlu dipikirkan zat gizinya (protein dan kalori) juga perlu diperhatikan pula makanan yang mudah diserap oleh villi usus. Bahan makanan yang digunakan harus mudah dicerna karena penderita juga mengalami kekurangan enzim pencernaan (Mien, 1987). Adapun aspek-aspek pemberian makanan yang membutuhkan perhatian diantaranya mulai dari pemilihan bahan makanan, penyiapan makanan, jumlah yang diberikan setiap makan, dan frekuensinya (Sunoto,1990 & Astawan, 2004).

  Pengaturan diet yang tepat dapat mempercepat proses rehabilitasi dan membatasi kerusakan saluran pencernaan. Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa makanan dapat merupakan faktor risiko dan penyebab terjadinya penyakit diare dan dapat pula berperan dalam proses penyembuhan yang dikenal sebagai terapi nutrisi (Pritasari, et.al., 1990).

  Menurut Sudigbia (1994), tujuan utama dari terapi nutrisi adalah pemberian nutrien dengan jumlah dan komposisi yang tepat, sehingga dapat mencukupi metabolisme rumatan yaitu gabungan dari jumlah mekanisme fisiologis dan biokemik yang mampu untuk merawat kondisi tubuh dalam keadaan sehat/segar serta mampu untuk menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan optimal balita. ditentukan oleh keterbatasan fungsi digesti usus kecil yang disebabkan oleh kerusakan mukosa usus akibat diare. Berdasarkan aspek-aspek di atas maka pemberian terapi nutrisi dapat ditentukan dengan (1) Mengukur kebutuhan nutrisi anak, (2) Mengukur jumlah kehilangan energi dan nutrien selama diare dengan mengukur jumlah volume tinja.

2.2 Status Gizi

  Menurut Supariasa (2002), yang dimaksud dengan status gizi adalah suatu perwujudan dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Menurut Almatsier (2009), status gizi merupakan gambaran keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Menurut Depkes (2002), status gizi merupakan tanda- tanda penampilan seseorang sebagai hasil akhir dari adanya keseimbangan antara makanan yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan jumlah yang dibutuhkan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan.

2.2.1 Penilaian Status Gizi

  Menurut Gibson (1998), penilaian status gizi adalah upaya untuk menginterpretasikan semua informasi yang dipeloreh melalui penilaian dalam (1989) penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung.

  1. Penilaian status gizi secara langsung Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan melalui empat cara penilaian yaitu pemeriksaan antropometri, klinis, biokimia, dan pemeriksaan biofisik.

  2. Penilaian status gizi secara tidak langsung Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan melalui tiga penilaian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

  Antropometri sebagai indikator dalam penilaian status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Menurut Supariasa (2002), parameter antropometri yang bermanfaat dan sering dipakai adalah umur, berat badan, tinggi badan,lingkar lengan atas (LLA), lingkaran kepala, dan lipatan kulit. Antropometri berguna dalam mengukur status gizi akibat terjadinya ketidakseimbangan asupan protein dan energi.

  Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti apabila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti satu tahun; dua Ketentuannya adalah bahwa satu tahun adalah 12 bulan, satu bulan adalah 30 hari (Depkes, 2004).

  Anggraeni (2012) mengatakan, berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa tubuh, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini harus selalu dipantau agar dapat memberikan informasi yang memungkinkan intervensi gizi sedini mungkin guna mengatasi kecendrungan perubahan berat badan yang tidak dikehendaki.

  Menurut Soetjiningsih (1995), perlu diperhatikan bahwa terdapat fluktuasi yang wajar dalam sehari sebagai akibat dari adanya masukan (intake) makanan dan minuman, dengan keluaran (output) melalui urin, feses, keringat, dan nafas. Besarnya fluktuasi tergantung pada kelompok umur dan bersifat sangat individual, yang berkisar antara 100-200 gram, sampai 500-1000 gram bahkan lebih. Cara paling baik dalam mengukur berat badan anak adalah dengan menggunakan timbangan gantung (Dacin), pada saat ditimbang anak sebaiknya tidak memakai baju atau memakai pakaian yang seminimal mungkin. Indikator BB/U banyak digunakan karena hanya membutuhkan satu pengukuran, namun ketepatan pengukuran sangat tergantung pada ketepatan umur.

  Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang terpenting kedua. Tinggi badan dapat menggambarkan pertumbuhan tulang yang sejalan dengan pertambahan umur, keadaan yang telah lalu, dan keadaan sekarang. Berbeda dengan tidak diketahui dengan tepat, dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan. Rahmah (2010) menyatakan bahwa tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U (Tinggi Badan menurut Umur). Indikator TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lalu juga erat kaitannya dengan status sosial ekonomi yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat (Diana, 2004).

  Berat badan dan tinggi badan merupakan parameter penting dalam menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi (Rahmah, 2010). Indikator BB/TB merupakan indeks yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi dampak gizi berbagai program dan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka panjang serta merupakan indikator kekurusan. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Khumaidi, 1994). Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disebut juga indeks antropometri. Untuk meneliti dan memantau pertumbuhan balita dapat digunakan dengan menentukan status gizi balita berdasarkan rujukan WHO-2005.

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan WHO-2005

  Indeks Status Gizi Ambang Batas Berat Badan Gizi Normal ≥ -2 SD sampai +1 SD menurut Umur (BB/U) Gizi Kurang < -2 SD sampai

  ≥ -3 SD Gizi Sangat < -3 SD Kurang Tinggi Badan Normal ≥ -2 SD menurut Umur (TB/U) Pendek < -2 SD Sangat Pendek < -3 SD Berat Badan Sangat Gemuk > + 3 SD menurut Tinggi Gemuk > +2 SD sampai ≤ + 3 SD Badan (BB/TB) Resiko Gemuk > +1 SD Normal ≥ -2 SD sampai +1 SD

  Kurus < -2 SD sampai ≥ -3 SD Sangat kurus < -3 SD Sumber : WHO MGRS, 2005

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

  Gizi kurang, kematian, kecacatan fisik maupun rendahnya kecerdasan pada anak dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung (Hadi, 2012). Dua faktor langsung pada model tersebut adalah kurangnya konsumsi makanan dan kondisi kesehatan seperti adanya diare akibat terjadinya infeksi, sedangkan faktor tidak langsung adalah ketahanan pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak dan akses kepada sarana kesehatan serta kondisi lingkungan dimana anak tinggal.

  Berdasarkan hasil penelitian Sunarti (2012), Pendapatan perkapita dan pola asuh anak memengaruhi status gizi anak BB/U sedangkan status gizi anak BB/TB dipengaruhi oleh konsumsi energi, ketahanan keluarga, dan perkembangan anak. Konsumsi makanan, dalam hal ini menyangkut kualitas hidangan makanan tergantung kepada keadaan keseimbangan gizi yaitu terpenuhinya kebutuhan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan seseorang. Bila susunan hidangan kebutuhan tubuh baik dari segi kuantitasnya, maka tubuh akan memperoleh kesehatan gizi yang baik.

  Sebaliknya apabila konsumsi hidangan yang kurang baik dalam kualitas dan kuantitas memengaruhi status gizi orang tersebut. Kebutuhan gizi balita adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan balita. Kebutuhan gizi pada balita ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) (Marimbi, 2010).

  Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X tahun 2012, angka kecukupan gizi (AKG) kebutuhan energi usia 0-6 bulan dengan BB 6 kilogram dan TB 61 centimeter sebesar 550 kkal/ hari, usia 7-11 bulan dengan BB 9 kilogram dan TB 71 centimeter sebesar 725 kkal/ hari, usia 1-3 tahun dengan BB 13 kilogram dan TB 91 centimeter adalah berkisar 1125 kkal/ hari, dan untuk usia 4-6 tahun dengan BB 19 kilogram dan TB 112 centimeter sebesar 1600 kkal/hari. Kebutuhan protein untuk anak usia 0-6 bulan adalah 12 gram/hari, usia 7-11 bulan 18 gram/hari, usia 1-3 tahun 26 gram/hari, dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 35 gram/hari.

