T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Di SMP Negeri 2 Dempet Tahun 2014 T2 BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan membahas
tentang Konsep evaluasi dan
evaluasi program, tujuan evaluasi program, manfaat evaluasi program,
model evaluasi, konsep manajemen pembiayaan, program BOS,
Penelitian yang relevan, kerangka pikir.
2.1 Konsep Evaluasi dan Evaluasi Program
2.1.1 Konsep Evaluasi
Yusuf (2000:3) mengatakan
evaluasi merupakan suatu usaha
untuk mengukur dan memberikan nilai secara obyektif pencapaian
hasil-hasil
evaluasi
yang
telah
tersebut
direncanakan
dimaksudkan
sebelumnya,
menjadi
dimana
umpan
balik
hasil
untuk
perencanaan yang dilakukan di depan. Selanjutnya Uzer (2003:120)
mendifinisikan
evaluasi
adalah
suatu
seseorang untuk memperoleh informasi
menentukan mana dari
dua hal
atau
alternatif yang diinginkan, karena
semacam ini tidak diambil
memerlukan
informasi
untuk
untuk
lebih
yang merupakan
atau
keputusan
karenanya pemberian nilai itu
yang rasional
pengambilan
Menurut Yunanda (2009:3)
terencana
ditempuh
yang berguna untuk
penentuan
pertimbangan
proses
yang
secara acak, maka alternatif-alternatif
itu harus diberi nilai relatife,
harus
proses
mengetahui
berdasarkan
keputusan. Sedangkan
evaluasi merupakan kegiatan yang
keadaan
sesuatu obyek dengan
menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolok
ukur untuk memperoleh kesimpulan. Menurut
evaluasi adalah
untuk
suatu proses
Arifin (2012:8)
yang sistematis dan berkelanjutan
menentukan kualitas (nilai dan arti) dari pada sesuatu,
berdasarkan pertimbangan dan
kriteria tertentu untuk membuat
suatu keputusan dan menurut Arikunto (2014:2)
kegiatan untuk
mengumpulkan
evaluasi adalah
informasi tentang bekerjanya
sesuatu yang selanjutnya informasi tersbut digunakan alternatif yang
tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Dari berbagai pendapat dari beberapa pakar dapat disimpulkan
bahawa
evaluasi
adalah
suatu
proses
yang
sistematis
untuk
memberikan penilaian dan membuat keputusan yang tepat terhadap
sesuatu (obyek, kejadian atau program).
2.1.2 Konsep Program
Menurut Jones (1994:296) mendifinisikan bahwa “A programme is
collection of interrelated project designed to harmonize and integrated
various action an activities for achieving averral policy abjectives”,
suatu program adalah kumpulan proyek-proyek yang berhubungan
telah
dirancang
harmonis
dan
untuk
secara
melaksanakan
integrated
kegiatan-kegiatan
untuk
mencapai
kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan. Sedangkan
yang
sasaran
program
menurut (Joan L. Herman,1987 dalam Tayibnapis, 2008:9) program
adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dengan harapan
akan mendatangkan hasil atau pengaruh dan menurut Arikunto dan
Jabar (2014:4) mengartikan program adalah
sejumlah sarana
hubungan yang didesain dan diimplementasikan sesuai dengan
tujuan.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
program adalah suatu kesatuan kegiatan yang dilakukan oleh
sekelompok
orang
yang
saling
berkesinambungan
melaksanakan kebijakan untuk mencapai sasaran
keseluruhan.
2.1.3 Konsep Evaluasi Program
dalam
tersebut secara
Menurut (Tyler,1950 dalam Arikunto, 2014:5) evaluasi program
adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah
dapat terealisasi. Sedangkan (Cronbacch ,1963 dan Stufflebeam,1971
dalam Arikunto, 2014:5)
mendifinisikan
evaluasi program adalah
upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil
keputusan. Menurut Arikunto (2014:17) evaluasi program adalah
upaya
untuk
mengatahui efektifitas
komponen
program dalam
mendukung pencapaian tujuan program.
Sehubungan dengan definisi tersebut The Standford Evaluationn
Consorsium
Group
menegaskan
bahwa
meskipun
evaluator
menyediakan informasi, evaluator bukanlah pengambil keputusan
tentang suatu program (Cronbach,1982 dalam Arikunto, 2014:5).
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
evaluasi
program
merupakan
proses
pengumpulan
data
atau
informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif
kebijakan.
2.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut Sudjana (2006: 48), tujuan khusus evaluasi program
terdapat 6 (enam) hal, yaitu untuk: (1) memberikan masukan bagi
perencanaan program; (2) menyajikan masukan bagi pengambil
keputusan yang berkaitan dengan
tindak lanjut perluasan atau
penghentian program; (3) memberikan masukan bagi pengambil
keputusan
tentang
modifikasi
atau
perbaikan
program;
(4)
memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan
penghambat program; (5) memberi masukan untuk kegiatan motivasi
dan
pembinaan
(pengawasan,
supervisi
dan
monitoring)
bagi
penyelenggara, pengelola, dan pelaksana program; (6) menyajikan data
tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program. Selanjutnya
Arikunto
(2010:22)
menambahkan
evaluasi
program
dilakukan
dengan tujuan: (1) memberi masukan pada perencana program atau
kegiatan;
(2)sebagai
bahan
pertimbangan
untuk
pengambilan
keputusan; (3) memberi masukan untuk memodifikasi program;(4)
mendapatkan
informasi
tentang
pendukung
dan
penghambat
program; (5) sebagai upaya untuk melakukan tindakan perbaikan.
Sedangkan menurut Wirawan (2011:22) tujuan evaluasi program
adalah (1) mengetahui pencapaian tujuan dari suatu program; (2)
menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi pengambil
keputusan; (3) menilai kualitas kinerja program (4) menentukan
ukuran dan ketercapaian materi suatu program; (5) menentukan
akuntabilitas suatu program; (6) menentukan dasar, arah, strategi
dan keefektivitas program.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
evaluasi program adalah untuk memberikan masukan bagi pengambil
keputusan tentang perencanaan program, tindak lanjut perluasan
atau penghentian program, modifikasi atau perbaikan program, faktor
pendukung dan penghambat program.
2.3 Manfaat Evaluasi Program
Ruswati (2008:64) menyatakan manfaat dari evaluasi program
yaitu
a)
Memberikan
masukan
apakah
suatuprogram/proyek
dihentikan atau diditeruskan; b) Memberitahukan prosedur mana
yang perlu diperbaiki; c) Memberitahukan stategi, atau teknik
yangmana yang perlu dihilangkan/digant; d) Memberikan masukan
apakah program/proyek yang sama dapat diterapkan ditempat lain; e)
Memberikan masukan ke arah mana dana harus dialokasikan; f)
Memberikan
program/proyek
masukan
apakah
teori/pendekatan
dapatditerima/ditolak.
Arikunto
tentang
(2014:22)
menguraikan manfaat evaluasi program yaitu evaluasi program adalah
(1) menghentikan program karena dipandang bahwa program tersebut
tidak ada manfaatnya; (2) merevisi program karena ada bagian-bagian
yang kurang sesuai dengan harapan; (3) melanjutkan program karena
pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah
berjalan sesuai dengan harapan dan member hasil yang manfaat; (4)
menyebarluaskan program karena program tersebut berhasil dengan
baik maka sangat baik apabila dilaksanakan lagi ditempat dan waktu
yang lain.
Arifin (2010:10) menjelaskan manfaat evaluasi program
adalah memberikan informasi yang akurat bagi pembuata kebijakan
untuk mengambil keputusan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan evaluasi program
bermanfaat
untuk
memberikan
rekomendasi
bagi
pengambil
keputusan dengan masukan hasil evaluasi program yang sedang atau
telah dilaksanakan.
