KAMPER SEBAGAI CAGAR BUDAYA WARISAN DUNI

KAMPER SEBAGAI CAGAR BUDAYA WARISAN DUNIA:
Sebuah Pemikiran Awal

Oleh:
Ambo Asse Ajis, SS
Bidang Penelitian, Unit Pengembangan BPCB Aceh1
Jl. Banda Aceh - Meulaboh Km. 7,5 Kec. Peukan Bada Kab. Aceh Besar

ambo.unsam@gmail.com
0821-6859-6640

Abstrak
Kajian ini hendak menempatkan kamper dalam pengertian Undang-Undang
No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai salah satu benda budaya yang
memenuhi syarat. Apakah dalam pemaknaan benda, situs maupun kawasan, yang
pasti kamper merupakan produk benda dari manusia nusantara di Barus yang menjadi
komoditas dunia pada masanya. Kehadirannya sebagai benda bernilai penting,
dibuktikan melalui terciptanya tatanan perdagangannya sendiri dan dengan
konsumennya yang spesifik. Namun begitu, meskipun jangkauan pengetahuan dunia
tentang kamper terbukti melampaui dunia Sumatera maupun wilayah bangsa
Indonesia itu sendiri, saat ini, kamper belum mendapatkan pengakuan sebagai satu

produk cagar budaya bangsa Indonesia. Atas dasar tersebut, tulisan ini lahir dengan
tujuan untuk memberikan masukan kepada para pemangku kebijakan dari tingkat
daerah, provinsi hingga pusat di Indonesia agar dapat mempertimbangkan dan
mendorong kamper menjadi salah satu cagar budaya negeri ini bahkan jika mungkin
menjadi warisan dunia. Metode penulisan karya ini berbentuk eksplanatif, merujuk
sumber historis yang terpercaya. Kesimpulan tulisan ini hendak menggambarkan
urgensitas peranan kamper dalam dinamika koneksi nusantara yang aktif dalam
perdagangan rempah di masa lalu dengan dunia luar yang terlihat pada dampaknya
yang luas, tidak hanya menyentuh landscape ekonomi internasional saat itu, tetapi
juga merambah kehidupan sosial, kehidupan dunia kedokteran, dinamika hubungan
kenegaraan, pelayaran, perdagangan dan sebagainya. Adapun imbas untuk koneksi
1

Kantor BPCB Aceh terletak di Jl. Banda Aceh - Meulaboh Km. 7,5 Kec. Peukan Bada Kab. Aceh
Besar Kode Pos 23352, Telp. 0651 - 45306 Fax. 0651 - 45171

1

dalam nusantara sendiri, berat diduga, perdagangan kamper juga intensif mendorong
munculnya berbagai materi rempah lainnya yang mendapatkan pasarnya sendiri, lalu

secara bersama-sama memperkaya jaringan perdagangan antar negeri di nusantara
saat itu hingga ke luar nusantara.
Kata Kunci:
kamper, cagar budaya dunia, perdagangan nusantara, jalur rempah, jalur
perdagangan nusantara
Abstract
This study is intended to keep campers in the sense of Law no. 11 of 2010 on Cultural
Heritage as one of the qualified cultural objects. Whether in the meaning of objects,
sites and regions, which must be camphor is a product of the human body of the
archipelago in Barus who became a world commodity in his time. Its presence as an
object of significant value, evidenced through the creation of its own trading order
and with its specific customers. Nevertheless, although the extent of world knowledge
about kamper has proved beyond the world of Sumatra and the Indonesian nation
itself, today, kamper has not gained recognition as a product of Indonesian national
heritage. On the basis of this, this paper was born with the aim of providing inputs to
stakeholders from the regional, provincial and central levels in Indonesia in order to
consider and encourage camphor to be one of the country's cultural heritage even if it
may be a world heritage. The method of writing this work is explanatory, referring to
reliable historical sources. The conclusion of this paper is to illustrate the urgency of
the role of camphor in the dynamic connection of the archipelago that is active in the

spice trade in the past with the outside world seen in its wide impact, not only
touched the international economic landscape of the time, but also penetrated the
social life, the life of the medical world, state relations, shipping, trade and so on.
Key Word:
camphor, world heritage, nusantara trade, spice line, line trade Nusantara

1. Pendahuluan

2

Kamper merupakan produk benda budaya manusia nusantara. Hal
menakjubkan dari kamper adalah ia merupakan produk asli nusantara dan
bersama produk lainnya mampu melahirkan apa yang kita sebut jalur rempah
hingga menegaskan nusantara Indonesia bukanlah bangsa konsumen saja, tetapi
juga bangsa produsen yang memiliki kekayaan rempah yang dibutuhkan dunia.
Sebagai benda tinggalan manusia, kamper memiliki dimensi bentuk, ruang
dan waktunya sendiri. Dimensi bentuk kamper terlihat dari wujud dan massanya
yang memiliki varian sesuai dengan kegunaannya dimasa lalu. Misalnya, masa
kamper untuk kegunaan kedokteran, massa kamper untuk kegunaan wewangian,
dan massa kamper kegunaan rempah mayat. Dimensi ruang kamper terlihat pada