  Faktor lain yang secara langsung memengaruhi status gizi adalah adanya infeksi. Penyakit infeksi yang paling sering dialami oleh balita adalah diare. Penyakit infeksi menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan BAB yang encer. Disamping itu pada saat infeksi seperti diare terjadi penurunan nafsu makan (Arisman, 2004).

  Sebagaimana diketahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (Virus, bakteri, dan parasit) dengan terjadinya malnutrisi. Hal ini sesuai dengan pendapat Supariasa (2002), bahwa adanya interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan memengaruhi status gizi serta mempercepat timbulnya malnutrisi. Berdasarkan Depkes RI (1999), Kekurangan Energi Protein (KEP) seberapa ringan pun berpengaruh terhadap daya tahan tubuh anak terhadap terjadinya infeksi, dan sebaliknya infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi anak.

2.2.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Diare

  Status gizi dengan diare memiliki hubungan timbal balik, sering menyulitkan untuk memastikan mana kejadian yang terjadi terlebih dahulu. Anak yang menderita diare akan mengalami dehidrasi, hilangnya nafsu makan, dan kehilangan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare yang akan memperburuk keadaan gizi anak. Anak yang keadaan gizinya tidak baik cenderung lebih sering menderita diare dan menyebabkan kematian. Disamping itu, pada saat infeksi proses penghancuran jaringan tubuh akan meningkat karena digunakan untuk pembentukan protein atau enzim yang diperlukan dalam proses pertahanan tubuh. Pada anak gizi kurang, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap organisme patogen berkurang. Resiko menderita diare pada balita yang mempunyai status gizi kurang adalah 2,54 kali lebih besar dibanding pada anak yang memiliki status gizi cukup (Sinthamurniwaty, 2006). Hasil penelitian Haryuni (2005), dengan desain case

  

control di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan

  Kabupaten Deli Serdang menunjukkan hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan kejadian diare.

2.3 Pola Makan

  Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu untuk mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Depkes RI, 2009; Adriani, 2012). Apabila pola makan baik maka diasumsikan konsumsi makan akan baik pula sehingga akan menimbulkan status gizi yang baik. Menurut Santosa (2004), Pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh sesorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pendapat lain tentang pola makan dapat diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh–pengaruh faktor fisiologi, psikologi, budaya, dan sosial (Sulistyoningsih, 2010). Menurut Berg (1985), pola makan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari memengaruhi status gizi.

  Dari hasil penelitian Nurkhotimah, Rohanta, dan Mardiana (2010), diperoleh bahwa balita yang memiliki pola makan yang baik tidak mengalami gizi kurang. Pola makan yang baik sangat diperlukan bagi anak balita, mengingat anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit serta merupakan kelompok umur yang paling banyak mengalami gangguan akibat gizi. Hal ini dikarenakan balita berada dalam masa transisi perubahan pola makan yaitu dari makanan bayi ke makanan orang dewasa. Disamping itu, pada balita juga sering terjadi penurunan nafsu makan yang disebabkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan disukai. Anak cenderung menyukai makanan jajanan yang rendah energi dan tidak bergizi, oleh karena itu perhatian terhadap makanan dan kesehatan pada balita sangat perlu (Hardinsyah dan Martianto, 1992; Hurlock, 1982).

  Menurut Mansjoer (2000), pemberian makanan pada anak balita harus memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur.

  2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, kebiasaan makan, dan selera anak terhadap makanan

  3. Bentuk dan porsi disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan faal anak.

  4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.

  Pola makan yang baik semestinya mengikuti pola gizi seimbang, yaitu pemenuhan zat gizi disesuaikan dengan kebutuhan tubuh balita dan diperoleh dari makanan sehari-hari dan merupakan makanan triguna yaitu makanan atau diet sehari- hari yang mengandung karbohidrat dan lemak sebagai sumber tenaga, protein sebagai zat pembangun, serta vitamin dan mineral sebagai zat pengatur.

  Menurut Kemenkes RI (2011), pola makan yang baik bagi bayi dan balita adalah sebagai berikut : A.