2.4 Model Evaluasi
2.4.1 Model-Model Evaluasi Program
Arikunto (2014:40) menyatakan bahwa ada banyak model yang
bisa digunakan
pendidikan.
tindak
dalam
melakukan evaluasi program
Meskipun maksudnya
program
putusan dalam menentukan
lanjut suatu program. (Kaufman dan Thomas dalam Arikunto,
2014:40)
membedakan model evaluasi menjadi 8 kelompok sebagai
berikut ini:
1.Goal Oriented Evaluation Model
Merupakan model yang paling awal.
Yang
menjadi
objek
pengamatan pada model ini adalah tujuan dari tujuan program yang
sudah
ditetapkan
dilakuakan
seberapa
jauh
sebelum program
dimulai. Evaluasi
secara berkesinambungan , terus menerus , mencek
jauh
tujuan
tersebut
sudah
terlaksana
di dalam
proses pelaksanaan program . Model ini dikembangkan oleh Tyler.
(Arikunto 2014:40).
2.Goal Free Evaluation Model
Model
dapat
ini dikembangkan
dikatakan
dikembangkan
oleh Michael
berlawanan
dengan
oleh Tyler. Jika dalam
Scriver ,
model
model
model ini
pertama
yang
yang dikembangka
Tyler, evaluator terus menerusl memantua tujuan , yaitu sejak awal
proses terus sejauh mana tujuan tersebut dapat dicapai . Menurut
Michael scriven , dalam melaksanakan evaluasi program evaluator
tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang
perlu
diperhatikan
kerjanya
program,
dalam
program
dengan
jalan
tersebut
adalah
mengidentifikasi
bagaimana
penemapilan-
penampilan yang terjadi,baik hal-hal positif (yaitu yang dihrapkan)
maupun hal-hal negatif (yang sebetulnya tidak diharapkan)
Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena
kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan
khusus. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya telah
terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memperhatikan
seberapa jauh penampilan tersebut mendukung penampilan akhir
yang
diharapkan
oleh
tujuan
umum
maka
akibatnya
jumlah
penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya (Arikunto 2014:40).
3. Formatif-Sumatif Evaluation Model
Model
ini
merujuk
pada
tahapan
dan
lingkup
objek
yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih
berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai
atau berakhir (di sebut evaluasi sumatif)
Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan ,model yang
ini ketika melaksanakan evaluasi ,evaluator tidak melepaskan diri dari
tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan
evaluasi sumatif . Dengan demikian , model oleh Michael Scriven ini
menunjuk
tentang
“apa,
kapan,
tujuan
“
evaluasi
tersebut
dilaksanakan (Arikunto, 2014:42).
4. Countenance Evaluation Model
Model ini dikembangkan oleh Stake. Menurut ulasan tambahan
yang diberikan oleh Fernandes (1984), model stake menekankan pada
adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu (1) Deskripsi (description)
dan (2) pertimbangan(judgments); serta membedakan adanya tiga
tahapan
dalam
evaluasi
program
yaitu
anteseden
(antecedents/context), transaksi (transaction/process), dan Keluaran
(output-outcame) (Arikunto, 2014:43).
5. CSE-UCLA Evaluasi Model
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan , yaitu CSE dan UCLA. CSE
merupakan singkatan dari Center for the Study of Evaluation,
sedangkan UCLA merupakan singkatan dari University of California in
Los Angeles. Cirri dari model CSE-UCLA adalah lima tahap yang
dilakukan
dalam
evaluasi
yaitu
peencanaan
,
pengembangan,
implementasi, hasil dan dampak. Fernandes (1984) membeikan
penjelasan tentang model USE-UCLA menjadi empat tahap yaitu (1)
needs assessment,(2) program planning(3)formatifve evaluation dan (4)
summative evaluation (Arikunto 2014:44).
6. CIPP Evaluation Model
Model evaluasi CIPP
dikembangkan oleh Stufflebeam, model ini
diperkenalkan pada tahun 1967 di Ohio State University. Arikunto
(2010) menjelaskan bahwa model evaluasi CIPP merupakan sebuah
singkatan dari huruf awal empat buah kata yaitu (1) Context
evaluationyaituevaluasi terhadap konteks; (2) Input evaluationyaitu
evaluasi terhadap masukan; (3) Process evaluation yaitu evaluasi
terhadap proses; dan (4) Product evaluation yaitu evaluasi terhadap
hasil (Arikunto 2014:45).
7. Discrepancy Evaluation Model
Kata
discrepancy
adalah
istilah
bahasa
Inggris
,
yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mejadi “Kesenjangan”.
Model ini dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model
yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam
pelaksanaan
program.
Evaluasi
program
yang
dilakukan
oleh
evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap
komponen. (Arikunto, 2014:48)
8 .Responsive Evaluation Model
Evaluasi pemberian makna atau melukiskan sebuah realitas dari
berbagai perspektif orang - orang yang terlibat, berminat dan
berkepentingan dengan program. Tujuan evaluasi adalah untuk
memahami
semua
komponen
program
melalui
berbagai
sudut
pandangan yang berbeda. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan,
maka model ni kurang percaya terhadap hal-hal yang bersifat
kuantitatif. Instrumen yang digunakan pada umumnya mengandalkan
observasi langsung maupun tak langsung dengan interpretasi data
yang impresionistik. (Tayibnapis, 1989:23)
Dari berbagai model evaluasi program di atas, peneliti memilih
Discrepancy Evaluation model ini, yang peneliti anggap sebagai model
yang paling sesuai dengan penelitian.
2.4.2. Discrepancy Evaluation Model
Menurut Widoyoko (2009:29) Kesenjangan adalah sebagai suatu
keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan yang
dihasilkan
dalam
pelaksanaan
program.
Evaluasi
kesenjangan
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standard
yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari
program
tersebut.
Evaluasi
model
kesenjangan
kesenjangan
(discrepancy model) menurut Provus (dalam Fernandes, 1984) adalah
untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard)yang
sudah ditentukan dalam program dengan kinerja (performance)
sesungguhnyadari program tersebut. Baku adalah kriteria yang
ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan program.
Sedangkan
kesenjangan
pendidikan
meliputi:
yang
(1)
dapat
dievaluasi
dalam
program
antara
rencana
dengan
Kesenjangan
pelaksanaan program; (2) Kesenjangan antara yang diduga atau
diramalkan akan diperoleh dengan yang benar-benardirealisasikan; (3)
Kesenjangan antara status kemampuan dengan standar kemampuan
yang ditentukan; (4) Kesenjangan tujuan; (5) Kesenjanganmengenai
bagian program yang dapat diubah; dan (6) Kesenjangan dalam sistem
yangtidak konsisten. Oleh karena itu model evaluasi ini memiliki lima
tahap yaitu desain, instalasi, proses, produk, dan membandingkan.
Zaibaski (2010:3) evaluasi program dapat dilakukan melalui 5
tahap yaitu : (1) Tahap Penyusunan Desain;(2) Tahap Penetapan
Kelengkapan
Program;
(3)
Tahap
Proses
(Process);
(4)
Tahap
Pengukuran Tujuan (Product); (5) Tahap Pembandingan (Programe
Comparison).