geografis tempat tumbuhnya, lingkungan yang mendukung pertumbuhannya dan
lahirnya kemampuan mengolahnya, jaringan perdagangannya, para pihak yang
terlibat dalam distribusianya, negara-negara tujuan distribusi dan sebagainya.
Dimensi waktunya, terlihat dari waktu kegunaan sebagaimana dicatat oleh para
pelancong Arab dan Cina di masa lalu.
Tepatnya, di pesisir Barat pulau Sumatera, kamper dikirim keluar Barus
menuju berbagai pelabuhan, baik di wilayah nusantara seperti enterport Lamuri
dan entreport Samudera Pasai maupun pelabuhan utama di Kedatuan Sriwijaya,
yang selanjutnya diangkut para pedagang asing ke negeri-negeri tuannya masingmasing.
Sebagai komoditas perdagangan dunia, kamper dipercaya telah hadir
semenjak abad awal Masehi, dan terus berkembang sebagaimana catatan-catatan
3

yang dibuat oleh pelancong Cina dan Arab pada abad-abad selanjutnya. Beberapa
referensi pelancong Cina yang berusaha mendeskripsikan letak negeri Barus
merujuk produk kampernya yang sangat terkenal saat itu, seperti, Yie Jing (635713 M), Jia Dang (730-805 M), Duang Chengshi (803-863 M), Zhufan zhie (1225
M), dan Wa Dayuan (1349/50 M). Beberapa catatan pelancong Arab tentang
kamper, dibuat oleh Ibnu Khordadhbeh (850 M), catatan berjudul ahbar as-sin
wa I-Hind (851 M) dengan tokoh utamanya Sulaiman menyebut nama Fansur
yang menghasilkan banyak kamper, Ibn Manzur (1311 M), Ibn al-Atir (1233 M),

dan Ibn al-Baladuri (1437 M), menuliskan jangkauan para pelancong Arab hingga
kenegeri-negeri Asia Tenggara.
Di Barus, + abad ke-9 Masehi, Ibnu Khordadhbeh mencatat cara
memperoleh bahan dan air kamper, yang kemudian banyak dikutip oleh penulis
Arab, seperti al-Razi (abad ke-9 sampai 10 Masehi), ahli geografi al-Qazwini
(abad ke-10 M), Dokter dari Persia bernama al-Harawi (abad ke-10 M) dan alGurgani (abad ke-12 M). Ibnu Khordadhbeh menuturkan di kawasan ini terdapat
pohon kamper yang besar sekali sehingga daun-daunnya bisa membayangi 100
orang. Untuk memperoleh kamper, puncak pohonnya di toreh dan air kamper
yang keluar banyak, sehingga dapat mengisi beberapa tempayan. Sesudah airnya
dikutip, bagian tengah batangnya di toreh untuk mendapat potongan-potongan

4

kamper, bahan ini merupakam gom dari dalam pohonnya sendiri. 2 Pada abad ke16 M, Barbosa mencatat kamper dijual dalam bentuk potongan-potongan bambu.3
Nauha Stephan dalam tulisan Kamper dalam Sumber Arab dan Persia:
Produksi dan Penggunaannya (1998) menyebutkan bahwa kamper secara ilmu
botani ada dua jenis dari keluarga yang berbeda, yaitu, pertama, dryobalanops
aromatica gaertn, dari keluarga dipterocarpaceae yang menghasilkan kamper
Borneo atau kamper Barus. Kedua, Cinnamomum camphora [L.] Nees, dan
Ebernm., dari keluarga Lauraceae atau kamper Jepang.


Nauha Stephan

mendefinisikan kamper adalah sebuah bahan keras, yang bisa berupa berupa
pasir, dan merupakan hasil oksidasi minyak yang terdapat dalam sel-sel khusus
yang mengeluarkan bahan ini. Sel-sel ini terdapat di semua bagian pohonnya.4
Istilah kamper merupakan nama dari bahasa-bahasa Eropa yang dipinjam
dari istilah Arab, yakni kafur yang kemungkinan besar lewat berasal dari kata
alcanfur, yaitu, istilah dalam bahasa daerah Castille [Spanyol]. Tetapi, H.P
Reinaud dan G.S. Colin menunjukan bahwa kata kafur tidak hanya berasal dari
bahasa Arab saja, karena kata yang serupa juga dipakai dalam bahasa lain, seperti
bahasa Persia dan Turki.5
Namun demikian, jauh pada masa lampau sebelum catatan-catatan dari
Cina dan Arab di atas, Barus, dikenal sebagai salah satu negeri pelabuhan yang
2

Lihat Nauha Stephen “Kamper dalam Sumber Arab dan Persia” dalam buku Lobu Tua sejarah Awal
Barus, 2014., hal.263
3
Ibid.