  Usia 0-6 bulan Usia 0-6 bulan pertama kehidupan bayi merupakan usia dimana bayi hanya diberikan ASI saja. Yang harus diperhatikan oleh ibu adalah :

  (kolostrum).

  2. Berikan hanya ASI (ASI eksklusif).

  3. Tidak memberikan makanan maupun minuman lain selain ASI 4. Menyusui bayi sesering mungkin.

  5. Memberikan ASI sekehendak keinginan bayi, minimal delapan kali sehari.

  6. Apabila bayi tidur lebih dari tiga jam, membangunkannya untuk kemudian menyusukannya.

  7. Menyusui dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian.

  8. Menyusui sampai payudara terasa kosong, baru kemudian pindah ke payudara sisi yang lainnya.

  B. Usia 6-8 bulan Pada usia 6-8 bulan, bayi sudah dapat diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI. Yang harus diperhatikan ibu adalah :

  1. Tetap meneruskan pemberian ASI sesering mungkin.

  2. Mulai memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) seperti bubur susu dan makanan lumat (bubur lumat, sayuran, daging, dan buah yang dilumatkan, biskuit, dan lain-lain) sebanyak 2-3 kali sehari.

  3. Memberikan MP-ASI secara bertahap sesuai umur anak, pada tahap awal 2-3 sendok makan kemudian secara bertahap ditambah hingga mencapai setengah

  4. Memberikan ASI terlebih dahulu kemudian MP-ASI.

  5. Memberikan makanan selingan seperti jus buah dan biskuit 1-2 kali dalam sehari

  6. Memberikan tambahan 1-2 gelas susu perhari pada bayi yang tidak mendapat ASI karena alasan medis.

  C. Usia 9-11 bulan Hal-hal yang harus diperhatikan ibu dalam memberi makan anak usia 9-11 bulan adalah:

  1. Tetap meneruskan pemberian ASI.

  2. Memberikan MP-ASI dalam bentuk makanan lembik seperti nasi tim atau makanan yang dicincang kecil sehingga mudah ditelan anak dengan frekuensi pemberian 3-4 kali sehari.

  3. Memberikan makanan dengan porsi setengah gelas/mangkuk atau sebanyak 125 cc perkali makan.

  4. Memberikan makanan selingan yang dapat dipegang anak diantara waktu makan lengkap sebanyak 1-2 kali sehari.

  5. Memberikan tambahan 1-2 gelas susu perhari pada bayi yang tidak mendapat ASI karena alasan medis.

  D. Usia 1-2 tahun (12-24 bulan)

  1. Mulai memperkenalkan anak dengan makanan keluarga yang terdiri dari ¾ gelas nasi (200 cc), 1 potong kecil ikan/daging/ayam/telur, 1 potong kecil tempe/tahu 3-4 kali sehari.

  2. Memberikan makanan selingan seperti bubur dan kue dua kali sehari.

  3. Meneruskan pemberian ASI apabila memungkinkan.

  E. Usia 2-5 tahun (24-60 bulan) 1. Memberikan anak makanan orang dewasa dengan frekuensi tiga kali sehari.

  2. Memberikan anak ½ porsi makanan orang orang dewasa yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur, dan buah.

  3. Memberikan makanan selingan seperti bubur kacang hijau, biskuit, dan kue dua kali sehari di antara waktu makan.

  4. Tidak memberikan makanan manis dekat dengan waktu makan, karena dapat mengurangi nafsu makan anak.

  Dengan pola makan bergizi seimbang dan teratur, tujuan pemberian makan pada balita sesuai dengan yang diharapkan yaitu optimalnya pertumbuhan dan perkembangan balita. Menurut Suharjo (1992), tujuan pemberian makanan pada balita adalah (1) Untuk mendapatkan zat gizi yang diperlukan dan digunakan oleh tubuh, (2) Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh, dimana zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari, (3) Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada balita.

  Berdasarkan hal tersebut diperlukan adanya prilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuh dalam keluarga untuk senantiasa memberikan makanan bergizi yang seimbang kepada balita.