(1)
tahap
Masing-masing tahap bisa dijelaskan sebagai berikut:
penyusunan
desain,
dalam
tahap
ini
dilakukan
merumuskan tujuan program, menyiapkan murid kelengkapan yang
lain, dan merumuskan standar dalam bentuk yang menunjuk pada
suatu yang dapat diukur; (2) tahap penetapan kelengkapan program (
instalasi) yaitu
sesuai
dengan
melihat
yang
apakah
kelengkapan
diperlukan atau
tersedia sudah
belum; (3) tahap proses
(process) Yaitu mengadakan evaluasi tujuan manakah yang sudah
dicapai. Tahap ini juga di sebut tahap mengumpulkan data dari
pelaksanaan program; (4) tahap pengukuran tujuan (product) yaitu
tahap mengadakan analisis data dan
yang diperoleh. Pertanyaan
yang
adalah Apakah program sudah
Tahap
Pembandingan
membandingkan
para
(Programe
Dalam
tingkat output
dalam
tahap
ini
mencapai tujuan terminalnya?; (5)
Comparison)
tahap
penemuan kesenjangan
pengambil keputusan, agar
kelanjutan dari
diajukan
hasil yang telah dicapai
telah ditetapkan.
semua
menetapkan
ini
untuk
yaitu
tahap
dengan tujuan yang
evaluator
menuliskan
disajikan
kepada
mereka (ia) dapat memutuskan
program tersebut. Kemungkinannya
adalah
menghentikan program, mengganti atau merevisi, meneruskan, dan
memodifikasi tujuannya.
Standar
adalah
kriteria
yang telah dikembangkan dan
ditetapkan dengan hasil yang efektif. Penampilan adalah sumber,
prosedur, manajemen, dan hasil nyata yang tampak ketika
dilaksanakan. Kunci dari evaluasi kesenjangan
program
adalah dalam hal
membandingkan penampilan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
2.5 Konsep Manajemen pembiayaan
2.5.1 Pengertian Manajemen Keuangan
Dalam melakukan sutau kegiatan supaya dapat berjalan dengan
tertib, lancar, efektif dan efisien diperlukan penataan keuangan yang
sebaik-baiknya. Untuk itu diperlukan manajemen keuangan dalam
setiap program atau kegiatan. Menurut
Suad Husnan dan Enny
Pudjiastuti
(1998:4)
manajemen
keuangan
adalah
pengaturan
kegiatan keuangan dalam suatu organisasi yang menyangkut kegiatan
perencanaan, analisis, dan pengendalian kegiatan keuangan.
Menurut
Depdiknas
(2000)
bahwa
manajemen
keuangan
merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang
meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban
dan pelaporan. Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah
dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan
sekolah
mulai
dari
perencanaan,
pembukuan,
pembelanjaan,
pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.
Menurut Lipham (1985) dan Keith (1991) dalam Depdiknas (2000)
manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen
sekolah
yang
akan
turut
menentukan
berjalannya
kegiatan
pendidikan di sekolah. Sebagaimana yang terjadi di substansi
manajemen
pendidikan
pada
umumnya,
kegiatan
manajemen
keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan.
Beberapa kegiatan
manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumbersumber pendanaan, pertanggungjawaban.
Dari pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pengetian dia
atas dapat
disimpulkan bahwa menejemen adalah rangkaian
aktivitas mengatur keuangan mulai dari perencanaan, pembukuan,
pembelanjaan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan.
2.5.2 Tujuan Manajemen Keuangan
Dengan
manajemen keuangan di sekolah, maka kebutuhan
pendanaan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pendanaanny,
dibukukan secara transparan, serta dapat dipergunakan secara efektif
dan efisien.
Menurut Kadarman, A.M. dan Udaya (1992) tujuan manajemen
keuangan
(1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan
keuangan sekolah; (2) meningkatkan akuntabilitas dan transparansi
keuangan sekolah; (3) meminimalkan penyalahgunaan anggaran
sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas
kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan
bendaharawan
yang
menguasai
dalam
pembukuan
dan
pertanggungjawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar
sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
2.5.3 Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan
dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi,
dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu
mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut,
yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang
manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu
kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang
transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan
lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan
jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus
jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan
untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan
dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan
pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di
sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan
timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan
warga
sekolah
melalui
kemudahan di dalam
penyediaan
informasi
memperoleh informasi
dan
menjamin
yang akurat
dan
memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua
warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran
pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan
pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga
bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah
mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah
uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan
untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah
kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain
karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk
mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di
dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat
dipertanggungjawabkan
sesuai
dengan
perencanaan
yang
telah
ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan
peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang
secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan
kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama
yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya
transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan
dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah ,
(2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi
untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan
pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang
murah dan pelayanan yang cepat
3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai
pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Garner (2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi,
karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai
tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian
visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”.
Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen
keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang
dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas
dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan
kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan.
Efficiency
”characterized
by
quantitative
outputs”
(Garner,2004).
Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input)
dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang
dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan
tersebut dapat dilihat dari dua hal: (a) Dilihat dari segi penggunaan
waktu, tenaga dan biaya.
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau
penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat
mencapai hasil yang ditetapkan. Ragam efisiensi dapat dijelaskan
melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil
yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.1.
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D
yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D
menunjukkan paling tidak efisien; (b) Dilihat dari segi hasil, kegiatan
dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan
biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas
maupun kualitasnya. Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari
gambar berikut ini:
Gambar : 2.2
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga,
biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan
waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.
Tingkat efisiensi
dan efektivitas yang tinggi memungkinkan
terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan
dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab.
2.6 Program BOS
Biaya pendidikan merupakan komponen yang sangat penting
dalam
penyelenggaraan
pendidikan.
Dapat
dikatakan
bahwa
pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Untuk dapat
mewujudkan tujuan pendidikan pemerintah sudah mengaturnya
dalam kebijakan pembiayaan seperti yang terkandung dalam UUD
1945 tanggungjawab pendidikan bangsa, terutama pendidikan dasar
adalah pemerintah. Hal ini terutama dijelaskan pemerintah dalam
pasal 31 ayat (1 ) Setiap warga Negara berhak mendapatkan
pendidikan dan ayat (2) bahwa setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menegaskan setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu, bahkan pada pasal 6 ayat (1) setiap warga negara yang
berusia tujuh tahun sampai lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. Pasal 49 dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Tetapi sayang, amanat ini dimentahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-VI I 2008, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN
maupun APBD, di dalamnya termasuk gaji pendidik. PP Nomor 48 Tahun
2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pasal 2 pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.
Jenis-jenis biaya pendidikan sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun
2008 tersebut. Biaya pendidikan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
Biaya
Satuan
Pendidikan,
Biaya
Penyelenggaraan
dan/atau
Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi Peserta Didik.
2.6.1 Pengertian BOS
BOS
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 76 Tahun 2012,
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah program pemerintah yang
pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi
nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana
program wajib belajar. PP 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan
Pendidikan, biaya non personalia adalah biaya untuk bahan atau
peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa
daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana,
uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak dll. Namun demikian, ada
beberapa
jenis
diperbolehkan
pembiayaan
dibiayai
investasi
dengan
dana
dan
BOS.
personalia
Dalam
yang
Peraturan
Mendiknas nomor 101 tahun 2013, BOS adalah program pemerintah
yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya
operasi
nonpersonalia
bagi
satuan
pendidikan
dasar
sebagai
pelaksana program wajib belajar. Namun demikian, ada beberapa
jenis pembiayaan investasi dan personalia yang tidak diperbolehkan
dibiayai dengan dana BOS.
Dari pengetian dia atas dapat disimpulkan bahwa BOS adalah
program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi
nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana
program wajib belajar.
2.6.2 Tujuan BOS
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 101 (2013:3) secara umum
program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat
terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun
yang bermutu.