4
Claude Guillot, 1998. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor, Jakarta
5
Ibid.

5

kaya dengan kegiatan perdagangan. Catatan tertua tentang Barus dan produknya
seperti kamper dan kemenyan, terdapat dalam sumber-sumber awal Masehi dalam
berbagai bahasa, seperti, bahasa Yunani, Syiria (Syam), Tionghoa, Tamil, Arab,
Jawa, Armenia, Melayu dan juga dalam berbagai bahasa Eropa pada periode yang
lebih muda. (Claude Guillot, 2014:9).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kamper sebagai benda cagar
budaya telah dihasilkan manusia nusantara di Barus dengan segala kondisi yang
melingkupinya saat itu. Dan, dinamika perdagangan kamper sendiri dibuktikan
dari berbagai catatan historis berbagai bangsa yang singgah di Barus maupun
yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dengan produk cagar budaya
bernama kamper.
Dari aspek historis, sumber Arab di abad ke-9 Masehi (851 Masehi)
menyebut kamper dalam naskah yang berjudul ahbar as-sin wa I-hind (catatan

mengenai Tiongkok dan India). Sumber Arab lainnya pada abad yang sama, juga
menyebut kamper, yakni pada kitab yang bernama Kitab al-masalik wa-Imamalik (buku tentang Jalan-Jalan dan Kerajaan-Kerajaan) yang terbit sekitar
tahun 850 Masehi.6 Dalam buku ini, menyebut Fansur dan Balus dikaitkan
sebagai penghasil kamper. Demikian halnya, sumber asli Arab dan Persia lainnya,
6

Buku ini memberitahukan tentang semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap propinsi.
Dalam kitab ini tercatat “diantara Pulau Langabalus dan Pulau Kilah, terdapat Pulau Balus yang dihuni
oleh manusia kanibal. Pulau ini menghasilkan kamper yang bermutu tinggi, pisang, kelapa, tebu dan
beras. Lihat Relation: Relation de voyage et textes geographiques Arabes, Persans et Turks, relatifs a
l’Extreme-Orient du VIII au XVIII siecles [Catatan-catatan perjalanan dan Teks geografi Arab, Persia,
Turki berkenaan dengan Timur Jauh dari Abad ke-8 hingga Abad ke-18 M], ed. Oleh G. Ferrand, 2 jil.
Paris, Ernest Leroux, 1913-1914. (cetak ulang 1986), hlm.66

6

menyebut kamper dalam buku-buku perjalanan, laporan botani, laporan
kedokteran dan buku pengobatan.
Di lain sisi, hasil penelitian arkeologis di Barus (Tapanuli Selatan), yang
dilakukan dalam rangka kerjasama Indonesia-Perancis dari tahun 2011-2006 di

daerah Barus, Sumatera Utara yang dibiayai oleh kementerian Luar negeri
Perancis (Panitia Penelitian Arkeologi di Luar Negeri) dan Ecole francaise
d’Extreme-Orient menunjukan bahwa sejarah okupasi negeri ini terekam lewat
stratigrafi kehidupan sejarah pemukiman kota Barus itu sendiri. Adapun fase
okupasinya, dapat diklasifikasikan, yaitu, okupasi pada periode Labo Tua (Awal
Masehi-abad ke-XII), periode kekosongan (abad ke-XII sampai dengan ke-XVI)
dan periode Pamalayuan (Abad XVI – sekarang).
Okupasi periode Labo Tua disebutkan sebagai periode kemakmuran. Hal
ini dibuktikan dari hasil penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret
(2015) dan kawan-kawannya dari Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO)
Perancis yang bekerja sama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
(PPAN) di Lobu Tua, Barus, membuktikan pada abad IX-XII terdapat
perkampungan multietnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, Jawa, Batak,
Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan bangsa lainnya. Perkampungan tersebut
dikabarkan sangat makmur mengingat banyaknya barang-barang berkualitas
tinggi yang ditemukan. Periode kekosongan (abad ke-XII sampai dengan ke-XVI)
atau barangkali yang lebih tepat adalah kekosongan kekuasaan lokal sebagai
dampak serangan atas Lobu Tua yang merupakan kawasan multietnis di Barus,
7


tiba-tiba ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12.
Sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi, kota ini
ditinggalkan begitu saja. Hasil penelitian arkeologis di atas menunjukan bahwa
tidak adanya satu benda arkeologi yang dihasilkan setelah awal abad ke-12.
Namun begitu, para ahli arkeologi dan sejarah sampai saat ini belum bisa
mengidentifikasi tentang sosok Gergasi ini. Namun, menurut hemat penulis, ada
kemungkinan sosok gergasi yang dimaksud disini adalah perompak atau bajak
laut yang banyak mengganggu rute-rute perdagangan pada masa tersebut. Sumber
lain menyebutkan, perompakan sudah lama berlangsung di perairan Asia
Tenggara dan berita tertua tentang bajak laut Asia Tenggara berasal dari catatan
Faxian (Fa-Hsien), menuliskan bahwa dalam perjalananya pulang dari India
(413-414 Masehi), mengatakan bahwa "laut (Asia Tenggara) penuh dengan bajak
laut". Demikian juga Jiadan (785-805) menyebutkan bahwa pangkalan bajak laut
berada di sebelah barat-laut Kerajaan Sriwijaya. Diperkirakan lokasi tersebut
berada di sebelah utara Selat Malaka yang merupakan alur masuk ke wilayah
Kerajaan Sriwijaya.7
Adapun periode Pamalayuan (Abad XVI – sekarang) merupakan periode
massifisasi okupasi dari suku Batak dan Minang yang membentuk pemerintahan
lokalnya sendiri dan dikemudian hari pemerintahannya dianeksiasi oleh Sultan
Aceh sebagai bagian dari kesultanan Aceh pada abad ke-XVII Masehi.