  Menurut Adriani (2012), Pola makan yang terbentuk erat kaitannya dengan kebiasaan makan seseorang, dimana pola makan tersebut dibentuk sejak masa kanak- kanak yang akan terbawa hingga dewasa. Banyak faktor yang memengaruhi terbentuknya pola makan antara lain sebagai berikut:

1. Ekonomi

  Variabel ekonomi yang paling dominan dalam memengaruhi kosumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya jumlah pendapatan akan meningkatkan peluang dan kemampuan dalam membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas maupun kuantitas.

  2. Budaya Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk memengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah jenis makanan yang akan dikosumsi. Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku dan memenuhi kebutuhan dasar biologisnya, termasuk kebutuhan terhadap pangan. Sebagai contoh nasi untuk orang Asia, orientalis pasta untuk orang Italy.

  3. Agama dan Kepercayaan Pantangan yang didasari agama, khususnya Islam disebut haram dan individu yang melanggar hukumnya berdosa. Konsep halal dan haram sangat memengaruhi pemilihan bahan makanan yang akan dikosumsi. Agama Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran agama (Protestan) melarang

  4. Personal Preference Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan seseorang. Misalnya, ayah tidak suka makan ikan, begitu pula dengan anak laki-lakinya. Ibu tidak suka makan kerang, begitu pula dengan anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak yang suka mengunjungi neneknya akan menyukai ayam karena sering dihidangkan ayam. Lain lagi dengan anak yang suka dimarahi bibinya, akan tumbuh perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya.

  5. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang Rasa lapar merupakan sensasi yang kurang menyenangkan, karena berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan sensasi yang menyenangkan, karena berhubungan dengan keinginan seseorang untuk makan. Adapun rasa kenyang merupakan perasaan puas karena keinginan untuk makan telah terpenuhi. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu makan, dan rasa kenyang diatur oleh sistem saraf pusat yaitu hipotalamus.

6. Kesehatan

  Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau sakit gigi sering membuat orang memilih makanan yang lembut dan tidak jarang pula orang memilih untuk tidak makan karena mengalami kesulitan menelan.

  Pedoman pola makan yang sehat untuk masyarakat secara umum yang

2.3.2 Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Diare

  Tindakan ibu dalam pemberian makan balita dipengaruhi oleh faktor kebiasaan makanan yang disukai balita terhadap jenis makanan tertentu, sehingga dalam memilih jenis makanan yang akan dikonsumsi oleh anak, ibu hanya memilih bahan makanan yang disukai oleh anak tanpa memperhatikan aspek terpenting kebutuhan anak. Padahal, kesehatan anak berhubungan dengan pola makan yang diberikan ibu, jika ibu tidak memperhatikan pola makan anak, maka anak tersebut akan mengalami masalah kesehatan yaitu berupa masalah gizi yang tidak baik, sehingga beresiko lebih besar untuk menderita penyakit infeksi seperti diare (Suharjo, 1992; Kardjati, 1985). Dari hasil penelitian Umijati (1992), diperoleh bahwa ada hubungan antara pola konsumsi makanan bayi yang meliputi pola pemberian makanan tambahan dan pola menyusui terhadap gangguan pencernaan dan ketidak cukupan konsumsi.

  Pemberian ASI eksklusif sampai bayi mencapai usia 6 bulan memberikan kekebalan pada bayi terhadap penyakit, karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh. Martorell dan Habicht (1986), kolostrum dalam ASI mengandung immunoglobulin yang bersifat sebagai antibodi melawan mikroorganisme, mengandung leukosit dalam jumlah yang sangat besar meliputi macrophaage yang dapat menghasilkan interferon, complement, dan Lysozyme selain itu ASI juga mengandung lactoferrin (Iron binding proteins) yang mengikat besi sehingga menghambat perkembangan bakteri serta mendorong kolonisasi usus oleh rendah yang menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Berdasarkan penelitian Rasmi (2002), pemberian ASI dapat melindungi bayi dari infeksi usus, sehingga dapat mengurangi risiko terkena diare. Menurut Suraji (2003), untuk memperoleh gizi yang baik pada bayi yang baru lahir maka ibu harus menyusui bayinya sesegera mungkin karena ASI memberikan peranan penting dalam menjaga kesehatan dan mempertahankan kelangsungan hidup bayi. Oleh karena itu pemberian ASI eksklusif pada bayi sangat dianjurkan. Hasil penelitian Kamalia (2005) tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 1-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni I yang menggunakan desain cross sectional, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare.