Secara khusus program BOS bertujuan untuk: (1) membebaskan
pungutan
bagi
seluruh
siswa
SD/SDLB
negeri
dan
SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap biaya operasi sekolah,
kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan
sekolah bertaraf internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi
sekolah RSBI dan SBI harus tetap mempertimbangkan fungsi
pendidikan sebagai kegiatan nirlaba, sehingga sumbangan/pungutan
tidak boleh berlebih;(2) membebaskan pungutan seluruh siswa miskin
dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun , baik di sekolah negeri
maupun swasta; (3) meringankan beban biaya operasi sekolah bagi
siswa di sekolah swasta.
2.6.3 Penggunaan Dana BOS
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 101 tahun 2013 sekolah
menyusun anggaran belanja sekolah dengan membagi-bagi pada
setiap program yang mengacu pada 8 (delapan) Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Yang dimaksud ) Standar Nasional Pendidikan (SNP)
adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum Negara Republik Indonesia.
Dengan berpedoman pada 8 SNP, kemudian
Menurut Peraturan
Mendiknas nomor 101 tahun 2013:27 disusunlah
komponen
kegiatan
yang
dibiayai
BOS
(1)
komponen-
pengembangan
perpustakaan; (2) kegiatan dalam rangka penerimaan peserta didik; (3)
kegiatan pembelpelajaran dan ekstrakurikuler; (4) kegiatan ulangan
dan ujian; (5) pembelian bahan-bahan habis pakai; (6) langganan daya
dan jasa; (7) perawatan sekolah; (8) pembayaran honorarium bulanan
guru honorarium dan tenaga kependidikan; (9) pengembangan profesi
guru;
(10)membantu
peserta
didik
miskin;
(11)
pembiayaan
pengelolaan BOS; (12) pembelian perangkat computer; (13) biaya lain
jika seluruh komponen 1 s.d 12 telah terpenuhi pendanaan BOS.
2.7 Penelitian yang Relevan
Hutasuhut, (2013). dalam penelitiannya yang berjudul : Evaluasi
Pelaksanaan Program Bantuan Operasional Sekolah Dasar Negeri No.
125549
Kelurahan
Martoba
Kecamatan
Siantar
Utara
Pematangsiantar, menyimpulkan bahwa Program BOS di SD N
NO.125549
berjalan
dengan
baik
serta
program
BOS
sangat
membantu meringankan beban keluarga miskin dan tidak mampu
dalam mengenyam pendidikan.
Kusno,dkk.(2012) dalam penelitiannya yang berjudul Pengelolaan
dana
Bantuan
Operasional
Sekolah
di
Sekolah
Dasar
Negeri,
disimpulkan bahwa Pengelolaan dana BOS di SD Negeri 1 Muara
Pawan Kabupaten Ketapang telah dilaksanakan sesuai dengan
mekanisme yang tertuang di dalam buku panduan BOS yang meliputi
unsur perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi serta
pelaporan dana BOS.
Ilyas,Taufiq rahman. dkk. (2013). dalam penelitiannya yang
berjudul : Evalusi Implementasi Program Bantuan Operasional SD
(Studi kasus di SD N Bulusari Tarokan Kabupaten Kediri) disimpulkan
bahwa Bantuan Operasional sekolah (BOS) menjadi instrument utama
dalam terselenggaranya kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun
pada dimensi sisi yang lain masih saja terdapat permasalahan pada
implementasi penyelenggaraa program BOS di SD , sehingga apa yang
menjadi vis,misi dari sasaran program tersebut belum mencapai
keberhasilan.
Slameto, (2012) dalam penelitiannya yang
berjudul Monitoring
dan Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah di kota Salatiga
dengan
meggunakan
menyimpulkan bahwa
kesenjangan
yang
analisis
kesenjanagan
tahun
2011/2012
berdasarkan standard, ternyata terdapat
bervariasi
:tinggi, sedang,
dan
rendah baik
menyangkut proses implementasi maupun hasil program.
Kharisma, Bayu,(2013). Can A School Operational Assistance Fund
Program (BOS) Reduce School drop outs During The Post-rising Fuel
Prices In Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak
BOS pada tingkat putus sekolah siswa usia 7-15 tahun selama periode
th diselidiki dalam penelitian ini lebih rendah daripada mereka yang
tidak menerima dana BOS, tapi itu tidak signifikan secara statistik.
Sementara itu, jika dalam penelitian terbatas pada pengaruh usia
siswa 16-20 tahun yang sebelumnya telah menerima manfaat dari
BOS, hal itu menunjukkan bahwa program BOS memiliki pengaruh
yang positif terhadap manfaat BOS negatif mempengaruhi tingkat
putus sekolah. Berdasarkan fakta ini, manfaat dari BOS menyusul
kenaikan harga BBM di Indonesia selama periode penelitian tidak
menjadi sangat efektif dalam menurunkan angka putus sekolah.
Ismanto,
bambang.
(2014).
Public
Participation
in
Budget
Management School in Salatiga of Central Java Province, Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan
belum terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan anggaran sekolah di Salatiga Provinsi Jawa Tengah,
Indonesia. Sebagian besar sumber pendanaan pendidikan berasal dari
pemerintah, Kabupaten dan Pemerintah Daerah sebagai implikasi dari
wajib belajar 9 tahun di sekolah tingkat SD dan SMP. Pengelolaan
anggaran sekolah diatur sesuai dengan UU dan Peraturan Pemerintah
tentang Keuangan Negara / Daerah. Keterbatasan peran masyarakat
tidak konsisten dengan prinsip manajemen berbasis sekolah sebagai
perwujudan pendidikan desentralisasi di Indonesia.
2.8 Kerangka Pikir
Dengan kenaikan harga BBM pada bulan Maret 2005, pemerintah
meluncurkan program, salah satu program di bidang pendidikan
adalah program BOS yang menyediakan bantuan bagi sekolah dengan
tujuan
membebaskan
siswa dari iuran
sekolah dalam
rangka
mendukung pencapaian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
(Wajardikdas) Sembilan tahun, dan pendidikan yang bermutu. Melalui
program ini, pemerintah pusat memberikan dana kepada sekolah
setingkat SD dan SMP. Program ini dilakasanakan pada Juli 2005
bersamaan dengan awal tahun pelajaran. Program BOS tersebut juga
diterima di SMP Negeri 2 Dempet. Dalam pelaksanaan program SMP2
Dempet tahun 2014 , berpedoman pada Peraturan Mendiknas nomor
101
tahun
2013
tentang
Petunjuk
Pertanggungjawaban Dana BOS
Teknis
Penggunaan
dan
tahun 2014, tentunya mengalami
banyak kendala diantaranya dalam kenyataannya honor pegawai di
juknis BOS hanya 20% dari jumlah anggaran, dengan dana tersebut
tidak mencukupi untuk kebutuhan honorarium 24 pegawai honorer.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang adanya kesenjangan
yang terjadi pada program BOS di SMP N 2 Dempet tahun 2014,
peneliti menggunakan model evaluasi kesenjangan (Descrepancy
Evaluation Model) yang terdiri dari 4 tahap yaitu : tahap penyusunan
desain, tahap penetapan kelengkapan program (instalasi), tahap
proses (Process), dan tahap pengukuran tujuan (Product).
Untuk lebih jelasnya gambaran kerangka pikir evaluasi program
Dana Operasional Sekolah (BOS) di SMP Negeri 2 Dempet dapat dilihat
dari gambar kerangka pemikiran di bawah ini:
Peraturan Mendiknas No. 101
tahun 2013 (Juknis BOS 2014)
KEBUTUHAN
Desain
PROGRAM BOS DI
SMP N 2 DEMPET
Instalasi
Proses
REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Produk
Evaluasi
1.
2.