***
7

Ibid

8

Dari gambaran historiografi di atas, terlihat jelas kedudukan kamper
sebagai produk budaya nusantara yang sangat penting pada masa lampau. Dari
dimensi bentuk, ruang dan waktu yang melingkupinya yang begitu panjang dan
bervariasi fungsinya, menjelaskan bahwa kamper sebagai produk nusantara
merupakan master piece bangsa Indonesia di masa lampau.
Tetapi, sayang sekali, sampai pada hari ini, kedudukan kamper sebagai
sebuah produk kebudayaan bangsa Indonesia, masih belum terjamah dan disahkan
sebagai salah satu warisan budaya bangsa yang menakjubkan dan sangat
memungkinkan diajukan sebagai warisan dunia.
Bahwa kondisi di atas bisa dipahami mengingat kebanyakan penelitian
tentang kamper, selalu berfokus pada Barus dan kontak perdagangannya saja, dan
orientasi pemikiran menetapkannya sebagai sebuah entitas cagar budaya maupun
warisan dunia masih kurang terpikirkan. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini
lahir dan didedikasikan kepada pengungkapan peranan strategis kamper sebagai
produk budaya bangsa Indonesia (nusantara) yang turut menginisiasi lahirnya
jalur rempah yang berdiri berdampingan dengan jalur sutera sekaligus mendorong
bangsa ini menetapkan kamper sebagai salah satu cagar budaya dan
mendorongnya menjadi warisan dunia.
2. Kajian Literatur
Referensi literatis yang menjadi sumber penulisan ini, berasal dari berbagai
sumber historis yang merupakan catatan perjalanan pelancong baik dari negeri

9

Cina dan Arab yang pernah datang atau mendengar tentang kamper dan nusantara
pada masa lampau.
Misalnya, catatan dari Cina, seperti: Yie Jing (635-713 M), Jia Dang (730-805
M), Duang Chengshi (803-863 M), Zhufan zhie (1225 M), dan Wa Dayuan
(1349/50 M), mereka menggambarkan keletakan negeri penghasil kamper
bermutu sangat bagus dan menjadi produk perdagangan unggulan saat itu, berasal
dari ujung Barat dari Pulau Sumatera. Demikian juga pelancong Arab, seperti:
Ibnu Khordadhbeh (850 M), sebuah catatan berjudul ahbar as-sin wa I-Hind (851
M) dengan tokoh utamanya Sulaiman menyebut nama Fansur yang menghasilkan
banyak kamper, Ibn Manzur (1311 M), Ibn al-Atir (1233 M), dan Ibn al-Baladuri
(1437 M) mengenali negeri penghasil kamper ini berasal dari Barus (Fansur).
Berdasarkan rekam jejak di atas, kemutlakan kamper sebagai produk manusia
yang menjadi kebutuhan dunia pada masanya, mutlak memiliki nilai penting bagi
umat manusia saat itu. Substansi nilainya ini adalah muatan dari makna
Outstanding Universal Value itu sendiri. Yakni, nilai-nilai luar biasa yang disepakati
bersama umat manusia bahwa kamper adalah kebutuhan bersama yang sangat penting
bagi umat manusia ketika itu. Kamper menjadi sangat berarti tidak hanya petani,
pedagang, kedokteran, gaya hidup, maupun jaringan perdagangan, tetapi kamper juga
mendorong komunikasi bilateral antar bangsa, menginspirasi kesepakatan keteraturan
perdagangan, mendorong

penciptaan-penciptaan (penemuan) baik dalam bidang

pengobatan (kedokteran), pembuatan parfum, pengawet dan sebagainya. Secara langsung
atau tidak langsung, jalur perdagangan kamper juga turut mendorong semakin kuatnya

10

teknologi perkapalan, teknologi pelayaran, berkembangnya ilmu kartografi dan masih
banyak lainnya.

Nilai-nilai universal di atas, secara kelampauan telah dimiliki oleh kamper.
Tetapi secara kekinian, nilai-nilai universal tersebut seolah telah hilang akibat
perubahan-perubahan kehidupan dunia. Atas dasar tersebut, maka perlunya
mengembalikan nilai penting kamper sebagai cagar budaya sebagai salah satu
warisan nusantara kepada dunia mutlak diperlukan.
Hal ini sangat memungkinkan terjadi karena dasar pertimbangan warisan
budaya ini, sedang menghadapi ancaman kerusakan dan kepunahan yang
disebabkan oleh fenomena alam, perubahan kondisi sosial dan budaya
masyarakat. Maka dengan mendorong kamper sebagai cagar budaya hingga
kelevel dunia, maka perlindungan dan pemeliharaan kamper dapat lakukan secara
bersama melalui Komite Warisan Dunia UNESCO.
3. Metode Penelitian
Jenis tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif, memakai metode sejarah
kritis sebagai sarana eksplanasinya. Adapun langkah-langkah yang dilakukan,
antara lain: pertama, mencari data dan mengumpulkan sumber-sumber data
(heuristik); kedua, melakukan kritik terhadap sumber-sumber data (Kritik atau
verifikasi); ketiga, menginterpretasikan atau menganalisis sumber (interpretasi
atau penafsiran); dan keempat, melakukan penyusunan nasakah dalam rangka
menulis uraian yang menjadi objek tulisan (Historigrafi). Adapun sumber data
tulisan ini berasal dari hasil penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian
11

yang bertujuan mendapatkan sumber melalui bahan bacaan yang berhubungan
dengan substansi permasalahan karya ini ( Sugeng Pribadi, 2017).