  Pemberian makanan tambahan pada balita juga memiliki dampak terhadap terjadinya diare. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa makanan sapihan/tambahan merupakan perantara utama phatogen fecal pada bayi. Hal ini disebabkan karena kemungkinan makanan atau minuman mengalami kontaminasi, peralatan masak yang tidak bersih, serta rendahnya higiene individu dalam penanganan makanan (Martorell & Habichth, 1986). Adapun syarat-syarat pemberian MP-ASI yang baik adalah (1) Cukup zat gizi, (2) Mudah dicerna, (3) Tidak bulky (volume makanan menjadi besar), (4) Tidak menimbulkan alergi, (5) Memperhatikan perilaku makanan bayi (kemampuan bayi untuk menerimanya).

2.4 Higiene dan Sanitasi Makanan

  Higiene dan sanitasi makanan adalah upaya mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin menimbulkan gangguan kesehatan atau keracunan makanan (Depkes RI, 2006). Ada lima prinsip higiene dan sanitasi makanan yang perlu diperhatikan yaitu pemilihan bahan, penyimpanan bahan, pengolahan, penyimpanan makanan, pengangkutan dan penyajian makanan.

1. Pemilihan Bahan makanan a.

  Bahan makanan mentah (segar) yaitu makanan yang perlu pengolahan sebelum dihidangkan, contoh: beras, daging, telur, sayuran, dan sebagainya.

  b.

  Makanan terolah (pabrikan) yaitu makanan yang sudah dapat langsung dimakan tetapi digunakan untuk proses pengolahan lebih lanjut seperti makanan kemasan antara lain bubur instan, kecap, ikan kaleng, kornet, tahu, tempe dan sebagainya.

  c.

  Makanan siap santap yaitu makanan yang langsung dimakan tanpa pengolahan seperti bubur ayam, nasi, bakso, dan sebagainya.

2. Penyimpanan Bahan Makanan

  Makanan yang baik adalah makanan bergizi yang dibutuhkan oleh setiap mahluk hidup termasuk manusia. Zat gizi selain diperlukan oleh manusia juga dibutuhkan oleh bakteri. Oleh karena itu makanan yang tercemar oleh bakteri mudah menjadi rusak. Kerusakan bahan makanan dapat terjadi karena:

  Tercemar bakteri karena alam atau akibat perlakuan manusia.

  b.

  Adanya enzim dalam makanan yang diperlukan untuk proses pematangan seperti pada buah-buahan.

  c.

  Kerusakan mekanis, seperti gesekan, tekanan, benturan dan lain-lain 3. Pengolahan Makanan

  Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan yang siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti kaidah-kaidah dari prinsip-prinsip higiene sanitasi. Dalam istilah asing dikenal dengan sebutan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) antara lain: a.

  Persiapan Tempat Pengolahan Beberapa hal yang penting dalam persiapan di dapur yaitu ventilasi harus cukup baik agar asap dan udara panas dapat keluar dengan sempurna, lantai, dinding dan ruangan bersih dan terpelihara agar dapat menekan kemungkinan pencemaran terhadap makanan, meja peracikan bahan dan permukaannya kuat/tahan goresan agar bekas irisan tidak masuk ke dalam makanan, tungku dilengkapi dengan alat penangkap asap, atau cerobong asap agar tidak mengotori ruangan dan ruangan bebas lalat dan tikus (Arisman, 2009) b.

  Peralatan Masak dan Makan Keutuhan peralatan tidak boleh patah, sompel, penyok, tergores atau retak karena akan menjadi sarang kotoran/bakteri. Peralatan yang tidak utuh tidak mungkin dapat dicuci sempurna sehingga dapat menjadi sumber kontaminasi. Peralatan makan dan minum yang bersih harus disimpan dalam rak penyimpanan yang terlindung dari c.