Kenaikan harga BBM
Peningkatan mutu pendidikan
Gambar 2.3
Kerangka pikir Evaluasi Program Bantuan Operaional Sekolah (BOS)Tahun 2014 di SMPN
Dempet
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan membahas
tentang Konsep evaluasi dan
evaluasi program, tujuan evaluasi program, manfaat evaluasi program,
model evaluasi, konsep manajemen pembiayaan, program BOS,
Penelitian yang relevan, kerangka pikir.
2.1 Konsep Evaluasi dan Evaluasi Program
2.1.1 Konsep Evaluasi
Yusuf (2000:3) mengatakan
evaluasi merupakan suatu usaha
untuk mengukur dan memberikan nilai secara obyektif pencapaian
hasil-hasil
evaluasi
yang
telah
tersebut
direncanakan
dimaksudkan
sebelumnya,
menjadi
dimana
umpan
balik
hasil
untuk
perencanaan yang dilakukan di depan. Selanjutnya Uzer (2003:120)
mendifinisikan
evaluasi
adalah
suatu
seseorang untuk memperoleh informasi
menentukan mana dari
dua hal
atau
alternatif yang diinginkan, karena
semacam ini tidak diambil
memerlukan
informasi
untuk
untuk
lebih
yang merupakan
atau
keputusan
karenanya pemberian nilai itu
yang rasional
pengambilan
Menurut Yunanda (2009:3)
terencana
ditempuh
yang berguna untuk
penentuan
pertimbangan
proses
yang
secara acak, maka alternatif-alternatif
itu harus diberi nilai relatife,
harus
proses
mengetahui
berdasarkan
keputusan. Sedangkan
evaluasi merupakan kegiatan yang
keadaan
sesuatu obyek dengan
menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolok
ukur untuk memperoleh kesimpulan. Menurut
evaluasi adalah
untuk
suatu proses
Arifin (2012:8)
yang sistematis dan berkelanjutan
menentukan kualitas (nilai dan arti) dari pada sesuatu,
berdasarkan pertimbangan dan
kriteria tertentu untuk membuat
suatu keputusan dan menurut Arikunto (2014:2)
kegiatan untuk
mengumpulkan
evaluasi adalah
informasi tentang bekerjanya
sesuatu yang selanjutnya informasi tersbut digunakan alternatif yang
tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Dari berbagai pendapat dari beberapa pakar dapat disimpulkan
bahawa
evaluasi
adalah
suatu
proses
yang
sistematis
untuk
memberikan penilaian dan membuat keputusan yang tepat terhadap
sesuatu (obyek, kejadian atau program).
2.1.2 Konsep Program
Menurut Jones (1994:296) mendifinisikan bahwa “A programme is
collection of interrelated project designed to harmonize and integrated
various action an activities for achieving averral policy abjectives”,
suatu program adalah kumpulan proyek-proyek yang berhubungan
telah
dirancang
harmonis
dan
untuk
secara
melaksanakan
integrated
kegiatan-kegiatan
untuk
mencapai
kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan. Sedangkan
yang
sasaran
program
menurut (Joan L. Herman,1987 dalam Tayibnapis, 2008:9) program
adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dengan harapan
akan mendatangkan hasil atau pengaruh dan menurut Arikunto dan
Jabar (2014:4) mengartikan program adalah
sejumlah sarana
hubungan yang didesain dan diimplementasikan sesuai dengan
tujuan.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
program adalah suatu kesatuan kegiatan yang dilakukan oleh
sekelompok
orang
yang
saling
berkesinambungan
melaksanakan kebijakan untuk mencapai sasaran
keseluruhan.
2.1.3 Konsep Evaluasi Program
dalam
tersebut secara
Menurut (Tyler,1950 dalam Arikunto, 2014:5) evaluasi program
adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah
dapat terealisasi. Sedangkan (Cronbacch ,1963 dan Stufflebeam,1971
dalam Arikunto, 2014:5)
mendifinisikan
evaluasi program adalah
upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil
keputusan. Menurut Arikunto (2014:17) evaluasi program adalah
upaya
untuk
mengatahui efektifitas
komponen
program dalam
mendukung pencapaian tujuan program.
Sehubungan dengan definisi tersebut The Standford Evaluationn
Consorsium
Group
menegaskan
bahwa
meskipun
evaluator
menyediakan informasi, evaluator bukanlah pengambil keputusan
tentang suatu program (Cronbach,1982 dalam Arikunto, 2014:5).
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
evaluasi
program
merupakan
proses
pengumpulan
data
atau
informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif
kebijakan.
2.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut Sudjana (2006: 48), tujuan khusus evaluasi program
terdapat 6 (enam) hal, yaitu untuk: (1) memberikan masukan bagi
perencanaan program; (2) menyajikan masukan bagi pengambil
keputusan yang berkaitan dengan
tindak lanjut perluasan atau
penghentian program; (3) memberikan masukan bagi pengambil
keputusan
tentang
modifikasi
atau
perbaikan
program;
(4)
memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan
penghambat program; (5) memberi masukan untuk kegiatan motivasi
dan
pembinaan
(pengawasan,
supervisi
dan
monitoring)
bagi
penyelenggara, pengelola, dan pelaksana program; (6) menyajikan data
tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program. Selanjutnya
Arikunto
(2010:22)
menambahkan
evaluasi
program
dilakukan
dengan tujuan: (1) memberi masukan pada perencana program atau
kegiatan;
(2)sebagai
bahan
pertimbangan
untuk
pengambilan
keputusan; (3) memberi masukan untuk memodifikasi program;(4)
mendapatkan
informasi
tentang
pendukung
dan
penghambat
program; (5) sebagai upaya untuk melakukan tindakan perbaikan.
Sedangkan menurut Wirawan (2011:22) tujuan evaluasi program
adalah (1) mengetahui pencapaian tujuan dari suatu program; (2)
menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi pengambil
keputusan; (3) menilai kualitas kinerja program (4) menentukan
ukuran dan ketercapaian materi suatu program; (5) menentukan
akuntabilitas suatu program; (6) menentukan dasar, arah, strategi
dan keefektivitas program.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
evaluasi program adalah untuk memberikan masukan bagi pengambil
keputusan tentang perencanaan program, tindak lanjut perluasan
atau penghentian program, modifikasi atau perbaikan program, faktor
pendukung dan penghambat program.
2.3 Manfaat Evaluasi Program
Ruswati (2008:64) menyatakan manfaat dari evaluasi program
yaitu
a)
Memberikan
masukan
apakah
suatuprogram/proyek
dihentikan atau diditeruskan; b) Memberitahukan prosedur mana
yang perlu diperbaiki; c) Memberitahukan stategi, atau teknik
yangmana yang perlu dihilangkan/digant; d) Memberikan masukan
apakah program/proyek yang sama dapat diterapkan ditempat lain; e)
Memberikan masukan ke arah mana dana harus dialokasikan; f)
Memberikan
program/proyek
masukan
apakah
teori/pendekatan
dapatditerima/ditolak.
Arikunto
tentang
(2014:22)
menguraikan manfaat evaluasi program yaitu evaluasi program adalah
(1) menghentikan program karena dipandang bahwa program tersebut
tidak ada manfaatnya; (2) merevisi program karena ada bagian-bagian
yang kurang sesuai dengan harapan; (3) melanjutkan program karena
pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah
berjalan sesuai dengan harapan dan member hasil yang manfaat; (4)
menyebarluaskan program karena program tersebut berhasil dengan
baik maka sangat baik apabila dilaksanakan lagi ditempat dan waktu
yang lain.
Arifin (2010:10) menjelaskan manfaat evaluasi program
adalah memberikan informasi yang akurat bagi pembuata kebijakan
untuk mengambil keputusan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan evaluasi program
bermanfaat
untuk
memberikan
rekomendasi
bagi
pengambil
keputusan dengan masukan hasil evaluasi program yang sedang atau
telah dilaksanakan.