4. Hasil dan Pembahasan:
A. Nilai Penting Kamper sebagai Komoditi Rempah Nusantara
Kamper merupakan produk unggulan bandar dagang Barus yang berada di
Lobu Tua dari periode awal Masehi8 hingga jatuhnya perdagangan Barus semasa
konflik kolonial Belanda. Dari sudut ekonomi, kamper memberi informasi
penting terkait kedudukan ekonominya yang luar biasa kepada kita. Misalnya,
mulai dari pusat produksi kamper, pola distribusi komoditi kamper, negeri-negeri
konsumen kamper, maupun jalur-jalur pelabuhan singgahan distribusinya. Selain
itu, kita juga dapat memahami produk kamper sebagai rempah, tidaklah mandiri,
melainkan ia di jual bersama dengan produk-produk pertanian dan perkebunan
lainnya.
Dari sisi perdagangan, kamper menjelaskan dinamika pemasaran yang
dinamis. Hal ini, bisa dilihat dari konsumen-konsumen kamper yang menyebar
baik dari nusantara sendiri, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Timur, Asia
Tengah hingga ke kawasan Eropa. Demikian juga, pola distribusinya yang sangat
luas ketika itu, memberi pemahaman bahwa ada faktor-faktor yang kuat
menyebabkan kamper terdistribusi secara luas. Faktor-faktor ini sendiri juga turut

8

Nama Barus sudah disebut Cladius Ptolemeus dengan toponim “Barousai”, seorang gubernur dari
Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2.

12

mendorong lahirnya apa yang kita sebut sebagai pasar kamper, menaikan status
sosial kamper sebagai kebutuhan primer konsumen, membentuk mata rantai pasar
kamper yang menjanjikan keuntungan besar dari bisnis ini.
Di tinjau dari sudut politik ekonomi, pertama, kehadiran pasar kamper
memperlihatkan karakter konsumen kamper yang merupakan kalangan tertentu
(segmen market). Kedua, fakta adanya jejaring pasar kamper di masa lampau
yang memberikan informasi terkait syarat negeri-negeri seperti apa yang menjadi
konsumen dan lokus pasar (distribusi) kamper. Ketiga, kita bisa mengidentifikasi
karakter para pengguna kamper yang menjelaskan adanya segmentasi demografi
pengguna kamper, seperti, jenis kelamin, usia, status sosial, pekerjaan dan
sebagianya. Keempat, pengguna kamper juga bisa memberikan informasi tentang
psikografi pengguna kamper, yakni, informasi tentang motivasi penggunaan
kamper, minat dan lain sebagainya.
Kamper tidak hanya sebagai produk saja. Tetapi, kamper memiliki nilai
sosial yang penting di setiap negeri konsumennya. Sebagai contoh, kedudukan
sosial konsumen kamper yang diketahui dipergunakan sebagai pewangi. Catatan
sejarah menunjukan pada jaman Dinasti Abbasiyah, hanya orang kaya dan
golongan pemimpin saja yang menggunakan pewangi dalam bentuk air kamper.
Juga tercatat dalam beberapa naskah bahwa sesudah makan, orang-orang kaya

13

biasanya menyediakan air berwangi kamper kepada para tamu untuk mencuci
tangannya.9
Kamper juga menjadi bahan obat-obatan yang disebut sukk yang dipakai
untuk pengasapan. Disebutkan bahan ini baik untuk otak dan jantung dan
seringkali dipakai dalam banyak obat. Bahan ini juga baik untuk warna kulit dan
pernafasan. materinya, terdiri dari bagian, yaitu: lima bagian kayu gaharu dari
pulau Komoro yang bermutu baik, tiga bagian anbar dan kamper, sembilan bagian
kesturi, satu bagian tumbuhan sunbul/zat lendir gom (dari tumbuhan-tumbuhan
keluarga leguminoceae, catatan penerjemah) yang di campur dengan air mawar
dan mencukupi untuk membuat bentuk serupa daun-daun pohon myrtus. Hasilnya
disimpan dalam sebuah wadah dari kaca dan dipakai sesuai kebutuhan.10
Penulis melihat bahwa nilai yang tak kalah penting lainnya dari dampak
perdagangan kamper dan rempah lainnya yang membentuk apa yang disebut jalur
rempah bagi nusantara secara umum dan Barus secara khusus, yaitu: pertama,
lahirnya pemahaman dunia internasional ketika itu tentang nusantara sebagai
negeri yang penuh dengan sumber kekayaan (bahan perdagangan yang
menguntungkan); kedua, para pedagang internasional meyakini bahwa stabilitas
nilai dari kamper Barus mendorong mereka mengekspor barang-barang
dagangannya sendiri ke Barus seperti keramik bahkan memakai uang bangsanya
sendiri sebagai alat tukar; ketiga, mereka membentuk komunitas-komunitas
9