  Peralatan untuk Mencuci Mampu membersihkan bahan makanan dan mencuci peralatan yang berasal dari air mengalir langsung dari keran air, tersedia tempat cuci tangan yang berbeda dengan tempat pencucian lainnya, dan tidak menggunakan tempat cuci tangan untuk mencuci bahan makanan.

  4. Penyimpanan Makanan Masak Setiap makanan masak masing-masing ditempatkan pada wadah yang terpisah. Pemisahan didasarkan pada saat makanan mulai diolah dan jenis makanan.

  Setiap wadah mempunyai tutup, tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air. Makanan berkuah dipisah antara lauk dengan saus atau kuahnya.

  5. Pengangkutan dan Penyajian Makanan Pengangkutan dan Penyajian makanan merupakan rangkaian akhir dari perjalanan makanan. Makanan yang disajikan adalah makanan yang siap santap.

  Makanan siap santap harus layak santap. Layak santap dapat dinyatakan bilamana telah dilakukan uji organoleptik dan uji biologis. Disamping uji laboratorium dapat dilakukan secara insidental bila ada kecurigaan.

  

2.4.1 Prinsip-Prinsip Dasar dalam Penyiapan Makanan yang Aman Bagi Bayi

dan Balita

  Menurut Gibney, Margetts, Kearney, dan Arab, (2009), prinsip-prinsip dasar dalam penyiapan makanan yang aman bagi bayi dan balita harus sesuai dengan praktik higiene yang baik yaitu: 1.

  Masak makanan sampai benar-benar matang Bahan makanan mentah, khususnya unggas, susu mentah dan sayuran, sangat sering terkontaminasi organisme penyebab penyakit. Pemasakan sampai benar- benar matang mampu membunuh mikroorganisme. Semua bahan makanan harus dimasak mencapai suhu minimum 70ºC.

  2. Menyajikan makanan segera setelah dimasak Upayakan selalu membuat makanan yang baru bagi bayi dan anak-anak, dan berikan begitu selesai dimasak saat makanan sudah cukup dingin. Jangan menyimpan makanan untuk bayi dan balita. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan, makanan hanya boleh disimpan sampai waktu makan berikutnya, tetapi makanan harus disimpan pada suhu dingin (suhu dibawah 10ºC) atau panas (suhu diatas 60ºC). Makanan yang disimpan harus dipanasi kembali dengan baik pada suhu minimal 70ºC.

  3. Menghindari kontak antara bahan pangan yang mentah dengan makanan yang sudah matang.

  Makanan dapat terkontaminasi silang baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontaminasi silang secara langsung dapat terjadi ketika bahan makanan mentah bersentuhan dengan makanan matang. Kontaminasi silang secara tidak langsung dan tidak jelas misanya: melalui tangan, lalat, peralatan masak atau permukaan barang yang kotor. Dengan demikian tangan harus segera dicuci sesudah menangani bahan makanan yang berisiko tinggi, misalnya daging unggas.

  Perabot yang digunakan untuk menyimpan makanan mentah harus terlebih dahulu Penambahan setiap unsur yang baru ke dalam makanan yang sudah matang dapat memasukkan kembali organisme pathogen, oleh karena itu makanan harus dimasak lagi dengan baik.

  4. Mencuci semua buah dan sayuran dengan air yang bersih Buah dan sayuran yang akan diberikan pada bayi harus dicuci terlebih dahulu sampai bersih dengan air yang aman dan sebaiknya buah dikupas terlebih dahulu sebelum diberikan.

  5. Menggunakan air yang aman Air yang aman sama pentingnya untuk pengolahan makanan bagi bayi dan anak kecil seperti halnya air minum. Air yang digunakan untuk mengolah makanan harus direbus kecuali jika makanan yang ditambahi air itu kemudian dimasak sampai matang (misalnya; nasi, kentang). Pemberian es yang dibuat dari air yang tidak aman (air mentah) tidak aman untuk dikonsumsi.