2.4 Model Evaluasi
2.4.1 Model-Model Evaluasi Program
Arikunto (2014:40) menyatakan bahwa ada banyak model yang
bisa digunakan
pendidikan.
tindak
dalam
melakukan evaluasi program
Meskipun maksudnya
program
putusan dalam menentukan
lanjut suatu program. (Kaufman dan Thomas dalam Arikunto,
2014:40)
membedakan model evaluasi menjadi 8 kelompok sebagai
berikut ini:
1.Goal Oriented Evaluation Model
Merupakan model yang paling awal.
Yang
menjadi
objek
pengamatan pada model ini adalah tujuan dari tujuan program yang
sudah
ditetapkan
dilakuakan
seberapa
jauh
sebelum program
dimulai. Evaluasi
secara berkesinambungan , terus menerus , mencek
jauh
tujuan
tersebut
sudah
terlaksana
di dalam
proses pelaksanaan program . Model ini dikembangkan oleh Tyler.
(Arikunto 2014:40).
2.Goal Free Evaluation Model
Model
dapat
ini dikembangkan
dikatakan
dikembangkan
oleh Michael
berlawanan
dengan
oleh Tyler. Jika dalam
Scriver ,
model
model
model ini
pertama
yang
yang dikembangka
Tyler, evaluator terus menerusl memantua tujuan , yaitu sejak awal
proses terus sejauh mana tujuan tersebut dapat dicapai . Menurut
Michael scriven , dalam melaksanakan evaluasi program evaluator
tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang
perlu
diperhatikan
kerjanya
program,
dalam
program
dengan
jalan
tersebut
adalah
mengidentifikasi
bagaimana
penemapilan-
penampilan yang terjadi,baik hal-hal positif (yaitu yang dihrapkan)
maupun hal-hal negatif (yang sebetulnya tidak diharapkan)
Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena
kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan
khusus. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya telah
terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memperhatikan
seberapa jauh penampilan tersebut mendukung penampilan akhir
yang
diharapkan
oleh
tujuan
umum
maka
akibatnya
jumlah
penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya (Arikunto 2014:40).
3. Formatif-Sumatif Evaluation Model
Model
ini
merujuk
pada
tahapan
dan
lingkup
objek
yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih
berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai
atau berakhir (di sebut evaluasi sumatif)
Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan ,model yang
ini ketika melaksanakan evaluasi ,evaluator tidak melepaskan diri dari
tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan
evaluasi sumatif . Dengan demikian , model oleh Michael Scriven ini
menunjuk
tentang
“apa,
kapan,
tujuan
“
evaluasi
tersebut
dilaksanakan (Arikunto, 2014:42).
4. Countenance Evaluation Model
Model ini dikembangkan oleh Stake. Menurut ulasan tambahan
yang diberikan oleh Fernandes (1984), model stake menekankan pada
adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu (1) Deskripsi (description)
dan (2) pertimbangan(judgments); serta membedakan adanya tiga
tahapan
dalam
evaluasi
program
yaitu
anteseden
(antecedents/context), transaksi (transaction/process), dan Keluaran
(output-outcame) (Arikunto, 2014:43).
5. CSE-UCLA Evaluasi Model
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan , yaitu CSE dan UCLA. CSE
merupakan singkatan dari Center for the Study of Evaluation,
sedangkan UCLA merupakan singkatan dari University of California in
Los Angeles. Cirri dari model CSE-UCLA adalah lima tahap yang
dilakukan
dalam
evaluasi
yaitu
peencanaan
,
pengembangan,
implementasi, hasil dan dampak. Fernandes (1984) membeikan
penjelasan tentang model USE-UCLA menjadi empat tahap yaitu (1)
needs assessment,(2) program planning(3)formatifve evaluation dan (4)
summative evaluation (Arikunto 2014:44).
6. CIPP Evaluation Model
Model evaluasi CIPP
dikembangkan oleh Stufflebeam, model ini
diperkenalkan pada tahun 1967 di Ohio State University. Arikunto
(2010) menjelaskan bahwa model evaluasi CIPP merupakan sebuah
singkatan dari huruf awal empat buah kata yaitu (1) Context
evaluationyaituevaluasi terhadap konteks; (2) Input evaluationyaitu
evaluasi terhadap masukan; (3) Process evaluation yaitu evaluasi
terhadap proses; dan (4) Product evaluation yaitu evaluasi terhadap
hasil (Arikunto 2014:45).
7. Discrepancy Evaluation Model
Kata
discrepancy
adalah
istilah
bahasa
Inggris
,
yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mejadi “Kesenjangan”.
Model ini dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model
yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam
pelaksanaan
program.
Evaluasi
program
yang
dilakukan
oleh
evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap
komponen. (Arikunto, 2014:48)
8 .Responsive Evaluation Model
Evaluasi pemberian makna atau melukiskan sebuah realitas dari
berbagai perspektif orang - orang yang terlibat, berminat dan
berkepentingan dengan program. Tujuan evaluasi adalah untuk
memahami
semua
komponen
program
melalui
berbagai
sudut
pandangan yang berbeda. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan,
maka model ni kurang percaya terhadap hal-hal yang bersifat
kuantitatif. Instrumen yang digunakan pada umumnya mengandalkan
observasi langsung maupun tak langsung dengan interpretasi data
yang impresionistik. (Tayibnapis, 1989:23)
Dari berbagai model evaluasi program di atas, peneliti memilih
Discrepancy Evaluation model ini, yang peneliti anggap sebagai model
yang paling sesuai dengan penelitian.
2.4.2. Discrepancy Evaluation Model
Menurut Widoyoko (2009:29) Kesenjangan adalah sebagai suatu
keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan yang
dihasilkan
dalam
pelaksanaan
program.
Evaluasi
kesenjangan
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standard
yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari
program
tersebut.
Evaluasi
model
kesenjangan
kesenjangan
(discrepancy model) menurut Provus (dalam Fernandes, 1984) adalah
untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard)yang
sudah ditentukan dalam program dengan kinerja (performance)
sesungguhnyadari program tersebut. Baku adalah kriteria yang
ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan program.
Sedangkan
kesenjangan
pendidikan
meliputi:
yang
(1)
dapat
dievaluasi
dalam
program
antara
rencana
dengan
Kesenjangan
pelaksanaan program; (2) Kesenjangan antara yang diduga atau
diramalkan akan diperoleh dengan yang benar-benardirealisasikan; (3)
Kesenjangan antara status kemampuan dengan standar kemampuan
yang ditentukan; (4) Kesenjangan tujuan; (5) Kesenjanganmengenai
bagian program yang dapat diubah; dan (6) Kesenjangan dalam sistem
yangtidak konsisten. Oleh karena itu model evaluasi ini memiliki lima
tahap yaitu desain, instalasi, proses, produk, dan membandingkan.
Zaibaski (2010:3) evaluasi program dapat dilakukan melalui 5
tahap yaitu : (1) Tahap Penyusunan Desain;(2) Tahap Penetapan
Kelengkapan
Program;
(3)
Tahap
Proses
(Process);
(4)
Tahap
Pengukuran Tujuan (Product); (5) Tahap Pembandingan (Programe
Comparison).