M.M. Ahsan, 1979. Sosial Life under the Abbasids. London-new York, Longmann & Librairie du
Liban
10
Nouha Stephan, 1998. Kamper Dalam Sumber Arab dan Persia: Produksi dan Penggunaannya.
Hal.259. Dalam Claude Guillot, 1998. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor, Jakarta

14

dagangnya sendiri yang dikemudian hari melahirkan diaspora bangsa-bangsa
asing di Barus dan di nusantara secara umum; kempat,

terjadi transformasi

informasi, teknologi, bahasa, persekutuan politik, hingga pernikahan antara anak
bangsa asing dengan anak negeri mewarnai dinamikanya; kelima, hubungan
dagang, hubungan politik dan hubungan sosial kemasyarakatan yang terbentuk
berabad-abad lalu atas nama perdagangan kamper dan rempah lainnya
menjadikan bangsa Indonesia penuh keragaman pemahaman dan menjadi pelopor
kebhinekaan.
B. Kamper sebagai Cagar Budaya
Dari sisi kegunaan dan distribusinya, kedudukan kamper sebagai cagar
budaya, memiliki peranan yang sangat jelas dan persebarannya melampaui batasbatas nusantara. Kedudukan kamper, bisa dikatakan menjadi kebutuhan primer
dan sangat diperlukan pasokannya oleh berbagai bangsa. Barangkali, tidak salah
jika penulis menyebutkan bahwa kamper pada periode tersebut menjadi sebuah
produk primer masyarakat dunia yang luas karena memiliki arti dan nilai penting
dalam kehidupan bangsa-bangsa yang berguna untuk kebutuhan sosial,
pengobatan, wewangian, dan sebagainya saat itu.
Sebagai cagar budaya, kamper baik sebagai benda maupun sebagai
tanaman ekonomis yang masih tumbuh saat ini, wajib dilestarikan keberadaannya
karena amanah Undang-Undang No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Tidak
hanya dalam ruang lingkup bendanya, tetapi juga perlu memasukan lingkungan

15

(habitat) aslinya sebagai bagian dari wilayah integral pelestarian, lingkungan
ekonominya (pelabuhan Barus) maupun rute perdagangannya (jalur rempah).
Dalam hal ini, pelestarian kamper baik produk maupun lingkungannya
perlu dilakukan, mengingat nilai penting yang dikandungnya sangat luas.
Keluasan nilai penting ini bisa dilihat dari sudut sejarah nusantara-Indonesia.
Nilai penting kamper bagi sejarah, bahwa ia sangat layak diajarkan dalam dunia
pendidikan. Juga ada nilai penting kamper dalam dasar-dasar ilmu pengetahuan
kedokteran, kosmetika, dan sebagainya; nilai penting kamper menunjukan
jejaring perdagangan kuno; nilai penting kamper juga mampu menjelaskan rute
yang digunakan para agamawan baik Hindu, Budha, Islam, Kolonial Eropa saat
mendatangi nusantara; nilai penting kamper juga menjelaskan hubungan
transnasional antar pemerintahan secara global; dan masih banyak lagi lainnya.
Dari aspek pemanfaatan bisa dilakukan seperti: pertama, pemahaman
bahwa kamper dan konteksnya sebagai cagar budaya merupakan sebuah “dunia”
yang sangat luas, tidak hanya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan ilmu
pengetahuan dan sejarah saja, tetapi juga kamper sampai hari ini masih produk
ekonomi yang bisa dikembangkan dalam pasar global.
Kedua, kamper, memiliki nilai tarik yang kuat bagi kepentingan
pariwisata global. Ke”manja”an pikiran dari para pelancong yang ingin
menikmati sensasi abad-abad

sebelum masehi, abad pertengahan hingga

dimulainya ekspansi eropa ke dunia Asia, dimiliki mutlak oleh sejarah kamper itu
sendiri. Dunia kuno yang digambarkan oleh Hollywood ada pada kisah kamper
16

yang nyata. Dalam hal ini, inspirasi peradagangan kuno dan segala kehidupan
kekunoaanya, bisa menginspirasi industri-industri kreatif, seperti perfilm, drama
dan seni lainya.
Ketiga, kebutuhan global atas wewangian berbahan kamper hingga hari ini
menjadikannya sebagai aset barang yang bernilai tinggi. Meskipun sejak bangsa
Eropa telah mampu membuat Kamper dari bahan sintetis dari terpentin, dan
menggeser kamper asli dari pasar, namun tetapi tentu saja kamper dari Barus
adalah sesuatu yang lebih istimewa baik dari sisi kualitas maupun kesejarahannya
dari pada kamper sintetis.
Keempat, relasi ekonomi kamper pada masa lampau menujukan bahwa
jejak distribusi kamper sesungguhnya sebuah jejak ikatan perdagangan yang kuat
antara nusantara (Indonesia) secara umum dan Barus secara khusus. Kontak
dagang dengan bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Arab, dapat dibuktikan dari
cagar budaya kompleks makam orang-orang Arab pada Situs Kompkes Makam
Papan Tinggi.
Kelima, perdagangan kamper merupakan bukti bahwa Nusantara
(Indonesia) sejak dulu bukan hanya konsumen dari bangsa-bangsa lain, tetapi juga
produsen yang membentuk jalur perdagangannya sendiri. Akhir-akhir ini, jalur
perdagangan tersebut kita kenal dengan istilah jalur rempah, dimana produksi
hasil bumi indonesia berupa rempah-rempah dan materi ikutan lainnya seperti,
kayu gaharu, gading gajah, cula badak, kayu sapan, kemenyan, dan sebagainya