  6. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan makan Cuci tangan sampai benar-benar bersih sebelum mulai menyiapkan atau menyajikan makanan dan sesudah setiap kali mengerjakan pekerjaan lain, khususnya jika mengganti popok bayi, dari toilet, atau menyentuh hewan. Hewan peliharaan di rumah kerap kali menyimpan kuman yang dapat berpindah dari tangan ke mulut. Demikian juga halnya pada saat akan makan, tangan anak dan pengasuh harus dicuci dengan bersih terlebih dahulu.

  7. Menggunakan cangkir dan alat-alat makan yang bersih dan hindari pemberian Gunakan sendok dan cangkir untuk memberikan minuman dan makanan cair pada bayi dan anak kecil dan hindari pemberian dengan botol, karena biasanya lebih sulit untuk mencuci botol susu dan dot sampai benar- benar bersih. Sendok, cangkir, piring, dan perabot yang dipakai untuk mengolah dan menyajikan makanan harus segera dicuci setelah digunakan. Cara ini akan mempermudah pencuciannya sampai benar-benar bersih. Jika botol susu dan dot harus digunakan, perlengkapan itu harus dicuci sampai bersih benar dan direbus terlebih dahulu sebelum dipakai.

  8. Lindungi makanan terhadap serangga, tikus dan hewan lainnya Hewan terutama lalat, kecoa, dan tikus biasanya membawa organisme pathogen dan merupakan sumber yang potensial untuk kontaminasi makanan.

  9. Menyimpan makanan yang tidak habis di tempat yang aman Untuk melindungi makanan terhadap binatang pengerat dan serangga, makanan harus disimpan dalam wadah yang tertutup. Hindari kontak dengan zat-zat berbahaya dan beracun.

10. Jaga semua alat untuk pengolahan makanan tetap bersih.

  Permukaan alat yang digunakan untuk menyiapkan makanan harus dijaga agar selalu bersih untuk menghindari kontaminasi makanan. Sisa-sisa dan remah makanan merupakan sumber kuman yang potensial dan dapat menarik serangga serta hewan. Sampah dikumpulkan di tempat yang aman, tertutup dan harus segera

  11.Mempertimbangkan jenis-jenis makanan yang diasamkan dan diterima secara budaya karena jenis-jenis makanan ini memiliki pertumbuhan bakteri yang rendah.

2.5 Pencegahan

  Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Kemenkes RI (2011) adalah sebagai berikut:

  1.Pemberian ASI ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.

  ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula beresiko tinggi menyebabkan diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

  2.Memperbaiki Cara Mempersiapkan Makanan Pendamping ASI dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana cara makanan pendamping ASI diberikan. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian.

  Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik yaitu : a.

  Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 6 bulan dengan tetap meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 9 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI bila mungkin. b.

Dokumen yang terkait

Perilaku Keluarga dalam Pencegahan dan Penanganan Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo

5 138 87

Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur

23 152 134

Pengaruh Karakteristik, Sanitasi Dasar dan Upaya Pencegahan terhadap Kejadian Diare pada Balita (1-<5 Tahun) di Kelurahan Sei Sekambing C-II Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2014

17 115 231

Hubungan antara Status Gizi, Imunisasi Campak, Higiene Perorangan dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 12-24 Bulan (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Suboh Kabupaten Situbondo)

0 18 22

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Balita tentang Diare terhadap Tindakan Pemberian Cairan Rehidrasi pada Anak Balita Diare (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember)

0 10 21

B. Karakteristik Balita - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Gizi Kurang pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur Tahun 2016

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Pengertian Diare - Hubungan Iklim (Curah Hujan, Suhu Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) Dengan Kejadian Diare di Kota Jakarta Pusat pada Periode Tahun 2004-2013

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Definisi Diare - Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

0 4 48

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Pengertian Diare - Evaluasi Pengelolaan Obat Program Diare di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

0 1 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diare 2.1.1. Definisi Diare - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (1-<5) Tahun di Kota Padang sidempuan Tahun 2015

0 1 37