(1)
tahap
Masing-masing tahap bisa dijelaskan sebagai berikut:
penyusunan
desain,
dalam
tahap
ini
dilakukan
merumuskan tujuan program, menyiapkan murid kelengkapan yang
lain, dan merumuskan standar dalam bentuk yang menunjuk pada
suatu yang dapat diukur; (2) tahap penetapan kelengkapan program (
instalasi) yaitu
sesuai
dengan
melihat
yang
apakah
kelengkapan
diperlukan atau
tersedia sudah
belum; (3) tahap proses
(process) Yaitu mengadakan evaluasi tujuan manakah yang sudah
dicapai. Tahap ini juga di sebut tahap mengumpulkan data dari
pelaksanaan program; (4) tahap pengukuran tujuan (product) yaitu
tahap mengadakan analisis data dan
yang diperoleh. Pertanyaan
yang
adalah Apakah program sudah
Tahap
Pembandingan
membandingkan
para
(Programe
Dalam
tingkat output
dalam
tahap
ini
mencapai tujuan terminalnya?; (5)
Comparison)
tahap
penemuan kesenjangan
pengambil keputusan, agar
kelanjutan dari
diajukan
hasil yang telah dicapai
telah ditetapkan.
semua
menetapkan
ini
untuk
yaitu
tahap
dengan tujuan yang
evaluator
menuliskan
disajikan
kepada
mereka (ia) dapat memutuskan
program tersebut. Kemungkinannya
adalah
menghentikan program, mengganti atau merevisi, meneruskan, dan
memodifikasi tujuannya.
Standar
adalah
kriteria
yang telah dikembangkan dan
ditetapkan dengan hasil yang efektif. Penampilan adalah sumber,
prosedur, manajemen, dan hasil nyata yang tampak ketika
dilaksanakan. Kunci dari evaluasi kesenjangan
program
adalah dalam hal
membandingkan penampilan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
2.5 Konsep Manajemen pembiayaan
2.5.1 Pengertian Manajemen Keuangan
Dalam melakukan sutau kegiatan supaya dapat berjalan dengan
tertib, lancar, efektif dan efisien diperlukan penataan keuangan yang
sebaik-baiknya. Untuk itu diperlukan manajemen keuangan dalam
setiap program atau kegiatan. Menurut
Suad Husnan dan Enny
Pudjiastuti
(1998:4)
manajemen
keuangan
adalah
pengaturan
kegiatan keuangan dalam suatu organisasi yang menyangkut kegiatan
perencanaan, analisis, dan pengendalian kegiatan keuangan.
Menurut
Depdiknas
(2000)
bahwa
manajemen
keuangan
merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang
meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban
dan pelaporan. Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah
dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan
sekolah
mulai
dari
perencanaan,
pembukuan,
pembelanjaan,
pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.
Menurut Lipham (1985) dan Keith (1991) dalam Depdiknas (2000)
manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen
sekolah
yang
akan
turut
menentukan
berjalannya
kegiatan
pendidikan di sekolah. Sebagaimana yang terjadi di substansi
manajemen
pendidikan
pada
umumnya,
kegiatan
manajemen
keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan.
Beberapa kegiatan
manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumbersumber pendanaan, pertanggungjawaban.
Dari pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pengetian dia
atas dapat
disimpulkan bahwa menejemen adalah rangkaian
aktivitas mengatur keuangan mulai dari perencanaan, pembukuan,
pembelanjaan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan.
2.5.2 Tujuan Manajemen Keuangan
Dengan
manajemen keuangan di sekolah, maka kebutuhan
pendanaan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pendanaanny,
dibukukan secara transparan, serta dapat dipergunakan secara efektif
dan efisien.
Menurut Kadarman, A.M. dan Udaya (1992) tujuan manajemen
keuangan
(1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan
keuangan sekolah; (2) meningkatkan akuntabilitas dan transparansi
keuangan sekolah; (3) meminimalkan penyalahgunaan anggaran
sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas
kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan
bendaharawan
yang
menguasai
dalam
pembukuan
dan
pertanggungjawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar
sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
2.5.3 Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan
dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi,
dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu
mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut,
yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang
manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu
kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang
transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan
lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan
jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus
jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan
untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan
dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan
pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di
sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan
timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan
warga
sekolah
melalui
kemudahan di dalam
penyediaan
informasi
memperoleh informasi
dan
menjamin
yang akurat
dan
memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua
warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran
pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan
pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga
bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah
mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah
uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan
untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah
kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain
karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk
mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di
dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat
dipertanggungjawabkan
sesuai
dengan
perencanaan
yang
telah
ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan
peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang
secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan
kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama
yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya
transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan
dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah ,
(2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi
untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan
pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang
murah dan pelayanan yang cepat
3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai
pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Garner (2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi,
karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai
tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian
visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”.
Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen
keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang
dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas
dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan
kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan.
Efficiency
”characterized
by
quantitative
outputs”
(Garner,2004).
Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input)
dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang
dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan
tersebut dapat dilihat dari dua hal: (a) Dilihat dari segi penggunaan
waktu, tenaga dan biaya.
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau
penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat
mencapai hasil yang ditetapkan. Ragam efisiensi dapat dijelaskan
melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil
yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.1.
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D
yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D
menunjukkan paling tidak efisien; (b) Dilihat dari segi hasil, kegiatan
dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan
biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas
maupun kualitasnya. Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari
gambar berikut ini:
Gambar : 2.2
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga,
biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan
waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.
Tingkat efisiensi
dan efektivitas yang tinggi memungkinkan
terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan
dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab.
2.6 Program BOS
Biaya pendidikan merupakan komponen yang sangat penting
dalam
penyelenggaraan
pendidikan.
Dapat
dikatakan
bahwa
pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Untuk dapat
mewujudkan tujuan pendidikan pemerintah sudah mengaturnya
dalam kebijakan pembiayaan seperti yang terkandung dalam UUD
1945 tanggungjawab pendidikan bangsa, terutama pendidikan dasar
adalah pemerintah. Hal ini terutama dijelaskan pemerintah dalam
pasal 31 ayat (1 ) Setiap warga Negara berhak mendapatkan
pendidikan dan ayat (2) bahwa setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menegaskan setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu, bahkan pada pasal 6 ayat (1) setiap warga negara yang
berusia tujuh tahun sampai lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. Pasal 49 dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Tetapi sayang, amanat ini dimentahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-VI I 2008, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN
maupun APBD, di dalamnya termasuk gaji pendidik. PP Nomor 48 Tahun
2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pasal 2 pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.
Jenis-jenis biaya pendidikan sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun
2008 tersebut. Biaya pendidikan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
Biaya
Satuan
Pendidikan,
Biaya
Penyelenggaraan
dan/atau
Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi Peserta Didik.
2.6.1 Pengertian BOS
BOS
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 76 Tahun 2012,
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah program pemerintah yang
pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi
nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana
program wajib belajar. PP 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan
Pendidikan, biaya non personalia adalah biaya untuk bahan atau
peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa
daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana,
uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak dll. Namun demikian, ada
beberapa
jenis
diperbolehkan
pembiayaan
dibiayai
investasi
dengan
dana
dan
BOS.
personalia
Dalam
yang
Peraturan
Mendiknas nomor 101 tahun 2013, BOS adalah program pemerintah
yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya
operasi
nonpersonalia
bagi
satuan
pendidikan
dasar
sebagai
pelaksana program wajib belajar. Namun demikian, ada beberapa
jenis pembiayaan investasi dan personalia yang tidak diperbolehkan
dibiayai dengan dana BOS.
Dari pengetian dia atas dapat disimpulkan bahwa BOS adalah
program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi
nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana
program wajib belajar.
2.6.2 Tujuan BOS
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 101 (2013:3) secara umum
program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat
terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun
yang bermutu.