17

ikut diperdagangkan dalam pasar global sejak abad-abad yang lampau ke pasarpasar Asia dan Eropa.
Berbagai hal di atas secara tegas menunjukan kamper telah membentuk
saujana budayanya sendiri (cultural landscape) yang terbentuk sebagai proses
yang memakan waktu berabad-abad lamanya, melibatkan berbagai bangsa di
nusantara dan di dunia hingga menghasilkan produk bernama jalur rempah yang
sangat menguntungkan secara ekonomis. Rute perdagangan kamper yang
melingkupi Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Timur, Afrika hingga
belahan dunia lainnya, menjadi bukti bahwa saujana budaya kamper sangat
memungkinkan menjadi warisan dunia (world heritage). Kamper dan jejak
distribusianya jelas melampaui batas nasional dan menjadi hal yang penting bagi
generasi manusia sekarang dan masa depan. Dengan demikian, perlindungan
permanen warisan kamper di atas sangat penting bagi masyarakat internasional
secara keseluruhan.

C. Nilai Penting Kamper sebagai Cagar Budaya Dunia
Pada bagian ini, dapat ditegaskan bahwa nilai universal yang luar biasa
(Outstanding Universal Value) yang dimiliki dari kamper, memiliki pengertian
pada pasal 1 bahwa:
a. Kamper adalah Monumen. Dalam hal ini, kamper menjadi salah satu
sumber yang mendorong terdisitribusianya ilmu pengetahuan, karya seni dari

18

berbagai bangsa yang bersentuhan dengan produk kamper. Misalnya,
teknologi pelayaran, penggunaan ilmu kartogari, pertukaran budaya,
diplomasi kenegaraan hingga migrasi manusia, ilmu pengetahuan dan
teknologi pada masanya. Dalam hal ini, apa yang dihasilkan oleh kamper
adalah berdirinya banyak monumen-monumen ilmu pengetahuan di berbagai
bangsa, seperti, Mesir dengan ilmu pengawetan mayat, negeri Islam dengan
ilmu wewangian dan ilmu kedokteran, Eropa dengan ilmu pembuatan kamper
“tiruan” bahan terpentin dan sebagianya. Ini adalah nilai universal luar biasa
(outstanding universal value) dari sudut pandang sejarah, seni dan ilmu
pengetahuan.
b. Kamper menghasilkan berbagai Situs. Misalnya, Kawasan Barus sebagai
penghasil kamper; juga ada negeri-negeri yang menjadikan kamper sebagai
produk ekonomi yang dijual pada masing-masing pelabuhan (bandar),
misalnya: pelabuhan Sriwijaya, Samudera Pasai dan Lamuri. Keterpaduan
antara kamper dan bandar-bandar kuno menjadi kombinasi karya alam dan
manusia serta membentuk kawasan yang memiliki nilai universal luar biasa
(outstanding universal value) dari sudut pandang sejarah, estetika, etnologi
atau antropologi.
c. Kamper juga berhasil memadukan antara warisan alam berupa jalur rempah:
Teluk Oma, Laut Arab, Teluk Benggala, Selat Malaka, Selat Sunda, Laut
Cina Selatan) yang bisa didefenisikan sebagai lansekap budaya (cultural

19

landscape). Jaringan perdagangan kamper ini sangat penting dari sudut
pandang sejarah, ilmu pengetahuan atau antropologi.
5. Penutup
Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa produk cagar budaya bernama
kamper bersama dinamika ekonomi serta jalur rempah yang terbentuk bersamanya
adalah hal penting dilestarikan. Mengapa, pertama, kamper bersama kemenyan dan
produk rempah lainnya berhasil membuat tatanan ekonominya sendiri bernama jalur
rempah; kedua, tatanan ekonomi asli nusantara ini telah memberi dampak yang luas
pada terbentuknya sebuah ekosistem kehidupannya yang sangat luas, melingkupi
berbagai periodesasi budaya dari sebelum abad ke-12 Masehi hingga masa Kolonial
Belanda; ketiga, kamper dengan jaringan distribusinya yang mendunia menjadi saksi
bahwa diplomasi nusantara (bangsa Indonesia) historinya telah ada semenjak masa
kuno; keempat, kamper dan produk rempah lainnya telah menghasilkan arus
perdagangan globalnya sendiri dan merupakan produk bangsa Indonesia yang
menunjukan satu bagian kecil kekayaan sejati bangsa ini kepada dunia.
Berdasarkan pemahaman di atas, penulis sangat menyarankan agar
pengetahuan, ilmu dan segala kedalaman ilmu pengetahuan tentang kamper adalah
kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan, dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai
dimensinya. Karenanya, salah satu bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap
kekayaan bangsa ini adalah menobatkannya sebagai salah satu benda cagar budaya
atau lansekap cagar budaya dan ataupun kategori cagar budaya lainnya.

20

Sebagai penutup, penulis kembali mengulangi bahwa kamper sangatlah layak
mendapatkan kedudukan sejarahnya sendiri dalam ruang cagar budaya bangsa
Indonesia, apakai itu dalam pengertian benda maupun landscape (kawasan) Barus
sebagai sebuah bekas pemukiman multi bangsa atau bahkan cagar budaya warisan
dunia berbentuk jaringan perdagangan rempah. Dengan memasukannya sebagai
cagar budaya bangsa, dan terus mendorongnya menjadi salah satu warisan dunia
dalam bentuk rute jalur rempah (world heritage), maka akan berimplikasi pada
menguatnya kajian pengembangan dalam bentuk kegiatan penelitian, terutama untuk
peningkatan nilai penting, melakukan promosi dan terus menerus melakukan
sosialiasi serta mendorong pemanfaatannya secara maksimal ke dalam lapangan
penelitian, revitalisasi dan adaptasi secara berkesinambungan.
Daftar Pustaka
AB. Lapian, 1993. Masalah Sejarah Maritim Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru
Besar di Universitas Indonesia, Jakarta
A. Hasjmy, 1981. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. PT.
Al’Marif, Jakarta
A.S. Harahap, 1951. Sedjarah Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Toko Buku
Islamiyah, Medan
Anhar Gonggong, 1990. Peta Peninggalan Sejarah Daerah Istimewa Aceh.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Anthony Reid, 1992. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah
Di Bawah Angin. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
---------------, 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis II. Jaringan Perdagangan Global
Asia Tenggara 1450-1680. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

21

---------------, 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta
Claude Guillot, Dkk. 1998. Lobu Tua sejarah Awal Barus.Yayasan Obor, Jakarta
Daniel Perret, Dkk. 2015. Barus Negeri Kamper. Sejarah Abad ke-12 hingga
Pertengahan Abad ke-17. PT. Gramedia, Jakarta
Denys Lombart, 1991. Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Balai Pustaka, Jakarta
D.G.E. Hall, 1955. Sejarah Asia Tenggara. Usaha Nasional, Surabaya
El Ibrahimy, H.M Nur, 1993. Selayang Pandang Langkah-Langkah Diplomasi Aceh.
PT. Gramedia, Jakarta
Edi S. Ekadjati, 1985. Penyebaran Agama Islam di Pulau Sumatera. Mutiara Sumber
Widya, Jakarta
George Coedes, Dkk. 2014. Kedatuan Sriwijaya. Edisi Kedua. Komunitas Bambu,
Jakarta
Hasan M. Ambary, 1979. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta
--------------------, 1998. Kepurbakalaan Aceh Kajian Makam-Makam Islam di
Aceh. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Budaya Aceh
yang dilaksanakan oleh Jabatan Pendidikan dan Kebudayaan
Aceh
Heinz Frick, 1988. Arsitektur dan Lingkungan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
James F. Deetz, 1967. Invitation to Archaeology. Natural History Press. Garden City,
New York
Lapian, Adrian B. 2009. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi Abad XIX. Komunitas Bambu: Jakarta
Mohammad Said, 1984. Aceh Sepanjang Abad Jilid I. Waspada Medan, Medan
M. Yunus Djamil, 1963. Tawarich Radja-Radja Keradjaan Aceh. Kodam Iskandar
Muda, Banda Aceh

22

M.M. Ahsan, 1979. Sosial Life under the Abbasids. London-New York, Longmann &
Librairie u Liban
Nauha Stephen, 2014. Kamper dalam Sumber Arab dan Persia. Dalam buku Lobu
Tua: Sejarah Awal Barus. Seri Terjemahan Arkeologi No.12.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang Cagar Budaya No. 10 Tahun 2011
Tentang Cagar Budaya
S.K Kochhar, 2008. Pembelajaran Sejarah. PT. Grasindo, Jakarta
Sugeng Pribadi, 2017. Sejarah Lokal: Konsep, Metode Dan Tantangannya. Ombak,
Yogyakarta
Suwedi Montana, 1997. Pandangan Lain tentang letak Lamuri dan Barus (Batu Nisan
abad keVII-VIII Hijriah di lamreh dan Lamno Aceh). Dalam
Majalah kebudayaan No.12 Tahun VI, Hlm. 83-93.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
T. Ibrahim Alfian, 1981. Kronika Pasai. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Teuku Iskandar, 1966. Bustanus Shalatin. Dewan bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
Twuanku Abdul Jalil, 1991. Adat Meukota Alam. Seri Informasi Aceh Tahun XIV
No.1 Banda Aceh. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
Banda Aceh
Zakaria Ahmad,1972. Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675. Monora,
Yogyakarta

23