Secara khusus program BOS bertujuan untuk: (1) membebaskan
pungutan
bagi
seluruh
siswa
SD/SDLB
negeri
dan
SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap biaya operasi sekolah,
kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan
sekolah bertaraf internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi
sekolah RSBI dan SBI harus tetap mempertimbangkan fungsi
pendidikan sebagai kegiatan nirlaba, sehingga sumbangan/pungutan
tidak boleh berlebih;(2) membebaskan pungutan seluruh siswa miskin
dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun , baik di sekolah negeri
maupun swasta; (3) meringankan beban biaya operasi sekolah bagi
siswa di sekolah swasta.
2.6.3 Penggunaan Dana BOS
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 101 tahun 2013 sekolah
menyusun anggaran belanja sekolah dengan membagi-bagi pada
setiap program yang mengacu pada 8 (delapan) Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Yang dimaksud ) Standar Nasional Pendidikan (SNP)
adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum Negara Republik Indonesia.
Dengan berpedoman pada 8 SNP, kemudian
Menurut Peraturan
Mendiknas nomor 101 tahun 2013:27 disusunlah
komponen
kegiatan
yang
dibiayai
BOS
(1)
komponen-
pengembangan
perpustakaan; (2) kegiatan dalam rangka penerimaan peserta didik; (3)
kegiatan pembelpelajaran dan ekstrakurikuler; (4) kegiatan ulangan
dan ujian; (5) pembelian bahan-bahan habis pakai; (6) langganan daya
dan jasa; (7) perawatan sekolah; (8) pembayaran honorarium bulanan
guru honorarium dan tenaga kependidikan; (9) pengembangan profesi
guru;
(10)membantu
peserta
didik
miskin;
(11)
pembiayaan
pengelolaan BOS; (12) pembelian perangkat computer; (13) biaya lain
jika seluruh komponen 1 s.d 12 telah terpenuhi pendanaan BOS.
2.7 Penelitian yang Relevan
Hutasuhut, (2013). dalam penelitiannya yang berjudul : Evaluasi
Pelaksanaan Program Bantuan Operasional Sekolah Dasar Negeri No.
125549
Kelurahan
Martoba
Kecamatan
Siantar
Utara
Pematangsiantar, menyimpulkan bahwa Program BOS di SD N
NO.125549
berjalan
dengan
baik
serta
program
BOS
sangat
membantu meringankan beban keluarga miskin dan tidak mampu
dalam mengenyam pendidikan.
Kusno,dkk.(2012) dalam penelitiannya yang berjudul Pengelolaan
dana
Bantuan
Operasional
Sekolah
di
Sekolah
Dasar
Negeri,
disimpulkan bahwa Pengelolaan dana BOS di SD Negeri 1 Muara
Pawan Kabupaten Ketapang telah dilaksanakan sesuai dengan
mekanisme yang tertuang di dalam buku panduan BOS yang meliputi
unsur perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi serta
pelaporan dana BOS.
Ilyas,Taufiq rahman. dkk. (2013). dalam penelitiannya yang
berjudul : Evalusi Implementasi Program Bantuan Operasional SD
(Studi kasus di SD N Bulusari Tarokan Kabupaten Kediri) disimpulkan
bahwa Bantuan Operasional sekolah (BOS) menjadi instrument utama
dalam terselenggaranya kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun
pada dimensi sisi yang lain masih saja terdapat permasalahan pada
implementasi penyelenggaraa program BOS di SD , sehingga apa yang
menjadi vis,misi dari sasaran program tersebut belum mencapai
keberhasilan.
Slameto, (2012) dalam penelitiannya yang
berjudul Monitoring
dan Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah di kota Salatiga
dengan
meggunakan
menyimpulkan bahwa
kesenjangan
yang
analisis
kesenjanagan
tahun
2011/2012
berdasarkan standard, ternyata terdapat
bervariasi
:tinggi, sedang,
dan
rendah baik
menyangkut proses implementasi maupun hasil program.
Kharisma, Bayu,(2013). Can A School Operational Assistance Fund
Program (BOS) Reduce School drop outs During The Post-rising Fuel
Prices In Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak
BOS pada tingkat putus sekolah siswa usia 7-15 tahun selama periode
th diselidiki dalam penelitian ini lebih rendah daripada mereka yang
tidak menerima dana BOS, tapi itu tidak signifikan secara statistik.
Sementara itu, jika dalam penelitian terbatas pada pengaruh usia
siswa 16-20 tahun yang sebelumnya telah menerima manfaat dari
BOS, hal itu menunjukkan bahwa program BOS memiliki pengaruh
yang positif terhadap manfaat BOS negatif mempengaruhi tingkat
putus sekolah. Berdasarkan fakta ini, manfaat dari BOS menyusul
kenaikan harga BBM di Indonesia selama periode penelitian tidak
menjadi sangat efektif dalam menurunkan angka putus sekolah.
Ismanto,
bambang.
(2014).
Public
Participation
in
Budget
Management School in Salatiga of Central Java Province, Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan
belum terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan anggaran sekolah di Salatiga Provinsi Jawa Tengah,
Indonesia. Sebagian besar sumber pendanaan pendidikan berasal dari
pemerintah, Kabupaten dan Pemerintah Daerah sebagai implikasi dari
wajib belajar 9 tahun di sekolah tingkat SD dan SMP. Pengelolaan
anggaran sekolah diatur sesuai dengan UU dan Peraturan Pemerintah
tentang Keuangan Negara / Daerah. Keterbatasan peran masyarakat
tidak konsisten dengan prinsip manajemen berbasis sekolah sebagai
perwujudan pendidikan desentralisasi di Indonesia.
2.8 Kerangka Pikir
Dengan kenaikan harga BBM pada bulan Maret 2005, pemerintah
meluncurkan program, salah satu program di bidang pendidikan
adalah program BOS yang menyediakan bantuan bagi sekolah dengan
tujuan
membebaskan
siswa dari iuran
sekolah dalam
rangka
mendukung pencapaian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
(Wajardikdas) Sembilan tahun, dan pendidikan yang bermutu. Melalui
program ini, pemerintah pusat memberikan dana kepada sekolah
setingkat SD dan SMP. Program ini dilakasanakan pada Juli 2005
bersamaan dengan awal tahun pelajaran. Program BOS tersebut juga
diterima di SMP Negeri 2 Dempet. Dalam pelaksanaan program SMP2
Dempet tahun 2014 , berpedoman pada Peraturan Mendiknas nomor
101
tahun
2013
tentang
Petunjuk
Pertanggungjawaban Dana BOS
Teknis
Penggunaan
dan
tahun 2014, tentunya mengalami
banyak kendala diantaranya dalam kenyataannya honor pegawai di
juknis BOS hanya 20% dari jumlah anggaran, dengan dana tersebut
tidak mencukupi untuk kebutuhan honorarium 24 pegawai honorer.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang adanya kesenjangan
yang terjadi pada program BOS di SMP N 2 Dempet tahun 2014,
peneliti menggunakan model evaluasi kesenjangan (Descrepancy
Evaluation Model) yang terdiri dari 4 tahap yaitu : tahap penyusunan
desain, tahap penetapan kelengkapan program (instalasi), tahap
proses (Process), dan tahap pengukuran tujuan (Product).
Untuk lebih jelasnya gambaran kerangka pikir evaluasi program
Dana Operasional Sekolah (BOS) di SMP Negeri 2 Dempet dapat dilihat
dari gambar kerangka pemikiran di bawah ini:
Peraturan Mendiknas No. 101
tahun 2013 (Juknis BOS 2014)
KEBUTUHAN
Desain
PROGRAM BOS DI
SMP N 2 DEMPET
Instalasi
Proses
REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Produk
Evaluasi
1.
2.
Kenaikan harga BBM
Peningkatan mutu pendidikan
Gambar 2.3
Kerangka pikir Evaluasi Program Bantuan Operaional Sekolah (BOS)Tahun 2014 di SMPN
Dempet